Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini...

24
A The Nature Conservancy - Policy Paper Series Se¡iay Makayau Kebijakan KR‘NabN[ ]R[TRY\YNN[ UbaN[ Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan Yayasan Konservasi Alam Nusantara

Transcript of Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini...

Page 1: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

AThe Nature Conservancy - Policy Paper Series

Se ia Maka a Kebijakan

K Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan

Yayasan KonservasiAlam Nusantara

Page 2: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

B The Nature Conservancy - Policy Paper Series©Nick Hall

Page 3: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

1The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada sumber daya alam nasional. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaraga- man hayati di dunia; kemiskinan, tekanan demografis, pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik dan tidak berkelanjutan serta dampak perubahan iklim juga memberi tekanan pada sumber daya alamnya.

The Nature Conservancy (TNC) secara konsisten mendukung pemerintah pemerintah Indonesia dalam mengatasi tantangan ini dengan memberikan bukti ilmiah untuk pertimbangan reformasi peraturan dan pertimbangan perubahan kebijakan. Studi kebijakan pertama ini - yang dilakukan melalui rangkaian diskusi kelompok (FGD) – yaitu mengenai pengembangan Kesa- tuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. Hal ini merupakan isu pen- ting yang harus dibahas, terutama setelah pemerintah menerbitkan sebuah dokumen penting, "Pengembangan KPH: Konsep, Regulasi dan Implemen-tasi" (Dokumen Kebijakan 2011).

Secara hukum, Unit Pengelolaan Hutan (KPH) adalah bagian dari garis depan terkecil pemerintah yang diberi mandat untuk mengelola kawasan hutan secara efisien dan lestari. Mereka bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat secara langsung di tempat yang mengatur perencanaan hutan, pengelolaan hutan, rehabilitasi, perlindungan, dan konservasi. Selain itu, KPH juga bertindak sebagai jembatan untuk kolaborasi antara calon investor dan masyarakat hutan dan dukungan untuk mencapai kehutanan yang berkelanjutan. KPH mendorong pertumbuhan bisnis lokal produktif, yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, memastikan pembangunan ekonomi lokal. Dengan kewenangan semacam itu, diharap-kan dalam waktu dekat KPH bisa kuat secara finansial dan mampu meng-hasilkan modal yang cukup.

Ukuran hutan produksi di Indonesia adalah 68,99 juta Ha, sedangkan izin produksi hutan alam yang diberikan kepada pemegang konsesi hutan adalah 19,20 juta Ha. Hutan produksi merupakan lahan yang sangat potensial karena memiliki peran penting dalam isu perubahan iklim untuk mengurangi emisi karbon dengan menerapkan praktik RIL-C di lapangan. Oleh karena itu, Kepala KPH perlu mendorong pemegang konsesi hutan di wilayah ker-janya untuk melakukan praktik RIL-C. Keberhasilan mengurangi emisi, se-bagai bagian dari agenda nasional untuk menyelesaikan NDC di Indonesia, sangat bergantung pada keefektifan KPH sebagai kekuatan pendorong.

The Conservancy berharap agar dokumen kebijakan ini dapat digunakan untuk memperkaya pengetahuan masyarakat dan memperbaiki kualitas peraturan lingkungan dan kehutanan di Indonesia.

Jakarta, Juni 2017

Rizal AlgamarCountry DirectorIndonesia Program

Kata Pengantar

KESATUAN PENGELOLAAN HUTANIsu aa ni an ek en a i Kebijakan

Page 4: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

2 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Ringkasan Eksekutif

Permasalahan yang terus dihadapi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menunjukkan adanya masalah sistemik mendasar (terbukti dalam beberapa bentuk dan ukuran yang ada di kementerian terkait) yang membutuhkan pengambilan kebijakan antar kementerian yang canggih dan kompleks. Pembuatan kebijakan hendaknya a) fokus pada proses sebanding dengan fokus pada hasil dan b) fokus pada penyederhanaan dan pemotongan lintas batas-batas kementerian agar menjadi efektif. Makalah ini memberikan latar belakang untuk memahami kebutuhan akan kebijakan tersebut dan untuk memberikan solusi alternatif agar KPH mampu menangani tantangan-tantangan yang ada dengan baik.

Merujuk pada Dokumen Kebijakan Kementerian Kehutanan Tahun 20111, akar masalah dalam pembangu-nan kehutanan adalah:

1. Ketidakpastian atas hak untuk kawasan hutan;2. Keadaan pembangunan di lembaga kehutanan3. Isi hukum dan peraturan4. Penentuan nilai tambah sektor kehutanan

Isu-isu mendasar yang bertanggung jawab atas masalah yang dihadapi oleh KPH seperti:

1. Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan;2. Terbatas dukungan sumber pendanaan dari pusat/pemerintah daerah;3. Adanya kekurang-harmonisan kerja antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan

Kementerian Kehutanan;4. Terbatasnya sinergi di kalangan pelaku di kawasan hutan KPH; dan5. Ketidakefektifan penilaian kinerja di tingkat KPH pada pengelolaan hutan lestari.

Melalui berbagai studi literatur, seperti Dokumen Kebijakan Tahun 2011 dan lainnya, serta hasil diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) yang dihadiri staf KPH dan ahli kehutanan lainnya, makalah kebijakan ini merekomendasikan sebagai berikut:

Pertama, kami merekomendasikan bahwa, sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membentuk gugus tugas untuk melakukan anali-sis antar-organisasi yang mengidentifikasi a) adanya tumpang tindih tanggung jawab organisasi, dan b) kepentingan kunci/pokok yang menjadi titik intermediasi, untuk memulai proses reformasi sistemik dan penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan yang telah diidentifikasi di Kementerian Kehutanan pada tahun 2011.

Kedua, sebagai bagian khusus yang terkait dengan rekomendasi pertama di atas, kami merekomen-dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mempercepat resolusi dari tiga masalah sistemik utama yang diidentifikasi oleh Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013. Yaitu (a) pertentangan kebijakan dan peraturan antar sektor; (b) pembentukan KPH tidak optimal dilakukan; dan (c) adanya, mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di sektor kehutanan.

Untuk mempercepat proses penyelesaian masalah sistemik, kami merekomendasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk komite independen kecil untuk memverifikasi apakah tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti di atas telah ditangani, dan jika tidak, alasan dan tindak lanjut untuk menyelesaikannya dalam jangka waktu tertentu. Komite ini harus melapor kembali kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam waktu enam (6) bulan. Lebih lanjut, hal ini juga akan menjadi kesempatan bagi Komite untuk menyelesaikan empat akar masalah seperti yang diidentifikasi oleh Dokumen Kebijakan 2011 di atas.

Ketiga, kami merekomendasikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya melakukan pem-buatan peta-jalan (roadmap) penataan organisasi dalam jangka pendek (1 tahun), menengah (5 tahun) dan jangka panjang (minimal 10 tahun) untuk KPH yang profesional dan independen - politis dan finansi-al – di seluruh Indonesia atau melakukan pilihan, untuk bersama-sama meningkatkan/menyempurnakan peta-jalan dalam Dokumen Kebijakan Tahun 2011.

Page 5: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

3The Nature Conservancy - Policy Paper Series

A. Latar Belakang

Secara hukum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah lembaga pemerintah terkecil dan terdepan yang diberi mandat untuk mengelola kawasan hutan di Indonesia secara efisien dan berkelanjutan. Se-cara historis, KPH didirikan melalui pengembangan dari Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP). Tahun 1997-1998, laju deforestasi di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta hektar per tahun, diikuti oleh pendudukan ilegal dan kegiatan di dalam kawasan hutan, dan bahwa selama lebih dari 40 tahun pengelo-laan hutan di luar Pulau Jawa lebih intensif dan eksploitatif, oleh karenanya pengembangan KPH menjadi penting. Dengan kata lain, pembangunan KPH menjadi prioritas penting pemerintah setelah mengamati lemahnya pengelolaan kawasan hutan di lapangan (kondisi de facto "akses terbuka"), sehingga meng-hambat pelaksanaan program pembangunan kehutanan Indonesia secara keseluruhan2.

B. Akar Masalah dalam Pembangunan Kehutanan

1. Ketidakpastian atas Hak untuk Kawasan Hutan3:

Ada konflik atau potensi konflik yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan baik di daerah pengelolaan maupun yang tidak. Diperkirakan ada sekitar 17,6-24,4 juta hektar hutan yang berkonflik, dalam bentuk tumpang tindih klaim antara klaim hutan negara dan klaim dari masyarakat adat (adat), masyarakat setempat lainnya, desa/perkembangan dusun, dan kehadiran ijin sektor lainnya yang berada di kawasan hutan.

2. Bentuk pembangunan di lembaga kehutanan4:

Meski telah diamanatkan oleh UU No. 41/1999, belum ada kebijakan yang kuat dan diarahkan untuk membentuk sebuah organisasi pemerintah yang berfungsi untuk mengelola hutan di lapangan. Sebagai akibatnya, tidak ada informasi yang cukup tentang pemanfaatan hutan, yang berarti bahwa hutan secara de facto dikuasai oleh pemegang izin. Ketika izin berakhir, atau tidak aktif, hutan itu kemudian menjadi akses terbuka, yang memungkinkan orang untuk memanfaatkan mereka tanpa kontrol, dan mengakibatkan kerusakan berskala besar.

3. Muatan Hukum dan Peraturan5:

Baik Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk memberikan pertim-bangan teknis perencanaan dan perijinan di bawah kewenangannya. Pendistribusian otoritas ini pada dasarnya merupakan "struktur" dalam menentukan distribusi dan penggunaan sumber daya ekonomi, politik dan administrasi yang membentuk tata kelola kehutanan. Bentuk struktural seperti ini sangat tidak efisien dan menghasilkan ekonomi biaya tinggi, orientasi jangka pendek dan konflik. Keluaran dari tata kelola ini telah mengakibatkan degradasi hutan dan tumpang tindih alokasi manfaat hutan.

4. Penentuan nilai tambah sektor kehutanan6:

Masalah kehutanan juga dipengaruhi oleh kebingungan dalam menghitung nilai tambah. Penting- nya sektor diukur dari nilai tambah dalam hal kinerja pembangunan. Pengukuran ini digunakan dalam menghitung Pendapatan Domestik Bruto, yang dibatasi oleh nilai barang dan jasa di harga pasar. Pengukuran ini tidak menguntungkan pengelolaan hutan. Ada kerugian besar karena aliran manfaat hutan dalam bentuk jasa lingkungan tidak pernah dianggap sebagai manfaat pembangunan. Sebuah kerugian kedua adalah penurunan kinerja kerja lembaga-lembaga pengelolaan hutan.

Bias ini dalam mengukur hasil kinerja pembangunan di kurangnya pengelolaan hutan yang intensif, karena dianggap pusat biaya, dan hutan dapat dengan mudah dikonversi untuk penggunaan lain kare-na mereka tidak dianggap menawarkan banyak manfaat. Dalam prakteknya, hasil ini dalam alokasi anggaran negara rendah untuk sektor kehutanan

Page 6: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

4 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

C. Kesatuan Pengelolaan Hutan: Masalah Saat Ini

Berdasarkan Dokumen Kebijakan 2011, ada lima masalah yang dihadapi oleh KPH di Indonesia. Bahasan berikut ini berusaha untuk merefleksikan masalah-masalah tersebut dengan perspektif saat ini.

Soal No 1: Konflik dengan masyarakat atas hak komunal, akses di dalam dan sekitar hutan

Dari perspektif pengelolaan hutan, ada empat jenis konflik7: 1. Konflik Tenurial Berat: Ini adalah situasi dimana bukti kuat kepemilikan hak masyaraka atas tanah dima-

salahkan dan ini terjadi pada banyak kasus. Masalah ini meningkat karena kelalaian dalam menangani klaim tersebut dengan benar.

2. Konflik Tenurial Kecil: Ini adalah situasi dimana bukti yang lemah kepemilikan ditantang/diperma- salahkan. Masalah ini biasanya disebabkan oleh individu miskin atau masyarakat yang mendapatkan penguasaan atas lahan hutan untuk mempertahankan mata pencaharian mereka.

3. Akses ke Sumber Daya Hutan: Ini adalah situasi dimana bagian dari lahan hutan sedang digunakan namun tanpa klaim kepemilikan/kontrol atas tanah tersebut. Hal ini biasanya ditoleransi karena alasan historis yang kuat atas kegiatan tersebut.

4. Aktivitas Haram/Ilegal: Ini adalah situasi tindakan untuk memanfaatkan bagian/sebagian dari lahan hutan dengan mengakses dan/atau mengendalikan bagian/sebagian tersebut. Pemanfaatan tersebut tidak didasarkan pada bukti-bukti yang kuat dari hak kepemilikan atau bahkan alasan historis.

Dengan tipologi beragam seperti konflik yang dihadapi oleh KPH, tidak ada strategi generik tunggal yang mampu menyelesaikan masalah-masalah tersebut8. Namun, KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara adalah contoh dari upaya yang bisa menginternalisasi pendekatan manajemen konflik dalam operasi sehari-hari nya. KPH juga meminta bantuan Samdana, sebuah organisasi non-pemerintah (NGO/LSM) untuk membantu dalam membuka jalur komunikasi, negosiasi, dan mediasi hak ekonomi penduduk desa Rempek. Akhirnya dikombinasikan dengan kepemimpinan yang kuat dari Kepala KPH Rinjani, kesepakatan damai tercapai. Hal ini yang juga penting untuk dicatat di sini adalah kedua belah pihak menghindari sistem peradilan formal untuk menyelesaikan masalah9.

Kasus di atas menunjukkan contoh pentingnya KPH memiliki staf yang mampu dan memiliki kapasi-tas dalam mengelola konflik sosial dengan penduduk atau tindakan dari pemangku kepentingan lainnya di kawasan hutan setempat: program budidaya hutan non KPH (menggarap hutan), klaim kepemilikan tanah, dan pembangunan rumah dan hotel di kawasan hutan KPH10. Sedangkan dalam kasus KPH Batu Tegi (Lampung) dan KPH Tasik Besar Serkap (Riau) konflik lebih bermotif politik, karena itu diperlukan tingkat kepercayaan yang tinggi dan kecerdasan untuk mengatasi situasi yang kompleks ini oleh kepala KPH agar stabilitas sosial di daerah itu terjaga.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 111:

• Perwakilan dari KPH umumnya mengonfirmasi dan mendukung pendekatan manajemen konflik KPH Rinjani Barat dan Utara Kabupaten Lombok tetapi mereka juga menegaskan bahwa cara-cara lain yang efektif untuk mengelola konflik dengan masyarakat di dalam dan seki-tar hutan juga tersedia. Misalnya, melakukan negosiasi berbasis bukti atas klaim kepemilikan, memberdayakan masyarakat lokal untuk mengatur perlindungan diri kawasan hutan terha-dap gangguan-gangguan, penggunaan pemetaan konflik dan analisis pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi pemimpin informal yang berpengaruh, mengakui dan menghormati keha- diran budaya masyarakat setempat yang sudah lama dan penting, memprioritaskan pendekatan informal dalam mengelola (potensi) konflik. Namun, semua upaya dalam pengelolaan konflik, terutama dalam konflik tenurial, mungkin harus dibatasi karena untuk dukungan dana pemerintah pusat dan daerah tidak mencukupi.

• Sementara itu, pakar kehutanan mengamati bahwa permasalahan No 1 harus lebih kontekstu-al: (a) pendekatan yang dilakukan oleh KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara unik, keadaan sosial budaya di daerah itu dan di masa itu (keragaman) dan karena itu, tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai model yang berlaku untuk semua KPH di Indonesia; dan (b) kemampuan ini adalah unik untuk KPH Rinjani tetapi secara umum KPH masih dalam tahap "pembangunan", sehingga peningkatan kapasitas KPH untuk dapat mengelola konflik tetap tinggi untuk dimasukkan dalam agenda.

Page 7: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

5The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Soal No 2: Terbatasnya dukungan pusat/pemerintah daerah dalam sumber pendanaan

Manajer KPH secara hukum diperlukan untuk menghasilkan aksi dan tindakan pengelolaan hutan12. Mereka perlu untuk memimpin organisasi yang juga dapat memberikan keuntungan ekonomi, mengembangkan investasi bisnis yang tepat dalam kawasan hutan yang ditetntukan untuk menciptakan lapangan kerja, memiliki kompetensi dalam perencanaan dan melindungi kepentingan publik, serta efektif menanggapi isu-isu global tentang perubahan iklim saat ini. Untuk berada pada kapasitas seperti itu, pengetahuan tentang strategi pendanaan organisasi menjadi penting untuk memastikan bahwa KPH tetap beroperasi secara berkesinambungan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 oleh Suryandari dan Sylviani me- nguatkan pernyataan tersebut13.

Namun, berdasarkan laporan Kemenhut Tahun 201414, banyak KPH yang secara finansial masih tergantung pada pendanaan anggaran pemerintah pusat (APBN) dan juga sampai batas tertentu, dana pemerintah daerah (APBD). Hal ini menjadi lebih rumit karena beberapa KPH juga melaporkan bahwa dukungan dana yang signifikan dari pemerintah daerah dapat menurun selama periode pemilihan umum tingkat daerah atau nasional dan bahkan penggalangan dana menjadi sia-sia15. Seperti dalam kasus KPH Berau Barat di Kalimantan Timur mereka beruntung untuk dapat meningkatkan sumber pendanaan alternatif. Untuk ta-hun 2013 dan 2014, KPH ini menerima dana tahunan antara Rp 3-5 milyar tapi masih belum cukup untuk KPH beroperasi secara efektif, namun beruntung karena adanya dukungan dana pelengkap yang diterima dari kedua lembaga internasional dan nasional seperti The Nature Conservancy, GIZ FORCLIME Kerjasama Teknis dan Keuangan, Tropical Forest Conservation Act/TFCA Kalimantan Region, dan Corporate Social Responsibility (CSR) dari pemegang konsesi hutan di daerah itu .

Kami memahami bahwa inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah17: 1. Mendirikan Sekretariat Pengembangan KPH untuk meningkatkan koordinasi dalam dan di luar Kemen-

hut, dan Sekretariat tersebut akan mengikuti urusan operasional KPH;

2. Menyelenggarakan program sosialisasi publik tahunan di KPH di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan tingkat kota. Dana tersebut diberikan oleh Kemenhut dan Pemerintah Daerah melalui dana dekon-sentrasi;

3. KPH melakukan koordinasi langsung dengan Pemerintah Daerah;

4. Berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk memberdayakan KPH sebagaima-na diatur oleh Peraturan Mendagri No 61 Tahun 2010 tentang tata kelola organisasi KPH (Kawasan Perlindungan Hutan/Lindung/KPHL) dan KPH (Hutan Produksi Daerah/Produksi/KPHP).

Dokumen Kebijakan Tahun 2011 menyatakan bahwa "... Kontra-produktivitas sering muncul karena lembaga tidak mampu memberikan solusi, peluang investasi atau pengembangan nilai tambah, dan sering menyebabkan biaya transaksi yang tinggi ..."18. Hal yang sama juga dijumpai pada penelitian kebijakan yang dilakukan oleh BAPPENAS19. Masalah ini juga telah disebutkan sebelumnya dan karena itu menunjukkan keterkaitan dengan permasalahan No 1 dengan kemampuan KPH saat ini dalam mengelola konflik atau potensi konflik.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 220:

• Perwakilan KPH mengonfirmasi bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk mendukung KPH berfungsi dengan benar terbatas. Oleh karena itu, sebagai kepala unit, mereka harus tetap efisien dalam menjalankan operasinya dan kreatif dalam mencari pelengkap, juga dukungan pendanaan alternatif untuk melaksanakan kegiatan atau program-programnya. Kedua, mereka menjelaskan lebih jauh dalam menggambarkan tingkat keparahan situasi keuangan KPH. Sebagai contoh, pada Tahun Anggaran 2016/2017, anggaran yang ada hanya cukup untuk biaya operasional, dan tidak untuk kegiatan yang terprogram. Ketiga, mereka mengonfirmasi ketidak- pahamannya mengenai keberadaan Sekretariat Pengembangan KPH, tugas-tugas dalam memastikan pengembangan yang tepat, termasuk menyelesaikan persoalan urusan operasional KPH di Indonesia.

• Demikian pula, para ahli menegaskan bahwa sumber daya pemerintah pusat/daerah untuk men-dukung KPH berfungsi dengan benar juga terbatas. Oleh karena itu, baik Kementerian Kehutanan dan kemudian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyusun kebijakan untuk KPH bertransisi menjadi relatif “independen", baik dari perspektif keuangan atau politik, dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Namun, hal ini masih merupakan proses yang

Page 8: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

6 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

berlangsung dan keberhasilannya juga tergantung pada dukungan penuh dari tiga kementerian terkait: Keuangan, Aparatur Negara, dan Lingkungan Hidup & Kehutanan itu sendiri. Kedua, para ahli juga mencatat adanya kesalahan fungsi (dysfunctionality) dari kementerian dalam mendiri-kan Sekretariat Pengambangan KPH, yang dipertimbangkan untuk memonitor dan membantu dalam pengembangan organisasi KPH di Indonesia. Ketiga, mekanisme perencanaan KPH saat ini melalui Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) perlu diubah: lebih terinte-grasi dengan perencanaan pelayanan dan sistem penganggaran. Saat ini, ada ketidaksesuaian perencanaan antara program kementerian dan informasi penganggaran karena tidak berdasar-kan data RPHJP KPH.

Soal No 3: Insiden hubungan kerja yang kurang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan Kementerian Kehutanan

Kompleksitas hubungan antara KPH dan instansi pemerintah lainnya juga dapat disebabkan karena faktor lain seperti (a) penerapan yang tidak konsisten dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Tata Kelola Organisasi KPH karena berbagai kesiapan dan rendahnya respon Pemerintah Daerah, dukungan dana yang terbatas oleh Pemerintah Daerah, perencanaan program yang kurang harmonis antara KPH dan kantor Dinas Kehutanan Daerah21; dan (b) apabila ada keharusan KPH dibentuk sebagai bagian dari organisasi Pemerintah Daerah, maka keberadaannya akan tergantung pada persetujuan politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, seperti dalam contoh 4 KPH di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur22.

Adanya kebijakan yang berubah juga menimbulkan efek negatif. Seperti perubahan pada UU Nomor 23 tahun 2014, terutama dilihat sebagai penghambat bagi perubahan positif dalam pembangunan KPH. Hal ini memberikan indikasi lain pada akar permasalahan yang diidentifikasi oleh kementerian pemerintah sendiri pada tahun 2011 dan lagi pada tahun 2014 di bawah istilah-istilah seperti: kontra-produktivitas kelembagaan, muatan undang-undang dan peraturan yang bertentangan, pengelolaan hutan di tingkat bawah yang tidak efektif, dan kelembaman (inersia) organisasi.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No 323:

• Para wakil mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun dan menciptakan hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun, masalahnya berulang, tidak hanya KPH dapat terikat kepada pemerintah (elit) politik lokal tetapi juga ditemukan bahwa transisi ke KPH “independen” perlu dipercepat, untuk mengatasi ‘kebi- ngungan status’ yang membatasi operasional KPH dan mobilitas pekerjaan lapangan yang efektif. Kedua, perwakilan juga membahas efek UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana perubahan drastis dari otoritas atas KPH sekarang telah "meresentralisasi" dari Pemerintah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Propinsi. Dalam prakteknya, efek ini bukan hanya tentang laporan otoritas atas atau kepada siapa KPH sekarang harus melaporkan tetapi juga realokasi/redistribusi staf Pemerintah Daerah di KPH.

• Para ahli juga menegaskan dan mendukung pentingnya membangun dan menciptakan hubungan kerja yang harmonis antara KPH dan Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan selanjutnya Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Namun, merkea juga berharap bahwa terlepas dari kehadiran UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ini seharusnya tidak mencegah KPH untuk mempertahankan hubungan baiknya dengan semua instansi pemerintah. Hal ini sangat penting karena seperti yang disebut-kan sebelumnya, KPH merupakan posisi terbaik sebagai simpul untuk manajemen konflik dan koordinasi antar pemangku kepentingan.

Soal No 4: Sinergi Terbatas antara para pelaku dalam kawasan hutan KPH

Sistem KPH awalnya dipahami sebagai cara untuk memperbaiki pengelolaan hutan di lokasi, sementara administrasi kehutanan (yaitu, menetapkan tujuan dan kebijakan yang relevan) adalah tanggung jawab Kementerian Kehutanan (Kemenhut, sekarang ditata ulang sebagai Kementerian Lingkungan Hidup dan

Page 9: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

7The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Kehutanan) dan instansi lain di berbagai tingkat pemerintahan (Kartodihardjo et al., 2011)24. Namun, sistem yang dibuat terpusat ini menambah kompleksitas dalam struktur pengelolaan yang ada, terutama untuk skema kehutanan masyarakat (community forestry). Dampak dari sistem KPH terutama pada administra-si dan manajemen kehutanan masyarakat karena telah menjadi faktor kunci dari desentralisasi tata kelola hutan di Indonesia sejak cepatnya reformasi desentralisasi yang dimulai pada tahun 199825.

Meskipun contoh di KPH Rinjani Kabupaten Lombok Barat dan Utara yang disebutkan di atas tidak melibatkan masalah pada tumpang tindih kepentingan antara skema hutan masyarakat dan orang-orang dari KPH, pendekatan yang dilakukan oleh Kepala KPH dapat dipertimbangkan untuk ditiru/direplikasi untuk semua KPH lainnya. Melalui fasilitasi sinergi antara pelaku, KPH juga mendukung pemeliharaan perdamaian dan ketertiban.

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan Nomor 426:

• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya untuk membangun sinergi antar pelaku pengelolaan hutan di daerah KPH, tetapi perwakilan juga berbagi rasa frustrasi mereka pada peraturan-peraturan yang ada saat ini yang membatasi prospek 'independen' KPH, dan birokra-si yang rumit dalam perijinan bisnis kehutanan menyebabkan hambatan dalam membangun sinergi.

• Sementara itu, para ahli mengamati adanya Konferensi Kepala KPH di Indonesia yang menyatakan KPH akan menjadi titik pusat untuk pengelolaan konflik antar pemangku kepentingan, ini akan mendorong mereka bersinergi. Misalnya, Kepala KPH perlu menerapkan program perhutanan sosial dengan bantuan Kelompok Kerja Kementerian pada Perhutanan Sosial (Social Forestry).

Soal No 5: Evaluasi Kinerja yang Tidak Efektif di Tingkat KPH Pengelolaan Hutan Lestari

Selanjutnya Kementerian Kehutanan menetapkan Model KPH se-Indonesia dengan tujuan untuk (a) untuk melayani sebagai media pembelajaran dalam mendapatkan masukan untuk menyempurnakan konsep, kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sebagai lembaga yang baru dibentuk; (b) sebagai titik acuan bagi lainnya yang akan didirikan KPH; dan (c) sebagai indikator keterbukaan dan dukungan oleh Pemerintah Daerah untuk pendirian KPH.

Pada tahun 2014, Kemenhut telah berhasil membentuk 120 KPH, yang terdiri dari 30 Kesatuan Penge-lolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 81 Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan dukungan Pemerintah Daerah. Berdasarkan penilaian kapasitas organisasi model KPH tersebut, lebih dari 50% dari baik KPH Produksi dan KPH Lindung dianggap dalam kondisi "baik" dan "sangat baik". Meskipun hasilnya tampak menjanjikan, tetapi sebagai dijelaskan di tempat lain dalam makalah ini, tantangan untuk pembangunan KPH di Indonesia selalu ada27.

Tantangan pertama, tentang bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam mengelola KPH. Berdasarkan peraturan saat ini, semua staf dari KPH direkrut berbasiskan pega-wai pemerintah pusat dan daerah. Namun, berdasarkan survei 2012 yang dilakukan oleh Pusat Perenca-naan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan Kementerian Kehutanan (Pusrenbanghut) menunjukkan bahwa hanya 56% dari pegawai yang direkrut secara teknis mampu dalam manajemen kehutanan tingkat nasional, sedangkan di tingkat lokal hanya 44% yang direkrut secara teknis mampu. Tidak ada data yang tersedia tentang keadaan kualitas sumber daya manusia di KPH tapi informasi di atas dapat disimpulkan bahwa KPH juga tidak memiliki kelompok karyawan profesional yang layak28.

Kedua, dilaporkan bahwa profesionalisme proses perekrutan di tingkat pemerintah daerah bagi karyawan KPH dipertanyakan, dan dirusak oleh intervensi eksternal. Misalnya, proses perekrutan untuk menunjuk kepala sebuah KPH terlalu dipengaruhi oleh para pemimpin Pemerintah Daerah dan da-lam satu kasus menciptakan hubungan kerja yang kurang harmonis dengan Kepala Dinas Kehutanan setempat . Ketiga dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, KPH juga masih membutuhkan kapasitas penting dalam mengelola konflik, terutama ketika dihadapkan dan berusaha untuk menyelesaikan perebutan hak yang tumpang tindih di daerah yang lahan atau hutan konsesi berada di lingkupnya29.

Page 10: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

8 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut31:

1. Menyelenggarakan program pelatihan kepemimpinan bagi calon kepala KPH sebanyak 4 angkatan;

2. Menyelenggarakan pendidikan manajemen kehutanan setingkat SLTA (sekolah kejuruan kehutanan); dan

3. Menyelenggarakan program magang bagi lulusan universitas untuk KPH (Program Pascasarjana Universitas Kehutanan).

Pendapat dan pengamatan dari unsur KPH dan Ahli Kehutanan terhadap Persoalan No. 532:

• Para perwakilan mengonfirmasi dan mendukung upaya mengevaluasi kinerja KPH secara efektif. Kedua, banyak usaha yang diperlukan agar terlaksana, terutama untuk membangun metode evaluasi kontekstual karena tidak semua KPH memiliki karakteristik yang sama. Ketiga, metode pelatihan ing-griya (in-house) bisa diubah melalui teknik pembelajaran orang dewasa.

• Sementara itu, para ahli berpendapat bahwa belum ada evaluasi kinerja standar untuk KPH. Lembaga Penilai Independen (LPI) baru-baru ini mengembangkan metode ini. Dua tahun lalu ada tiga proyek percontohan untuk mengevaluasi kinerja KPH yaitu KPH Tasik Besar, KPH Berau Barat, dan KPH Yogyakarta. Kedua inisiatif secara terpisah sedang didanai oleh dua direktorat jenderal di kementerian tetapi alasan mengapa terpisah tidak diketahui.

Meskipun masalah di atas teridentifikasi, Dokumen Kebijakan 2011 juga mencari beberapa analisis hipote-sis tentang pentingnya kehadiran dan peran KPH untuk membuat hutan lestari di Indonesia. Berikut ini adalah ringkasan dan versi adopsi, yang tampaknya menunjukkan bahwa meskipun pembangunan KPH tetap menantang, tetapi konsep KPH juga tetap penting dalam perlindungan sehari-hari hutan Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.

Tabel 1. Peranan KPH dalam Pengelolaan Hutan Lestasi33

PeranTidak adanya KPH:

Konsekuensi (Hipotesis) Adanya Kehadiran KPH: Konsekuensi (Hipotesis)

Perencanaan Hutan dan Tata Guna Hutan

• Lemahnya pengakuan lemah dari pihak lain, mengakibatkan konflik

• Lemahnya kontrol, karena peme-gang izin bertindak sebagai pengelola

• Peningkatan kapasitas penjaminan kawasan

• Kapasitas pengontrolan pelaksanaan dapat ditingkatkan

Perencanaan Pengelolaan Hutan

• Rencana Pusat - Propinsi - Kabupa- ten/Kota tidak terkonsolidasi pada level tapak

• Evaluasi Rencana Kehutanan Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemegang ijin sulit dilakukan

• Rencana dan investasi kehutanan dapat terintegrasi pada level tapak

• Akurasi informasi sumber daya hutan dapat ditingkatkan

Pemanfaatan

• Kontrol atas pemanfaatan hutan dan dan hasil hutan lemah

• Investasi yang membutuhkan kepastian kawasan (bebas konflik) ditanggung oleh pemohon ijin

• Evaluasi pelaksanaan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dilakukan secara parsial; biaya transaksi menjadi tinggi

• Prakondisi penyiapan ijin dapat ditangani oleh KPH

• Jika KPH diperkuat dengan kewenang-an untuk mengevaluasi kinerja IUPHHK, maka KPH dapat mengintegrasikan evaluasi atas ber-bagai kegiatan

• Biaya transaksi dapat diminimalkan

Page 11: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

9The Nature Conservancy - Policy Paper Series

PeranTidak adanya KPH:

Konsekuensi (Hipotesis) Adanya Kehadiran KPH: Konsekuensi (Hipotesis)

Rehabilitasi Hutan dan Lahan

• Hasil Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) tidak terkelola setelah umur 3 tahun

• Kurangnya koordinasi dalam pene-tapan lokasi

• Kejelasan terhadap pengelolaan hasil RHL dan investasi kehutanan lainnya

• Peningkatan kapasitas dalam meng-koordinasikan penetapan lokasi

Perlindungan hutan

• Kegiatan ilegal dan gangguan sumber daya hutan (misalnya, kebakaran, hama, dll) tidak segera terdeteksi

• Deteksi dini dan upaya pencegahan/pemberantasan dapat diintensifkan

Konservasi

• Hingga kini, kegiatan perlindungan dan konservasi telah ditentukan, dan belum ada perkembangan yang signifikan dalam pemanfaatan hutan. Hal ini, antara lain, karena ti-dak adanya hubungan antara hutan produksi dan dua jenis kawasan yang dikelola untuk tujuan perlin- dungan dan konservasi34.

• Jika unit pelayanan teknis (UPT), yang telah mengelola hutan lindung dan hutan konservasi hingga seka-rang menjadi KPH, dan pengintegra-sian hutan produksi diakomodasi di kawasan ini, maka KPH sebagai "fo-rum" pengelola hutan memiliki peran yang lebih besar untuk bermain. Se-jauh ini, terkesan bahwa pengelolaan kawasan konservasi hanya dilakukan oleh Pemerintah pada tingkat mini-mal35.

D. Implikasi Kebijakan

Ada dua implikasi kebijakan dalam mengembangkan KPH. Pertama, mengakui dan mengatasi masalah sistemik. Kedua, menciptakan lingkungan yang memungkinkan KPH untuk berkembang secara profesional.

Mengakui dan Mengatasi Masalah sistemik

Jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan di atas dapat digambarkan sebagai masalah sistemik36. UNDP dalam laporan Hasil Indeks Tata Kelola Hutan 2014 di Indonesia meng- amati bahwa "... transparansi dan integritas dalam pengelolaan hutan sangat penting untuk perbaikan keseluruhan upaya tata kelola sumber daya alam yang lebih luas dan pengelolaan hutan. Hasil Indeks Tata Kelola Hutan untuk 2014 menyoroti bahwa transparansi adalah aspek yang memperoleh skor terendah di semua skala geografis, dengan nilai 34 dari 100. Hal ini memperkuat dukungan pada gagasan diperlukan-nya perbaikan sistemik untuk mencegah kerusakan yang berlanjut pada praktek pengelolaan hutan yang berjalan baik dan untuk dimasukkan kedalam upaya dan mekanisme untuk mengontrol laju deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan praktek korupsi"37.

Berdasarkan laporan kebijakan tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), usaha-usaha sebelumnya untuk perbaikan sistemik telah dilakukan dalam be-berapa waktu yang lalu38. Sejak 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menilai Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan. Banyak masalah dasar yang ditemukan, antara lain: (a) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar sektor; (b) Pembentukan KPH yang tidak optimal dilakukan; dan (c) Tidak adanya, mekanisme manaje-men konflik berbasis hutan yang adil. Selanjutnya, laporan tersebut juga menjelaskan kekhawatiran resmi Komisi melalui surat No. B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013, pada tidak adanya upaya bersa-

Page 12: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

10 The Nature Conservancy - Policy Paper Series©Nick Hall

Page 13: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

11The Nature Conservancy - Policy Paper Series

ma antara instansi pemerintah terkait untuk mengatasi masalah sistemik di sektor kehutanan Indonesia dengan cara yang terintegrasi dan bersinergi. Dalam hal ini, Nota Kesepakatan Bersama tentang "Perce-patan Pengukuhan Kawasan Hutan di Indonesia" yang diatur dan diajukan oleh KPK dan ditandatangani oleh duabelas Menteri dan Lembaga Kuasi-pemerintah, termasuk Menteri Kehutanan39.

Setahun kemudian, KPK mengadakan pertemuan tentang kemajuan pelaksanaan komitmen bersama. Kemajuan dianggap telah mencapai "50%" namun tantangan yang dihadapi tetap sama, antara lain: koordinasi antar lembaga yang lemah, implementasi pelaksanaan pada pemenuhan isi dokumen lebih mengemuka daripada dampak substantif untuk reformasi, keterlibatan publik tidak dioptimalkan, dan rencana aksi yang tidak terfokus pada hal-hal strategis40.

Tidak ada perkembangan yang berarti sejak pertemuan November 2014 menunjukkan perlunya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini untuk menciptakan 'lingkungan yang mendukung' KPH untuk berkembang secara profesional41. Upaya tersebut mungkin tidak perlu besar, namun pendeka-tan kecil tapi cepat untuk membangun atas komitmen bersama dapat menjadi awal untuk menciptakan lingkungan itu. Berikut ini adalah kerangka umum dan panduan praktis, dalam konteks administrasi publik yang merangkum bagaimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat berkontribusi untuk merealisasikan lingkungan yang lebih baik.

Tabel 2. Aspek Kunci Lingkungan Yang Kondusif42

Kategori Faktor Lingkungan

Aspek KondusifIlustrasi Aksi Kondusif Peme-

rintah (Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan) untuk KPH

Ekonomis

• Kerangka kebijakan yang tidak terdistorsi

• Kebijakan investasi yang men-dukung (termasuk keamanan fisik)

• Biaya transaksi yang rendah rendah, komitmen yang kredibel

• Mengurangi rentang birokrasi & regulasi-regulasi yang tidak perlu43

• Mengurangi tarif, hambatan investasi ("tingkat arena yang adil")

Politik

• Sistem demokratis yang men-dukung akuntabilitas, transparansi & tanggap

• Proses yang mendorong partisi-pasi publik, menghormati kontrak sosial & legitimasi negara

• Penegakan hokum (Rule of Law), penegakan kontrak, menghormati hak asasi manusia & hak kepemi-likan

• Menyediakan informasi tersedia secara luas, mempromosikan kebebasan media

• Melimpahkan kekuasaan & sumber daya ke tingkat subnasional pemerintah (daerah)

• Membatasi kekuasaan & pengaruh kepentingan

• Mendukung masyarakat sipil44

• Menjamin independensi peradilan

Administratif

• Kapasitas pelayanan yang efisien• Tingkat korupsi yang rendah• Adanya cek & balances kelem-

bagaan• Desentralisasi• Meritokrasi layanan publik.

• Membatasi penyalahgunaan & korupsi45

• Menciptakan insentif kinerja• Memisahkan ketentuan layanan

ketentuan pembiayaan• Membangun kemitraan lintas

sektoral• Menetapkan sistem monitor &

evaluasi • Meningkatkan koordinasi lintas

instansi & sektor46

Page 14: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

12 The Nature Conservancy - Policy Paper Series©Nick Hall

Page 15: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

13The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Kategori Faktor Lingkungan

Aspek KondusifIlustrasi Aksi Kondusif Peme-

rintah (Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan) untuk KPH

Sosial Budaya

• Hadirnya modal sosial & keper-cayaan

• Toleransi pada keanekaragaman• Norma-norma yang inklusif,

ekuitas & keadilan• Percaya pada nilai & kekuatan

upaya individu

• Mendukung kelompok masyarakat yang terpinggirkan & kurang beruntung, menegaskan aksi pro- kemiskinan, berdasarkan kebutuhan subsidi, jaring pengaman, dll

• Mendorong dialog publik, pengua-tan ikatan sosial & membangun konsensus47

• Mengecilkan politik & kebijakan berbasis etnis

• Mengontrol kekerasan (misalnya hati-hati dalam menanggapi konflik tenure berat)

Sumber Daya

• Kebijakan & investasi di bidang kesehatan, pendidikan, pengem-bangan tenaga kerja, informasi

• Kecukupan pendanaan & kapasi-tas kelembagaan

• Menetapkan kebijakan & insentif yang mendorong investasi swasta & tanggung jawab sosial perusahaan

• Menempatkan sumber daya publik untuk menjamin maksimalisasi po-tensi sosial & ekonomi

E. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pertama, UU Nomor 41 Tahun 1999 dan terutama Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 membuka jalan bagi kepentingan dan peran strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk melindungi hutan kita di tingkat bawah, tetapi perlu banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk perbaikan sistemik. Seperti yang ditunjukkan dalam makalah ini, memang dalam mengatasi akar masalah pembangunan kehutan-an belum memiliki dampak yang cukup besar, dan lima masalah yang teridentifikasi dalam Dokument Kebijakan 2011 kembali menjadi apa yang mungkin disebut sebagai "masalah-masalah laten (nagging problems)".

Dalam hal ini sebelum berakhirnya kabinet presiden saat ini di 2019, kami merekomendasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdepan dalam perbaikan tersebut, dimulai dengan menge-luarkan kebijakan-kebijakan yang disesuaikan dalam rangka mempercepat reformasi sistemik dan penegakan kebijakan tersebut melalui sektor kehutanan dan sektor lain yang terkait erat, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah.

Kedua, posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di garis depan adalah hal yang penting, sebagai entitas pengelolaan hutan sehari-hari di tingkat dasar (tingkat tapak), kami merekomendasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dalam menanggapi Surat Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor B-197/01-30/01/2013 tanggal 23 Januari 2013 tentang mengatasi masalah sistemik di sek-tor kehutanan Indonesia sebagai bagian dari memprofesionalkan KPH.

Oleh karenanya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membentuk komite inde-penden kecil, melaporkan langsung kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam waktu enam (6) bulan, untuk memverifikasi dan mensintesis kemajuan/pencapaian kepemimpinannya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mewakilik sebelas (11) kementerian lainnya/instan-si pemerintah terhadap tiga masalah sistemik utama di sektor kehutanan yang diidentifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK):

(A) Ketidakharmonisan kebijakan dan peraturan antar sektor;

(B) Pembentukan KPH yang tidak optimal; dan

(C) Tidak adanya mekanisme manajemen konflik berbasis hutan yang adil di sektor kehutanan;

Page 16: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

14 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Nick Hall

Page 17: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

15The Nature Conservancy - Policy Paper Series

telah ditangani atau tidak, alasan dan tindak lanjut untuk menyelesaikan masalah ini dalam jangka waktu tertentu. Selanjutnya, hal ini juga akan menjadi kesempatan bagi Komite untuk menyelesaikan empat akar masalah seperti yang diidentifikasi oleh Dokumen Kebijakan Dokumen 2011 di atas.

Komite ini akan terdiri dari para pejabat senior dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, minimal mewakili Direktorat Jenderal Planologi Kawasan Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan dan Produk Ramah Lingkungan, Sekretariat Pengembangan KPH dan Dewan Kehutanan. Pada prinsipnya, semua dokumentasi dan laporan yang dihasilkan oleh komite ini ditujukan pada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang kemudian dapat dengan mudah diakses oleh umum dengan menempatkan-nya di situs resmi kementerian.

Ketiga, sekali lagi dengan posisi strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan di tingkat dasar, kami merekomen-dasikan bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendaknya membangun kerjasama seperti dengan Komisi Pemberantasan Kontra dengan dalam jangka pendek (1 tahun), jangka menengah (5 ta-hun) dan jangka panjang (minimal 10 tahun) sebagai peta jalan untuk KPH yang profesional independen -politis dan finansial- se-Indonesia atau pilihan lain, untuk bersama-sama meningkatkan dan menyempur-nakan peta-jalan pada Dokumen Kebijakan 201148.

Page 18: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

16 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Page 19: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

17The Nature Conservancy - Policy Paper Series

TERIMA KASIH

The Nature Conservancy Indonesia Program mengucapkan terima kasih kepada tim Pengembangan Kebijakan dan pakar yang terlibat dalam membentuk diskusi kebijakan dan pengembangan dokumen kebijakan.

Tim Pengembangan Kebijakan: Dr. Ahmad Derry Habir (Direktur IPMI Case Center), Agus Loekman (Senior Fellow, IPMI), Dr. Asnan Furinto (Doktor Penelitian Dosen Manajemen Binus), Rizal Bukhari (Manager Senior Kebijakan Ke-hutanan Nasional, TNC Indonesia), Wahjudi Wardojo (Penasihat Senior, TNC Indonesia)

Pakar Materi Materi: Dr. Agus Setyarso (Pakar Praktisi dan Kehutanan UPH), Dr. Bramasto Nugroho(Akademisi di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor), Drasoslopino (Direktur KPH-P diKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Haryanto Putro (Ahli Ekologi, Keanekaragaman Hayati, Kebijakan, dan Sertifikasi Hutan) Herlina Hartanto, Ph.D. (Direktur Terestrial, TNC Indonesia), dan Dr. Soetrisno (Ketua Sekretar-iat Nasional Pengembangan UPH untuk Indonesia).

BIBLIOGRAFIDokumen kebijakan

1. Djajono, Ali, Lilit Siswanty, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Forest Management Development Unit (KPH): Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Pengelolaan Kawasan dan Preparasi dari Kawasan Hutan Utiliz asi, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011.

2. Sugiharto, Ed., Strategi Pengembangan KPH Dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia, Direktorat Wilayah Pengelolaan Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan,Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Des bara 2014.

Studi

1. Shaxon, Louise, Josephine Tsui, Synthesising and Presenting Complex Evidence for Policy Making: Experience with Annual Report Cards, April 2016.

2. Shaxon. Louise, Investing in Evidence: Lessons from the UK Department for Environment, Food and Rural Affairs, November 2014.

3. Sahide, Muhammad Alif K., Lukas Giessena, The Fragmented Land Use Administration in Indonesia-Analysing Bureaucratic Responsibilities Influencing Tropical Rainforest Transformation Systems, Land Use Policy, 10 No-vember 2014.

4. Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Peren-canaan Pembangunan Nasional / Bappenas, Maret 2014

5. Kim, Yeon-Su, et.al, Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ Implementation? Forest Policy and Economics, September 2015.

Hukum yang relevan dan Peraturan KPH

1. UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

2. UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah .

3. Peraturan Pemerintah Nomor 44/2004 tentang Perencanaan Hutan.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 dalam hubungannya dengan PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan, dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provin-si dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Kawasan KPH.

8. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan di KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP).

9. Menteri Dalam Negeri Peraturan Nomor 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja KPH Lindung dan KPH Produksi di Daerah.

Page 20: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

18 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Dokumen lainnya

1. The Nature Conservancy, Summary of Observations and Responses from Members to The Nature Conservancy (TNC) Focused Group Discussions on “Forest Management Units: Current Issues and Policy Recommendation for the Ministry of Environment and Forestry” by Heads of Forest Management Units at Hotel Atlet Century, November 23, 2016 and Subject Matter Experts at TNC Office, November 25, 2016.

2. Setyarso, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Menuju Organisasi Yang Profesional Dan Berkelanju-tan, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint)

3. Putra, Haryanto, Sinergi Dukungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Pasca Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint).

4. Drasospolino, Kebijakan Pembangunan KPH di Indonesia: Kondisi Terkini Dan Agenda 5 Tahun Mendatang, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint)

5. Loekman, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Persoalan Utama Terkini Dan Usulan Penyelesiannya, The Nature Conservancy, Januari 2017. (Presentasi Powerpoint).

Page 21: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

19The Nature Conservancy - Policy Paper Series

NOTES1 Kesatuan Pengelolaan Kehutanan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi" Dokumen Kebijakan Tahun 2011, p. 4.2 Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peratur-an Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 3.3 Ibid., P. 18. Selanjutnya, "... dari 120.300.000 hektar hutan negara, hampir setengah (46,5% atau 55.930.000 hektar) tidak dikelola secara intensif. Tiga puluh juta hektar kawasan hutan ini merupakan kewenangan dari Pemerintah Daerah. Hanya 64.370.000 hektar (53,5%) dari hutan yang dikelola cukup intensif. Sebagian besar kawasan hutan yang dikelola secara intensif terdiri dari hutan produksi dengan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), seluas 36.170.000 hektar, dimana 26,2 juta hektar dikelola oleh 324 unit bisnis berdasarkan sistem hutan alam dan 9.970.000 hektar dikelola oleh 229 unit usaha menggunakan sistem hutan tanaman. Dan kelompok hutan konservasi meliputi 28.200.000 hektar di 534 lokasi ". 4 Ibid., P. 19. Selanjutnya, "... Counter-produktivitas sering muncul karena lembaga tidak mampu memberikan solusi, peluang investasi atau pengembangan nilai tambah, dan sering menyebabkan biaya transaksi yang tinggi. Selain itu, kebijakan dan produk peraturan sering tidak sejalan dengan keadaan di lapangan. (p. 19), (b) kelemahan lembaga kehutanan ini juga melemahkan sistem pemerintah untuk melindungi aset sumber daya hutan. Pemerintah Pusat (dan Pemerintah Daerah) cenderung untuk menangani administrasi ijin pemanfaatan hutan ... ".5 Ibid., P. 20. Selanjutnya, "... Pihak berwenang di sektor kehutanan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam PP ini, beberapa Pemerintah Daerah dapat memutuskan apakah menyertakan kehutanan sebagai pilihan administrasi atau tidak (Gambar 3). Peraturan ini membagi sektor kehutanan menjadi 59 sub-sektor ... ". 6 Ibid., P. 20. Selanjutnya, "... Nilai tambah pengolahan hasil hutan dimasukkan sebagai nilai tambah dari industri terkait. Untuk produk dalam bentuk komoditas pertanian, misalnya, dari agroforestry, nilai tambah mereka dihitung untuk sektor pertanian bukan sektor kehutan-an. Sebagian besar manfaat dari hasil hutan non-kayu dan dampak ganda dari konsesi hutan juga tidak sepenuhnya diinventarisasi, dan tidak dihitung ... ". 7 Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 82. 8 Ibid., P. 84.. 9 Sugiharto, Ed., Strategi Pengembangan KPH Dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia, Direktorat Wilayah Pengelolaan Dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Desember 2014, hlm. 83.10 Ibid., P. 82.11 The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di "Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.12 Pasal 8 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 3 tahun 2008. 13 Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 66.14 Ibid.15 Ibid., P. 66.16 Ibid., P. 66.17 Ibid., P. 57.18 Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, hlm. 1919 Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Laporan Akhir, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Maret 2014, hal. 3.20 The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di "Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 201621 Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 67.22 Ibid., P. 68.23 The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di "Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.24 Kim, Yeon-Su, et.al, Indonesia's Forest Management Units: Effective intermediaries in REDD+ Implementation? Forest Policy and Economics, September 2015, p. 3.25 Sahide, Muhammad Alif K., et.al., Kebijakan Desentralisasi sebagai resentralisasi Strategi: Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kehutanan Masyarakat di Indonesia, Internasional Ulasan Kehutanan, Maret 2016, p. 79. Baru-baru ini, telah ada upaya untuk mengenali hutan adat sebagai terpisah dari hutan negara berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012. Hal ini akan membuka pintu baru untuk pengakuan hukum kehutanan masyarakat, tidak hanya hak guna tetapi juga kepemilikan tanah.26 The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di "Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016.27 Sugiharto., Ed., Op.cit., H. 60.28 Ibid., P. 65.29 Ibid., P. 64.30 Ibid., P. 64.31 Ibid., P. 64.32 The Nature Conservancy, Ringkasan Pengamatan dan Tanggapan Anggota Focused Group Discussion The Nature Conservancy (TNC) di "Kesatuan Pengelolaan Hutan: Isu Saat Ini dan Rekomendasi Kebijakan untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan" oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan di Hotel Atlet Century, 23 November, 2016 dan Subject Matter Experts di TNC Office, 25 November 2016

Page 22: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

20 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

33 Diadopsi dari Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, p. 47.34 Ibid., P. 44.35 Ibid., P. 44 36 “A systemic problem is one where some deficiency in the agency’s administrative processes (it ‘system’) is causing or contributing to complaints”, a definition by the Queensland Ombudsman (2004) in Stuhcke, Anita, An Empirical Study on the Systemic Investigations Function of the Commonwealth Ombudsman for 1997-2005, Thesis, The Australian National University, July 2009, p.6.37 Solvberg, Tina, Kristin Devalue, Eds., The 2014 Indonesia Forest Governance Index: Executive Summary, UNDP Indonesia, p. 18.38 Siswanto, Wandojo, et al, Background Study RPJMN Kehutanan 2015-2019: Final Report, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS, Maret 2014.39 Menteri Dalam Negeri; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Keuangan; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Menteri Pertanian; Menteri Kehutanan; Menteri Pekerjaan Umum; Menteri Lingkungan Hidup; Menteri Perencanaan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Kepala Badan Pertanahan Nasional; Kepala Pusat Informasi Geospasial; dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.40 Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK Evaluasi Setahun Perkembangan NKB Kehutanan, http://www.kpk.go.id/id/berita/si-aran-pers/2310-kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb-kehutanan), accessed December 6, 2016.41 “An enabling environment is a set of interrelated conditions – such as legal, bureaucratic, fiscal, informational, political and cultural – that impacts on the capacity of…development actors to engage in development processes in a sustained and effective manner...” (Thindwa, 2001:3 in Brinkerhoff, Derick W., The Enabling Environment for Implementing the Millennium Development Goals: Government Actions to Support NGOs, May 2004, p. 3.)42 Diadaptasi dari Brinkerhoff, Derick W., The Enabling Environment for Implementing the Millennium Development Goals: Government Ac-tions to Support NGOs, May 2004, p. 4.43 Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dan mengeluarkan dua jenis peraturan yang mengatur (a) pencegahan dan pengurangan peraturan yang dikeluarkan (prinsip "untuk setiap 1 peraturan baru, 3 peraturan yang lama harus dicabut") dan (b) pemberdayaan dan memberikan banyak kebebasan bagi pengelola KPH untuk bertindak dalam kepentingan terbaik bagi negara dalam mengelola urusan sehari-hari kawasan hutan yang ditunjuk. Mendorong keputusan cepat tetapi masih menghormati prinsip-prinsip pemerintahan yang baik: transparansi dan akuntabilitas.44 Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin serangkaian acara dialog rutin tingkat nasional dan subnasi-onal (daerah) dengan organisasi masyarakat sipil berbasis nasional dan local tentang isu-isu kontemporer yang dihadapi sektor kehutanan dan lingkungan Indonesia. Tujuan utama dari dialog public ini untuk (a) membuat forum perdebatan yang sehat untuk perbaikan dan implementasi kebijakan oleh aparat pelayanan dan (b) memetakan siapa sedang melakukan apa, bagaimana dan kapan untuk mendukung menyelesaikan isu-isu kontemporer. Dalam hal ini, semua hasil dialog akan dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera, karena laporan tersebut juga akan dapat diakses publik di situs kementerian dan disebarkan secara luas sehingga semua staf KPH mengerti dengan jelas perkembangan saat ini.45 Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dan membentuk sebuah sistem komunikasi berbasis elektronik terpadu, pertukaran data antar lembaga negara diakses untuk pemantauan publik untuk kemajuan kegiatan/program; untuk mendukung proses administrasi publik internal dan eksternal sehari-hari seperti: lisensi/ijin kehutanan dan penanganan kejahatan di sektor kehutanan. Pembangunan sistem transparansi dan akuntabilitas bukan suatu hal baru di Indonesia. Silakan juga mengamati sistem manaje-men e-kasus (e-case management system) di Mahkamah Konstitusi yang meliputi e-kasus sistem pelacakan bagi masyarakat untuk dapat memantau perkembangan kasusnya sebelum dibawa ke mahkamah pengadilan, dan yang paling baru, kasus pertukaran e-data antara Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mencegah terjadinya pelanggaran penahanan-lebih individu di bawah sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam hal ini, kolaborasi yang erat dengan dan pendampingan teknis dari awal oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi adalah paling dianjurkan untuk mencegah upaya pembangunan yang sia-sia.46 Sebagai contoh awal dan membangun saran yang ada pada catatan kaki sebelumnya di atas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memimpin dan mengatur kombinasi (a) dialog rutin informal dan formal, diskusi, pertemuan, retret , dan (b) di tingkat nasional dan tingkat subnasional (daerah), dimana bisa secara sehat melakukan debat terbuka antara aparat antar-kementerian untuk mengatasi masalah strategis saat ini di sektor kehutanan dan lingkungan hidup dan terus melaporkannya kepada menteri senior/koordinator dan/atau Presiden tentang kemajuan atau kegagalannya. Penting untuk dicatat bahwa upaya ini tidak terbatas hanya melayani kehutanan dan sektor lingkungan. Kemajuan atau kegagalan akan mempengaruhi prioritas dari pemerintahan saat ini untuk menciptakan lingkungan yang kondu-sif dalam kemudahan berbisnis di Indonesia.47 Sebagai contoh awal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pertama-tama dapat meningkatkan budaya organisasi, dengan mengkonsolidasikan dokumentasi secara sistematis pengalaman nyata pengelola KPH dalam rangka membangun konsensus dengan masyarakat lokal (mengelola konflik) sebagai bagian dari rutinitas dan wajib mengikuti lokakarya kepemimpinan ing-griya di Kementerian. Tujuan pembaruan lokakarya ini adalah bahwa dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pendekatan kasus yang sebenarnya, akan membantu untuk menyadarkan semua tingkatan pejabat Kementerian (muda, menengah, senior/atas) pada tantangan yang dihadapi oleh pengelola KPH dan bagaimana pejabat dapat memfasilitasi pengelolanya untuk mengelola hutan yang ditunjuk dan lingkungan di Indonesia secara lebih baik.48 Djajono, Ali dan Siswanty, Lilit, Eds, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi, Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Oktober 2011, p. 96. Lihat juga perspektif saat ini pada profesionalisasi KPH di Setyarso, Agus, Kesatuan Pengelolaan Hutan di Indonesia: Menuju Organisasi Yang Profesional Dan Berkelanjutan, Januari 2017. (Presentasi power-point).

Page 23: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

21The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Page 24: Seia Makaa Kebijakan - · PDF filetuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Indonesia. ... Makalah ini memberikan ... penegakan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terhadap akar permasalahan

22 The Nature Conservancy - Policy Paper Series

Yayasan KonservasiAlam Nusantara

Didirikan pada 1951, The Nature Conservancy merupakan organisasi konservasi terkemuka di dunia yang beroperasi di 72 negara. Misi dari The Nature Conservancy adalah melestarikan tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan seluruh makhluk hidup. Kekuatan kami melipu-ti, antara lain:

• Rekam jejak keberhasilan berbagai proyek konservasi laut dan darat skala besar di seluruh Indonesia.

• Pengalaman lebih dari 25 tahun bekerja di lapangan bersama dan melalui kemitraan.

• Kemitraan kuat dengan pemerintah, sek-tor swasta, masyarakat, dan organisasi sipil mulai dari tingkat nasional hingga desa.

Yayasan Konservasi Alam Nusantara adalah afiliasi lokal The Nature Conservancy yang memiliki izin untuk menggunakan tanda dan logo The Nature Conservancy di Indonesia. Misi Yayasan Konservasi Alam Nusantara ada-lah melestarikan tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan seluruh makhluk hidup.

Graha Iskandarsyah Lantai 3 Jalan Iskandarsyah Raya 66C

Kebayoran Baru, Jakarta 12160

Telp : +6221 7279 2043

Fax : +6221 7279 2044

Email : [email protected]

Nature.org/Indonesia

id_nature

@ID_Nature

The Nature Conservancy in Indonesia

ProgramIndonesia