Sebuah Renungan Dari Tuhan

4
SEBUAH RENUNGAN DARI TUHAN Oleh : Mahardika Lintangsari Sudah hampir dua jam tetapi ia masih duduk bersimpuh, tangannya menengadah, dan dari matanya yang mungil itu telah keluar bepuluh-puluh ribu tetesan air mata. Gemelut hati yang tengah berkecambuk itu sepertinya telah membuat pendengarannya tuli, pasalnya hujan badai dan gemuruh petir yang tengah menerpa biliknya saat itu sama sekali tidak ia hiraukan. Rupanya ia sedang merenungkan segala perbuatan yang telah ia lakukan kepada orang-orang yang dikasihinya, terutama UMI. Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya sehingga ia tiba-tiba merenungkan hal itu, yang jelas semenjak ia pergi merantau ke kota orang untuk melanjutkan pendidikannya ia menjadi seseorang yang rapuh. Bagaimana tidak? Ia yang notabene adalah orang rumahan kini harus rela mengorbankan waktu istirahatnya hanya sekedar untuk membeli makanan. Tidak hanya itu, ia pun harus pandai-pandai untuk mengelola jatah bulanan yang diberikan oleh UMInya. Kerasnya dunia luar membuat dia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Dia merasa bersalah karena saat ia masih tinggal bersama keluarganya banyak sekali waktu yang ia buang sia-sia untuk pergi bersama teman-temannya, menonton televisi, ataupun sibuk dengan laptopnya. Semua waktu ia pergunakan hanya untuk mengibur hatinya sendiri dan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa keberadaannya di samping kedua orang tuanya sangatlah dibutuhkan.

description

cerpen

Transcript of Sebuah Renungan Dari Tuhan

Page 1: Sebuah Renungan Dari Tuhan

SEBUAH RENUNGAN DARI TUHAN

Oleh : Mahardika Lintangsari

Sudah hampir dua jam tetapi ia masih duduk bersimpuh, tangannya menengadah, dan

dari matanya yang mungil itu telah keluar bepuluh-puluh ribu tetesan air mata. Gemelut hati

yang tengah berkecambuk itu sepertinya telah membuat pendengarannya tuli, pasalnya hujan

badai dan gemuruh petir yang tengah menerpa biliknya saat itu sama sekali tidak ia hiraukan.

Rupanya ia sedang merenungkan segala perbuatan yang telah ia lakukan kepada orang-orang

yang dikasihinya, terutama UMI.

Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya sehingga ia tiba-tiba merenungkan hal itu,

yang jelas semenjak ia pergi merantau ke kota orang untuk melanjutkan pendidikannya ia

menjadi seseorang yang rapuh. Bagaimana tidak? Ia yang notabene adalah orang rumahan

kini harus rela mengorbankan waktu istirahatnya hanya sekedar untuk membeli makanan.

Tidak hanya itu, ia pun harus pandai-pandai untuk mengelola jatah bulanan yang diberikan

oleh UMInya.

Kerasnya dunia luar membuat dia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Dia

merasa bersalah karena saat ia masih tinggal bersama keluarganya banyak sekali waktu yang

ia buang sia-sia untuk pergi bersama teman-temannya, menonton televisi, ataupun sibuk

dengan laptopnya. Semua waktu ia pergunakan hanya untuk mengibur hatinya sendiri dan

untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa keberadaannya di samping

kedua orang tuanya sangatlah dibutuhkan.

Kerut-kerut diwajah orang tuanya yang ia lihat sebelum ia berangkat menuju

perantauan membuatnya menyadari akan semua kesalahannya. Saat itu ia ingin sekali

memutar waktu agar ia bisa memperbaiki segala keegoisannya. Dia memang egois!

MEMANG EGOIS! Ia tidak pernah mempunyai waktu untuk keluarganya yang senantiasa

ada di sampingnya hingga waktu terus menerus memakan umur mereka.

Tangisnya kian meledak ketika ia teringat saat UMInya sedang ingin bercengkrama

dengannya, tetapi ia menolaknya karena urusan organsasi. Oh Tuhaannn ... dia sangat merasa

bersalah, jangankan mempunyai waktu untuk membantu UMInya mencuci pakaian, mencuci

piring, ataupun hal lain, mendengarkan cerita UMInyapun ia tidak memiliki waktu.

Page 2: Sebuah Renungan Dari Tuhan

Iapun semakin terisak saat melihat barang-barang yang berada di dalam kamar kosnya.

Ia menjadi teringat akan dirinya yang senantiasa penuh tuntutan. Tuntutan yang apabila tidak

terpenuhi akan menyulut api amarahnya. Ia tidak tersadar bahwa tuntutan yang selalu ia

berikan membuat kedua orang tuanya harus memutar otak hingga 360 derajat. Ia hanya

mengetahui satu, jia ia ingin A ya harus ada A, jika tidak maka ia akan marah besar kepada

kedua orang tuanya.

Banyak hal yang dikorbankan oleh kedua orang tuanya, namun dulu semua itu terasa

tidak nampak olehnya. Ia juga merasa bersalah kepada ABI karena ditengah segala fasilitas

yang diberikan ABI, ia tidak bisa mewujudkan keinginan ABInya yang ingin melihatnya

menjadi dokter. Rasa malas belajar, dan keinginannya untuk terus bermain menutupi segala

keinginan dan harapan kedua orang tua yang sangat mengasihinya.

Dulu baginya ABI bak seorang monster karena keproktektifannya. Ia dulu merasa tidak

nyaman akan sikap ABInya itu. Ia merasa sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri.

Untuk itulah ia sering terlibat cekcok dengan ABInya yang sesungguhnya hanya

menginnginkan putri kecilnya aman dari jahatnya dunia di masa ini.

Namun kini ia telah merasakan betapa berharganya keberadaan mereka di dalam

kehidupannya. Rasa kehilangan sangat ia rasakan, karena ketika ia butuh seseorang untuk

berkeluh kesah tak ada satu orangpun yang dengan tulus mendengarkannya. Ketika ia

menginginkan suatu hal ia harus kubur dalam-dalam keinginannya itu karena ia harus

menghemat uang yang ia miliki sekarang. Ketika ia harus pulang malam karena ada rapat

organisasi ia harus berjalan pulang sendiri dengan perasaan was-was, serta banyak hal

lainnya yang ia rasakan di kota asing ini.

Di tengah kepiluannya meratapi segala kesalahan yang pernah ia lakukan kepada kedua

orang tuanya, di hatinya terselip sebuah api kecil yang siap meletup menjadi kobaran api

yang besar untuk membanggakan kedua orang tuanya. Dia berjanji akan berubah menjadi

seseorang yang lebih dewasa dan berjanji akan membawa kedua orang tua mereka naik ke

atas panggung untuk menyaksikan ia diwisuda dengan nilai cumlaude.