sarap

48
LAPORAN KASUS MYASTHENIA GRAVIS Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Saraf Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Moderator : dr. Hardhi Pranata, Sp.S, MARS Disusun oleh : Bunga Cyntya Yospita 1310221156

description

mata

Transcript of sarap

Page 1: sarap

LAPORAN KASUS

MYASTHENIA GRAVIS

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas

Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Saraf

Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Moderator :

dr. Hardhi Pranata, Sp.S, MARS

Disusun oleh :

Bunga Cyntya Yospita

1310221156

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN SARAF

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

PERIODE 29 JULI – 8 AGUSTUS 2015

Page 2: sarap

BAB I

STATUS PASIEN NEUROLOGI

I.1 IDENTITAS

Nama / Umur : Ny. EI / 59 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Status pernikahan : Menikah

Suku bangsa : Jawa

Tgl masuk : 24 Juli 2015

Dirawat yang ke : -

Tgl pemeriksaan : 24 Juli 2015

I.2 ANAMNESA

Autoanamnesa pada 24 Juli 2015 di Poliklinik Saraf RSPAD Gatot Soebroto pukul

09.45 WIB.

KELUHAN UTAMA

Penurunan kedua kelopak mata

KELUHAN TAMBAHAN

Sesak saat aktifitas, lemah

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke Poliklinik Saraf RSPAD Gatot Soebroto untuk kontrol.

9 tahun pasien merasa lemas seluruh tubuh secara perlahan. Rasa lemas

diawali dari telapak kaki, menjalar ke pungung kaki, lalu menjalar ke tungkai kaki

kanan dan kiri, tubuh, jari-jari tangan kanan dan kiri, lengan dan sampai tangan kanan

dan kiri. Rasa lemas diawali rasa dingin yang lama kelamaan pasien merasakan

kesumutan dan akhirmya pasien merasakan lemas selurh tubuh. Keluhan ini dirasakan

saat pasien beraktifitas dan membaik setalah pasien istirahat.

Keluhan lemas disertai dengan sesak napas. Sesak napas dirasakan hilang

timbul dan dirasakan semakin bertambah berat, terasa berat pada dadanya seperti

Page 3: sarap

tertindih. Sesak napas timbul pada saat pasien berktifitas dan dirasakan pasien sesak

napasnya semakin lama semakin memberat. Sesak napas membaik setelah pasien

istirahat.

Pasien juga merasakan kedua kelopak matanya kelamaan menjadi turun

sehingga pasien tidak bisa menatap lama pada suatu objek. Bahkan pasien merasakan

matanya seperti orang mengantuk. Keluhan seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara

pelo, diare, demam dan kejang disangkal. Pasien dapat tidur, makan dan minum

seperti biasa, buang air kecil dan buang air besar tidak ada keluhan, penglihatan ganda

tidak ada, Riwayat trauma, pingsan, batu lama, keganasan, di bantah oleh pasien dan

keluarganya.

Pasien mengaku sering merasakan keluhan seperti ini. Keluhan seperti ini

sudah dialami pasien sejak 9 tahun lalu. Keluhan muncul saat pasien beraktifitas dan

membaik saat istirahat. Pasien didiagnosis oleh dokter menderita Myasthenia Gravis

di RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 2006. Pasien sudah diberikan obat berupa

Neostigmin diminum secara rutin 3 kali dalam satu hari. Pasien pernah menderita

TBC pada tahun 1996 dan sudah rutin minum OAT selama 9 bulan serta operasi

pengangkatan kelenjar TB. Tahun 2011 pasien pernah dirawat karena pusing berputar

dan didiagnosis vertigo oleh dokter yang merawat. Tahun 2013 pasien kembali

dirawat karena menderita stroke dan saat ini sudah tidak ada keluhan.

Pasien alergi terhadap Amoxilin dan asam mefenamat, tidak ada alergi

terhadap makanan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat stroke : pasien menderita stroke dan dirawat pada tahun 2013

Riwayat Trauma : disangkal

Sakit kepala sebelumnya : disangkal

Kegemukan : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

- Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien

- Riwayat hipertensi, diabetes melitus, stroke dan penyakit jantung disangkal

Page 4: sarap

RIWAYAT KELAHIRAN/PERTUMBUHAN/PERKEMBANGAN

Tidak ada kelainan

Page 5: sarap

PEMERIKSAAN STATUS INTERNUS

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Gizi : BB= 46 kg, TB= 150 cm BMI= 20,4 (gizi baik)

Tanda vital

TD. Kanan : 130/70 mmHg

TD. Kiri : 130/70 mmHg

Nadi kanan : 72 x/menit regular, isi cukup, ekual

Nadi kiri : 72 x/menit regular, isi cukup, ekual

Pernafasan : 20 x/menit teratur,

Suhu : 36.6 ˚C axilla.

Kepala : Normocephal, Konjungtiva anemis - / - , Sklera ikterik - / -

Limfonodi : Tidak teraba pembesaran

Thoraks : Hemitoraks kanan dan kiri simetris saat statis dan dinamis

- Jantung : BJ I - II reguler, gallop (-), murmur (-)

- Paru : Suara dasar vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Supel

- Hepar : Tidak teraba pembesaran

- Lien : Tidak teraba pembesaran

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis -/-, capillary refill < 2 detik,

oedem - -

- -

I.4 STATUS PSIKIATRIS

Tingkah laku : baik

Perasaan hati : baik

Orientasi : baik

Jalan fikiran : baik

Daya ingat : baik

I.5 STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : Compos Mentis, GCS = E4, M6, V5 (15)

Sikap tubuh : normal

Cara berjalan : normal

Gerakan abnormal: Tidak ada

Page 6: sarap

Kepala

Bentuk : Normocephal

Simetris : Simetris

Pulsasi : Teraba pulsasi a.temporalis (+/+)

Nyeri tekan : Tidak ada

Leher

Sikap : Normal

Gerakan : Bebas

Vertebra : Normal

Nyeri tekan : Tidak ada

GEJALA RANGSANG MENINGEAL

Kanan Kiri

Kaku kuduk : ( - ) ( - )

Laseque : ( - ) ( - )

Kernig : ( - ) ( - )

Brudzinsky I : ( - ) ( - )

Brudzinsky II : ( - ) ( - )

NERVUS CRANIALIS

N.I (Olfactorius)

- Daya penghidung : Normosmia Normosmia

N.II (Optikus)

- Ketajaman penglihatan : Baik Baik

- Pengenalan warna : Baik Baik

- Lapang pandang : Sama dengan pemeriksa

- Fundus : Tidak dilakukan

N.III (Occulomotorius) / N.IV (Trochlearis) / N.VI (Abducens)

Kanan Kiri

- Ptosis : (+) (+)

- Strabismus : (-) (-)

- Nistagmus : (-) (-)

- Exoptalmus : (-) (-)

- Enoptalmus : (-) (-)

Page 7: sarap

- Gerakan bola mata ke segala arah: Baik

o Lateral : ( + ) ( + )

o Medial : ( + ) ( + )

o Atas lateral : ( + ) ( + )

o Atas medial : ( + ) ( + )

o Bawah lateral : ( + ) ( + )

o Bawah medial : ( + ) ( + )

o Atas : ( + ) ( + )

o Bawah : ( + ) ( + )

o Gaze : ( + ) ( + )

- Pupil

o Ukuran pupil : Ø 3mm Ø 3mm

o Bentuk pupil : Bulat Bulat

o Isokor/ anisokor : Isokor Isokor

o Posisi : di tengah di tengah

o Refleks cahaya langsung : (+) (+)

o Refleks cahaya tidak langsung : (+) (+)

N.V (Trigeminus)

- Menggigit : Baik

- Membuka mulut : Simetris

- Sensibilitas atas : (+) (+)

o Tengah : (+) (+)

o Bawah : (+) (+)

- Refleks masseter : Tidak didapatkan kelainan

- Refleks zigomatikus : (+) (+)

- Refleks cornea : (+) (+)

- Refleks bersin : Tidak dilakukan

N.VII (Fascialis)

Pasif :

Kerutan kulit dahi : Simetris

Page 8: sarap

Kedipan mata : Simetris ptosis kanan kiri

Lipatan naso labial : Simetris

Sudut mulut : Simetris

Aktif :

Mengerutkan dahi : Simetris

Mengerutkan alis : Simetris

Menutup mata : Simetris ptosis kanan kiri

Meringis : Simetris

Menggembungkan pipi : Simetris

Gerakan bersiul : Baik

Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hiperlakrimasi : Tidak ada

Lidah kering : Tidak ada

N.VIII ( Vestibulocochlearis )

Mendengar suara gesekan jari tangan : ( + ) ( + )

Mendengar detik arloji : ( + ) ( + )

Test Schwabach : Tidak dilakukan

Test Rinne : ( + ) ( + )

Test Weber : Tidak ada lateralisasi

N.IX (Glossopharyngeus)

Arcus pharynx : Simetris

Posisi uvula : Di tengah

Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan

N.X (Vagus)

Denyut nadi : Teraba, regular, equelitas di keempat

ekstremites

Arcus pharynx : Simetris

Bersuara : Baik

Menelan : Tidak ada gangguan

Page 9: sarap

N.XI (Accesorius)

Memalingkan kepala : Normal

Sikap bahu : Simetris

Mengangkat bahu : Simetris

N.XII (Hipoglossus)

Menjulurkan lidah : Tidak ada deviasi

Kekuatan lidah : Baik

Atrofi lidah : Tidak ada

Artikulasi : Baik

Tremor lidah : Tidak ada

M O T O R I K :

Gerakan : Bebas Bebas

Bebas Bebas

Kekuatan :

Tonus : Normotonus Normotonus

Normotonus Normotonus

Trofi : Eutrofi Eutrofi

Eutrofi Eutrofi

REFLEKS FISIOLOGIS :

Refleks Tendon

Refleks biceps : + +

Refleks triceps : + +

Refleks patella : + +

Refleks achilles : + +

Refleks Permukaan

Dinding perut : +

5 5 5 5 5 5 5 5

5 5 5 5 5 5 5 5

Page 10: sarap

Cremaster : Tidak dilakukan

Spincter anii : Tidak dilakukan

REFLEKS PATOLOGIS : Kanan Kiri

Hoffman Trommer : - -

Babinski : - -

Chaddock : - -

Openheim : - -

Gordon : - -

Schaefer : - -

Klonus paha : - -

Klonus kaki : - -

SENSIBILITAS :

Eksteroseptif

Nyeri : + +

Suhu : + +

Taktil : + +

Propioseptif

Vibrasi : + +

Posisi : + +

Tekan dalam : + +

KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN :

Test Romberg : Tidak dilakukan

Test Tandem : Tidak dilakukan

Test Fukuda : Tidak dilakukan

Disdiadokokenesis : Tidak dilakukan

Rebound phenomen : Tidak dilakukan

Dismetri : Tidak dilakukan

Test Telunjuk hidung : Normal

Test Telunjuk telunjuk : Normal

Test Tumit lutut : Tidak dilakukan

FUNGSI OTONOM :

Page 11: sarap

Miksi (menggunakan kateter)

Inkontinentia : Tidak ada

Retensi : Tidak ada

Anuria : Tidak ada

Defekasi

Inkontinentia : Tidak ada

Retensi : Tidak ada

FUNGSI LUHUR :

Fungsi bahasa : Baik

Fungsi orientasi : Baik

Fungsi memori : Baik

Fungsi emosi : Baik

Fungsi kognisi : Baik

PEMERIKSAAN KHUSUS :

Tes Wartenberg : (+)

Tes Tensilon : tidak dilakukan

Tes Prostigmin : Tidak dilakukan

I.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak dilakukan pemeriksaan

I.7 RESUME :

Anamnesa :

Page 12: sarap

Ny. EI, 59 tahun datang ke Poliklinik Saraf RSPAD dengan keluhan

penurunan kedua kelopak mata dan sesak napas. Kadang keluhan disertai lemah pada

hampir seluruh tubuh. Keluhan-keluhan tersebut timbul setelah pasien beraktivitas

dan membaik ketika pasien istirahat. Keluahan ini sudah tejadi sejak 9 tahun lalu.

pasien didiaognosis menderita Myasthenia Gravis pada tahun 2006, sampai saat ini

pasien rutin minum obat neostigmin diminum 3 kali dalam sehari. Keluhan terjadi

hilang timbul, saat beraktifitas dan membaik setelah istirahat. Keluhan seperti mual,

muntah, sakit kepala, bicara pelo, diare, demam dan kejang disangkal. Pasien dapat

tidur, makan dan minum seperti biasa, buang air kecil dan buang air besar tidak ada

keluhan, penglihatan ganda tidak ada, Riwayat trauma, pingsan, batu lama,

keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya. Pasien alergi obat Amoxilin dan

Asam mefenamat.

Pemeriksaan :

Status Internis

Keadaan umum : Tampak sakit rigan

Gizi : Baik

Tanda vital :

TD Kanan : 130/70 mmHg

TD. Kiri : 130/70 mmHg

Nadi kanan : 72 x/menit regular, isi cukup, ekual

Nadi kiri : 72 x/menit regular, isi cukup, ekual

Pernafasan : 20 x/menit teratur,

Suhu : 36.6 ˚C axilla.

Status Interna : dalam batas normal

Status psikiatris : Baik

Status Neurologis

- Kesadaran : Compos mentis GCS : 15 (E4M6V5)

- Gejala Rangsang Meningeal : (-)

- Nervus Cranialis : Parese nervus III

- Motorik :

Gerakan : Bebas Bebas

Bebas Bebas

Page 13: sarap

Kekuatan :

Tonus : normotonus normotonus

Normotonus normotonus

- Refleks fisiologis :

Refleks Tendon

- Refleks biceps : + / +

- Refleks triceps : + / +

- Refleks patella : + / +

- Refleks achilles : + / +

- Refleks patologis : Dalam batas normal

- Sensorik : Tidak ditemukan kelainan

- Sistem saraf otonom dan fungsi luhur: Tidak ditemukan kelainan

- Fungsi keseimbangan dan koordinasi : Tidak ditemukan kelainan

Pemeriksaan Khusus :

Tes Wartenberg : (+)

Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

I.8 DIAGNOSIS :

- Diagnosa Klinis :

- Parase N III

- Diagnosa Topik :

Neuromuscular junction

- Diagnosa Etiologi :

Myasthenia Gravis

I.9 TERAPI :

- Medikamentosa :

- Neostigmin 2x60 mg, PO

5 5 5 5 5 5 5 5

5 5 5 5 5 5 5 5

Page 14: sarap

- Aspirin 1x80 mg, PO

- Neurobion tab 1x1, PO

- Antasida tab 2x1, PO

- Non medikamentosa :

- Tirah baring

- Konsul ke rehabilitasi medik untuk Fisioterapi

I.10 PEMERIKSAAN ANJURAN :

- Pemeriksaan Laboratorium kadar Antibodi Reseptor Asetilkolinesterase,

Antistriated muscle (anti-SM) antibodi,

- Pemeriksaan elektrodiagnosis : harvey masland test

- Tes Tension : positif

- Tes Neostigmin : positif

I.11 PROGNOSA :

- Ad vitam : dubia ad bonam

- Ad fungsionam : dubia ad bonam

- Ad sanam : dubia ad malam

- Ad cosmeticum : dubia ad bonam

BAB II

ANALISA KASUS

Page 15: sarap

Diagnosis pada pasien ini adalah :

- Diagnosa Klinis :

- Parese nervus III

- Diagnosa Topik :

Neuromuscular junction

- Diagnosa Etiologi :

Myasthenia Gravis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan neurologi dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang.

II.1. S (Subjective)

Anamnesis :

Pada kasus diatas, berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan, penderita

mengalami gejala klinis yang berupa pasien merasa kelopak mata menjadi turun.

Keluhan-keluhan tersebut timbul setelah pasien beraktivitas dan membaik ketika pasien

istirahat.

Adanya kesulitan kelopak mata turun hal ini dapat disebabkan kelemahan saraf

kranialis III dapat disebabkan oleh penyakit stroke, myasthenia gravis, botulisme,

guillain barre syndrome.

Pasien sudah merasakan keluahan ini sejak 9 tahun lalu. pasien mengeluh

penurunan kedua kelopak mata. Keluhan ini terjadi saat aktifitas merasa membaik jika

pasien istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Keluhan

seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat

trauma, pingsan, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.

Berdasarkan hasil anamnesa di atas, semakin mendukung penyakit myasthenia

gravis, dimana karakteristik Myasthenia gravis terutama ditunjukkan dengan

adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini

cenderung meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas dan berkurang

apabila penderita beristirahat. Gangguan autoimun pada myasthenia gravis

menyebabkan rusaknya reseptor asetilkolin pada neuromuscularjunction. Hal ini

menyebabkan menurunnya kadar reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.

Kerusakan pada transisi impuls saraf menuju sel-sel otot ini mengakibatkan

penurunan depolarisasi pada neuromuscular junction. Akibat penurunan

depolarisasi ini, maka terjadi kelemahan pada otot-otot tubuh. Manifestasi klinis

Page 16: sarap

yang timbul tergantung pada neuromuscular junction otot yang terkena. Umumnya

pada myasthenia gravis, kelemahan otot ini dimulai dari cranio-caudal. Saat

mengenai otot okular, gangguan ini dapat menyebabkan terjadinya ptosis dan

diplopia, pada otot wajah laring dan faring akan mengakibatkan disfagia dan

disartria, pada otot volunter akan mengakibatkan parese ekstremitas tanpa di sertai

gangguan sensorik yang terdapat pada pasien.pada saat istirahat, tidak ada

rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin banyak tersimpan daam

vesikel sehingga pada saat memulai aktivitas asetilkolin yang berikatan dengan

reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak, namun lama-lama keadaan ini

tidak daat dikompensasi karena jumlah reseptor asetilkolin yang semakin sedikit

dan asetilkolin banyak yang di hidrolisis sehingga pasien cepat lelah.

Pasien juga mengeluh adanya sesak napas, hal ini menunjukkan bahwa gangguan

yang di alami pasien sudah mengenai otot pernapasan yang dapat terjadi pada

tahap krisis miastenik.

Pasien menyangkal adanya keluhan kesemutan, baal, mulut kering, dan nyeri pada

lengan atas dan kaki, hal ini dapat melemahkan keluhan yang disebabkan oleh

lambert eaton syndrome yang dapat ditemukan mulut kering dan nyeri pada lengan

atas dan kaki.

Keluhan seperti mual, muntah, sakit kepala, bicara pelo, diare, demam dan kejang

disangkal. Pasien dapat tidur, makan dan minum seperti biasa, buang air kecil dan

buang air besar tidak ada keluhan, penglihatan ganda tidak ada, Riwayat trauma,

pingsan, batu lama, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa keluhan yang di alami pasien bukan di sebabkan

oleh infeksi, botulisme, trauma, keganasan, atau pun stroke

Pasien mengakui kejadian seperti ini sudah terjadi selama 9 tahun. Keluhan ini

terjadi hilang timbul, keluhan tersebut muncul ketika pasien beraktivitas dan membaik

ketika istirahat, oleh dokter yang merawat di RS Cipto Mangunkusumo pasien di

diagnosa Myasthenia Gravis.

Pada 9 tahun yang lalu pasien mengalami ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu

gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita

myasthenia gravis. Selain itu, pasien merasa kelopak mata menjadi turun, lemah

pada kedua tungkai. Hal ini menerangkan bahwa kelemahannya terjadi secara

cranio-caudal yang merupakan ciri dari myasthenia gravis dan sebelumnya pasien

Page 17: sarap

mempunyai riwayat myasthenia gravis, hal ini dapat melemahkan kecurigaan

guillainlan barre syndrome yang kelemahanya bersifat descenden.

II.2. O (Objective)Dari pemeriksaan kesadaran pasien membuka mata secara spontan (E4), dapat

melakukan gerakan yang diperintahkan oleh pemeriksa (M6) dan berorientasi penuh

saat diajak berbicara (V5). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pasien masih dalam

tingkat compos mentis dengan GCS = 15 sehingga tidak terdapat gangguan kesadaran.

Pemeriksaan fisik neurologis ditemukan refleks fisiologis dalam batas

normal dan tidak ditemukan adanya refleks fisiologis, hal ini memperkuat diagnosis

myasthenia gravis, dan bukan disebabkan oleh adanya gangguan vaskularisasi otak.

Pada pemeriksaan ditemukan adanya kelemahan pada kelopak mata, hal

ini sesuai dengan kepustakaan dimana dikatakan bahwa pada penderita myasthenia

gravis bisa didapatkan gangguan motorik berupa kelemahan otot, tanpa gangguan

sensibilitas. Kekuatan motorik pada ekstremitas superior inferior dekstra sinistra

berskala 5 menandakan pasien ini ada gerakan otot dan kuat melawan gravitasi.

Pada pemeriksaan khusus didapatkan

Tes Wartenberg : (+)

Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas

bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak

mata yang terkena menunjukkan ptosis.

Pemeriksaan penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan

II.3. A (Assessment)

- Diagnosa Klinis :

- Parese nervus III

- Diagnosa Topik :

Neuromuscular junction

- Diagnosa Etiologi :

Myasthenia Gravis

Anamnesa : kedua kelopak mata turun, kedua tungkai dan

tangan lemah tanpa disertai kesemutan dan baal, dan sesak

napas. Keluhan tersebut muncul ketika pasien beraktivitas dan

Page 18: sarap

membaik jika istirahat. Riwayat 9 tahun lalu di diagnosis

Myastenia gravis oleh dokter.

Pemeriksaan fisik dalam batas normal

Pemeriksaan neurologis: parese nervus III. Tanpa disertai

gangguan sensibilitas

Pemeriksan khusus: test wartenberg positif

II.4. P (Planning)

- Medikamentosa

- Neostigmin 2x60 mg, PO

Dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga

asetilkolin tak segera dihancurkan. Akibatnya, aktivitas otot dapat

dipulihkan mendekati normal. Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg

per oral tiap 3 jam

- Aspilet 1x80 mg, PO

Aspirin merupakan antiplatelet yang menghambat agregasi trombus

sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang

terutama sering ditemukan pada sistem arteri yang bekerja mencegah

pelekatan ( adhesi ) platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera

atau dengan platelet lainnya, yang merupakan awal terbentuknya tombus.

- Neurobion

Neurobion memiliki komposisi beberapa vitamin B, antara lain vitamin

B1, vitamin B6, dan vitamin B12. Vitamin B1 juga dikenal sebagai

tiamin, sementara B6 sebagai piridoksin, dan vitamin B12 memiliki nama

lain sianokobalamin. Vitamin B kompleks dikenal sebagai vitamin

neurotropik, yang artinya berfungsi untuk melindungi sel-sel saraf.

Kekurangan vitamin-vitamin tersebut menyebabkan gejala seperti, pegal-

pegal atau tegang pada otot, atau badan terasa kaku. Pada kekakuan otot,

pasien merasa badan sangat berat sehingga diperlukan tenaga lebih untuk

bergerak. Vitamin B kompleks dapat digunakan untuk mengurangi gejala

di atas.

- Antasida

Antasida adalah golongan obat yang digunakan dalam terapi terhadap

akibat yang ditimbulkan oleh asam yang diproduksi oleh lambung. Secara

Page 19: sarap

alami lambung memproduksi suatu asam yang disebut asam klorida yang

berfungsi untuk membantu proses pencernaan protein. Asam ini secara

alami mengakibatkan kondisi isi perut menjadi asam, yakni antara kisaran

PH 2-3. Lambung, usus dan esophagus sendiri (yang juga terdiri dari

protein) dilindungi dari kerja asam melalui beberapa mekanisme. Apabila

kadar asam yang dihasilkan oleh lambung terlalu banyak maka

mekanisme perlindungan ini tidak terlalu kuat/kurang kuat dalam

melindungi lambung, usus dan esophagus terhadap kerja asam lambung

mengakibatkan kerusakan pada organ-organ tersebut dan menghasilkan

gejala seperti rasa sakit pada perut dan ulu hati terasa terbakar.

- Non medikamentosa :

- Tirah baring

- Fisioterapi

BAB III

LANDASAN TEORI

MYASTHENIA GRAVIS

III.1 DEFINISI

Page 20: sarap

Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Myasthenia gravis

merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya

terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10

hingga 20 kali lebih lama dari normal). Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang

menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.1 Myasthenia gravis adalah suatu

penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat

defisiensi reseptor asetilkolin pada taut neuromuskular.3

III.2 EPIDEMIOLOGI

Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20

dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50

tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada

berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28

tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

III.3 PATOFISIOLOGI 3,4,5

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka

membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan

dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung

dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan

perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan

depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini

mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan

dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu

serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati

hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Page 21: sarap

Pada myasthenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam

penyakit myasthenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran

presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu

maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak

asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase.

Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps

motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak

dapat berlangsung lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada myasthenia gravis. Meskipun secara radiologis

kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada

kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita

Page 22: sarap

hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi

menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-

menerus3.

Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar

timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita myasthenia didapati kelenjar timus

yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada

penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus

tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.5

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, myasthenia gravis diduga merupakan

gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi

hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang

berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok

otot tertentu saja.

III.4 GEJALA KLINIS

Gambaran klinis myasthenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang

ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat

gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa

disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita

didapati kesulitan mengunyah dan menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan

ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa

minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).

Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi

hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan

bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit

tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral

atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis

dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun

otot levator palpebra jelas lumpuh pada myasthenia gravis, namun adakalanya masih bisa

bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis myasthenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,

maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.

Page 23: sarap

Myasthenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN,

kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan

lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba

menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu

menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.

Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang

pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.

Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat

ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan

akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.

Biasanya gejala-gejala myasthenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan

dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau

mengalami eksaserbasi oleh sebab:

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama

siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan

infeksi yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka

berada dalam keadaan tegang.

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu

obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.

III.5 KLASIFIKASI

Klasifikasi klinis myasthenia gravis dapat dibagi menjadi3:

1. Kelompok I: Myasthenia okular

Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak

ada kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Myasthenia umum ringan

Page 24: sarap

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan

bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka

kematian rendah.

3. Kelompok IIB: Myasthenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat

dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan

sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan myasthenia gravis umum ringan.

Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan

dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Myasthenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai

mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal

dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik,

kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Myasthenia berat lanjut

Myasthenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-

gejala kelompok I atau II. Myasthenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau

secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Klas I, adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan

kekuatan otot-otot lain normal.

2) Klas II, terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan

ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

3) Klas IIa, mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga

terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

4) Klas IIb, mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan

dibandingkan klas IIa.

5) Klas III, terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot

lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

6) Klas IIIa, mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

Page 25: sarap

7) Klas IIIb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,

atau keduanya dalam derajat ringan.

8) Klas IV, otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat

yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai

derajat.

9) Klas Iva, secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-

otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

10) Klas Ivb, mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

11) Klas V, penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya

gejala-gejala myasthenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada

waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan

tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun3.

Krisis Pada Myasthenia Gravis

Pada myasthenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,

membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua

jenis krisis, yaitu:

1. Krisis miastenik

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih

banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara

cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi.

2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat

antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah

minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena

terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas

terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit

sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial.

Page 26: sarap

III.6 DIAGNOSA

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

diagnosis suatu myasthenia gravis.Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian

proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam

berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal.

Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan

adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan myasthenia gravis biasanya selalu disertai

dengan adanya kelemahan pada otot wajah.7.

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan

suara

penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan

terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita myasthenia gravis akan

mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi

aspirasi cairan yang menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot

bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan myasthenia gravis.Ditandai dengan

kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk

menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot

leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi

dari leher2,7.

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat

menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan

tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan

prolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat

menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.

Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai

timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik

sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk myasthenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk

menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang

30% penderita myasthenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini

Page 27: sarap

dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma

adalah sangat kecil.

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila

pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil

pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya myasthenia

gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan

lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang

jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan

dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan

berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat

diagnosis banding antara myasthenia gravis yang sesungguhnya dengan syndrome

miastenik. Penderita syndrome miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan

myasthenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti

diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit

ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita myasthenia sejati biasanya muda,

sedangkan syndrome miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala syndrome miastenik

biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat

dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

4. Foto rontgen dada

Foto rontgen dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk

melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken

tomografik.

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita

diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata

beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan

ptosis.

6. Tes prostigmin (neostigmin)

Prostigmin 1,25 mg dicampur dengan 0,6 mg sulfas atropin disuntikkan intramuskular

atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga

membaik.

7. Elektrodiagnostik

Page 28: sarap

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular

melalui 2 teknik:

a. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa

peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-

fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. Sehingga

SFEMG dapat mendeteksi suatu titer(variabilitas pada interval interpotensial diantara

2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density

(jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum

perekam).

b. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita myasthenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi

III. 7 DIAGNOSA BANDING

Lanbert-Eaton Syndrome : ptosis, sulit menelan, kelemahan otot, mulut terasa

kering, nyeri pada lengan atas dan kaki. Pemeriksaan EMG menunjukka

peningkatan amplitudo terhadap stimulasi saraf berulang.

Botulism: diplopia, dilatasi pupil, perut menggembung, riwayat keracunan

makanan atau luka.

Guillain barre syndrome: kelumpuhan biasanya bersifat bilateral dan ascending,

dan disertai adanya gangguan sensibilitas, adanya riwayat infeksi dan ada

pemeriksaan LCS dijumpai disosiasi sitoalbumin.

Miller Fisher Syndrome kelumpuhan dari bagian tubuh atas kemudian ke arah

bawah. Mula-mula menyerang mata sehingga didapatkan ophtalmoplegia,

ataksia, dan arefleksia, dapat di jumpai anti-GQ1b

III.8 PENATALAKSANAAN 7,9,10,11

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida

15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi

kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin

metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara

dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg.

Page 29: sarap

cara kerja dengan menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin

tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,

sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan

sangat bermanfaat pada myasthenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian

antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik,

diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek

samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi

dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien

untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang

diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik.

Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini

dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping

tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk myasthenia gravis, dan

diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek

samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10

mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai

dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis

mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan

dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang

mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar

diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis

diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal

yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

3. Azathioprin

Azathioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,

efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan

saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 1-3

mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah

lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan

sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azathioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Page 30: sarap

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan

kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari

pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan

tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan

antibiotik.

5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating

aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari

IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon

imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada

sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan

IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada

pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang

cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400

mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG

dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor

yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping

dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual

selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome

seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24

jam pertama.

6. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 5 kali per 2 minggu dengan

dosis 200-250 ml/kg BB/hari. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam

waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan

akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang

jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu

hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena

kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak

bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

III.9 PROGNOSIS

Tipe okuler: 80-85% dapat berkembang menjadi tipe general

Page 31: sarap

Dengan terapi yang adekuat, penderita dengan tipe general dapat membaik

keadaannya

Penderita dengan timoma mempunyai perjalanan penyakit yang lebih progresif

DAFTAR PUSTAKA

Page 32: sarap

1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2nded., Gajah Mada University Press,

Yogyakarta

2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at

Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm

3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,

dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta

4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,

Jakarta

5. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam

R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds),Biokimiawi Harper

24th ed., EGC, Jakarta

6. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet,

2003. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm

7. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174,

421, Dian Rakyat, Jakarta

8. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,

390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta

9. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels,

(eds), Manual Of Neurologic Therapeutics 5th ed., Little brown And Company,

London