SAP 12 etbis

18
Kasus Etika Lingkungan Lumpur Lapindo Desember 7, 2013 Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut. 1

description

etbis

Transcript of SAP 12 etbis

Kasus Etika LingkunganLumpur Lapindo

Desember 7, 2013

Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai pihak selama ini antara lain :

Lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan yang bekerja pada sektor industri tersebut. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya jalan, jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll.

Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur, menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini, serta memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.

Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.

Hasil uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa uji laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat mengakibatkan kulit seperti terbakardan gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik atau efek kronis jika fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantungberdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak kerusakan lingkungan fisik, lumpur panas tersebut juga mengakibatkan ancaman lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan dimasa yang akan datang dan hal ini justru tidak diketahui olehmasyarakat korban pada umumnya.

Penyebab Lumpu Lapindo Menurut Para Ahli

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ilmuwan dari berbagai negara menyimpulkan bahwa luapan lumpur adalah akibat dari proses pengeboran eksplorasi gas yang dilakukan PT. Lapindo Brantas. Tim yang dipimpin oleh Richard Davies dari Universitas Durham, Inggris, itu menyatakan, data yang dirilis Lapindo yang menjadi dasar bukti baru timnya bahwa pengeboran menyebabkan luapan lumpur. Melalui serangkaian konferensi internasional yang diselenggarakan oleh pihak yang netral, diperoleh hasil akhir bahwa kesalahan operasi Lapindo dianggap para ahli sebagai penyebab semburan Lumpur panas di Sidoarjo.

Akan tetapi pihak Lapindo dan beberapa geolog menganggap bahwa semburan Lumpur diakibatkan oleh gempa bumi Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum Lumpur menyembur pada tanggal 29 Mei 2006. Sementara sebagian ahli menganggap bahwa hal itu tidak mungkin karena jarak yang terlalu jauh dan skala gempa yang terlalu kecil. Mereka, melalui berbagai penerbitan di jurnal ilmiah yang sangat kredibel, justru menganggap dan menemukan fakta bahwa penyebab semburan adalah kesalahan operasi yang dilakukan oleh Lapindo. Lapindo telah lalai memasang casing, dan gagal menutup lubang sumur ketika terjadi loss dan kick, sehingga Lumpur akhirnya menyembur. (Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inchi)

Puluhan ahli datang dari seluruh penjuru dunia membahas enam makalah tentang masalah Lapindo yang dipaparkan oleh para presenter, baik dari pihak Lapindo maupun para pakar independen. Para ahli yang berada di pihak Lapindo tetap berkeras dengan pendirian mereka, untuk memperoleh kepastian pendapat dari para ahli dunia tersebut dengan cara voting, menggunakan metoda langsung angkat tangan. Hasilnya, tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar peserta yang hadir berpendapat bahwa penyebab semburan adalah karena pengeboran yang disebabkan oleh Lapindo. Hasil konferensi ini mestinya cukup untuk meyakinkan publik, pemerintah, dan penegak hukum di Indonesia bahwa Lapindo merupakan pihak yang harus bertanggung jawab dalam bencana ini.

Pandangan Etika Tentang Kasus Lumpur LapindoDari kasus lumpur lapindo diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT. Lapindo Brantas merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo, akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis, PT. Lapindo Berantas jelas telah melanggar etika dalam berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.

Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip prinsip etika yang ada. Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpang siuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan eksploitasi tersebut.

Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai pihak selama ini antara lain :

1. Lumpuhnya sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor industri. Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan yang bekerja pada sektor industri tersebut.

2. Lumpuhnya sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya jalan, jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi kereta api dll.

3. Kerugian di sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur, menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini, serta memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.

4. Dampak sosial kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.

5. Hasil uji laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air lumpur Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa uji laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan fenol. Kontak langsung dengan kulit dapat mengakibatkan kulit seperti terbakardan gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik atau efek kronis jika fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak kerusakan lingkungan fisik, lumpur panas tersebut juga mengakibatkan ancaman lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan dimasa yang akan datang dan hal ini justru tidak diketahui oleh masyarakat korban pada umumnya.

Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributif juga dilanggar oleh PT. Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan, karena menganggap peristiwa tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alasan perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.

Kasus Diskriminasi Pekerjaan

Stop Diskriminasi Buruh Perempuan

Penulis: Putu Ayu Bertyna Lova

12:20 WIB | Rabu, 01 Mei 2013

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Diskriminasi terhadap buruh perempuan, mestinya menjadi isu utama yang diangkat untuk memperingati hari buruh yang jatuh pada Rabu (1/5). Karena paradigma yang dialami oleh sebagian besar buruh perempuan Indonesia, seringkali menempatkan buruh perempuan sebagai korban.

Banyak perusahaan atau pengusaha lebih memilih untuk mempekerjakan buruh perempuan dibandingkan dengan buruh laki-laki. Alasannya, karena buruh perempuan lebih rajin, enggan terlibat dalam serikat pekerja, dan cenderung patuh kepada majikan. Padahal dalam pelaksanaannya, mayoritas pekerja perempuan yang dipekerjakan dengan perjanjian outsourching atau pekerja temporer, lebih mudah terkena PHK. Hal ini bisa terjadi tanpa alasan yang jelas, bisa karena pekerja tersebut hamil atau terlibat dalam serikat pekerja.

Sejumlah kasus yang terjadi pada pekerja perempuan, dapat terjadi karena pengusaha atau majikan tidak memberikan perlindungan. Sedangkan pemerintah yang semestinya membela hak-hak pekerja perempuan, mengabaikan sejumlah kasus yang terjadi. Pemerintah tidak menindak perusahaan atau pengusaha yang telah melakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap pekerja perempuan.

Berbagai kebijakan diskriminatif juga masih dialami oleh pekerja perempuan. Untuk jurnalis perempuan, masih banyak yang belum mendapatkan hak dan asuransi, seperti pekerja laki-laki. Jurnalis perempuan yang bekerja di televisi, kebanyakan hanya dinilai dari daya tarik fisik, tanpa melihat kemampuannya. Di kasus lain, minimnya jumlah pekerja perempuan yang menempati posisi sebagai pengambil keputusan dalam suatu perusahaan atau organisasi, juga merupakan tindakan diskriminatif.

Padahal Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW) telah menetapkan, bahwa pekerja perempuan dan laki-laki memiliki tanggungjawab yang sama dalam rumah tangga.

Upaya pemerintah menghapuskan diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan

CEDAW (Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women) adalah suatu bentuk perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif dalam upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi produk majelis umum PBB tahun1979 ini telah diratifikasi oleh lebih dari 177 negara. Indonesia telah meratifikasinya sejak tahun 1984 melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.Konvensi CEDAW memiliki arti penting karena merupakan suatu instrumen hukum internasional pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap perempuan sebagai Segala pembedaan, pengesampingan, atau pembatasan apapun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai mempunyai pengaruh atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan Hak-hak Asasi Manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya oleh kaum dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari apapun status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW pasal (1)).

Peran utama pemerintah adalah membuat peraturan-peraturan yang mengatur penghapusan diskriminasi terhadap pekerja wanita tersebut. Seperti pasal 5 dan 6 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang mengatakan bahwa dalam dunia kerja tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pasal 81 Undang-undang No. 13 tahun 2003 yang mengatakan bahwa pekerja wanita dalam masa haid terdapat dysmenorrhoea dan memberitahu pada perusahaan tidak wajib bekerja pada hari 1 dan 2 dalam masa haid.Selain itu pemerintah dapat meminimilisasikan deskriminasi itu dengan cara :1. Melakukan pembinaan terhadap Tenaga Kerja Wanita.2. Penempatan dan pekerjaan yang tepat bagi Tenaga Kerja Wanita.3. Perlindungan bagi Tenaga Kerja Wanita dan penyediaan fasilitas yang diperlukan.4. Mengembangkan motivasi khusus kewanitaan.5. Mendukung program Keluarga Berencana.Undang-undang dasar yang dirumuskan tahun 1945 sejak semula telah mencantumkan dalam pasal 27 ayat 1 bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Jadi sejak tahun 1945 di Negara kita prinsip kesetaran pria dan wanita di depan hukum telah di akui.

Undang-undang perkawinan (undang-undang no. 1 tahun 1974, pasal 31 ayat 1 memuat kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat.

Kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita bertujuan untuk :

1. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan lainya termasuk sangsi-sangsinya dimana perlu melarang semua diskriminasi terhadap wanita.

2. Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya.

3. Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap wanita dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat terhadap wanita, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga Negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini.

Analisa Kasus Deskriminasi Pekerja Perempuan Perusahaan diatas hanya ingin memperoleh hasil yang maksimal dengan cara apapun walaupun cara yang dilakukannya salah dan melanggar hukum. Perusahaan ini telah melanggar hak asasi manusia, karena seharusnya manusiamempunyai derajatnya yang sama. Cara mengatasi agar diskriminasi terhadap perempuan tidak terjadi lagi yaitu setiap orang harus mempunyai rasa saling menghargai terhadap orang lain, harus adanya perlindungan hak-hak bagi perempuan dalam pekerjaan, setiap perusahaan harus menyadari tentang kesamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan dalam sebuah pekerjaan, dengan itu akan dapat mengurangi kasus deskriminasi pekerja perempuan. Dalam hal ini diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan, telah melanggar norma dan aturan etika bisnis, dimana sebuah perusahaan seharusnya tidak dibolehkan mendiskriminasikan para karyawannya. Selain itu, diskriminasi telah menyalahi nilai-nilai moral karena diskriminasi telah membeda-membedakan antara satu individu dengan indivisu lainnya.

Dalam kasus diskriminasi pekerjaan terhadap perempuan merupakan diskriminasi dalam bentuk sengaja karena perusahaan atau pun yang menyeleksi karyawan tersebut telah menilai sendiri tanpa melihat skill dan kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut dengan aturan yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut dan kebutuhannya juga. Kesimpulannya lebih baik tidak melakukan diskriminasi dalam pekerjaan, dan sebaiknya mengikuti etika bisnis dalam menjalankan suatu perusahaan agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam jangka panjang dan belajar untuk menghargai orang lain dalam sebuah pekerjaan.

Dampak Diskriminasi Pekerjaan terhadap perempuan

Dampak dari adanya diskriminasi kerja pada wanita di antaranya adalah wanita menjadi tidak percaya diri. Dari diskriminasi ini juga menimbulkan adanya kesenjangan dalam hal upah, posisi jabatan dalam bekerja, dan jenjang karir. Bahkan dampak terparah mengakibatkan produktifitas kaum perempuan menurun cukup drastis.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan, diskriminasi gender ini menyebabkan adanya marginalisasi terhadap perempuan, stereotype yang buruk, subordinasi terhadap wanita, beban berlebihan, dan kekerasan.

1. Marginalisasi

Marginalisasi dapat diartikan sebagai proses penyingkiran perempuan dalam pekerjaan yang mengakibatkan kemiskinan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari menurut Alison Scott, seorang ahli sosiologi Inggris melihat berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu:

a. Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis kerja tertentu,

b. Proses pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang terampil

c. Proses feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang semata-mata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja

d. Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk di antaranya perbedaan upah.

2. Subordinasi

Subordinasi adalah suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, dan ini berakibat pada munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting.

3. Stereotipe

Stereotipe mempunyai arti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Stereotipe umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan kelompok atas kelompok lainnya. Stereotipe juga menunjukkan adanya hubungan kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain. Stereotipe negatif juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan seperti perempuan yang pulang larut malam adalah pelacur, jalang dan berbagai sebutan buruk lainnya.

Daftar Pustaka

https://cwgi.wordpress.com/2007/07/31/press-release-memantau-upaya-penghapusan-diskriminasi-terhadap-perempuan-di-indonesia/. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://zulyaaldani.blogspot.com/2011/12/diskriminasi-terhadap-pekerja-wanita.html. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://igedegunawijaya.wordpress.com/2012/12/14/contoh-kasus-diskriminasi-pekerjaan-dibuat-oleh-igede-guna-wijaya/. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://mishbahulmunir.wordpress.com/2008/08/27/etika-bisnis-diskriminasi-pekerjaan-terhadap-wanita-2/. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://psikologisosiald5.blogspot.com/2013/09/diskriminasi-gender.html. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://inessworld.blogspot.com/2013/12/analisis-kasus-penyimpangan-etika.html. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://underground-paper.blogspot.com/2012/02/makalah-etika-bisnis-pt-lapindo.html. Diakses tanggal 9 November 2014.

http://marthasuzan.wordpress.com/2013/09/01/artikel-kegagalan-etika-bisnis-pt-lapindo/. Diakses tanggal 9 November 2014.1