SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar...

20
1 SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam Mendidik Calon Dalang yang Berbudi Pekerti, Studi Deskriptif tentang Proses Pendidikan Dalang untuk Anak-Anak di Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar) Yestha Fajar Pahlevi Chatarina Heny Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract In the past, shadow puppet or Wayang known as an effective medium in both transmitting a message and teaching the values of noble character to the audiences especially in Indonesia. However, today's condition forces Dalang, the puppet master to take advantage of the Wayang performances becomes more tend as a entertaining shows rather than a guide of life. Based on this terms, Mudjiono, one of the Wayang activists in Solo try to maintain the character building aspects of the Wayang performances by creating Padepokan Sarotama, an informal Dalang school that educate the early age to become the next generations Dalang. Padepokan Sarotama now lies in Ngringo villages, Njaten, Karanganyar, Central Java. Mudjiono hopes that his efforts would answer the needs of Wayang performances according to the today's society without eliminate the elements of character buildings. This documentary movie consists of 3 sections separated in 5 sequences. The first section is the Opening section that consist of sequence 1 and 2, then the Content sections is in sequence 3, and Concluding sections that consist of sequence 4 and 5. The Opening section describes the history and development of the Wayang in general, and the purpose of Padepokan Sarotama's establishment. Content section contains opinions and views on the system and methods of teaching in the Padepokan Sarotama in 3 viewpoints, the founder, the participant, and the experts. The concluding section describe the expectations, hope, and the means of the Sarotama's name. Padepokan Sarotama expected to be an alternative solutions in developing the Wayang performance of the new approach by conducting the Dalang from the educational aspect. Since the introduction of traditional arts like Wayang from the early ages are not only effective in improving the culture and traditional cognition, but also in building a moral character for its participants. Keywords: Wayang Performances, Dalang school, Sarotama, Character building

Transcript of SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar...

Page 1: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

1

SAROTAMA

(Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono dalam Mendidik Calon Dalang

yang Berbudi Pekerti, Studi Deskriptif tentang Proses Pendidikan Dalang

untuk Anak-Anak di Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan

Jaten, Kabupaten Karanganyar)

Yestha Fajar Pahlevi

Chatarina Heny

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

In the past, shadow puppet or Wayang known as an effective medium in

both transmitting a message and teaching the values of noble character to the

audiences especially in Indonesia. However, today's condition forces Dalang, the

puppet master to take advantage of the Wayang performances becomes more tend

as a entertaining shows rather than a guide of life. Based on this terms, Mudjiono,

one of the Wayang activists in Solo try to maintain the character building aspects

of the Wayang performances by creating Padepokan Sarotama, an informal

Dalang school that educate the early age to become the next generations Dalang.

Padepokan Sarotama now lies in Ngringo villages, Njaten, Karanganyar, Central

Java. Mudjiono hopes that his efforts would answer the needs of Wayang

performances according to the today's society without eliminate the elements of

character buildings.

This documentary movie consists of 3 sections separated in 5 sequences.

The first section is the Opening section that consist of sequence 1 and 2, then the

Content sections is in sequence 3, and Concluding sections that consist of

sequence 4 and 5. The Opening section describes the history and development of

the Wayang in general, and the purpose of Padepokan Sarotama's establishment.

Content section contains opinions and views on the system and methods of

teaching in the Padepokan Sarotama in 3 viewpoints, the founder, the participant,

and the experts. The concluding section describe the expectations, hope, and the

means of the Sarotama's name.

Padepokan Sarotama expected to be an alternative solutions in developing

the Wayang performance of the new approach by conducting the Dalang from the

educational aspect. Since the introduction of traditional arts like Wayang from the

early ages are not only effective in improving the culture and traditional

cognition, but also in building a moral character for its participants.

Keywords: Wayang Performances, Dalang school, Sarotama, Character building

Page 2: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

2

Pendahuluan

Kehidupan masyarakat Indonesia seakan tidak pernah lepas dari wayang.

Disebutkan dalam penggalan buku seri Indonesian Heritage dalam bab tentang

Performing Arts bahwa begitu banyak jenis wayang yang pernah hidup atau

masih bertahan hidup di Indonesia. Semenjak awal diciptakan, pertunjukan

wayang kulit merupakan sebuah bentuk komunikasi yang artinya proses

menyampaikan pesan dari komunikator yang dalam hal ini disebut sebagai dalang

kepada audiens yang merupakan para penonton dari pertunjukan wayang. Melalui

serangkaian pemaknaan audiens akan simbol-simbol tertentu, pesan-pesan dalam

pertunjukan wayang tersebut diselipkan melalui plot-plot cerita, dialog-dialog

antar tokoh pewayangan dalam suatu peristiwa dan dalam tembang-tembang yang

diiringi oleh gamelan sebagai musik latarnya. (Hastjarjo, 2012)

Pertunjukan wayang dianggap berhasil bila fungsinya sebagai tuntunan

dan tontonan dapat tersajikan secara seimbang. Artinya, tidak ada yang menonjol

salah satu. Tuntunan, mengarah pada fungsi paedagogis (pendidikan), sedangkan

tontonan, menunjuk pada arah sebagai sosok karya seni yang mengandung nilai

estetis. Pengamat pedalangan STSI Surakarta, Bambang Murtijasa mengatakan

bahwa seluruh cerita wayang itu sendiri merupakan tuntunan budi pekerti. Dengan

kata lain, ruh wayang adalah budi pekerti. Tuntunan budi pekerti terdapat dalam

keseluruhan misi pakem wayang sehingga eksistensi wayang sekarang dan

mendatang sangat tergantung dari kelangsungan muatan nilai budi pekerti yang

diejawantahkan dalam lakon yang dibawakan dan dipagelarkan oleh sang dalang.

(Yuliantoro, 2012)

Namun pada masa kini, unsur tontonan cenderung semakin mendominasi

pertunjukan wayang. Tuntutan kebutuhan masyarakat di era modern mendorong

terjadinya pergeseran makna dan tujuan dari pagelaran wayang dari ketika awal

mula diciptakan. Jika dahulu wayang digunakan untuk sebagai media pemujaan,

ekspresi sastra, dan dakwah, kini wayang cenderung beralih pada konteks hiburan

dan media pengangkat status sosial. Salah satu bentuk hiburan yang populer

disisipkan dalam rangkaian pagelaran wayang adalah adanya bagian limbukan.

Dimana dalam sesi tersebut dilakukan atraksi-atraksi hiburan, humor dan dagelan

Page 3: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

3

yang seringkali tanpa sedikitpun membahas mengenai konten lakon yang sedang

dipagelarkan sebelumnya. Hal tersebut juga terlihat ketika pagelaran wayang

mempertontonkan interaksi antara sinden dan dalang yang terjadi seolah-olah

tanpa batasan. Bahkan, seringkali sang dalang dengan para sinden menggunakan

guyonan yang sifatnya porno, jorok, dan terkadang melintasi batas-batas

kesopanan dalam norma masyarakat. Nilai-nilai budi pekerti seolah menjadi

diabaikan dan hanya menjadi tempelan-tempelan demi mengejar formalitas.

Perkembangan ini tentunya tak terlepas dari peranan dalang sebagai sentral

dalam pagelaran wayang. Oleh karena itu peran dalang menjadi sentral dalam

pagelaran wayang. Tak hanya sebagai sumber penyampai pesan, dalang juga

memiliki andil besar dalam proses penyusunan pesan. Proses pemikiran sang

dalang akan nampak dari performa dalang dalam mementaskan pagelaran wayang,

dan pada akhirnya menjadi salah satu indikator utama apakah pesan dalam cerita

atau lakon yang dibawakan dapat tersampaikan atau tidak kepada para audiens.

Disini, peran dalang menjadi lebih daripada seorang seniman atau penyampai

cerita saja, namun lebih pada seorang pemikir dan figur publik yang menjadi

sumber rujukan mengenai nilai-nilai yang terkandung dan dilanggengkan dalam

kehidupan sosial.

Perkembangan pagelaran dalang pada masa kemudian sangat bergantung

pada proses kelahiran para dalang. Disinilah proses pendidikan mengambil peran

yang sangat penting. Pendidikan dalam arti luas bukanlah sebuah proses tunggal

atau kegiatan rutin yang dilakukan di kelas-kelas, melainkan proses panjang yang

berkesinambungan melalui interaksi dengan lingkungan yang berujung pada

proses pembentukan identitas diri seorang manusia.

Kondisi tersebut membuat Mudjiono meluangkan waktunya mendirikan

Padepokan Seni Sarotama sebagai wadah untuk berkreasi dan menjadi ajang

belajar bagi anak-anak yang berminat dan ingin mempelajari seni pedalangan.

Masa kanak-kanak selain merupakan masa yang efektif untuk memulai

memberikan penanaman pendidikan budi pekerti, juga dianggap masa yang paling

baik untuk memulai pengenalan dan pembinaan tentang kesenian. Karena pada

usia 12-14 tahun, anak sudah mulai memiliki kesadaran yang mendalam mengenai

Page 4: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

4

dirinya sendiri. Di usia ini anak mulai meyakini kemauan, potensi, dan cita-cita.

Mengidera dan mencerna segala realitas yang ada di sekitarnya dan mengkajinya

secara sederhana berdasarkan nilai-nilai yang dipelajari baik di sekolah maupun

masyarakat. Dengan kesadaran tersebut sang anak berusaha menemukan jalan

hidupnya dan mencari nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan,

dan sebagainya. (Kartono, 1990: 139-148)

Sejalan dengan proses pembangunan karakter anak, kegiatan berkesenian

tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan budaya dengan tujuan

melakukan kaderisasi dalang, mempelajari kesenian merupakan salah satu

aktivitas yang baik bagi proses pengembangan kepribadian manusia khususnya

anak-anak. Karena dalam kesenian tradisional banyak terkandung nila-nilai luhur,

seperti budi pekerti, sopan santun, kebijaksanaan, dan sebagainya yang dapat

menjadi sumber pembelajaran. Melalui kesenian, anak selalu didorong untuk

berimajinasi dan mengenal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dengan cara

yang menyenangkan.

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah : “Bagaimana gambaran

tentang upaya yang dilakukan Mudjiono dalam mencetak calon dalang muda yang

berbudi pekerti melalui Padepokan Seni Sarotama di Desa Ngringo, Kecamatan

Jaten, Kabupaten Karanganyar dalam format film dokumenter?”

Tujuan

Menunjukkan pentingnya pendidikan kesenian dalang yang dilakukan

sejak dini dengan tujuan untuk mencetak calon-calon dalang yang mengerti akan

nilai-nilai budi pekerti seperti yang dilakukan Mudjiono melalui padepokan Seni

Sarotama. Sehingga diharapkan mereka mampu menjadi jawaban atas akibat

perubahan zaman dalam pagelaran wayang di masa mendatang.

Page 5: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

5

Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi dan Kebudayaan

“Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati…”. Cuplikan

pendapat John Fiske dalam bagian pengantar bukunya berjudul ”Cultural And

Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperehensif” di atas

dengan jelas menggambarkan betapa penting peran komunikasi dalam

kehidupan manusia (Fiske, 2004). Terlebih dalam dunia modern, komunikasi

tidak hanya sekedar mendasari segala macam interaksi sosial yang dilakukan

manusia di seluruh di seluruh dunia, teknologi komunikasi yang kini

berkembang begitu pesat membuat tidak ada satu masyarakat di era modern

yang mampu bertahan tanpa komunikasi (Rakhmad, 1991: 7).

Terdapat keterkaitan yang erat antara unsur-unsur budaya dan

komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama pada sebuah

struktur sosial. Hal ini membuat studi komunikasi kemudian selalu melibatkan

studi tentang kebudayaan dan berintegrasi sebagai suatu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Sebagaimana dikemukakan C. Kluchkohn kebudayaan

diwariskan melalui suatu proses belajar dan bukan secara biologis. Oleh

karenanya, kebudayaan merupakan pola tingkah laku yang dipelajari dan

disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses pelanggengan

budaya tersebut jelas tidak akan bisa dilakukan tanpa adanya proses

komunikasi. Ia menyebutkan, seara umum terdapat tiga proses dalam

mempelajari kebudayaan, antara lain;

1. Proses belajar kebudayaan yang berlangsung sejak lahir hingga mati, yaitu

dalam kaitanya dengan pengembangan perasaaan, hasrat, emosi dalam

rangka pembentukan kepribadian; sekarang dikenal sebagai proses

internalisasi.

2. Karena makhluk manusia dalah bagian dari suatu sistem sosial, maka

setiap individu harus selalu belajar mengenai pola-pola tindakan, agar

dapat mengembangkan hubunganya dengan individu-individu lain di

sekelilingnya. Proses itu kini lebih dikenal sebagai sosialisasi.

Page 6: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

6

3. Proses enkulturasi atau pembudayaan yaitu seseorang harus mempelajari

dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang

hidup dalam kebudayaan (Poerwanto, 2005: 88).

Sedangkan menurut Panuju (1997: 59) kebudayaan merupakan output

dari proses sosial, sekaligus sebagai cara, acuan nilai dan memberi bentuk,

“cara” dan “proses”. Bentuk-bentuk kebudayaan ini selalu berubah seiring

dengan proses sosial. Proses ini bersifat dinamikal, sistematik, adaptatif,

berkesinambungan, transaksional, dan tidak mudah berganti. Peranan

komunikasi dalam proses tersebut adalah;

1. Bahwa komunikasi adalah saluran sosialisasi kebudayaan. Komunikasi

tidak sekedar hanya fenomena pertukaran informasi, pengiriman dan

penerimaan pesan. Lebih dari itu, komunikasi merupakan upaya mencapai

saling pengertian. Melalui proses sosialisasi inilah suatu kebudayaan

diturunkan dan kemudian disebarluaskan (diffussion)

2. Komunikasi menyebarluaskan ide-ide baru, (inovation) sehingga manjadi

nilai-nilai baru. Nilai-nilai ini bisa muncul dari kreativitas individu atau

konsensus kelompok dalam suatu masyarakat.

3. Komunikasi menyediakan kesempatan dan rentang waktu bagi anggota

masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru tersebut

(conditioning)

4. Komunikasi dengan sifat pengkondisian persepsi interpretasi, dan

preferensi, cenderung memperkuat kebudayaan yang telah ada

(reinforcement)

5. Komunikasi menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan (cultural

change). Menurut Bakelson dan Steiner, transformasi kebudayaan itu

terjadi secara perlahan-lahan dan gradual (Panuju, 1997: 59).

2. Pagelaran Wayang

Kesenian wayang dalam bentuk asli timbul sebelum kebudayaan Hindu

masuk Indonesia. Pertunjukan wayang adalah sisa-sisa upacara keagamaan

orang Jawa yaitu merupakan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

Page 7: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

7

Terdapat beberapa sumber antara lain adalah Serat Centhini dan Serat

Sastramiruda. Menurut kedua serat tersebut, Wayang (yang berasal dari frasa

wewayangan, yang berarti “bayangan”) kali pertama diciptakan oleh Raja

Jayabhaya pendiri Kerajaan Kediri yang berpusat di Jawa Timur. Pada tahun

947 Masehi, Raja Jayabhaya memerintahkan para seniman kerajaan untuk

menggambar para leluhur Raja di atas daun lontar dan mengembangkan

menyadur cerita dari serat Mahabarata dan Ramayana. Kumpulan berbagai

gambar dan cerita tersebut lantas yang sekarang disebut Wayang Purwa (

Purwa yang berarti “permulaan”).

Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1223, di bawah

pemerintahan Raden Pandji Rawisrengga yang juga bergelar Raja Suryamisesa

dari kerajaan Jenggala, wayang purwa kali pertama dipertunjukkan dengan

iringan gamelan berikut pakem-pakem tertentu dalam ceritanya. Setiap kali ada

acara penting di istana, diselenggarakan pertunjukkan wayang purwa dengan

Raja Suryamisesa sendiri sebagai dalangnya. Hingga pada jaman Majapahit,

bentuk wayang purwa kemudian digubah menjadi sebentuk gulungan.

Sehingga ketika pertunjukkan berlangsung, wayang gulungan tersebut harus di

beber. Istilah pertunjukan wayang jenis ini disebut dengan wayang beber.

Usai keruntuhan kerajaan Majapahit, bersamaan dengan ekspansi

kerajaan Muslim di Indonesia, Sultan Syah Alam Akbar yang berasal dari

kerajaan Demak (1475—1518M) memberikan instruksi untuk menggubah

tokoh-tokoh dalam wayang purwa menggunakan kulit kerbau. wayang purwa

kemudian dapat pula disebut sebagai wayang kulit. Pada masa ini pertunjukan

wayang purwa/kulit disempurnakan bentuk dan pagelarannya. Muncul teknik

pakeliran (dari kata kelir yang berarti "layar") pohon pisang untuk

menancapkan wayang, blencong sebagai penerangan, kotak alat penyimpanan

wayang dan cempala guna memukul kotak. Bentuk pagelaran ini semakin

disempurnakan pada masa Kerajaan Mataram pada abad ke-16 dan bertahan

hingga sekarang (Sukirno, 2009).

Pada masa sekarang, perubahan-perubahan bentuk wayang tejadi

namun secara umum tidak mematikan bentuk wayang yang lama.

Page 8: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

8

kecenderungan yang ada justru semakin memperkaya bentuk dan jenis wayang

di Indonesia. Perubahan fungsi pagelaran wayang juga nampak semakin

menonjol. Jika pada masa tradisional, wayang dianggap sebagai intisari

kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak

sekedar sebagai tontonan, melainkan juga tuntunan bagaimana manusia harus

bertingkah laku dalam kehidupannya. Sebagai perwujudan ibadah dan

ungkapan religius masyarakatnya atau juga sebuah hukum alam yang Maha

teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana dalam rangka

mencapai kehidupan yang sejati.

3. Film Dokumenter

Salah satu genre film yang memiliki daya argumentasi tentang

fenomena sosial yang terjadi di masyarakat adalah film dokumenter. Karena

film dokumenter menggunakan realitas sosial sebagai bahan mentah dalam

menyampaikan pesan-pesannya. Kemudian, perspektif peneliti yang sekaligus

menjadi sutradara atas fenomena yang dipilih memberikan nilai penting atas

tujuan yang ingin dicapai. Sebagaimana disampaikan Citra Dewi Utami, bahwa

film dokumenter merupakan narasi pembuat atas sebuah fenomena yang

sifatnya tidak mutlak dan terbuka untuk dinegosiasikan. Pemilihan sudut

pandang membutuhkan referensi untuk mengawali dan menguatkan

argumentasi secara visualnya (Utami, 2010).

John Grierson, seorang jurnalis sekaligus kritikus film adalah orang

yang kali pertama menyematkan istilah “documentary” melalui tulisanya di

harian New York Sun ketika membahas film berjudul Moana karya Flaherty,

seorang penambang asal utara Kanada yang juga kreator ”Nanook of The

North”. Pemrakarsa British Documentary Movement ini kemudian memberikan

definisi yang hingga kini masih relevan dipakai para pengamat dokumenter

generasi selanjutnya secara sederhana sebagai “the creative treatment of

actualities”. Dalam kondisi ini, film dokumenter merupakan realitas baru yang

disusun berdasarkan realitas-realitas rekaman yang didasari pemikiran-

pemikiran tertentu. Membatasi aktualitas dan realitas dalam lingkup perlakuan

Page 9: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

9

kreatifitas ini sejalan dengan Aufderheide, yang menjelaskan bahwa

dokumenter merupakan potret kehidupan nyata, menggunakan kehidupan nyata

sebagai bahan bakunya, dibangun oleh seniman dan teknisi yang membuat

serangkaian keputusan-keputusan tentang kisah apa yang akan diceritakan

kepada audiensnya, dan untuk tujuan apa (Aufderhide, 2007: 2).

Metodologi

Dalam proses pengumpulan data, pembuatan film dokumenter ini

menggunakan metode studi pustaka, observasi dan wawancara. Studi pustaka

digunakan untuk mendapatkan data awal mengenai teori dan konsep dasar.

Metode observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara

sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-

persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan

alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai

subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk

diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi

yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir (Pawito, 2007: 132).

Observasi dilakukan oleh peneliti selama satu bulan yakni pada bulan

Januari 2012 di Padepokan Seni Sarotama dan melakukan wawancara kepada

Mudjiono, pendiri sekaligus pengelola padepokan, Satriya dan Woro, siswa di

Padepokan Sarotama, berikut orang tua mereka, dan Arif Hartata, dosen, dalang,

sekaligus seorang pengamat pedalangan asal Klaten.

Deskripsi Lokasi: Padepokan Seni Sarotama

Padepokan Seni Sarotama merupakan sanggar seni yang didirikan oleh

Mudjiono, S. Kar. pada tahun 1993. Kemudian seiring bertambahnya anak didik,

Padepokan Seni Sarotama kemudian memperluas bidang latihannya seperti seni

tari, dan karawitan. Padepokan yang bertempat di Desa Ngringo, Kecamatan

Jaten, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah ini kemudian menjadi ajang

pendidikan untuk anak-anak yang ingin mengenal kesenian tradisional.

Page 10: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

10

Tujuan pendidirian sanggar ini sejalan dengan nama Sarotama sendiri yang

diambil dari nama busur panah yang biasa dibawa oleh tokoh wayang Janoko,

"Ibaratnya, jika kita salah mengarahkan busurnya, maka anak ini akan meleset

dari tujuan, begitupun sebaliknya", jelas Mudjiono ketika diwawancarai pada 15

Maret 2013 lalu.

Gambar 1 Mudjiono

Sumber: Dokumen Pribadi

Padepokan ini menganut sistem kekeluargaan dalam melaksanakan proses

pendidikannya. Tidak adanya kurikulum tetap dikarenakan Mudjiono

berkeyakinan bahwa setiap anak memiliki pola perkembangannya masing-masing.

Konsep tersebut semata-mata didasari pengalamannya mengajari kesenian pada

anak selama bertahun-tahun. Itulah kenapa sistem kekeluargaan menjadi sistem

yang paling baik di sini". Pembiayaan untuk pengelolaan didapatkan melalui

sumbangan secara sukarela dari orang tua anak-anak didik tanpa dibatasi

nominalnya.

Selain itu, Mudjiono memiliki pandangan bahwa garapan wayang baru

yang kini sedang populer dianggap semakin menjauh dari etika dan tuntunan

pakem pedalangan. Model pagelaran yang terlalu vulgar dan mengutamakan

komedi dianggapnya tidak sesuai dengan etika budaya orang Jawa yang

menjunjung tinggi norma kesopanan. Kekhawatirannya atas semakin

terdistorsinya citra dalang di mata masyarakat ini juga yang mendorongnya

semakin getol merekrut para calon dalang untuk dididik menjadi bibit-bibit

dalang yang tidak hanya mampu melestarikan budaya tradisional, tapi juga

membangun budi pekerti dan mental bangsa Indonesia.

Page 11: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

11

Sajian dan Analisa Data

1. Judul

SAROTAMA

2. Durasi

24 menit 16 detik

3. Audiens

Masyarakat umum

4. Lokasi

Padepokan Seni Sarotama, Laweyan, Klaten, dan beberapa lokasi di

sekitaran Kota Solo.

5. Film Statement

Kesenian tradisional wayang dikenal merupakan media yang efektif

dalam menyampaikan pesan juga nilai-nilai budi pekerti luhur kepada

masyarakat. Namun, kondisi masyarakat sekarang memaksa para dalang untuk

memanfaatkan pagelaran wayang menjadi lebih condong sebagai tontonan

daripada tuntunan sekalipun seringkali meninggalkan pakem-pakem berikut

ajaran mengenai budi pekerti yang tersimpan di dalamnya. Mudjiono, seorang

pegiat wayang berusaha mempertahankan nilai-nilai luhur dalam ajaran

wayang dengan mendirikan padepokan Sarotama, sebuah sanggar pendidikan

untuk dalang sejak usia dini. Diharapkan, upayanya tersebut akan mampu

menjawab kebutuhan masyarakatt masa kini tanpa perlu menghilangkan unsur-

unsur budi pekerti dalam pagelaran wayang.

Ringkasan Film

Film dokumenter ini terdiri dari 3 bagian yang terdiri dari 5 sekuen.

Bagian pertama adalah bagian Pembuka yaitu pada sekuen 1 dan 2, kemudian

bagian Isi/Konten yakni pada sekuen 3, kemudian bagian penutup pada sekuen

4 dan 5. Bagian pembuka menjelaskan mengenai perkembangan wayang

secara umum, dan alasan pendirian padepokan. Bagian isi/konten berisi

pendapat dan pandangan mengenai sistem dan metode pengajaran pada

Page 12: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

12

padepokan sarotama. Bagian penutup berisi harapan dan penjelasan mengenai

nama Sarotama pada padepokan Sarotama. Adapun penjelasan isi tiap sekuen

adalah sebagai berikut:

Sekuen 1

Film dibuka dengan video teaser dan kolase potongan-potongan video

pagelaran wayang kemudian diakhiri dengan animasi judul film. Dalam film

dokumenter ini selain untuk menunjukkan judul film, video teaser digunakan

juga sebagai penarik perhatian, menciptakan rasa penasaran, dan memberi

waktu audiens untuk mempersiapkan diri sebelum menyimak konten yang

akan disampaikan film secara lebih dalam.

Sekuen 2

Pada sekuen 2, berisi penjelasan mengenai perkembangan pagelaran

wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya dari masa ke masa sekaligus

menjelaskan aspek kritis mengenai kondisi dunia pedalangan pada masa

sekarang serta alasan utama mengapa Mudjiono mendirikan sanggar

SAROTAMA. Pada sekuen ini, wawancara dilakukan pada Arif Hartata

sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan sekitarnya dan Mudjiono

sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan Sarotama.

Sekuen 2 diawali oleh penjelasan Arif Hartata mengenai

perkembangan wayang dalam lingkup sejarah dan fungsinya;

"Teks wayang atau cerita wayang itu namannya itihasa, jadi

babon induknya bernama itihasa, itihasa itu ada adalah ramayana dan

mahabarata dari india. Itihasa ini yang salah satunya adalah

mahabarata itu digubah pada masa darmawangsa teguh kita bias lihat di

adi parwa jawa kuna itu sudah lain ceritanya sudah lain, disesuaikan

dengan kondisi alam indonesia. Begitu juga kita lihat kakawin arjuna

wiwaha sudah jawa sekali jadi bukan india. Nah mulai sejak itu mulai

ada pertunjukan-pertunjukkan wayang yang ceritanya itihasa tadi.

Kemudian wayang itu kemudian digunakan sebagai sarana ritual,

pemujaan pada nenek moyang lewat bayang-bayang. Karena dipercaya

ada roh leluhur para pitare yang hadir dalam bayang-bayang tadi.

Awalnya sebagai sarana ritual. Kemudian berlanjut-berlanjut sampai

pada masa islam, wayang digunakan sebagai media dakwah, kemudian

Page 13: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

13

sampai pada masyarakat sekarang wayang itu digunakan sebagai sarana

mengangkat darjah social. Contoh orang desa berani menanggap pak

anom suroto wah kae wong sugeh hebat ya, begitu. Secara singkatnya

begitu sejarah perkembangan wayang. Mulai itu buat kepentingan sastra,

puja, dan kepentingan yang lain, dakwah dan yang lain." (Wawancara

Arif Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

Gambar 2 Arif Hartata

Sumber: Dokumen Pribadi

Proses perubahan fungsi pagelaran wayang dari waktu ke waktu

dijelaskan secara singkat dan padat oleh Arif Hartata. Selanjutnya narasumber

juga menyinggung aspek kritis melalui ungkapan tentang kehidupan para

dalang pada masa kini tersebut, sebagai berikut;

"Fenomena yang terjadi, ini dalang, saya bercerita apa adanya,

kehidupan dalang itu agak gimana gitu, sedikit menyimpang dari etika-

etika yang disepakati umum, misalkan hubungan mereka dengan para

biduan-biduan artinya yang bukan muhrimnya, dan itu dicontoh anak-

anak lho jangan salah, itu artinya ya, dalang itu ngudhal piwulang dalang

kan guru masyarakat yang jadi dalang itu ya jadi dalang sing apik, yang

bias member contoh lhawong dhalang yang diwulang ae ora iso ngewehi

contoh sing apik ya ditiru karo sing cah cilik-cilik." (Wawancara Arif

Hartata, pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

Pernyataan Arif Hartata jelas menunjukkan adanya perubahan fungsi

pagelaran wayang yang merupakan implikasi dari perilaku dalang. Dalang

yang semestinya menjadi panutan tidak seharusnya melakukan hal yang

tercela dan melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.

Pernyataan ini kemudian disusul dengan ungkapan keprihatinan dari

Mudjiono terhadap pola perkembangan pagelaran wayang dan hubungannya

dengan dalang pada masa sekarang. Keprihatinan tersebut menjadi alasan

Page 14: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

14

mengapa Mudjiono mendirikan padepokan Sarotama tersebut. Hal tersebut

terungkap pada wawancara sebagai berikut:

"Seni itu fungsinya untuk dihayati tidak digunakan sekedar hura-

hura, kalau hura-hura nantinya menghalalkan dan membebaskan segala

cara akhirnya jadi seperti ini, masak ya seniman itu, ada tamu aja dijak

nyanyi, lha ini kan sudah, menurut saya ya, sopan santunnya sudah nggak

ada, ini makanya anak2 nuwun sewu, banyak yang tidak punya sopan,

unggah ungguh ya karena melihatnya ya sudah seperti itu. Memang

penggemarnya sudah generasi muda muda ini kalau diberi menu

pertunjukan yang ala dulu itu sudah ndak seneng,jadi sekarang itu

garapannya sudah jauh dari apa yah, tuntunan ya, pakem. Misalnya gini,

banyak dhalang yang keluar dari relnya itu karena apa, dhalang dengan

sinden itu bisa seenaknya, sinden dengan dhalang sudah begitu bebas, ini

padahal etika jawa ndak seperti itu, nah melihat dari kenyataan itu, saya

terus getol sekali, terus saya mendirikan sanggar ini." (Wawancara

Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret

2013)

Sekuen ditutup dengan cuplikan dokumentasi pagelaran wayang anak-

anak dari Padepokan Sarotama pada tanggal 9 Maret 2013 di Ds. Nggulon,

Kec. Kentingan, Surakarta.

Sekuen 3

Pada sekuen ini dijelaskan mengenai metode pengajaran dan konsep

yang digunakan oleh Mudjiono dalam sanggar Sarotama dalam mendidik para

calon dalang muda tersebut. Dijelaskan juga mengenai pengalaman dan

pandangan orang tua siswa yang telah mengikuti pendidikan di sanggar

Sarotama serta pandangan pengamat mengenai efektifitas metode tersebut

dalam mencetak calon dalang. Wawancara dilakukan pada Ali Martopo, orang

tua dari Satriya, dalang anak berusia 11 tahun salah satu murid di padepokan

Sarotama, Arif Hartata sebagai pengamat wayang di wilayah Solo dan

sekitarnya dan Mudjiono sebagai pengelola sekaligus pendiri Padepokan

Sarotama.

Pada sekuen 3 ini gambar diawali dengan suasana latihan di

Padepokan Sarotama. Diselingi wawancara mengenai pandangan, alasan, dan

metode yang digunakan Mudjiono dalam mendidik para dalang bocah dalam

Page 15: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

15

padepokan Sariotama. Pandangan narasumber tergambar pada wawancara

yang dilakukan sebagai berikut:

"Saya melihat anak-anak itu sangat potensial, dan istilahya saya

njegur karena banyak anak muda yang belum ada wadah untuk bergerak,

kalau anaknya dhalang otomatis mengikuti jejak orang tuanya, pakdenya

atau keluarganya, lha tapi kalau bukan? Siapa? Salah satu contoh di

sanggar ini justru 80 persen bukan anak seniman, justru dari kalangan

mereka ada yang dari perusahaan batik, mungkin ada yang jual sate

ideran itu tho, dadi macem-macem. Ternyata mereka ada panggilan untuk

mencintai seni."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama,

Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)

Kemudian penjelasan Mudjiono berlanjut dengan sistem pengajaran

dan metode yang digunakan untuk mendidik para calon dalang di padepokan

Sarotama;

"Di sini ndak ada sistem tahun ajaran ya, jadi setiap saat bisa

masuk, dan juga tidak ada sistem lulusan, jadi mungkin kelas 6 aja sudah

bisa lulus. Saya anggap lulus karena apa, karena mereka sudah mampu,

ndalang sudah, ee karena sudah kita tanamkan pakeliran itu kerangkanya

ni ini ini, pakemnya ini ini sudah secara vocabulary, apa ini unsur-unsur

pedhalangan sudah kita berikan jadi anak tinggal ceritanya ini tinggal

ganti aja intinya ini, kerangkanya sudah. Maka kelas 5 kelas 6 apalagi

smp sudah dengan sendirinya sudah memisah. Ya memang sistem kita,

sistem keluarga maka sistem bulanan pun tudak ada, ada yang ngasih

berapa terserah, tapi besar kecilnya ndak ada patokan itu, kita memang

ndak mematok itu..." (Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan

Sarotama, Njaten, Karanganyar, 16 Maret 2013)

Gambar beralih pada Ali Martopo, orang tua dari Satriya, salah

seorang dalang anak yang belajar di Padepokan Sarotama. Ia menjelaskan

tentang pengalaman selama mengawal anaknya mengikuti pelatihan di

Padepokan Sarotama.

"Dulu pertama dia (Satriya. pen) awalnya suka sama tari, terus

setelah ikut sanggar tari, dia lihat wayang kulit di televisi itu. Di tv kan,

itu kadang ada acara goro-goro itu, dia suka. Setelah dari televisi itu dia

nyuwun belajar ndalang. Lha terus karena saya nggak tahu dimana

tempatnya belajar ndalang ya saya cari-cari informasi ke temen-temen,

akhirnya ketemu saya disarankan untuk sowan pak mudji di Sarotama."

"Kalau harapan sih saya nggak pernah punya harapan anak jadi

dhalang gitu nggih, jadi karena dia punya minat sama bakat di situ ya,

saya mencoba memfasilitasi-lah, bagaimanapun kan itu kegiatan positif

Page 16: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

16

nggih, dan itu juga sekarang kan anak-anak juga sudah, yang seneng

dengan seni tradisional kan sudah langka, saya anggap itu sebagai suatu

anugerah. Makanya ya sudah saya dorong aja masalah besok dia mau

jadi apa ya terserah dia." (Wawancara Ali Martopo, orang tua Satriya,

Laweyan, Solo, 02 April 2013)

Ali Martopo menunjukkan dukungan yang besar terhadap minat dan

bakat anaknya, Satriya tanpa harus memaksa. Sekuen 3 kemudian ditutup oleh

pandangan Arif Hartata mengenai metode pendidikan yang digunakan dalam

padepokan Sarotama sekaligus harapan Ali Martopo kepada Satriya dalam

konteks pendidikan dalang yang tengah ditempuhnya di Padepokan Sarotama.

Gambar 3 Satriya & Keluarga Ali Martopo

Sumber: Dokumen Pribadi

Arif Hartata mengungkapkan pandangan mengenai besarnya potensi

yang dapat dikembangkan oleh anak-anak didik di padepokan Sarotama. Hal

tersebut tergambar dalam wawancara sebagai berikut:

"Awalnya sih saya sarankan ikuti saja alur yang sudah ditempuh,

kedewasaan kan akan terpupuk. Saya yakin semakin dewasa semakin

dewasa mereka akan semakin mencari untuk menjadi dalang yang hawi

carito hawi sastro mardowo lagu, hangabehi-lah untuk semua yang

berhubugan dengan pedhalangan. Selama ini kan yang digodog betul kan

teknis di pakelaran, teknis-teknis, skill, coba sekarang tidak hanya itu, dia

mulai belajar teknik sastra, dramatik, itu kan pasti akan lebih baik, ora

mung perange lincah nganti ora ketok karena ada hal lain karena wayang

yang diakui sebagai seni tradisi adiluhung itu ora mung sabete, ora mung

dramane, tapi kan metafora-metafora sastranya yang unik, karena sastra

jawa itu kan unik dan luar biasa kalau menurut saya, cuma itu perlu digali

lagi dan diajarkan lagi kepada masyarakat". (Wawancara Arif Hartata,

pengamat pewayangan, Trucuk, Klaten, 28 Februari 2013)

Page 17: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

17

Sedangkan harapan Ali Martopo terhadap Satriya menggambarkan

adanya dukungan yang positif terhadap proses pendidikan di padepokan

Sarotama yang tengah dilakukan oleh Satriya. Hal tersebut dapat digambarkan

melalui wawancara sebagai berikut;

"Kita sebagai orang tua tut wuri handayani saja. Kalau untuk

target sih saya nggak ada, yang penting anak ada kegiatan positif ya mau

tekun dengan bakatnya itu ya sudah monggo yang penting sejauh yang

kita bisa ya kita support. Tapi misalnya suatu saat dia bener-bener jadi

dhalang ya biar jadi dalang yang bisa jadi panutan, gitu."(Wawancara Ali

Martopo, orang tua Satriya, Laweyan, Solo, 02 April 2013)

Sekuen 4

Pada sekuen ini, dijelaskan mengenai harapan-harapan dari Mudjiono

terhadap anak-anak didiknya di Padepokan Sarotama nanti di masa depan

serta penjelasan mengenai makna nama "Sarotama" yang diangkatnya menjadi

nama Padepokan.

"Saya punya cita-cita atau harapan ke depan, andaikata mereka

jadi seniman dhalang, ya jadilah seniman dhalang yang mengutamakan

ini akhlak. Jangan sampai larut kepada masyarakat pada umumnya,

seniman pada umumnya, karena apa, karena saya melihat, dhalang-

dhalang itu hampir semua hanya materi. Jarang sekali dhalang itu yang

ikut berpartisipasi, disamping nguri-uri, tapi bagaiman untuk

mengangkat apa, moral bangsa ini. Terutama benerasi penerus. Jadi

tidak semacam dicekoki elek-elek kono, ini kan sudah nggak pas, dhalang

yang menceritakan di pakeliran itu sudah sangat-sangat luar biasa kok,

cerita wayang itu saja mengandung filsuf yang luar biasa, pendidikan

yang luar biasa, itu saja dijalankan udah bagus, mengapa harus dengan

ini, maaf ini, ceritanya itu hilang, arah pedhalangan itu hilang, ya itu

tadi, sudah. Pelawak sudah ini, maka anak saya harapkan. Harapan ke

depan anak di sanggar ini menjadi satu generasi dalang yang

mengutamakan ini budaya bangsa yang adiluhung itu ya betul-betul

adiluhung itu ya dijunjung. Jangan adiluhung pas diucapkan

saja."(Wawancara Mudjiono, Pendiri Padepokan Sarotama, Njaten,

Karanganyar, 16 Maret 2013)

Harapan Mudjiono ini bisa jadi merupakan konklusi semua pesan film

yang hendak disampaikan, yakni tujuan dari upaya yang dilakukan oleh

Mudjiono selama ini. Karena film dokumenter ini bukan hendak

menggambarkan sebuah keberhasilan atau kegagalan suatu usaha, melainkan

Page 18: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

18

menggambarkan sebuah proses dari upaya seseorang yang disertai harapan

untuk mencapai keberhasilan. Argumen-argumen dari narasumber lainnya

diambil dengan maksud memperkuat harapan dari Mudjiono tersebut.

Pada sekuen ini, gambar ditutup dengan rangkaian animasi teks yang

berisi makna nama Sarotama pada padepokan Sarotama yang pernah

diungkapkan Mudjiono pada salah satu surat kabar nasional.

"Sarotama diambil dari nama senjata panah yang dibawa oleh

tokoh wayang Janoko Ibaratnya siswa di sanggar ini adalah anak panah

yang apabila kita salah mengarahkan busurnya,maka anak juga akan

melesat ke arah yang salah..." (Mudjiono, KOMPAS 14 Maret 2013)

Sekuen 5

Pada sekuen 5 dimunculkan animasi crawling text atau teks yang

bergerak perlahan-lahan keatas yang berisi seluruh nama dan jabatan kerabat

kerja yang terlibat dalam produksi film dokumenter atau biasa disebut dengan

istilah Credit title

Kesimpulan & Saran

a. Kesimpulan

1. Perkembangan pagelaran wayang di Indonesia dari waktu ke waktu telah

mengalami perubahan baik segi bentuk, ragam, isi maupun fungsinya.

Perubahan zaman membuat kebutuhan manusia semakin berubah, dan hal

tersebut berpengaruh pada perkembangan pementasan wayang pada masa

kini cenderung ke arah tontonan atau hiburan daripada tuntunan.

2. Dalang sebagai penampil pagelaran wayang memiliki andil yang besar

dalam proses perkembangan pagelaran wayang yang terjadi pada masa

sekarang.

3. Upaya melakukan pendidikan dalang sejak dini seperti pada padepokan

Sarotama dapat menjadi alternatif masyarakat dalam melakukan upaya

melestarikan budaya tradisional khususnya Wayang, selain sebagai upaya

pendidikan moral dan budi pekerti

Page 19: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

19

b. Saran

1. Karena perubahan zaman tidak mungkin dibendung, Masyarakat harus

sadar dan ikut berperan serta mengawal perubahan-perubahan sosial yang

terjadi di masyarakat agar tidak menyimpang dari norma dan etika yang

sudah disepakati.

2. Masyarakat maupun pegiat seni tradisional harus mulai menganggap

pendidikan dalang sebagai penting dalam proses regenerasi dalang yang

pada akhirnya berpengaruh pada proses perkembangan pagelaran wayang

3. Masyarakat harus mulai mendorong dan mendukung kegiatan-kegiatan

sosial yang bertujuan menyelenggarakan upaya pendidikan kebudayaan

seperti yang dilakukan padepokan Sarotama agar proses regenerasi dalang

dan perkembangan wayang dapat berjalan tanpa menyimpang dari nilai

dan norma dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Aufderheide. (2007). Documentary Film, A very Short Introduction. Oxford

Univerity Press, New York

Citra Dewi Utami. 2010. Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi

Fiske, John. (2004). Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar

Paling Komperehensif. Yogyakarta: Jalasutra

Hastjarjo, Sri. (2012). Serat Sastra Miruda: a Javanese Perspective on the

Communicator Competency

Hofstede, Greets & McCrae, Robert R. 2004. Personality and Culture Revisited,

Linking Traits and Dimensions of Cultures

Kartono, K. (1990). Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan Anak). Bandung:

Mandar Maju.

Koentjoroningrat. (1989). Budaya Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia:

Jakarta

Mulyana, Deddy. (2001). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Panuju, Redi. (1997). Sistem Komunikasi Indonesia. Pustaka Pelajar; Jogjakarta.

Pawito, (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. LkiS: Yogyakarta

Purwanto, Ngalim. (2004). Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. (1991). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Remaja

Rosdakarya: Bandung.

Septian Eko Yuliantoro. (2012). Penanaman Nilai-Nilai Budi Pekerti Pada Anak

Melalui Kesenian Tradisional

Page 20: SAROTAMA (Film Dokumenter tentang Upaya Mudjiono … Yestha Fajar Pahlevi D0206107.pdf · antar tokoh pewayangan dalam suatu ... tersebut selain dapat menjadi alternatif untuk melestarikan

20

Sukirno. (2009). Hubungan Wayang Kulit dan Kehidupan Sosial Masyarakat

Jawa. Jurnal Brikolase Vol. 1