s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

22
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al 2 O 3 .5SiO 2 .nH 2 O. Bentonit berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%) merupakan mineral montmorillonit. Mineral montmorillonit terdiri dari partikel yang sangat kecil sehingga hanya dapat diketahui melalui studi mengunakan XRD (X-Ray Diffraction). Struktur montmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugus- gugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al 3+ dapat digantikan oleh Mg 2+ , Fe 2+ , Zn 2+ , Ni + , Li + dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al 3+ untuk Si 4+ pada tetrahedral dan Mg 2+ atau Zn 2+ untuk Al 3+ pada oktahedral menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay, hal ini diimbangi dengan adsorpsi kation di lapisan interlayer (Alemdar, et. al., 2005).

Transcript of s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

Page 1: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bentonit

Bentonit adalah clay yang sebagian besar terdiri dari montmorillonit

dengan mineral-mineral minor seperti kwarsa, kalsit, dolomit, feldspars, dan

mineral minor lainnya. Montmorillonit merupakan bagian dari kelompok smectit

dengan komposisi kimia secara umum (Mg,Ca)O.Al2O3.5SiO2.nH2O. Bentonit

berbeda dari clay lainnya karena hampir seluruhnya (75%) merupakan mineral

montmorillonit. Mineral montmorillonit terdiri dari partikel yang sangat kecil

sehingga hanya dapat diketahui melalui studi mengunakan XRD (X-Ray

Diffraction). Struktur montmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari

dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida oktahedral. Pada

tetrahedral, 4 atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur.

Empat ikatan silikon terkadang disubtitusi oleh tiga ikatan alumunium. Pada

oktahedral atom alumunium berkoordinasi dengan enam atom oksigen atau gugus-

gugus hidroksil yang berlokasi pada ujung oktahedron. Al3+

dapat digantikan oleh

Mg2+

, Fe2+

, Zn2+

, Ni+, Li

+ dan kation lainnya. Subtitusi isomorphous dari Al

3+

untuk Si4+

pada tetrahedral dan Mg2+

atau Zn2+

untuk Al3+

pada oktahedral

menghasilkan muatan negatif pada permukaan clay, hal ini diimbangi dengan

adsorpsi kation di lapisan interlayer (Alemdar, et. al., 2005).

Page 2: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

6

Gambar 2.1 Struktur Monmorillonit (Othmer, 1964)

Adanya atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur

montmorillonit memungkinkan air atau molekul lain masuk di antara unit lapisan.

Akibatnya kisi akan membesar pada arah vertikal. Selain itu karena adanya

pergantian atom Si oleh Al menyebabkan terjadinya penyebaran muatan negatif

pada permukaan bentonit. Bagian inilah yang disebut sisi aktif (active site) dari

bentonit dimana bagian ini dapat menyerap kation dari senyawa-senyawa organik

atau dari ion-ion senyawa logam.

2.1.1 Tipe Bentonit dan Pemanfaatannya

Berdasarkan pada sifat penyerapan dan sifat katalis yang dimiliki oleh

bentonit, bentonit banyak digunakan dalam berbagai aplikasi industri sebagai

adsorben pestisida, adsorben kotoran binatang, katalis dan penunjang katalis,

bahan pemucat (bleaching earth) dalam industri minyak sawit dan berbagai

industri farmasi. Penggunaan ini didasarkan oleh ketersediaan bentonit yang ada

di alam.

Page 3: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

7

Di alam, bentonit terdiri atas dua jenis, yaitu natrium bentonit dan kalsium

bentonit yang keduanya dapat dibedakan dari sifat mengembang (swelling) bila

dicelupkan ke dalam air.

1. Natrium bentonit

Memiliki kemampuan mengembang delapan kali lipat bila dicelupkan ke

dalam air dan membentuk suspensi kental setelah bercampur air dengan pH

8.5 - 9.8. Dapat dimanfaatkan sebagai pengisi (filler), lumpur pemboran,

bahan pencampur dalam pembuatan cat, bahan baku farmasi dan sebagainya.

2. Kalsium bentonit

Kurang mengembang bila dicelupkan ke dalam air dan suspensinya memiliki

pH 3 - 7. Kalsium bentonit digunakan sebagai bahan pemucat warna

(bleaching earth) pada industri minyak sawit, zat pemisah pada pengilangan

minyak bumi, perusahaan bir dan sebagainya.

2.1.2 Sifat Fisik dan Kimia Bentonit

Dalam keadaan kering bentonit mempunyai sifat fisik berupa partikel

butiran yang halus berbentuk rekahan-rekahan atau serpihan yang khas seperti

tekstur pecah kaca (concoidal fracture), kilap lilin, lunak, plastis, berwarna

kuning muda hingga abu-abu, bila lapuk berwarna coklat kekuningan, kuning

merah atau coklat, bila diraba terasa licin, dan bila dimasukan ke dalam air akan

menghisap air. Sifat fisik lainnya berupa :

massa jenis : 2,2-2,8 g/L

indeks bias : 1,547-1,557

titik lebur : 1330-1430oC

Page 4: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

8

Bentonit termasuk mineral yang memiliki gugus aluminosilikat. Unsur-

unsur kimia yang terkandung dalam bentonit diperlihatkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi Kimia Bentonit

Senyawa Na-Bentonit (%) Ca-Bentonit (%)

SiO2 61,3-61,4 62,12

Al2O3 19,8 17,33

Fe2O3 3,9 5,30

CaO 0,6 3,68

MgO 1,3 3,30

Na2O 2,2 0,50

K2O 0,4 0,55

H2O 7,2 7,22

Sumber: Puslitbang Tekmira, 2002

Partikel bentonit bermuatan negatif yang diimbangi dengan kation yang

dapat dipertukarkan dan terikat lemah (Na, Ca, Mg, atau K). Adanya kation yang

dapat dipertukarkan ini memungkinkan bentonit memisahkan logam berat dari air,

dan juga memisahkan senyawa organik kationik melalui mekanisme pertukaran

ion.

2.1.3 Organobentonit

Bentonit yang dimodifikasi (bentonit termodifikasi) oleh senyawa organik

disebut sebagai organobentonit. Organobentonit adalah bentonit yang menyerap

molekul kation dari senyawa-senyawa organik. Ada banyak pemanfaatan yang

diperoleh dengan disintesisnya organobentonit. Pestisida dan makanan hewan

merupakan sebagian kecil dari pemanfaatan organobentonit (Othmer, 1964).

Page 5: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

9

Penambahan kation organik yang berasal dari garam organik dapat pula

menghasilkan organobentonit yang memiliki sifat tertentu (Walid, et al., 2003).

Salah satu sifat yang merupakan suatu hal yang penting dalam pembentukan

organobentonit adalah kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik.

Dengan kestabilan termal yang dimiliki oleh garam organik yang selanjutnya

digunakan untuk memodifikasi sifat bentonit, diharapkan akan terbentuk bentonit

termodifikasi atau organobentonit yang memiliki kestabilan termal yang tinggi.

Salah satu sifat yang menarik dari bentonit adalah memiliki kemampuan

menyerap kation tertentu yang selanjutnya diubah menjadi kation lain dengan

menggunakan suatu pereaksi ion tertentu. Reaksi pertukaran kation ini terjadi

pada bagian sisi dari unit struktur silika aluminat sehingga tidak merubah struktur

mineral dari bentonit.

Pertukaran kation adalah reaksi reversibel dengan transfer energi rendah

dari ion antara fasa padat dan fasa cair. Metode pertukaran kation banyak

digunakan pada proses-proses yang berkaitan dengan tanah, seperti pada

pemisahan mineral tanah, adsorpsi nutrisi tanah, pemisahan senyawa elektrolit,

dan untuk mempertahankan pH tanah. Proses pertukaran kation menyebabkan

terjadinya netralisasi dari muatan negatif koloid tanah melawan muatan kation.

Kation berikatan dengan permukaan koloid melalui ikatan Van-der-Waals.

Gerakan kation pada permukaan koloid tidak terlalu kaku, tetapi karena ada energi

panas yang mempengaruhi gerakan dan menyebabkan lebih mudah bergerak dari

permukaannya, seperti gerakan belahan yang memberikan kombinasi khusus dari

ion dan permukaan koloid. Ada dua tipe permukaan, pertama yang sukar terikat

Page 6: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

10

sehingga sulit terjadi pertukaran atau fixed cation dan yang kedua adalah tidak

terlalu sukar untuk berikatan sehingga terjadi pertukaran kation.

Gambar 2.2 Kation yang mengalami pertukaran dan tidak mengalami pertukaran

Pertukaran kation terjadi ketika ion ( ) berada dalam suatu larutan,

kemudian bergerak ke daerah belahan kation pada permukaan ( ), sehingga

terjadi proses pertukaran kation (Gambar 2.3.a). Namun apabila ion yang ada pada

permukaan terlalu sulit untuk mengalami pertukaran kation, maka pertukaran

kation tidak akan terjadi (Gambar 2.3.b).

Page 7: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

11

Gambar 2.3 Mekanisme Pertukaran Kation

Harga kapasitas pertukaran kation dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

jenis mineral, pH larutan, jenis kation, dan konsentrasi mineral. Ada beberapa

penyebab yang mengakibatkan bentonit memiliki kapasitas pertukaran kation

yaitu:

1. Karena adanya ikatan yang terputus disekeliling sisi silika-alumina sehingga

menimbulkan muatan yang tidak seimbang, dan untuk menyeimbangkannya

kembali diperlukan penyerapan kation.

2. Terjadinya substitusi alumina bervalensi tiga didalam kristal bentonit.

Proses pertukaran kation terjadi bersamaan dengan proses swelling dari

bentonit. Pada saat bentonit berada pada lingkungan air, maka ion-ion positif akan

meninggalkan matrik bentonit. Karena molekul air bermuatan polar maka molekul

air akan tertarik pada matrik bentonit dan kation akan terlepas dari bentonit.

Apabila terjadi proses balik yaitu penarikan kation oleh bentonit, molekul air yang

Page 8: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

12

bermuatan positif akan tertarik menuju bentonit. Sehingga terjadi proses

mengembang dari bentonit yang lebih dikenal dengan sebutan swelling.

2.2 Cairan Ionik

Sejalan dengan makin kuatnya tuntutan dunia industri atas penyediaan

material baru yang handal, aman, dan ramah untuk berbagai keperluan, maka

perhatian komunitas sains internasional pada penggunaan cairan ionik sebagai

generasi baru pelarut green, material elektrolit, dan fluida teknik pada tahun-tahun

terakhir ini nampak semakin besar (Earle, et al., 2000; dan Brennecke, et al.,

2001). Sebagai elektrolit, cairan ionik digunakan pada baterai, proses pelapisan

logam dan sistem sensor (Blomgren, 2003; Bhatt, 2003; dan Buzzeo, et al., 2004).

Penggunaan cairan ionik sebagai pelarut green dapat ditemukan pada sintesis

kimia, katalisis dan biokatalisis (Olivier, et al., 2002; Vidis, et al., 2005; dan

Miao, et al., 2005). Pada bidang teknik proses, cairan ionik digunakan sebagai

fluida teknik seperti sebagai cairan pengemban panas, pelumas, pemodifikasi

organik dan kristal cair (Blake, et al., 2002; Ye, et al., 2001; Merrigan, et al.,

2000; Walid, et al., 2004; Hollbrey, 1999; dan Gordon, 1998).

2.2.1 Sejarah Cairan Ionik

Sejarah dari cairan ionik bermula dari laporan pertama pada tahun 1914

melalui preparasi etilammonium nitrat, [EtNH3]+[NO3]

-. Garam ini dibentuk dari

penambahan asam nitrat ke dalam etilamin, kemudian didestilasi untuk

menghilangkan air yang terkandung dalam garam tersebut agar garam yang

dihasilkan berupa garam murni berbentuk cair pada temperatur ruangan.

Page 9: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

13

Kebanyakan cairan ionik dibentuk dari kation yang tidak mengandung proton

asam, dan kation-kation yang umum digunakan adalah kation-kation imidazolium,

komplek polikationik amina, alkilammonium, benzotriazolium, dan sebagainya.

Pada akhir abad 1940, Frank Hurley dan Tom Weir di Rice Institute Texas

mengemukakan bahwa mereka mampu membuat semacam garam yang cair pada

suhu mendekati suhu ruangan. Mereka mencampurkan bubuk garam organik yang

dipanaskan, alkilpiridinium klorida, dengan garam aluminium klorida lain dan

menemukan bahwa kedua bubuk tersebut tercampur secara cepat dan membentuk

cairan tidak berwarna yang disebut sebagai cairan ionik.

2.2.2 Definisi Cairan Ionik

Cairan ionik adalah material yang hanya terdiri atas spesies ionik (kation

dan anion), tidak mengandung molekul netral tertentu, dan mempunyai titik leleh

relatif rendah, terletak pada suhu < 100-150 oC, walaupun umumnya pada suhu

kamar (Hagiwara, et al., 2000). Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang

biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan

ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif

lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Cairan

ionik mempunyai rentang cair yang sangat lebar; tidak menguap (non volatile);

tidak terbakar (non flammable); stabilitas panas, kimia, dan elektrokimia yang

tinggi (dalam beberapa kasus mempunyai stabilitas termal sampai 400 °C); nilai

tekanan uap yang dapat diabaikan; kemampuan melarutkan banyak senyawa

organik dan anorganik; serta sifat kedapatlarutan (miscibility) yang beragam

dengan pelarut air dan pelarut organik (Davis, et al., 2003).

Page 10: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

14

Sistem kation pada cairan ionik umumnya merupakan kation organik

dengan sifat ruah, seperti P-alkilposfonium, N-alkil-piridinium, S-alkilsulfo-nium,

N-alkilpirolidinium, N,N-dialkilpirazolium dan N,N-dialkilimidazolium (Olivier,

et al., 2002). Perhatian terbesar fokus riset selama ini diarahkan pada kation N,N-

dialkilimidazolium, karena begitu beragamnya sifat fisikokimia yang dapat

disediakan (Olivier, et al., 2002). Bank data dari Royal Society of Chemistry

(RSC), American Chemical Society (ACS), dan publikasi dari Elsevier

menunjukkan hal ini. Dari sekitar 83 publikasi RSC pada tahun 2002 yang

berkaitan dengan cairan ionik, 74-nya menyangkut garam imidazolium, dan

persentase yang sama didapatkan dari data publikasi pada ACS dan Elsevier

(Davis, et al., 2003).

2.2.3 Jenis - Jenis Cairan Ionik

Pada umumnya kation cairan ionik merupakan kation organik yang ruah

seperti diperlihatkan pada gambar 2.4.

N

C2

N

R2

R1

+

[NRXH (4-X)]+

[PRXH (4-X )]+

[SRXH (3-X)]+

N

R

+ N

R1

R2

+

S

N

R3

R4+

R2

R1

N

NN

R3

R2

R4

R5

R1

O

N

R3

R4+

R2

R1

N

N

R3

R2

R4

R5

R1

Amonium Sulfonium Posfonium

Imidazolium Pyridinium Picolinium Thiazolium

Triazolium Oxazolium Pyrazolium

+ +

Gambar 2.4 Beberapa Jenis Kation Cairan Ionik

Page 11: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

15

Sedangkan anion yang paling utama digunakan berupa spesi poliatomik

anorganik, biasanya PF6-, sebuah anion yang dipasangkan pada cairan ionik yang

akan stabil terhadap air, hidrofobik. Anion PF6- dan BF4

- mungkin merupakan

anion yang selalu digunakan pada penelitian cairan ionik. Anion lain yang sering

digunakan diantaranya adalah triflouroasetat ([CF3CO2]-), heksafluoro antimonat

([SbF6]-), nitrat ([NO3]

-), tosilat ([OTs]

-), triflat ([OTf]

-), bromida (Br

-), klorida

(Cl-), iodida (I

-), perklorat ([ClO4]

-), germanium klorida ([GeCl3]

-),

bis(trifluorometil-sulfonil) imida ([NTf2]-), dialuminium heptaklorida ([Al2Cl7]

-),

aluminium tetraklorida ([AlCl4]-), asetat ([CH3CO2]

-), benzoat ([C6H5CO2]

-), dan

sebagainya.

2.2.4 Sifat – Sifat Cairan Ionik

Cairan ionik bersifat konduktif dan memiliki tekanan uap yang sangat

rendah dibandingkan garam ionik biasanya. Sifat-sifat ini sangat berbeda dengan

material lainnya dan sangat unik. Sebagian besar cairan ionik memiliki kestabilan

termal yang tinggi, tidak mudah terbakar, rentang cair yang lebar, dan yang paling

disukai adalah kemampuannya sebagai pelarut untuk berbagai senyawa. Banyak

reaksi kimia seperti reaksi Diels-Alder dan reaksi Friedel-Crafts dapat

menggunakan cairan ionik sebagai pelarutnya. Belakangan ini, cairan ionik dapat

digunakan sebagai pelarut dalam proses biokatalisis. Kemampuannya bercampur

dengan air ataupun pelarut organik bergantung pada variasi panjangnya rantai

alkil pada kation ataupun mengganti berbagai jenis anionnya, oleh karena itu

cairan ionik sering disebut sebagai tailor made solvents. Cairan ionik dapat pula

Page 12: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

16

difungsikan sebagai asam, basa atau ligan, dan sebagai garam prekursor dalam

preparasi senyawa karben.

Sifat kestabilan termal dan titik leleh dari cairan ionik bergantung pada

komponen penyusunnya (kation dan anion). Sebagai contoh, kestabilan termal

untuk betain bis(trifluorometansulfonil)imida terprotonasi sekitar 534 K

sedangkan N-butil-N-metil pitolidinium bis(trifluorometansulfonil)imida berkisar

diatas 640 K.

2.2.5 Toksisitas Cairan Ionik

Berhubung sifatnya yang non-volatil (tidak mudah menguap), sehingga

penggunaan cairan ionik sangat efektif dalam mereduksi komponen atau

kontaminan yang lepas ke lingkungan. Cairan ionik memiliki dampak yang kecil

terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, sehingga cairan ionik dinobatkan

sebagai green chemistry. Adapun untuk menentukan sifat toksisitas ini digunakan

nematoda yaitu Caenorhabditis elegans. C. Berbagai macam cairan ionik diamati.

[C4mim]Cl tidak memberikan efek merugikan terhadap C. Elegans dengan

konsentrasi 1-5 mg/mL. Selain itu juga didapatkan bahwa [C4mim]Cl bukan racun

akut.

2.2.6 Aplikasi Potensial Cairan Ionik

Banyak sekali penggunaan cairan ionik dalam proses kimia. Beberapa

diantaranya akan diuraikan pada bagian ini.

2.2.6.1 Reaksi Kimia

Cairan ionik dapat digunakan dalam reaksi hidrogenasi, hidroformilasi,

isomerisasi, dimerisasi, alkilasi, reaksi Diels-Alder, dan reaksi koupling Heck-

Page 13: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

17

Suzuki. Beberapa dari kajian tersebut bisa didapatkan dari review Welton (1999),

dan banyak lagi (Seddon, 1999). Para peneliti menemukan bahwa kecepatan

reaksi dan selektivitasnya menjadi lebih baik dengan digunakannya cairan ionik

sebagai pelarut ketimbang pelarut organik konvensional. Bahkan ditemukan juga

cairan ionik yang digunakan dalam reaksi biokatalisis. Kemudian juga digunakan

sebagai katalis homogen. Katalis homogen memiliki selektifitas yang lebih baik

dari pada yang heterogen, tetapi pemisahannya selalu menjadi masalah. Namun

dengan cairan ionik akan lebih mudah memisahkannya karena pelarut ini tidak

mudah menguap.

Cairan ionik juga bisa digunakan sebagai kontrol reaksi, menstabilkan

kepolaran dalam reaksi. Banyak senyawa, baik polar maupun nonpolar, larut baik

dalam cairan ionik (Blanchard dan Brennecke, 2001). Hal itu yang membuat

cairan ionik berpotensi digunakan dalam reaksi multifasa menjadi hanya dalam

satu fasa. Semua hal di atas adalah alasan-alasan yang mendukung cairan ionik

digunakan sebagai pelarut.

2.2.6.2 Pemisahan Cairan

Pengaturan kation, anion dan substituennya bisa digunakan untuk

merancang kelarutan senyawa dalam cairan ionik. Hal ini bisa digunakan dalam

pemisahan cairan. Konsep ini disampaikan oleh Fadeev dan Meagher (2001),

yang memisahkan alkohol dari media fermentasi.

2.2.6.3 Elektrolit/Sel Bahan Bakar

Cairan ionik memiliki sifat-sifat yang menarik sehingga bisa diterapkan

dalam baterai atau sel bahan bakar, termasuk juga jendela elektrokimia dengan

Page 14: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

18

konduktivitas tinggi dan operasi pada rentang suhu luas, serta konstanta dielektrik

yang rendah.

Kemudian juga kesukaran menyala dan ketidak-mudahan menguap

membuatnya aman. Terapan ini adalah yang paling banyak diteliti tentang cairan

ionik. Beberapa peneliti meneliti penggunaan cairan ionik dan gel polimer –

elektrolit cairan ionik, baterai lithium-cairan ionik dan juga penggunaan sebagai

sel fotovolta.

2.2.6.4 Pelumas

Ditemukan bahwa cairan ionik bisa melapisi logam, polimer dan

permukaan anorganik. Dengan kestabilan pada suhu tinggi maka cairan ionik bisa

digunakan sebagai pelumas pada proses suhu tinggi dan atau tekanan rendah.

Namun baru sedikit peneliti yang mengaplikasikan cairan ionik sebagai pelumas.

2.2.6.5 Fluida Penghantar Panas

Karakteristik dari fluida penghantar panas adalah rentang cair yang besar

dan kestabilan termal yang baik. Beberapa cairan ionik, contohnya garam

dialkilimidazolium, memiliki karakteristik itu. Lalu, cairan ionik memiliki potensi

untuk bersaing dengan fluida penghantar panas yang berbasis organik sintesis atau

senyawa berbasis silikon yang ada dipasaran. Parameter penting dalam fluida

penghantar panas adalah bilangan Prandtl, contohnya rasio viskositas kinematik

sampai difusitas termal. Bedasarkan hasil pengukuran menunjukkan bahwa

kapasitas kalor cairan ionik sama dengan minyak hidrokarbon dan pelarut organik

konvensional (contohnya 1-2 Jg-1

K-1

). Tetapi secara umum kerja dari kapasitas

Page 15: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

19

kalor harus didukung konduktivitas termal, korosifitas, toksisitas, kecepatan

dekomposisi sebagai fungsi temperatur dan efek ketidakmurnian (seperti air).

2.2.6.6 Cairan Ionik sebagai Pemodifikasi Organik

Cairan ionik bisa juga digunakan sebagai pemodifikasi organik.

Pemodifikasi organik cairan ionik ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan

pemodifikasi-pemodifikasi yang lainnya. Hal ini dikarenakan sifat dari cairan

ionik dapat disesuaikan dengan mengubah struktur kation dan anionnya. Sifat-

sifat cairan ionik seperti sifat termal, kestabilan elektrokimia, daya hantar ionik,

dan kekentalan bisa diatur tergantung dari kation maupun anion yang

menyusunnya.

Pemodifikasi organik biasa digunakan untuk memodifikasi bentonit secara

organik. Pada sistem ini, pemodifikasi dengan rantai alkil panjang dapat terikat

bagian ujungnya pada permukaan bentonit melalui interaksi gaya Coulomb

dengan layer yang bermuatan negatif (Hackett dkk., 1998).

2.2.7 Pemodifikasi Organik Berbasis garam Fatty Imidazolinium

Kation N-kuartener berbasis amonium yang selama ini digunakan sebagai

pemodifikasi organik mempunyai banyak kelemahan karena mengalami

dekomposisi pada suhu sekitar 200 °C, jauh di bawah suhu pemrosesan

kebanyakan nanokomposit polimer-silikat yakni pada suhu di atas 250 oC (Wang,

et al., 2003). Didasari oleh stabilitas termalnya yang rendah, peneliti dan praktisi

dewasa beralih pada kation dari cairan ionik seperti kation imidazolium

tersubstitusi yang memiliki kestabilan termal relatif lebih tinggi (Kato dan Usuki,

2000). Kation imidazolium juga mudah untuk dimodifikasi strukturnya, sehingga

Page 16: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

20

akan didapatkan beragam struktur dengan beragam sifat hidrofobisitas dan

kompatibilitasnya dengan polimer (Wang, et al., 2003).

Kation imidazolinium 2 mempunyai struktur dan fungsi yang sangat mirip

dengan kation imidazolium 1, berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 dan

adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar imidazolium. Garam imidazolinium ini

dapat disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi, 2006; Tyagi, et al., 2007) dan

pada penelitian ini akan digunakan sebagai pemodifikasi organik yang memiliki

sifat fisikokimia (terutama stabilitas termal) yang unggul untuk pemrosesan

nanokomposit polimer-silikat.

Gambar 2.5 Struktur Kation Imidazolium 1 dan Imidazolinium 2

2.3 Nanokomposit

Tuntutan membuat segala sesuatu menjadi ringan dan kuat adalah hal yang

wajar di era teknologi seperti saat ini. Misalnya, tuntutan menghasilkan mobil

berbobot ringan. Hal ini mendorong produsen komponen mencari material baru

Page 17: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

21

yang lebih ringan dari logam, tapi memiliki kekuatan lebih baik. Untuk itu,

material komposit dipandang sebagai alternatif pengganti material logam karena

bobotnya sangat ringan tetapi superkuat.

Bidang material nanokomposit akhir-akhir ini mendapat perhatian serius

dari para ilmuwan. Berbagai penelitian pun terus dilakukan, mengacu pada ide

yang sangat sederhana, yaitu menyusun sebuah material yang terdiri atas blok-

blok partikel homogen dengan ukuran nanometer.

Hasil penelitian tersebut sungguh mengejutkan. Sebuah material baru lahir

dengan sifat-sifat fisis yang jauh lebih baik dari material penyusunnya. Hal ini

memicu perkembangan material nanokomposit di segala bidang dengan

memanfaatkan ide yang sederhana itu.

Salah satu contoh yang terkenal dan terjadi dengan sendirinya di alam

adalah tulang. Tulang memiliki ’’bangunan’’ nanokomposit yang bertingkat-

tingkat, yang terbuat dari tablet keramik dan ikatan-ikatan organik. Partikel-

partikel nanokomposit tersebut memiliki struktur, komposisi, dan sifat yang

berbeda-beda. Hal ini memberikan fungsi yang beragam.

Dengan demikian, material ini menjadi multiguna, yang pada akhirnya

didapatkan material baru yang memiliki beberapa fungsi dalam waktu sama dan

dapat digunakan dalam beberapa aplikasi.

Dari sinilah para ilmuwan mulai memikirkan berbagai cara untuk

memperoleh material nanokomposit, karena material tersebut memiliki beberapa

keunggulan dibandingkan dengan material konvensional.

Page 18: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

22

Kata komposit memiliki pengertian luas dan berbeda-beda, mengikuti

situasi dan perkembangan bahan itu sendiri. Gabungan dua atau lebih bahan

merupakan suatu konsep yang diperkenalkan untuk menerangkan definisi

komposit. Meski demikian, definisi ini terlalu umum. Pasalnya komposit

merangkum semua bahan termasuk plastik yang diperkuat dengan serat, logam

alloy, keramik, kopolimer, plastik berpengisi, atau apa saja campuran dua bahan

atau lebih untuk mendapatkan bahan baru.

Sedangkan nanokomposit dapat dianggap struktur padat dengan dimensi

berskala nanometer yang berulang pada jarak antarbentuk penyusun struktur yang

berbeda. Material-material dengan jenis seperti itu terdiri atas padatan anorganik

yang tersusun atas komponen organik.

Selain itu, material nanokomposit dapat pula terdiri atas dua atau lebih

molekul anorganik/organik, dalam beberapa bentuk kombinasi dengan pembatas

antarkeduanya minimal satu molekul atau memiliki ciri berukuran nano.

Contoh nanokomposit yang ekstrim adalah media berporos, koloid, gel,

dan kopolimer. Ikatan antarpartikel yang terjadi pada material nanokomposit

memainkan peran penting dalam peningkatan dan pembatasan sifat material.

Partikel-partikel yang berukukuran nano itu mempunyai luas permukaan interaksi

yang tinggi. Makin banyak partikel yang berinteraksi, makin kuat pula material.

Inilah yang membuat ikatan antarpartikel makin kuat, sehingga sifat mekanik

materialnya bertambah. Namun penambahan partikel-partikel nano tidak

selamanya akan meningkatkan sifat mekaniknya. Ada batas tertentu yang mana

saat dilakukan penambahan, kekuatan material justru makin berkurang. Aplikasi

Page 19: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

23

baru kemajuan kini telah mendorong peningkatan permintaan bahan komposit.

Perkembangan iptek mulai menyulitkan bahan konvensional seperti logam untuk

memenuhi keperluan aplikasi baru.

Bidang angkasa luar, perkapalan, otomotif, maupun industri pengangkutan

merupakan contoh aplikasi yang memerlukan bahan-bahan yang memiliki density

rendah, tahan karat, kuat, kokoh, dan tegar. Pembuatan material nanokomposit

dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang mudah dan

kompleks. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan simple mixing.

2.4 Nanokomposit Polimer-Silikat

Nanokomposit adalah kombinasi antara beberapa material dengan

perbedaan sifat pada skala nanometer. Nanometer (nm) adalah satu per seribu juta

meter. Sebagai perbandingan, satu helai rambut manusia berukuran 80 nm, sel

darah merah berukuran sekitar 7 nm dan molekul air berukuran 0,3 nm

(Kornmann, et al,. 1998; Xie, et al,. 2003). Kajian tentang skala nano berada pada

rentang 100 nm sampai dengan ukuran atom (0,2 nm). Pada skala tersebut sifat

dari suatu material akan sangat berbeda dengan material pada skala yang lebih

besar.

Beberapa meterial dengan sifat-sifat tertentu dapat dipadukan manjadi

suatu material yang memiliki sifat tertentu. Berbagai macam material yang

dipadukan memiliki sifat yang unik, seperti meningkatnya kestabilan termal dan

meningkatnya sifat mekanik. Pada umumnya perubahan sifat yang terjadi pada

proses pembentukan nanokomposit adalah sifat kimia dan sifat fisika. Ada

Page 20: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

24

beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan suatu nanokomposit

yaitu interkalasi lelehan, interkalasi in situ, dan eksfoliasi atau adsorpsi.

(Aphiwantrakul, et al,. 2005).

Polimer nanokomposit merupakan paduan polimer dengan sejumlah kecil

material yang berada pada rentang ukuran nanometer. Polimer nanokomposit

disintesis dengan tujuan meningkatkan sifat penghalang (terhadap gas oksigen

misalnya), tahan terhadap api, dan meningkatkan kekuatan mekaniknya. Sifat-sifat

tersebut dapat diaplikasikan dalam penggunan panel listrik, material pelapis pada

kendaraan-kendaraan mewah (Kornmann, et al,. 1998), barang-barang elektronik

(Xie, et al,. 2003; dan Mohanty, et al,. 2007)), bahan bangunan, serta dalam

industri pengemasan.

Salah satu polimer nanokomposit yang sangat menarik yaitu nanokomposit

polimer-silikat. Nanokomposit polimer-silikat telah dikenal sebagai salah satu dari

material teknik yang sangat menarik karena memiliki sifat yang unik. Sifat dasar

nanokomposit seperti sifat mekanik dan sifat termalnya dapat ditingkatkan

melebihi sifat polimer murninya. Pembentukan nanokomposit polimer-silikat

dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis utama yang didasarkan pada perbedaan

dispersi bentonit di dalam matriks polimer seperti diperlihatkan pada gambar 2.6.

Page 21: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

25

Gambar 2.6 Morfologi dari Mikrokomposit, Nanokomposit Tereksfoliasi, dan

Nanokomposit Terinterkalasi

Tipe yang pertama adalah komposit konvensional (Gambar 2.6.a), dimana

bentuk dari komposit ini berupa lapisan–lapisan bentonit yang membentuk suatu

kumpulan mikropartikel atau taktoid. Tipe yang kedua adalah nanokomposit

terinterkalasi (Gambar 2.6.c). Dalam tipe ini jarak lapisan dalam dari lapisan

bentonit diperluas oleh penyisipan polimer ketika lapisan bentonit tersebut masih

memiliki sifat asalnya. Tipe yang terakhir yaitu nanokomposit tereksfoliasi

(exfoliated nanocomposite) (Gambar 2.6.b). Tipe nanokomposit ini merupakan

lapisan bentonit yang dilepaskan sebagai suatu lapisan individu dan tersebar

secara acak dalam matriks polimer.

Silikat

Berlapis Polimer

Polimer Polimer

a. Mikrokomposit b.Nanokomposit Eksfoliasi c Nanokomposit Interkalasi

Page 22: s_d0451_0607036_chapter2(1).pdf

26

Untuk menghasilkan suatu nanokomposit polimer-silikat yang memiliki

kestabilan termal yang tinggi, diperlukan silikat yang telah termodifikasi. Salah

satu modifikasi silikat untuk menghasilkan silikat termodifikasi dengan kestabilan

termal yang tinggi yaitu menggunakan pemodifikasi organik yang juga memiliki

kestabilan termal yang tinggi (Walid, et al, 2003).