Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

12
1 Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 9, Nomor (2): 153-163. SEGMENTASI DAN INTEGRASI PASAR: STUDI KASUS DALAM SISTEM PEMASARAN BAWANG MERAH Witono Adiyoga, Mieke Ameriana dan Achmad Hidayat Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391 ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Segmentasi dan integrasi pasar: Studi kasus dalam sistem pemasaran bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah segmentasi dan integrasi pasar bawang merah berkaitan dengan pemanfaatan informasi pasar dalam proses determinasi harga. Keragaan pemasaran bawang merah ditelusuri melalui survai ke pasar di sentra produksi Brebes dan pasar utama di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, serta survai penelusuran tataniaga dari Brebes ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta pada bulan September- Desember 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marjin tataniaga bawang merah tergolong fleksibel dan dalam jangka pendek dapat mendorong stabilitas baik harga di tingkat petani maupun bagian petani. Namun, struktur marjin ini ternyata juga memberikan peluang bagi pedagang (terutama pengecer) untuk memperoleh keuntungan berlebih yang dibebankan kepada konsumen. Pengujian hipotesis memberikan indikasi bahwa keragaan pasar bawang merah cenderung berada di antara dua titik ekstrim (segmentasi dan integrasi). Secara implisit, kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemasaran bawang merah masih belum efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar di tingkat lokal. Sementara itu, besaran relatif pengaruh segmentasi dan integrasi pasar yang digambarkan oleh indeks hubungan pasar menunjukkan bahwa Bandung memiliki derajat keterpaduan (dengan pasar acuan Jakarta) yang paling tinggi dibandingkan dengan pasar lokal lainnya. Hasil penelitian ini mengimplikasikan perlunya: (a) perbaikan teknologi pada proses sortasi, grading, pengeringan dan pengepakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar biaya tataniaga dapat dikurangi, dan (b) perbaikan akurasi informasi harga melalui perbaikan metode pengumpulan data dan perhitungan yang lebih teliti (atribut kualitas produk yang berbeda-beda perlu diperhatikan ). Kata kunci: Efisiensi pemasaran; Segmentasi pasar; Integrasi pasar, Informasi harga; Indeks hubungan pasar. ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Market segmentation and integration: A case study in shallot marketing system. The objective of this study was to examine market segmentation and integration, in relation to the utilization of market information that may affect shallot price determination. The performance of shallot marketing was studied through a survey to some markets in Brebes production center, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta and Surakarta, and a road check survey Brebes-Jakarta, from September to December 1997. Results show that the marketing margin is referred to as flexible marketing margin, which in the short term may result in a more stable farm-gate prices and farmer’s share. However, this margin structure also opens the possibility, especially for retailers, to gain excess profit that finally will be passed along to consumers. Hypothesis testing on market segmentation and integration indicates that the shallot marketing system is existed somewhere between the two extremes (segmentation and integration). This implies that shallot marketing system is still inefficient, since price information in reference market has not been fully passed on in proportional terms to local markets. Consequently, market participants are not able to fully utilize reference market price changes in the process of price determination. Further analysis to capture the relative magnitude of the two effects (market segmentation and market integration) shows that Bandung has a smaller index of market connection, implying a greater degree of market integration as compared to other local markets. This study also implies that there is an immediate need to: (a) improve technology in shallot sortation, grading, drying, and packing that can increase labor productivity, so that marketing costs can be reduced, and (b) increase the acuracy of price information through the improvements of data collecting and accounting method (different quality attribute should be considered) Key word: Marketing efficiency; Market segmentation; Market integration, Price information; Index of market connection.

Transcript of Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

Page 1: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

1

Jurnal Hortikultura, Tahun 1999, Volume 9, Nomor (2): 153-163.

SEGMENTASI DAN INTEGRASI PASAR: STUDI KASUS DALAM SISTEM PEMASARAN BAWANG MERAH

Witono Adiyoga, Mieke Ameriana dan Achmad Hidayat Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Perahu 517 Lembang, Bandung - 40391

ABSTRAK. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Segmentasi dan integrasi pasar: Studi kasus dalam

sistem pemasaran bawang merah. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah segmentasi dan integrasi pasar bawang merah

berkaitan dengan pemanfaatan informasi pasar dalam proses determinasi harga. Keragaan pemasaran bawang merah

ditelusuri melalui survai ke pasar di sentra produksi Brebes dan pasar utama di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Surakarta, serta survai penelusuran tataniaga dari Brebes ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta pada bulan September-

Desember 1997. Hasil penelitian menunjukkan bahwa marjin tataniaga bawang merah tergolong fleksibel dan dalam jangka

pendek dapat mendorong stabilitas baik harga di tingkat petani maupun bagian petani. Namun, struktur marjin ini ternyata juga

memberikan peluang bagi pedagang (terutama pengecer) untuk memperoleh keuntungan berlebih yang dibebankan kepada

konsumen. Pengujian hipotesis memberikan indikasi bahwa keragaan pasar bawang merah cenderung berada di antara dua

titik ekstrim (segmentasi dan integrasi). Secara implisit, kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemasaran bawang merah

masih belum efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar di tingkat

lokal. Sementara itu, besaran relatif pengaruh segmentasi dan integrasi pasar yang digambarkan oleh indeks hubungan

pasar menunjukkan bahwa Bandung memiliki derajat keterpaduan (dengan pasar acuan Jakarta) yang paling tinggi

dibandingkan dengan pasar lokal lainnya. Hasil penelitian ini mengimplikasikan perlunya: (a) perbaikan teknologi pada

proses sortasi, grading, pengeringan dan pengepakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja agar biaya tataniaga

dapat dikurangi, dan (b) perbaikan akurasi informasi harga melalui perbaikan metode pengumpulan data dan perhitungan

yang lebih teliti (atribut kualitas produk yang berbeda-beda perlu diperhatikan ).

Kata kunci: Efisiensi pemasaran; Segmentasi pasar; Integrasi pasar, Informasi harga; Indeks hubungan pasar. ABSTRACT. Adiyoga, W., M. Ameriana. dan A. Hidayat. 1998. Market segmentation and integration: A case study in

shallot marketing system. The objective of this study was to examine market segmentation and integration, in relation to

the utilization of market information that may affect shallot price determination. The performance of shallot marketing was

studied through a survey to some markets in Brebes production center, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta and

Surakarta, and a road check survey Brebes-Jakarta, from September to December 1997. Results show that the marketing

margin is referred to as flexible marketing margin, which in the short term may result in a more stable farm-gate prices and

farmer’s share. However, this margin structure also opens the possibility, especially for retailers, to gain excess profit that finally

will be passed along to consumers. Hypothesis testing on market segmentation and integration indicates that the shallot

marketing system is existed somewhere between the two extremes (segmentation and integration). This implies that shallot

marketing system is still inefficient, since price information in reference market has not been fully passed on in proportional

terms to local markets. Consequently, market participants are not able to fully utilize reference market price changes in the

process of price determination. Further analysis to capture the relative magnitude of the two effects (market segmentation

and market integration) shows that Bandung has a smaller index of market connection, implying a greater degree of market

integration as compared to other local markets. This study also implies that there is an immediate need to: (a) improve

technology in shallot sortation, grading, drying, and packing that can increase labor productivity, so that marketing costs can

be reduced, and (b) increase the acuracy of price information through the improvements of data collecting and accounting

method (different quality attribute should be considered)

Key word: Marketing efficiency; Market segmentation; Market integration, Price information; Index of market connection.

Page 2: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

2

Kontribusi pasar produk dalam proses pembangunan pertanian tercermin dari potensinya yang

dapat (a) memberikan panduan/acuan alokasi sumberdaya untuk memaksimalkan nilai produksi dan

kepuasan konsumen, serta (b) mendorong pertumbuhan melalui promosi inovasi teknologi dan

peningkatan penawaran/permintaan. Potensi ini tidak terlepas dari tingkat harga yang tercipta di pasar

produk sebagai titik temu respon partisipan pasar terhadap permintaan dan penawaran. Pada dasarnya,

harga produk merupakan rangkuman dari sejumlah informasi yang menyangkut ketersediaan sumber-

daya, kemungkinan produksi dan preferensi konsumen (Buccola, 1989). Untuk sampai pada tingkat harga

produk tertentu, pasar memberikan fasilitas dalam pengumpulan dan penyebaran informasi di atas, agar

dapat digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomis di masa datang. Walaupun demikian, perlu

diperhatikan bahwa alur kausalitas tersebut hanya dapat terjadi jika pasar mempunyai sifat persaingan

sempurna (tingkat harga yang terjadi merefleksikan biaya produksi sebenarnya). Selanjutnya, jika

konsumsi tidak menimbulkan pengaruh eksternal (positif/negatif) terhadap masyarakat secara umum,

maka melalui pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan ekonomis, pasar akan mendorong

pencapaian alokasi sumberdaya yang optimal (Cochrane, 1967). Dengan demikian, peranan harga

berkaitan erat dengan keragaan pasar sebagai pusat informasi. Khusus untuk sayuran yang memiliki sifat

mudah rusak, pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, sifat dan perilaku pasar sangat diperlukan,

terutama oleh petani produsen.

Sistem pemasaran dikategorikan efisien apabila pasar-pasar yang terlibat dalam sistem tersebut

mendaya-gunakan semua informasi yang tersedia. Dengan kata lain, jika suatu pasar memanfaatkan

informasi harga yang telah terjadi (past prices) secara optimal, maka pasar tersebut dapat dikategorikan

efisien (Leuthold & Hartmann, 1979). Dalam sistem pemasaran, perilaku penjual dan pembeli pada suatu

pasar tertentu selalu dipengaruhi oleh petunjuk harga dan kemungkinan substitusi dari pasar-pasar lain.

Penyebaran dan pemanfaatan informasi antar pasar mengenai komoditas tertentu memungkinkan harga

komoditas bersangkutan bergerak secara bersamaan. Kondisi ini menunjukkan adanya integrasi antar

pasar yang merupakan salah satu indikator sistem pemasaran yang efisien (Heytens, 1986).

Dalam pemasaran bawang merah, khususnya di sentra produksi Brebes, penetapan harga

dilakukan secara tawar menawar dengan mempertimbangkan harga pada tingkat penjual. Unsur

monopoli atau monopsoni tidak teridentifikasi dalam struktur pasar komoditas bawang merah (Institut

Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Sementara itu, penelitian deskriptif yang dilakukan oleh

Koster dan Basuki (1991) menunjukkan adanya kecenderungan (a) kesulitan petani untuk menjual

produknya secara langsung ke pasar pengumpul, (b) pedagang besar yang ada di pasar grosir tidak

memberikan keleluasaan kepada pedagang besar lainnya untuk melaksanakan aktivitas pemasaran di

pasar yang sama, dan (c) bias terhadap petani atau pedagang besar. Secara implisit, penelitian ini

menunjukkan tidak dipenuhinya kriteria free entry (siapa saja dapat terlibat/berpartisipasi) untuk pasar

persaingan sempurna. Terlepas dari kesimpulan struktur pasar yang agak bertentangan antara dua

penelitian di atas (pasar persaingan sempurna vs. pasar yang kurang memenuhi kriteria free entry),

keduanya ternyata belum banyak mengungkap aspek keragaan dari pemasaran bawang merah.

Kontribusi fluktuasi harga bawang merah terhadap tingkat inflasi ternyata cukup signifikan.

Sebagai contoh, pada tahun 1995, kontribusi bawang merah terhadap inflasi mencapai 0,39% (Institut

Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik, 1996). Besaran ini lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi

daging sapi, sayuran maupun minyak goreng. Kontribusi terhadap inflasi yang tercermin dari fluktuasi

harga bawang merah tidak saja disebabkan oleh adanya perubahan/pergeseran penawaran dan

permintaan, tetapi juga dimungkinkan oleh adanya faktor-faktor antara (transient factors). Salah satu

faktor diantaranya adalah perubahan evaluasi informasi pasar yang ditentukan oleh partisipan pasar

setiap saat. Berdasarkan pengamatan perkembangan harga di pasar-pasar kota besar di Jawa Barat dan

Jawa Tengah serta pasar di Jakarta, diduga pasar bawang merah memiliki derajat keterpaduan yang

Page 3: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

3

cukup tinggi, walaupun perkembangan harga di pasar lokal juga cukup berpengaruh terhadap

determinasi harga di pasar bersangkutan. Searah dengan konteks permasalahan yang dihadapi,

penelitian ini bertujuan untuk menelaah segmentasi dan integrasi pasar bawang merah berkaitan dengan

pemanfaatan informasi pasar dalam proses determinasi harga.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah adaptasi dari analisis struktur, perilaku

dan keragaan. Sesuai dengan konteks kajian yang dilakukan, penekanannya adalah pada analisis

keragaan (pendekatan yang digunakan untuk menjembatani struktur formal teori ekonomi dengan

pengamatan empiris) pasar bawang merah. Keragaan pemasaran bawang merah ditelusuri melalui survai

ke pasar di sentra produksi Brebes dan pasar utama di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Surakarta, serta survai telusuran tataniaga (road check survey) dari Brebes ke Pasar Induk Kramat Jati,

Jakarta pada bulan September-Desember 1997. Kajian ini juga memanfaatkan data harga harian untuk

periode Juni-Oktober 1997 dan harga bulanan bawang merah yang mencakup periode 1985-1996.

Dalam analisis ini, harga di pasar Jakarta dianggap sebagai harga pasar acuan karena Jakarta

merupakan daerah konsumsi terbesar.

Penggunaan analisis korelasi bivariat dalam pengukuran integrasi pasar banyak mendapat kritik

karena beberapa penelitian terdahulu (Lele, 1967; Jones, 1968) membuktikan bahwa pendekatan

tersebut dianggap kurang akurat dan mengundang kesalahan interpretasi. Koefisien korelasi yang tinggi

antara dua pasar dapat mengindikasikan tidak adanya hubungan fisik, sedangkan koefisien korelasi yang

rendah dapat saja terjadi antara dua pasar yang memiliki pola hubungan perdagangan kompleks (Harriss,

1979; Heytens, 1986). Menanggapi kritik tersebut, Ravallion (1985) mengembangkan suatu model

dinamis untuk menghindari bahaya inferensial penggunaan model bivariat. Model persamaan regresi

(autoregressive distributed lag model) yang digunakan adalah sebagai berikut:

αi(L)Pit = ßi(L)Pt + θi(L)Xit + µit (1)

Pit = harga di pasar lokal i (Bandung, Semarang, Surakarta dan

Pt = harga di pasar acuan (Jakarta) pada saat t.

Xit = peubah musiman atau lainnya di pasar i pada saat t.

i = 1, 2, ........k. t = 1, 2, ........n.

αi(L), ßi(L) dan θi(L)adalah polinomial dari operator lag (Li Pt = Pt-1 ) dan

didefinisikan sebagai berikut:

αi (L) = 1 - αi 1L - ... - αi nLn.

ßi(L) = ßi0 + ßi1L + ... + ßimLm.

θi (L) = θi0 + θi1L + ... + θinLn.

Persamaan (1) harus dispesifikasi ulang agar memenuhi persyaratan estimasi ekonometrik, sehingga

dapat digunakan secara empiris. Melalui beberapa langkah penyederhanaan, persamaan (1) dapat

dituliskan sebagai berikut:

(Pit - Pit-1) = (αi -1)(Pit - Pt-1) + ßi0(Pt - Pt-1) + (αi + ßi0 + ßi1 - 1)Pt-1 + θi X + µit (2)

Page 4: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

4

Persamaan (2) menunjukkan bahwa perubahan harga di pasar lokal merupakan fungsi dari marjin harga

spasial, perubahan harga di pasar acuan, harga di pasar acuan pada saat t-1 dan karakteristik pasar

lokal. Dari persamaan (2), hipotesis-hipotesis berikut ini dapat diuji: Segmentasi pasar

Hipotesis segmentasi pasar pada dasarnya merupakan dugaan bahwa perubahan-perubahan

harga di pasar acuan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perubahan-perubahan harga di pasar

lokal. Hipotesis tersebut dapat diterima (pasar lokal tertentu dapat dikategorikan tersegmentasi)

seandainya pada persamaan (2):

ßi0 = ßi1 = 0 (3)

Melalui proses substitusi, pengujian proposisi (3) identik dengan menguji inferensi statistik dari

persamaan (4) di bawah ini:

(Pit - Pit-1) = (αi-1)Pit-1 + θiX + µit (4)

Penerimaan terhadap persamaan (4) memberikan indikasi bahwa harga di pasar lokal i hanya tergantung

pada harga di pasar tersebut pada saat t-1 serta karakteristik lainnya.

Integrasi pasar

Pada sistem perekonomian terbuka, kecil sekali kemungkinan adanya suatu pasar yang

sepenuhnya berdiri sendiri dari pasar-pasar lainnya. Secara teoritis, hal ini mengindikasikan bahwa

derajat keterpaduan antar pasar selalu ada, walaupun sangat kecil. Oleh karena itu, hipotesis segmentasi

pasar masih perlu dikonfirmasi oleh hipotesis integrasi pasar. Hipotesis integrasi pasar mensyaratkan

bahwa perubahan-perubahan harga di pasar acuan secara cepat dan utuh direfleksikan pada tingkat

harga di pasar lokal, sehingga:

ßi0 = 1 , ßi(L) = 1 (ßi1 = 0) (5)

αi = 0 (6)

Melalui proses substitusi, pengujian proposisi (5) dan (6) identik dengan menguji inferensi :

Pit = α0 (Pt - Pt-1) + β1 (Pit-1 - Pt-1) + θiX + µit (7)

Jika syarat (5) dan (6) dipenuhi, maka integrasi pasar jangka pendek antara pasar lokal i dan pasar

acuan (untuk satu periode waktu) dapat diterima. Penerimaan hipotesis yang mengakibatkan ßi0 = 1 dan

αi-1 = -1, dapat memberikan indikasi bahwa perubahan harga di pasar acuan pada saat t dan perbedaan

harga antara pasar lokal dan pasar acuan sepenuhnya tergambarkan dalam pembentukan harga di pasar

lokal pada saat t.

Persamaan (2) dapat dimanipulasi lebih lanjut untuk memperoleh indikator integrasi pasar tidak

langsung. Untuk maksud tersebut, notasi koefisien regresi pada persamaan (2) dipersingkat menjadi αi-1

= b1, ßi0 = b2, αi + ßi0 + ßi1 -1 = b3, θi= b4, sehingga:

Page 5: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

5

(Pit - Pit-1) = b1(Pit-1 - Pt-1) + b2(Pt - Pt-1) + b3Pt-1 + b4X + µit (8)

Peubah-peubah pada persamaan (8) kemudian disusun kembali menjadi:

Pit = (1 + b1)Pit-1 + b2(Pt - Pt-1) + (b3 - b1)Pt-1 + b4X + µit (9)

Berdasarkan persamaan (9), Timmer (1985) mengembangkan suatu indeks yang disebut sebagai indeks

hubungan pasar (IHP).

IHP = (1 + b1) / (b3 - b1) (10)

Mengacu pada batasan yang dikemukakan oleh Ravallion (1986), integrasi pasar jangka pendek terjadi

jika b1 = -1 dan IHP = 0. Sementara itu, segmentasi pasar terjadi jika b1 = b3 dan IHP = . Secara umum,

semakin kecil besaran IHP (semakin mendekati nol), maka semakin tinggi tingkat integrasi pasar yang

terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Harga Bawang Merah

Gambar 1 menunjukkan bahwa secara konsisten (dari tahun ke tahun) harga tertinggi bawang

merah terjadi pada bulan Maret, sedangkan harga terendah terjadi pada bulan Agustus-September.

Gambar 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produksi Brebes dan lima kota besar di Jawa

(Monthly shallot prices development at Brebes production center and five big cities in Java)

Perkembangan Harga Bulanan Bawang Merah, 1996

(Shallot Monthly Prices Development, 1996 )

(Rp/kg)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Bulan (Month )

Harga

(Price )

JKT

BDG

SEM

YOG

SUR

BRE

Page 6: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

6

Harga rata-rata bulanan yang terjadi sebenarnya tidak saja mewakili titik temu antara permintaan dengan

penawaran bawang merah dari Brebes, tetapi juga dengan penawaran dari sentra produksi bawang

merah lainnya. Namun demikian, pengaruh penawaran bawang merah dari Brebes tampaknya cukup

dominan dalam determinasi harga di pasar-pasar kelima kota besar yang diteliti. Hal ini terlihat dari

konsistensi perkembangan harga bawang merah terendah/tertinggi antara Brebes dengan kelima kota

besar tersebut. Musim tanam utama bawang merah di Brebes terjadi pada bulan Juni-Juli, sehingga

penawaran pada bulan Agustus-September relatif tinggi, sedangkan pada bulan Februari-Juni relatif

rendah. Berdasarkan asumsi bahwa permintaan bawang merah relatif konstan dalam jangka pendek,

fluktuasi pasokan tersebut mengakibatkan timbulnya fluktuasi harga seperti tergambarkan dalam grafik di

atas. Sementara itu, grafik perkembangan harga bawang merah di Brebes, Jakarta, Bandung, Semarang,

Yogyakarta dan Surakarta tampak relatif paralel. Keadaan ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator

untuk menduga bahwa arus informasi, terutama mengenai harga bawang merah, antar pasar di keenam

lokasi tersebut berjalan cukup lancar.

Marjin Tataniaga Bawang Merah

Marjin tataniaga adalah harga atau nilai dari sekumpulan jasa pemasaran yang harus dikeluarkan

untuk biaya transfer komoditas tertentu dari sisi produksi ke sisi konsumsi (Barker, 1981). Pengeluaran ini

tidak saja berupa pembayaran untuk masukan yang dikeluarkan oleh pelaku pasar dalam melakukan

fungsi pemasaran (biaya tataniaga), tetapi juga porsi keuntungan bagi pemberi jasa tataniaga tersebut.

Secara sederhana, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayarkan konsumen dengan

harga yang diterima produsen. Jika salah satu parameter berubah, maka kedua parameter lainnya juga

turut berubah. Dengan kata lain, marjin tataniaga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh penting

terhadap efisiensi penetapan harga, stabilitas harga di tingkat konsumen, stabilitas harga di tingkat petani

dan bagian petani (farmer’s share).

Besaran marjin rata-rata pada Tabel 1 diperoleh dari pengurangan antara harga di sisi konsumsi

dengan harga di sisi produksi berdasarkan data harian selama lima bulan. Berbeda dengan marjin untuk

keempat tujuan konsumsi lain (Jakarta, Bandung, Semarang dan Yogyakarta) yang besarannya

konsisten dengan jarak ke Brebes, tampaknya terdapat inkonsistensi untuk marjin rata-rata Surakarta

(terendah). Diduga hal ini disebabkan oleh pengaruh pasokan bawang merah dari Jawa Timur yang

berpengaruh terhadap harga yang terjadi di Surakarta selama kurun waktu penelitian (relatif lebih rendah

dibandingkan dengan Semarang dan Yogyakarta).

Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan bahwa besar marjin tataniaga dari hari ke hari atau

dari bulan ke bulan (jangka pendek) cenderung bersifat konstan (Gardner, 1975; Brorsen, 1984),

sehingga disebut sebagai marjin tataniaga yang tidak fleksibel. Marjin yang tidak fleksibel memungkinkan

perubahan harga di sisi konsumsi segera ditransmisikan ke sisi produksi dan perubahan harga di sisi

produksi segera direfleksikan ke sisi konsumsi. Hal ini dalam jangka pendek dapat mengakibatkan

ketidak-stabilan harga di tingkat petani serta bagian yang diterima petani. Sementara itu, data pada Tabel

1 menunjukkan bahwa marjin tataniaga bawang merah dari Brebes ke lima daerah konsumsi selama

bulan Juni-Oktober 1997, ternyata memiliki tingkat keragaman yang tinggi (koefisien variasi > 40%). Dengan kata lain, besaran marjin yang terjadi tidak bersifat konstan. Marjin ini dapat dikategorikan se-

bagai marjin tataniaga yang fleksibel yang besaran atau nilainya secara simultan akan menyesuaikan

dengan adanya perubahan harga di sisi produksi atau sisi konsumsi. - Dalam jangka pendek, mekanisme

marjin tersebut dapat mendorong harga di tingkat petani maupun bagian petani menjadi lebih stabil. Na-

mun, marjin tataniaga fleksibel ini secara implisit menunjukkan bahwa biaya tataniaga yang seharusnya

berhubungan langsung dengan volume fisik komoditas ternyata juga dipengaruhi oleh harga produk.

Page 7: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

7

Tabel 1 Marjin tataniaga rata-rata bawang merah dari Brebes ke Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan

Surakarta berdasarkan data harga harian Juni-Oktober 1997 (Average marketing margin of shallot from

Brebes to Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta and Surakarta respectively based on daily price data

from June to October 1997). n=130.

Kota

(City)

Marjin Rata-rata

(Average Margin) Rp./kg

Standar Deviasi

(Standard Deviation)

Koefisien Variasi

(Coefficient of Variation) %

Jakarta 483, 92 207, 18 42, 81

Bandung 218, 55 191, 12 87,45

Semarang 171, 81 225, 12 131, 03

Yogyakarta 211, 62 197, 55 93, 35

Surakarta 137, 58 197, 16 143,31

Sebenarnya tidak beralasan jika marjin berubah sejalan dengan perubahan harga. Salah satu komponen

marjin adalah biaya tataniaga yang pada dasarnya didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja.

Dalam jangka pendek, upah tenaga kerja ini tidak berubah dengan adanya perubahan harga produk. Hal

ini memberikan indikasi bahwa komponen lain dari marjin tataniaga yang kemungkinan berubah adalah

keuntungan pedagang. Dengan demikian, marjin yang bersifat fleksibel memungkinkan terjadinya

penurunan (pada saat harga di tingkat petani rendah) atau peningkatan (pada saat harga di tingkat petani

tinggi) keuntungan pedagang. Kondisi seperti ini membuka peluang bagi pedagang melakukan tindakan-

tindakan spekulatif yang diarahkan untuk meningkatkan keuntungan. Kenaikan harga produk yang

diakibatkan oleh tindakan spekulatif tersebut akan dibebankan kepada konsumen dan pada akhirnya

dapat mengakibatkan terjadinya inefisiensi pasar.

Survai penelusuran tataniaga memberikan konfirmasi bahwa komponen biaya tataniaga total lebih

besar dibandingkan dengan komponen keuntungan total. Biaya tataniaga terbesar yang dikeluarkan

Tabel 2 Harga, biaya dan keuntungan tataniaga bawang merah berdasarkan survai telusuran tataniaga Brebes-

Jakarta, Desember 1997 (Shallot price, marketing costs and marketing profit based on road check survey

Brebes-Jakarta, Dec. 1997)

Uraian

(Descriptions)

Harga

(Price)

(Rp/kg)

Biaya

(Cost)

(Rp/kg)

Keuntungan

(Profit)

(Rp/kg)

• Harga di tingkat petani (Farm gate price) 1 400

• Biaya tataniaga (Marketing costs)

• Harga di pasar Klampok (Price at Klampok market)

• Keuntungan (Profit)

1 600

125

75

• Biaya tataniaga (Marketing costs)

• Harga di Pasar Induk Kramat Jati (Price at Kramat Jati Central Market)

• Keuntungan (Profit)

1 767

134

33

• Biaya tataniaga (Marketing costs)

• Harga di pasar eceran Jakarta (Price at retail market in Jakarta)

• Keuntungan (Profit)

2 033

80

186

• Total biaya dan keuntungan (Total cost and profit)

• Total marjin (Total margin)

339 294

633

Page 8: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

8

untuk membawa produk dari Brebes ke Jakarta tampaknya cukup beralasan karena transportasi yang

relatif jauh. Namun demikian, biaya ini masih mungkin ditekan (untuk meningkatkan efisiensi) seandainya

selama perjalanan berbagai retribusi informal dapat dihilangkan. Sementara itu, biaya yang cukup tinggi

dari tingkat petani ke pasar Klampok ternyata didominasi oleh pengeluaran untuk tenaga kerja (labor

intensive) penanganan, angkut dan bongkar muat. Keuntungan tataniaga yang paling tinggi terjadi pada

tingkat pedagang pengecer. Menimbang relatif rendahnya biaya tataniaga pada tingkat ini, tampaknya

terdapat indikasi bahwa keuntungan yang diperoleh pedagang cenderung berlebih. Pada tingkat

pengecer, terdapat hubungan antara tingginya keuntungan yang diambil dengan volume transaksi yang

relatif kecil, sebagai upaya pedagang untuk mempertahankan skala ekonomis dari usahanya.

Keuntungan tinggi di tingkat pedagang pengecer yang dibebankan kepada konsumen juga diakibatkan

oleh adanya peluang terbuka dari marjin tataniaga yang bersifat fleksibel. Namun demikian, berbagai

indikasi yang diperoleh dari survai telusuran tataniaga ini belum dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang

bersifat konklusif sebab kegiatan tersebut hanya dilakukan secara cross-section. Indikator-indikator

tersebut dapat digunakan sebagai bahan acuan dan dikonfirmasikan dalam kegiatan survai telusuran

tataniaga yang bersifat serial waktu.

Struktur marjin di atas secara implisit menunjukkan adanya konflik kepentingan antara produsen,

pedagang dan konsumen. Hubungan kausalitas yang tercermin dari formula marjin memberikan

gambaran bahwa usaha untuk meningkatkan kepuasan (melalui peningkatan efisiensi) ketiga pihak di

atas secara sekaligus merupakan hal yang sukar dicapai. Pada kasus di atas terdapat indikasi bahwa

struktur marjin memberikan kepuasan kepada produsen (stabilitas harga) dan pedagang (keuntungan

relatif tinggi), tetapi kurang memberikan kepuasan kepada konsumen (harga relatif tinggi).

Segmentasi dan Integrasi Pasar

Perkembangan harga rata-rata bulanan bawang merah untuk lima kota besar yang diperoleh dari

data serial waktu 1985-1996 pada dasarnya menunjukkan pola musiman yang sama. Oleh karena itu,

peubah boneka karakteristik pasar lokal (yang mencerminkan pola musiman spesifik lokasi) tidak

dimasukkan ke dalam model yang digunakan dalam analisis keterpaduan pasar. Sementara itu,

konstanta (intersep) tetap dimasukkan ke dalam model regresi untuk menangkap perbedaan tingkat

harga diantara kelima kota besar yang diakibatkan oleh variasi jarak ke daerah sumber pasokan. Analisis

segmentasi dan integrasi pasar dalam penelitian ini pada dasarnya memberikan penekanan pada arus

informasi harga bawang merah dari pasar acuan serta pemanfaatannya di pasar lokal.

Tabel 3 memperlihatkan hasil analisis model regresi perubahan harga di pasar lokal berdasarkan

data serial waktu harga harian. Perubahan harga di sentra produksi dan keempat pasar lokal secara

signifikan dipengaruhi oleh marjin harga spasial (perbedaan harga di pasar lokal hari ini dengan harga di

pasar acuan kemarin) dan perubahan harga di pasar acuan (perbedaan harga hari ini dengan harga

kemarin). Harga di pasar acuan yang berlaku hari sebelumnya/kemarin (t-1) ternyata tidak mempengaruhi

perubahan harga bawang merah di sentra produksi maupun di keempat pasar lokal. Hal ini diduga

sebagai akibat dari rendahnya variasi harga harian di pasar acuan. Pemeriksaan kembali data mentah

menunjukkan bahwa harga bawang merah di pasar acuan baru berubah (naik atau turun) setelah > 5

hari. Kontribusi peubah harga ini secara individual tidak tertangkap oleh model, tetapi jika dikombinasikan

dengan peubah harga lainnya, yaitu Pit dan Pt (sebagai Pit - Pt-1 dan Pt - Pt-1 ) maka pengaruhnya

terhadap perubahan harga di pasar lokal menjadi signifikan.

Page 9: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

9

Tabel 3 Hasil analisis regresi harga harian bawang merah dengan perubahan harga di pasar lokal sebagai peubah tak

bebas, n=130 (Regression results of shallot daily price with price change in local market as dependent

variable, n=130)

Peubah tak bebas (Dependent variable):

Perubahan harga di pasar lokal (Change in local price) (Pit - Pit-1)

Brebes Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta

Konstanta (Intercept) 36, 519 101, 97 100, 17 121, 61 63, 201

Marjin harga spasial periode terakhir

(Last period’s spatial price margin) (Pit - Pt-1)

0, 15651

(3, 194)

0, 12287

(3, 049)

0, 07668

(2, 567)

0, 15199

(3, 425)

0, 07968

(2, 466)

Perubahan harga di Jakarta

(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1)

0, 26635

(3, 823)

0, 46197

(5, 985)

0, 55552

(9, 339)

0, 50929

(5, 932)

0, 51525

(9, 232)

Harga di Jakarta periode terakhir

(Last period’s reference price) (Pt-1 )

0, 03021

(0, 666)

- 0, 04837

(- 1, 157)

- 0, 05452

(- 1, 729)

- 0, 05678

(- 1, 273)

- 0, 02526

(- 0, 854)

F 16, 785 39, 159 79, 183 45, 709 72, 117

R2 0, 2855 0, 4825 0, 6534 0, 5211 0, 6320

• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t

values which determine the significance of independent variables at 0.05)

Segmentasi antara pasar lokal dengan pasar acuan diuji melalui inferensi statistik persamaan

regresi yang diperlihatkan pada Tabel 4. Persamaan ini secara implisit telah mempertimbangkan

persyaratan segmentasi pasar, yaitu βi0 = βi1 = 0. Tabel 4 menunjukkan bahwa berdasarkan nilai F

(untuk kelayakan model) dan nilai t (untuk signifikansi peubah) semua persamaan regresi (untuk pasar

sentra produksi dan pasar lokal) dapat diterima secara statistik. Hal ini memberikan indikasi bahwa

perubahan harga di pasar i hanya dipengaruhi oleh harga periode terakhir di pasar bersangkutan.

Dengan kata lain, perubahan harga di pasar acuan (yang dapat diperoleh dari informasi harga) tidak

berpengaruh secara immediate maupun lagged terhadap harga di pasar i , sehingga pasar i dapat dika-

Tabel 4 Hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis segmentasi pasar dengan menggunakan data harga harian

(Regression results for testing the hypothesis of market segmentation by using daily price data, n=130)

Peubah tak bebas (Dependent variable):

Perubahan harga di pasar lokal (Change in local price) (Pit - Pit-1)

Brebes Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta

Konstanta (Intercept) 172, 13 165, 39 132, 79 179, 64 133, 43

Harga di pasar lokal periode terakhir

(Last period’s local price) (Pit-1 )

- 0, 18137

(- 4, 412)

- 0, 13961

(- 3, 838)

- 0, 11612

(- 3, 508)

- 0, 15295

(- 3, 896)

- 0, 12086

(- 3, 670)

F 19, 464 14, 731 12, 309 15, 178 13, 468

R2 0, 1320 0, 1032 0, 0877 0, 1060 0, 0952

• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t

values which determine the significance of independent variables at 0.05)

tegorikan tersegmentasi. Temuan ini perlu diinterpretasikan hati-hati karena walaupun secara statistik

dapat dipertanggung-jawabkan, namun operasionalisasinya di lapangan masih perlu dipertanyakan.

Perkembangan sistem pemasaran, terutama dikaitkan dengan berbagai perbaikan infrastruktur penun-

jang cenderung mengarah pada sistem pasar yang semakin terbuka. Dengan demikian, tampaknya

kurang realistis jika harga yang terjadi pada pasar tertentu tidak dipengaruhi (berdiri sendiri) oleh

perkembangan harga (melalui informasi harga) di pasar lainnya. Konfirmasi mengenai keadaan ini dapat

diperoleh melalui pengujian hipotesis integrasi pasar.

Page 10: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

10

Tabel 5 Hasil analisis regresi untuk menguji hipotesis integrasi pasar dengan menggunakan data harga harian, n=130

(Regression results for testing the hypothesis of short-run market integration by using daily price data, n=130)

Peubah tak bebas (Dependent variable):

Harga di pasar lokal pd saat t (Price in local market at t) (Pit )

Brebes

Bandung

Semarang

Yogyakarta

Surakarta

Konstanta (Intercept) 1123,3 1381, 8 1404, 3 1396, 0 1376, 4

Perubahan harga di Jakarta

(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1)

- 0, 21806

(- 1, 763)

- 0, 17956

(- 1, 314)

- 0, 14280

(- 1, 096)

- 0, 10549

(- 0, 758)

- 0, 18699

(- 1, 412)

Marjin harga spasial pada saat t-1

(Spatial price margin at t-1) (Pit-1 - Pt-1)

0, 42637

(4, 687)

0, 93227

(10,11)

1, 0200

(11, 75)

0, 98944

(10, 18)

0, 93642

(9, 292)

F 11, 057 51, 327 70, 314 52, 543 43, 354

R2 0, 1483 0, 4470 0, 5255 0, 4528 0, 4057

• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t

values which determine the significance of independent variables at 0.05)

Integrasi antara pasar lokal dengan pasar acuan diuji melalui inferensi statistik model regresi yang

diperlihatkan pada Tabel 5. Persamaan ini secara implisit telah mempertimbangkan persyaratan integrasi

pasar, yaitu βi0 = 1 dan αI - 1 = - 1. Berdasarkan uji/nilai F, model regresi untuk semua pasar pada Tabel

5 dapat dikategorikan layak secara statistik. Namun, dari dua peubah bebas yang dimasukkan ke dalam

model ternyata hanya satu yang berbeda nyata, yaitu marjin harga spasial pada saat t-1. Ditinjau dari sisi

kelayakan model, hipotesis integrasi pasar ini dapat diterima. Namun dari sisi signifikansi peubah ternyata

tidak semua informasi (misalnya perubahan harga bawang merah di pasar acuan) yang mewakili kondisi

pasar acuan diteruskan ke pasar lokal. Temuan ini mengindikasikan bahwa integrasi pasar belum terjadi

secara optimal, karena perkembangan harga di pasar acuan tidak sepenuhnya direfleksikan terhadap

harga bawang merah di pasar lokal.

Kedua temuan di atas memberikan gambaran bahwa: (a) disatu sisi, kekuatan pasar/ekonomi

secara umum telah menyebabkan perkembangan harga di pasar acuan tetap tercermin (meskipun belum

optimal) pada tingkat harga bawang merah di pasar lokal, dan (b) disisi lain, tingkat harga bawang merah

di pasar lokal secara dominan masih dipengaruhi oleh perkembangan harga di pasar bersangkutan.

Dengan kata lain, status pemasaran bawang merah sebenarnya cenderung berada di antara dua titik

ekstrim (segmentasi vs. integrasi). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemasaran bawang merah masih

belum efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku

pasar di tingkat pasar lokal dalam proses determinasi harga.

Sampai sejauh mana derajat keterpaduan antara pasar lokal dengan pasar acuan dapat diukur

melalui penggunaan indeks hubungan pasar (IHP) yang dikembangkan oleh Timmer (1985). Agar

dinamika perkembangan pasar dapat ditelusuri secara lebih komprehensif, maka estimasi indeks

hubungan pasar dilakukan dengan menggunakan data yang memiliki cakupan waktu lebih luas, yaitu

data harga bulanan bawang merah 1985-1996. Tabel 6 menunjukkan bahwa harga di setiap pasar lokal

pada saat t secara signifikan dipengaruhi oleh harga di pasar bersangkutan pada saat t-1, perubahan

harga di Jakarta periode terakhir dan harga di Jakarta pada saat t-1. Dalam konteks analisis keterpaduan

pasar ternyata data harga bulanan menghasilkan indikator-indikator statistik (misalnya koefisien

determinasi dan jumlah peubah signifikan) yang lebih baik dibandingkan dengan data harga harian.

Sesuai dengan batasan Timmer (1985), jika besaran indeks semakin mendekati nol, maka derajat

keterpaduan/integrasi pasar lokal i dengan pasar acuan semakin tinggi. Tabel 6 memperlihatkan bahwa

pasar Bandung memiliki derajat keterpaduan yang paling tinggi dibandingkan dengan pasar-pasar lokal

lainnya. Besaran-besaran indeks juga mengindikasikan bahwa jarak pasar lokal ke pasar acuan

Page 11: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

11

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap derajat keterpaduan. Semakin jauh jarak pasar lokal

terhadap pasar acuan, semakin tinggi besaran IHP yang dihasilkan, dan semakin rendah derajat

keterpaduannya.

Tabel 6 Hasil analisis regresi harga bulanan bawang merah dengan harga di pasar lokal pada saat t sebagai peubah

tak bebas dan indeks hubungan pasar, n=144 (Regression results of shallot monthly price with the current

local price as dependent variable and the index of market connection, n=144).

Peubah tak bebas (Dependent variable):

Harga di pasar lokal pada saat t (Price in local market at t) (Pit )

Bandung Semarang Yogyakarta Surakarta

Konstanta (Intercept) 91, 309 0, 25665 3, 5183 1, 6534

Harga di pasar lokal pada saat t-1

(Price in local market at t-1) (Pit-1 )

0, 12248

(3, 203)

0, 11659

(3, 373)

0, 14514

(4, 748)

0, 20562

(2, 473)

Perubahan harga di Jakarta

(Change in the reference price for the same period) (Pt - Pt-1)

0, 96401

(23, 27)

0, 89356

(25, 51)

0, 86191

(26, 63)

0, 86650

(24, 04)

Harga di Jakarta pada saat t-1

(Price in reference market at t-1) (Pt-1)

0, 81331

(8, 888)

0, 70064

(9, 806)

0, 66745

(9, 800)

0, 64007

(9, 056)

F 684, 084 973, 250 1032, 376 887, 261

R2 0, 9361 0, 9542 0, 9588 0, 9500

Indeks Hubungan Pasar (IHP) (Index of Market Connection) 0, 15 0, 17 0, 22 0, 32

• Angka di dalam kurung adalah nilai t yang menentukan signifikasi peubah pada tingkat kepercayaan 0,05. (Figures in parantheses are t

values which determine the significance of independent variables at 0.05)

KESIMPULAN

• Marjin tataniaga bawang merah tergolong ke dalam kategori fleksibel yang besarannya secara

simultan akan menyesuaikan dengan perubahan harga di sisi produksi atau konsumsi. Dalam jangka

pendek, mekanisme marjin tersebut dapat mendorong harga di tingkat petani maupun bagian petani

menjadi lebih stabil. Namun, struktur marjin ini ternyata juga memberikan peluang bagi pedagang

(terutama pedagang pengecer) untuk memperoleh keuntungan berlebih yang dibebankan kepada

konsumen (melalui harga jual lebih tinggi).

• Meskipun tidak optimal, kekuatan pasar/ekonomi secara umum telah menyebabkan perkembangan

harga di pasar acuan tetap tercermin pada tingkat harga bawang merah di pasar lokal. Sementara

itu, tingkat harga bawang merah di pasar lokal secara dominan ternyata masih dipengaruhi oleh

perkembangan harga di pasar bersangkutan. Hal ini memberikan indikasi bahwa keragaan pasar

bawang merah sebenarnya cenderung berada di antara dua titik ekstrim (segmentasi dan integrasi).

Secara implisit, kondisi tersebut menggambarkan bahwa pemasaran bawang merah masih belum

efisien, karena informasi harga di pasar acuan tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh pelaku

pasar di tingkat lokal dalam proses determinasi harga.

• Besaran relatif pengaruh segmentasi dan integrasi pasar yang digambarkan oleh indeks hubungan

pasar (IHP) menunjukkan bahwa pasar lokal Bandung memiliki derajat keterpaduan (dengan pasar

acuan) yang paling tinggi dibandingkan dengan pasar lokal lainnya.

Page 12: Segmentasi Dan Integrasi Pasar_Studi Kasus Dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah

12

• Peluang untuk mengurangi marjin tataniaga dapat ditempuh melalui peningkatan efisiensi biaya

tataniaga, terutama biaya penanganan lepas panen yang masih bersifat manual dan padat tenaga

kerja. Perbaikan komponen teknologi perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga

kerja dalam proses sortasi, pengeringan, pengepakan dan grading. Informasi harga yang diharap-

kan berfungsi sebagai sinyal alokasi sumberdaya bagi pelaku pasar, masih perlu ditingkatkan

akurasinya melalui perbaikan metode pengumpulan data dan perhitungan yang lebih teliti (atribut

kualitas produk yang berbeda-beda perlu diperhatikan ).

DAFTAR PUSTAKA

Ameriana, M., W.G. Koster, dan A. Asgar. 1991. Pemasaran bawang merah: Analisa praktek grading

sebagai dasar untuk standardisasi kualitas. Bul. Penel. Hort., Edisi Khusus, 20(1): 39-48.

Barker, J. W. 1981. Marketing management and the farmer. J. Agr. Econ., 32(2): 355-363.

Brorsen, B. W., W.R. Grant, J.W. Richardson, and L.D. Schnake. 1984. Impacts of price variability on

marketing margin and producer viability in the Texas wheat industry. Western J. Agr. Econ.,

9(2): 342-352.

Buccola, S.T. 1989. Pricing efficiency in agricultural markets: Issues, methods, and results. Western J.

Agr. Econ., 14(1):111-121.

Cochrane, W.W. 1967. The market as a unit of inquiry in agricultural economics research. J. Farm Econ.,

39:21-39

Gardner, B. 1975. The farm retail price-spread in a competitive food industry. Amer. J. Agr. Econ., 57(3):

399-409.

Harris, B. 1979. There is method in my madness or it is vice versa: Measuring agricultural market

performance. Food Res. Inst. Studies. 17(2): 197-218.

Heytens, P.J. 1986. Testing market integration. Food Res. Inst. Studies, 20(1): 34-49.

Institut Pertanian Bogor & Badan Urusan Logistik. 1996. Identifikasi pola ketersediaan dalam hubungan

dengan distribusi, konsumsi dan produksi bawang merah sebagai upaya mengendalikan

kontribusinya terhadap inflasi. Laporan Penelitian Kerjasama Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Urusan Logistik.

Jones, W.O. 1968. The structure of staple food marketing in Nigeria as revealed by price analysis. Food

Res. Inst. Studies. 7(2): 95-123.

Koster, W.G. and R.S. Basuki. 1991. The structure, performance and efficiency of the shallot marketing

system in Java. Internal Comm. LEHRI/ATA-395 No. 35.

Lele, U.J. 1967. Market integration: A study of sorghum prices in West India. J. Farm Econ., 49: 147-159.

Leuthold, R.M. and P.A. Hartmann. 1979. A semi strong form evaluation of the efficiency of the hog

futures market. Amer. J. Agr. Econ., 67(4): 482-489.

Ravallion, M. 1985. The performance of rice markets in Bangladesh during the 1974 famine. The

Economic Journal, 53(4): 474-486.

Ravallion, M. 1986. Testing market integration. Amer. J. Agr. Econ.. 88(1): 102-109.

Timmer, C. 1985. Corn marketing and the balance between domestic production and con-sumption.

Working Paper no. 14, Bulog-Stanford Corn Project.