Santri, Pesantren, Dan Kontribusinya Terhadap Eksistensi Budaya Dan Peradaban Bangsa

download Santri, Pesantren, Dan Kontribusinya Terhadap Eksistensi Budaya Dan Peradaban Bangsa

If you can't read please download the document

description

artikel

Transcript of Santri, Pesantren, Dan Kontribusinya Terhadap Eksistensi Budaya Dan Peradaban Bangsa

6

SANTRI, PESANTREN, DAN KONTRIBUSINYA

TERHADAP EKSISTENSI BUDAYA DAN PERADABAN BANGSA

Oleh

Dr. H. R o i b i n, MHI

Pra Wacana

Sindiran pedas masyarakat yang senantiasa dialamatkan ke dalam tradisi dan model pendidikan pesantren, utamanya pesantren tradisional hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda keberakhirannya. Silih bergantinya kritik itu, pada satu sisi adakalanya sebagai bentuk kritik yang secara spesifik diarahkan ke performan-fisical institusi pesantren tradisional itu sendiri. Di mana, pesantren di mata mereka dinilai sebagai institusi pendidikan yang kumuh, lusuh, kotor, tidak maju, tradisional (kuno), jauh dari informasi. Pada sisi lain, kritik itu secara khusus juga diarahkan pada kerangka pemikiran epistemologis para kyai dan santrinya yang acapkali diimagekan sebagai kyai dan santri kolot, fanatis, eksklusif, kuper, tidak gaul, keras, tertutup, dan tidak mengenal perkembangan kemodernan.

Tidak kalah menariknya, kritik dengan bernada miring juga dihembuskan dari komunitas modernis, suatu komunitas yang lebih mengandalkan faham logika rasional positistik. Mereka menilai bahwa sumber daya manusia yang ada di internal pesantren dianggap hanya mengenali isi dan logika pemikiran kitab kuning yang menekankan nalar emosional-tradisionalisnya, logika pemikiran keagamaan yang tidak memiliki relevansi dengan zamannya. Sebuah logika pemikiran yang dikonstruksi pada situasi dan kondisi yang berbeda jauh dengan alam pemikiran modern. Bagi kalangan modernis, tradisi pesantren dianggap telah terjebak pada ritual melestarikan, mempelajari dan mengkultuskan kitab kuning yang tidak lagi memiliki relevansi terhadap kehidupam kekinian. Mereka dinisbatkan sebagai manusia kolot yang ketinggalan zaman. Belum lagi doktrinasi atas imajinasi-imajinasi keilmuannya yang hanya dibatasi pada hubungan relasionalitas antara kitab kuning, barokah, karomah dan manfaat.

Cara pandang dengan nada sepihak di atas, acapkali memiliki efek yang tidak sederhana. Beberapa komunitas lain kadang juga terkecoh dan terpengaruh oleh cara pandang ini. Secara perlahan sikap pesimistis masyarakat secara umum dalam melihat masa depan pesantren tradisional semakin memperoleh legitimasinya, bahwa pesantren memanglah demikian. Atas dasar inilah, seakan-akan prospek ke depan pendidikan pesantren menuai nasib yang tidak baik, tidak menjanjikan, bahkan diramalkan akan mengalami gulung tikar. Berangkat dari permasalahan ini, muncul pertanyaan baru, benarkah fenomena ini semua merupakan fakta, atau hanya sekedar penilaian pejorative-apologatik. Sebab dalam realitasnya sangatlah jarang pesantren yang mengalami gulung tikar karena kurang peminat. Lebih dari itu pesantren belakangan ini justru menjadi kiblat pendidikan modern. Para pakar, pemerhati, dan pemikir pendidikan modern telah memprediksi bahwa dibalik pendidikan pesantren terdapat sistem nilai luhur yang tidak dimiliki oleh institusi-institusi pendidikan lain. Tumbuh dan berkembangnya pendidikan karakter belakangan ini pada hakikatnya adalah penjelmaan dari pendidikan pesantren itu.

Kyai, Santri, dan Globalisasi

Kyai dan santri pada hakikatnya adalah pendekar seribu jurus yang dapat menembus relung-relung globalisasi kehidupan yang sangat kompleks. Secara dhohir dan batin kemandirian santri telah disiapkan sejak sedia kala oleh para kyainya. Ketangguhan dan kestabilan mentalitas santri telah digodok dan digembleng di kawah condro kesederhanaan. Oleh karenanya tradisi kesederhanaan santri yang menjadi ajaran prinsipal pesantren, hampir tidak pernah luput dari bidikan kyai sebagai wujud substansi kurikulum pesantren. Selain secara aktif santri telah disiapkan untuk memiliki seperangkat jurus yang sangat kompleks, santri juga disiapkan bagaimana seandainya jurus-jurus yang disiapkan itu mengalami kegagalan di tengah jalan.

Untuk menghadapi pergeseran arus globalisasi yang berjalan begitu cepat ini, kyai, melalui institusi kepesantrenannya tetap secara konsisten menyiapkan keilmuan santri secara holistik, ilmu yang disiapkan untuk menghadapi dunia, dan yang lain disiapkan untuk membangun kegigihan keimanannya. Ilmu yang merespon permasalahan-permasalah kontemporer dan permasalahan keagamaan. Yang satu disiapkan untuk mencetak santri yang memiliki perhatian pada peradaban dunia, dan yang lain disiapkan untuk merespon peradaban akhirat. Mereka memiliki kecerdasan intelektual yang sanggup berinteraksi dengan kehidupan teknologi dan globalisasi, sementara itu mereka juga memiliki kecerdasan intuitif-keagamaan yang dapat menghadapi kompleksitas peradaban, baik dalam wujudnya sebagai relasi teosentris maupun antroposentris.

Paradigma pendidikan pesantren yang menekankan pada dua kecerdasan di atas telah memberikan model kehidupan santri secara utuh. Pola relasi kyai dan santri tidak hanya menekankan pola relasi akademik rasionalistik, yang dapat digantikan melalui sarana teknologi modern. Pola relasi kyai dan santri dalam tradisi pesantren tetap memerlukan sentuhan nilai-nilai emosional intuitif. Atas dasar ini, teknologi bagi mereka tidak dapat menggantikan pola komunikasi antara kyai dan santri, baik dalam proses akademik maupun perilaku kehidupan. Oleh karenanya, proses interaksi antara kyai dan santri dalam proses belajar mengajar (talim), tidak mengalami kerenggangan karena adanya teknologi. Bagi kyai maupun santri hubungan relasionalitas antara kyai dan santri itu adalah kamus paten yang tidak bisa diwakili oleh kecanggihan teknologi apapun. Proses talim bagi kyai dan santri adalah hubungan ruhiyah yang memadukan dimensi moralitas kemanusian dan dimensi spiritualitas ketuhanan. Dalam hubungan relasionalitas kyai santri itu, ada ikatan-ikatan emosional kemanusiaan dan ikatan-ikatan spiritual ketuhanan yang secara bersama-sama harus hadir, berjalan seiring dan saling melengkapi.

Hubungan relasionalitas antara kyai dan santri itu dalam konsep pesantren dibangun melalui implementasi konsep barokah kyai, karomah dan manfaat ilmu kyai. Implementasi konsep barokah, karomah dan manfaat itu terlihat sekali pada sikap santri terhadap kyai, sebaliknya kyai terhadap santri yang saling menyayangi, menghormati, dan menghargai. Sikap saling menyayangi itu terlihat sekali dalam rangkaian doa seorang kyai yang selalu mendoakan nasib santri-santrinya ke depan dalam setiap doanya. Selain juga bimbingan dan arahan para kyai di tengah-tengah proses belajarnya (talim). Sebaliknya, sikap saling menyayangi dan menghormati itu juga muncul ketika santri dengan seperangkat ketawadluannya dan ketaatannya mengikuti fatwa-fatwa dan ajaran kyainya. Hubungan sinergis yang selalu mencerminkan sikap humanis antara kyai dan santri ini, senantiasa tampil di tengah-tengah kehidupan pesantren. Sementara itu, tradisi ini sulit dijumpai di berbagai institusi pendidikan non pesantren. Sebab tidak jarang, dalam tradisi pendidikan non pesantren telah memosisikan peran teknologi sebanding dengan guru, sehingga secara perlahan pola pendidikan yang demikian telah melahirkan ternegasikannya nilai-nilai akhlaq dan spiritual di kalangan peserta didik tersebut.

Komunikasi antara kyai dan santri di luar ranah akademik misalnya, dapat dilihat pada masalah SPP peserta didik. Dalam konteks SPP ini, pola komunikasi keduanya tidak dilandasi oleh paradigma untung rugi (transaksional). Tentang penyebutan istilah SPP ini, pesantren jarang yang menggunakan istilah biaya pendidikan, namun disebut dengan infaq. Sekalipun pada hakikatnnya keduanya sama-sama biaya pendidikan studi, namun dua istilah tersebut berbeda efek psikologisnya. Istilah pertama (biaya pendidikan) lebih menampakkan pada hubungan transaksional, untung dan rugi, yang hanya berada pada wilayah kemanusiaan an sich, sementara istilah kedua (infaq) adalah istilah yang memiliki konsekuensi-konsekuensi emosional kemanusiaan sekaligus ketuhanan. Tidak ada ceritanya kyai mengeluarkan santri hanya karena tidak kuat membayar infaq, termasuk mengeluarkan santri karena moralitas santri yang rendah. Justru di pesantrenlah yang dianggap masyarakathingga kinisebagai klinik moral dan spiritual. Sedangkan anggapan itu sesuai dengan mayoritas visi, misi, dan tradisi pesantren.

Sehubungan dengan itu, kyai di mata santri adalah segala-galanya. Kyai adalah sosok ulama yang dekat kepada Allah, luas ilmunya, mulia moralitasnya, peduli pada masyarakat dan mencintai perjuangan. Sosok kyai adalah sosok yang representatif yang bisa diteladani, baik hubungannya kepada Allah maupun hubungannya kepada sesama. Sosok yang selalu bermanfaat, secara vertikal maupun horizontal. Karena itu ia diyakini oleh para santri sebagai sosok manusia yang diamanti oleh Allah untuk menyalurkan berkahnya kepada para santri yang ikhlas dan ridla mencari ilmu.

Kesederhanaan pola kehidupan kyai dan santri serta hubungan kuat antara mereka di tengah arus globalisasi itu menggambarkan bahwa sedemikian kuatnya konsep pendidikan yang dibangun di dunia pesantren tradisional itu. Ia merupakan konsep pendidikan yang tidak tertulis, tidak memerlukan silabus dan kurikulum yang muluk, namun mampu mengaplikasikan semangat ajaran Islam itu secara efektif dan menggenerasi, yaitu turun-temurun dari generasi ke generasi dengan baik.

Atas dasar inilah karakteristik pendidikan di dunia pesantren tradisional dikenal sebagai karakteristik yang unik. Ia tidak mudah goyah oleh hembusan deras arus globalisasi. Sekalipun dengan serentetan kritik dan cemoohan yang menimpanya, tetap saja ia dengan stabil mempertahankan modelnya, yang memuat empat kekuatan sekaligus, yaitu intelektualitas, moralitas, spiritualitas dan profesionalitas

Kyai, Santri, dan Kitab Kuning

Istilah kyai, santri dan kitab kuning adalah istilah yang sudah lazim di dunia pesantren. Kyai adalah label sosial, sebab seseorang disebut kyai kalau ia memiliki pesantren yang dapat dihuni oleh para santri dan mengajarkan kitab kuning kepadanya. Sebaliknya, tidak disebut santri kalau tidak pernah mengenal kitab kuning, mempelajarinya dan mampu membacannya. Dengan demikian kyai, santri dan kitab kuning adalah karakteristik yang menandai sebuah pesantren itu.

Disadari atau tidak, model pendidikan pesantren akhir-akhir ini sudah mulai dilirik oleh para pengelola institusi pendidikan yang lain. Sebagian pihak menilai dan berkesimpulan bahwa model pendidikan pesantren telah berhasil menanamkan pendidikan moralitas santrinya. Keberhasilan moralitas ini bisa dilihat dari sikap pola komunikasi para santri yang selalu tawadluk, taat dan patuh, baik terhadap kyai, ustadz, guru, orang tua maupun dengan masyarakatnya. Sementara pihak lain memandang bahwa institusi pesantren telah mampu membentuk kecerdasan spiritual dan emosional santrinya melalui doktrin, pembiasaan, pengamalan dan perintah-perintah keagamaan serta pergaulan mereka yang dewasa dan arif di masyarakatnya.

Lebih dari itu sebagian institusi lain mengklaim bahwa pesantren telah mengantarkan keberhasilan santrinya pada kecerdasan intelektualitasnya, melalui kemampuan santri memahami teks-teks suci keagamaan dan menangkap berbagai corak pemahaman keagamaan secara kontekstual (kritis dan objektif). Cara pandang santri yang kritis dan objektif ini, tidak berarti meniadakan sikap ketawadluannya dan ketaatannya, baik kepada para ulama maupun kepada sesamanya.

Penilaian-penilaian intersubjektif yang mulai menaruh rasa simpatis dan optimis terhadap dunia pesantren ini, pada hakikatnya tidak berbeda dengan visi,misi dan tradisi awal didirikannya sebuah pesantren itu. Konsep pendidikan pesantren sejak semula telah mengidealkan munculnya santri-santri yang cerdas intelektual, emosional dan spiritualnya. Kecerdasan intektualnya harus selalu di bawah bimbingan kecerdasan spiritual dan emosionalnya. Ia cerdas intelektualnya, tetapi juga shaleh hatinya dan agamanya. Inilah karakteristik santri ideal dalam dunia pesantren. Ini pulalah yang disebut sebagai manusia yang shaleh dan mushlih, manfaat dan mashlahah di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.

Di tengah-tengah dunia kemodernan ini, kehidupan manusia nampaknya telah mengalami krisis orientasi, jauh dari idealitas ajaran layaknya yang berkembang di dunia pesantren. Tidak sedikit jumlah para sarjana yang tidak sanggub menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakatnya. Jangankan bercita-cita memunculkan kemashlahatan untuk orang lain, menciptakan kemaslahatan untuk dirinya sendiri saja, acapkali menuai kegalan-kegalan. Mereka adalah mayoritas sarjana yang cerdas intelektualitasnya, namun kecerdasannya masih sebatas sebagai alat yang memicu kerusakan dan kerugian bagi orang lain. Sikap ini karena tidak di landasi oleh kecerdasan spiritual maupun emosional yang kuat. Kecerdasan intelektual tanpa kecerdasan emosional dan spiritual hanya akan berakhir pada perilaku yang menyimpang yang selalu merugikan orang lain. Keadaan inilah yang melatarbelakangi mengapa ajaran dan tradisi pendidikan yang ada di pesantren sekalipun tampak klasik dan sederhana tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi para penggagas pendidikan. Atas dasar ini pulalah ruh tradisi pendidikan pesantren oleh para penggagas dan praktisi pendidikan hendak dicangkokkan ke dalam pendidikan umum. Singkatnya, model pendidikan pesantren tidak bisa lepas dari niat ikhlas seorang kyai. Keberhasilan sangat tergantung kepada niat seorang pendidik. Jika para pendidik telah menata niatnya dengan ikhlas dalam proses belajar mengajar maka berarti kyai dalam pemaknaan substantif telah ada di mana-mana. Hakikat kyai adalah terletak pada niat yang ikhlas itu sendiri, niat yang bukan karena siapa-siapa kecuali karena mengharap ridla-Nya.

Dengan demikian jika institusi pesantren secara objektif terbuka menerima kritik dan bersedia mengevaluasi diri terhadap beberapa kelemahan yang bersifat teknis (performan dan cara pemahaman teksnya), maka institusi pesanren tersebut akan tetap eksis dan harum namanya di mata masyarakat sepanjang zaman. Amin.

------------------------------------------------------------------------------------

Makalah disampaikan pada acara seminar Regional Silaturrahmi CSS Mora Regional Timur, Ahad, 23 Oktober 2011.

Penulis adalah Dosen tetap Fak. Syariah UIN Maliki Malang

Pemerhati, peneliti, dan pengamat masalah sosial-keagamaan.