Sanksi Pelanggaran Pasal 113e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8063/3/Buku Nrima... ·...

274

Transcript of Sanksi Pelanggaran Pasal 113e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/8063/3/Buku Nrima... ·...

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987

Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982

Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 115 Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk penggunaan secara komersial baik dalam media elektronik maupun nonelektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Perpustakaan Nasional RI Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Nrima Mengungkap Kontruksi Sosio Muslim Jawa Tentang

Pemahaman Sabar dalam Al Quran/ penulis naskah, Kuswaya,

Adang – Sukoharjo: Kekata, 2016.

x + 260 hlm.; 15 cm x 23 cm ISBN 978-602-476-971-0

1. Pengetahuan I. Judul II. Saadi

Nrima

Mengungkap Kontruksi

Sosio-Muslim Jawa Tentang Pemahaman Sabar

dalam Al Quran

Copyright © 2016

Penulis: Adang Kuswaya

Desain Sampul: Mubin YP

Penyunting Naskah: Saadi

Penata Letak: Affan Luthfi

Anggota IKAPI Provinsi Jawa Tengah

Diterbitkan oleh CV Kekata Group

Palur Mojolaban Sukoharjo

Cetakan Pertama, Mei 2016

Surakarta, Kekata Publisher, 2016

x + 260 hlm.; 15 cm x 23 cm

ISBN 978-602-476-971-0

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.

Isi di luar tanggung jawab Penerbit Kekata Publisher

iii

KATA PENGANTAR

ecara garis besar buku ini berisi konsep nerimo

Bahasa Jawa yang secara filosofis merupakan cara

yang mulia dan bagus untuk memberikan bimbingan

kehidupan yang lebih seimbang. Tidak terjebak dalam

egoisme, sombong, dan materialistis di satu sisi, dan di sisi

lain menghindari seseorang untuk menjadi cemas, pesimistis,

dan lemah dalam menangani masalah-masalah hidup. Karena

itu, nerimo yang dikaitkan oleh shabr, adalah semangat yang

menyiratkan daya tahan manusia dalam setiap periode

kehidupan. Konsep ini dapat dikembangkan melalui suatu

bentuk kesadaran psikologis, spiritual dan intelektual bahwa

setiap kehidupan memiliki gerakan periodik di mana setiap

orang pasti akan mengalami fluktuasi kehidupan.

Oleh karena itu, prinsip nerimo menjadi katalisator

bagi posisi hidup untuk mengubahnya agar bergerak

kembali. Ini berarti bahwa nerimo tidak ditempatkan

sebagai hasil yang berorientasi pada penerimaan, tetapi

S

iv

ditempatkan sebagai proses kelangsungan hidup yang

mampu menggerakkan orang melalui satu tahap kehidupan

mereka. Ini adalah pemahaman yang lebih relevan, aktif,

dinamis, dan progresif bagi Muslim Jawa untuk

menghadapi globalisasi dan gempuran neo-liberalisme

ekonomi di abad ke-21.

Semoga buku ini, di samping menambah wawasan

tentang konsep sabar dalam sikap nrimo sosio-kultur

Muslim Jawa juga menambah wawasan

baga imana penerapan metodo logi sos io -

t emat ik he rmenut i ka a l qu ran pembebasan

t e rhadap t ema t ema sos i a l l a inn ya . Penulis

menyadari masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis

mengharapkan masukan, saran dan kritik demi

penyempurnaan buku ini.

v

UCAPAN TERIMA KASIH

yukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah

SWT yang telah memberikan kekuatan sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

Nabi Muhammad SAW, pembawa pelita dan menjadi rahmat

bagi sekalian alam.

Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak

menghadapi kendala terutama yang berkenaan dengan trend

pemikiran mengenai hermeneutika al-Qur‟an yang begitu luas.

Namun demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin dan

alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan.

Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan berbagai pihak.

Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih

yang setinggi-tingginya secara khusus ditujukan kepada:

Kementerian Agama Republik Indonesia yang

memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku

Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di Darussalam

Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy (alm.), di bangku kuliah SI

di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah program S2 dan

S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa Postdoktoral

di Mesir

Instansi IAIN Salatiga pimpinan Dr. Rahmat Hariyadi,

MPd kolega-kolega lainnya Prof.. Dr. Budihardjo, M.Ag, Dr.

S

vi

M. Zulfa Mahasin, M.Ag, Dr. Zakiyuddin, M.Ag, , Dr. Imam

Sutomo, Dr. Mukti Ali, Dr. Sa‟adi, Dr. Benny Ridwan,

M.Hum., Dr. Illya Muhsin, Dr. M. Irfan Hielmy, dan Dr.

Budiyono Saputro, di lingkungan IAIN Salatiga. Kolega

colloquium waktu tinggal di Noida, UP, India Dr. Zakiyuddin

Baidhawy, Dr. Agus Ahmad Sua‟idi, M.A. dan Hammam,

PhD.; Kolega, teman dialog waktu tinggal di Antigonish,

Kanada: Dr.Ihsan Maulana, Encung, Ismail, Dr. Teguh, Dr.

Ibnu, Dr. Roy Purwanto, Dr. Maghfur, Hasan Basri, Dr. Zainul

Abbas, dan Dr. Arif Maftuhin, M.A.

Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr.

Aksin W, Dr. Fajar Waryani, Dr. Hamdani Mu‟in, Dr.

Muhammad Jidin, Prof. Dr. M. Mardan, Dr. Suryadinata, Dr.

Iskandar, dan Dr. Slamet, rekan-rekan diskusi sewaktu tinggal

di Kairo, Mesir.

Terima kasih disampaikan kepada Adib Abd. Shomad,

PhD, Dr. Agam Syarifudin, Dr. Abdullah Arifin (Gus Aab),

Dr. Abdullah Faqih, Dr. KH Fakhrur Rozy, Dr. Marjuni

Kusnun, Aminudin Aziz, Ibu Nyai Rizma Ilfi Yahya, Nurul

Hamidah, Mukhlishoh dan Bella Moulina kawan kawan

seperjuangan waktu program IVLP di USA.

Ayahanda Mohammad Omon yang pertama kali

mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan

menunjukan penulis akan pentingnya ilmu pengetahuan.

Ibunda Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis tentang

kesederhanaan. Terima kasih kepada mertua penulis KH. Ali

Muntaha dan Hj. Umi Chadijah.

The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang setia

memotivasi terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini di

sela-sela waktunya mengajar selalu menyempatkan menjalin

komunikasi dua putri belahan hati tersayang, Adila Tara NDA

vii

dan Nur „Adli Sania AS.

Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca

sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah

pengetahuan khususnya di bidang penafsiran al-Qur‟an dan

umumnya khazanah ilmu-ilmu keislaman.

Salatiga, 5 Mei 2016

Peneliti,

viii

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... v

Daftar Isi ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian ................................................. 3

C. Dasar Pemikiran Hermeneutika Pembebasan .............................. 4

D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu ..................................... 17

E. Metodologi Penelitian .................................................................. 20

BAB II.................................................................................................................. 25

KONSTRUKSI TEORI SOSIO-TEMATIK ................................................. 25

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN................................................................ 25

A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an ........................ 25

B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika ............................................ 30

C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an .................................. 38

D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur‘an ...................................................... 71

E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya ................................................ 76

BAB III ................................................................................................................ 99

SOSIO-TEMATIK HERMENEUTIKA ALQURAN

TERHADAP SABAR ....................................................................................... 99

ix

A. Identifikasi Ayat-Ayat tentang Sabar ........................................... 99

B. Susunan Ayat-Ayat Sabar berdasar Tartib Nuzul (urutan

turun surat) 107

C. Penelusuran Sabar dalam Hadis ................................................ 131

D. Penelusuran Semantik Sabar ..................................................... 142

E. Sabar dalam Tafsir al Quran ....................................................... 146

F. Kandungan Makna dan Nilai Sabar ............................................ 154

G. Macam dan Pembagian Sabar ................................................... 159

H. Menumbuhkembangkan Akhlaq Sabar dalam Kehidupan ........ 169

BAB IV .............................................................................................................. 177

POTRET SIKAP NRIMA DALAM SOSIO-KULTURAL

MUSLIM JAWA ........................................................................................... 177

A. Sikap Nrima Pribadi Seorang Santri yang Kaya .......................... 177

B. Sikap Nrima Pribadi Orang Sederhana ....................................... 182

C. Sikap Nrima Pribadi Status Sosial Kaya Secara Materi ............... 186

D. Konsepsi Nrimo Pribadi Sukses .................................................. 189

E. Sikap Nrima Pribadi Santri Buruh Tani Miskin Pedesaan ........... 191

F. Sikap Nrima Pribadi Pembantu Rumah Tangga, Sosok

Miskin Kota 197

G. Sikap Nrima pada Pribadi Santri Kota yang Sederhana ............. 203

H. Sikap Nrima Pribadi Seorang Politisi Perempuan ...................... 215

I. Sikap Nrima Pribadi Seorang Perempuan Sebagai Kepala

Keluarga 218

J. Sikap Nrima Pribadi Perempuan Karena Suami Sakit

Permanen 226

BAB V ............................................................................................................... 232

x

REFLEKSI ......................................................................................................... 232

A. Memahami Nrima dalam Kultur Muslim Jawa .......................... 232

B. Memahami Spiritualitas Sabar dan Istiqaamah ......................... 235

BAB VII ............................................................................................................ 240

PENUTUP........................................................................................................ 240

A. Simpulan .................................................................................... 240

B. Saran –Saran .............................................................................. 244

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 245

RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... 257

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk social tidak terlepas dari

masalah sosial yang mengitarinya. Cara mereka beragam

dalam menghadapi masalah yang didapatkannya. ada yang

menjadikan masalah sebagai tantangan dan ada juga sebagai

rintangan. Menjadikan masalah sebagai rintangan atau

halangan sering mereka mengatakan sebagai bencana.

Bencana, sebagai kata lain dari musibah dipahami

sebagai peristiwa yang tidak dikehendaki yang menimpa

seseorang. Ketika bencana sudah terjadi kebanyakan orang

mengatakannya sebagai musibah yang harus diterima dengan

sabar. Kebanyakan dari masyarakat Islam mengatakan sabar

dengan kata menarima atau dalam praktek tradisi jawa

sebagai sikap narima.

Al-Quran diyakini sebagai pedoman hidup umat

Islam. Bahkan al-Quran sendiri mengatakan sebagai

petunjuk kehidupan bagi seluruh manusia (Hudan li al-nas).

Oleh karena itu, ketika merujuk kepada al-quran ternyata

2

banyak ditemukan kata sabar. Dari sekian banyak kata sabar

yang ada dalam al-quran ternyata kata itu tidak menunjukkan

adanya sikap menarima yang besikap pasif melainkan semua

menunjukkan sikap aktif.

Peneliti menggunakan analisis hermeneutika

pembebasan sosiotematik kata sabar sebagai perilaku narima

masyarakat muslim atas segala bencana yang menimpa.

Analisis ini sering digunakan untuk mengungkap berbagai

tradisi yang sudah mengakar di masyarakat guna tetap

menjaga tradisi tetapi dengan pembacaan baru. Harapannya

tetap menjaga tradisi yang baik dengan sentuhan pemahaman

masa kini.

Berdasarkan perspektif analisis di atas peneliti

melihat antara praktek sikap narima dengan sabar adalah

sesuatau yang sangat berbeda. Konsep sabar yang ada dalam

alqur‘an dipahami sebagai sesuatu yang aktif sementara

sikap narima memperlihatkan sikap bersifat pasif. Hal di atas

menjadi masalah dan bagi peneliti menimbulkan kegelisahan

yang bersikap akademis. Karena ada gap antara yang

seharusnya dengan yang terjadi pada realitannya, maka

penulis mennjadikannya sebagai latar belakang dalam

meneliti ini.

Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang

menekuni dan mendalami penelitian semacam ini. Untuk itu,

3

penelitian dengan objek seperti diutarakan di atas akan

menjadi lahan kajian yang menarik di tengah masyarakat

yang selalu apatis dan pesimis dalam menghadapi segala

problema kehidupan.

B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian

Peneliti akan mengutarakan permasalahan pokok.

Persoalannya seputar pendekatan sosio-tematik hermeneutika

pembebasan terhadap konsepsi sabar dalam al-qur‘an sebagai

prilaku narima masyarakat jawa muslim atas segala bencana

yang menimpa. Supaya penelitian terfokus maka berikut

pemaparan pokok yang dibuat berupa pertanyaan.

1. Apakah makna sikap narima dalam tradisi prilaku

masyarakat Jawa secara umum?

2. Bagaimana pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika

Pembebasan mengungkap konsepsi sabar dalam al-

Qur‘an?

3. Bagaimana akibat misinterpretasi sabar terhadap

sikap narima?

Untuk mengungkap data tentang makna sikap nrimo

dalam dalam tradisi prilaku masyarakat Jawa secara umum.

4

1. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan sosio-

tematik hermeneutika pembebasan mengungkap

konsepsi sabar dalam al-Qur‘an.

2. Untuk menemukan data sejauh mana akibat

misinterpretasi sabar terhadap sikap narima.

C. Dasar Pemikiran Hermeneutika

Pembebasan

Peneliti menarima sebagian gagasan baik

hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan

disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika

filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.

Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus

juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah

teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.

Peneliti beranggapan bahwa hermeneutika bukan

sekedar ―sains penafsiran‖ atau teori pemahaman belaka,

melainkan, anggota kompehensif tentang sejarah teks,

intepretasi, dan prakteknya dalam mentransformasikan

kenyataan sosial. Menurutnya, hermeneutika adalah ilmu

yang menjelaskan penarimaan wahyu sejak dari tingkat

perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia (Hanafi, 1999:

5

1). Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari

huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan

manusia.

Hermeneutika ini tidak dibatasi pada perbincangan

mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks

semata, tapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan

penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya

hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.

Menurutnya, proses interpretasi menempati posisi kedua,

setelah kritik sejarah1.

Menurut Peneliti, prasyarat pemahaman yang baik

terhadap suatu teks kitab suci adalah dengan terlebih dahulu

membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika

tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan

menjerumuskan orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya,

tafsirannya benar mengenai kandungan teks palsu tersebut.

Setelah memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika

dalam pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai.

Menurutnya, pada titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai

ilmu yang berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan

sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui makna

yang tepat dari sebuah teks, segera diikuti dengan proses

menyadari teks ini dalam kehidupan manusia. Sebab, pada

1 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1

6

dasarnya, tujuan akhir sebuah teks wahyu adalah bagi

transpormasi kehidupan manusia itu sendiri.

Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan

bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan

hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab

suci. Pertama, kita memiliki kesadaran historis yang

menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua,

kita memiliki kesadaran eidetik yang menjelaskan makna

teks dan menjadikannya rasional. Ketiga, kesadaran praktis

yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis

bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya

dalam kehidupan manusia di dunia ini sebagai struktur ideal

yang mewujudkan kesempurnaan dunia.

Dengan tiga fase analisis ini, Peneliti mengharapkan

hermeneutika pembebasan dapat bersifat teoritik sekaligus

praktis. Perbincangan yang berpusat pada penafsiran teks, di

satu sisi, dan pada metodologi tanpa maksud praktis, di sisi

lain, benar-benar perlu dihindari.

Hermeneutika sebagai aksiomatika menurut peneliti

harus pula menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam

penafsiran: penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran

praktis, sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang

erat kaitannya dengan philologi sacra.2 Penafsiran semacam

2 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2-3

7

ini menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-

masalah prinsipil dalam penafsiran, kecuali memusatkan diri

pada detail-detail yang sama sekali tidak membuat teks

menjadi lebih asli, jelas, maupun praktis.

Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya,

kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang

digunakannya untuk menunjukkan masalah yang terfokus

pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam

perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat

ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih

introvert.

1. Kritik Historis

Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena

adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.

Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata

berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan

fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir

Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata

sejarah apa pun.

Menurut Peneliti ada dua pola jenis kata-kata

sebagai berikut ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al

naql al maktûb) dan kedua, metode transferensi oral (al naql

al syafâhî). Melalui jalan metode transferensi tertulis

adalah seperti penulisan al Quran dan melalui jalan metode

8

oral adalah seperti diteransferensikannya hadits atau al

sunah3.

1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis

dalam Kitab suci seperti al Quran

Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang

didiktekan kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan

langsung didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat

pengucapan dan dengan demikian menyimpannya dalam

tulisan sampai sekarang. Kata-kata ini merupakan wahyu in

verbatim persis sama dengan kata-kata yang diucapkan

pertama kali4.Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan

secara lisan; tetapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurut

Peneliti, tak satu pun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak

Kitab Taurat yang memenuhi persyaratan ini kecuali Kitab

suci al Quran. Hanya al Quranlah yang ditulis pada saat

diturunkannya. Bagi Peneliti, wahyu pada hakekatnya

merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada Nabi in

verbatim dan harus disampaikan kepada manusia secara in

verbatim pula. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai

kritik sejarah tidak berurusan dengan wahyu in verbatim

ketika masih dalam pemikiran Tuhan atau sebelum

3 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549

4 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5

Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al Quran, Bandung:

Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini

kedudukan al Quran dari segi otentisitasnya bersifat qath‟iy al wurûd

9

diturunkan kepada Nabi-Nya. Hermeneutika baru berfungsi

setelah Nabi menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.

Karena al Quran ditujukan bagi manusia, maka

konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan

wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi logos

(Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan, tetapi

berurusan dengan pada tahap teks dan produktivitas

(penafsiran) teks5. Dalam hal ini, pendefinisian al Quran

sebagai Kalam Allah yang bersifat Qadim (dahulu) dan azali

atau bersifat Hadits (baru) dan makhluq hal ini dianggap

tidak relevan diperbincangkan di sini. Dalam bahasa yang

lebih fenomenologi, metafisika al Quran diletakkan dalam

tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun tidak

ditolak6.

Keaslian wahyu dalam sejarah, menurut Peneliti,

ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di

dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didiktekan

langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula

didiktekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat

pengucapan dan lestari sampai saat ini dalam tulisan (al

Quran). Pada kasus al Quran, wahyu ditulis in verbatim yang

secara harfiah dan kebahasaan, persis sama dengan yang

5 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69

6 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495

10

diucapkan Nabi. Prasarat lain bagi kesempurnaan teks

dalam sejarah adalah keutuhannya. Artinya wahyu

disimpan dalam bentuk tertulis tanpa mengalami

pengurangan dan penambahan apa pun dalam sejarah7.

2. Pola kata-kata yang berupa Hadits

Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari

Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau

memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap

harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini

dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan

Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau

perjumpaan langsung dengan Tuhan.

Demi menjamin otentisitas wahyu yang in verbatim

tersebut, Hassan membedakannya dari kata-kata yang juga

berasal dari Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang

didiktekan langsung oleh Tuhan yang kemudian disebut al

hadits. Materi ini berasal dari buah pikiran Nabi sendiri

tentang ide tertentu atau dalam rangka memberi petunjuk

pelaksanaan dari wahyu in verbatim.

2. Kritik Eidetis

Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi

menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat

melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia

7 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7

11

sebut sebagai kritik eidetis. Peneliti sendiri tidak

menjelaskan pengertian eidetis --sebuah istilah

fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses

interprestasi.8 Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali

kritik eidetis dalam pemikiran Peneliti merupakan analisis

fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang ditangkap

oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh hakikat

pemahaman yang benar mengenai fenomena tersebut.

Peneliti menjelaskan bahwa fungsi kesadaran eidetis

adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah

validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Kesadaran

eidetik juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul

fiqh karena melalui mediasinya proses inferensi ketentuan-

ketentuan hukum dari dasar-dsarnya yang empat menjadi

sempurna dan komprehensip9. Metode yang disediakan

berfungsi untuk menganalisis fenomena dicangkokkan oleh

Peneliti ke dalam hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena

8 Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ―reduksi iedetik‖

dan visi eidetik‖ yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi

fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis

menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau

kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari

eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam

fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117) 9 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78 Menurutnya, kritik

Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan

kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris

karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia

Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, hlm. 78)

12

itu objeknya adalah teks dan maknanya sebagaimana yang

ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya,

harus menghindarkan diri pada pengulang-ulangan

prasangka tertentu dari dogma. Karena hal ini akan

menjerumuskan suatu penafsiran ke dalam dugaan-dugaan

semata. Seorang penafsir harus memulai pekerjaan dengan

tabula rasa, tidak boleh ada, kecuali analisis linguistiknya10

.

Apa yang dimaksud Peneliti sebagai tabula rasa di sini

agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam

fenomenologi, kesadaran bukanlah kesadaran murni

sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu merupakan

kesadaran yang terarah atau ―kesadaran akan ……sesuatu‖11

Kritik eidetis, menurut Peneliti, berada pada tiga

level atau tahap analisis. Pertama, pada analisa bahasa;

kedua, analisa konteks, sejarah; dan ketiga, generalisas.

10

Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-

penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke

dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement

rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage

du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam

sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan

dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious

Dialogue and Revolution, hlm. 13. 11

Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran

menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai

―Intersionalitas‖. Disamping itu, kesadaran juga ―mengkonstitusi‖

realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada

kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar

dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm.

101)

13

2.1 Tahap Analisis Kebahasaan

2.1.1 Analisis Linguistik

Analisis linguistik terhadap kitab suci memang

bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik,

demikian diakui Peneliti. Tapi ia merupakan alat sederhana

yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab

suci. Misalnya fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang

mengawasi pembacaan teks. Walaupun demikian,

menurutnya, fenologi ini masih berada dibawah bidang

makna.

2.1.2 Analisis Sintaksis

Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata

berikut implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan

kata. Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis

makna: ―makna etimologi‖, ―makna biasa‖, ―makna baru‖.

Makna etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah

makna yang mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam

suatu masyarakat, ruang, dan waktu tertentu12

.

Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai

dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara

makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang tidak

terkandung dalam makna etomologis, maupun makna biasa.

Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar turunnya

12

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14

14

wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk bagi

tindakan dan merupakan dorongan baru bagi manusia. Oleh

karena itu, kandungan maknanya sama sekali bebas dari hal-

hal yang misterius, tetapi justru merupakan makna alamiah,

rasional, dan jelas, kandungan makna baru dimaksudkan

untuk membebaskan manusia dari usaha-usaha mencari teori

agar manusia dapat memusatkan diri pada perhatian pada

praktik.

Sementara itu, sintaksis yang bagi Peneliti

merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran

dalam tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-

prinsip makna ganda dalam teks. Kajian sintaksis ini seperti

terlihat pada makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna

majâz (kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal), dan

mujmal (ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash

(makna yang tepat); al zhahir (makna yang tampak) dan al

muawwal (makna

yang tersembunyi); al „am (makna umum) dan al khash

(makna khusus); al amr (perintah) atau al nahy (larangan).

2.2 Tahap Analisis Kesejarahan

Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada

level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada

latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Menurut Hassan

Hanafi, terhadap dua jenis situasi, yakni ―situasi saat‖ atau

15

―contoh situasi‖ dan ―situasi sejarah‖. Situasi saat adalah

kasus dimana teks diturunkan yang menjadi subtratum bagi

wahyu. Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, situasi

tersebut adalah situasi saatnmya. Sementara situasi sejarah

terjadi ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis

bukan berupa wahyu, tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran

seperti dalam injil, atau komentar seperti dalam al-hadits)

tertentu dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wakyu

pada masa berikutnya.

2.3 Tahap Generalisasi

Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah

ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti

mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya

agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap

terakhir ini, Peneliti menginginkan diperolehnya makna baru

dari kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyingkap

beragam kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.

3. Kritik Praktis

Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka

jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika

aksiomatika. Hermeneutika pembebasan semenjak awal

memang merupakan cara baca al Quran dengan maksud-

maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,

16

hermeneutika menurut Peneliti jelas menaruh perhatian besar

pada transformasi masyarakat.

Hermeneutika Peneliti melampaui tafsir historis

yang digunkan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al Quran

hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja

karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kami

menurut Peneliti membangun tafsir perseptif (al tafsîr al-

syu‟îirî) agar al Quran dapat mendeskripsikan manusia,

hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia,

kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan

politik13

. Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir

ayat per ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris

dan mengulang-ulang. Menurut Peneliti, kita bangun tafsir

tematis dengan menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan

dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsep universal

tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial.

Menurutnya, lebih lanjut kami tegakkan tafsir revolusioner

dengan mentransformasikan akidah menjadi ideologi

revolusi.

Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke

dalam realitas dalam pandangan Peneliti tidak lain

merupakan konsekuensi logis dari objek analisis

hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci. Sementara

13

Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmy, hlm. 19.

17

terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra, analisisnya hanya

perlu pada tahap historis dan eidetis. Bahkan dalam banyak

kasus yang dibutuhkan hanyalah masalah terakhir. Keaslian

teks sastra harus selalu diterima, kecuali pada teks-teks kuno.

Hal ini tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa

hermeneutika sacra berbeda dari hermeneutika umum

(general hermeneutics), sebab pada dasarnya yang pertama

tetap merupakan bagian yang terakhir. Hanya saja, dalam hal

objek penafsiran, hermeneutika sacra menampilkan spektrum

analisis yang lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu

kitab suci tidak mungkin melepaskan diri dari masalah

otentisitas, pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman

tersebut dalam dunia nyata.

D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu

Penelitian berkenaan dengan tema sabar oleh peneliti

lain memang sudah banyak tetapi yang diangkat secara

spesifik bagaimana pemahaman Muslim Jawa trentang Sabar

belum ada yang melakukan penelitian tentang itu. Sama

belum dilakukan oleh banyak kalangan tentang sikap narima

sebagai pemahaman tentang sabar. Namun demikian, sebagai

bahan pertimbangan akan peneliti sampaikan judul-judul

penelitian yang berbicara seputar sabar dan sikap narimo.

18

Beberapa tulisan tentang Lebaran di antaranya sebagai

berikut di bawah ini.

Konstruk Psikologi Kesabaran dan Perannya dalam

Kebahagiaan Seseorang oleh El Hafiz, F Rozi, I Mundzir, L

Pratiwi - lemlit.uhamka.ac.id:

Makna Kesabaran dalam Islam: Sabar adalah sebuah istilah

yang bersumber atau diambil dari bahasa Arab, yaitu berasal

dari kata shobaro yang kemudian membentuk masdar atau

infinitif menjadi shabaran. Sementara itu, sabar dari segi

bahasa artinya 'menahan dan mencegah'. Makna sabar ini

juga diperkuat dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi i ayat 28,

yaitu:

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang

yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan

mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu

berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan

kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang

yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,

serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu

melewati batas. (Q.S. Al-Kahfi i: 28)

Perintah untuk bersabar yang terkandung dalam ayat

tersebut maknanya yaitu senantiasa menahan diri dari

keinginan untuk keluar dari kelompok orang-orang penyeru

Rab-nya dan selalu mengharap keridaan-Nya. Perintah

19

bersabar dalam surat tersebut juga sekaligus untuk mencegah

keinginan manusia yang berniat bergabung dengan orang-

orang yang lalai mengingat Allah Swt. Sabar dari segi istilah

dapat diartikan menahan diri dari sifat gundah serta dari rasa

emosi, menahan lisan atau perkataan dari keluh kesah, dan

menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan

yang dilarang Allah. Macam-macam Sabar Dalam al-Qur‘an

Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama

ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-

Ghazali berkata, ―Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat

badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan,

berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang

kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari

syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu.

Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam; Jika

berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan

disebut iffah Jika di dalam musibah, secara singkat disebut

sabar, kebalikannya adalah keluh kesah. Jika sabar di dalam

kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu,

kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-

bathr) Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran

disebut syaja‘ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu

(pengecut Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut

lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur

20

(emosional) Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut

katum (penyimpan rahasia)Jika sabar dari kelebihan disebut

zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah).

Demikian sekilas pembahasan tentang sabar di

berbagai literatur yang ada. Belum ada satupun penelitian

yang memusatkan penelitiannya kepada sikap narima dalam

tradisi Jawa Muslim sebagai sikap sabar seperti yang ada

dalam pemahan dengan pendekatan sosio tematik

hermeneutika pembebasan atas konsep sabar dalam al-quran.

Hal inilah yang menjadi fokus penelitian yang diajukan di

penelitian Unggulan dosen IAIN Salatiga tahun 2015.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan Sosio tafsir al-Qur‘an Tematik.

Penelitian ini memadukan data yang diperoleh dari penelitian

library research dan field research. Data lapangan dirancang

untuk melihat apa yang sesungguhnya sudah dipraktekan

warga terhadap apa yang selama ini mereka pahami tentang

materi dari kajian-kajian yang diperoleh mereka dari

pemahaman al-quran tentang sabar.

Untuk memperoleh data autentik peneliti terlibat

langsung dalam kehidupan social mereka lalu mencari

sumber yang dapat dipercaya dari berbagai sumber tafsir al-

21

quran tentang sabar dan tradisi sikap masyarakat jawa

tentang sikap narima. Jadi dengan demikian, kekuatan

penelitian ini terletak pada akurasi pemahaman ayat tentang

sabar yang diperoleh dari berbagai tafsir yang sudah ada

kemudian ditambahkan hasil hermeneutika pembebasan

tentang sabar dan bagaimana realitas di lapangan kehidupan

yang sesungguhnya memahami tentang sabar.

Penelitian didesain dalam rentang waktu satu

semester sekitar lima-enam bulan. Asumsinya bahwa waktu

dua bulan dipakai untuk penelitian lapangan dua bulan

penelitian library research satu bulan untuk penulisan dan

pengujian laporan. Adapun waktu penilitian akan kami

rancang dari bulan Juni sampai Oktober 2015.

Langkah-langkah Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis

menggunakan metode deskriptif yaitu mengumpulkan,

mempelajari, membandingkan dan menganalisa masalah

yang ada kaitannya dengan konsep saling memaafkan dalam

al-Qur‘an. Data-data di atas sosio tematik sabar kemudian

dikupas menggunakan pendekatan pisau analasis

hermeneutika pembebasan. Sedangkan tehnik penelitiannya

menggunakan tehnik Book Survey (penelitian Literatur)

Adapun cara-cara yang akan ditempuh adalah sebagai

berikut:

22

1. Menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat tentang

sabar dalam al-Qur‘an;

2. Menyusun ayat-ayat tentang sabar sesuai urutan turun

(tartib nuzul) suratnya masing-masing;

3. Mempelajari dan menelaah latar belakang dan setting

historis (Asbab al-nuzul) ayat-ayat tersebut dalam

suratnya masing-masing;

4. Mempelajari literatur-literatur baik yang berupa kitab

tafsir atau buku-buku pengetahuan lain yang

mendukung pada pembahasan inti;

5. Mengkaji dan menganalisa masalah yang sedang

dibahas;

6. Membuat kesimpulan-kesimpulan.

Al-Qur‘an al Karim itu laksana samudera yang

keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna di telan

masa, sehingga lahirlah bemacam-macam Tafsir yang

beraneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi

perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan

betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para

ulama untuk menggali dan memahami makna-makna

kandungan kitab suci al-Qur‘an al-Karim tersebut.

Para ulama telah menulis dan mempersembahkan

karya-karya mereka di bidang tafsir ini dan menjelaskan

metode-metode yang pernah dipergunakan. Meode-metode

23

tafsir yang dimaksud adalah: metode Tahlily, metode Ijmaly,

metode Muqaran dan metode Maudlu‟iy.

Metode Maudlu‟iy atau tafsir tematik adalah suatu

metode tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat yang

mempunyai satu makna dan menyusunnya di bawah satu

judul bahasa (farmawi,1994:34).

Dr. Abd. Hayy Farmawi sorang guru besar pada

Fakultas Usuludin Al Azhar, mengemukakan secara

terperinci langkah-langkah tersebut ialah:

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas;

2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

tersebut;

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,

disertai dengan pengetahuan tentang asbab al nuzulnya;

4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya

masing-masing;

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;

6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang

relevan dengan pokok pembahasan;

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan

jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian

sama, atau mengkompromikan yang ‗am dan yang khash,

yang mutlaq dengan yang muqayyad, yang tampak lahirnya

24

bertentangan sehingga kesemuanya bertemu pada suatu

muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.

Seperi yang dituturkan Quraisy Shihab dalam buku

monumentalnya, Membumikan Al-Qur‟an, dia mengatakan

bahwa metode maudlu‘iy ini memiliki keistimewaan di

antaranya: kesimpulan yang dihasilkannya mudah difahami.

Dengan metode ini dapat dibuktikan bahwa persoalan yang

disentuh al-Qur‘an bukan bersifat teoritis semata-mata dan

atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.

Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak

anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-

Qur‘an.

25

BAB II

KONSTRUKSI TEORI SOSIO-

TEMATIK

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika al-

Qur’an

Pemikiran hermeneutika pertama kali dikemukakan

pada paruh kedua dekade 1960-an, ketika Hassan Hanafi

menulis tesis dan disertasinya. Kedua karya itu Les

Me‟thodes d‟Exe‟ge‟se, Essai sur la Science des Fondements

de la Compre‟hension, elm Usul al Fiqh dan L‟Exe‟ge‟se de

la Phe‟nome‟nologie L‟e‟tat actuel de la me‟thode

phe‟nome‟nologique, juga La Phenomenologie de

L‟Exe‟ge‟se, Essai d‟une Herme‟neutique Existentielle‟ a

Partir du Nouveau Testament. Awal tahun 1980 ia

mempublikasikan bukunya, Religious Dialogue and

26

Revolution 14

ditulis antara tahun 1972-1976, di dalamnya

ada pembahasan hermeneutika. Pembahasan hermeneutika

al-Qur‘an juga dapat ditemui dalam buku Dirâsât Islâmiyyah

bab Ushul Fiqh dan buku Dirâsât Falsafiyyah 15

terutama

pembahasan ―Qira`ah al Nash”. Pada tahun 1993, sebuah

simposium internasional di Belgia bertema Al-Qur‘an

sebagai Teks, Hassan Hanafi membahas ―Hermeneutika Al-

Qur‘an Tematik‖ yang kemudian tema ini dimuat dalam

buku Islam in The Modern World vol. I terbit tahun 2000.

Selain itu, pemikiran tafsir lain yaitu Manhaj Ijtimâ‟î. Karya

14

Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu ―Dialog dan ―Revolusi‖.

Pada bagian pertama Hassan Hanafi, di antaranya membahas

―Hermeneutika Sebagai aksiomatika: Sebuah Kasus Islam‖ (berkaitan

dengan metodologi penafsiran); Pandangan Al-Qur‘an Terhadap Kitab-

kitab Suci‖ dan ―Status Wanita Menurut Al-Qur‘an dan Ajaran Yahudi‖

(Aplikasi metode penafsirannya). Pada bagian kedua termuat dua bagian,

pertama, dimulai dengan ―Teologi tentang Tanah‖ dan ―Agama Sebagai

Perlawanan Terhadap Zionisme‖, kedua, ―Agama dan Revolusi‖,

Meskipun terjadi perkembangan krusial dalam pemikiran Hassan Hanafi

pada tiga dekade terakhir, terlebih lagi setelah diproklamasikannya

gerakan Kiri Islam pada tahun 1981 yang ditandai dengan diterbitkannya

jurnal Al Yasâr Al Islâmi, tetapi perkembangan pemikiran hermeneutika

Al-Qur‘an-nya tidak terlalu signifikan. Perubahan terjadi dari apa yang

disebutnya dengan kesadaran Individu (al Wa‟yu al Fard) pada dekade

1960-1970, kepada dominannya kesadaran kolektif (al Wa‟yu al Ijtimâ‟î)

sejak dekade 1980. 15

Dalam buku ini Hassan Hanafi membagi dua pembahasan.

Bagian pertama, Fî Fikrinâ al Mu‘âshir) (Pemikiran-pemikiran Islam

Kontemporer) dan bagian kedua, ―Fî Fikr al Gharb al Mu‘âshir‖

(Pemikiran Barat Kontemporer) di bagian ini ada pembahasan ―Qir`ah al

Nash‖ (hlm. 523-549). Lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo:

Anjilu al Mishriyyah, 1987.

27

Hassan Hanafi ini dapat ditelaah dalam Qadlâyâ Mu âshirah

bag. I, 16

dan Al Dîn wa al Tsaurah volume ke-7.17

Pada dasarnya, kesadaran untuk membangun

hermeneutika baru, awal mulanya terbentuk saat dia di

Prancis yaitu ketika mulai menulis proposal disertasi

doktornya tentang ―Metodologi Islam Komprehensif‖.

Namun, menurutnya proposal itu ditolak setelah

dikonsultasikan dengan promotornya dengan alasan studi

yang dia lakukan kurang terfokus.18

16

Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah vol. I, ―Fî Fikrinâ al

Mu‘âshir‖, Beirut: Dar al Tanwîr, 1983, hlm 175-186 terutama judul

―Hal Ladainâ Nazhariyah fî al Tafsîr‖, ―Ayyuhumâ asbaq: Nazhâriyah fî

al Tafsîr am Manhaj fî Tahlîl al Khabarât‖, serta ―‘Aud ilâ al Manba am

‗Aud ilâ Thabî‘ah‖ 17

Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah vol. 7, ―Al Yamîn wa al

Yasâr fî al Fikr al Dînî‖, Kairo: Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 69-145,

terutama ―Mâdzâ ta‘nî Asbâb al Nuzûl‖; Manâhij al Tafsîr wa al

Mashâlih al Ummah‖ terutama bagian ketiga,‖ Al Manhaj al Ijtimâ‘î fi al

Tafsîr‖, Ikhtilâf fî al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih‖. (berkaitan dengan

metodologi), serta ―Al Mâl fî al Qurân‖ dan ―Al Jihâd‖ (berkaitan dengan

penerapan metodologi). 18

Rencana Hassan Hanafi dalam disertasinya akan

mereformulasikan Islam sebagai sebuah metode universal dan

komprehensif dalam kehidupan individu dan masyarakat yang dia

bangun dengan dua konseptualisasi pertama, konsep baku dari konsepsi

dan sistem dan kedua, konsepsi dinamis dari energi dan gerak. Formulasi

ini berdasarkan konvergensi wahyu sebagai sistem ideal bagi dunia dan

dunia sekuler sebagai sistem alamiah yang bermula dari wahdah al dzat

hingga wahdah al syuhûd dan wahdah al wujûd. Setelah dia diberitahu

bahwa itu adalah gagasan dari Immanuel Kant, dia disarankan

pembimbingnya untuk memfokuskan pada tokoh Kant saja dan bukan

Islam. Alasannya karena dia telah meletakkan gagasan problem wahyu

sebagai a priori dan pengetahuan manusia atau sekuler sebagai

aposteriori. (Hassan Hanafi, ‗Al Ushûliyyah al Islâmiyyah‘ dalam Al Dîn

28

Setelah Hassan Hanafi memutuskan untuk memilih

Henry Corbin sebagai pembimbing, dia disarankan untuk

merubah istilah Islam supaya menjadi lebih spesifik dengan

hanya hermeneutikanya saja dan menelaah al Bahr al Muhîth

karya al Zarkasyi. Tetapi dia terobsesi untuk menguak

konsep kesadaran perspektif ahlu al sunnah dalam kerangka

kebangkitan dan berdialog dengan realitas umat di Mesir.‖19

Hassan Hanafi memulai penulisan disertasinya

dengan terlebih dahulu membaca tuntas setiap tulisan tentang

filsafat Eropa, utamanya Prancis dan Jerman. Setelah

pembacaannya sampai kepada Edmund Husserl dan

mengenal tafsir fenomenologi yang menyatakan bahwa

permulaan kesadaran Eropa bermula dari kesadaran personal

dan budaya maka dia mengubah judul penelitiannya dengan

pertimbangan supaya lebih detail dan seksama.

Hassan Hanafi merubah judulnya menjadi Tafsir

Fenomenologi: ―Kondisi Aktual Metode Fenomenologi dan

Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan.‖ Menurutnya, dia

sengaja menggunakan pendekatan hermeneutika dalam

memahami fenomenologi dan perubahannya menjadi

wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6. Kairo: Maktabah Madbuli,

1989, hlm.228). 19

Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.

ke-6, hlm.229.

29

fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapannya

pada fenomena keberagamaan.20

Sebagai antisipasi judul semakin mengembang,

Hassan Hanafi memutuskan untuk membuat bagian kedua

yang khusus membahas aplikasi metode fenomenologi dalam

fenomena tafsir. Akhirnya, ia membahas judulnya,

Fenomenologi tafsir: Sebuah upaya dalam tafsir

Eksistensialis. Kasus Kitab Perjanjian Baru‖ sebagai upaya

dialog antaragama dan peradaban.21

Ia mengkaji teks-teks

Kitab Perjanjian Baru dengan pendekatan Ushul Fiqh sambil

menjadikan komentar-komentar al-Qur‘an atas Injil sebagai

sesuatu yang telah diselewengkan, diubah dan diganti

sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan

pembuktian validitasnya dalam sejarah.22

20

Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.

ke-6, hlm. 233. 21

Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.

ke-6, hlm.234. Dia menceritakan bahwa ujian disertasi bukanlah terminal

akhir melainkan, risalah atau pendapat yang harus diteruskan. Dia

menyatakan bahwa kesadaran barunya diawali dalam ―Metodologi

Penafsiran‘, dan kesadaran lamanya berakhir dalam ―Dari Tafsir

Fenomenologi Menuju Fenomenologi Tafsir‖ yang berarti permulaan

bangkitnya Timur dan berakhirnya Barat. Setelah dia menyelesaikan

ujian disertasi maka pada bulan Agustus 1966 dia pulang ke Mesir dan

menyatakan bahwa dia baru menyelesaikan jihad kecil dan akan

menghadapi jihad yang lebih besar (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al

Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.235.) 22

Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.

ke-6, hlm. 234.

30

B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika

Hermeneutika sebagai aksiomatika dibermaksudkan

membangun sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif

dan universal untuk memahami teks-teks Islam.,

“hermeneutics as Axiomatic”, hermeneutika sebagai

aksiomatika berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai

ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif, dan

universal.23

Hubungan hermeneutika dengan kitab suci harus

seperti hubungan antara aksiomatika dan matematika. Seperti

aksiomatika, hermeneutika harus meletakkan semua

aksiomanya di muka dicoba lebih dahulu menyelesaikan

semua masalah hermeneutika tanpa mengacu pada data

revelata khusus.24

Jadi, hermeneutika sebagai aksiomatika

harus memainkan peranan yang sama dengan ―teori

keseluruhan‖ dan ―teori penjumlahan‖ dalam matematika.

Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan

menjadi semacam Mathesis Universalis. Aksiomatisasi

hermeneutika menurutnya, tidak mesti membutuhkan

perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia. Ia

hanya perlu menyusun semua masalah yang dikemukakan

oleh sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di

23

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo

Egyptian Bookshop, 1981, hlm. 2 24

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.

31

muka, in principil, terakhir meletakkan masalah dan

penyelesaian bersama-sama dalam bentuk aksiomatis.25

Selain merekomendasikan perlunya melakukan

perbincangan teoritis hermeneutika sebelum melakukan

kegiatan exeges --suatu hal yang sama sekali baru dalam

tradisi penafsiran klasik terhadap al-Qur‘an --Hassan Hanafi

sebenarnya juga menginginkan hermeneutika aksiomatis

bersifat positivistik.26

Bahkan, tujuan perbincangan teoritis

hermeneutikanya adalah dalam rangka aksiomatika, yakni

tidak lain untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang

obyektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal. Seperti halnya

fenomenologi yang dirintis Edmund Hursserl, pendekatan ini

memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apoditiktis,

yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun.27

Sejalan dengan kepentingan fenomenologi tersebut,

Hassan Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam kaitannya

dengan teks-teks kitab suci sebagai maslaah teoritis yang

krusial. Sebab kritik sejarah berfungsi menjamin keaslian

firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi dalam sejarah,

baik melalui medium lisan maupun tertulis.28

Sementara

dalam proses interpretasi, , penafsiran harus beranjak dari

25

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid. 26

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2. 27

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta:

Gramedia 1983 hlm 103. 28

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 14.

32

pemikiran yang kosong, seperti tabula rasa, di mana tidak

boleh ada yang lain selain analisis linguistik.29

Hanafi bukannya tidak sadar dengan tendensi

objectivistik dalam perumusan hermeneutikanya yang awal-

awal tersebut. Akan tetapi, ia sengaja menekankan hal ini

sebagai anti tesis terhadap raibnya penafsiran al-Qur‘an yang

otoritatif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang

memiliki tujuan ilmiah tertentu.30

Sebab menurutnya seperti

sudah dijelaskan sebelumnya, kebanyakan tafsir al-Qur‘an

tradisional terjebak dalam penjelasan tautologis dan repetitif

tentang tema-tema yang sama sekali tidak relevan.

Di samping itu, berharap dapat mengeleminasi

kesewenang-wenangan penafsir terhadap teks al-Qur‘an.

Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang

bersifat normatif dan karena itu, bukanlah seni yang

bergantung sepenuhnya pada kepandaian pribadi yang

menafsirkannya.31

29

Menurut Hassan Hanafi lebih lanjut, analisis linguistik terhadap

Kitab suci inipun bukan merupakan analisis yang baik, tetapi hanya

merupakan alat yang sederhana yang akan membawa kepada pemahaman

terhadap makna kitab suci. Hassan Hanafi memberikan contohnya bahwa

fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks,

tetapi masih berada di bawah bidang makna, sedangkan marfologi,

leksikologi dan sintaksis memperkenalkan langsung kepada masalah

makna (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14). 30

Hassan Hanafi, Qadlâyâ, Muâshirah Vol.2, Beirut: Dar al

Tanwir, 1983, hlm. 176. 31

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.

33

Betapa banyaknya penafsiran al-Qur‘an yang berlaku

sewenang-wenang dengan memberlakukannya sebagai teks

filsafat, sastra, hukum, dan sebagainya. Hal mana telah

menimbulkan konflik laten sepanjang sejarah kehidupan

umat Islam. Belakangan, Hassan Hanafi merevisi sebagian

asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang

rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang

proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan

bahwa ―tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan

universal. Hermeneutika tidak selalu merupakan

―hermeneutika terapan‖ yang merupakan bagian dari

perjuangan sosial. 32

Pluralitas itu sendiri mencerminkan konstruksi

masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang menjadi

dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, ia tidak lagi

berbicara hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tetapi

lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut,

yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak

mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk

apa ia dibangun.33

32

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208 33

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 3.

Bandingkan dengan Iham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan.

Bandung: Teraju, 2002 hlm. 110.

34

Hermeneutika yang cenderung bersifat historis

hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dan

diskursus pemikiran barat. Dalam hermeneutika jenis ini,

utamanya yang dikemukakan oleh Hans George Gadamer,

hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang

fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni

merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses

memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu bagi Gadamer,

sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang

dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin

memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat

historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh

―prapaham‖ tertentu yang mencerminkan historisitas yang

meliputi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian

makna obyektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu

penafsiran merupakan ―kegiatan produktif‖ dan bukanlah

proses ―reproduksi‖ makna untuk menghadirkan makna asali

dalam kehidupan kekinian.34

suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat

mengabaikan historisitas penafsiran. ―Setiap teks berangkat

dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan

34

Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as

Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Kegan Paul,

1989 hlm. 3.

35

kepentingan penafsiran dalam teks‖.35

Karenanya penafsiran

merupakan kegiatan produktif dan bukan reproduktif makna.

Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga

karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena

telah kehilangan konteks eksistensialnya. 36

Dengan kata

lain, menurutnya kalaupun makna awal berhasil ditemukan,

ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan

adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun

penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri.37

Hubungan interpretasi dengan realitas memang

demikian signifikan dalam hermeneutika al-Qur‘an,

meskipun tidak pada heremeneutika sebagai aksiomatika.

Hassan Hanafi senantiasa mengaitkan hermeneutika pada

―praktis‖. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh

Marxisme dalam pikirannya. Posisi Marxian sendiri tidak

dapat disebut sebagai tahapan tertentu dalam pemikirannya,

sebagaimana dua proposisi: hermeneutika sebagai

aksiomatika yang bersifat metodis dan hermeneutika yang

bersifat filosofis.

Sementara hermeneutika praksisnya lebih

mencerminkan instrumen sekaligus tujuan konsep

35

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549. 36

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537; Hassan Hanafi

Qadlâyâ al Mu‟âshirah vol.2, hlm. 185. 37

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537.

36

hermeneutika al-Qur‘annya. Secara metodologis, analisis

Marxisme, terutama metode dialektika, digunakan sebagai

alat untuk mensintesiskan kecenderungan positivistik dalam

fenomenologi dan sifat filosofis hermeneutika Gadamerian.

Hal ini sangat kental dalam tulisan-tulisan Hassan Hanafi

yang terbit belakangan, seperti “Hermeneutics and

Revolution” yang sarat dengan sintesis metodologis antara

fenomenologi dan hermeneutika, maupun antara penafsiran

dan perubahan.38

Hassan Hanafi menemukan pisau analisis yang tajam

tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan

hermeneutikanya, warisan Marxisme. Ia, misalnya, dapat

melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks

memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas,

kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar

teks.39

Sehingga struktur teks yang bersifat ganda tersebut

kemudian melahirkan hermeneutika ―progresif‘ dan

―konservatif‖.40

Hermeneutika konservatif berangkat dari teks,

mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan

aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan,

menganggap teks sebagai nilai per se, absolut dan universal.

38 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, Kairo: Dar

Kbaa, th. 2000, hlm 206-213. 39

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212. 40

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.

37

Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar

alat, sedangkan kehidupan nyata justru nilai absolut yang

perlu diperhatikan.41

Bahkan, jika teks bertentangan dengan

mashlahat maka mashlahat-lah yang harus didahulukan.

Karena teks itu hanya sekedar wasilah, sarana dan alat

sedangkan mashlahat, alasan dan kepentingan adalah

tujuan.42

Melalui Marxisme, ia mengajak penafsir berangkat

dari realitas dan menuju pada praksis, sebagai hermeneutika

terapan. Ia mengklaim jika hermeneutika semacam ini

sejalan dengan ―fenomenologi dinamis‖ yang dibedakan dari

fenomenologi statis.

dengan hermeneutika terapan, ia berharap dapat

menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari

sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan

revolusi (massa) dan dari tradisi ke-modernisasi.

Menurutnya, inilah metode transformasi sebagai tindakan

―regresif-progresif‖.43

Pada saat yang sama, penggunaan

41

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208,

212.

42 Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, Beirut: Dar al

Midâr al Islâmî, 2005, hlm. 573. Menurut Hassan Hanafi tidak ada perbedaan antara wahyu dan mashlahat. Apabila kitab, sunnah dan ijma bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat harus didahulukan dengan cara takhshish, karena mashlahat merupakan dasar semuanya. Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, hlm. 573..

43 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 207.

Metode Regresif-progresif dijelaskan Hassan Hanafi bahwa

menafsirkan berarti melakukan gerakganda; dari teks menuju realitas dan

dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip

38

Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan

akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang

baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat, dan

bangsa.44

C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an

Hassan Hanafi menerima sebagian gagasan baik

hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan

disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika

filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.

Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus

juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah

teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.

Hermeneutika bukan sekedar ―sains penafsiran‖ atau

teori pemahaman belaka, melainkan, anggota kompehensif

tentang sejarah teks, intepretasi, dan prakteknya dalam

mentransformasikan kenyataan sosial. Hermeneutika adalah

ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat

perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia.

45Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari

ampibologis bahasa, sementara pada yang kedua digunakan prinsip

melalui sensitivitas semangat zaman. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The

Modern World Vol. 2, hlm. 211. 44

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208. 45

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.

39

huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan

manusia.

Hermeneutika tidak dibatasi pada perbincangan

mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks

semata, tetapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan

penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya

hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.

Proses interpretasi menempati posisi kedua, setelah kritik

sejarah.46

Prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks

kitab suci adalah dengan terlebih dahulu membuktikan

keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika tidak,

pemahaman terhadap teks yang palsu akan menjerumuskan

orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya, tafsirannya benar

mengenai kandungan teks palsu tersebut47

. Setelah

memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika dalam

pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai. Menurutnya, pada

titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang

berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang

melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari

sebuah teks, segera diikuti dengan proses menyadari teks ini

dalam kehidupan manusia. Sebab, pada dasarnya, tujuan

46

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 47

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.

40

akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transpormasi kehidupan

manusia itu sendiri.48

Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan bahwa

hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara

kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab suci.49

Pertama,

kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan

tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran eidetik yang

menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.

Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut

sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu

pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia,

sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan

dunia.

Dengan tiga fase analisis ini, diharapkan

hermeneutika al-Qur‘an dapat bersifat teoritik sekaligus

praktis. Baginya, perbincangan yang berpusat pada

penafsiran teks, di satu sisi, dan pada metodologi tanpa

maksud praktis, di sisi lain, benar-benar perlu dihindari.

Hermeneutika sebagai aksiomatika harus pula

menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam penafsiran:

penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran praktis, sebagai

analisis filologi murni terhadap teks yang erat kaitannya

48

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 49

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.

41

dengan philologi sacra.50

Penafsiran semacam ini

menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-

masalah prinsipil dalam penafsiran, kecuali memusatkan diri

pada detail-detail yang sama sekali tidak membuat teks

menjadi lebih asli, jelas, maupun praktis.

Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya,

kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang

digunakannya untuk menunjukkan masalah yang terfokus

pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam

perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat

ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih

introvert.51

1. Kritik Historis

Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena

adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.

Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata

berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan

fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir

Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata

sejarah apa pun.52

Jadi, keaslian sebuah kitab suci diuji

berdasarkan atas kritik sejarah bukan berdasarkan atas

keyakinan, bukan kritik teologi dan hal-hal yang anti kritik.

50

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2. 51

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3. 52

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.

42

Dalam konteks Islam, hal ini berkaitan dengan tradisi

dua pola pengalihan (al naql) jenis kata-kata sebagai berikut

ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al naql al maktûb)

dan kedua, metode transferensi oral (al naql al syafâhî).

Melalui jalan metode transferensi tertulis adalah seperti

penulisan al-Qur‘an dan melalui jalan metode oral adalah

seperti diteransferensikannya al hadits atau al sunah.53

1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis dalam

Kitab suci seperti al-Qur‘an

Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang didiktekan

kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan langsung

didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat

pengucapan dan dengan demikian menyimpannya dalam

tulisan sampai sekarang. Kata-kata al-Qur‘an merupakan

pengalihan verbatim yaitu al-Qur‘an di mana ia ditulis segera

setelah pewahyuan di bawah pengawasan Nabi sendiri

(selain dihafal oleh para sahabat Nabi) dan persis sama

dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali ketika

diwahyukan.54

Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan

secara lisan; tetapi ditulis pada saat pengucapannya, tak satu

pun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak Kitab Taurat

53

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549. 54

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5.

Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Bandung:

Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini

kedudukan al-Qur‘an dari segi otentisitasnya bersifat qath‟iy al wurûd.

43

yang memenuhi persyaratan ini kecuali Kitab Suci al-Qur‘an.

Hanya al-Qur‘anlah yang ditulis pada saat diturunkannya.55

Wahyu pada hakekatnya merupakan firman Tuhan

yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus

disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula.

Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah

tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih

dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada

Nabi-Nya.56

Hermeneutika baru berfungsi setelah Nabi

menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.

Karena al-Qur‘an ditujukan bagi manusia, maka

konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan

wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi logos

(Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan. Namun,

hermeneutika berurusan dengan al-Qur‘an pada tahap teks

dan produktivitas (penafsiran) teks.57

Dalam hal ini,

pendefinisian al-Qur‘an apakah sebagai Kalam Allah yang

bersifat Qadim (dahulu) dan azali atau apakah bersifat

Hadits (baru) dan makhluq. Hal ini dianggap tidak relevan

diperbincangkan di sini. Dalam bahasanya yang lebih

fenomenologi, metafisika al-Qur‘an diletakkan dalam tanda

55

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. 56

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 57

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.

44

kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun juga tidak

ditolak.58

Fungsi kritik historis dalam hermeneutika untuk

memastikan keaslian teks yang terdapat dalam Kitab Suci

dengan wahyu yang disampaikan oleh Nabi dalam sejarah

yang disebarkan dari mulut ke mulut dalam kasus

transferensi oral, atau pengalihan dari tangan yang satu ke

yang lainnya dalam kasus transferensi tulisan.59

Karena al-

Qur‘an ditujukan kepada manusia, maka sebagai

konsekwensi logisnya hermeneutika tidak berurusan dengan

wahyu pada tahapan metafisis. Artinya, perhatian

hermeneutika terletak pada dimensi horizontal wahyu yang

bersifat historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang

metafisis seperti bagaimana Nabi menerima wahyu dari

Tuhannya tersebut.

Keaslian wahyu dalam sejarah, ditentukan oleh tidak

adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Kata-kata

yang diterima Nabi dan dibacakan langsung oleh Tuhan

melalui malaikat, langsung pula dibacakan oleh Nabi kepada

para penyalinnya pada saat pengucapan dan lestari sampai

saat ini dalam tulisan (al-Qur‘an).60

Pada kasus al-Qur‘an,

58

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495. 59

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6. 60

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5;

Seperti sudah diutarakan bahwa wahyu semacam ini tidak melalui

pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurutnya,

45

wahyu ditulis in verbatim yang secara harfiah dan

kebahasaan, persis sama dengan yang diucapkan oleh Nabi.

Prasyarat lain bagi keaslian Kitab Suci dalam sejarah adalah

keutuhannya. Artinya semua yang dituturkan oleh Nabi, baik

dengan menggunakan pola transferensi lisan maupun tertulis

harus tersimpan dalam bentuk teks tertulis.61

Berbeda dengan kritik yang terjadi pada teks-teks

yang mengalami fase pengalihan lisan seperti dalam al

hadits, al-Qur‘an tidak mendapatkan kritik yang rumit.

Artinya, otentisitas al-Qur‘an telah teruji secara histories.

hanya al-Qur‘an yang memenuhi persyaratan ini. Bandingkan pula

dengan karya Hassan Hanafi dalam Humûm al Fikr wa al Wathan: al

Turâts wa al „ashr, Kairo: Dar Quba li al Thaba‘ah wa al Nasyr wa al

Tauzi‘, cet. Ke-2. 1998, hlm. 17-56. Hal ini pula yang membuat

hermeneutika al-Qur‘an berbeda dengan hermenutika kitab suci lainnya.

Secara histories, al-Qur‘an adalah wahyu verbatim, dalam suatu fase

pewahyuan selama kurang lebih 23 tahun, sebagai jawaban atas kondisi

sosiohistoris masyarakat Arab saat itu. Karena pewahyuannya yang tidak

sekaligus, membuat al-Qur‘an memiliki keunikan yang tak dimiliki kitab

suci lain, di antaranya dalam hal sistematika. Al-Qur‘an bukanlah kitab

yang tersusun secara tematik, sehingga suatu tema tertentu tersebar di

beberapa tempat yang berbeda dalam al-Qur‘an, dan beberapa ayat

tertentu atau kisah tertentu terkesan diulang-ulang berbeda dengan kitab

suci lain, al-Qur‘an yang ada sekarang tidaklah berbeda dengan yang ada

pada zaman Rasulullah, tidak ada perubahan. Kecuali dalam kaitannya

dengan penambahan tanda baca, baik yang berupa titik (I‟jam), maupun

tanda baca lain (syakal) pada masa awal Islam dan perubahan ini tidak

signifikan, karena hanya untuk memperjelas pembacaan, tidak mengubah

al-Qur‘an (Daud al Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur‟an, terj. Afif

Muhammad dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994,

hlm. 191-200). Bandingkan pula Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-

Qur‟an, terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 71-

74. 61

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.

46

Beberapa kritik yang diterapkan pada al-Qur‘an, antara lain

seputar aspek bacaan seperti (qira`ah), al ahruf al sab‟ah,

hakekatnya sebagai Kalam Allah, keberadaan basmalah, dan

keberadaan kosa kata asing (non- Arab).62

Kritik terhadap al-Qur‘an juga berlaku pada

kronologi ayat, karena diakui secara historis bahwa wahyu

al-Qur‘an diturunkan secara bertahap sejalan dengan

perkembangan realitas sejarah masa Rasulullah. Dalam

kaitan ini, terjadinya naskh adalah sangat mungkin karena ia

merupakan konsekwensi logis dari wahyu yang diturunkan

62

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69. Menurutnya, para pakar ushûl fiqh klasik telah membuang problematika partikular seperti penambahan atau pengurangan dalam teks, pembacaan teks atau keberadaan basmalah. Mereka lebih dekat kepada kodifikasi al-Qur‘an. Al-Qur‘an sudah dikumpulkan pada waktu proses penurunan wahyu dan mushaf-mushaf yang satu dengan yang lainnya sudah dikomparasikan. Mushaf Usmanî merupakan mushaf yang ditransferensikan manusia dari masa ke masa hingga masa kini sebagai mushaf yang dikenal dalam ilmu-ilmu al-Qur‘an seperti dalam al Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Imam Jalaludin al Suyuthi. Pendefinisian al-Qur‘an sebagai Kalam Allah yang Qadim dan Berdiri Sendiri tidak diprioritaskan karena persoalan itu merupakan persoalan teologis yang ada di luar ilmu ushûl fiqh. Akan tetapi, pendefinisian al-Qur‘an adalah sesuatu yang ditransfer kepada kita di antara lembaran mushaf yang terdiri dari tujuh huruf yang terkenal (al Ahruf al Sab‟ah al Masyhûrah) dengan tranferensi mutawatir. Basmalah adalah salah satu ayat al-Qur‘an. Adapun kontradiksi terjadi di dalam keberadaan basmalah yang merupakan salah satu ayat dari setiap surat dan seperti Al Syafi‘î cenderung menetapkan basmalah merupakan bagian dari setiap surat. Al-Qur‘an memuat makna haqîqât dan makna majâz . Al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Tidak terdapat bahasa asing („ajam) dalam al-Qur‘an. Kata-kata asing yang terdapat di dalamnya sudah diarabisasikan secara sempurna pada masa sebelumnya. Di samping itu, al-Qur‘an juga memuat kata-kata yang bermakna tegas (al muhkam), ayat yang bermakna samar (al mutasyâbih), ayat yang jelas-tekstual (Zhahir), ayat interpretatif alegoris (al mu`awwal) yang semuanya merupakan diskursus linguistik dari pembahasan filologi. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69).

47

secara gradual dan tidak terjadi pada wahyu yang diturunkan

secara sistematik seperti-buku-buku hokum. Nasakh justru

menunjukkan hitorisitas wahyu, keterlibtan wahyu dalam

sejarah. Wahyu tidaklah muncul di luar sejarah. 63

2. Pola kata-kata yang berupa Hadits dimana ia melewati

fase pengalihan lisan sebelum ditulis

Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari

Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau

memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap

harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini

dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan

Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau

perjumpaan langsung dengan Tuhan. Karena, hadits Nabi

datang dari situasi kehidupannya.64

Untuk melihat pemilahan transferensi wahyu dari

yang in verbatim, (al-Qur‘an), Hassan Hanafi

membedakannya dari kata-kata lain yang juga berasal dari

Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang didiktekan

langsung oleh Tuhan. Materi ini berasal dari buah pikiran

Nabi sendiri tentang gagasan tertentu atau dalam rangka

63

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 70. 64

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.

Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an,

Bandung: Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Dengan demikian, menurut

Quraish Shihab, kedudukan hadits dari segi otentitasnya adalah bersifat

zhanniy al warûd.

48

memberikan petunjuk pelaksanaan dari wahyu in verbatim

yang dapat disebut dengan al hadits. 65

Secara teoritis antara wahyu i n verhatim dan hadis

Nabi tidak ada pertentangan;66

keduanya berasal dari Tuhan,

yang satu secara langsung yang lainnya tidak langsung.

Sebab setiap terjadi pertentangan akan diselesaikan dengan

baik. Antara yang prinsipil dengan yang kasuistik, antara

makna umum dan makna khusus, atau merupakan

kontinuitas pola pertama (wahyu in verbatim) kepada pola

kedua yaitu al hadits. 67

Penyelesaian tersebut dengan cara

berikut ini

Pertama, pola yang pertama memberikan gagasan

umum dan yang kedua merupakan kasus perorangan. Kedua,

pola yang pertama memberikan arti yang umum dan yang

kedua menawarkan arti yang khusus. Ketiga, pola yang

pertama biasanya muncul lebih dahulu dari pada pola yang

kedua.68

65

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 66

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Hal

ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa

tidak ada pertentangan antara al-Qur‘an dan al Hadits. Lihat Quraish

Shihab, Membumikan al-Qur‟an,117; Bandingkan pula dengan Hayy

Farmawiy, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû‟ î, hlm. 53. 67

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 68

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7-8.

Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an,

Bandung: Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Quraish Shihab dengan

mengutip pendapat Abdul Halim yang menegaskan bahwa, dalam

kaitannya tentang posisi al sunah, hadits dengan al-Qur‘an, ada dua

49

Dengan melihat paparan di atas terlihat bahwa

Hassan Hanafi termasuk orang yang tidak mengakui

kebolehan me-nasakh ayat al-Qur‘an dengan al sunnah, al

hadits. Bahkan, dia hanya menganggap kompromi seperti di

atas justru memperkuat pendapat adanya dua posisi al hadits

terhadap al-Qur‘an yang berfungsi sebagai bayân li ta‟kîd

dan bayân li tafsîr. Dalam pengertian, seperti yang

dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengutip pendapat

Abdul Halim bahwa dalam kaitannya tentang posisi al

sunnah dengan al-Qur‘an, ada dua fungsi al sunnah yang

tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta‟ kîd dan bayân

tafsîr. Fungsi bayân ta‟ kîd yaitu menguatkan atau

menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang

terdapat dalam al-Qur‘an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr,

berarti memperjelas, memerinci, bahkan membatasi

pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‘an.

Pola yang kedua ada kemungkinan melewati masa

pengalihan lisan. Dalam hal ini keaslian sejarahnya harus

terjamin. Karena tidak mungkin mencapai keaslian mutlak

bagi semua kata-kata yang ada, maka yang dilakukan hanya

fungsi al sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta‟ kîd dan

bayân tafsîr. Fungsi bayân ta‟ kîd berarti sekedar menguatkan atau

menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang dapat dalam al-

Qur‘an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti memperjelas, memerinci,

bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‘an.

50

menentukan derajat keaslian. 69

Setiap riwayat terdiri dari

dua bagian; orang-orang yang melaporkannya dari masa ke

masa yang disebut dengan rawy atau sanad; dan laporan

kisah yang disebut matan. Dalam hubungannya dengan para

rawy terdapat empat metode pengalihan lisan diantaranya

hanya yang pertama yaitu pengalihan multilateral,

mutawatir, yang menyediakan kemungkiman keaslian

mutlak.70

Dalam tulisan ini, hanya yang pertama yang akan

dijelaskan sebagai berikut ini.

69

Sebuah Hadits terbagi menjadi tiga bagian: pertama, kata-kata

sahabat yang dengan kata-kata itu mereka mulai melakukan transferensi

(periwayatan). Kedua sanad (rangkaian pewarta), dan ketiga matan

(materi hadits). (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm: 71). 70

Hassan Hanafi, D irâ sâ t Islâmiyah, hlm. 71. Sebagaimana

dijelaskan pula oleh Mahmud 'Thahhan dalam Taisîr Mushthalah al

Hadîts. Menurutnya, hadits bila ditinjau dari segi metode pengalihannya

ada empat yang terbagi dalam dua kategori yakni pertama, mutawatir

dan kedua, hadits ahâd. Sedangkan hadits ahâd ini terbagi menjadi

tiga. Pertama, al masyhûr, kedua, al 'azîz dan ketiga, al gharîb.

Lihat Mahmud Thahhân, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dâr al

Tsaqâfah, t.t., hlm. 19. Berkaitan dengan cara penyampaian hadits,

menurut Hassan Hanafi kata-kata yang disampaikan oleh para sahabat

terdiri atas lima susunan hierakis Pertama, kata-kata yang paling kuat

yaitu sahabat berkata: ―aku mendengar", ―mewartakan padaku‖, atau

―telah diceritakan kepadaku‖. Kata-kata ini tidak bisa ditembus oleh

kemungkinan salah. Kedua, adalah: ―Rasulullah bersabda‖,

―mewartakan‖, atau ―bercerita‖. Bentuk ini memuat satu kemungkinan

kesalahan karena Istima' (mendengarkan) kadang-kadang tidak secara

langsung. Ketiga, adalah ―Rasulullah memerintah" atau "Rasulullah

melarang". Dengan berdasar pada adanya kemungkinan pertama adanya

kesalahan, maka bentuk ini pun bisa ditembus atau mengandung

kemungkinan yang lain, yaitu bentuk perintah kadang-kadang bukan

rnerupakan perintah. Keempat, adalah ―kita diperintah demikian‖ atau

―kita dilarang dari demikian‖. Dengan bersandar pada kemungkinan-

kemungkinan yang terdahulu, maka bentuk ini bisa ditembus oleh

51

Pengalihan multilateral, mutawatir dalam prosesnya

teks harus dilaporkan in verbatim oleh beberapa orang yang

hidup pada zaman yang sama dengan kejadian yang

dilaporkan. Untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya

kesalahan, pengalihan multilateral harus memenuhi empat

syarat berikut ini.71

a) Para rawy tidak boleh ada ketergantungan antara rawy

yang satu dengan yang lainnya, untuk menjaga segala

kemungkinan adanya keinginan merendahkan diri.

b) Jumlah rawy harus cukup banyak untuk memberikan

kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu riwayat.72

c) Tingkat penyebaran riwayat harus seragam pada setiap

waktu, sejak penyebaran riwayat generasi pertama sampai

generasi tradisi penulisan.

kemungkinan yang lain, yaitu pemberi perintah kadang-kadang bukan

Rasulullah. Kelima, adalah ―dulu mereka melakukan‖. Berdasarkan pada

adanya kemungkinankernungkinan kesalahan yang terjadi pada bentuk-

bentuk yang terdahulu, maka bentuk ini juga bisa ditembus oleh

kemungkinan yang lain, yaitu adanya kemungkinan bahwa tindakan

(yang dilakukan) itu merupakan tindakan yang sudah sempurna tetapi

tidak pada zaman Rasulullah. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. 71

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Bandingkan pula

dengan Lihat Mahmud Thahhan, Taisîr Mushthalah al Hadîts, hlm. 20 72

Kongjungitas, mutawatir atau pengulangan yang terus menerus

(at-tawatur), yakni periwayatan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas

jumlahnya sehingga menghindarkan adanya kemungkinan mereka

membuat kesepakatan untuk mengadakan dusta, manipulasi, maupun

kamuflase, akan memberikan atau menghasilkan ilmu pengetahuan

(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71).

52

d) Isi riwayat harus sesuai dengan pengalaman manusia dan

kesaksian indrawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang ajaib dan

supranatural, ataupun ajaib. Oleh karena itu, semua riwayat

tentang kejaiban harus dihilangkan, bukan karena keajaiban

itu tidak ada, melainkan karena tidak cocok dengan panca

indra. Selain itu, keajaiban adalah peristiwa alamiah yang

menyebabkan tidak diperhatikan. Begitu penyebabnya

diketahui, maka hilanglah keajaibannya.73

Dalam hal matan riwayat harus dibuat secara

tekstual, tanpa ada pengurangan ataupun penambahan.

Hubungan yang ada antara kata maknanya adalah hubungan

yang mutlak. Makna ini diungkapkan hanya melalui kata ini

saja. Jika digunakan kata lain, akan terdapat makna bayangan

yang tidak akan sama dengan makna yang sebenarnya.74

Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua

digunakan, berakhirlah wewenang teks. Kitab suci tersimpan

melalui pola-pola. Maka dimulailah peran tradisi dalam

masyarakat. Tradisi terjadi karena kesepakatan masyarakat

yang merupakan refleksi terhadap kitab suci dan kenyataan-

kenyataan baru. , perkataan para sahabat Nabi bukan

merupakan bagian dari kitab suci melainkan dari tradisi yang

bisa diterima atau ditolak berdasarkan kesamaan atau

perbedaannya dengan kitab suci. Menurutnya, perkataan-

73

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 8-9. 74

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 10.

53

perkataan itu merupakan penafsiran pribadi yang dapat

diperbaiki langsung oleh Nabi sendiri jika terdapat

kesalahan.75

Setelah tercapai kesepakatan, setiap individu harus

berusaha mencapai pemahaman. Jika ternyata suatu

kesadaran benar-benar sulit atau tidak mungkin maka

kesadaran individu akan dapat berpikir sendiri. Mengambil

keputusan dan menemukan status bagi masalah baru yang

dihadapinya.76

Dengan demikian wahyu terdiri atas tingkatan-

tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu al Kitab, wahyu

detail berasal dari Rasulullah dengan bimbingan yang

bersumber dari Allah, wahyu komunal yang berasal dari

umat (publik) maka umat adalah khalifah Allah, dan wahyu

personal yang berasal dari nalar yang diafiliasikan pada

wahyu al-Kitab, sunnah, dan komunal. Dasar yang pertama

dan yang kedua menunjuk pada wahyu yang tertulis-statis,

sedangkan dasar yang ketiga dan keempat menunjuk pada

wahyu yang dinamis.77

2. Kritik Eidetis

Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi

menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat

75

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 11. 76

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 12. 77

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 73.

54

melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia

sebut sebagai kritik eidetis. Hassan Hanafi sendiri tidak

menjelaskan pengertian eidetis --sebuah istilah

fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses

interprestasi.78

Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali

kritik eidetis dalam pemikiran Hassan Hanafi merupakan

analisis fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang

ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh hakikat

pemahaman yang benar mengenai fenomena tersebut.

Fungsi kesadaran eidetis adalah memahami dan

menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh

kesadaran historis. Kesadaran eidetik juga merupakan bagian

terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya

proses pengambilan ketentuan-ketentuan hukum dari dasar-

dasarnya yang empat menjadi sempurna dan komprehensip.79

Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis

fenomena dicangkokkan oleh Hassan Hanafi ke dalam

78

Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ―reduksi eidetik‖

dan visi eidetik‖ yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi

fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis

menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau

kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari

eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam

fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117). 79

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78. Menurutnya, kritik

Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan

kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris

karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia.

(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 78).

55

hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya

adalah teks dan maknanya sebagaimana yang ditangkap oleh

kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus

menghindarkan diri pada pengulangan prasangka tertentu

dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu

penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata. Seorang

penafsir harus memulai pekerjaan dengan tabula rasa, tidak

boleh ada, kecuali analisis linguistiknya.80

Apa yang

dimaksud Hassan Hanafi sebagai tabula rasa di sini agaknya

harus dipahami secara fenomenologis. Dalam fenomenologi,

kesadaran bukanlah kesadaran murni sebagaimana dalam

rasionalisme, tapi selalu merupakan kesadaran yang terarah

atau ―kesadaran akan …sesuatu‖ 81

80

Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-

penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke

dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement

rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage

du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam

sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan

dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious

Dialogue and Revolution, hlm. 13). 81

Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran

menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai

―Intersionalitas‖. Disamping itu, kesadaran juga ―mengkonstitusi‖

realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada

kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar

dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm.

101)

56

Kritik eidetis, ada tiga level atau tahap analisis.

Pertama, analisa bahasa; kedua, analisa konteks sejarah; dan

ketiga, generalisasi.

2.1. Tahap Analisis Kebahasaan

2.1.1. Analisis Linguistik

Analisis linguistik terhadap kitab suci memang

bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik. Tapi

ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada

pemahaman terhadap makna kitab suci. Misalnya fonologi

adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks.

Walaupun demikian, menurutnya, fenologi ini masih berada

dibawah bidang makna.

2.1.2. Analisis Sintaksis

Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata berikut

implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan kata.

Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis makna:

―makna etimologi‖, ―makna biasa‖, ―makna baru‖. Makna

etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah makna

yang mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam suatu

masyarakat, ruang, dan waktu tertentu.82

Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai

dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara

82

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.

57

makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang tidak

terkandung dalam makna etomologis, maupun makna biasa.

Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar turunnya

wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk bagi

tindakan dan merupakan dorongan baru bagi manusia.83

Oleh

karena itu, kandungan maknanya sama sekali bebas dari hal-

hal yang misterius, tetapi justru merupakan makna alamiah,

rasional, dan jelas, kandungan makna baru dimaksudkan

untuk membebaskan manusia dari usaha-usaha mencari teori

agar manusia dapat memusatkan diri pada perhatian pada

praktik.

Sementara itu, sintaksis yang bagi Hassan Hanafi

merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran

dalam tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-

prinsip makna ganda dalam teks.84

Kajian sintaksis ini

seperti terlihat pada makna haqîqah (makna harfiyah) dan

makna majâz (kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal),

dan mujmal (ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash

(makna yang tepat); al zhâhir (makna yang tampak) dan al

muawwal (makna yang tersembunyi); al „am (makna umum)

dan al khash (makna khusus); al amr (perintah) atau al nahy

(larangan).

83

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14. 84

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14-

17, Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80.

58

2.1.2.1 Makna haqîqah, makna harfiyah dan makna majâz,

kiasan

Tema al-Haqîqah wa al-Majâz (yang harfiyah dan

yang metafora) yang mengandung prinsip-prinsip linguistik

universal, dan tidak mengandung logika bahasa yang

meliputi yang mujmal (global) dan yang mubayyan

(klarifikatif), yang zhahir (eksplisit) dan yang interpretatif

alegoris (mu‟awwal, implisit), perintah dan larangan, umum

dan khusus.

Al-Haqiqah merupakan makna kata-kata yang

digunakan pada proporsinya sedangkan metafora merupakan

penggunaan kata-kata yang tidak pada proporsinya. Ada tiga

macam metafora: pertama, kata-kata yang dipinjam oleh

sesuatu dengan alasan ada kesamaan dalam spesifikasi yang

sudah dikenal. Kedua, penambahan seperti huruf kaf za‟idah

dalam ayat laisa kamist lihi syai‟un (tidak ada sesuatu pun

yang menyerupai-Nya). Ketiga, pengurangan yang tidak

menggusur pemahaman sebagaimana yang terjadi dalam ayat

was‟al al-qaryah (dan tanyakanlah kepada penduduk desa).85

85

Hassan Hanafi selanjutnya menjelaskan bahwa metafora dapat

diketahui melalui empat tanda, yaitu pemberlakukan yang harfiah

(hakikat) terhadap hal-hal yang universal, larangan istiqaq (pengasalan)

terhadapnya, perbedaan bentuk plural bagi kata benda, dan

ketergantungan yang harfiah terhadap yang lain. Setiap metafora

mempunyai hakikat (makna harfiah) akan tetapi tidak semua yang harfiah

harus memiliki metafora. Oleh karena itu, nama-nama alam dan nama-

nama yang tidak umum tidak mempunyai metafora. Demikian itu

59

2.1.2.2.Mubayan, univokal, dan mujmal, ekuivokal

Mubayyan adalah kata yang maknanya jelas dalam

pengertian tidak mengandung (makna) yang lain, dan disebut

juga dengan nashsh (teks). Mujmal adalah kata yang

berputar-putar di antara dua pengertian atau lebih tanpa

tarjih (penguatan salah satu makna di atas yang makna yang

lain), tanpa kepastian bahasa, dan tanpa melalui pengertian

adat pemakaian. Jika pengertian kata-kata itu hanya eksplisit

pada makna yang lain, maka ia disebut zhahir.86

Globalitas

(ijmal) suatu saat berada dalam kata tunggal, kata majemuk,

dan pada saat yang lain berada dalam susunan perkataan,

definisi, huruf-huruf penghubung, tempat-tempat berhenti

dan permulaan (ibtida‟)

2.1.2.3.Al zhahir, makna yang tampak dan al muawwal,

makna yang tersembunyi.

Arti yang tampak adalah arti yang dapat ditangkap

dengan jelas pada kontak pertama dengan teks tanpa perlu

mengeluarkan usaha pemahaman ekstra. Sedangkan arti yang

tidak tampak memerlukan usaha yang lebih besar dan

menunjukkan bahwa di penghujung akhir sesuatu terdapat aspek estetika

secara bahasa dan pemakaian bentuk-bentuk estetisme dalam wahyu agar

berkesan bagi jiwa dan berorientasi pada motivasi-motivasi menuju

perjalanan praksis (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80). 86

Menurutnya lebih lanjut, jika dimungkinkan membawa kata

pembuat hukum (alsyari‟) pada sesuatu yang memberikan dua makna

dan membawanya pada sesuatu yang memberikan satu makna di mana ia

berada dalam kebimbangan di antara keduanya, maka kata-kata itu adalah

mujmal demi kehati-hatian (Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).

60

petunjuk pendalaman yang lebih banyak.87

Kunci ganda ini

memberi dimensi kedalaman, disebabkan adanya perbedaan-

perbedaan lain di antara manusia dalam memahami teks

untuk memuaskan semua pihak dengan cara memberikan

kedalaman arti yang berbeda.

Kata zhâhir (eksplisit) dan muawwal (implisit)

merepresentasikan kaidah bahasa (al-qâ‟idah al-

lughawiyyah) yang kedua. Kaidah ini berkaitan dengan

kaidah pertama. Hal itu dikarenakan kata yang memberikan

petunjuk yang tidak merupakan kata yang mujmal kadang-

kadang merupakan teks (nashsh) dan kadang-kadang

merupakan eksplisit (zhahir). Teks (nashsh) adalah kata yang

tidak mengandung kemungkinan interpretasi alegoris

(takwil) sedangkan zhahir merupakan kata yang mengandung

interpretasi alegoris (takwil). 88

hahir, teks yang samar dan al

nash, teks yang tepat. Istilah ganda ini menunjukkan adanya

dimensi teori dan praktek Zhâhir, teks yang samar

menyajikan banyak kemungkinan tindakan yang dapat

diambil. Al nash, teks yang tepat hanya menyediakan satu

kemungkinan. Hal ini berarti bahwa teori cukup luas

menyediakan pilihan tindakan menurut setiap keadaan.89

87

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. 88

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81. 89

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.

Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81.

Menurutnya, teks (nashsh) merupakan nama homonim (ism musytarak)

61

2.1.2. 4. Al‟âm, makna umum dan al khâsh, makna khusus

„Amm (universal) adalah satu kata yang ditinjau dari

satu sisi menunjukkan dua hal atau lebih. Kata ini terdiri atas

kata yang universal absolut, spesial absolut, atau kata

universal dan kata spesial yang direlasikan. Dalam

pandangan universal, kata-kata universal mempunyai lima

bentuk, yaitu kata-kata dalam bentuk plural, huruf permulaan

yang dipakai dalam kalimat bersyarat dan jawabnya, ―kapan‖

dan ―di mana‖ yang dipakai untuk tempat dan waktu, kata-

kata yang meniadakan (nafy), dan kata benda tunggal

(singular) yang dimakrifatkan (yakni diberi awalan huruf alif

dan lam, yakni al-) dan kata-kata penguat. Semua kata-kata

penguat menunjukkan pengertian yang mengambil secara

yang dinyatakan dalam tiga macam: zhahir (eksplisit) sebagaimana yang

terjadi dalam pandangan al Syafi‘i, kata yang pada dasarnya tidak bisa

ditembus oleh suatu kemungkinan baik dari dekat maupun dari jauh, dan

kata yang tidak bisa ditembus oleh kemungkinan yang diterima yang

didukung oleh dalil. Sedangkan interpretasi alegoris (takwil) adalah

kemungkinan yang didukung oleh dalil yang lebih didominasi oleh

spekulasi daripada makna yang ditunjukkan oleh kata zhahir. Identik

dengan hal ini adalah semua interpretasi alegori adalah memalingkan

kata dari (makna) yang harfiah pada (makna) yang metaforis, demikian

pula hanya dengan spesifikasi yang umum (takhshish al ‗umûm). Dari

dalil itu harus terdapat argumentasi pertalian (qarînah), penalaran

analogis, atau fenomena eksplisit lain yang lebih kuat. Pertalian-pertalian

itu kadang-kadang berakumulasi untuk menunjukkan falsifikasi atau

kesalahan interpretasi alegoris yang tidak cukup hanya ditunjukkan oleh

satu argumentasi saja (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81).

62

keseluruhan (al-istighraq) secara posisi kecuali jika ada yang

melampaui posisinya.90

Makna umum dan khusus merupakan istilah ganda

yang membentuk dimensi perorangan. Teks berisi deskripsi

manusia secara umum dan selebihnya terserah pada

penentuan masing-masin penafsir. Isi teks adalah masing-

masing individu tersebut.91

2.1.2. 5. Al amr, perintah dan al nahy, larangan

Perintah adalah suatu ucapan yang berimplikasi pada

ketaatan yang diperintah (al-ma‟mûr) dengan melakukan

tindakan yang diperintahkan. Larangan adalah suatu ucapan

yang berimplikasi pada peninggalan tindakan yang

dilarang.92

2.2. Tahap Analisis Kesejarahan

90

Uraian yang lebih detail selanjutnya lihat Hassan Hanafi, Dirâsât

Islâmiyah, hlm. 83. 91

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. 92

Para pakar usul telah membahas persoalan apakah ucapan

merupakan pernyatan dengan lisan atau pernyataan jiwa. Dalam

persoalan ini, para ahli terpolarisasi menjadi dua kelompok. Kelompok

pertama adalah kelompok yang menetapkan atau mengakui jiwa.

Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mengingkari

pernyataan jiwa. Kelompok ini menjadikan pernyataan jiwa kadang-

kadang berupa huruf dan suara, bentuk dasar (shighah) dan bebas dari

qarinah-qarinah yang menunjukkan pada aspek perintah, seperti ancaman

dan kebolehan (al ibâhah), kadang-kadang merupakan akumulsi

keinginan yang diperintah (al ma‟mûr), dan keinginan menciptakan

bentuk (shighah) dan keinginan menunjukkan implikasi tekstual (dilâlah)

perintah sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian kaum Mu‘tazilah

(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 82).

63

Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada

level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada

latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Dua jenis

situasi, yakni ―situasi saat‖ atau ―contoh situasi‖ dan ―situasi

sejarah‖. Situasi saat adalah kasus dimana teks diturunkan

yang menjadi subtratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang

ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah situasi saatnmya.

Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks tidak ditulis in

verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi

inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti dalam injil, atau

komentar seperti dalam al hadits) tertentu dalam sejarah

yang ditulis oleh para penulis wakyu pada masa berikutnya.93

2.3. Tahap Generalisasi

Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah

ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti

mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya

agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap

terakhir ini, diperoleh makna baru dari kegiatan penafsiran

yang berguna untuk menyingkap beragam kasus spesifik

dalam kehidupan masyarakat.94

Langkah-langkah kritik eidetik di atas adalah yang

nampak dalam karya Hassan Hanafi Religious Dialogue and

93

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 21. 94

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.

64

Revolution. Tetapi dalam beberapa karya Hassan Hanafi

berikutnya, dan dalam karya eksegetiknya nampak terjadi

perubahan pendekatan. Terutama dalam analisis histories;

tidak lagi menekankan sejarah yang melatarbelakangi

turunnya ayat, melainkan, lebih merupakan analisis sejarah

kontemporer atau lebih tepatnya, analisis social. Hal itu tidak

lepas dari konsepsi tentang asbab al nuzul yang berbeda dari

yang dikenal selama ini. asbab al nuzul menunjukkan bahwa

wahyu tidaklah menentukan realitas, tetapi justru wahyu

diundang oleh realitas aktual itu sendiri. Hal ini seperti yang

terlihat dalam karya Hassan Hanafi, ―Mâdzâ Ta‘nî Asbâb al

Nuzûl‖ dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-

1981 vol. 7.

Berkaitan dengan asbâb al nuzûl, realitas dapat

diketahui dengan fitrah sehingga memungkinka bagi orang

lain untuk bersepakat dan membenarkannya (intersubyektif).

Hal ini telah terjadi misalnya pada Umar Bin Khathab, di

mana dia mengetahui realitas kaum muslimin dan kebutuhan

mereka dengan menggunakan fitrahnya. Ketika Nabi

memohon wahyu untuk masalah atau realitas tertentu yang

dihadapi kaum muslimin dan Beliau mengetahui wahyu yang

dikehendaki dengan menggunakan hawas-nya, kemudian

65

wahyu turun justru membenarkan pengetahuan Umar Bin

Khathab.95

Berdasarkan atas hal itu, asbâb al nuzûl menunjukkan

bahwa penafsir haruslah memilih dari wahyu (al-Qur‘an)

yang relevan untuk memecahkan permasalahan aktual yang

dihadapi. Dengan kata lain, penafsiran adalah melacak

kembali peristiwa pewahyuan, dan asbâb al nuzûl itu tidak

lain adalah problem dalam realitas kontemporer. Oleh karena

itu analisis terhadap realitas kontemporer adalah bagian

integral dari hermeneutikanya.

Berdasarkan hal di atas, terdapat tiga tahap

penafsiran: tahap analisis realitas, tahap analisis kebahasaan

yang terdiri dari analisis bentuk dan analisis isi, dan tahap

generalisasi. Tahap-tahap ini didukung oleh karya eksegetik

dari Hassan Hanafi seperti ―al Mâl fî al-Qur‘an‖ yang

termuat dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-

1981 vol. 7. Tahap analisis ini adalah untuk mengetahui

problem realitas kontekstual. Tahap ini melibatkan

pendekatan interdisipliner dan dengan bantuan pakar-pakar

sosial, politik dan ekonomi. Dari sinilah diperoleh tema-tema

95

Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 72-73. Demikian juga kasus ketika wahyu membenarkan firasat Umar Bin Khathab tentang kekhawatiran bahaya khamr terhadap akal dan kehidupan. Kemudian wahyu turun tetang pelarangan terhadap khamr (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 73).

66

penafsiran dengan memberikan prioritas pada tema-tema

yang menyentuh kebutuhan kontemporer.

Tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis

bentuk (tahlîl al shurah) dan analisis isi (tahlîl al madlmûn).

Analisis bentuk dilakukan dengan mengalisis bangunan

konseptual dan bentuk kebahasaan ayat-ayat yang satu tema

yang diklasifikasikan berdasarkan atas kata benda atau kata

kerja dan seterusnya sehingga memungkinkan untuk

membatasi tema. Sedangkan analisis isi berkaitan dengan

analisis makna dan susunannya dalam kumpulan-kumpulan

pokok sehingga memungkinkan untuk membangun tema,

membedakan antara makna primer dan makna sekunder,

antara yang positif dan negatif antara yang ilahiyah dan

manusiawi, antara yang spiritual dan material, antara yang

individual dan sosial, sehingga memungkinkan untuk

mengetahui ide wahyu dalam tema-tema pokok. Setelah

tahapan semua di atas kemudian dilakukan tahapan terakhir

yaitu geralisasi.

3. Kritik Praktis

Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan

bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika

aksiomatika. Hermeneutika al-Qur‘an semenjak awal

memang merupakan cara baca al-Qur‘an dengan maksud-

maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,

67

hermeneutika jelas menaruh perhatian besar pada

transformasi masyarakat.

Hermeneutika Hassan Hanafi melampaui tafsir

historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al-

Qur‘an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu

tertentu saja karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa

lalu. Kami membangun tafsir perseptif (al tafsîr al syu‟ûrî)

agar al-Qur‘an dapat mendeskripsikan manusia,

hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia,

kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan

politik.96

Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir

ayat per ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris

dan mengulang-ulang. , kita bangun tafsir tematis dengan

menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu

rupa sehingga muncul konsep universal tentang Islam, dunia,

manusia dan sistem sosial. Menurutnya, lebih lanjut kami

tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan

akidah menjadi ideologi revolusi.

Praktis merupakan penyempurnaan Kalam Tuhan di

dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah

dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma

lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan

96

Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al

Islâmiyah, Kairo: Heliopolis. 1981, hlm. 19.

68

untuk praktis. Hal ini menurutnya, karena wahyu al-Qur‘an

sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di

samping sebagai objek pengetahuan.97

Pandangan Hassan Hanafi mengenai sifat fungsional

dan dimensi psikologis dari al-Qur‘an di sini --dan bukannya

sifat kebenarannya empiris-historis dari isinya secara

keseluruhan seperti pandangan banyak kaum Muslim-- perlu

memperoleh perhatian sebab berpengaruh pada pendirian

hermeneutisnya mengenai hakikat teks, intepretasi, makna,

dan kebenaran bahasa agama. Sebuah dogma, hanya dapat

diakui eksistensinya jika didasari sifat keduniaannya sebagai

sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan

manusia. Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma

adalah pembuktiannya yang bersifat praktis. Menurutnya

realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia

sama dengan realisasi perbuatan illahiyyah dan dengan

sedirinya, merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di

atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan

penerapan hukum-hukum Tuhan (al ahkam al syar‟iyyah) di

dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‗ilm usûl al

fiqh) dianggap „ilm al tanzil, yang dibedakan dari „ilm al

ta‟wil dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini

menginginkan gerak dari manusia kepada Tuhan, sementara

97

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.

69

yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali

menuju kehidupan manusia.98

Kita tidak perlu membuktikan

teoritis akan eksistensi Tuhan kecuali sebagai pengenalan

terhadap sabda-sabda-Nya dalam kehidupan dunia. Tuhan

sebagai personal, oleh Hassan Hanafi, diletakkan dalam

tanda kurung, sehingga teologi positif tidak lagi berurusan

dengan fakta, intuisi, atau aturan, tetapi transformasi wahyu

dari teori ke praktik. 99

Dengan kritik praktis ini,

dimaksudkan ingin menunjukkan fungsi transformatif wahyu

dalam kehidupan manusia.

Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke

dalam realitas tidak lain merupakan konsekuensi logis dari

objek analisis hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci.

Sementara terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra,

analisisnya hanya perlu pada tahap historis dan eidetis.

Bahkan dalam banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah

masalah terakhir. Keaslian teks sastra harus selalu diterima,

98

Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 102. Lihat pula Hassan

Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan. Cet. Ke-2. Kairo: Dâr Qubâ,

1998, hlm. 17-56. Menurutnya, Memang benar wahyu telah

dikodipikasikan, bahwa pembacaan dilakukan terhadap tradisi dan

interpretasi terhadap kitab suci. Namun, wahyu sendiri melalui asbâb al

nuzûl. Realitas sebagai yang pertama dan wahyu sebagai yang kedua.

Realitas bertanya dan wahyu menjawab. Dengan demikian, tanzil,

sebenarnya penafsiran. Turun dari langit pada hakikatnya terangkat dari

bumi. Upaya mencari makna dari asal melalui kaidah bahasa sebenarnya

bersejajar dengan memburu illat melalui pengalaman (Hassan Hanafi,

Humûm al Fikr wa al Wathan, hlm. 17-56). 99

Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.

70

kecuali pada teks-teks kuno.100

Menurutnya, hal ini tidak

dengan sendirinya menunjukkan bahwa hermeneutika sacra

berbeda dari hermeneutika umum (general hermeneutics),

sebab pada dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian

yang terakhir. Hanya saja, dalam hal objek penafsiran,

hermeneutika sacra menampilkan spektrum analisis yang

lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu kitab suci tidak

mungkin melepaskan diri dari masalah otentisitas,

pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman tersebut

dalam dunia nyata. 101

Hal yang menarik dari gagasan Hassan Hanafi

tersebut adalah pandangannya tentang fungsi hermeneutika

al-Qur‘an sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-

macam bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam

masyarakat. Di samping itu, hermeneutika al-Qur‘an Hassan

Hanafi menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran), yakni tafsir

berdasarkan kesadaran tentang kemanusiaan, hubungan

manusia dengan yang lainnya, tugasnya di dunia,

kedudukannya dalam sejarah, dan untuk membangun system

sosial dan politik.

Demikian kuatnya kepentingan praksis dalam

hermeneutika al-Qur‘an Hassan Hanafi, perbincangan

mengenai hermeneutika al-Qur‘an dianggap sebagai salah

100

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. 101

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid.

71

satu bagian dari sebuah skema besar perubahan sosial.

Praksis adalah tujuan, setelah dilakukan kritik sejarah teks

dan analisis eidetik. Di samping itu, hermeneutika al-Qur‘an

sebagai salah satu elemen transformasi social dari proyek

yang digagas oleh Hassan Hanafi, al Turats wa Tajdid yang

mencakup tradisi, kritik atas dunia Barat dan transformasi

realitas kontemporer.

Meskipun membangun hermeneutika dengan praksis,

pada kenyataannya Hassan Hanafi lebih banyak bergerak

dalam kerangka teori. Barangkali kenyataan ini harus

dipahami dalam pengertian bahwa praksis terletak bukan

karena hermeneutikanya hanya berbicara tentang teori dan

formulasi tafsir perubahan, dan bukannya dalam bentuk aksi

sosial. Sebab maksud praksis di sini adalah keterkaitan

antara teori dan praktek, refleksi dan aksi yang dapat menjadi

sumbangan bagi para aktitivis gerakan dalam melakukan

usaha-usaha transformatif. Alasan ini juga menurut penulis

dapat dijadikan jawaban terhadap kritik yang diajukan

Boulatta yang mengatakan Hassan Hanafi terlalu teoritis

untuk dipraktekan.

D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur’an

Berdasarkan pembacaan terhadap penafsiran-

penafsiran yang ada dalam penafsiran tradisional yang

72

hanya bertumpu pada teks, menurutnya penafsiran semacam

ini merupakan pengalihan, al intiqâl yang hanya

memindahkan bunyi teks kepada relitas, seakan-akan teks-

teks keagamaan itu adalah realitas yang dapat berbicara

sendiri.102

Padahal, metode yang hanya bertumpu pada teks

102

Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî, hlm. 30. Berikut ini penjelasan Hassan Hanafi tentang kelemahan-kelemahan penafsiran yang bertumpu pada teks. Pertama, teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanya merupakan sebuah deskripsi linguistik tentang realitas yang tidak dapat menggantikannya. Oleh karena itu, setiap argumentasi harus autentik. Penggunaan teks sebagai sebuah argumentasi harus merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan a-priori terlebih dahulu. Sehingga, argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Hal ini merupakan kenyataan yang elitis. Ketiga, Teks bertumpu pada otoritas kitab suci dan bukan pada otoritas akal. Padahal, otoritas seperti ini tidaklah argumentatif, karena terdapat banyak kitab suci, sementara realitas dan akal hanya satu. Keempat, Teks adalah pembuktian (al burhân) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Padahal dalam pembuktian, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, Teks membutuhkan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, dan bahkan akan menyelewengkan maksud-maksud semua teks yang sesungguhnya. Sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks itu bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk beriman kepada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak para penafsir ke dalam pola pikir parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan-pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentinganya, sebagaimana seorang sosialis akan melakukan hal yang sama terhdap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks. Sehingga di dalam realitas, pertikaian dan perbedaan para penafsir akan menjadi sumber pertikaian masyarakat, sebangun dengan pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan dan emosi keagamaan. Ia hanya sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarahkan kepada rasio dan realitas keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan

73

seperti itu mempunyai banyak kelemahan terutama dari segi

epistimologi. Kelemahan-kelemahan disebutkan Hassan

Hanafi, disebabkan ada sebelas faktor yang dapat

disimpulkan di antaranya sebagai berikut ini. Pertama,

tidak menjadikan realitas sebgai teks.103

Kedua, tidak

menjadikan teks sebagai pembuktian dari dalam realitas

yang mempunyai nalar, sehingga teks sebagai argumentasi

yang diperuntukan bagi orang yang percaya dikarenakan

teks menuntut orang percaya terlebih dahulu.104

Ketiga, teks

tidak dikaitkan dengan realitas sebagai acuan yang

ditunjukinya. Keempat, tidak menjadikan teks yang bersifat

unilateral. Kelima, menganggap hanya ada satu pemahaman

dari suatu teks, padahal teks itu merupakan satu pilihan

penafsir dari sekian banyak penafsiran. Jadi, yang

menentukan teks adalah penafsir itu sendiri yang

tekstual bukan metode ilmiah yang menganalisis realitas kaum muslimin, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi jauh lebih rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat dari pada untuk pembuktian, karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan kaum muslimin sebagai umat. Kesebelas, kalaupun mengarah kepada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan tentang realitas sampai kepada fakta, siapa memiliki apa (Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî, hlm. 30).

103 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern

World Vol. II, hlm. 207-208.

104 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern

World Vol. II, hlm. 211.

74

dilatarbelakangi oleh kepentingannya.105

Keenam, teks tidak

diarahkan kepada rasio dan kenyataan keseharian umat.

Ketujuh, metode tekstual tidak memperjuangkan muslim

sebagai rakyat melainkan, memperjuangkan Islam sebagai

prinsip. Kedelapan, tidak menjelaskan perhitungan secara

kuantitatif.

Terlalu bertumpu dengan metode linguistik,

menjadikan mufasir mengbaikan terhadap prinsip-prinsip

metode pengalaman eksperimental (al manhaj al tajrîbî)

yang menjadi dasar „ilat dalam penetapan suatu hukum,

istinbath, suatu istilah dalam hukum Islam.106

Sebaliknya,

metode yang terlalu bertumpu pada rasio atau analisis nalar

sering dijumpai kontroversi sering terjebak pada penafsiran

bertele-tele, penafsiran teks yang tidak memperhatikan

apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.107

Untuk menangani problem yang pertama Hanafi

mencoba mengemukakan metode untuk menelaah suatu

teks dengan tafsir al syu‟ûrî (tafsir perseptif, kesadaran)

dengan metode tematik. Tafsir ini dimaksudkan agar al-

Qur‘an mendiskripsikan manusia, hubungannya dengan

105

Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II, hlm. 167.

106 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,

vol. II. hlm. 167.

107 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,

vol. II. hlm. 179.

75

manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam

sejarah, membangun sistem sosial dan politik.108

Tafsir ini

menggunakan metode kuantitatif dengan angka-angka dan

statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya

sendiri yang langsung merujuk secara objektif pada konteks

realitas tersebut dan mendefinisikan secara kuantitatif.109

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kuantifikasi ini

selalu lebih detail dan akurat daripada sekedar identifikasi

abstrak. Kalau para ulama terdahulu, semacam Ibn

Taymiyah (1262-1327 M), menjadikan akal dan persaksian

sebagai aksioma (dalil) yang mendasari pengutipan suatu

teks, maka tafsir metode baru ini , menambahkannya110

dengan eksperimen, realitas kuantitatif dan penggunaan

bahasa angka-angka terutama untuk hal-hal yang berkaitan

dengan distribusi kekayan kaum muslimin kepada

keseluruhan umat.

Sebagai penyelesaian untuk problem yang kedua,

Hassan Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode

analisis pengalaman (manhaj tahlîl al khubrât)., analisis

yang bertumpu pada pengalaman hidup tidak saja akan

membawa kepada makna teks, namun, bahkan kepada

108

Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, hlm. 19.

109 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.

110 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.

76

realitas itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang

diungkapkan teks. Inilah yang dimaksudkan dengan al ta`

wil.111

Prosedur dari pendekatan ini adalah orang yang ingin

menafsirkan teks, terlebih dahulu harus menganalisis

pengalamannya sendiri sebelum memulai penafsiran teks

atau menulisnya.112

Tujuannya adalah untuk memunculkan

pada diri penafsir berbagai kepentingan, motivasi dan

imajinasi tertentu yang mendasari dan mengarahkan

penafsiran. Setelah itu barulah hasilnya dikorelasikan

dengan teks.113

E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya

Konsepsi Hassan Hanafi mengenai beberapa

pengertian teks dan proses memahaminya dalam literatur

Islam klasik terefleksi dalam istilah-istilah seperti qira‟ah,

tafsir, ta`wil, dan syarh yang agak spesifik. Menurut

Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan

proses memahaminya, sementara yang menjadi obyek

pemahaman itu adalah teks.114

Menurut Sara Mills, seorang

111

Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II. hlm. 180.

112 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir vol.

II. hlm. 180. Bandingkan dengan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Jakarta: Teraju, 2002 hlm. 145.

113 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.

114 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526.

77

ahli bahasa dari Inggris, mengatakan bahwa teks adalah

suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh

karena itu, pembaca di sini tidaklah dianggap semata

sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut

melakukan transaksi segaimana akan terlihat dalam teks.115

Membaca teks ini dapat disejajarkan dengan teori

pengetahuan dalam filsafat skolastik yang ditandai dengan

relasi subyek-objek. Jika membaca adalah subjek, maka

objeknya adalah teks. Membaca berarti memahami dengan

sendirinya juga berarti menafsirkan dan mentakwilkannya.

Menurut Sara Mill bahwa sebuah berita harus dilihat

bagaimana satu pihak, kelompok, orang gagasan atau

peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana

berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh

khalayak. Bahkan menurut Mills, bagaimana posisi dari

berbagai aktor sosial, posisi gagasan , atau peristiwa itu

ditempatkan dalam teks.116

115

Menurut Mills membangun model yang menghubungkan antara penulis, teks dan pembaca mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama, akan melihat secara komprehensip melihat teks bukan hanya berhungan dengan faktor produksi namun juga resepsi. Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting karena memang teks ditujukan untuk secara langsung atau tidak ―berkomunikasi‖ dengan khalayak. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKis, 2001, hlm. 204-205.

116 Eriyanto, Analisas Wacana, Yogyakarta: LKis. 2001, hlm 201.

Mills memberikan contoh bahwa seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana media

78

Tafsir berada pada level kedua dalam proses

pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung

tidak dimungkinkan. Instrumen-instrumennya adalah logika

bahasa, orientasi teks (taujih al nash) atau konteks sosial

dan rûh al „ashr (semangat zaman). Jika penafsiran dengan

logika bahasa menemui jalan buntu, sementara signifikansi

teks, kebutuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat,

maka yang terjadi adalah proses ta‟wil.117

Sementara syarh

(komentar) mencakup ketiga hal sebelumnya yakni qirâ`ah

atau pemahaman dengan persepsi langsung, penafsiran, dan

ta`wil.

Dalam kedudukannya sebagai bangunan

pengetahuan yang komprehensif, syarh , mencakup

hubungan antara proses membaca dan teks dalam relasi

subjek-objek. Pembacaan suatu teks lebih lanjut dapat

menjadi kegiatan yang bercorak pribadi terjadi ketika

seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari

kebudayaan yang sama sebagai sebuah penghampiran

tertentu terhadap tradisi mereka berdua dan dapat pula

bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak. Dikutip dari Eriyanto yang mengutip dari Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1997.

117 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527

79

mencerminkan dialektika sosial.118

Pembacaan jenis ini

lebih merupakan interpretasi dengan tujuan melakukan

korelasi dan pembaharuan guna memenuhi atau

menyesuaikan dengan semangat zaman. Sedangkan, jika

pembacaan dilakukan seseorang pada orang lain dari

peradaban yang berbeda, maka yang terjadi adalah

peristiwa dialektika kebudayaan.119

Pembacaan teks yang dilakukan oleh seseorang

dalam dua bentuk di atas bukan sekedar sebagai tafsir,

ta‟wil dan syarh belaka terhadap objeknya. Melainkan,

sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut persepsi

pembaca yang mencakup pembacaan, analisis, kritik, dan

―rekonstruksi‖ untuk menyempurnakan struktur dan

penyingkapan aturan-aturan teks.120

Pada sisi lain, pembacaan teks bukanlah seni, tapi

ilmu praktis yang bersifat komulatif guna menyingkap

struktur dasar sutu teks, baik yang berbentuk dalam rentang

118

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan pendapat Sara Mills bahwa posisi pembaca sangatlah penting dan harus diperhitungkan dalam teks. Bahkan, Mills menolak pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca diabaikan. Dalam model semacam ini, teks dianggap semata sebagai produksi dari sisi penulis dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembaca yang hanya ditempatkan dan dianggap sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, th. 2001, hlm. 203.

119 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 528.

120 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 529.

80

waktu yang panjang atau dalam periode yang singkat.

Hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan

hubungan antara subyek dengan obyeknya. Subyek adalah

penafsiran dengan kegiatan penafsirannya, sementara obyek

adalah teks.121

Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan

dengan teks sakral semua teks diperlakukan sama sebagai

konsekuensi leburnya pemilahan antara hermeneutika sacra

dan hermeneutika profan dalam diskursus hermeneutika

kontemporer. 122

Hassan Hanafi menganggap keistimewaan

121

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526. Bandingkan dengan Eriyanto yang mengutip Sara Mills yang mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dengan pembaca. Mills mengajukan beberapa alasan kenapa model yang menempatkan pembaca hanya sebagai penerima (yang tidak mempengaruhi proses produksi teks) tidak begitu akurat. Pertama, dalam model tradisional ini, penulis dipandang sebagai pihak yang secara sewenang-wenang dapat mengontrol teks. Padahal dalam kenyataannya penulis tidak ―bebas‖ semacam itu. Dalam teks berita misalnya pewarta juga memperhitungkan apa yang disukai pembaca, karakteristik pembaca yang ia tuju, dan sebagainya. Untuk pembaca dengan kelas sosial atau kelompok umur tertentu, tulisan dibuat dengan gaya dan topik tertentu. Hal ini akan berbeda apabila ia menulis untuk kelompok sasaran pembaca yang lain. Dengan, demikian tidak ada otonomi besar pada diri penulis karena ia berhadapan dengan pembaca atau khalayak yang dibayangkan. Kedua, dalam faktanya, pembaca mempunyai peranan penting yakni dalam bagaimana teks itu ditafsirkan. Pembaca adalah kreator, ia bisa menafsirkan teks bahkan berbeda dengan yang diyakini oleh penulis. Sebuah teks bahkan bisa dikreasikan ulang membentuk teks baru oleh pembaca. Kutipan Eriyanto dari Sara Mills ‗Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis‘ dalam Michael Toolan (ed.) Language, Text and Context: Essays in Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.

122 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan

dengan Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.

81

al-Qur‘an sebagai teks kategori dalam praktek keagamaan

masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika.123

Desakralisasi teks-teks suci, termasuk al-Qur‘an

tersebut menciptakan hubungan-hubungan simetris antara

al-Qur‘an, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesis

hubungan-hubungan struktural dalam hermeneutika al-

Qur‘an klasik. Dalam penafsiran tradisional, teks atau al-

Qur‘an berada di puncak dan pusat, sedangkan realitas tidak

dibicarakan secara eksplisit.124

Untuk mengatasi

kelemahan-kelemahan tafsir tradisional terutama dari segi

orientasi ini diperlukan membangun metode tafsir

kontemporer yang dapat menjembatani kesenjangan antara

teori tradisional dan realitas.125

Pemahaman terhadap al-Qur‘an adalah perbincangan

mengenai teori penafsiran (nazhariyah al tafsir) yang

mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat,

123

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 495. Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, vol. II. Kairo: Dar Quba, 1997, hlm. 23-30.

124 Menurut Hassan Hanafi, dalam realitas penafsiran al-Qur‘an saat

ini, terlihat ada pemilahan antara teori tafsir tradisional berupa ilmu-ilmu al-Qur‘an, teks-teks yang berisi penjelasan tradisional dengan realitas kekinian yang muncul dengan beragam pemikiran sekulernya tanpa memperhatikan teks-teks tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan penghubung di antara keduanya. Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah. Vol II, hlm. 177. Bandingkan dengan Ilham E. seorang, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 140 dan 177.

125 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,

vol. II. hlm. 177.

82

kebutuhan kaum muslimin dan isu-isu kontemporer.126

Sehingga diharapkan dapat mengatasi kekurangan yang

terdapat dalam tafsir-tafsir tradisional yang tidak pernah

melakukan perbincangan teoritis sebelumnya secara

tuntas.127

Tafsir yang tidak memperbincangkan teoritas seperti

itu seperti terlihat dalam tafsir tradisional yang

mengakibatkan tidak otonom dan terjebak pada orientasi

metodologis dari disiplin tradisional. Dalam materinya,

tafsir tradisional menjadikan al-Qur‘an lebih banyak

dijadikan sumber justifikasi suatu keilmuan.128

Padahal,

baginya, al-Qur‘an bukan merupakan buku panduan bahasa,

hukum, sejarah, tasawuf, teologi, filsafat, bahkan ilmu

pengetahuan, panduan sosial politik atau panduan tentang

metafora.129

Menurutnya al-Qur‘an lebih baik dipandang

126

Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II. hlm. 175. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, ‗Manâhij al Tafsîr‘ dalam al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 78.

127 Teoritisasi dimaksudkan Hassan Hanafi untuk meletakkan

kembali al-Qur‘an sebagai sumber dan obyek pengetahuan secara simultan di hadapan rasionalitas sebelum melakukan kegiatan keilmuan lainnya berupa pembuatan hukum, sebelum membangun keilmuan Islam apapun, atau sebelum merekonstruksi disiplin tradisional Islam, baik ushul fiqh, tasawuf, fiqh, kalam, filsafat dan sebagainya (Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II, hlm. 176.

128 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 485-

494.

129 Hassan Hanafi. ‗Manâhij al Tafsîr‘, dalam Hassan Hanafi, al Dîn

wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm. 79-101.

83

dan berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi

bagi suatu tindakan.130

1. Prinsip-Prinsip dalam Analisis Teks.

Berbeda dengan pandangan yang banyak

berkembang di kalangan pemikir Muslim, Hassan Hanafi

menganggap bahwa sebuah teks tidak mengandung makna

objektif apa pun. Teks selalu merupakan praktik manusiawi

semenjak penciptaan pertama hingga pembacaan terakhir.131

Pandangan ini didasarkan pada sifat kesejarahan dari teks.

Seperti disinggung sebelumnya, Hassan Hanafi

menganggap teks sebagai bagian dari praksis ideologi.

Sebagai konsekwensinya, tidak ada pembacaan teks yang

objektif, kecuali penafsiran itu sendiri. Apa yang terjadi

dalam wilayah penafsiran tidak lain adalah pembacaan

masa lalu dalam kacamata kekinian.

Setiap penafsiran dengan sendirinya menjadi

proyeksi masa kini ke dalam masa lalu, dan bukan

sebaliknya. Sehingga, upaya penulusuran sebagai arkeologi

(al hufriyat) dalam tafsir memperoleh makna awal selalu

merupakan kegiatan yang sia-sia. Karena sekalipun apa

yang diklaim sebagai makna awal dapat ditemukan, bukan

130

Hassan Hanafi. Religion Dialogue and Revolution, hlm. 17.

131 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.

84

serta-merta berarti menemukan makna teks yang

sesungguhnya.132

kebenaran dalam proses pemahaman tidak terletak

pada korespondensi makna dengan realitas masa lalu

sebagaimana diyakini epistimologi konvensional, akan

tetapi dari korelasi makna dengan pengalaman hidup

manusia.133

Penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia

fungsional dalam sejarah. Karena penafsiran tidak lain

merupakan persaksian subyek di hadapan individu,

masyarakat dan sejarah. Agaknya, hal ini merupakan

jawaban atas pertanyaan dimanakah letak makna al-Qur‘an

apakah ada pada realitas di abad ketujuh atau pada Tuhan.

Ketika membaca makna teks dalam sejarah, meskipun

terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang melahirkan

teks, namun, ia tetap bukan menjadi pendasaran bagi

penafsiran makna masa kini. Hal ini karena sumber sejarah

tetap tidak akan pernah memadai. Kalaupun sumber sejarah

dijadikan sumber, yang terjadi adalah kontroversi sejarah

ketimbang menafsirkan teks tersebut.134

Penafsiran teks dalam situasi kontemporer

sepenuhnya merupakan kegiatan produktif, penemuan

132

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.

133 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 537.

134 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.

85

makna-makna baru dari teks. Tidak mempersoalkan apakah

sesuai atau tidak dengan makna aslinya, demikian juga

apakah konteks situasionalnya sama atau berbeda. Istilah ini

sebagai ―proyeksi masa kini ke dalam masa lalu‖ atau

―metode retroaktif‖.135

Membaca teks sebagaimana menulisnya, sama-sama

merupakan tindakan ideologis. Setiap pembacaan

merupakan keputusan dan rekonstruksi obyek bacaan

dengan mengabaikan situasi awal di mana teks muncul dan

teralienasi. Oleh karena itu, baik penulisan maupun

pembacaan teks masing-masing merupakan ―senjata

ideologis‖.136

Setiap kelompok membaca sekaligus

memproyeksikan diri ke dalam teks, mencari

kepentingannya dan menjadikan teks sebagai justifikasi

untuk kepentingan berbagai tindakan sosial.

Sebagai kegiatan produktif, suatu bacaan atas teks

berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam

teks sebelumnya bahkan dalam makna awalnya yang sama

sekali belum ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi karena

pemahaman manusia senantiasa diperkaya oleh akumulasi

pengetahuan yang memperkenalkan berbagai temuan yang

135

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.

136 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.

86

tidak pernah disadari sebelumnya.137

Di samping itu,

pemahaman manusia senantiasa dideterminasi oleh

kesadarannya akan realitas sosial dan individual di mana ia

hidup. Determinasi sosial kebudayaan seperti itulah yang

menyajikan persepsi tertentu yang bisa saja berbeda dengan

pemahaman penafsiran sebelumnya.

Ada tiga prasyarat yang tidak mungkin diabaikan

dalam sutu pembacaan teks.138

1. Kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (historically

effected consciousness)

Pijakan pada situasi tertentu yang dalam

hermeneutika filosofis disebut sebagai prapaham atu

kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah. Konsep ini

menunjukkan bahwa setiap pemahaman manusia selalu

berpijak dari suatu pemahaman sebelumnya mengenai apa

yang dibutuhkan dan apa yang menjadi tujuan penafsiran

teks. Dasar ini kemudian memberikan tawaran pemilihan

makna tertentu bagi penafsir.139

penafsiranlah yang

menentukan pilihan makna bagi teks. Sebaliknya, seorang

penafsir yang melakukan pembacaan terhadap teks yang

137

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.

138 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.

139 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. Bandingkan

dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 497; Bandingkan pula dengan Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale Universuty, 1994 114.

87

tanpa dibekali dengan kepentingan tidak akan menemukan

apa-apa. Menurutnya, makna adalah tujuan yang telah

ditentukan sebelum pembacaan dilakukan.

Hassan Hanafi menolak klaim objektivitas dalam

pembacaan teks. Sebaliknya, pembacaan yang tidak

dikaitkan dengan kepentingan itulah yang justru ideologis

karena berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari

teks yang objektif, padahal ia sama sekali tidak memberi

tafsiran yang objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu.

Prasyarat140

pemahaman yang pertama ini bukan semata-

mata aturan teoritik yang mendahului penafsiran, bukan

pula tendensi ideologis atau ide seseorang, akan tetapi

prinsip umum dan objektif yang melampaui relativitas;

menyerupai kepentingan umum dan kecenderungan pikiran.

2. Berpihak kepada kepentingan umum.

Suatu interpretasi tidak berada dalam ruang kosong,

tetapi bergerak dalam arus sejarah. Sementara, sejarah

menurutnya, berkaitan dengan struktur-struktur sosial yang

menggambarkan hubungan dialektis antara penguasa

dengan yang dikuasai sehingga, masing-masing penguasa

memiliki bentuk penafsirannya.141

Terhadap fenomena

sosial tersebut, sebuah metode tafsir harus menjadi bagian

140

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.

141 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546-547.

88

dari gerakan sosial dan reformasi untuk tetap menjamin

terwujudnya kepentingan umum. Penafsiran apa pun harus

berpihak pada kepentingan yang bersifat publik dan

menolak pembacaan lain yang berpusat tendensi ideologi

dan teologis yang berpihak pada penguasa.

3. Harus berpijak pada ―bahasa relitas‖.

Seorang penafsir tidak dapat membatasi diri pada

teks dalam pengertian tertulis, tapi teks dalam pengertian

―realitas‖. Penafsiran menstransformasikan bahasa kepada

masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi antara

teks dengan realitas.142

Jadi, pada tahap ini penafsiran dapat

disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah yang

menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.

2. Nilai dan Kekuatan Teks

Teks merupakan penulisan semangat zaman yang

terungkap dalam pengalaman individu dan masyarakat pada

banyak situasi. Jadi, setiap teks selalu merupakan refleksi

realitas sosial tertentu. Teks bukan semata-mata sebagai

gambaran internal penulisnya, melainkan, teks juga

merupakan sarana pembentukan kesadaran akan realitas

tertentu yang terefleksi dalam teks.143

142

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 547.

143 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 533.

89

Penulisan teks senantiasa tunduk pada faktor-faktor

subjektif, persepsi tentang kenyataan, persepsi dalam

membaca dan menentukan orientasi tertentu. Hassan Hanafi

menyebut ―teks sebagai praktik ideologi‖ (al nash „amal

aydiyûlûjî)144

. Dalam hal ini, teks pun bersifat arbitrer

karena merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud dari

keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa

datang.

Di samping itu, tujuan penulisan teks tidak lain

bersifat etis dan ideologis. Disebut etis karena penulisan

suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan

keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi

mendatang. Sementara disebut sebagai bersifat ideologis,

karena langsung atau tidak, teks merupakan sarana efektif

untuk mewariskan kekuasaan.145

Sebagai medium kuasa, teks tidak hanya berfungsi

sebagai preservasi makna, tetapi juga merefleksikan otoritas

tertentu dalam kapasitasnya sebagai pemberi petunjuk,

hukum, dan keputusan. Bahkan, dalam masyarakat

tradisional di mana teks menjadi sumber pengetahuan, ia

144

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.

145 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.

90

merupakan kekuasaan itu sendiri.146

Peran teks sebagai

medium kuasa memang sentral dalam banyak teori teks.

Dalam kritik wacana misalnya sering disinggung bahwa

dalam masa transisi dari kebudayaan lisan kepada

kebudayaan tulisan sering terjadi pertarungan ideologis

dalam rangka membakukan pemikiran atau doktrin tertentu

ke dalam memori umat. Dalam proses tersebut tekslah

merupakan instrumen yang sangat efektif.147

Dalam tradisi dari kebudayaan oral ke tulisan terjadi

proses penyeragaman berbagai fenomena sosial ke dalam

penafsiran tertentu. Hanafi menunjukkan contohnya dalam

kasus penyeragaman bacaan al-Qur‘an ke dalam dialek

Quraisy sebagai proses interpretasi, kalau bukan intervensi

manusia ke dalam teks.148

Hassan Hanafi bukannya

keberatan dengan kejadian semacam di atas. Melainkan,

dari sana ia ingin menunjukkan adanya sifat historisitas dari

setiap teks. Di samping itu, secara tidak langsung

merupakan pendasaran bagi pandangannya tentang

interpretasi teks sebagai proses kreatif.

146

Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi‟i: Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta: LKIS, 1997, hlm. 215.

147 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi‟i: Moderatisme,

Ekletisisme, Arabisme, hlm. 215.

148 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.

91

Dalam masyarakat tradisional, fungsi instrumental

teks lebih signifikan lagi. Sebab masyarakat menganggap

teks sebagai argumen otoritatif. Ia menjadi semacam

pengetahuan teoritis dan norma praktis bagi pola prilaku

masyarakat. Pada intinya, teks merupakan pembentuk

pandangan dunia (weltanschauung) dan standar prilaku

massa.149

Wujud teks dalam masyarakat tradisional dapat

dianggap sakral, seperti risalah kenabian, dan kitab suci.

Teks dapat pula bersifat profan seperti bentuk pribahasa dan

puji-pujian.150

Namun demikian, perbedaan keduanya

hanyalah pada derajat bukan pada jenis. Oleh sebab itu,

secara teoritis, teks profan maupun sakral tunduk pada

aturan yang sama dalam interpretasi teks.151

Tradisional

teks demikian sentral sehingga teks kitab suci masih

menjadi sumber pengetahuan dan norma prilaku. Demikian

juga hermeneutika. Dalam masyarakat tradisional,

hermeneutika dapat menggantinkan posisi epistimologi

dalam masyarakat sekuler, sehingga norma prilaku terdapat

dalam teks kitab suci dan bukan diperoleh dari alam dan

149

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 208.

150 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.

151 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.

92

nalar.152

Sebaliknya, dalam masyarakat sekuler alam dan

nalarlah yang menjadi sumbernya.

Teks mengandung dinamika dan vitalitas di

dalamnya. Akan tetapi, sebelum dilakukan pembacaan,

maka ia hanya potensial dan status sifatnya. Membaca teks

berarti menghidupkannya. Teks adalah forma yang perlu

diberi subtansi melalui penafsiran manusia.153

Dalam kaitan

dengan penafsiran, setiap teks berarti mengandung potensi

dinamis yang memungkinkan dilakukannya penafsiran

kreatif.

Dalam kaitannya dengan hal ini, teks keagamaan

dan teks sastra lebih tinggi lagi kadar probabilitas dan

pilihan maknanya ketimbang teks-teks konseptual. Karena

teks-teks semacam ini mengandung sifat ―mistis‖ yang

tercermin oleh banyaknya perumpamaan, alegori, dan

kiasan. Teks-teks demikian, memberi imajinasi yang lebih

besar pada pembentukan makna.154

Teks juga selalu bersifat ambigu; selalu tersedia

pluralitas makna. Pembacaan teks bertugas memberi

keputusan dengan mempertimbangkan konteks di mana ia

berada. Karakter seperti ini mencerminkan bahwa teks

152

Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.

153 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211;

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.

154 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 534.

93

selalu membutuhkan penafsiran yang dengannya makna

menjadi jelas dan eksplisit.155

Dengan ungkapan lain, dia

mengatakan bahwa ―teks adalah bentuk tanpa isi, dan isi

tanpa jasad, pembacaanlah yang memberinya subtansi dan

bentuk.

3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks.

Teks dalam persepsi seorang penafsir tidak memiliki

makna objektif. Membaca teks tidak dapat dilakukan

dengan mencari makna aslinya atau menelusuri

perkembangannya dalam sejrah karena keduanya telah

kehilangan konteks. Dalam pengertian ini, teks tidak

bersifat absolut, namun merupakan kumpulan relativitas

yang ditafsirkan secara beragam pula oleh setiap masa. Dan

karena setiap masa memiliki kecenderungannya masing-

masing, maka penafsiran pun menjadi relatif.

Membaca teks tidak dapat dibatasi pada makna

harfiahnya (al tafsîr al harf) sebab hal ini hanya akan

menjaga teks melainkan juga membunuh makna,

merupakan dominasi kata atas makna, status quo atas

transformasi, dan kebekuan atas dinamika.156

Dengan kata

lain, penafsiran harus disesuaikan dengan kebutuhan

tertentu.

155

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535.

156 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.

94

Penafsiran pada gilirannya, tidak memiliki

parameter benar-salah, kecuali tafsir kepentingan (al tafsir

al qashdy) itu sendiri. Bagi Hassan Hanafi, penafsiran dapat

dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah. Penafsiran

tidak lain merupakan persaksian subjek di hadapan

individu, masyarakat dan sejarah.157

Prosedur penafsiran

adalah makna muncul pertama kali dari penafsir yang

tercermin dalam motivasi, kepentingan, dan imajinasi

tertentu, baru setelah itu makna berkolerasi dengan teks.

Baginya, setiap klaim kebenaran dalam penafsiran tidak

dapat mengelak dari kenyataan ideologis seperti dalam

prosedur tersebut.158

Dengan pandangan ini, sepintas makna

objektif bukan berada dalam teks, tapi pada kesadaran

manusia, sementra pada hakekatnya, makna subjektif yang

beralih dari kesadaran ke dalam teks.

Perubahan makna teks merupakan penyebab adanya

teks-teks yang bersifat relatif, mutasyabihat, sebab ia

menunjukkan sisi histories pemahaman manusia.

Sebaliknya teks-teks yang bersifat absolut, al muhkamat

adalah prinsip bahwa yang ada adalah relativitas

penafsiran.159

Absolutivitas makna dengan demikian

157

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid.

158 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.

159 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.

95

bukanlah pada makna orisinal teks, tetapi terletak pada

prinsip-prinsip umum, esensial, dan mendasar tentang

pemahaman makna yang dalam hermeneutika filosofis

modern disebut ―dimensi universal hermeneutika‖. Hanafi

menjabarkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat unsur

berikut ini.160

1. Kreativitas nalar, badahah al‟aql.

Pemahaman intensionalitas hubungan makna

dan kepentingan. Manusia dengan intensionalitas

(kesadaran, al „aql al badihi) dapat mengungkapkan

hubungan makna dan kepentingan. Kesadaran di sini tentu

saja dalam pengertian fenomenologis yang terarah pada

realitas dan bukannya kesadaran yang murni semata-

mata.161

2. Pemahaman terhadap pengalaman manusia, tradisi.

Situasi kemanusiaan yang berlangsung dari masa ke

masa seperti nilai-nilai yang selalu diperjuangkan; revolusi

‗ubudiyah, ritual agama; melawan ketidakadilan;

mempertahankan kebebasan dan seruan untuk musawah,

kerukunan. Adanya pemahaman hermeneutika filosofis

160

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.

161 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.

96

yang banyak mempengaruhi Hassan Hanafi, maka tradisi

dengan sendirinya merupakan prasyarat pemahaman.162

3. Pemahaman logika bahasa

Di samping intensionalitas dan tradisi, pada

prinsipnya, pemahaman selalu berkaitan dengan bahasa

teks. Teks hanya dapat dipahami sejauh merujuk pada

bahasa yang di dalamnya bahasa dibentuk. Logika bahasa

menyangkut logika semantis (manthiq al alfâzh) dan logika

konteks kebahasaan (manthiq al siyâq).163

4. Konteks sosio-historis.

Sebagai prasyarat terakhir, setiap penafsiran

bagaimanapun tidak dapat mengabaikan adanya situasi awal

(asbâb al nuzûl) yang menjadi latar belakang turunnya teks,

meskipun ia tidak lagi memadai menjadi rujukan

penafsiran. Pengakuan akan adanya situasi awal

merefleksikan supremasi (uluwiyyah) realitas atas

pemikiran dan teks.164

Artinya suatu penafsiran senantiasa

historis di mana pemikiran (penafsiran) dalam bentuk apa

162

Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.

163 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.

164 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 543.

97

pun tidak akan pernah sepi dari pijakan sejarahnya yang

oleh Hassan Hanafi disebut ―situasi batas‖ dan situasi etik‖.

Implikasi pendirian tersebut di atas adalah tidak

adanya nilai absolut dalam wilayah penafsiran. Setiap

interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan konteks

penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah

relativitas itu sendiri. Kalaupun ada hal –hal yang dianggap

absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil

dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai

tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Hassan Hanafi

juga bermaksud menghindari segala macam klaim

objektifitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung

sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam

kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu

merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam

masyarakat.165

Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi

justru bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan

kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan

penafsirannaya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting

karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan

hermeneutika al-Qur‘an. Dalam hermeneutika al-Qur‘an,

165

Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm.117-119.

98

eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada

benar salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang

hakiki, tetapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun,

disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana

hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa

penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan

bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.

99

BAB III

SOSIO-TEMATIK HERMENEUTIKA

ALQURAN TERHADAP SABAR

A. Identifikasi Ayat-Ayat tentang Sabar

Langkah pertama yang adalah menghipun ayat ayat

tentang sabar dalam al-Quran. Kata sabar yang diungkap

dalam Al-Qur‘an sebanyak 103 kali dalam berbagai

bentuknya sebagai berikut: kata shabara disebut dua kali

(Q.S. 42:43, 4635), shabartum dua kali (13:24, 16:126),

shabarna dua kali (14:21, 25:42), shabaru 15 kali (7:137,

11:11, 13:22, 16:42, 96, 110, 23:111, 25:75, 28:54, 29:59,

32:24, 41:35, 49:5, 76:12), tashbiru 18:68, tashbiru lima kali

(3:120, 125, 186, 4: 25, 52:16), atashbiruna 25:20, nashbir

2:61, lanashbiranna 14:12, yashbir 41:24, ishbir 19 kali

(10:109, 11:49, 115, 16:127, 18:28, 20:130, 30:60, 31:17,

38:17, 40-55, 77, 46:35, 50:39, 52:48, 68:48, 70:5, 73:10,

74:7, 76:24), ishbiru enam kali (3:200, 7:87, 128, 8:46, 38:6,

52:16), shabiru 3:200, ma ashbarahum 2:175, ishthabir tiga

kali (19:65, 20:132, 54:27), al-shabr enam kali (2:45, 153,

16:18, 83, 90:17, 103:3), shabran delapan kali (2:250, 7:126,

100

18:67, 72, 75, 78, 82, 70:5), shabruka 16:127, shabiran dua

kali (18:69, 38:44), al-shabirun tiga kali (8:65, 28:80,

39:10), al-shabirin 15 kali (2:153, 155, 177, 249, 3:17, 142,

146, 8:46, 66, 16:126, 21:85, 22:35, 33:35, 37:102, 47:31),

shabirah 8:66, al-shabirat 33:35, shabbar empat kali (14:5,

31:31, 34:19, 42:33); lihat Muhamad Fuad ‗Abd al-Baqi, Al-

Mu‟jam al-Mufahras (1991:507-509).

Tabel Himpunan Ayat dengan perubahan kata

dasar Sabar

No.

Qur’an Surat (QS.)

Ayat ke

Kata Root1

Root2

Prefix

Suffix

Terjemah

1 Al-Baqarah

45 بالص

بر

ب صبر صبر

dengan sabar

2 Al-Baqarah

صبر صبر نصبر 61

kami bersabar

3 Al-Baqarah

153

بالص بر

dengan sabar ب صبر صبر

4 Al-Baqarah

153

الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

5 Al-Baqarah

155

الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

6 Al-Baqarah

175

أصبر هم

صبر صبر

sangat tahan/sabarnya mereka

7 Al-Baqarah

177

والص برين

و صبر صبر

dan orang-orang yang sabar

8 Al-Baqarah

249

الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

9 Al-Baqarah

250

صبر صبر صبرا

kesabaran

101

10 Al-Imran 17 الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

11 Al-Imran 120

تصبر وا

kamu bersabar صبر صبر

12 Al-Imran 125

تصبر وا

صبر صبر

kamu bersabar

13 Al-Imran 142

الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

14 Al-Imran 146

الصبر ين

صبر صبرorang-orang yang sabar

15 Al-Imran 186

تصبر وا

صبر صبر

kamu bersabar

16 Al-Imran 200

اصبر وا

صبر صبر

bersabarlah kamu

17 Al-Imran 200

وصا بروا

و صبر صبرdan tingkatkan kesabaranmu

18 AN-Nisa 25 تصبر

وا

صبر صبر

kamu bersabar

19 Al-An'am 34 فصبر وا

ف صبر صبر

(akan tetapi) mereka sabar

20 Al-A'raf 87 فاصبر وا

ف صبر صبر

maka bersabarlah kamu

21 Al-A'raf 126

صبر صبر صبرا

kesabaran

22 Al-A'raf 128

واص بروا

dan bersabarlah و صبر صبر

23 Al-A'raf 137

صبرو ا

صبر صبر

mereka bersabar

24 Al-Anfal 46 واص بروا

و صبر صبر

dan bersabarlah kamu

25 Al-Anfal 46 الصبر

ين

صبر برصorang-orang yang sabar

26 Al-Anfal 65 صبرو

ن صبر صبر

orang-orang yang sabar

27 Al-Anfal 66 صبر صبر صابرة

orang yang sabar

28 Al-Anfal 66 الصبر صبر صبر

orang-orang

102

yang sabar ين

29 Yunus 109

واص بر

dan bersabarlah و صبر صبر

30 Hud 11 صبرو

ا صبر صبر

(mereka) sabar

31 Hud 49 ف صبر صبر فاصبر

maka bersabarlah

32 Hud 115

واص بر

dan bersabarlah و صبر صبر

33 Yusuf 18 ف صبر صبر فصبر

maka kesabaran

34 Yusuf 83 ف صبر صبر فصبر

maka kesabaran

35 Yusuf 90 ويص

بر

و صبر صبر

dan bersabar

36 Ar-Ra'd 22 صبرو ا

صبر صبر

(mereka)bersabar

37 Ar-Ra'd 24 صبر

تم

kesabaranmu صبر صبر

38 Ibrahim 5 صبر صبر صبار

orang yang sabar

39 Ibrahim 12 ولنص برن

ول صبر صبر

dan sungguh kami akan bersabar

40 Ibrahim 21 صبر صبر صبرنا

kami bersabar

41 An-Nahl 42 صبرو

ا صبر صبر

(mereka) bersabar

42 An-Nahl 96 صبرو ا

صبر صبر

(mereka) sabar

43 An-Nahl 110

وصبر وا

و صبر صبرdan mereka bersabar

44 An-Nahl 126

صبر تم

صبر صبر

kamu bersabar

45 An-Nahl 126

للصبر ين

ل صبر صبر

bagi orang-orang yang bersabar

46 An-Nahl 127

واص بر

و صبر صبر

dan bersabar

47 An-Nahl 127

صبر ك

صبر

kesabaranmu

103

48 Al-Kahfi 28 واص بر

و صبر صبر

dan bersabarlah

49 Al-Kahfi 67 صبر صبر صبرا

sabar

50 Al-Kahfi 68 صبر صبر تصبر

kamu bersabar

51 Al-Kahfi 69 صبر صبر صابرا

bersabar

52 Al-Kahfi 72 صبر صبر صبرا

sabar

53 Al-Kahfi 75 صبر صبر صبرا

bersabar

54 Al-Kahfi 78 صبر صبر صبرا

bersabar

55 Al-Kahfi 82 صبر صبر صبرا

bersabar

56 Taha 130

ف صبر صبر فاصبر

maka bersabarlah kamu

57 Taha 132

واصط بر

صبرصط

بر و

dan berteguhlah/bersabarlah

58 Al-Anbiya

85 الصبر

ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

59 Al-Hajj 35 والص برين

و صبر صبر

dan orang-orang yang sabar

60 Al-Mu'minun

111

صبرو mereka sabar صبر صبر ا

61 Al-Furqan 20

أتصبر ون

أ صبر صبرapakah/maukah kamu bersabar

62 Al-Furqan

صبر صبر صبرنا 42

kita bersabar

63 Al-Furqan

صبرو 75 ا

صبر صبر

mereka bersabar

64 Al-Qasas 54 صبرو

صبر صبر اmereka bersabar

65 Al-Qasas 80 الصبر

ون

صبر صبر

orang-orang yang sabar

66 Al-'Ankabut

صبرو 59 ا

صبر صبر

(mereka) bersabar

67 Ar-Rum 60 ف صبر صبر فاصبر

maka bersabarlah kamu

104

68 Luqman 17 واص

بر

dan bersabarlah و صبر صبر

69 Luqman 31 صبر صبر صبار

orang yang sabar

70 As-Sajdah

روصب 24 ا

صبر صبر

mereka sabar

71 Al-Ahzab 35 والص برين

و صبر صبرdan laki-laki yang sabar

72 Al-Ahzab 35 والص برت

و صبر صبر

dan perempuan-perempuan yang sabar

73 Saba' 19 صبر صبر صبار orang-orang yang sabar

74 As-Saffat 102

الصبر ين

صبر صبر

orang-orang yang sabar

75 Sad 6 واص بروا

و صبر صبر

dan bersabarlah

76 Sad 17 صبر صبر اصبر

Bersabarlah

77 Sad 44 صبر صبر صابرا seorang yang sabar

78 Az-Zumar

10 الصبر

ون

صبر صبر

orang-orang yang sabar

79 Al-Ghafir/Al-Mu'min

ف صبر صبر فاصبر 55

maka bersabarlah kamu

80 Al-Ghafir/Al-Mu'min

ف صبر صبر فاصبر 77

maka bersabarlah kamu

81 Fussilat 24 يصبر

وا

صبر صبرmereka bersabar

82 Fussilat 35 صبرو

ا صبر صبر

Sabar

83 Ash-Shura

صبر صبر صبار 33

orang yang bersabar

84 Ash-Shura 43 صبر صبر صبر dia sabar

85 Al-Ahqaf 35 ف صبر صبر فاصبر

maka bersabarlah kamu

105

86 Al-Ahqaf 35 صبر صبر صبر Bersabar

87 Muhammad/Al-Qital

31 والص برين

و صبر صبر

dan orang-orang yang sabar

88 Al-Hujurat

5 صبرو

ا صبر صبر

mereka sabar

89 Qaf 39 ف صبر صبر فاصبر

maka bersabarlah kamu

90 At-Tur 16 فاصبر

وا

ف صبر صبر

maka bersabarlah kamu

91 At-Tur 16 تصبر

وا

kamu sabar صبر صبر

92 At-Tur 48 واص

بر

و صبر صبر

dan bersabarlah

93 Al-Qomar

واصط 27 بر

صط صبر بر

و

dan bersabarlah

94 Al-Qalam 48 ف صبر صبر فاصبر maka bersabarlah

95 Al-Ma'arij

ف صبر صبر فاصبر 5

maka bersabarlah

96 Al-Ma'arij

صبر صبر صبرا 5

Kesabaran

97 Al-Muzzammil

واص 10 بر

و صبر صبر

dan bersabarlah

98 Al-Muddaththir

ف صبر صبر فاصبر 7

maka bersabarlah

99 Al-Insan/Ad-Dahr

12 صبرو

mereka sabar صبر صبر ا

100

Al-Insan/Ad-Dahr

ف صبر صبر فاصبر 24

maka bersabarlah kamu

101

Al-Balad 17 بالص بر

ب صبر صبر

dengan kesabaran

10 Al-'Asr 3 بالص ب صبر رصب

dengan

107

B. Susunan Ayat-Ayat Sabar berdasar Tartib

Nuzul (urutan turun surat)

Berikut merupakan terjemahan dari Departemen

Agama RI tentang ayat-ayat sabar dalam al-Quran. Mengenai

susunan berdasar turun surat al-Quran ini penulis mengikuti

al Zanzani. Dia menggunakan rujukan buku Nadzmu al

Durar yang disusun oleh Ibrahim bin Umar al Biqa‘I,

terbitan Kairo Mesir, kitab al-Fihrits yang disusun oleh Ibnu

Nadim dan kitab yang ditulis oleh Abu Qasim Umar bin

Muhammad bin Abdul Kafi yang kemudian dikutip oleh

Noldeke.166

Noldeke mengatakan bahwa buku Abu Qasim

tersebut terdapat di perpustakaan Cod Lugd 647 Warn.

Susunan Berdasarkan Urutan Turun Surat Ayat Tentang

Sabar dalam Kelompok Surat Makiyyah

No. Nama Surat Terjemah ayat dalam Bahasa

Indonesia

1 Makiyyah

QS. Al-

Muddaththir :

7

7. dan untuk (memenuhi perintah)

Tuhanmu, bersabarlah.

166

Az-Zanzani, Tarikh al-Qur‟an, Terjemah Kamaludin MA

dan A. Qurthubi H, 1996, Bandung: Mizan, hlm. 70.

108

2 Makiyyah

QS. Al-

A'raf : 87

87. jika ada segolongan daripada

kamu beriman kepada apa yang aku

diutus untuk menyampaikannya dan

ada (pula) segolongan yang tidak

beriman, Maka bersabarlah, hingga

Allah menetapkan hukumnya di antara

kita; dan Dia adalah hakim yang

sebaik-baiknya.

3 Makiyyah

QS. Al-

A'raf : 126

126. dan kamu tidak menyalahkan

Kami, melainkan karena Kami telah

beriman kepada ayat-ayat Tuhan

Kami ketika ayat-ayat itu datang

kepada kami". (mereka berdoa): "Ya

Tuhan Kami, Limpahkanlah

kesabaran kepada Kami dan

wafatkanlah Kami dalam Keadaan

berserah diri (kepada-Mu)".

4 Makiyyah

QS. Al-

A'raf : 128

128. Musa berkata kepada kaumnya:

"Mohonlah pertolongan kepada Allah

dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi

(ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-

Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya

dari hamba-hamba-Nya. dan

kesudahan yang baik adalah bagi

orang-orang yang bertakwa."

5 Makiyyah

QS. Al-

A'raf : 137

137. dan Kami pusakakan kepada

kaum yang telah ditindas itu, negeri-

negeri bahagian timur bumi dan

bahagian baratnya[560] yang telah

Kami beri berkah padanya. dan telah

sempurnalah Perkataan Tuhanmu

yang baik (sebagai janji) untuk Bani

Israil disebabkan kesabaran mereka.

dan Kami hancurkan apa yang telah

dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa

yang telah dibangun mereka[561].

109

[560] Maksudnya: negeri Syam dan

Mesir dan negeri-negeri sekitar

keduanya yang pernah dikuasai

Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan

Fir'aun runtuh, negeri-negeri ini

diwarisi oleh Bani Israil.

[561] Yang dimaksud dengan

Bangunan-bangunan Fir'aun yang

dihancurkan oleh Allah ialah

Bangunan-bangunan yang didirikan

mereka dengan menindas Bani Israil,

seperti kota Ramses; menara yang

diperintahkan Hamaan mendirikannya

dan sebagainya.

6 Makiyyah

QS. Al-

‗Ashr: 3

3. kecuali orang-orang yang beriman

dan mengerjakan amal saleh dan

nasehat menasehati supaya mentaati

kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.

7 Makiyyah

QS. Al-

Qasas : 80

80. berkatalah orang-orang yang

dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang

besarlah bagimu, pahala Allah adalah

lebih baik bagi orang-orang yang

beriman dan beramal saleh, dan tidak

diperoleh pahala itu, kecuali oleh

orang- orang yang sabar".

8 Makiyyah

QS. Qaf: 39

39. Maka bersabarlah kamu terhadap

apa yang mereka katakan dan

bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu

sebelum terbit matahari dan sebelum

terbenam(nya).

9 Makiyyah

QS. Al-

17. dan Dia (tidak pula) Termasuk

orang-orang yang beriman dan saling

berpesan untuk bersabar dan saling

110

Balad: 17 berpesan untuk berkasih sayang.

10 Makiyyah

QS. Shad : 6

6. dan Pergilah pemimpin-pemimpin

mereka (seraya berkata): "Pergilah

kamu dan tetaplah (menyembah)

tuhan-tuhanmu, Sesungguhnya ini

benar-benar suatu hal yang

dikehendaki[1296].

[1296] Maksudnya: menurut orang-

orang kafir bahwa menyembah tuhan-

tuhan Itulah yang sebenarnya

dikehendaki oleh Allah.

11 Makiyyah

QS. Shad : 17

17. bersabarlah atas segala apa yang

mereka katakan; dan ingatlah hamba

Kami Daud yang mempunyai

kekuatan; Sesungguhnya Dia Amat

taat (kepada Tuhan).

12 Makiyyah

QS. Shad: 44

44. dan ambillah dengan tanganmu

seikat (rumput), Maka pukullah

dengan itu dan janganlah kamu

melanggar sumpah. Sesungguhnya

Kami dapati Dia (Ayyub) seorang

yang sabar. Dialah Sebaik-baik

hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat

(kepada Tuhan-nya)[1303].

[1303] Nabi Ayyub a.s. menderita

penyakit kulit beberapa waktu

lamanya dan Dia memohon

pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah

kemudian memperkenankan doanya

dan memerintahkan agar Dia

menghentakkan kakinya ke bumi.

Ayyub mentaati perintah itu Maka

keluarlah air dari bekas kakinya atas

petunjuk Allah, Ayyub pun mandi dan

minum dari air itu, sehingga

111

sembuhlah Dia dari penyakitnya dan

Dia dapat berkumpul kembali dengan

keluarganya. Maka mereka kemudia

berkembang biak sampai jumlah

mereka dua kali lipat dari jumlah

sebelumnya. pada suatu ketika Ayyub

teringat akan sumpahnya, bahwa Dia

akan memukul isterinya bilamana

sakitnya sembuh disebabkan isterinya

pernah lalai mengurusinya sewaktu

Dia masih sakit. akan tetapi timbul

dalam hatinya rasa hiba dan sayang

kepada isterinya sehingga Dia tidak

dapat memenuhi sumpahnya. oleh

sebab itu turunlah perintah Allah

seperti yang tercantum dalam ayat 44

di atas, agar Dia dapat memenuhi

sumpahnya dengan tidak menyakiti

isterinya Yaitu memukulnya dengan

dengan seikat rumput.

13 Makiyyah

QS. Al-

Furqan : 20

20. dan Kami tidak mengutus Rasul-

rasul sebelummu, melainkan mereka

sungguh memakan makanan dan

berjalan di pasar-pasar. dan Kami

jadikan sebahagian kamu cobaan bagi

sebahagian yang lain. maukah kamu

bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha

melihat.

14 Makiyyah

QS. Al-

Furqan: 42

42. Sesungguhnya hampirlah ia

menyesatkan kita dari sembahan-

sembahan kita, seandainya kita tidak

sabar(menyembah)nya" dan mereka

kelak akan mengetahui di saat mereka

melihat azab, siapa yang paling sesat

jalanNya.

112

15 Makiyyah

QS. Al-

Furqan: 75

75. mereka Itulah orang yang dibalasi

dengan martabat yang Tinggi (dalam

syurga) karena kesabaran mereka dan

mereka disambut dengan

penghormatan dan Ucapan selamat di

dalamnya,

16 Makiyyah

QS. Taha :

132

132. dan perintahkanlah kepada

keluargamu mendirikan shalat dan

bersabarlah kamu dalam

mengerjakannya. Kami tidak meminta

rezki kepadamu, kamilah yang

memberi rezki kepadamu. dan akibat

(yang baik) itu adalah bagi orang yang

bertakwa.

17 Makiyyah

QS. Fussilat:

24

24. jika mereka bersabar (menderita

azab) Maka nerakalah tempat diam

mereka dan jika mereka

mengemukakan alasan-alasan, Maka

tidaklah mereka Termasuk orang-

orang yang diterima alasannya.

18 Makiyyah

QS. Fussilat:

35

35. sifat-sifat yang baik itu tidak

dianugerahkan melainkan kepada

orang-orang yang sabar dan tidak

dianugerahkan melainkan kepada

orang-orang yang mempunyai

Keuntungan yang besar.

19 Makiyyah

QS. Hud/ : 11

11. kecuali orang-orang yang sabar

(terhadap bencana), dan mengerjakan

amal-amal saleh; mereka itu beroleh

ampunan dan pahala yang besar.

20 . Hud: 49 49. itu adalah di antara berita-berita

penting tentang yang ghaib yang Kami

wahyukan kepadamu (Muhammad);

tidak pernah kamu mengetahuinya dan

tidak (pula) kaummu sebelum ini.

Maka bersabarlah; Sesungguhnya

113

kesudahan yang baik adalah bagi

orang-orang yang bertakwa.

21 Makiyyah

QS. Hud: 115

115. dan bersabarlah, karena

Sesungguhnya Allah tiada menyia-

nyiakan pahala orang-orang yang

berbuat kebaikan.

22 Makiyyah

QS. Yusuf:

18

18. mereka datang membawa baju

gamisnya (yang berlumuran) dengan

darah palsu. Ya'qub berkata:

"Sebenarnya dirimu sendirilah yang

memandang baik perbuatan (yang

buruk) itu; Maka kesabaran yang baik

Itulah (kesabaranku[746]). dan Allah

sajalah yang dimohon pertolongan-

Nya terhadap apa yang kamu

ceritakan."

[746] Maksudnya: dalam hal ini

Ya'qub memilih kesabaran yang baik,

setelah mendengar cerita yang

menyedihkan itu.

Makiyyah

QS. Yusuf:

83

83. Ya'qub berkata: "Hanya dirimu

sendirilah yang memandang baik

perbuatan (yang buruk) itu. Maka

kesabaran yang baik Itulah

(kesabaranku). Mudah-mudahan Allah

mendatangkan mereka semuanya

kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah

yang Maha mengetahui lagi Maha

Bijaksana".

23 Makiyyah

QS. Yusuf:

90

90. mereka berkata: "Apakah kamu ini

benar-benar Yusuf?". Yusuf

menjawab: "Akulah Yusuf dan ini

saudaraku. Sesungguhnya Allah telah

melimpahkan karunia-Nya kepada

kami". Sesungguhnya barang siapa

yang bertakwa dan bersabar, Maka

114

Sesungguhnya Allah tidak menyia-

nyiakan pahala orang-orang yang

berbuat baik"

24 Makiyyah

QS. Yunus / :

109

109. dan ikutilah apa yang

diwahyukan kepadamu, dan

bersabarlah hingga Allah memberi

keputusan dan Dia adalah hakim yang

sebaik-baiknya.

25 Makiyyah

QS. As-

Saffat : 102

102. Maka tatkala anak itu sampai

(pada umur sanggup) berusaha

bersama-sama Ibrahim, Ibrahim

berkata: "Hai anakku Sesungguhnya

aku melihat dalam mimpi bahwa aku

menyembelihmu. Maka fikirkanlah

apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai

bapakku, kerjakanlah apa yang

diperintahkan kepadamu; insya Allah

kamu akan mendapatiku Termasuk

orang-orang yang sabar".

26 Makiyyah

QS. Luqman:

17

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan

suruhlah (manusia) mengerjakan yang

baik dan cegahlah (mereka) dari

perbuatan yang mungkar dan

bersabarlah terhadap apa yang

menimpa kamu. Sesungguhnya yang

demikian itu Termasuk hal-hal yang

diwajibkan (oleh Allah).

27 Makiyyah

QS. Luqman

: 31

31. tidakkah kamu memperhatikan

bahwa Sesungguhnya kapal itu

berlayar di laut dengan nikmat Allah,

supaya diperlihatkan-Nya kepadamu

sebahagian dari tanda-tanda

(kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada

yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi semua orang

yang sangat sabar lagi banyak

115

bersyukur.

Makiyyah

QS. Al-

Mu‘minun:

111

111. Sesungguhnya aku memberi

Balasan kepada mereka di hari ini,

karena kesabaran mereka;

Sesungguhnya mereka Itulah orang-

orang yang menang[1026]."

[1026] Maksud ayat 108, 110 dan 111

ialah bahwa orang-orang kafir itu

diperintahkan tinggal tetap di neraka

dan tidak boleh berbicara dengan

Allah, karena mereka selalu

mengejek-ejek orang-orang yang

beriman, berdoa kepada Allah supaya

diberi ampun dan rahmat.

28 Makiyyah

QS. Saba: 19

19. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan

Kami jauhkanlah jarak perjalanan

kami[1239]", dan mereka Menganiaya

diri mereka sendiri; Maka Kami

jadikan mereka buah mulut dan Kami

hancurkan mereka sehancur-

hancurnya. Sesungguhnya pada yang

demikian itu benar-benar terdapat

tanda- tanda kekuasaan Allah bagi

Setiap orang yang sabar lagi

bersyukur.

[1239] Yang dimaksud dengan

permintaan ini ialah supaya kota-kota

yang berdekatan itu dihapuskan, agar

perjalanan menjadi panjang dan

mereka dapat melakukan monopoli

dalam perdagangan itu, sehingga

Keuntungan lebih besar.

29 Makiyyah

QS. Al-

Anbiya : 85

85. dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris

dan Dzulkifli. semua mereka

Termasuk orang-orang yang sabar.

116

30 Makiyyah

QS. Az-

Zumar : 10

10. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-

Ku yang beriman. bertakwalah kepada

Tuhanmu". orang-orang yang berbuat

baik di dunia ini memperoleh

kebaikan. dan bumi Allah itu adalah

luas. Sesungguhnya hanya orang-

orang yang bersabarlah yang

dicukupkan pahala mereka tanpa

batas.

31 Makiyyah

QS. Al-

Ghafir/Al-

Mu'min : 55

55. Maka bersabarlah kamu, karena

Sesungguhnya janji Allah itu benar,

dan mohonlah ampunan untuk dosamu

dan bertasbihlah seraya memuji

Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.

32 Makiyyah

QS. Al-

Ghafir/Al-

Mu'min : 77

77. Maka bersabarlah kamu,

Sesungguhnya janji Allah adalah

benar; Maka meskipun Kami

perlihatkan kepadamu sebagian siksa

yang Kami ancamkan kepada mereka

ataupun Kami wafatkan kamu

(sebelum ajal menimpa mereka),

Namun kepada Kami sajalah mereka

dikembalikan.

33 Makiyyah

QS. As-

Sajdah : 24

24. dan Kami jadikan di antara mereka

itu pemimpin-pemimpin yang

memberi petunjuk dengan perintah

Kami ketika mereka sabar[1195]. dan

adalah mereka meyakini ayat-ayat

kami.

[1195] Yang dimaksud dengan sabar

ialah sabar dalam menegakkan

kebenaran.

34 Makiyyah

QS. Ash-

Shura : 33

33. jika Dia menghendaki, Dia akan

menenangkan angin, Maka jadilah

kapal-kapal itu terhenti di permukaan

laut. Sesungguhnya pada yang

117

demikian itu terdapat tanda-tanda

(kekuasaannya) bagi Setiap orang

yang banyak bersabar dan banyak

bersyukur,

35 Makiyyah

QS. Ash-

Shura : 43

43. tetapi orang yang bersabar dan

mema'afkan, Sesungguhnya

(perbuatan ) yang demikian itu

Termasuk hal-hal yang diutamakan.

36 Makiyyah

QS. Al-

Kahfi : 67-

69

67. Dia menjawab: "Sesungguhnya

kamu sekali-kali tidak akan sanggup

sabar bersama aku.

68. dan bagaimana kamu dapat sabar

atas sesuatu, yang kamu belum

mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang hal itu?"

69. Musa berkata: "Insya Allah kamu

akan mendapati aku sebagai orang

yang sabar, dan aku tidak akan

menentangmu dalam sesuatu

urusanpun".

37 Makiyyah

QS. Al-

Kahfi : 72

72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah

aku telah berkata: "Sesungguhnya

kamu sekali-kali tidak akan sabar

bersama dengan aku".

38 Makiyyah

QS. Al-

Kahfi : 75

75. Khidhr berkata: "Bukankah sudah

kukatakan kepadamu, bahwa

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat

sabar bersamaku?"

Makiyyah

QS. Al-

Kahfi : 78

78. Khidhr berkata: "Inilah perpisahan

antara aku dengan kamu; kelak akan

kuberitahukan kepadamu tujuan

perbuatan-perbuatan yang kamu tidak

dapat sabar terhadapnya.

39 Makiyyah

QS. Al-

82. Adapun dinding rumah adalah

kepunyaan dua orang anak yatim di

118

Kahfi : 82 kota itu, dan di bawahnya ada harta

benda simpanan bagi mereka berdua,

sedang Ayahnya adalah seorang yang

saleh, Maka Tuhanmu menghendaki

agar supaya mereka sampai kepada

kedewasaannya dan mengeluarkan

simpanannya itu, sebagai rahmat dari

Tuhanmu; dan bukanlah aku

melakukannya itu menurut

kemauanku sendiri. demikian itu

adalah tujuan perbuatan-perbuatan

yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya".

40 Makiyyah

QS. Al-

An‘am/ : 34

34. kaum laki-laki itu adalah

pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan

sebahagian mereka (laki-laki) atas

sebahagian yang lain (wanita), dan

karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta

mereka. sebab itu Maka wanita yang

saleh, ialah yang taat kepada Allah

lagi memelihara diri[289] ketika

suaminya tidak ada, oleh karena Allah

telah memelihara (mereka)[290].

wanita-wanita yang kamu khawatirkan

nusyuznya[291], Maka nasehatilah

mereka dan pisahkanlah mereka di

tempat tidur mereka, dan pukullah

mereka. kemudian jika mereka

mentaatimu, Maka janganlah kamu

mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya[292]. Sesungguhnya

Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak Berlaku

curang serta memelihara rahasia dan

119

harta suaminya.

[290] Maksudnya: Allah telah

mewajibkan kepada suami untuk

mempergauli isterinya dengan baik.

[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan

kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari

pihak isteri seperti meninggalkan

rumah tanpa izin suaminya.

[292] Maksudnya: untuk memberi

peljaran kepada isteri yang

dikhawatirkan pembangkangannya

haruslah mula-mula diberi nasehat,

bila nasehat tidak bermanfaat barulah

dipisahkan dari tempat tidur mereka,

bila tidak bermanfaat juga barulah

dibolehkan memukul mereka dengan

pukulan yang tidak meninggalkan

bekas. bila cara pertama telah ada

manfaatnya janganlah dijalankan cara

yang lain dan seterusnya.

41 Makiyyah

QS. An-

Nahl : 42

42. (yaitu) orang-orang yang sabar

dan hanya kepada Tuhan saja mereka

bertawakkal

42 Makiyyah

QS. An-

Nahl : 96

96. apa yang di sisimu akan lenyap,

dan apa yang ada di sisi Allah adalah

kekal. dan Sesungguhnya Kami akan

memberi Balasan kepada orang-orang

yang sabar dengan pahala yang lebih

baik dari apa yang telah mereka

kerjakan.

43 Makiyyah

QS. An-

110. dan Sesungguhnya Tuhanmu

(pelindung) bagi orang-orang yang

120

Nahl : 110 berhijrah sesudah menderita cobaan,

kemudian mereka berjihad dan sabar;

Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu

benar-benar Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.

44 Makiyyah

QS. Ibrahim:

5

5. dan Sesungguhnya Kami telah

mengutus Musa dengan membawa

ayat-ayat Kami, (dan Kami

perintahkan kepadanya):

"Keluarkanlah kaummu dari gelap

gulita kepada cahaya terang

benderang dan ingatkanlah mereka

kepada hari-hari Allah[781]".

sesunguhnya pada yang demikian itu

terdapat tanda-tanda (kekuasaan

Allah) bagi Setiap orang penyabar dan

banyak bersyukur.

[781] Yang dimaksud dengan hari-

hari Allah ialah Peristiwa yang telah

terjadi pada kaum-kaum dahulu serta

nikmat dan siksa yang dialami

mereka.

45 Makiyyah

QS. Ibrahim:

12

12. mengapa Kami tidak akan

bertawakkal kepada Allah Padahal

Dia telah menunjukkan jalan kepada

Kami, dan Kami sungguh-sungguh

akan bersabar terhadap gangguan-

gangguan yang kamu lakukan kepada

kami. dan hanya kepada Allah saja

orang-orang yang bertawakkal itu,

berserah diri".

46 Makiyyah

QS. Ibrahim:

21

21. dan mereka semuanya (di padang

Mahsyar) akan berkumpul menghadap

ke hadirat Allah, lalu berkatalah

orang-orang yang lemah kepada

orang-orang yang sombong:

121

"Sesungguhnya Kami dahulu adalah

pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah

kamu menghindarkan daripada Kami

azab Allah (walaupun) sedikit saja?

mereka menjawab: "Seandainya Allah

memberi petunjuk kepada Kami,

niscaya Kami dapat memberi petunjuk

kepadamu. sama saja bagi kita,

Apakah kita mengeluh ataukah

bersabar. sekali-kali kita tidak

mempunyai tempat untuk melarikan

diri".

47 Makiyyah

QS. At-Tur :

16

16. Masukklah kamu ke dalamnya

(rasakanlah panas apinya); Maka baik

kamu bersabar atau tidak, sama saja

bagimu; kamu diberi Balasan terhadap

apa yang telah kamu kerjakan.

48 Makiyyah

QS. At-Tur :

48

48. dan bersabarlah dalam menunggu

ketetapan Tuhanmu, Maka

Sesungguhnya kamu berada dalam

penglihatan Kami, dan bertasbihlah

dengan memuji Tuhanmu ketika kamu

bangun berdiri[1428].,

[1428] Maksudnya hendaklah

bertasbih ketika kamu bangun dari

tidur atau bangun meninggalkan

majlis, atau ketika berdiri hendak

shalat.

49 Makiyyah

QS. Al-

Ma'arij : 5

5. ―Maka bersabarlah kamu dengan

sabar yang baik.‖

50 Makiyyah

QS. Ar-

Rum: 60

60. dan bersabarlah kamu,

Sesungguhnya janji Allah adalah

benar dan sekali-kali janganlah orang-

orang yang tidak meyakini (kebenaran

122

ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan

kamu.

51 Makiyyah

QS. Al-

'Ankabut : 59

59. (yaitu) yang bersabar dan

bertawakkal kepada Tuhannya.

52 Makiyyah

QS. Al-

Qomar : 27

27. Sesungguhnya Kami akan

mengirimkan unta betina sebagai

cobaan bagi mereka, Maka tunggulah

(tindakan) mereka dan bersabarlah.

Susunan Ayat Berdasarkan Urutan Turun Surat Tentang

Sabar dalam Kelompok Madaniyyah

No Nama Surat Terjemah ayat dalam Bahasa Indonesia

1 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

45

45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai

penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian

itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang

khusyu'.

2 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

61

61. dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai

Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu

macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah

untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia

mengeluarkan bagi Kami dari apa yang

ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya,

ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya,

dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah

kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti

yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota,

pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta".

lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan

kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan

dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu

123

mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh

Para Nabi yang memang tidak dibenarkan.

demikian itu (terjadi) karena mereka selalu

berbuat durhaka dan melampaui batas.

3 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

153

153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah

sabar dan shalat sebagai penolongmu,

sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang

sabar.

4 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

155

155. dan sungguh akan Kami berikan cobaan

kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,

kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang

yang sabar.

5 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

175

175. mereka Itulah orang-orang yang membeli

kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan

ampunan. Maka Alangkah beraninya mereka

menentang api neraka!

Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

177

177. bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah

timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi

Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman

kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,

kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta

yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak

yatim, orang-orang miskin, musafir (yang

memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang

meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba

sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan

zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya

apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar

dalam kesempitan, penderitaan dan dalam

peperangan. mereka Itulah orang-orang yang

benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang

yang bertakwa.

124

6 Madaniyyah

QS. Al-

Baqarah/2:

249 – 250

249. Maka tatkala Thalut keluar membawa

tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah

akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka

siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah

ia pengikutku. dan Barangsiapa tiada

meminumnya, kecuali menceduk seceduk

tangan, Maka Dia adalah pengikutku." kemudian

mereka meminumnya kecuali beberapa orang di

antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-

orang yang beriman bersama Dia telah

menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah

minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami

pada hari ini untuk melawan Jalut dan

tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa

mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa

banyak terjadi golongan yang sedikit dapat

mengalahkan golongan yang banyak dengan izin

Allah. dan Allah beserta orang-orang yang

sabar."

250. tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak

oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya)

berdoa: "Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran

atas diri Kami, dan kokohkanlah pendirian Kami

dan tolonglah Kami terhadap orang-orang kafir."

7 Madaniyyah

QS. Al-

Anfal : 46

46. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan

janganlah kamu berbantah-bantahan, yang

menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang

kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya

Allah beserta orang-orang yang sabar.

Madaniyyah

QS. Al-

Anfal : 65-66

65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para

mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh

orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka

akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.

dan jika ada seratus orang yang sabar

diantaramu, niscaya mereka akan dapat

mengalahkan seribu dari pada orang kafir,

125

disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang

tidak mengerti[623].

66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu

dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada

kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus

orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat

mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika

diantaramu ada seribu orang (yang sabar),

niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua

ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah

beserta orang-orang yang sabar.

[623] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa

perang itu haruslah untuk membela keyakinan

dan mentaati perintah Allah. mereka berperang

hanya semata-mata mempertahankan tradisi

Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah

lainnya.

8 Madaniyyah.

QS. Al-

Ahzab : 35

35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang

muslim, laki-laki dan perempuan yang

mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang

tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan

perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan

yang sabar, laki-laki dan perempuan yang

khusyuk, laki-laki dan perempuan yang

bersedekah, laki-laki dan perempuan yang

berpuasa, laki-laki dan perempuan yang

memelihara kehormatannya, laki-laki dan

perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,

Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan

dan pahala yang besar.

[1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini

ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan

larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud

dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang

yang membenarkan apa yang harus dibenarkan

dengan hatinya.

126

9 Madaniyyah

QS.Ali-

Imran / 3: 17

17. (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar,

yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di

jalan Allah), dan yang memohon ampun di

waktu sahur[187].

[187] Sahur: waktu sebelum fajar menyingsing

mendekati subuh.

10 Madaniyyah

QS Ali-

Imran / 3:

120

120. jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya

mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat

bencana, mereka bergembira karenanya. jika

kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya

mereka sedikitpun tidak mendatangkan

kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah

mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.

11 Madaniyyah

QS Ali-

Imran / 3:

125

125. Ya (cukup), jika kamu bersabar dan

bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang

kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah

menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang

memakai tanda.

12 Madaniyyah

QS Ali-

Imran / 3:

142

142. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan

masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah

orang-orang yang berjihad[232] diantaramu dan

belum nyata orang-orang yang sabar.

[232] Jihad dapat berarti: 1. berperang untuk

menegakkan Islam dan melindungi orang-orang

Islam; 2. memerangi hawa nafsu; 3.

mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam

dan umat Islam; 4. Memberantas yang batil dan

menegakkan yang hak.

13 Madaniyyah

QS Ali-

Imran / 3:

146

146. dan berapa banyaknya Nabi yang berperang

bersama-sama mereka sejumlah besar dari

pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak

menjadi lemah karena bencana yang menimpa

mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak

(pula) menyerah (kepada musuh). Allah

menyukai orang-orang yang sabar.

127

14 Madaniyyah

QS Ali-

Imran / 3:

186

186. kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap

hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-

sungguh akan mendengar dari orang-orang yang

diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang

yang mempersekutukan Allah, gangguan yang

banyak yang menyakitkan hati. jika kamu

bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya

yang demikian itu Termasuk urusan yang patut

diutamakan.

Madaniyyah

QS Ali-Imran

/ 3: 200

200. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah

kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah

bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan

bertakwalah kepada Allah, supaya kamu

beruntung.

15 Madaniyyah

QS. An-

Nisa/4 : 25

25. dan Barangsiapa diantara kamu (orang

merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya

untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,

ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari

budak-budak yang kamu miliki. Allah

mengetahui keimananmu; sebahagian kamu

adalah dari sebahagian yang lain[285], karena itu

kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,

dan berilah maskawin mereka menurut yang

patut, sedang merekapun wanita-wanita yang

memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)

wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai

piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga

diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan

perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka

separo hukuman dari hukuman wanita-wanita

merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini

budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut

kepada kemasyakatan menjaga diri (dari

perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran

itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

128

[285] Maksudnya: orang merdeka dan budak

yang dikawininya itu adalah sama-sama

keturunan Adam dan hawa dan sama-sama

beriman.

16 Madaniyyah

QS.

Muhammad/

Al-Qital : 31

31. dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan

menguji kamu agar Kami mengetahui orang-

orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu,

dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal

ihwalmu.

17 Madaniyyah

QS. Ar-Ra'd :

22

22. dan orang-orang yang sabar karena mencari

keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan

menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan

kepada mereka, secara sembunyi atau terang-

terangan serta menolak kejahatan dengan

kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat

tempat kesudahan (yang baik),

Madaniyyah

QS. Ar-Ra'd :

24

24. (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum

bima shabartum"[772]. Maka Alangkah baiknya

tempat kesudahan itu.

[772] Artinya: keselamatan atasmu berkat

kesabaranmu

18 Madaniyyah

QS. Al-

Insan/Ad-

Dahr : 12

12. dan Dia memberi Balasan kepada mereka

karena kesabaran mereka (dengan) surga dan

(pakaian) sutera,

19 Madaniyyah

QS. Al-

Insan/Ad-

Dahr : 24

24. Maka bersabarlah kamu untuk

(melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan

janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan

orang yang kafir di antar mereka.

20 Madaniyyah

QS. Al- Hajj:

35. (yaitu) orang-orang yang apabila disebut

nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang

yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka,

129

35 orang-orang yang mendirikan sembahyang dan

orang-orang yang menafkahkan sebagian dari

apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.

21 Madaniyyah

QS. Al-

Hujurat : 5

― dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai

kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu

lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

22 Madaniyyah

QS. Al-

Muzzammil:

10

10. dan bersabarlah terhadap apa yang mereka

ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang

baik.

23 Madaniyyah

QS. Al-

Qalam : 48

48. Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad)

terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah

kamu seperti orang yang berada dalam (perut)

ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam Keadaan

marah (kepada kaumnya).

24 Madaniyyah

QS. Taha :

130

130. Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka

katakan, dan bertasbihlah dengan memuji

Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum

terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-

waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di

siang hari, supaya kamu merasa senang,

25 Madaniyyah

QS. Al-

Kahfi: 28

28. dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan

orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan

senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;

dan janganlah kedua matamu berpaling dari

mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia

ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang

hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati

Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah

keadaannya itu melewati batas.

26 Madaniyyah

Al-Ahqaf :

35. Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang

yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul

telah bersabar dan janganlah kamu meminta

130

35 disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari

mereka melihat azab yang diancamkan kepada

mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di

dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah)

suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak

dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

27 Madaniyyah

QS. An-

Nahl : 126-

127

126. dan jika kamu memberikan balasan, Maka

balaslah dengan Balasan yang sama dengan

siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan

tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah

yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.

[846] Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan

atas mereka janganlah melebihi dari siksaan

yang ditimpakan atas kita.

127. bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah

kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan

Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap

(kekafiran) mereka dan janganlah kamu

bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu

dayakan.

28 Madaniyyah

QS. Al-

Qasas : 54

54. mereka itu diberi pahala dua kali[1128]

disebabkan kesabaran mereka, dan mereka

menolak kejahatan dengan kebaikan, dan

sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan

kepada mereka, mereka nafkahkan.

[1128] Mereka diberi pahala dua kali Ialah: kali

pertama karena mereka beriman kepada Taurat

dan kali yang kedua ialah karena mereka

beriman kepada Al Quran.

131

C. Penelusuran Sabar dalam Hadis

"Dalam diri kita terkadang begitu sulit untuk bersabar untuk

suatu hal, entah itu terkena musibah atau sedang di uji oleh-

Nya, banyak sekali Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist

Rasulullah S.A.W yang menjelaskan tentang sabar, berikut

beberapa uraian tentang makna sabar, semoga menambah

kesabaran kita dan bermanfaat bagi kita semua."

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang

beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan

hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada

orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia

bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut

merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa

musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal

tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)

Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad

sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman

bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW,

diriwayatkan oleh :

- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-

Raqa'iq, Bab Al-Mu'min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no

2999.

132

- Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam

Musnadnya, yaitu hadits no 18455 , 18360

, 23406 & 23412.

- Diriwayatkan juga oleh Imam al- Darimi, dalam Sunannya,

Kitab Al- Riqaq, Bab Al-Mu'min Yu'jaru Fi Kulli Syai',

hadits no 2777.

Makna Hadits Secara Umum.

Hadits singkat ini memiliki makna yang luas

sekaligus memberikan definisi mengenai sifat dan karakter

orang yang beriman. Setiap orang yang beriman

digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang

memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah 'ajaban' (

Karena sifat dan karakter ini akan mempesona siapa .( عجبا

saja.

Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan bahwa pesona

tersebut berpangkal dari adanya positif thinking setiap

mu'min. Dimana ia memandang segala persoalannya dari

sudut pandang positif, dan bukan dari sudut nagatifnya.

Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan kebaikan,

kebahagian, rasa bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia

akan refleksikan dalam bentuk penysukuran terhadap Allah

SWT. Karena ia tahu dan faham bahwa hal tersebut

merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada dirinya.

133

Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya

melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya.

Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah,

bencana, rasa duka, sedih, kemalangan dan hal- hal negatif

lainnya, ia akan bersabar. Karena ia meyakini bahwa hal

tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya

yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga

refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan

semuanya kepada Allah SWT.

Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang

yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama

mengatakan bahwa kesabaran merupakan setengahnya

keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin

dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman,

adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan

yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada

jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah

Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan

keutamaan orang yang beriman sebagaimana hadits di atas.

Namun, kesabaran adalah bukan semata-mata

memiliki pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik

dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi

yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam

jiwa insan. Dalam berjihad, sabar diimplementasikan dengan

134

melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk

dengan santai dan tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam

diri itulah, sesungguhnya ia belum dapat bersabar melawan

tantangan dan memenuhi panggilan ilahi.

Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah

kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju

perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang

dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika ia menerima

kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam

ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan

memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian

berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan

shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika

hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki

nilai keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif.

Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari

bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa

Indonesia. Asal katanya adalah "Shabaro", yang membentuk

infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar

berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti

ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:

Dan bersabarlah kamu bersama- sama dengan orang-orang

yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan

mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu

berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan

kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang

135

yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,

serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu

melewati batas. (QS. Al-Kahfi i 18 ayat 28)

Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah

untuk menahan diri dari keingingan 'keluar' dari komunitas

orang- orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap

keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai

pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama

dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.

Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:

Menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi,

kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan

anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Amru bin

Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama

Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang.

Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al- Khowas, bahwa

sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-

Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak

identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru

orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak

sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran

untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain

sebagainya.

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk

sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi

136

musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan

senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu

kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang

menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain

sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti keteguhan untuk

menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan.

Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah

salah satu indikasi tidak sabar.

Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits.

Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga

banyak sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang

menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus

Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang

bertemakan sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut

menggambarkan kesabaran sebagai berikut;

1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat

terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang

akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah

SAW mengungkapkan, "...dan kesabaran merupakan

cahaya yang terang..." (HR. Muslim).

2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan

dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah

menggambarkan: "...barang siapa yang mensabar-

sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah

137

akan menjadikannya seorang yang sabar..." (HR.

Bukhari).

3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling

baik. Rasulullah SAW mengatakan, "...dan tidaklah

seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih

lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih) .

4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri

orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat

pada muqadimah;

"Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman,

karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia

mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia

mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik

baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan,

ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut

adalah baik baginya." (HR. Muslim).

5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala

surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas

bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar

Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah

berfirman, "Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan

kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku

gantikan surga baginya." (HR. Bukhari).

6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam

sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan

bin Mas'ud berkata"Seakan-akan aku memandang

138

Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi,

yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah,

kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya

berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena

sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR.

Bukhari).

7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat.

Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam

sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa

Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat

bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang

kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika

marah." (HR. Bukhari).

8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah

SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari

Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda,

"Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan,

sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga

kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan

Allah akan menghapuskan dosa- dosanya dengan hal

tersebut." (HR. Bukhari & Muslim).

9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana

seseorang tidak boleh putus asa hingga ia

menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah

139

sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah,

agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya;

apakah kehidupan atau kematian.

Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW

bersabda: "Janganlah salah seorang diantara kalian

mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah

yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus

mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, 'Ya Allah,

teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih

baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih

baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat

beberapa hadits yang secara spesifik menggambarkan aspek-

aspek ataupun kondisi-kondisi seseroang diharuskan untuk

bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan merupakan

'pembatasan' pada bidang- bidang kesabaran, melainkan

hanya sebagai contoh dan penekanan yang memiliki nilai

motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai

permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang

ditekankan agar kita bersabar adalah :

1. Sabar terhadap musibah.

Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran

yang paling sering dinasehatkan banyak orang. Karena sabar

dalam aspek ini merupakan bentuk sabar yang dalam sebuah

hadits diriwayatkan, :

Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW

melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat

140

sebuah kuburan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

'Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.' Wanita tersebut

menjawab, 'Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau

tidak mengetahui dan tidak bisa merasakan musibah yang

menimpaku.' Kemudian diberitahukan kepada wanita

tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah

Rasulullah SAW. Lalu ia mendatangi pintu Rasulullah SAW

dan ia tidak mendapatkan penjaganya. Kemudian ia berkata

kepada Rasulullah SAW, '(maaf) aku tadi tidak mengetahui

engkau wahai Rasulullah SAW.' Rasulullah bersabda,

'Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama.'

(HR. Bukhari Muslim)

2. Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad).

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda : Dari

Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

'Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi musuh.

Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah

(untuk menghadapinya)." HR. Muslim.

3. Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai.

Dalam sebuah riwayat digambarkan; Dari Ibnu Abbas

ra beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

'Barang siapa yang melihat pada amir (pemimpinnya)

sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar.

Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal,

kemudian ia mati. Maka ia mati dalam kondisi kematian

jahiliyah. (HR. Muslim)

4. Sabar terhadap jabatan & kedudukan.

141

Dalam sebuah riwayat digambarkan : Dari Usaid bin

Hudhair bahwa seseorang dari kaum Anshar berkata kepada

Rasulullah SAW; 'Wahai Rasulullah, engkau mengangkat

(memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat

(memberi kedudukan kepadaku). Rasulullah SAW bersabda,

Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku 'atsaratan'

(yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang

lainnya), maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku

pada telagaku (kelak). (HR. Turmudzi).

5. Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan

masyarakat.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW

bersabda, 'Seorang muslim apabila ia berinteraksi dengan

masyarakat serta bersabar terhadap dampak negatif mereka

adalah lebih baik dari pada seorang muslim yang tidak

berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas

kenegatifan mereka. (HR. Turmudzi)

6. Sabar dalam kerasnya kehidupan dan himpitan ekonomi

Dalam sebuah riwayat digambarkan; 'Dari Abdullah

bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah

bersabda, 'Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan

himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau

pemberi syafaat baginya pada hari kiamat. (HR. Turmudzi).

142

D. Penelusuran Semantik Sabar

Penelusuran semantik dilakukan oleh Toshihiko

Izutsu terhadap kata Sabr, ‗kesabaran‘, ‗keteguhan hati‘,

merupakan kebajikan yang utama di padang pasir pada masa-

masa Jahiliyah. Sabr merupakan bagian dari shaja‟ah,

‗keberanian‘, yang telah saya uraikan, dan ia merupakan

unsur penting dari kesabaran. Di padang pasir dimana

kondisi kehidupan demikian kerasnya, setiap orang terus

dituntut untuk menunjukkan kesabaran yang luarbiasa, demi

kepentingan eksistensinya dan sukunya. Kekuatan fisik tentu

saja sangat diperlukan, tetapi itu belum cukup, tetapi

kekuatan fisik itu haruslah didukung oleh sesuatu yang

datang dari dalam, yakni kesabaran, keteguhan hati untuk

bertahan menghadapi kesulitan apa pun yang terjadi.

Secara semantik, kata tersebut berlawanan dengan

jaza‟ yang artinya sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak

dapat menahan dengan sabar apa yang menimpanya dan

cepat menunjukkan agitasi; dengan demikian sabr itu sendiri

mengandung pengertian memiliki kekuatan jiwa yang cukup

agar tetap sabar dalam keadaan sengsara dan menderita dan

tetap gigih di tengah-tengah kesulitan dalam

memperjuangkan tujuannya sendiri. Akan mudah dilihat

bahwa sabr merupakan sifat kejantanan yang representatif

143

dari serdadu di medan pertempuran. Tidak ada keberanian

tanpa sifa sabr.

Kebajikan nomad lama ini, dalam Islam juga

ditransformasikan kedalam salah satu kebajikan utamanya

dengan memberikan arah agama yang jelas: ‗kesabaran di

jalan Allah‘. Sebagaimana pada masa-masa Jahiliyah, sabar

sangat diperintahkan terhadap orang-orang beriman di medan

tempur ketka berperang dengan orang-orang Kafir.

Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.‖ (sabirin,

participle, jamak). (Quran Surat 2 ayat 249-250),

(Quran Surat 3 ayat 146)

Kesabaran yang disertai keberanian semacam itu

berkembang secara alamiah dalam semangat kesyahidan,

yakni, kekuatan moral dalam menghadapi kematian atau

siksaan lainnya demi kepentingan iman. Dalam ayat berikut

ini, ahli sihir Fira‘un menyatakan ketetapan hatinya untuk

setia kepada Tuhannya Musa sekali pun mereka harus

mengalami penyiksaan yang sangta kejam (Quran Surat 7

ayat 123-126).

Perlu diperhatikan bahwa ‗kesabaran‘ menunjukkan

hubungan semantik dengan islam yang akan kita bicarakan

saat ini. Pada beberapa baris di bawah ini, kita melihat

‗kesabaran‘ berada dalam hubungan yang sama eratnya

144

dengan taqwa ‗takut kepada Tuhan‘ (Quran Surat 7 ayat 125-

128)

Siksaan yang harus diderita orang-orang yang

beriman bagaimana pun tidak hanya terbatas pada

penderitaan jasmani; namun juga bisa dalam bentuk ejekan,

cemoohan, dan makian dari pihak orang kafir. Dalam

pengertian ini, takdhib yang kita sebutkan dalam bagian

terdahulu dan semuanya yang menunjukkan kesombongan

yang kita lihat dalam bab terdahulu, merupakan sifat orang

yang tak beriman, dapat dipandang sebagai malapetaka yang

menimpa orang beriman sehingga membangkitkan semangat

untuk berjihad (Quran Surat 6 ayat 34), (Quran Surat 73 ayat

10-11).

Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka

di hari ini, karena kesabaran mereka (bima sabaru,

harfiyahmya, bagi mereka yang menahan dengan sabar);

sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.‖

(Quran Surat 23 ayat -111)

Dengan demikian ‗kesabaran‘ menggambarkan aspek

penting dari iman kepada Tuhan. ‗kesabaran‘ merupakan

aspek khusus dari iman karena kesabaran itu ditunjukkan

ketika sedang menghadapi keadaan yang tidak

menyenangkan. Dan dengan ini kita harus mengingat, bahwa

kondisi tersebut merupakan masalah yang dihadap Islam

145

pada periode pertama dalam sejarahnya. Hidup di tengah-

tengah orang kafir dan dikelilingi oleh semua bentuk godaan

duniawi, orang-orang yang beriman dipaksa untuk

menanggung sikap pertahanan yang teguh. Keteguhan inilah

yang merupakan iman sejati dalam menghadapi serangan

bertubi-tubi dari musuh sehingga ditunjukan secara khusus

dengan istilah sabr. Permasalahn ini akan disajikan dengan

sangat jelas dengan contoh-contoh berikut ini:

Maka bersabarlah (ishbir) kamu terhadap apa yang

mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu

sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya (Quran

Surat 50 ayat 39)

Dan bersabarlah kamu (ishbir nafsaka, di sini kata

sabara dipergunakan secara transitif) bersama-sama dengan

orang-orang yang menyeru Tuhan-nya di pagi dan senja hari

dengan mengharap keridhaan-Nya. (Quran Surat 18 ayat

28)(sabirin jamak) (Quran Surat 2 ayat 153-156)

Pada pembahasan terdahulu bagaimana pun belum

menyelesaikan pembicaraan tentang gagasan moral pra-

Islam yang diambil alih oleh Islam dan disesuaikan dengan

konsep moralitas yang baru. Tetapi paling tidak memberikan

contoh-contoh penting, dan memperlihatkan kepada kita

bagaimana peng-Islaman dari unsur-unsur non-Islam telah

dilaksanakan pada periode awal tersebut. Dalam sejarah

146

selanjutnya yang panjang Islam harus melewatinya melalui

proses yang serupa beberapa kali dengan kebudayaan yang

berbeda-beda, sementara juga harus menghadapi masalah

yang harus dipecahkan dengan gagasan-gagasan yang berasal

dari Yunani, Persia, India, dan kemudian dengan konsep-

konsep Barat moderen.

E. Sabar dalam Tafsir al Quran

Pengertian kata sabar yang dijelaskan secara

etimologis dan terminologis, serta diungkap dalam Al-

Qur‘an dengan berbagai bentuknya, ini dapat dipahami

bahwa kata sabar mengandung muatan makna, antara lain:

1. Upaya mencegah suatu kesulitan, kepayahan,

kesempitan, musibah, cobaan dan sejenisnya yang

menimpa dirinya (manusia).

2. Usaha menahan dan mempertahankan sesuatu

kebaikan, kebenaran, ketaatan dan ibadah serta

sejenisnya secara dinamis dan aktis dalam kehidupan

disertai menanggulangi sesuatu yang akan

menimbulkan kesesatan, kerugian dan penyesalan

hidup.

3. Harapan dan balasan Tuhan bagi orang yang tabah

dan teguh dalam menghadapi berbagai persoalan

147

kehidupan yang dapat terselesaikan dengan

pertolongan Tuhan dan ketetapan-Nya.

4. Memahami dan menyadari proses kehidupan

terhadap sunnatullah, yang perlu dijalankan manusia

tanpa dengan tergesa, pesimis, dan putus asa, tapi

dengan keteguhan iman, ilmu dan amal ibadah yang

menumbuhkan optimisme hidup atas pertolongan

Tuhan yang selalu bersama-sama orang yang sabar.

Beberapa pengertian sabar yang mengandung muatan makna

itu, menimbulkan pemahaman yang berbeda sesuai dengan

kata sabar yang dikaitkan dengan objek yang dihadapi

manusia, sebagaimana terdapat dalam macam dan

jenis/pembagian sabar.

Dalam kamus-kamus Al-Quran, kata shabr (sabar)

diartikan sebagai ―menahan‖ baik dalam pengertian fisik-

material, seperti menahan seseorang dalam tahanan

(kurungan), maupun imaterial-nonfisik seperti menahan diri

(jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya. Dari

akar kata ini diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang

beraneka ragam, antara lain, berarti ―menjamin‖, ―pemuka

masyarakat yang melindungi kaumnya‖, atau berarti

―gunung yang tegar dan kukuh‖, ―awan yang berada diatas

awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di

148

bawahnya, ―batu-batu yang kukuh‖, tanah yang gersang‖,

―sesuatu yang pahit atau menjadi pahit‖, dan lain-lain.

Tulisan M. Quraish Shihab dalam Secercah Cahaya

Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran dikatakan bahwa arti-arti

yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu

yang sulit, berat dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi

dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan kesimpulan

tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar

sebagai ―menahan diri atau membatasi jiwa dari

keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih

baik (luhur)‖.

Seseorang yang menghadapi rintangan dalam

pekerjaannya, terkadang hati kecilnya membisikkan agar dia

berhenti saja, walaupun apa yang diharapkan belum juga

tercapai. Dorongan hati kecil yang kemudian menjadi

keinginan jiwa itu, bila ditahan, ditekan, atau tidak diikuti,

merupakan pengejawanatahan dari hakikat ―sabar‖. Ini

berarti bahwa yang bersangkutan akan melanjutkan

usahanya, walaupun menghadapi berbagai rintangan. Makna

―sabar‖ di sini sama dengan ―tabah‖.

Seseorang yang ditimpa malapetaka, bila mengikuti

kehendak nafsunya, akan meronta, menggerutu dalam

berbagai bentuk dan terhadap berbagai pihak: terhadap

149

Tuhan, manusia atau lingkungannya. Akan tetapi, bila dia

menahan diri, dia akan menerima dengan penuh kerelaan

malapetaka yang terjadi itu, mungkin, sambil menghibur

hatinya telah dengan berkata ―malapetaka tersebut dapat

terjadi mlebihi yang telah terjadi‖ atau ―pasti ada hikmah di

balik yang telah terjadi itu,‖ dan lain sebagainya, sehingga

semuanya itu diterimanya sambil mengharapkan sesuatu

yang lebih baik di kemudian hari. Di sini sabar diartikan

sebagai ―menerima dengan penuh kerelan ketetapan-

ketetapan Tuhan yang tidak terelakkan lagi‖.

Dalam contoh yang kedua ini, akan dikemukakan

suatu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim

dari sahabat Nabi saw., Anas ibn Malik, bahwa suatu ketika

Rasul Saw. menemukan seseorang wanita yang sedang

menangis di hadapan sebuah kuburan. Kemudian Nabi saw.

bersanda kepadanya, ―Bertaqwalah kepada Allah dan

bersabarlah.” Wanita tersebut menjawab, ―pergilah, jangan

ikut campur urusanku, engkau tidak tertimpa seperti yang

menimpaku.‖ (wanita tersebut ketika itu tidak mengenal

Nabi sehingga ketika disampaikan kepadanya, dia sadar dan

menyesal, kemudian mengunjungi Nabi Saw. dirumah

beliau). Beliau tidak memiliki penjaga-penjaga pintu dan

wanita tersebut menyampaikan penyesalannya dengan

berkata, ―(waktu itu) aku tidak mengenalmu.‖ Nabi Saw.

150

menjawab, “hakikat kesabaran (kesempurnaannya) dinilai

pada saat-saat pertama dari kedatangan malapetaka”

(bukan setelah berlalu sekian waktu).

Jika demikian, sabar bukan berarti ―lemah‖ atau

―menerima apa adanya‖, tetapi ia merupakan perjuangan

yang menggambarkan kekuatan jika pelakunya sehingga

mampu mengalahkan (mengendalikan) keinginan nafsunya.

Dari sini, tidak heran kalau ―puasa‖ dinamai ―sabar‖, karena

esensi pokok dari ibadah ini adalah pengendalian diri yang

berahir dengan kemenangan.

Dari hakikat makna sabar yang dikemukakan di atas,

jelas pula bahwa ia bukannya mengendapkan seluruh

keinginan sampai terlupakan ―di bawah sadar‖ sehingga

dapat menimbulkan kompleks-kompleks kejiwaan, tetapi ia

adalah pengendalian keinginan-keinginan yang dapat

menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik)

dan atau mendorong jiwa sehingga pelakunya mencapai cita-

cita yang didambakannya.

Di dalam Al-quran ditemukan perintah bersabar

berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:

1. Dalam menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS

Yunus ayat 109, Dan bersabarlah sehingga Allah

memberi keputusan.

151

2. Menanti datangnya hari kemenangan, seperti dalam

QS Al-Rum ayat 60, Dan bersabarlah,

sesungguhnya janji Allah adalah hak (pasti).

3. Manghadapi ejekan (gangguan) orang-orang yang

tidak percaya, seperti dalam QS Tha Ha ayat 130,

Dan bersabarlah menghadapi apa yang mereka

ucapkan (berupa ejekan dan kritik).

4. Menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan

pembalasan yang tidak setimpal, seperti dalam QS

Al-Nahl ayat 127, Dan bersabarlah, dan tiada

kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah

dan janganlah kamu bersedih hati menghadap

mereka.

5. Dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam QS

Maryam ayat 65, Maka mengabdilah kepada-Nya

dan bersabarlah dengan penuh kesungguhan dalam

pengabdian kepada-Nya. Demikian juga pada QS

Tha Ha ayat 132, Perintahkanlah keluargamu

(melaksanakan) shalat dan bersabarlah dalam

pelaksanaannya.

6. Dalam menghadapi malapetaka, seperti QS Luqman

ayat 17, Dan bersabarlah menghadapi apa yang

menimpamu.

152

7. Dalam usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan,

misalnya dalam QS al-Baqarah ayat 153, Dan

mintalah bantuan (makanan dalam menghadapi

segala kebutuhanmu) dengan sabar (ketabahan)

dan sholat (do‟a).

Al-Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Quran,

menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan

dari segala macam bentuk kesabaran (ketabahan) yang

dituntut oleh Al-Quran. Ayat tersebut berbicara tentang Al-

birr (kebajikan) dan orang-orangyang melakukannya, yakni

antara lain mereka yang digambarkan sebagai ―orang-orang

yang bersabar (tabah)‖ dan al-basa‟, al-dharra‟, dan hina

al-ba‟s.

Menurut Al-Raghib, sabar (tabah) dalam menghadapi

kebutuhan yang mengakibatkan kesulitan, tergambar dalam

kata al-basa‟, sabar dalam menghadapai kesulitan yang telah

menimpa (malapetaka) dicakup oleh kata al-dharra‟,

sedangkan sabar dalam peperangan (mengahadapi musuh)

tergambar dalam wa hina al-ba‟s.

Dengan demikian, kesabaran yang dituntut oleh Al-

Quran adalah kesabaran dalam usaha mencapai apa yang

dibutuhkan. Kesabaran ini menuntut usaha yang tidak kenal

lelah, dan tidak memedulikan rintangan apapun sampai

tercapainya apa yang dibutuhkan. Kemudian, sabar dalam

153

menghadapi malapetaka sehingga dapat menerimanya

dengan jiwa yang besar dan lapang guna memperoleh

imbalan dan hikmahnya. Yang terahir adalah sabar yang

secara khusus digarisbawahi, yaitu sabar dalam peperangan

(perjuangan), walaupun hal yang terahir dapat tercakup oleh

pengertian sebelumnya.

Salah satu perintah dari Allah adalah perintah

bersabar. Ini dikemukakan pada ayat ketujuh surah Al-

Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua atau ketiga,

menurut riwayat lain yang diterima Nabi Muhammad saw.

perintah tersebut disertai dengan penekanan khusus, yakni

bahwa kesabaran harus didasari oleh li-Rabbik (demi

Tuhanmu). Kalimat itu menuntut agar kesabaran

dilaksanakan semata-mata karena Allah Swt., bukan karena

sesuatu yang lain, misalnya karena iming-iming pencapaian

target. Dalam hal ini, kesabaran bagi Nabi Muhammad Saw.

waktu itu adalah keislaman umat manusia.

Melalui kata li Rabbik, ayat ini ingin menegaskan

bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah

dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apapun hasil yang

dicapai. Mengapa demikian? Menurut hemat penulis, karena

ketabahan dalam perjuangan dapat memudar apabila diingat

bahwa hasil yang ditargetkan terlalu besar dibandingkan

dengan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akan tetapi,

154

apabila yang menjadi tujuan adalah perjuangan itu sendiri

terlepas dari apapun hasilnya maka ia akan terus berlanjut,

apakah yang diharapkannya itu tercapai atau tidak. Sebab

sejak semula telah dinyatakan bahwa ―yang dituntut adalah

ketabahan dalam perjuangan‖ bukan hasil perjuangan‖.

Inilah sebabnya, berulang-ulang Al-Quran

mengingatkan Tidak ada tugas yang dibebankan kepada

Nabi kecuali sekadar menyampaikan (QS Al-Nahl [16]: 35),

dan lain-lain, sebagaimana ditegaskan dalam hubungannya

dengan ―keimanan dan keislaman orang yang dicintainya

sekalipun, berada di luar kemampuan usaha beliau‖ (Baca

QS Al-Qashash [28]: 56). Dan bahwa seandainya Tuhan

menghendaki niscaya semua manusia (tanpa kecuali) akan

beriman (QS Yunus [10]: 99. Demikian sabar dengan aneka

makna dan jangkauannya, yang dibutuhkan oleh setiap

orang, apapun kedudukan dan status sosialnya.

F. Kandungan Makna dan Nilai Sabar

Manusia sebagi makhluk, hamba dan khalifah Allah

di muka bumi. Berbagai predikat yang disandingnya itu,

manusia dibekali pikiran, perasaan, panca indera untuk

menapaki dan menggapai perjalanan hidupnya. Manusia juga

diberi petunjuk oleh Allah dengan wahyu dan rasul-Nya

untuk memberikan petunjuk dan menutun manusia dalam

155

perjalanan hidupnya untuk mengikuti jalan Allah, bukan

jalan yang selain-Nya.

Perjalanan hidup manusia selalu dihadapkan pada dua

hal: senang-sedih, lapang-sempit, sehat-sakit, kaya-miskin,

susah-nahagia, cobaan-kenikmatan dan sebagaimnya; dan itu

semua adalah sunnatullah yang tetap mengiringi perjalanan

hidup manusia dan proses alam semesta. Allah menghendaki

perjalanan hidup manusia sesuai dengan kehendak-Nya,

takdir dan qadha-Nya, mengikuti jalan Allah yang telah

disyari‘atkan dalam Islam untuk memberikan keselamatan

hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat kelak.

Islam sebagai agama yang benar mengandung aspek

aqidah, ibadah dan akhlaq, yang ketiga aspek itu merupakan

sistem Islam dalam kehidupan manusia beragama (muslim,

mukmin). Islam sebagai sistem akhlaq, di dalamnya

terkandung nilai-nilai dari sifat, sikap dan perilaku (akhlaq)

yang terpuji dan mulia, seperti al-shabr (dalam bahasa

Indonesia: sabar). Jadi, sabar merupakan salah satu akhlaq

al-karimah, dan akhlaq al-mahmudah.

Akhlaq sabar juga terealisir dalam kehidupan sufistik,

sebab seseorang yang akan menjadi sufi di antaranya harus

melewati tangga (station, maqam) al-shabr. Seorang calon

sufi sebelum memasuki maqam sabar, ia terlebih dahulu

156

harus melewati maqamat: al-taubat, al-wara‟, al-zuhd, al-

farq, baru memasuki al-shabr (lihat Al-Thusi, 1960:75).

Selain memasuki kawasan akhlaq dan tasawuf, sabar

juga sebagai pancarana kekuatan iman seseorang yang

terimplementasi dalam ibadah dan amal shalehnya. Ini

berarti bahwa kesabaran merupakan ―bibit‖ yang

menumbuhkembangkan secara subur terhadap iman, ilmu

dan amal shaleh seseorang yang bersabar dalam segala hal,

keadaan, kondisi, bidang kehidupan dan sebagainya.

Di dalam Al-Qur‘an kata shabr dalam bentuknya kata

kerja dan kata benda disebut sebanyak 103 kali, yang

tersebar dalam 46 surat terdiri dari 29 surat makkiyah dan 17

surat madaniyah, dan 101 ayat (M. Quraish Shihab dkk. :

349). Kata sabar yang berakar dari kata shabara, yashbiru,

shabran memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan

konteks yang terdapat dalam berbagai hal dan kondisi,

seperti: shabar dalam ibadah, sabar dalam cobaan dan

musibah, dan sebagainya. Masalahnya adalah bagaimana

memahami tentang sabar dalam kehidupan ini, dalam hal apa

sajakah kita bersabar, serta bagaimana menumbuhkan sikap

sabar dalam kehidupan?.

Kata sabar sudah termasuk dalam bahasa Indonesia,

adalah berasal dari kata bahasa Arab, yakni shabr. Secara

etimologis, kata sabar mengandung arti menahan (al-mani‟)

157

dan mencegah (al-hubs) sebagaimana diterangkan Al-

syarbashi (1985: 191). Begitu pula menurut M. Quraish Shab

dkk., dalam ensiklopedi Al-Qur‘an dijelaskan kata sabar

diartikan sebagai menahan, puncak sesuatu, dan batu (M.

Quraish Shihab dkk. : 349). Dalam ensiklopedi Al-Qur‘an itu

dikatakan bahwa Al-Asfahani dalam kitabnya Al-Mufradat fi

Gharib Al-Qur‟an menerangkan kata sabar berarti menahan

kesulitan. Dengan demikian, kata sabar mengandung

pengertian menahan diri, atau tabah menghadapi sesuatu

yang sulit, berat dan mencemaskan, serta berusaha dari

kesulitan, keberatan, kesempitan dan sejenisnya untuk

dikeluarkan dan dipertahankan dari hal-hal yang baik dan

benar. Jadi, kata sabar mempunyai pengertian yang berbeda-

beda sesuai objek, situasi dan kondisi dan hal yang

dihadapinya. Dalam pengertian demikian, sabar juga dapat

diartikan sebagai sikap tabah, teguh, menahan dan mencegah

dalam keadaan dinamis dan aktif serta tetap berada dalam

aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan (sunnatullah,

taqdir dan qadha Tuhan) dalam menghadapi berbagai

macam persoalan, cobaan, kesulitan, tantangan dan

sebagainya dalam kehidupan.

Oleh sebab itu, sabar dihadapkan dalam segala

kesulitan, kepahitan dan sejenisnya secara lahir dan rohani

(M. Quraish Shihab dkk. : 349) serta manusia dituntut untuk

158

tabah. Pengertian sabar dalam arti menahan dan mencegah,

ini terdapat dalam surat Al-Kahfi i/18: 28). Arti sabar dalam

ayat 28 itu ialah ―Tahanlah dirimu bersama mereka‖. Kata

sabar juga menunjukkan pada lawan katanya, terutama jika

kata sabar dikaitkan dengan objek yang dihadapinya.

Misalnya, jika seseorang mampu bertahan dalam musibah

yang dihadapinya, maka itu disebut sabar dan lawannya

gelisah (al-jaza‟); ini dijelaskan dalam surat Ibrahim/14: 21.

Begitu pula, sabar dalam perjuangan disebut berani

(syaja‟ah) dan lawannya takut (jubn). Sabar dalam arti

menahan sesuatu yang mengkhawatirkan dinamamakan

lapang dada (rahb al-shadr) dan laannya adalah cemas (al-

dajjar).

Adapun pengertian sabar secara termonologis, antara lain

dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya “ulum

al-Din bahwa pengertian sabar adalah: ―Memilih untuk

melakukan perintah agama ketika datang deakan nafsu

syahwat.‖

Definisi sabar yang dikemukan Al-Ghazali

menunjukkan bahwa nafsu (syawat) menuntut manusia untuk

berbuat sesuatu, tetapi manusia lebih memilih kepada yang

dikehendaki (diridhai) oleh Allah swt., maka disitulah ada

kesabran. Sebaliknya, manusia dikatakan tidak bersabar, jika

ia menuruti atau memenuhi tuntutan hawa nafsu yang

159

mendesak dir manusia. Jadi, kesabaran terjadi, biasanya

ketika manusia timbul konflik secara internal dan eksternal

(di luar dirinya).

Al-Thusi, dalam kitabnya Al-Luma‟ halaman 62,

menjelaskan sabar adalah maqam yang mulia dan Allah

sungguh memuji orang-orang yang sabar, Allah akan

mencukupkan kepada orang-orang yang bersabar dengan

balasan pahala tanpa batas. Dalam tinjauan sufistik, Ibnu

Salim al-Bashrah dalam kitab Al-Luma‟ itu menjelaskan

sabar terbagi tiga hal: (1) mutashabbir ialah kesabaran

kepada Allah dari yang dibenci-Nya dan dikeluh oleh

manusia; (2) orang yang sabar (al-shabir) ialah orang yang

sabar kepada Allah, hanya karena-Nya ia tidak pernah

mengeluh dan tidak pernah mengharapkan imbalan/balasan

dari apa yang telah dikerjakannya (walaupun Allah tetap

membalasnya); dan (3) al-shabbar ialah kesabaran kepada

Allah atas segala yang menimpa tanpa mengeluh dan tidak

akan pernah merubah sesuatu kecuali dengan ketetapan yang

terdapat dalam taqdir, qadha dan sunnatullah.

G. Macam dan Pembagian Sabar

Pengertian sabar yang mengandung tuntutan untuk

tabah menerima kesulitan, kepahitan dan sejenisnya secara

jasmani dan rohani, ini menunjukkan bahwa macam sabar

160

ada dua: sabar jasmani dan dsabar rohani. Sabar jasmani

maksudnya, kata M. Quraish Shihab dkk., dalam ensiklopedi

Al-Qur‘an halaman 349, ialah kesabaran dalam menerima

dan melaksanakan perintah-perintah agama yang melibatkan

anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibada dan

haji yang mengakibatkan keletihan, sabar dalam peperangan,

sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa

jasmani, seperti: penganiayaan, penyakit, dan semacamnya.

Adapun sabar rohani, adalah menyangkut kemampuan

menahan kehendak nafsu yang dapat mengakibatkan

kejelekan, seperti sabar menahan marah, putus asa, stress,

syahwat seksual yang tidak pada tempatnya.

Macam-macam sabar secara terperinci dapat terbagi

menjadi beberapa hal, sesuai denga objeknya, antara lain:

sabar dalam beribadah, sabar dalam menghadapi ejekan,

fitnah dan orang-orang yang ingkar kepada Tuhan dan Rasul-

Nya, sabar dalam ujian dan cobaan (al-bala‟), sabar dalam

musibah, sabar dalam menegakkan kebenaran dan petunjuk

Tuhan, sabar dalam ketaatan kepada Tuhan, sabar dalam

mencari ilmu pengetahuan, sabar dalam perdamaian dan

berjihad, sabar dalam kesesatan, sabar dalam memperoleh

kebutuhan, serta sabar dalam menerima pujian dan balasan

dari Tuhan.

161

Pengertian sabar di atas banyak diungkap dalam Al-

qur‘an, dan Allah memerintahkan agar kita (mukmin) selalu

bersabar, kecuali sabar dalam kesesatan. Penjelasan rinci

tentang sabar seperti berikut ini.

1. Sabar dalam beribadah kepada Allah.

Ini dijelaskan dalam surat Maryam/19:65,

Thaha/20:132 dan Al-Baqarah/2:45. Sabar dalam beribadah

dapat diartikan seseorang harus teguh hati, komitmen dan

konsisten dalam mengamalkan ajaran Islam sebagaimana

terkandung rukun Islam sperti shalat.

2. Sabar dalam menghadapi ejekan dan fitnah serta

kaum penentang dakwah para rasul Allah, termasuk Nabi

Muhammad.

Sabar disini, biasanya dilakukan oleh para rasul

dalam mendakwahkan risalah Allah yang diejek dan difitnah

oleh kaum yang ingkar (tak percaya) kepada Tuhan dan

kerasulan-Nya. biasanya dalam Al-Qur‘an penggunaan kata

sabar dalam menghadapi ejekan dan fitnah kaum kafir dalam

bentuk kata perintah, fashbir yang diikuti kata „ala ma

yaquluna antara lain: QS. 20:130, 38:17, 73:10, kecuali Qs.

54:27.

3. Sabar dalam ujian/cobaan (al-bala‟).

Sabar dalam cobaan atau ujian dijelaskan dalam Al-

Qur‘an, antara lain: 137:137, 47:31, 2:155, 177 dan 249.

162

Ayat ini menceritakan bangunan-bangunan Fir‘aun yang

didirikan dengan menindas Bani Israil, maka Allah yang

hancurkan bangunan itu dan menolong Bani Israil. Ayat

diatas mengandung isyarat bahwa dalam menegakkan

kebenaran tedapat cobaan yang berat, maka bersabarlah

dalam menghadapi cobaan itu. Begitu pula dalam

menegakkan kebajikan diperlukan kesabaran, sebagiman

dijelaskan dalam QS. 2:177. Untuk mengalahkan kebatilan

dari kelompok yang besar dan mengakkan kebenaran dari

kelompok yang kecil yang bersabar sangatlah diperlukan

dalam perjuangan itu, agar kelompok yang bersabar itu

memperoleh kemenangan. Seperti Firman Allah dalam QS.

2:249.

4. Sabar dalam menghadapi musibah.

Dalam menghadapi kehidupan di dunia ini tidak

selamanya stabil tentang keadaan alam dan nasib manusia.

Hari ini mungkin seseorang berbahagia dan lapang, tapi

mungkin esok harinya, ia menghadapi cobaan, musibah,

kesulitan dan kepayahan. Keadaan hidup yang demikian

dijelaskan dalam suarat Al-Imran ayat 140.

Orang-orang yang sabar ketika ditimpa musibah

senantiasa mengucapkan Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji‟un,

sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 156.

Ungkapan Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji‟un dinamakan

163

kalimat istirja‟ (pernyataan kembali kepada Allah); dan

disunatkan mengucapkannya pada saat ditimpa musibah

besar dan kecil.

Hanya orang-orang yang sabar dan mengerjakan

amak saleh, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang

besar dari Allah. Dalam Al-qur‘an surat Hud/11 ayat 11.

Luqman memberikan nasehat kepada anaknya untuk

bersabar. Adalah sabar untuk tetap beribadah (shalat) dan

menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar, sebab manusia yang

tidak beribadah dan tidak pula menegakkan amar ma‘ruf nahi

munkar adalah suatu musibah, yakni bencana keimanan dan

kebaikan seseorang. Allah swt. Berfirman dalam surat

Luqman/31:17.

5. Sabar dalam menegakkan kebenaran dan petunjuk

Allah.

Para Nabi diutus untuk berdakwah, yakni mengajak

dan menyampaikan risalah-Nya yang mengandung

kebenaran dan petunjuk kepada kaumnya. Kebenaran dan

petunjuk datang dan bersumber dari Tuhan, bukan dari nabi.

Nabi hanya diberi tugas untuk mendakwahkan risalah-Nya.

dalam Al-Qur‘an banyak diungkap tentang sabar dalam

menegakkan kebenaran dan petunjuk Tuhan, antara lain: QS.

14:21, 5:34, 15:42 dan 32:24.

164

Tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk

menerangkan kebenaran. Dalam surat Al-An‘am/6:42

dijelaskan mengenai orang-orang yang sabar dalam

menerima kebenaran yang disampaikan oleh rasul Allah,

termasuk nabi Muhammad, dan mereka pun mau berhijrah

bersama rasul Muhammad. Orang-orang yang sabar itu

diberi tempat yang baik di dunia dan pahala yang lebih besa

di akhirat. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-

An‘am/6:42.

6. Sabar dalam ketaatan kepada Allah

Sabar untuk tetap taat kepada Allah meliputi sabar

untuk mengikuti petunjuk Rasul dalam dakwahnya, sabar

terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sabar untuk taat

kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti nabi Ayyub.

Sabar untuk mengikuti petunjuk rasul, dijelaskan dalam surat

Ibrahim/14:5. Sabar terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah

juga dijelaskan dalam surat Luqman/31 ayat 31. Mengenai

sabar terhadap ketaatan kepada Allah juga dijelaskan, antara

lain: surat Saba‘/34:19, As-Syura/42:33, Shad/38:44,

biasanya sabar dalam ketaatan kepada Allah diungkap dalam

ayat-ayat Al-Qur‘an itu terdapat dalam penghujung ayat

dengan menggunakan kalimat yang artinya ―Sesungguhnya

pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-

Nya bagi setiap orang yang bersabar dan bersyukur.‖

165

Termasuk sabar dalam ketaatan kepada Allah ialah

abar dalam menunggu ketetapan dan janji Tuhan. Sabar

dalam menunggu ketetapan Tuhan, dalam Al-Qur‘an

diungkap kata sabar berbentuk amar (perinta) yang dikaitkan

dengan kata ishbir li hukmi rabbik, antara lain surat 52:48,

68:48 dan 76:24.

Sabar dalam menunggu janji Allah, antara lain dijelaskan

dalam surat 30:60, 40:55, dan 40:77. Biasanya sabar disini

diawali dengan kata perintah (ishbir) dan diikuti oleh kalimat

inna wa‟s Allah haq, lalu diikuti oleh kalimat berikutnya

dalam satu ayat tersebut.

7. Sabar dalam mencari ilmu pengetahuan

Dalam mencari imu pengetahuan atau mengungkap

rahasia alam, yang terkadang ditampakkan dengan tingkah

laku aneh, seperti Nabi Hidir atas Nabi Musa, itu diperlukan

kesabaran. Sabar dalam hal demikian, biasanya diungkap

dalam Al-Qur‘an didahului oleh kalimat lan tastathi‟ ma‟iya

atau kalimat lam tastathi‟ „alaihi lalu diikuti kata shabran.

Ungkapan kalimat demikian dalam Al-Qur‘an antara lain:

surat Al-Kahfi i ayat 67, 72, 78 dan 82. Dalam semua ayat

itu mengisahkan Nabi Hidir dan Musa dalam masalah

kesabaran tentang mencari ilmu pengetahuan.

Dalam surat Al-Kahfi i ayat 66-69 digambarkan

dialog Hidir dan Musa mengenai kesabaran dalam mencari

166

ilmu pengetahuan. Ketika Hidir melakukan perbuatan yang

aneh-aneh, Nabi Musa selalu menanyakannya, seperti: Hidir

membocorkan perahu (Al-Kahfi i/18:72), Hidir membunuh

anak (18:75).

Begitu pula, ketika Nabi Hidir menjelaskan tentang

perbuatan anehnya itu kepada Nabi Musa, dijelaskan dalam

Al-Qur‘an surat Al-Kahfi i ayat 76 dan 82, yang diawali

dengan kata ta‟wil lalu dirangkai dengan kalimat maa lam

tastathi‟ „alaihi shabran yakni ―tujuan perbuatan-perbuatan

yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.‖ Kemudian Nabi

Hidir menjelaskan perbuatan-perbuatannya itu, sebagaimana

diterangkan dalam surat Al-Kahfi i ayat 79 (merusak kapal),

ayat 80 dan 81 (membunuh anak) dan ayat 82 (membetulkan

dinding rumah). Adapun orang-orang yang sabar disertai

dengan iman, ilmu dan amal saleh, dijelaskan dalam surat

Al-Qashash:80.

8. Sabar dalam perdamaian dan berjihad

Cinta perdamaian dan mempertebal semangat jihad

dibutuhkan kesabaran. Orang yang berjihad disertai

kesabaran akan memperoleh kemenangan, yaitu ia mampu

mengalahkan golongan yang besar. Sebagaimana Firman

Allah dalam surat Al-Anfal ayat 65 dan 66. Berjihad dalam

mempertahankan keyakinan agama juga diuji dengan

kesabaran. Ini dijelaskan dalam surat Muhammad: 31.

167

9. Sabar dalam kesesatan

Sabar dalam mempertahankan aqidah yang sesat,

menyembah selain Allah, adalah wajib ditinggalkan oleh

orang yang beriman kepada Allah (mukmin). Sabar dalam

kesesatan bila dipertahankan, berarti seseorang itu tetap

dalam kekafirannya dan menantang api neraka. Bahkan ia

tetap dalam kesesatannya walaupun mereka mengira bahwa

tuhan-tuhan yang disembahnya itu sebenarnya dikehendaki

oleh Allah, katanya (QS. 38:6). Hal demikian dijelaskan

dalam surat Al-Baqarah:175. Dalam ayat lain dijelaskan

bahwa musuh para nabi akan hancur disebabkan mereka

mempertahankan (sabar) dalam kesesatan aqidahnya. Ini

dijelaskan dalam surat Shad ayat 6. Oleh karena itu, orang

mukmin janganlah terpedaya oleh tipu daya orang kafir yang

menjanjikan kesenangan duniawi sesaat dengan

mempertahankan aqidah yang sesat. Orang mukmin harus

bersabarlah dan waspadalah terhadap tipu daya yang akan

menyesatkan aqidah (iman). Hal demikian diingatkan oleh

Allah dalam Surat Ali Imran ayat 200.

10. Sabar dalam memperoleh kebutuhan

Manusia membutuhkan kebutuhan secara material,

immaterial da spiritual. Oleh karenanya dalam memenuhi

kebutuhannya, manusia harus bersabarlah. Hal ini dijelaskan

dalam Al-Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 153. Jadi, ayat 153

168

mengisyaratkan bahwa jika kita meminta bantuan (kepada

Allah) untuk memperoleh kebutuhan hidup, kita harus

bersabarlah dan kerjakanlah shalat.

11. Sabar dalam menerima pujian dan balasan dari Tuhan

Manusia diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah

untuk bersabar, dan orang yang bersabar dipuji-Nya. banyak

ayat-ayat Al-Qur‘an yang menjelaskan pujian terhadap

orang-orang yang sabar, antara lain: QS. 3:146, 8:46, 39:10.

Begitu pula, orang yang sabar dicukupkan pahalanya tanpa

batas (QS. 39:10), dan orang yang sabar dicintai oleh Tuhan

(QS. 8:46), serta Tuhan bersama dengan orang-orang yang

sabar (QS. 2:153, 249, 8:46, dan 8:66).

Pujian Allah terhadap orang-orang yang sabar, antara

lain dijelaskan dalam QS. 3:146, 8:46, 39:10 dan 2:152, 249,

dan 8:46 dan 66. Hanya orang-orang yang sabar yang

dicukupkan pahal mereka tanpa batas, sebagaimana dalam

Az-Zumar/ 39:10. Begitu pula,orang –orang yang bersabar

bersama dengan Tuhan. Dalam Al-Qur‘an antara lain

disinggung mengenai Allah bersama dengan orang-orang

yang sabar (Al-Anfal: 46, Al-Baqarah: 153).

169

H. Menumbuhkembangkan Akhlaq Sabar

dalam Kehidupan

Sabar merupakan refleksi jiwa atau mental kita yang

diimplementasikan dalam perilaku (akhlaq) yang mulia dan

terpuji. Akhlaq al-karimah merupakan pancaran kekuatan

iman yang menghiasi ibadah dan amal shaleh seorang

mukmin, sehingga dalam kehidupan sehari-hari akhlaq sabar

tercermin dalam amal saleh (akhlaq al-mahmudah). Oleh

sebab itu, akhlaq sabar mesti ditumbuhkembangkan dalam

bentuk etika, estetika dan sufistik. Sebagai telah

dikemukakan bahwa sabar dalam berbagai hal telah

diisyaratkan dalam Al-qur‘an. Diantara aspek-aspek yang

dapat menumbuhkembangkan akhlaq sabar, sebagaimana

dikemukakan oleh Muslim Nasution, sbagai berikut:

1. Memahami makna hakikat kehidupan dunia

Kehidupan di dunia ini kadang lapang kadang sempit. Allah

lebih menginginkan kehidupan yang mudah, namun Allah

pula menguji dengan cobaan-cobaan dalam hidup ini, lihat

surat Ali Imran ayat 140.

2. Segala yang kita usahakan dan yang dimilikinya akan

dikembalikan kepada Allah, seperti hidup, mati, ibadah,

rezeki, harta, musibah, kesenangan dan sebagainya (QS. 2:

156).

170

3. Keyakinan balasan dan pahala di sisi Allah

Manusia terdorong untuk berusaha dengan hati-hati dan

mengikuti petunjuk Allah dengan sabar, Allah membalas dan

memenuhi janji-Nya bahkan Ia bersama orang-orang yang

sabar (QS. Al-Baqarah: 155-157, Az-Zumar: 10 dan An-

Nahl:96).

4. Keyakinan akan terbebas dari musibah dan cobaan

Orang yang sabar selalu ditolong dan bersama Allah. Orang

yang sabar meyakini terbebas dari musibah dan cobaan.

Datangnya kesenangan sesudah hilangnya kesusahan,

timbulnya kemudahan sesudah ilangnya kesulitan (QS. At-

Thalaq:7 dan Alamnasyrah:5).

5. Meneladani orang-orang yang sabar dan memiliki

kebulatan tekad, seperti kisah para nabi dan orang-orang

saleh terdahulu (QS. Al-Baqarah: 213 dan Al-Ahqaf: 35).

6. Manusia menyadari keterbatasan dan keberadaan

wataknya manusia memiliki keterbatasan dalam melakukan

dan mencapai keinginannya. Keinginan yang dituju sangat

luas, dan terkadang tergesa-gesa bahkan mengambil jalan

pintas, sehingga terkadang mengakibatkan stress, putus asa,

dan sebagainya (lihat QS. An-Nahl: 53 dan Al-Ma‘rij: 19).

7. Memantapkan keimanan terhadap takdir dan qadha

Allah, sehingga persoalan hidup ini diatur dan digariskan

171

oleh Allah. Dia-lah yang Maha Tahu, Maha kuasa dan

sebagainya (QS. Al-Hadid: 22).

8. Memperbanyak do‘a dan dzikir kepada Allah swt.

Tuhan tidaklah membiarkan hamba-Nya yang salah berada

dalam kesulitan. Tuhan selalu mendengar dan mengabulkan

rintihan do‘a hamba-Nya (QS. Al-A‘raf: 123).

I. Konklusi Sabar

Untuk menutup pembahasan tentang al-shabr (sabar),

kiranya perlu disimpulkan sebagai berikut:

1. Al-Qur‘an secara tematik banyak mengungkap tentang

sabar. Sabar dapat dipahami sebagai menahan dan

mencegah hal-hal yang dapat menyulitkan dan

merugikan seseorang. Oleh karena itu, manusia harus

berusaha secara aktif dan dinamis untuk keluar dari

kesulitan, kesempitan, kerugian, cobaan dan sejenisnya

dalam segala aspek kehidupan di dunia ini.

2. Sabar merupakan perintah, atau juga anjuran Allah

kepada manusia (mukmin khususnya), yaitu kesabaran

selain dalam kesesatan; namun kesabaran dalam

ibadah, taat kepada Allah dan sejenisnya, serta

bersabar pula dalam menghadapi cobaan, ujian, fitnah,

musibah, mencari ilmu, mempertahankan keyakinan

(kebenaran agama), memperoleh kebutuhan,

berdakwah dan sebagainya. Sabar yang selain dalam

172

kesesatan perlu ditumbuhkembangkan dalam

kehidupan sehari-hari dengan cara menghindari

kendala-kendala yang akan menghalangi tumbuhnya

sikap sabar seperti: tergesa-gesa, marah, emosi, putus

asa, stress, pesimis dan sebagainya.

3. Ketika seseorang dihadapkan dengan kebutuhan yang

mendesak, pekerjaan yang terburu-buru, emosi dan

sebagainya, sering dalam dirinya terjadi konflik; oleh

karenanya, manusia dalam kondisi demikian sangat

dibutuhkan kesabaran, dan mestinya manusia dituntut

menumbuhkan sikap sabar.

4. Dalam hidup ini tidak stabil, tapi mengikuti

sunnatullah, maka manusia harus mempertebal iman,

rajin ibadah dan amal saleh disertai kesabaran,

sehingga Allah membalas dan menepati janji-Nya

bahkan Ia bersama dengan orang-orang yang sabar.

5. Setiap sikap sebagai cermin akhlaq mulia dan terpuji

dapat ditumbuhkan oleh pribadi muslim, maka

kehidupan pribadi, keluarga, kelompok (jama‘ah) dan

masyarakat (umat) akan semakin tenang dan bahagia

yang penuh ridha dan pertolongan dari Allah dalam

hidup di dunia dan kelak di akhirat.

173

J. Implikasi Sabar

Kata shabr dalam berbagai bentuknya, terdapat di

dalam Alquran sebanyak 103 kali. Menurut Imam Al-

Ghazali, lebih dari tujuh puluh kali Allah SWT menguraikan

masalah sabar dalam Alquran.

Sabar adalah ―menahan kehendak nafsu demi mencapai

sesuatu yang baik atau lebih baik‖. Diamati dari uraian

Alquran tentang sabar, bahwa kebajikan dan kedudukan

tertinggi diperoleh seseorang karena kesabrannya. Lihat

misalnya surah As-Sajadah ayat 24: (QS Al-A‘raf: 137),

(QS Az-Zumar: 10)

Ganjaran-ganjaran yang lain ditetapkan Allah

kadarnya, kecuali ganjaran kesabaran – sebagaimana

disebutkan dalam ayat di atas dan karena itu, puasa, yang inti

pelaksanaannya adalah sabar. Dinyatakan Allah, melalui

Rasul-Nya dalam sebuah hadis qudsiy:

“Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan

memberi (menetapkan) ganjaran bagi pelakunya.”

Perhatikan Firman Allah dalam surah AL-Baqarah

ayat 177:

“Dan orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan,

dan dalam peperangan.”

Dari ayat di atas, dipahami bahwa terdapat

bermacam-macam sabar yang dituntut dari manusia. Secara

174

umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok:

sabar jasmani dan sabar ruhani.

Yang dimaksud dengan sabar jasmani adalah

kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perntah-

perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti

sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan

keletihan, atau sabar dalam peperangan membela kebenaran.

Termasuk juga dalam kategori ini, sabar dalam menerima

cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit,

penganiayaan, dan semacamnya.

Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan

menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada

kejelekan, seperti sabar menahan amarah, atau menahan

nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.

Hampir seluruh keadaan dan situasi yang dihadapi

manusia membutuhkan kesabaran, karena situasi dan

keadaan tersebut tidak keluar dari dua kemungkinan:

Pertama, sejalan dengan kecenderungan jiwanya,

seperti ingin sehat, kaya, populer, dan sebagainya. Disini

kesabaran dituntut bukan saja guna memperoleh apa yang

disenangi itu, tetapi juga ketika telah memperolehnya. Ketika

itu manusia harus mampu menahan diri agar kecenderungan

tersebut tidak mengantarkannya melampaui batas sehingga

membawanya hanyut dan terjerumus dalam bahaya.

175

Kedua, tidak sejalan dengan kecenderungan jiwa

manusia yang selalu ingin terbawa kepada debu tanah, bukan

kepada Ruh Ilahi. Ketika itu manusia membutuhkan

kesabaran dan kehendak yang kuat agar tidak terbawa oleh

panggilan yang rendah itu. Mungkin sesuatu yang tidak

sejalan dengan kecenderungannya itu berupa tuntunan-

tuntunan Ilahi, mungkin pula berupa malapetaka dan

gangguan dari satu pihak terhadap pribadi, keluarga, atau

harta bendanya.

Disini dituntut kesabarannya, dalam arti ia dituntut

untuk menekan gejolak jiwanya agar apa yang disebut di atas

dapat dielakkannya, baik ia mampu untuk membalas

gangguan tersebut bila pihak yang mengganggunya adalah

manusia yang lemah, maupun ia tidak mampu.

―Ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita

dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa

kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi dan akselerasi,

sedangkan iman menetapkan haluan yang dituju serta

memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi

eksternal, sedangkan iman adalah revolusi internal. Ilmu dan

iman keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu terpisah,

sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah

keindahan dan hiasan; ilmu adalah keindahan akal,

sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan pikiran dan

176

iman hiaan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan,

ketenangan lahir oleh ilmu, dan ketenangan batin oleh iman.

Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani

dan malapetaka duniawi, sedangkan iman memeliharanya

dari penyakit-penyakit ruhani dan kompleks-kompleks

kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan

manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman

menyesuaikannya dengan jati dirinya.‖

Surat al Ashr menunjukan kepada kita bahwa iman,

amal saleh, dan ilmu pun masih belum memadai. Memang,

ada orang yang merasa cukup serta puas dengan ketiganya,

tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan itu dapat

menjerumuskannya. Ada pula yang merasa jenuh, karena itu,

ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil

terus bertahan, bahkan meningkatkan iman, amal, dan

pengetahuannya. Demikian surah Al-‗Ashr memberi

petunjuk bagi manusia. Sungguh tepat kata Imam Syafi‘i

yang dikutip pada bagian awal dari uraian surah ini:Kalaulah

manusia memikirkan kandungan surah ini, maka

sesungguhnya cukuplah ia (menjadi petunjuk bagi

kehidupannya).

Maha Benar Allah dalam segala Firman-Nya,

Wallahu A‟lam.

177

BAB IV

POTRET SIKAP NRIMA DALAM

SOSIO-KULTURAL MUSLIM JAWA

A. Sikap Nrima Pribadi Seorang Santri yang

Kaya

Pak Aiman (bukan nama sebenarnya) sejak kecil dia

dibesarkan di lingkungan pesantren salafi. Pendidikan

agamanya ditempuh di pesantren tersebut hingga dewasa.

Pendidikan formalnya dari SD sampai PT ditempuh di

lembaga pendidikan Islam di kotanya. Dengan latar belakang

keilmuan agama yang sangat kuat berpengaruh terhadap pola

pikir dan spiritualnya. Dengan demikian Pak Aiman bisa

menemukan hidup yang sesungguhnya. Dari lahir hingga

sekarang Pak Aiman tetap tinggal di desanya. Dan tradisi

pesantren yang begitu kental Pak Aiman harus memulai

membawa perubahan bagi masyarakatnya.

Masyarakat Sidorukun dimana Pak Aiman tinggal

hampir 90% menjadi santri kalong di pesantren Pak Aiman.

Pesantren tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap

178

pola pikir keagamaan di desanya. Tradisi santri yang begitu

kuat dalam masyarakat, desanya Pak Aiman sering disebut

desa santri. Kyai menjadi satu-satunya tokoh panutan dan

kiblat dalam berpolitik. Dari sejarah munculnya politik Islam

di Indonesia parpol Islam selalu mennag di desanya.

Masyarakat desa yang begitu homogen 100% Islam

Ahlussunah Waljama‟ah (NU). Ilmu yang seharusnya

moderat terhadap persoalan-persoalan sosial tetapi tidak

tejadi di desa Pak Aiman. Pemahaman agama masyarakat

yang sepotong-sepotong memunculkan fanatisme sempit

terhadap persoalan-persoalan di desanya. Hal inilah yang

melatar belakangi Pak Aiman untuk membawa perubahan

untuk masyarakat desa yang begitu tertutup. Memang tidak

mudah Pak Aiman untuk mewujudkan cita-cita desanya

menjadi desa yang benar-benar Qoryah Thayyibah.

Pro dan kontra selalu muncul, hujatan, cacian selalu

melekat dalam diri Pak Aiman yang dimunculkan dari

kelompok yang kontra di desa tersebut. Pada waktu itu

termasuk kakaknya Pak Aiman sendiri yang kontra terhadap

ide-ide Pak Aiman yang dianggap membawa virus yang

tidak sehat untuk masyarakat desa. Kebalikan dari kelompok

kontra, kelompok yang pro justru membantu, memfasilitasi

dan berjuang bersama-sama membawa perubahan untuk

179

menjadi desa yang inklusif. Hingga sekarang antara

sanjungan dan hujatan masih melekat dalam diri Pak Aiman.

Pak Aiman merupakan sosok orang yang sangat

bijaksana, ketika menerima antara sanjungan dan hujatan

tidak berpengaruh dalam pribadinya. Dia tetap senang dan

biasa-biasa saja menghadapinya. Justru dengan hujatan-

hujatan itulah menjadi energi tersendiri dalam diri Pak

Aiman yang harus selalu bergerak dan berjuang.

Untuk memahamkan tentang pluralisme bagi

masyarakat desa, Pak Aiman tidak segan-segan sering

membawa tamu dari luar negeri (Belanda, Inggris, Malaysia,

dll) untuk menginap di desanya. Tamu tersebut harus tinggal

bersama penduduk setempat kurang lebih satu minggu dan

harus mengikuti aktifitas sehari-hari yang dilakukan tuan

rumah, ada yang ikut menukang, bertani dll. Ini merupakan

pembelajaran yang efektif bagi masyarakat desa untuk

menerima perbedaan ras, suku dan agama.

Perubahan bidang ekonomi yang sampai sekarang

masih ada, kelompok-kelompok koperasi yang didirikan di

tiap RT (koperasi simpan pinjam). Berawal dari banyaknya

masyarakat desa yang menggunakan jasa bank thitil yang

sangat menjerat. Koperasi-koperasi tersebut untuk

memfasilitasi ibu-ibu rumah tangga yang kurang produktif

180

untuk bisa berwirausaha agar bisa mencapai kemandirian

ekonominya.

Di bidang pendidikan, berawal dari keprihatinan

terhadap masyarakat desa banyak anak yang tidak mampu

ingin sekolah yang bermutu, tetapi mahal sehingga mereka

tidak mampu membayarnya. Dari sinilah Pak Aiman

bergerak hatinya untuk mendirikan sekolah yang bermutu

tapi murah, muncullah sekolah alternatif, sebagaimana cita-

cita Pak Aiman ingin mewujudkan masyarakat desa yang

mandiri, beradab dan berkarakter.

Sampai sekarang pendidikan yang didirikan Pak

Aiman sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan.

Sering ada pertukaran pelajar Katolik dari Jakarta, dimana

siswa tersebut harus live in bersama masyarakat setempat

selama kurang lebih dua minggu, dan mereka harus aktif

melakukan aktifitas sehari-hari yang dilakukan tuan rumah.

Dari kegiatan tersebut dampaknya luar biasa sekali,

masyarakat desa benar-benar bisa menerima perbedaan

(agama, status sosial, ras, dll).

Pak Aiman di desanya termasuk orang yang berstatus

sosial tinggi (berkecukupan). Dengan berbagai materi yang

dia miliki sebenarnya itu bukan tujuan dari kesuksesan hidup

Pak Aiman. Apa yang dia miliki hanya sebagai sarana untuk

berjuang demi perubahan. Banyak penghargaan yang dia

181

terima baik materi/immateri seperti Ma‘arif award, global

award dll. Merasa tidak ada yang istimewa buat dia, kecuali

perubahan.

Kesabaran, keuletan, sikap pantang menyerah benar-

benar menjawab mimpi-mimpi Pak Aiman utuk mewujudkan

masyarakat yang beradab. Hujatan dan cacian kepada Pak

Aiman kadang-kadang dilontarkan langsung kepada peneliti

seperti diungkapannya: ―Kanjeng Nabi wektu da‟wah neng

Mekah ora gampang, kanjeng Nabi dihujat, dicaci maki,

diboikot malah ancaman arep dibunuh‖. ―Ojo maneh Pak

Aiman wong biasa pancen kudu kuat karo sabar tenan.

Pancen akeh wong sing durung iso nangkep pikirane Pak

Aiman. Dijarke ora mudeng diterangke dadi perkoro‖.

Artinya: ―Nabi ketika da‘wah di Mekkah tidak

mudah. Nabi dihujat, dicaci maki, diboikot justru akan

dibunuh. Apalagi orang seperti Pak Aiman hanya manusia

biasa memang harus kuat dan sabar‖. Memang banyak yang

belum bisa menangkap pemikirannya. Dibiarkan tidak

faham, diterangkan jadi persoalan‖.

Dari sosok Pak Aiman bagaimana dia bisa

mengembangkan dimensi manusianya sebagai manusia yang

kamil. Dengan totalitas pemikiran, jiwa dan raganya menjadi

khalifah di bumi untuk Rahmatan Lil‟alamin. Persoalan

hidup yang dihadapi Pak Aiman bukan lagi persoalan hidup

182

sebagai individu, tetapi persoalan hidup masyarakat (sense of

social).

B. Sikap Nrima Pribadi Orang Sederhana

Pak Damani (bukan nama yang sebenarnya) sosok

yang sangat religius dan sederhana. Dia tinggal di pinggir

kota kecamatan. Dengan kondisi ekonomi seadanya (biasa-

biasa saja) Pak Damani sangat tentram dan bahagia bersama

keluarganya. Menjadi pedagang sebagai mata

pencahariannya. Penghasilannya pasang surut suatu hal yang

biasa. Kadang tiap harinya berpenghasilan banyak, kadang

sedang, bahkan sangat sedikit. Apapun penghasilan yang

didapatkan Pak Damani dia sangat bersyukur sekali. Sudah

merasa cukup dengan apa yang diperoleh. Menurut dia, yang

penting bekerja dengan sungguh-sungguh apapun hasilnya

itu yang terbaik.

Konsep hidupnya Pak Damani, ―Urip kui penak” sing

penting awak‟e dewe kuwi iso ngelakoni sing manfaat,

sepiro hasile disyukuri wae (nrimo)”. Artinya: ―Hidup itu

indah‖ yang penting dirinya sendiri bisa menjalankan sesuatu

yang bermanfaat. Apapun hasinya disyukuri saja (nrima)

pasti berkah dan manfaat‖. Kita berpenghasilan banyak tetapi

rasanya sedikit dan kurang. Kita berpenghasilan cukup/pas-

183

pasan tapi rasanya mendapatkan banyak dan cukup. Itulah

namanya berkah tutur Pak Damani.

Gaya hidup keseharian Pak Damani sangatlah

sederhana. Dia tetap senang hati dan biasa-biasa saja dalam

menghadapi persoalan hidupnya. Menurut Pak Damani:

‖Persoalan hidup tidak hanya berhenti pada persoalan materi.

Ketika kita nyaman dan tidak tentram itu sebenarnya juga

persoalan. Tetapi hal ini jarang diperhatikan oleh manusia itu

sendiri. Pak Damani menceritakan temannya. ―, aku duwe

konco uripe ki sukses tenan iso bangun rumah sakit dewe yo

apik tenan, materine luweh-luweh neng opo sing dirasakke

jare atine suwung ora tentrem‖ Artinya: ‖, saya punya teman

hidupnya sukses bisa mendirikan rumah sakit bagus sekali,

materi berlimpah tapi rasanya hampa dan tidak tentram‖.

―Uripe penak-penak wae ora ono tantangan malah

raiso ngerasakke urip” cerita Pak Damani dengan

semangat‖. ―Hidupnya berkecukupan terus belum pernah

merasakan kurang, justru tidak merasakan hidup‖.

Kemampuan mengenali dirinya sendiri, sebagai

makhluk individu, dengan totalitas bisa mengembangkan

semua potensi yang ada meliputi: kemampuan berpikir

cerdas, ruhaniah yang kuat, fisik yang sehat merupakan satu

kesatuan dalam diri manusia yang tidak bisa dipisahkan. Diri

sendiri juga merupakan amanah, bagaimana setiap individu

184

bisa bertanggungjawab terhadap Tuhannya. Manunggaling

kawula Gusti. Kekuatan ruhaniah yang dikembangkan Pak

Damani agar tercapai kekuatan spiritual yang tinggi

hubungan manusia dengan Tuhannya.

Menurut Pak Damani kesalihan individu sebuah

keharusan. Ini sebagai modal atau pijakan untuk menuju

kesalihan sosial. Bagaimana orang akan bisa membawa

perubahan sedangkan dirinya sendiri tidak tertata. Dimensi

menusianya sebagai manusia belum baik. Hal inilah yang

jarang diperhatkan oleh setiap individu. Pak Damani selain

berdagang juga aktif di partai politik dan ormas Islam

menjadi calon legislatif (meskipun tidak jadi) tetapi hal

inilah yang menjadikan Pak Damani dikenal oleh masyarakat

luas. Pak Damani merasakan ini juga bagian pembelajaran

secara langsung dengan apa yang dialaminya. Membangun

mental keberanian menghadapi masa, kemampuan

membangun komunikasi yang baik, serta kecekatan dalam

mengorganisir.

Cacian dan pujian dari masyarakat yang dia terima,

Pak Damani tetap senang hati dalam menghadapinya. Ketika

dicaci dan dipuji tidak cepat putus asa dan bangga hati.

Justru bagaimana bisa menghadapi persoalan tersebut dengan

dewasa dan bijaksana, itulah belajar. Peneliti sering ngobrol

dan bertemu dengan Pak Damani, ―Bahwa dalam hidupnya

185

orangnya paham makna,‖Ini tercermin dalam gaya hidupnya,

pola pikirnya serta cara dia melakukan sesuatu.‖

―Dhonyo kuwi isine pepak arep milih sing endhi‖

artinya:‖ Dunia itu isinya lengkap mau milih yang mana‖.

Kerjo opo wae yen ora nganggo ati cepet kesel, sing di

enggo rogone tho‟. Kerjo nganggo ati lewih ikhlas neng

awak penak”. Artinya: ‖Kerja apa saja kalau tidak

menggunakan hati cepat lelah, yang dipakai hanya fisiknya

saja. Kerja pakai hati lebih ikhlas dibadan enak‖.

Yen kerjo niate mung ngoyak bondo dhunyo, malah

kesel dewe, wong yen atine nuju neng bondo biasane atine

wis ora eling karo sing kuoso. Atine kudu dijogo. Sing

penting ngelakoni sing manfaat kanggo wong liyo, mesti

berkahe. Gusti ora bakal mleset karo hambane‖. Piye sing

penting mlakune menungso koyo Al-Qur‟an. Iso distel dowo,

iso distel pendek, kapan menggok”. Koyo Al-Qur‟an kapan

diwoco dowo kapan diwoco pendek, kapan diwoco

mbrengengeng lan jelas. Intine wong kuwi iso nyetel awak‟e

dhewe, sin ati-ati lan peka karo kahanan‖.

Artinya: ― Kalau kerja niatnya hanya mengejar

materi, yang diperoleh hanya rasa capek. Orang yang hatinya

hanya mengejar materi, pasti tidak ingat kepada yang Maha

Kuasa. Hatinya harus dijaga. Kalau bekerja yang

memberikan manfaat untuk orang lain pasti berkah. Tuhan

186

pasti tidak akan keliru terhadap hambanya. Yang penting

bagaimana jalannya manusia seperti Al-Qur‘an. Bisa distel

pangjang, bisa distel pendek, kapan belok, kapan berhenti.

Seperti Al-Qur‘an kapan dibaca panjang, kapan dibaca

pendek, kapan dibaca mendengung dan jelas, semua ada

aturannya. Intinya bagaimana orang itu bisa mengatur

dirinya sendiri yang penting hati-hati dan peka terhadap

keadaan.

Dampak dari semua apa yang muncul dari dalam diri

Pak Damani, untuk memunculkan masyarakat yang harmonis

dimulai dari individu itu sendiri, bagaimana setiap individu

mempunyai kesalihan. Orang yang mempunyai kesalihan

individu dalam melakukan sesuatu dikerjakan tanpa pamrih

serta mempunyai ketenangan batin.

Inilah perbedaan karakter antara Pak Aiman dan Pak

Damani. Pak Aiman menciptakan tatanan sosial lewat

gerakan comunal. Sedangkan Pak Damani lebih ke

pembentukan individu-individu yang saleh untuk tatanan

masyarakat yang harmonis.

C. Sikap Nrima Pribadi Status Sosial Kaya

Secara Materi

Bu Ti‘ah (bukan nama sebenarnya), lain cerita

dengan Pak Aiman dan Pak Damani, Bu Ti‘ah seorang ibu

187

rumah tangga mempunyai usaha makanan. Dia tinggal di

pinggiran kota Salatiga. Karena suaminya pegawai salah satu

bank di Semarang, maka status sosial Ibu Ti‘ah di

kampungnya termasuk orang yang berkecukupan (kaya

materi). Banyak materi yang dimiliki Ibu Ti‘ah, seperti

rumah mewah dan seisinya termasuk mobil yang selalu

menghiasi rumahnya.

Materi yang dimiliki Bu Ti‘ah jelas Bu Ti‘ah sangat

senang dengan apa yang dimilikinya. Berperhiasan mahal

dan modis itu sudah keseharian yang selalu dia pakai. Karena

status sosialnya yang tinggi Bu Ti‘ah selalu mendapatkan

pujian dari lingkungan sekitarnya. Peneliti secara tidak

sengaja pernah langsung mendengarkan pujian yang

dilontarkan ke Bu Ti‘ah. ―Bu Ti‟ah uripe penak men yo ayu,

klambine apik-apik, sugih‖. Artinya: ―Bu Ti‘ah hidupnya

enak sekali ya, cantik, bajunya bagus-bagus dan kaya‖.

Pujian langsung dilontarkan ke Bu Ti‘ah sendiri saya

kira sering terjadi entah materi atau immateri. Karena

peneliti pun pernah langsung memujinya. ―Wah, bu yah ene

(pagi-pagi) wis penakmen kari lungguh-lungguh omahe wis

resik, karo ngitung-ngitung duit‖. Canda peneliti. Jawab Bu

Ti‘ah: ‖walaah to yo arep nopo to anakku wis gede-gede

ora ngladeni maneh‖. Artinya: ―Bu, pagi-pagi sudah enak

sekali tingal duduk-duduk, sambil menghitung-hitung uang‖.

188

Canda peneliti. Jawabnya: ―Ya mau apa to anakku sudah

besar-besar semua sudah tidak repot lagi‖.

Bu Ti‘ah memang sering dicemburui saudaranya, dia

gak betah kalau dimaki-maki oleh saudaranya. ―Wong kui

merinan opo-opo dielokke‖. Artinya: ―Orang kok suka ngiri

apa-apa diperbincangkan‖.

Secara materi sudah berkecukupan, ketika Bu Ti‘ah

menerima pemberian orang lain tetap senang-senang saja

tidak merasa kepepet atau sungkan apapun bentuknya. Bu

Ti‘ah juga bagian figur yang senang guyup rukun, dalam

memberikan sumbangan materi kepada orang lain. Entah

ketika sedang hajatan atau kegiatan sosial di kampungnya.

Meskipun termasuk kelas sosial tinggi, Bu Ti‘ah belum

merasa cukup apalagi nrimo. Takut miskin jelas sesuatu yang

sangat ditakuti oleh dia.

Dengan tidak sengaja beberapa waktu yang lalu Bu

Ti‘ah pernah ngobrol-ngobrol dengan peneliti, ― Nngertine

wong dhelokke aku wong sugeh padahal aku rasane belum

cukup, anane kemrungsung. Berarti aku kui durung sugeh,

sing sugeh kui malah kae wong-wong sing rumongso cukup

sak jane omahe elek, wong sugeh ki wong sing pinter

bersyukur karo sing kuoso. Kabeh wong sinawang, ngertine

sugeh padahal utange akeh. Malah ora tentrem atine ra

tenang uripe. Artinya: ―setahunya orang melihat saya kaya

189

dan cukup padahal saya belum merasakan cukup, adanya

ketidaktenangan. Berarti saya belum kaya, yang kaya itu

malah orang-orang yang merasa cukup meskipun rumahnya

jelek dan mau hidup apa adanya. Semua sering melihat

sama-sama. Kelihatan kaya padahal hutangnya banyak malah

hidupnya tidak tenang dan tentram.

Bu Ti‘ah pernah bilang ketika sama-sama dengan

peneliti mengantarkan orang-orang haji. ―Wah aku durung

wani munggah kaji tak nguatke ekonomiku disik‖. Peneliti

jadi bengong dikira beliau sudah daftar jauh-jauh hari

sebelumnya. Artinya: ―Aku belum berani naik haji mau

menguatkan ekonomiku dulu‖.

D. Konsepsi Nrimo Pribadi Sukses

Pak Herman (bukan nama sebenarnya) adik dari Bu

Ti‘ah merupakan orang yang sangat piawai dalam

berwirausaha. Pasang surut dalam usahanya adalah hal yang

biasa. Sosok pak Herman orang yang tak mudah pantang

menyerah. Ketika sukses tidak cepat bangga hati dan ketika

rugi tidak mudah kecil hati, tetapi bagaimana tetap berusaha

mengadapi ekonomi keluarganya yang pasang surut dengan

bijaksana.

Peneliti ngobrol dengan pak Herman di tempat

kerjanya. ―Piye to kerjo ki sing penting ngayah ikhlas karo

190

ngayah syukur neng awak malah penak ora ngongso, yen

ngayah akeh onone korupsi, roso kurang ki ra ono enthek‟e‖.

Artinya: ―Kerja itu yang penting cari ikhlas sama cari syukur

di tubuh malah enak tidak berarti kalo cari banyak adanya

korupsi. Merasa kurang itu gak ada habisnya‖.

―Aku wis ngrasakke duwe omah apik, duwe mobil

songko rego murah tekan rego larang wis tak rasakke kabe,

tiba‟e kabeh kuwi rasane ampang‖. Artinya: ―Saya sudah

merasakan punya rumah bagus, punya mobil dari harga

murah sampai harga mahal sudah merasakan semua, ternyata

semua itu rasanya ngambang‖.

Dampak dari semua pola hidup Bu Ti‘ah, jelas-jelas

potret individualis yang belum menemukan makna.

Dinamika hidup Bu Ti‘ah masih berkisar pada persoalan

fisik/materi. Sesuatu dianggap sukses jika sudah mampu

mengumpulkan/memiliki banyak materi. Ketika dihadapkan

dengan jumlah materi yang cukup ternyata belum menjawab

persoalan hidup yang sesungguhnya. Yaitu ketenangan dan

ketentraman batin masih merasa kurang terus. Dimensi

manusianya sebagai manusia yang sesungguhnya belum

terkelola dengan baik. Sesuatu akan menjadi baik jika

kebutuhan jasmaninya terpenuhi dengan baik pula. Ternyata

hal ini belum menjawab semuanya. Ada ruang batin dan akal

yang belum tersentuh.

191

Bisa jadi pola hidup materialistik menjadi satu-

satunya tujuan hidup sudah menghilangkan makna hidup itu

sendiri. Berfikir praktis dan pengelolaan emosi yang dangkal

menjadikan seseorang tidak mempunyai daya tahan terhadap

persoalan-persoalan hidup yang bersifat immaterial (cacian,

hujatan, dll). Bisa nrimo karena keadaan/kondisi yang

memaksakan untuk nrimo (ketika benar-benar tidak punya

uang). Belum bisa ikhlas ketika mengalami kekurangan.

Walaupun keadaan Bu Ti‘ah dia seorang muslimah yang taat

beribadah, pemahaman agamanya masih sebatas ritual-ritual

saja.

E. Sikap Nrima Pribadi Santri Buruh Tani

Miskin Pedesaan

Bu Mukti (bukan nama sebenarnya), dia tinggal di

pedalaman desa yang jauh dari keramaian kota. Mata

pencaharian Bu Mukti setiap harinya sebagai buruh tani. Dan

semua hasil kerjanya untuk menghidupi dan memenuhi

kebutuhan keempat anaknya yang semuanya belum dewasa.

Sebagai single parent Bu Mukti harus kerja keras untuk

mencukupi semua kebutuhan rumah tangganya. Dari hasil

buruhnya yang sedikit Bu Mukti harus menghemat segala

kebutuhannya atau bisa jadi Bu Mukti sekeluarga harus

banyak tirakat.

192

Secara materi Bu Mukti terhitung masyarakat miskin

pedesaan yang tidak berdaya ekonominya. Penghasilan tiap

harinya baru sebatas survival (untuk bertahan hidup) belum

bisa untuk mencukupi sekolah keempat anaknya. Rumah

papan, berlantai tanah yang sangat jauh dari kata mewah. Di

situlah Bu Mukti hidup bersama keluarga besarnya. Bu

Mukti pernah bilang ke peneliti bahwa dirinya pernah

mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah desa yang

tiap bulannya Rp. 300. 000,-.

Sejak kecil Bu Mukti mendapatkan didikan agama

dari orangtuanya yang begitu taat beribadah. Tingkat

ibadahnya Bu Mukti bisa membangun kekuatan spiritualitas

yang cukup tinggi. Dalam keadaan kurang secara materi, Bu

Mukti tidak pernah mengeuh akan nasibnya. Sabar dan

ikhlas yang selalu melekat dalam diri Bu Mukti yang

menjadikan Bu Mukti menjadi sosok perempuan yang sangat

tabah dalam menghadapi persoalan hidupnya. Selalu senyum

dan tidak marah. Bu Mukti sangat disukai tetangganya.

Ketika peneliti bertandang kerumah Bu Mukti banyak ibu-

ibu yang sedang santai ngobrol-ngobrol di depan rumah Bu

Mukti.

Setiap pemilu apapun bentuknya Bu Mukti selalu

menjadi target money politic bagi tim sukses peserta pemilu.

Apa yang terjadi kemiskinan bukan berarti dia harus

193

menerima begitu saja uang untuk membeli suaranya dalam

pemilu. Bu Mukti pernah cerita kepada peneliti, dia paham

batasan halal dan haram. ―Piye to aku diparani Pak Udin

diweneni duit tapi kon milih koncone sing arep dadi DPR

kae, aku ora wani nompo, wedi doso, kerjo sing ono wae

neng halal‖. Artinya: ―Gimana ya aku didatangi pak Udin

dikasih uang disuruh milih temannya yang akan jadi DPR,

tapi saya tidak berani menerima takut dosa, kerja yang ada

saja tapi halal.

Lain lagi dengan anak laki-lakinya Bu Mukti yang

sudah punya hak pilih. Dia dikasih money politic tetap

diterima tapi tidak memilih orang yang kasih uang. Anaknya

pernah bilang kepada peneliti: ― aku pernah diweneni duit

karo calon DPR, tak tompo duite neng ora tak pilih uwonge.

Wong ngono kuwe mengko yen dadi mesti mikir bai modal

alias korupsi‖.

Bu Mukti di lingkungan sekitarnya, meskipun miskin

dia kelihatan cukup mempunyai wibawa seperti peneliti lihat.

Itu terlihat dari cara tetangganya memanggil Bu Mukti

dengan kata bu/ibu. Biasanya orang desa memanggil dengan

kata yu, mbok, ma‘e dan lain-lain terhadap orang yang biasa

mereka panggil. Panggilan bu/ibu di desa panggilan

tersendiri bagi orang yang mempunyai status sosial tinggi.

194

Bu Mukti orang yang jarang mengeluh terhadap

keadaannya. kata-kata sabar, ikhlas, hemat, hati-hati itu kata-

kata yang selalu dia ucapkan untuk anak-anaknya. Dia

merasa sedih bukan karena jumlah materi yang dia dapatkan

sedikit, sedih jika melihat anak-anaknya sampai

meninggalkan sholat dan puasa wajib. Kemiskinan bukan

menjadikan Bu Mukti larut atau putus asa terhadap keadaan.

Dia tetap bangkit, semangat, pantang menyerah dalam

menjalani hari-harinya.

Bu Mukti pernah bilang kepada peneliti ―Gusti kuwi

ora bakal sare, rejeki uwis ono jatahe dewe-dewe wis diatur

karo sing kuoso, jenenge isih urip mesti keparingan‖.

Artinya: ―Tuhan tidak akan pernah tidur, rizki sudah ada

ukurannya sendiri-sendiri, sudah diatur dengan yang kuasa.

Namanya masih hidup pasti kebagian‖.

Anak-anak Bu Mukti lulus SMP, ini tidak

menjadikan Bu Mukti berkecil hati. ―Sing penting bocah

kuwi gelem sinau opo wae, arep neruske tekan SMA ora

duwe ragat. Sing penting dadi bocah sing apik, iso moco, iso

nulis karo iso ngaji, karo duwe semangat nyambut gawe‖.

Artinya: ―Yang penting anak itu mau belajar apa saja, mau

melanjutkan ke SMA tidak punya biaya. Yang penting

menjadi anak yang baik. bisa membaca, bisa menulis sama

bisa mengaji, punya semangat kerja.

195

Faktor penyebab kemiskinan Bu Mukti faktor kultur

budaya. Ceritanya: Bu Mukti lahir 8 bersaudara, 3

perempuan 5 laki-laki. Anak perempuan tidak diberi

kesempatan yang sama dengan anak laki-laki dalam bidang

pendidikan. Ini terjadi pada Bu Mukti dari dua saudara

perempuannya. Bu Mukti dan dua saudara perempuannya

diberi kesempatan oleh orangtuanya hanya sampai sekolah

dasar. Sedangkan kelima adik laki-laki Bu Mukti semua

sekolah sampai SMP dan mondok di pesantren bertahun-

tahun lamanya. Anak perempuan cukup ngaji dan belajar

agama di rumah. Lebih ironisnya lagi Bu Mukti tidak sampai

tamat SD, karena harus mengasuh adik-adiknya. Bu Mukti

anak perempuan paling sulung. Kondisi inilah yang membuat

Bu Mukti tidak berdaya semuanya (pendidikan dan

ekonomi). Sampai-sampai semua terbawa sampai Bu Mukti

berkeluarga dan punya anak-anak.

Cerita Bu Mukti pada waktu itu, namanya anak desa

kalau sudah bisa ngaji sudah dianggap pinter dan cukup

umur. Meskipun baru berusia 15 tahun, anak perempuan bisa

gaji berarti siap untuk menikah. Ini benar-benar terjadi pada

Bu Mukti dan kedua adik perempuannya. Dengan kondisi

ekonomi apa adanya, prinsip take and give tetap ada dalam

kehidupan sehari-hari Bu Mukti. Menerima apa adanya atas

196

pemberian orang lain jelas Bu Mukti tidak ada motif apapun

kecuali senang dan ikhlas.

Di saat memberi, Bu Mukti pun tetap ikhlas, ketika

di dusunnya sedang ada orang yang punya hajatan tak segan-

segan Bu Mukti ikut menyumbangnya. Sumbangan tidak

harus berbentuk uang, bisa beras, sayuran, lauk pauk dan

lain-lain. Terserah apa yang dimiliki hidup guyub rukun,

harmoni tetap sesuatu yang diinginkan oleh Bu Mukti.

Jika dilihat secara lahiriyah, Bu Mukti orang yang

kurang beruntung secara ekonomi dan pendidikan. Bu Mukti

menjadi gambaran perempuan menjadi korban ketidakadilan

gender. Anggapan bahwa perempuan harus di rumah tidak

perlu sekolah tinggi-tinggi masih mengakar kuat di

masyarakat pedesaan. Dirumahkan, tidak sekolah, tidak

bekerja semakin menambah keterpurukan perempuan.

Anggapan bahwa perempuan akan dicukupi dan ditanggung

laki-laki (suami). Tapi apa yang terjadi pada diri Bu Mukti

dia seorang single parent yang sudah lama ditinggal mati

suaminya ketika anak-anaknya masih kecil.

Dengan bekal agama yang secukupnya Bu Mukti

mempunyai kekuatan batin (spiritual) untuk bisa menghadapi

persoalan-persoalan hidupnya dengan sabar, ikhlas dan

selalu berserah diri kepada Allah. Keterbatasan pendidikan

ilmu pengetahuan dan wawasan menjadikan seseorang tidak

197

mempunyai akses informasi yang cukup untuk merubah pola

pikirnya dan ekonominya. Kemiskinan perempuan bukan

terjadi karena kemalasan atau nasib yang tidak beruntung

karena kondisi sosial budaya yang telah mengungkungnya.

Meskipun tidak berdaya pendidikan dan ekonominya

Bu Mukti dimensi manusianya sebagai manusia masih

terkelola dengan baik meskipun tidak lengkap. Hidup tenang

dan tentram masih bisa dirasakan oleh Bu Mukti berkat

ketenangan batinnya. Dalam hidupnya tetap aktif dinamis

disertai kepasrahannya kepada Tuhannya.

Atas sabar dan nrimanya Bu Mukti mampu menahan

diri, tidak putus asa, mampu meredam marah dan tidak

mudah mengeluh. Kemampuan mengendalikan diri bisa

sebagai modal untuk menjalin hubungan baik dengan orang

lain.

F. Sikap Nrima Pribadi Pembantu Rumah

Tangga, Sosok Miskin Kota

Bu Inah (bukan nama sebenarnya) tinggal di daerah

perkotaan. Pekerjaan sehari-hari Bu Inah menjadi pembantu

rumah tangga. Dan hasil jerih payahnya Bu Inah harus

menghidupi kedua anak perempuannya. Salah satunya masih

duduk di bangku sekolah dasar. Rumahnya yang kecil

terbuat dari papan sudah terlihat rapuh. Di situlah setiap

198

harinya Bu Inah tinggal dan beraktifitas dengan kedua

anaknya. Jika dilihat sekilas Bu Inah adalah potret

masyarakat miskin perkotaan, yang hidupnya sangat pas-

pasan, bisa jadi dibilang tidak cukup. Anak Bu Inah yang

masih duduk di SD memilih putus sekolah, jadi sekolah

dasarnya ditempuh sampai kelas 5 saja. Bu Inah sebenarnya

masih mempunyai semangat menyekolahkan anaknya

sampai SMA. Tetapi anaknya lah yang tidak mempunyai

semangat belajar. Sudah berbagai cara bu Ina membujuknya

agar anaknya tetap sekolah. Berhenti sekolah ternyata sudah

menjadi keputusan bulat bagi anak perempuannya.

Kemiskinan Bu Inah membuat anaknya tidak percaya

diri lagi untuk bergaul dengan teman-teman di sekolahnya,

serta tidak semangat dalam belajarnya. Memang banyak

tetangga yang merasa iba terhadap kondisi Bu Inah dan

keluarganya mendapatkan bantuan raskin (beras miskin)

sudah sangat membantu Bu Inah bisa makan untuk

menyambung hidupnya.

Bu Inah seorang single parent karena sudah lama

bercerai dengan suaminya. Bukan kemiskinan yang

mengakibatkan dia bercerai, tetapi perbedaan prinsip dalam

hidupnya. Sebelum bercerai, Ibu Inah secara materi dia

termasuk orang yang berkecukupan, karena suaminya

seorang pensiunan pegawai negeri. Kemiskinan Bu Inah

199

memang banyak menjadi sorotan masyarakat di sekitarnya.

Dampak dari kemiskinan itulah salah satu anak Bu Inah

memilih menjadi perempuan malam. Hal inilah yang sering

menjadi gunjingan masyarakat di sekitarnya. Bu Inah

sebenarnya sudah tidak tahan menjadi cemoohan banyak

orang, tapi apa daya kondisi ini menjadikan Bu Inah tidak

berdaya.

Dia sering terlihat cemberut, jarang senyum seakan-

akan Bu Inah memilkul beban berat dalam hidupnya.

Kemiskinan menurut Bu Inah bisa jadi sesuatu yang

menyakitkan dan terpuruk. Bu Inah pernah ngobrol dengan

peneliti. Dengan nada marah Bu Inah mengeluarkan unek-

uneknya, dia mengatakan: ― aku dadi omongan karo

rembukane wargo yen ngelokke sang senenge dewe, peh

karo wong ra duwe, yen aku sugeh kaya liya-liyane wis do

tak tataki kabeh‖.. Artinya: ― saya menjadi pembicaraan dan

perbincangan warga, mereka membicarakan saya sudah

semaunya, karena saya orang yang tidak punya. Jika saya

kaya seperti yang lainnya semuanya bisa saya atur‖.

Bu Inah sebenarnya dia belum ikhlas menerima atas

kekurangannya. Bu Inah sering mencibir anaknya sendiri.

―Anakku senengane dandan neko-neko koyo wong sugeh,

dadi anakke wong mlarat senengane neko-neko wae‖.

200

Artinya: ―Anakku senang merias diri yang aneh-aneh seperti

orang kaya, padahal anaknya orang miskin aneh-aneh saja‖.

Adu mulut dan pertikaian sering terjadi dalam

rumahnya, hampir tidak ada hari-hari yang menyenangkan

bagi Bu Inah. Setiap peneliti ketemu Bu Inah hampir

orangnya jarang senyum dan gembira. Pernah peneliti sendiri

memberikan sesuatu bingkisan kepada Bu Inah, respon dia

dan cara menerimanya seperti orang kepepet tidak begitu

senang menerima pemberian orang lain. Ketika dia

mendapatkan cemoohan dari orang lain, ekspresi marah-

marah dan sakit hati selalu muncul.

Pasrah, nyerah terhadap keadaan yang tidak

beruntung dan tidak menyenangkan semakin merasakan

keterpurukannya. Rasa syukur, ikhlas sebagai cerminan nilai-

nilai keagamaan kelihatannya belum muncul dalam diri Bu

Inah. Sebenarnya Bu Inah sendiri seperti peneliti ketahui dia

termasuk orang yang rajin beribadah dalam menjalankan

shalat lima waktu.

Jengkel, marah, tidak nrimo lebih mendominasi

pribadinya Bu Inah, seakan-akan kebaikan tidak berpihak

padanya. Seperti masyarakat perkotaan pada umumnya

bahwa materi sudah menjadi tujuan hidup satu-satunya,

dalam benak Bu Inah sendiri sebenarnya materi juga sebagai

201

tujuan hidupnya, tetapi apa daya semua tidak berpihak

padanya.

Setiap pemilu sebagai ajang pesta demokrasinya

masyarakat Indonesia, Bu Inah dan keluarganya sudah jelas

masuk daftar/target money politic bagi peserta pemilu. Apa

boleh dikata Bu Inah tetap akan memilih bagi calon yang

mau memberikan uang. ―Aku arep milih sing gelem menehi

duit. Sepiro akehe ora tak gagas, seng penting enthuk duit‖.

Artinya: ―Saya akan memilih yang mau memberikan uang,

berapa banyaknya tidak saya pikir yang penting dapat uang‖.

―Sing kepilih yen dadi DPR wis ora bakalan kelingan aku‖.

Artinya: ―Yang kepilih menjadi DPR tentu sudah tidak akan

ingat saya‖.

Bu Inah benar-benar merasakan beratnya hidup di

kota. Kalau tidak mempunyai materi yang cukup, bagi

masyarakat kota hidup adalah uang. Bagaimana mereka

benar-benar bisa bersaing untuk kelangsungan hidupnya.

Sebelum jatuh miskin Bu Inah sebenarnya pernah

merasakan hidup yang berkecukupan, Bu Inah pernah

mempunyai usaha warung makan yang setiap hari buka di

trotoar alun-alun kota. Warung makan Bu Inah lumayan

laris, tetapi kemudian lama kelamaan semakin berkurang

akibat kena penertiban tata ruang kota. Sebelum digusur

sebenarnya juga ada musyawarah dengan semua pedagang

202

kaki lima. Semua pedagang dipindahkan ke tempat lain.

Tetapi di tempat baru, jualan Bu Inah sangat sepi pembeli,

akhirnya Bu Inah memutuskan untuk tidak jualan lagi.

Dampak dari semua prilaku kehidupan Bu Inah

belum benar-benar nrima yang sesungguhnya (ikhlas), diam

(diam pasif), keterpaksaan dia untuk bisa menerima keadaan.

(arep nopo maneh onone yo wis ngono) artinya: ―Mau apa

lagi adanya ya memang itu‖.

Dampak dari kemiskinan mudah memunculkan

persoalan-persoalan sosial bisa berujung ke konflik sosial.

Kasus Bu Inah, dalam hidupnya sudah sarat dengan konflik.

Meskipun baru ranah individu dan keluarga (konflik yang

terdalam). Meskipun dimulai dari individu, jika individu-

individu yang berkonflik tidak dikelola dengan baik

sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan (meletus).

Membangun konsep diri positif, akan berpengaruh baik pada

dirinya bahwa seseorang yakin akan kemampuannya dalam

mengatasi masalahnya, punya semangat dirinya punya

kemampuan untuk setara dengan orang lain, dan mampu

introspeksi diri.

Tapi apa yang terjadi dalam diri Bu Inah. Konsep diri

negatif yang lebih dominan, tidak tahan kritik (cemoohan),

cepat marah, pesimis terhadap kompetisi dan tidak mau

bersaing. Miskin lahir batin (tidak punya harta, batinnya

203

tidak tentram) sudah kehilangan nilai-nilai hidup yang

sesungguhnya. Akal dan jiwanya sudah tidak berdaya lagi

hanya ragalah yang masih mampu bertahan hidup. Kondisi

jiwa yang tertanam kuat, akan melahirkan perbuatan-

perbuatan yang baik serta pemikiran-pemikiran yang baik

pula. Sebaliknya kondisi jiwa yang tidak tertanam kuat akan

lahir perbuatan dan pemikiran-pemikiran yang kurang baik

pula. Penghambaan diri secara total kepada Allah akan

melahirkan keluhuran budi bisa menempatkan diri dengan

orang lain dengan posisi yang sama.

G. Sikap Nrima pada Pribadi Santri Kota yang

Sederhana

Pak Indra, bukan nama sebenarnya. Dari lahir sampai

sekarang dia tetap tinggal di kota tercintanya yaitu Salatiga.

Pendidikan formalnya di sekolah dasar sampai perguruan

tinggi dia tempuh di lembaga pendidikan umum negeri. Tiga

tahun lebih Pak Indra pernah menjadi santri mukim salah

satu pesantren salafiyah di Jawa Tengah. Bisa membaca

kitab kuning, ini menandakan bahwa Pak Indra mempunyai

pemahaman kitab klasik yang baik dan menjadi salah satu

sumber untuk memahami agama. Pak Indra sendiri kadang-

kadang diminta oleh ibu-ibu kelompok pengajian di kotanya

untuk memberikan tausiyahnya.

204

Pak Indra mengenal dunia politik sejak dia duduk di

bangku SLTA. Waktu itu Pak Indra sudah menjadi pengurus

partai Islam di kotanya dan sudah aktif di organisasi

keislaman. Banyak orang mengenal sosok Pak Indra, kalau

dia adalah seorang politisi cerdas, sederhana, amanah dan

mempunyai pengaruh yang besar dapat masyarakat bisa jadi

karena gaya kepemimpinannya. Seorang politisi yang punya

latar belakang pendidikan agama yang baik.

Sejak kecil memang Pak Indra dibesarkan dari

keluarga yang berkecukupan atau kaya materi. Pak Indra

punya modal baik material maupun immateial yang kuat

sehingga Pak Indra pun bisa belajar apapun dengan semangat

dan totalitas termasuk belajar ilmu hukum, politik dan

kewirausahaan. Aktif di partai politik sejak remaja dan

penguasaan ilmu politik yang bagus serta punya karakter

tersendiri dalam gaya kepemimpinannya. Tidak

mengherankan kalau Pak Indra menjadi wakil rakyat/anggota

DPRD dua kali periode, tanpa harus modal atau

mengeluarkan uang sekian ratus juta. Kemampuan

berkampanye dan mengorganisir masa sehingga sosok Pak

Indra banyak berkenan di hati masyarakat.

Pak Indra menjadi politisi sudah menjadi pilihan

hidupnya karena menurut dia menjadi politisi itu ibadah yang

sangat mulia. Menyerahkan waktu dan pikirannya secara

205

total untuk mengabdi untuk kepentingan umat. Menjadi

politisi menurutnya adalah panggilan hidup yang sangat

mulia dan ibadah yang mulia. Menjadi politisi bisa

bermanfaat bagi banyak sekali orang. Menjadi guru

misalnya, menjadi guru hanya bemanfaat bagi para muridnya

saja. Tapi menjadi politisi tidak hanya mendatangkan

manfaat bagi muridnya saja, gurunya, atau sekolahannya tapi

seluruh unsur sistem pendidikan. Kalau sorang pengusaha

katakanlah hanya memberi manfaat untuk para karyawannya,

maka sebagai politisi yang baik bisa bermanfaat untuk

pengusaha, pekerja dan dunia usaha secara umum.

Pak Indra berusaha menghilangkan bahwa politik itu

kotor. Ada politisi yang halal dan korupsi itu adalah

kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Sebenarnya hanya

perilaku beberapa orang saja, akhirnya menganggap bahwa

politik itu kotor. Contohnya, seperti peneliti dengar sendiri

Pak Indra menerangan: ―Menjadi anggota dewan godaannya

besar sekali, salah satunya ketika waktu penerimaan Pegawai

Negeri Sipil (PNS). Banyak peserta CPNS yang mencari dan

menyogok anggota dewan dengan berbagai cara variatif

jumlah uang yang mereka tawarkan. Anggota dewan yang

nakal umpamanya: ―Si Amir (bukan nama sebenarnya) sudah

diterima menjadi PNS dengan hasil tes atau hasil ujiannya

dengan bagus. Anggota yang nakal itu akan mencari daftar

206

semua CPNS yang sudah nyata-nyata diterima. Dia akan

pasang tarif dan meminta uang sekian juta jika mau diterima

jadi PNS. Padahal orang tersebut sudah diterima tanpa

bayar/nyogok dan akhirnya mereka tetap bayar, padahal

tidak bayar pun orang tersebut sudah diterima menjadi PNS.

Nafsu telah cenderung kepada kejahatan dan

perbuatan yang tidak baik, tetapi manusia tidak mungkin

hidup tanpa nafsu. Tinggal bagaimana individu itu bisa

mengelolanya. Untuk menjadi manusia utama dan baik

manusia diperintahkan Allah untuk bisa mengendalikan

nafsunya. Agar selalu mendapatan rahmat dari Allah. Pak

Indra selain menjadi politisi, dia menjadi pedagang atau

pengusaha. Dia menceritakan bagaimana bedanya menjadi

politisi dan pengusaha. Menjadi pengusaha tujuannya

mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan

tujuan menjadi politisi, bagaimana untuk mewujudkan

kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan maksimal

melalui kebijakan untuk mewujudkan kemakmuran, bisa

dengan pelayanan langsung atau bantuan dengan simultan.

Menjadi wakil rakyat (DPR) jelas Pak Indra

mempunyai status sosial yang tinggi, dengan berbagai materi

yang ia miliki seperti peneliti lihat sendiri Pak Indra main

piano di waktu luangnya untuk hiburan sejenak dari penatnya

jadwal pekerjaan dan jam terbang yang tinggi sebagai

207

anggota dewan. Mengendarai motor gede hal yang biasa ia

lakukan ketika pergi ke kantor dan tempat-tempat lainnya.

Mobil tua tampak sederhana yang selalu setia menghiasasi

halaman rumah Pak Indra. Pak Indra cukup materi bukan

semenjak ia menjadi anggota dewan, sebelumnya usaha

dagangannya berjualan baju/pakaian dengan toko besar yang

dia miliki sudah menunjukkan status sosial Pak Indra sangat

tinggi. Karena bangunan rumahnya tinggal di sekitar

perumahan mewah yang cukup dikenal di kotanya.

Seperti peneliti lihat dan kenal sendiri, dalam puncak

karirnya Pak Indra tetap seorang politisi yang sederana, apa

adanya, rendah hati dan selalu ngemong terhadap orang-

orang di sekitarnya. Menjadi pemimpin amanah nampak

sikap hati-hati sealu ia jaga. Pada posisi puncak karir banyak

cobaan yang dia hadapi yang berhubungan dengan

keselamatan jiwa anak dan istrinya. Cerita Bu Indra kepada

peneliti: ―Pada pagi hari sekitar jam 04.30 dini hari matahari

benar-benar belum kelihatan mau terbit, rumah Pak Indra

didatangi pencuri lewat pintu belakang/pintu dapur. Biasanya

jam segitu Bu Indra memulai aktifitas di dapur untuk

menyiapkan sarapan paginya, tidak tau dan tidak dengar

apapun dari mana datangnya sang pencuri tiba-tiba

menyekap Bu Indra dari belakang. Dengan sangat kagetnya

Bu Indra langsung teriak-teriak maling. Untungnya sang

208

pencuri tidak melukai Bu Indra dan belum sempat membawa

kabur barang-barang milik keluarganya. Bu Indra memang

sempat shock dan ketakutan karena peristiwa kemalingan

sudah kedua kalinya tapi semua selamat dan belum sempat

membawa curiannya.

Indra sekeluarga terasa terancam keselamatannya.

Percaturan politik memang sangat keras. Demi kekuasaan,

ambisi dan jabatan merupakan satu kesatuan yang harus

diperjuangkan bagi pelaku-pelaku politik dengan

menghalalkan segala cara. Saling menjatuhan dan

mengancam benar-benar terjadi seperti yang dialami Pak

Indra sendiri, sebagaimana peneliti ketahui: ―Ketika arus

pergantian pemimpin partai politik yang digabungi Pak Indra

akan berganti ketua umum, yang terjadi bukan hanya money

politic saja, ternyata sudah masuk ancaman keselamatan

jiwa, lawan-lawan politik Pak Indra tidak segan-segan

meneror anak dan istrinya yang sewaktu-waktu bisa diculik.

Jelas target utamanya anak Pak Indra yang masih duduk di

TK kecil yang belum tau apa-apa yang terjadi sesungguhnya.

Ancaman-ancaman psikologis yang semacam inilah yang

menjadikan anak-anak Pak Indra tertekan dan trauma.

Hal yang semacam ini, tapi apa yang terjadi dalam

diri Pak Indra dia tetap bersemangat bekerja menjalani hari-

hari seperti biasanya dan tidak bergeming dengan ancaman

209

itu, yang penting waspada dan anak istrinya tetap dijaga. Pak

Indra menjadi politisi dan mampu masuk kancah pertarungan

antarpolitisi bisa terpilih menjadi wakil rakyat, banyak

pengorbanan dan kerja keras meskipun menjadi anggota

DPR bukan tujuan untuk pekerjaan atau tempat yang

strategis untuk mengumpulkan pundi-pundi materi yang

berujung untuk kesenangan duniawi.

Sejak awal landasan gerak Pak Indra adalah ibadah

jadi dia dalam melakukan kegiatan dan aktifitasnya tanpa

beban alias ringan-ringan saja. Tawakal dan ikhlas yang

selalu ia kedepankan dalam berpolitik. Ketawakalan Pak

Indra sebagai bentuk semangat dan aktif bahwa segala

sesuatu perjalanan manusia secara keseluruhan merupakan

rahasia Ilahi dimana semua makhluk tidak mampu

menguasai dan mengetahuinya. Inilah yang menyadarkan

seorang pemimpin teguh terhadap prinsip-prinsipnya.

Di balik kesuksesan karir politiknya, Pak Indra tidak

meyangka kalau akan terjadi perubahan hidupnya yang

drastis yang hubungannya dengan materi yang dia dapatkan

saat itu. Tidak ada badai tidak ada hujan, tiba-tiba kios

dagangan pakaian Pak Indra ludes dilahap si jago merah alias

kebakaran. Ini yang membuat shock Pak Indra dan juga Bu

Indra. Bagaimana mereka tidak shock, karena dagangan

mereka kebanyakan titipan dari produsen yang belum

210

kebayar, semua dengan total sekian ratus juta (cerita dari

teman-teman Pak Indra yang disampaikan kepada peneliti).

Karena banyak keluarga Pak Indra yang mampu, mereka

bergotong royong untuk menutup hutang-hutang Pak Indra

yang harus ditanggung ke beberapa bank. Antara rasa sedih

dan senang Pak Indra menerima bantuan-bantuan dari

saudara-saudaranta tersebut.

Semangat kerja apapun yang dilakukan oleh Pak

Indra karena seorang muslim yang taat beribadah bahwa

dalam pekerjaannya niatnya memperoleh ridho Allah. Dalam

keadaan tidak punya (kembali ke titik nol) bantuan-bantuan

materi maupun immateri yang diberikannya sebagai imbalan

bentuk ikhlasnya Pak Indra dalam melakukan segala hal.

Termasuk dalam pekerjaannya dan rizkinya Pak Indra tidak

membatalkan sedekah (sebagai amal kebajikan). Perbuatan

baik seperti sedekah jika ikhlas dan tanpa pamrih dalam

pemberiannya hal ini tidak akan menghilangkan nilai

kebaikan. Dalam kondisi ekonomi seadanya, Pak Indra dan

keluarganya berusaha bangkit tidak meratapi kenyataan yang

ada. Pak Indra tidak kaget ketika menghadapi kondisi

ekonomi keluarga yang carut marut. Tegar, tabah serta sabar

sebagai bentuk komitmen mereka dalam menghadapi

kenyataan dan persoalan hidup dalam materi.

211

Peneliti sempat ngobrol-ngobrol dengan Bu Indra,

tanya peneliti: ―Bu, jenengan niku pun nate ngrasakke hidup

kurang, kados jenengan katingal sekeco terus.‖ Jawab Bu

Indra dengan senyum-senyum. ―Walah, sampean arep takon

sing endi, wis tau tak rasakke kabeh, songko urip turah-

turah wis tau, kecukupan biasa wis tau, sedengan wis tau,

mlarat kurang ra duwe opo-opo to wis tau, arep takon sing

endi maneh.‖

Artinya: ―Ibu pernah merasakan hidup dalam keadaan

kekurangan? sepertinya ibu kelihatannya selalu enak terus.‖

Jawab Bu Indra ―Gimana to, kamu mau tanya yang mana

semua sudah saya rasakan. Hidup lebih pernah, hidup cukup

biasa-biasa saja pernah, hidup sedang sudah, miskin kurang

apa-apa juga pernah, mau tanya yang mana lagi.‖

Yang terpenting bagaimana setiap orang bisa

menerima dengan segala keadaan. Tidak boleh sombong

ketika di atas maksudnya ketika bergelimang materi. Tidak

boleh berkecil hati atau sedih ketika tidak punya. Segala

sesuatu Allah sudah mengaturnya (kilah Bu Indra). Uripe

arep nopo to yen ora go nglakoni sing apek-apek, dengan

senyum-senyum Bu Indra menasehati peneliti. Artinya:

―Hidup itu mau buat apa to, kalau tidak untuk menjalankan

kebaikan.‖

212

Meskipun menjadi wakil rakyat Pak Indra benar-

benar merasakan pasang surut dalam hidupnya entah materi

maupun immateri. Menjadi politisi seperti pada umumnya

perilakunya selalu menjadi sorotan orang banyak, antara

hujatan dan pujian biasa dia terima selayaknya menjadi

seorang politisi. Tapi kedua-duanya tidak mudah menjadikan

Pak Indra cepat tersanjung atau kebalikannya, menjadikan

Pak Indra mudah rapuh atau putus asa. Tetap berjiwa besar

selayaknya seorang pemimpin rakyat. Keteguhan jiwa

menghadapi keadaan/persoalan agar usaha untuk

menegakkan kebenaran tetap fokus karena adanya persoalan,

hanya keyakinan kepada Tuhan lah yang akan melindungi

dan menjaganya sehingga tidak ada khawatir ketika bekerja

dan bergerak.

Dalam keadaan apapun, (demikian) perjalanan hidup

Pak Indra sebagai politisi dan sebagai pedagang (pengusaha),

apapun yang berpengaruh dalam hidupnya, sikap nrimanya

masih tercermin dalam pribadinya. Sikap nrima Pak Indra,

bukan nrima pasif pasrah bongkok‟an (menerima begitu

saja) pada nasib yang tidak baik atau kurang menguntungkan

dengan keberadaannya. Tapi nrima sebagai sikap qana‘ah,

sikap mensyukuri apa yang telah ia dapatkan dari semua

usahanya sebagai manusia. Sebagai manusia yang

menjalankan kekhalifahan bagaimana manusia mempunyai

213

kemampuan menjalankan sifat baik dalam berperilaku

politik. Seorang pemimpin mensejahterakan rakyatnya

sebagai tujuan prioritas utamanya. Bukan sebaliknya

kesejahteran dinikmati sebagian kecil golongan.

Seorang pemimpin mampu memberikan penyayoman

dan keamanan seperti ada kebebasan berapresiasi dan

mengeluarkan pikiran serta ide-ide besarnya secara bebas.

Menghargai perbedaan pendapat tanpa ada unsur penekanan

dan keseragaman. Hal tersebut menggambarkan pemimpin

sebagai hamba Allah di bumi untuk bisa menjalankan

amanah kepemimpinannya, bagaimana manusia selalu

mendekatkan diri kepada Allah untuk mengaplikasikan

makna-makna kepemimpinannya. Dengan dasar spiritual,

manusia harus bisa mengatur perilakunya dalam

kehidupannya dengan prinsip persaudaraan, cinta kasih dan

kebaikan. Atas dasar prinsip-prinsip yang baik (mulia)

seharusnya manusia bisa mengatur kehidupan ekonomi,

sosial dan politiknya.

Dalam perjalanan karir politiknya Pak Indra selalu

memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sebagai

bentuk pendidikan demokrasi bagi warga negara.

Menurutnya, masyarakat harus berdaya ekonominya paham

dan sadar akan hukum, melek politik terutama bagi

perempuan. Karena perempuan menyumbang suara

214

terbanyak dalam setiap pemilu. Perempuan tidak hanya

sebagai agen penyumbang suara, tapi hak-hak perempuan

sebagai warga negara benar-benar dilindungi dan

diberdayakan. Inilah konsep pikir Pak Indra dalam

berpolitik. Dengan konsep jelas Pak Indra selalu diapresiasi

masyarakat sebagai calon walikota meskipun gagal, apapun

bentuknya Pak Indra memberikan pendidikan politik yang

baik kepada warga.

Mengerjakan sesuatu karena ridho Allah dengan

sendirinya berarti bahwa dalam bekerja di bidang apapun

dalam melakukannya tidak boleh sembrono, semaunya

sendiri dan cuek. Itu bisa membuat niat kerja kita menjadi

pudar. Tanpa ada kesungguhan dan mengurangi arti mencari

ridho Allah. Mempunyai etos kerja yang baik, maka akan

menjadi baik pula lah perbuatan kita. Itulah sederet dinamika

perjalanan hidup dan karir politik dan usahanya Pak Indra.

Seperti roda berputar, kadang di bawah kadang di atas

bahkan di samping. Itu semua mempengaruhi materi maupun

immateri Pak Indra. Sampai sekarang Pak Indra memilih

berdagang sebagai mata pencaharian keluarganya. Dengan

tenang, tlaten (tekun), tidak kemrungsung (tergesa-gesa).

Yang sangat terlihat dalam diri Pak Indra, dengan hasil

seberapa pun Pak Indra tetap ikhlas dan legowo.

215

Karena beberapa kebijakan dari partai politik yang

dinaungi Pak Indra, Pak Indra harus meninggalkan sebagai

ketua umum parpolnya. Dan sejak itu pula Pak Indra mulai

meninggalkan hiruk pikuknya dunia politik. Bukan karena

putus asa atau tidak ada tempat lagi untuk Pak Indra tetapi

faktor kesehatanlah yang menjadikan Pak Indra lebih mawas

diri. Pahit manisnya dinamika hidup Pak Indra sudah

dirasakan semua, hanya kekuatan jiwa yang kokoh dan

dalam segala persoalan hidup bisa dihadapi dan diselesaikan.

H. Sikap Nrima Pribadi Seorang Politisi

Perempuan

Bu Niken (bukan nama sebenarnya) dia tinggal di

pinggir kota. Seperti peneliti kenal Bu Niken seorang politisi

perempuan yang berpengaruh di kotanya dan berwirausaha

di bidang konvensi sebagai mata pencaharian tetap

keluarganya. Pendidikan Bu Niken mulai dari sekolah dasar

sampai perguruan tinggi di tempuh di lembaga pendidikan

umum. Lebih dari cukup materi yang dia dapatkan

menjadikan Bu Niken mempunyai status sosial yang tinggi di

kampungnya. Cantik, energik dan semaunya sendiri itulah

karakter yang selalu melekat dalam diri Bu Niken.

Banyaknya materi yang ia miliki menjadikan Bu Niken bisa

melakukan apa saja.

216

Pekerjaan berupa membagi-bagikan uang atau

membagi-bagikan materi kepada yang lain, Bu Niken biasa

melakukannya ketika ada kepentingan (ada udang di balik

batu) terutama waktu pemilihan umum legislatif. Tak ayal

lagi dengan banyak modal dan berbagai cara dia lakukan bisa

mengantarkan Bu Niken menjadi wakil rakyat di kotanya.

Jelas ini sangat senang dan membanggakan Bu Niken karena

baru pertama kali dia menjadi wakil rakyat. Dari dua kali

kesempatan yang selalu gagal dia ikut dalam kompetisi calon

anggota legislative (caleg).

Hujatan, cacian serta kritk-kritik yang pedas dari

masyarakat yang dilontarkan kepadanya, tidak menjadikan

Bu Niken patah semangat atau sakit hati. Cuek, tegar, gak

mau tau sebagai kekuatan hatinya untuk tetap bekerja dan

melakukan aktifitas politiknya. Ekspresi bangkit lah yang

selalu dia kembangkan. Politik belah bambu sudah jelas-jelas

konsep politiknya yang selalu dia kembangkan sejak dia

mulai gabung dengan parpol yang mengantarkannya sampai

ke gedung DPR. Gaya hidup Bu Niken seperti diketahui, dia

belum pernah merasakan kekuragan secara materi. Jelas Bu

Niken akan selalu bersyukur dengan segala sesuatu yang dia

dapatkan. Sebagai politisi Bu Niken tetap berupaya

menyenangkan orang lain dengan membagi-bagikan

sebagian materi yang ia miliki.

217

Menjadi pemimpin amanah mungkin hanya dalam

pikirannya saja, tapi sampai kepada implementasinya belum

menunjukkan tanda-tanda menjadi seorang pemimpin yang

amanah atau ikhlas dalam melindungi dan memberdayakan

masyarakatnya. Politik bukan lagi sebagai ibadah yang mulia

tetapi sudah masuk bahwa politik itu sebagai tempat

kerja/lapangan kerja yang sangat mudah dan cepat untuk

mengumpulkan pundi-pundi materinya. Politik itu kotor bisa

jadi slogan yang selalu melekat dalam pikiran dan tindakan

dia dalam berpolitik.

Bu Niken menjadi politisi berangkat dari pemahaman

yang minimalis tentang etika berpolitik dan makna

sesungguhnya tujuan dari politik itu sendiri. Kehilangan

makna dan ruh berpolitiknya bisa menjadikan Bu Niken

menjadi anggota dewan tidak sampai selesai sampai ahir

jabatannya. Jelas hal ini sesuatu yang tidak menyenangkan

dan menyedihkan hati Bu Niken. Melakukan sesuatu yang

tidak dilandasi dengan kekuatan jiwa dan tidak total terhadap

pengabdiannya terhadap Tuhannya tidak menemukan makna

hidup itu sendiri. Apa yang dia lakukan sebatas rutinitas

yang sudah kehilangan ruh menjadikan rutinitas itu sendiri

kurang bermakna. Kata ikhlas dan sabar seharusnya bisa

menjadi energi atau kekuatan tersendiri dalam bersikap dan

218

bertindak tapi apa yang terjadi dalam diri Bu Niken tuntutan

lahiriyah lah yang selalu dia kedepankan.

I. Sikap Nrima Pribadi Seorang Perempuan

Sebagai Kepala Keluarga

Bu Har (Nama Samaran) biasa dipanggil Bu Har

adalah seorang janda ditinggal pergi oleh suaminya. Dia

adalah seorang petani penggarap lahan yang disediakan

oleh orang tuanya, dia juga seorang penggarap yang

mendapatkan separoh dari hasil bumi yang ia garap sekaligus

ia adalah seorang Buruh tani. Ia Lahir pada tahun 1959. Ia

bersekolah hanya sampai kelas 3 Sekolah dasar. Ia menikah

dengan Pak Jum (nama samaran) pada tahun 1983 ketika Bu

Har berumur 24 tahun.

Setelah setahun menikah beliau baru mempunyai

anak. Ibu Har bercerai dengan suaminya saat anak

pertamanya berusia 3,5 tahun dan anak kedua berumur 10

bulan. Selisih anak pertama dan kedua adalah 2,5 tahun.

Setelah bercerai beliau mengurus anak-anaknya sendirian.

Beliau tidak punya pikiran untuk menikah lagi. Ia juga tidak

ingin mengingat – ingat tentang suaminya. Ia membesarkan

anaknya tanpa campur tangan dari mantan suami sama

sekali.

219

Setelah beliau bercerai, ia berada pada posisi yang

serba sulit. Di sinilah, transisi di mana posisinya sebagai ibu

rumah tangga yang seharusnya seluruh kebutuhan dipenuhi

oleh suami tetapi kemudian berpindah posisi sebagai kepala

rumah tangga dan kepala keluarga. Ia merasa terdesak

dengan keadaan yang harus memenuhi kebutuhan keluarga.

Kemudian atas dorongan keluarga supaya beliau berjuang

untuk membesarkan anak-anaknya. Keluarga tidak pernah

ikut campur dan mempersoalkan dengan keadaan beliau

sebagai janda, yang penting beliau mampu mendidik anak-

anaknya.

Beliau bertani membanting tulang untuk mencukupi

kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Ia berpikir harus

mbudi doyo pripun anak-anak saget mangan (berusaha

sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa makan ) oleh karena

itu beliau bekerja sebagai petani, buruh tani dan buruh-buruh

yang lain. Saat ia derep (memanen padi), anak-anaknya biasa

ditinggalkan di rumah bersama neneknya (ibu dari Bu Har).

Dukungan keluarga diberikan baik secara moril dan

materil. Secara moril, keluarga memberikan motivasi agar ia

terus mendidik anak-anaknya tanpa mempersoalkan proses

perceraian yang ia alami. Secara materil, dukungan keluarga

diwujudkan dalam bentuk keikhlasan saudara-saudaranya

atas tanah sawah yang dimiliki ayahnya untuk dikelola

220

bersama dan hasilnya diperuntukkan membiayai kebutuhan

Bu Har dan anak-anaknya. Bahkan, untuk nominal yang

besar keluarga tidak segan-segan memberikan bantuan secara

cuma-cuma sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan

malah kadang berlebih.

Sebagai seorang janda ia hampir patah arang, namun

ayah dan adik-adiknya memberikan dorongan agar anak-

anak harus tetap sekolah karena mereka menyadari bahwa

pendidikan adalah hal yang utama. Beliau berprinsip

pokokke sak gedeg – gedege yen awake kulo sehat kulo

nggih kerjo ( yang penting sebisa-bisanya kalau tubuh saya

sehat, saya harus bekerja ) dengan disertai keyakinan bahwa

rezeki telah ditentukan oleh Allah, sehingga beliau menerima

seberapun hasil yang ia dapat tanpa mempunyai keinginan

yang muluk-muluk.

Secara ekonomi, ia hanya berpikir untuk bekerja

mencari uang dan untuk pengaturannya ia serahkan pada

ibunya yang saat itu masih hidup. Pernah suatu kali ia ingin

jajan membeli bakso, pada saat ia mau makan ia teringat

pada anak-anaknya sehingga ia tidak kolu ( tidak sampai

hati ) untuk memakannya. Kemudian bakso itu ia bawa

pulang untuk anak-anaknya.

Persoalan prioritas adalah masalah yang setiap hari

dihadapinya. Dari persoalan sumbangan biaya pendidikan

221

atau SPP sampai iuran-iuran yang lain sehingga ia datang ke

sekolahan untuk minta tempo pembayaran. Untuk kebutuhan

peralatan sekolah, anak-anaknya diberikan pengertian agar

mau membantu orang tuanya bekerja sehingga tas, sepatu

dan kebutuhan yang lain dapat terpenuhi.

Selain pendidikan formal, anak-anak beliau juga

mengaji di musholla yang diajar oleh Pak Nawawi. Ia

berangkat dengan naik sepeda. Ia berangkat menjelang

maghrib dan pulang setelah shalat isya. Anak-anak bu Har

termasuk anak yang diatas rata-rata hal ini terlihat dari

peringkat yang ia capai, ia pernah peringkat 5 bahkan

peringkat 3.

Anak-anak Bu Har juga mendapatkan perhatian

khusus dari kepala sekolah tempat ia belajar. Nasib baik

kurang berpihak padanya, anak-anaknya tidak lulus. Karena

bertepatan dengan ujian kelulusan anaknya mendapat

musibah. Ia harus mengulang setahun dan mengikuti kejar

paket C sehingga ia memperoleh dua ijazah yaitu ijazah

paket C dan ijazah SMK saat ia selesai mengulang setahun.

Sedangkan anak pertama tidak mau mengulang ataupun kejar

paket C. Kemudian ia menikah dan tinggal di Kotagede dan

sekarang ia telah dikaruniai seoarang anak.

Selain sebagai petani, beliau juga melayani undangan

orang-orang yang akan punya hajat untuk memasak sampai

222

menyiapkan makanan yang lain. Pekerjaan ini bagi beliau

tidak dianggap sebagai jasa yang harus dibayar walaupun

kalau ada orang mengasihi beliau selalu mengambilnya. Bu

Har menyadari betul bahwa ia sebagai bagian dari

masyarakat. Beliau berinteraksi dengan masyarakat dengan

membantu menyediakan kebutuhan berupa makanan untuk

acara pengajian. Ia selalu siap sedia membantu orang lain.

Pengajian dilakukan dengan beragam waktu ada yang

mingguan dan selapanan (istilah waktu yang sudah dikenal

bagi orang Jawa, bersiklus 35 Har). Pekerjaan lain yang

beliau lakukan sebagai bentuk social atau kerjabakti dan

tidak mau menerima bayaran seperti kegiatan perayaan ulang

tahun kemerdekaan dan kerjabakti lain yang diadakan oleh

kampung setempat.

Aktivitas keseharian, beliau bangun jam 4.30 wib.

Kemudian sholat dan memasak air untuk membuatkan teh

hangat untuk ayahnya.Walaupun biasanya masak nasi pagi

hari, namun ia dan keluarga tidak terbiasa makan sarapan

pagi. Masak ia lakukan untuk makan siang dan sore hari.

Setelah itu, ia pergi ke sawah sampai dhuhur, setelah dhuhur

beliau kembali lagi terkadang ke sawah atau ke ladang untuk

ngarit mencari rumput. Selesai melakukan shalat ashar

sekitar jam empat sore Bu Har biasanya mengontrol ke

sawah atau terkadang kalau lagi ada garapan ngemping -

223

proses pembuatan dari biji melinjo menjadi emping- maka ia

kerjakan di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah

shalat magribpun ia masih menerima pekerjaan seperti

memasukan makan ringan ke dalam kemasan plastic sebagai

jajanan anak sekolah sehingga ia lakukan sampai menjelang

pukul sepuluh malam. Setelah itu ia berkemas untuk

melakukan shalat Isya dan istirahat.

Di sela-sela kesibukannya ia tidak lupa untuk

senantiasa menjalankan perintah agama yaitu sholat 5 waktu.

Ia sendiri tidak bisa membaca alquran, ia merasa menjadi

orang bodoh. Dan itu tidak ingin terjadi pada anak-anaknya,

sehingga ia mendorong anak-anaknya untuk terus belajar dan

mengaji. Anak-anaknya khatam belajar alquran 3 kali. Ia

juga tidak lupa mengingatkan anak-anaknya untuk menjaga

sholat dan menerapkan ajaran-ajaran agama. Ia tidak sempat

memperhatikan kesehatan anak-anaknya. Ia tidak biasa

secara langsung memperhatikan kesehatan anak-anaknya,

namun ia menyerahkan urusan itu pada adik dan ibunya.

Seperti anak-anak yang lain ikatan emosional antara

anak dan ibu sangatlah dekat. Beliau berprinsip selama

beliau berbadan sehat, maka ia harus bekerja untuk

mempenuhi kebutuhan. Untuk kebutuhan sekolah

pembayaran SPP dan iuran yang lain sering kali diundur

karena memang keterbatasan. Anak beliau di samping

224

sekolah juga dituntut untuk belajar mengaji. Pernah suatu

kali anak beliau minta sandal yang seharga 42ribu rupiah

sehingga beliau harus menyediakan 84 ribu untuk dua anak.

Uang segitu ia tidak punya sehingga oleh adiknya ia

disarankan untuk menjual beras.

Sebagaimana layaknya, anak-anak kadang lupa waktu

karena sibuk bermain dan duanianya sendiri, maka Bu Har

senantiasa mengingatkan anak-anaknya agar jangan sampai

lupa waktu. Sehingga kewajiban-kewajibannya tak

terabaikan. Beliau berprinsip agar anak-anaknya selalu

berhati-hati dan mengikuti apa yang dikatakan gurunya dan

menyadari dengan keadaan diri dan keluarganya yang

memang tidak mampu dan juga jangan banyak menuntut

segala keinginan.

Nasehat ibu pada anaknya “ nak, nek mbut gawe

sing ati-ati, duit lek golek angel sing setiti ora kok dolan

rono-rono, kaleh sik dredeg “ yang artinya, ―nak kalau

bekerja yang hati-hati, uang sulit didapat maka jaga yang

baik jangan malah digunakan untuk jalan-jalan kesana-

kemari, hal itu diucapkan dengan perasaan gemetar karena

merasa orang yang tak punya sehingga uang yang telah

didapat harus dijaga dengan sebaik-baiknya‖. Ia juga

225

berpesan pada anaknya untuk ringan tangan dan selalu

membantu Budhe dimana ia tinggal bersamanya di salatiga.

Dengan keadaan Bu Har yang serba sederhana, beliau

tidak pernah berpikir untuk menerima bantuan dari orang

lain. Namun tetangga memberi pekerjaan yang setelah itu

diberi upah atas pekerjaannya. Ia berprinsip sing penting

aku ora Nyolong lan Ora jupuk. Wong ra duwe sing

penting tememen lek mbut gawe ora nyolong ra Jupuk

yang artinya yang penting saya tidak mencuri dan tidak

mengambil kepunyaan orang lain, merasa orang tidak punya

kalau bekerja yang sungguh-sungguh tidak mencuri juga

tidak mengambil hak orang lain‖. Untuk anak yang pertama

yang sudah berkeluarga diberikan nasehat ―sing wis-wis sing

koyo aku tak lakunane dewe ojo mugo-mugo ojo koyo aku‖

yang sudah biarlah berlalu, aku sendiri saja yang

mengalaminya jangan sampai kamu mengalami yang sama

seperti aku. Sekarang Bu Har tinggal mengurusi bapaknya

yang sudah tua, beliau melakukannya dengan ikhlas tanpa

pernah mengeluh. Kadangkala bapaknya memberitahu agar

ia jangan terlalu lelah. Namun Bu Har berpedoman kalau

saya lelah saya akan pijat kalau punya uang.

226

J. Sikap Nrima Pribadi Perempuan Karena

Suami Sakit Permanen

Ibu Jum demikian nama samaran warga Dukuh

Kaliwenih Kelurahan Jogotirto Kecamatan Berbah

Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bu Jumi merupakan kepala keluarga dari suami yang sakit

permanen. Ia kelahiran tahun 1949. Dengan selisih 5 tahun

dari suaminya, dan menikah tahun 1974 ketika Bu Jumi

berusia 20 tahun dan pak Ngad 25 tahun 1954 dan. Ia

menikah dengan Ngad kelahiran Jogotirto dan dikaruniai 2

orang anak kelahiran 1976 dan 1984, Bu Jumi lulus SD

sedangkan pak Ngad hanya sampai kelas 3 SD. Dawung

kelurahan Tegaltirto.

Setelah menikah ikut orang tua dari pak Ngad.

Sebelum menikah, ibu bekerja sebagai penjual sayur

sedangkan Pak Ngad masih belum punya kerja beliau

membantu Bu Jumi untuk jualan sayur. Pak Ngad bekerja di

bangunan pada saat Bu Jumi melahirkan. Di samping itu, ia

juga bekerja sebagai penggarap sawah dengan penghasilan

separoh dari panen yang dihasilkan.

Lep-lepan ( tradisi giliran mengairi sawah sampai

penuh ) dengan sistem bergilir. Sebagai buruh tani, ia

mendapatkan upah harian dan tidak berhak atas panen yang

dihasilkan. Bu Jumi menggarap 0,25 hektar dari sawah

227

kepunyaan paman Bu Jumi. Jarak rumah ke sawah dekat.

Proses penanaman yang dilakukan diawali dengan mengasih

pupuk kandang yang dihasilkan dari beberapa kambing yang

dipelihara sendiri pada sawah, setelah itu sawah melalui

proses lep-lepan, setelah penuh baru dibajak menggunakan

traktor dengan biasa 150 ribu per ¼ hektare. Jika 1 hektare

maka harus menegeluarkan 600rb rupiah.1 minggu setelah

tanam dikasih pupuk, setelah tiga minggu maka tanaman itu

disiangi terlebih dahulu sebelum dipupuk kembali, seminggu

setelah dipupuk rumput-rumput ysng ada dicabuti yang

dikenal dengan istilah matun. Lep-lepan dilakukan seminggu

sekali. Ibu Jumi begitu menguasai dalam petanian.

Waktu siang sampe sore digunakan untuk

menyiadkan diri untuk disuruh orang sebagai pekerja. Untuk

biaya pendidikan biasaya di topang oleh keluarga besar. ‖al

Hamdulillah, hama yang ada hanya menyerang pada saat

tanaman masih muda yaitu keong sawah‖ demikian

dikatakan oleh Bu Jumi. Resiko terbesar jika terjadi gagal

panen, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh penggarap

sedangkan jika panen maka dibagi antara penggarap dan

pemilik lahan dengan perbandingan 50% untuk penggarap

dan lainnya untuk pemilik tanah.

Dalam menjalankan fungsi pendidikan dibantu oleh

saudara-saudara yang lebih mampu. Untuk iuran yang

228

sifatnya rutin Bu Jumi mampu menyediakan secara mandiri,

Namun, pada saat ada iuran dalam jumlah besar beliau

dibantu oleh saudara-saudaranya. Untuk masalah pendidikan,

anak-anak ibu Jumi bersekolah seperti pada umumnya dan

setelah pulang pada saat sore hari mereka mengaji atau

mengkaji agama pada musholla setempat yang

diselenggarakan secara gratis. Aktifitas pada saat Bu Jumi

masih mempunyai anak-anak usia sekolah beliau setelah

sholat shubuh beliau menyiapkan sarapan dan menyediakan

kebutuhan anak-anaknya sekolah.Untuk siraman rohani

beliau mengikuti pengajian seminggu sekali. Anak-anak Bu

Jumi sekolah di SMK sampai tamat.

Sekarang anak yang pertama bekerja di Cilegon,

Banten. Sedangkan yang kedua bekerja di Cikarang Bekasi

yang disalurkan oleh pihak sekolah. Mereka menikah setelah

masing-masing bekerja 5 tahun. Mereka dididik untuk

menjadi anak yang berdikari yang mampu berdiri di kaki

sendiri. Anak-anak Bu Jumi tidak diperbolehkan bermain,

namun diperkenalkan dengan lingkungan kerja sang ibu agar

mereka tidak ada waktu luang yang terbuang. Kasih sayang

yang diberikan dalam bentuk perhatian yang berkualitas

bukan dengan pemberian materi, sehingga anak memahami

bahwa kasih sayang itu lebih penting dari pada materi.

Setelah anak-anak menikah bu Jumi sesekali berkunjung ke

229

rumah anak-anaknya. Namun sekarang lebih sering meminta

kabar dengan alat komunikasi yang ada. Adalah senang dan

menjadi kebanggaan tersendiri bagi Bu Jumi jika pada saat

lebaran bisa berkumpul bersama, seperti pepatah orang jawa

mangan ora mangan sing penting kumpul.

Bu Jumi menjalankan fungsi ekonomi dalam

keluarganya. Secara ekonomi ibu membantu mencari nafkah

untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan perjuangan

demikian pun keluarga ini dalam sehari makan dua kali.

Dengan keadaan ekonomi yang demikian, maka bu Jumi

selalu dihadapkan untuk memprioritaskan hal-hal yang

terpenting, Seringkali keinginan pribadi dikalahkan oleh hal-

hal yang berkaitan dengan kerukunan.

Secara sosial beliau juga ikut rewang ( membantu

mempersiapkan kebutuhan tetangga yang mempunyai resepsi

atau hajatan ) mulai dari masak nasi, sayur, buncis, ayam

kadang-kadang daging yang disiapkan di piring sampai

menyiapkan makanan-makanan kecil sebagai pelengkap.

Untuk acara semacam ini menurut Bu Jumi harus diundang.

Beda kalau untuk pengajian maka itu tidak diperlukan

undangan karena itu sudah tugas ibu-ibu.

Pengajian dilakukan sebulan sekali dengan

mengundang penceramah dari luar. Untuk konsumsi dalam

acara ini setiap makanan dan snack kadang dijatah, artinya

230

setiap keluarga di wajibkan membawa makanan beberapa

bungkus. Ada juga Pengajian yang dilakukan malam minggu

tadarus alqur‟an sama pengajian alquran dengan metode

iqra dan malam jum‘at mengikuti bacaan yang diajarkan

oleh Bu Tirah. Untuk acara pengajian mingguan biasanya

tidak harus menyediakan snack.

Untuk masalah ibadah, Bu Jumi tidak jemu-jemu

menuntun anak-anaknya supaya taat dan menjalankan

perintah agama. Pada saat subuh, Bu Jumi membangunkan

anak-anaknya untuk sholat. Sebelum sekolah mereka hanya

minum teh dan makan makanan kecil, karena jika sarapan

dengan nasi mereka akan mengantuk sekitar jam Sembilan

―demikian di sampaikan Bu Jumi.

Untuk menjaga anak-anak agar tidak terjerumus

dalam hal-hal yang tidak diinginkan, mereka diajak oleh

orang tua ke sawah dengan tujuan untuk memperlihatkan

secara langsung bagaimana bekerja yang baik sekaligu

sebagai cara mereka untuk mengontrol aktifitas anak secara

langsung. Alhamdulillah dengan cara yang demikian anak-

anak menjadi orang yang mempunyai perilaku yang baik

jauh dari sikap kurang ajar.

Pada saat buah hati sakit, sebagai orang tua tentu

merasa khawatir namun juga tidak menimbulkan kepanikan

yang berlebihan, hal itu nampak pada saat sakit tidak

231

langsung dibawa ke dokter atau bidan namun di berikan

pertolongan secara alami dengan menggunakan parutan

pohong (singkong yang di parut ) yang di kenakan di kening

anak yang sedang sakit.

Walaupun dengan kondisi suami Bu Jumi yang tidak

dapat bekerja dan memberi nafkah ekonomi bagi

keluarganya, namun demikian tidak ada satu masyarakat pun

yang mencibir. Justru, mereka menaruh perhatian yang besar

untuk memberikan bantuan dengan memberikan pekerjaan

yang bisa dikerjakan. Keluarga Bu Jumi terbilang keluarga

yang sakinah, karena ibu Jumi berpikiran bahwa segala

sesuatu itu merupakan pemberian Yang Kuasa yang harus

disikapi dengan baik yang wajib bersyukur. Dengan keadaan

suami yang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga

tidaklah menjadi penghalang bagi Bu Jumi untuk

mempertahankan keutuhan keluarga dan membentuk

keluarga yang sakinah, mawaddah warrohmah. Walaupun

sekarang anak-anak sudah berkeluarga sendiri-sendiri dan

mempunyai penghasilan yang cukup, namun Bu Jumi tetap

gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya

sehingga tidak menjadi beban pada anak-anaknya dan orang

sekitarnya.

232

BAB V

REFLEKSI

A. Memahami Nrima dalam Kultur Muslim

Jawa

Konsep nerimo dinyatakan sebagai pribumisasi

konstruksi penerimaan diri dalam tradisi Muslim Jawa. Itu

tidak harus dipahami sebagai apatis, kepasifan, dan

penyerahan buta, tetapi harus secara aktif diimplementasikan

sebagai prinsip nerimo yang mendorong manusia untuk mau

dan susah bekerja, sementara hasilnya sepenuhnya hak

prerogatif kepada Tuhan. Berdasarkan perspektif ini, nerimo

sebenarnya adalah bentuk pengajaran untuk selalu

berperilaku sabar dan konsisten dengan apa yang dicita-

citakan meskipun gagal. Perspektif ini akan membentuk

karakter dan perilaku pria dengan bijak dan tidak serakah.

Kehidupan manusia tidak hanya berorientasi pada dunia

persaingan yang keras, tetapi pada pola pembentukan dunia

yang mempromosikan kebersamaan, kolaborasi, dan

kedamaian dalam menjalani kehidupan.

233

Selanjutnya, konsep ini selanjutnya harus

dikembangkan melalui bentuk kesadaran psikologis, spiritual

dan intelektual bahwa setiap kehidupan memiliki gerakan

periodik di mana setiap orang pasti akan mengalami fluktuasi

kehidupan. Maka prinsip nerimo menjadi katalisator bagi

posisi hidup untuk mengubahnya agar bergerak kembali. Ini

berarti bahwa nerimo tidak dianggap sebagai hasil yang

berorientasi untuk menerima (hasil), tetapi dianggap sebagai

proses kelangsungan hidup yang dapat menggerakkan orang

melalui satu tahap kehidupan mereka. Ini adalah pemahaman

konsep nerimo yang lebih aktif, dinamis dan progresif untuk

Muslim Jawa.

Mengenai shabr, kesabaran adalah salah satu

karakteristik mendasar dari orang saleh yang selalu

berorientasi pada perubahan untuk kehidupan yang lebih

baik. Kesabaran adalah pertahanan diri terhadap kepahitan

kehidupan yang menunjukkan konsep kesabaran tidak

berorientasi pada proses penerimaan total suatu produk

kehidupan secara membabi buta sehingga diidentifikasi

dengan ketidakmampuan dan penindasan. Memang,

kesabaran adalah dimensi kesadaran manusia untuk

mengubah kondisi pribadi dan sosial menjadi lebih baik. Jadi

kesabaran lebih aktif, dinamis dan progresif tentang

pergerakan kehidupan manusia. Dengan demikian, kesabaran

234

tidak pernah memiliki konotasi pasif, statis, lemah,

menyerah, tetapi itu adalah perjuangan yang

menggambarkan kekuatan pelakunya untuk mengalahkan

(mengendalikan) keinginan hawa nafsunya untuk putus asa.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami

bahwa meskipun nerimo memiliki dimensi negatif, tetapi

konsep nerimo dapat direkonstruksi menjadi lebih positif.

Nerimo dipahami sebagai karakter afektif yang mengatur

seseorang tetap tenang dalam menerima kenyataan hidup

dari luar yang pahit, penderitaan dan kekecewaan. Sehingga

karakter nerimo adalah kombinasi rasionalitas manusia dan

kehidupan emosional. Nerimo adalah perpaduan aktif dari

elemen kognitif dan afektif yang dapat menghasilkan

optimisme dan kelangsungan hidup.

Meminjam istilah Abdullah Saeed, nerimo harus

ditafsirkan secara kontekstual mengikuti perkembangan

intelektualitas manusia sehingga karakter pribadi nerimo

tetap relevan dalam menghadapi globalisasi dan neo-

liberalisme. Konsepsi Nerimo juga perlu diekspresikan

sebagai elemen pembebasan bagi pemikiran tertindas

materialisme dan bentuk-bentuk keserakahan dunia. Dari

perspektif ini, orang Jawa dengan karakter nerimo mereka

dapat berjalan seimbang antara spiritualitas, emosional dan

235

intelektual dalam bersaing dengan masyarakat dunia dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan hidup.

Dengan demikian, nerimo dalam masyarakat Muslim

Jawa harus dikembangkan menjadi ekspresi kemungkinan

perubahan kondisi struktural. Nerimo terletak di posisi

fungsional untuk memenuhi situasi "tidak dapat diterima".

Jadi nerimo berfungsi lebih sebagai panduan bagi gerakan

manusia dalam mengorganisir dirinya untuk melihat hal-hal

positif di balik kesulitan (menemukan kebijaksanaan).

Nerimo dikembangkan sebagai pembaruan energi positif dari

sifat keputusasaan dan ketundukan pada dimensi keyakinan

dalam kelanjutan masa hidup.

B. Memahami Spiritualitas Sabar dan

Istiqaamah

Dikisahkan, ketika Nabi Ayyub as. terjangkit

penyakit misterius, satu per satu orang orang yang dekat

dengannya mulai menjauh. Pada saat penyakit yang

dideritanya itu semakin parah, ia pun dikirim ke luar

perkampungan. Orang-orang ketakutan akan tertular

penyakit yang dideritanya itu. Nabi Ayyub diasingkan, dan

mulai menjalani hidupnya seorang diri. Tanpa sanak tanpa

saudara. Menghadapi ujian yang teramat berat ini, Nabi

Ayyub tetap tegar. Keimanan yang kuat telah mengubah

236

persepsinya tentang musibah yang ditimpakannya ini.

Baginya ujian yang menimpanya adalah wujud kasih sayang

Tuhan yang sengaja ditujukan kepadanya. Karena itu, ia

jalani dengan sikap sabar dan pasrah kepada Tuhan.

Apa yang dilakukan Ayyub merupakan perilaku luar

biasa yang jarang dilakukan oleh orang. Kesabaran yang

dimilikinya begitu mengagumkan. Maka pantaslah ia

menerima kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Sebagai

seorang muslim sudah seharusnya kita menghiasi perilaku

kita dengan sifat sabar. Kadang ujian itu datang, tak perlu

kita berkecil hati, apalagi berprasangka bahwa Tuhan

membenci kita, sebaliknya kita harus mensyukurinya dan

menerimanya dengan perasaan riang gembira. Pasrahkan

semuanya kepada Allah dan bersabarlah. Karena sabar

merupakan perilaku yang sangat dianjurkan dalam agama.

Dalam Al-Qur‘an dikatakan, ―Bersabarlah kamu dan

kuatkanlah kesabaranmu‖ (QS Ali Imraan [3]: 200).

Secara bahasa sabar berarti menahan. Sementara

yang dimaksud dengan sabar adalah menahan diri dari keluh

kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu, dan

menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan

mengacaukan. Dalam salah satu kitabnya yang berjudul

Madaarijus saalikiin, Ibnu Qayyim menyebutkan, bahwa

yang disebut sabar manakala seseorang mampu menahan

237

dirinya dan menyelaraskannya dengan sunah Allah dan ayat-

ayat-Nya pada dirinya dan pada alam semesta, dan sejalan

dengan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya.

Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta berbagai

implikasinya dan apa yang dikehendaki oleh petunjuk fitrah

dan cahaya-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan

risalah-Nya. Lebih lanjut jika hal ini dapat benar-benar

dicapai, maka ia akan merasakan nikmatnya sabar.

A. Istiqamah sebagai Kelanjutan dari Sabar

Kelanjutan dari kesabaran adalah istiqaamah. Kata

istiqaamah seakar dengan kata qaama yang artinya berdiri

tegak. Istiqaamah berarti kesungguhan untuk menegakkan

dan mempertahankan prinsip-prinsip yang benar. Orang yang

istiqaamah tidak mudah terpengaruh oleh keadaan. Ia

memiliki prinsip sehingga ketiadaannya dirasakan oleh orang

lain. Orang istiqaamah sangat dirasakan keberadaannya

dalam pengertian positif. Istiqaamah tidak bisa dilakukan

secara sesaat, melainkan harus dibangun sejak awal dengan

basic ash-shabru.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: „Tuhan

kami ialah Allah‟, kemudian mereka tetap istiqamah maka

tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada

(pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni

238

surga, mereka kekal didalamnya; sebagai balasan atas apa

yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ahqaaf [46]: 13-14).

Menurut Sayyidina Umar, istiqaamah adalah tegak

lurus menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan

tidak menoleh ke kiri dan ke kanan seperti yang dilakukan

oleh sekor musang. Jadi istiqaamah adalah tegak lurus, dan

memiliki prinsip dan pendirian. Lawan istiqaamah adalah

orang yang tidak memiliki prinsip dan pendirian. Jangan

menyalahartikan istiqaamah, karena bisa mendekati sebuah

egoisme.

Kalau tadi, dia tidak memiliki diri sendiri, tetapi

egoisme adalah sosok yang ingin memiliki orang lain, dan

ingin agar orang lain mengikuti dirinya sendiri. Istiqaamah

adalah kekuatan seseorang untuk mempertahankan dirinya,

berprinsip menjalankan segala perintah Allah dan

meninggalkan larangan-Nya. Orang yang ber- istiqaamah

tidak akan pernah merasakan kesepian. Semua orang berbeda

pendapat dengan dirinya sendiri, tetapi ia tetap istiqaamah

sehingga pada ahirnya akan terbukti bahwa pendiriannya itu

benar. Orang yang istiqaamah akan lebih dinilai populer di

langit meskipun tidak populer di bumi.

239

Ya Allah, jadikanlah hamba ini seorang hamba yang

syukur. Jadikanlah hamba ini seorang hamba yang sabar.

Jadikanlah hamba ini kecil di mata-Mu dan besar di mata

manusia.

240

BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan

1. Makna sikap narima dalam tradisi prilaku masyarakat

Jawa secara umum. Secara filosofis nerimo adalah

cara yang mulia dan bagus untuk memberikan

bimbingan kehidupan yang lebih seimbang. Tidak

terjebak dalam egoisme, sombong, dan materialistis

di satu sisi, dan di sisi lain menghindari seseorang

untuk menjadi cemas, pesimistis, dan lemah dalam

menangani masalah-masalah hidup. Karena itu,

nerimo yang dikaitkan oleh shabr, adalah semangat

yang menyiratkan daya tahan manusia dalam setiap

periode kehidupan. Konsep ini dapat dikembangkan

melalui suatu bentuk kesadaran psikologis, spiritual

dan intelektual bahwa setiap kehidupan memiliki

gerakan periodik di mana setiap orang pasti akan

mengalami fluktuasi kehidupan

241

2. Pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika Pembebasan

mengungkap konsepsi sabar dalam al-Qur‘an Kata

sabar mengandung pengertian menahan diri, atau

tabah menghadapi sesuatu yang sulit, berat dan

mencemaskan, serta berusaha dari kesulitan,

keberatan, kesempitan dan sejenisnya untuk

dikeluarkan dan dipertahankan dari hal-hal yang baik

dan benar. Jadi, kata sabar mempunyai pengertian

yang berbeda-beda sesuai objek, situasi dan kondisi

dan hal yang dihadapinya. Dalam pengertian

demikian, sabar juga dapat diartikan sebagai sikap

tabah, teguh, menahan dan mencegah dalam keadaan

dinamis dan aktif serta tetap berada dalam aturan-

aturan yang telah ditentukan Tuhan (sunnatullah,

taqdir dan qadha Tuhan) dalam menghadapi berbagai

macam persoalan, cobaan, kesulitan, tantangan dan

sebagainya dalam kehidupanDalam bahasa Arab,

terdapat beberapa istilah untuk menyebut orang yang

sabar dan pada hakikatnya masing-masing istilah

menunjukkan kualitas kesabaran seseorang. Istilah

tersebut adalah : pertama (shaabir) yaitu orang yang

sabar. Namun kesabarannya pendek atau temporer.

Kedua, istilah (mashaabir) yaitu orang yang sabar

dengan tanpa batas. Ketiga, (shabuur) yaitu tingkat

242

kesabarannya lebih panjang secara kuantitas maupun

kualitas.Shaabir adalah istilah yang digunakan untuk

menyebut tingkatan paling rendah dalam sabar,

sedangkan shabuur untuk kualitas yang paling tinggi.

Apakah seseorang masuk pada tingkatan shaabir atau

justru sudah sampai pada tingkatan shabuur, semua

tergantung pada diri masing-masing.

3. Memahami sabar menjadi sikap menerima begitu saja

adaah keliru menurut hermeneutika pembebasan.

Pandangan dunia Qur'anic (weltanschauung) dari

shabr telah dijelaskan dengan jelas di atas. Shabr

(kesabaran) adalah kemampuan untuk memegang dan

mencegah hal-hal yang dapat diderita dan merugikan

seseorang. Manusia harus berusaha secara aktif dan

dinamis untuk keluar dari kesulitan, kehilangan,

cobaan dalam kehidupan. Intinya, kemampuan

seseorang untuk bersabar harus selalu dikembangkan

dalam kehidupan sehari-hari untuk menghindari

tumbuhnya sikap emosional, tergesa-gesa, putus asa

dan pesimisme dalam menyikapi berbagai masalah

kehidupan. Kesabaran hanya bisa dicapai oleh

seseorang yang memiliki tekad dan keberanian dalam

jiwanya untuk selalu meningkatkan diri dan

menganalisiskekurangannya. Maka prinsip nerimo

243

menjadi katalisator bagi posisi hidup untuk

mengubahnya agar bergerak kembali. Ini berarti

bahwa nerimo tidak ditempatkan sebagai hasil yang

berorientasi pada penerimaan, tetapi ditempatkan

sebagai proses kelangsungan hidup yang mampu

menggerakkan orang melalui satu tahap kehidupan

mereka. Ini adalah pemahaman yang lebih relevan,

aktif, dinamis, dan progresif bagi Muslim Jawa untuk

menghadapi globalisasi dan gempuran neo-

liberalisme ekonomi di abad ke-21.

Surat al Ashr menunjukan kepada kita bahwa iman,

amal saleh, dan ilmu pun masih belum memadai.

Memang, ada orang yang merasa cukup serta puas

dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa

kepuasan itu dapat menjerumuskannya. Ada pula

yang merasa jenuh, karena itu, ia perlu selalu

menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil terus

bertahan, bahkan meningkatkan iman, amal, dan

pengetahuannya. Demikian surah Al-‗Ashr memberi

petunjuk bagi manusia. Sungguh tepat kata Imam

Syafi‘i yang dikutip pada bagian awal dari uraian

surah ini:Kalaulah manusia memikirkan kandungan

surah ini, maka sesungguhnya cukuplah ia (menjadi

petunjuk bagi kehidupannya).

244

Maha Benar Allah dalam segala Firman-Nya,

Wallahu A‟lam.

B. Saran –Saran

Penelitian tentang sikap nerima kehidupan

dalam sosial muslim jawa sebagai pemahaman dari

konsep sabar dalam al-Quran diharapkan ada upaya

kelanjutan pendalaman penelitian berikutnya. Upaya

menggeser pemahaman sabar dengan narima begitu

saja seperti yang selama ini terlihat sudah memdarah

daging dalam konteks kehidupan sosial muslim jawa

sungguh sangat sulit. Peran penafsir yang

menggunakan metode tafsir sosio tematik memang

sangat menetukan. Walau bagaimana pun, itu

hanyalah sebuah alternatif penafsiran saja. Memang

seorang penafsir tidak lahir begitu saja melainkan

didasari sebuah kegelisan terhadap sikap yang selama

ini terjadi. Penafsir hadir dengan jawaban hasil

penafsirannya. Tentunya penelitian tentang tafsir

pembebasan berkenaan konsep sabar tidak bisa

dianggap sudah selesai dengan penelitian seperti ini.

Peneliti berikutnya bisa mengembangkan lebih lanjut

dengan mendalami konsep narima dalam segmen

kelas soasial yang lebih luas.

245

DAFTAR PUSTAKA

Syubbar, ‗Abd Allah. Tafsir Al-Qur‟an Al-karim, 1996,

Kairo: Shihab Al-Najah, cetakan IIII.

Al-Thusi, Abi Al-Nashr Al-Shiraj. Al-Luma‟, Tahqiq: ‗Abd

Al-Halim Mahmud dan ‗Abd Al-Baqi Al-Surur,

1960, Kairo: Dar al-kutub,

Syirbashi, Ahmad. al- Mausu‟at Akhlaq al-Qur‟an, 1995,

Beirut: Dar raid al-‗Arabi, Juz I.

Al‘ak, Khalid Abdurrahman. Usul al Tafsir wa Qawaiduh,

1986, Beirut: Dar al Nafis.

Alain Gresh and Dominique Vidal. An A to Z of the East,

1990, London: Zed Book.

Andalusi, Abu Dawud Sulaiman bin Hasan a1. atau lebih

dikenal sebagai Ibnu Jaljul, Thabaqat a1 Atibba wa

al Hukama, 1955, Kairo: Matba'ah al Ahdi al Ilmi

al Faransi li al Atsar al Syarqiyah.

Asy‘arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam A1

Quran, 1992, Yogyakarta: LESFI.

246

Ayazi, Sayid Muhammad `Ali. Al Mufassirun Hayatuhum wa

Manhajuhum, TT. Kairo: Muassasah Thaba'ah wa

al Nasyr.

Azra, Azyumardi (Ed.). Sejarah `Ulum al Quran, 1999,

Jakarta: Pustaka Firdaus.

Bagus, Loren. Kamus Filsafat, 1999, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Baidan, Nasruddin. Metodologi Penaf'siran Al Quran

1998,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baljon, JMS. A1 Quran Dalam Interpretasi Modern, terj. Eno

Syafrudin, 1990, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Bauman, Zigmunt. Hermeneutics and Social Science, 1978,

New York: Colombia University Press.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman 1983,

Jakarta: Gramedia.

Bertens, K. Filsafat Barat Abad ,XX: jilid II Prancis, 1986,

Jakarta: PT Gramedia.

Bleicher, Josep. Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics

as Method and Philisophy and Critique, 1980,

London: Rautledge and Kegan Paul.

Boullata, Issa J. "Hanafi terlalu Teoritis untuk

Dipraktekkan", dalam jurnal Islamika No. I Juli -

September. 1992, Jakarta: Aksara Buana.

Crapanza, Vencen. Hermes Dilemma and Hamlets Desire,

1992, Harvard: Harvard University Press.

247

Depag RI. A1 Quran dan Terjemahnya, 1978, Jakarta: PT

Bumi Restu.

Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus besar

Bahasa Indonesia, Edisi ke2, TT. Jakarta: Balai

Pustaka.

Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudu'i Pada Masa kini,

1990, Jakarta: Kalam Mulia. .

Dzahabi, Hussein Muhammad al. Tafsir wa a1-

Mufassirart, Juz I dan II 1986. [t.tp]t.p.

Dzahabi, Hussein Muhammad al. A1 Ittijahat al

Munharifah fi' Tafsir al Qur‟an al Karim;

diterjemahkan oleh Hamim Ilyas dan Machnun

Husein, 1996, Jakarta: Raja Grafindo.

Esack, Farid. "Quranic Hermeneutic: Problem and

Prospect", dalam The Muslim World, vol. 83, no.

2 (April). 1993.

Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of modern

Islamic World, 1995, New York: Oxford

University Press, Vol. III.

Esposito, John. L. dan John O. Voll. Ma kers o f

C on t emporary Islam. Tokoh Kunci Gerakan

Islam Kontemporer, terj. Oleh Sugeng Hariyanto

dkk. 2002,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,

Februari.

248

Fa r m awi , Abd: Hayy. al Bidayah fi al Tafsir al maudlu

I, 1977, Kairo. Al Hadarahal Arabiyah,

Farra, Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al. Ma'ani al

Quran, ed. Ahmad Yusuf al Najjati [et.al], 1955,

Kairo: al-Kutub al-Misriyyah.

Fatik, Abu al Wafa al Mubasyar bin. Mukhtar al Hikam wa

al Mahasin al Kalim, diedit oleh Abdurrahman

Darwi, 1954, Madrid: Matba`al Ma'hal al Mishri

li Dirasah al Islamiyah.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al. 1356

H, Ihya 'illum al Din I, TT. Kairo: Al Tsaqafah al

Islamiyah.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al.

Jawahir Al Quran, TT, Kairo: Percetakan

Kurdistan.

Grondin, Jean. Introduction to Philosophical Hermeneutics,

1994, Yale: Yale University.

Haddad, Yvonne Yazbeck. The C,ontemporery Islamic

Revival: A Critical Survey and Bibliography, 1991,

New York: Greewood Press.

Hakim, Muhamad Nur. Rekonstruksi Warisan Intelektual:

Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan

Pemikiran Islam Hanafi, 1995. Jakarta: IAIN

Syarif Hidayatullah.

249

Hanafi, Hassan. "Human subservience of nature: An Islamic

model", Tema seminar di Swedia, Dalam Islam in

The Modern world, vol. I. 2000, Kairo: Dar Kbaa.

Hanafi, Hassan. A1 Yasar al Islami Kitabat fi Nahdlah

Islaiyat, it, 1981, Kairo: t.p.]

Hanafi, Hassan. Qadla^ya Mu'asyhirah Fi Fikrina al tLluashir,

vol. 1 dan 2, 1983, Beirut: Dar al Tanwir.

Hanafi, Hassan. "The Preparation of Societies For Life in

Peace an Islamic Perspective" Makalah dalam

seminar di Osaka. 1986,

Hanafi, Hassan. Religious Dialogue and Revolution: Essays

an Judaism, Ghistianity and Islam, 1977, Kairo:

Anglo Egyption Bookshop.

Hanafi, Hassan. Dirasat Islamiyyah, cet. Ke-2, 1981, Kairo:

Maktabah Angela.

Hanafi, Hassan. A1 Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1982,

Jilid I- VII, 1989, Kairo: Maktahah Madbuli.

Hanafi, Hassan. Dirasat Falsafiyyah, 1988, Kairo:

Anjilu al Mishriyyah.

Hanafi, Hassan. Min al Aqidah ila al Tsaurah, 1988, Kairo:

Maktabah Madbuli.

Hanafi, Hassan. "A1 Ushuliyyah al Islamiyyah" dalam A1

Din wa al Tsaurah, diterjemahkan oleh Kamran

As'ad dan Mufliha, 1989,Yogyakarta: Islamika.

250

Hanafi, Hassan. "Manahij al Tafsir Wa mashalih al

Ummah", dalam al Din wa A1 Tsaurah jilid

VII, 1989, Kairo: Maktabah Madbuli.

Hanafi, Hassan. al Din wa al Tsaurah, jilid I-VIII, 1989,

Kairo" Maktabah Maudbuli.

Hanafi, Hassan. al Salafiyah wa Ilmiyah fi Fikrinift al

Mua'shir", dalam Majalah Al Azminah Volume

III, 1989, Kairo:[t.h.J.

Hanafi, Hassan. Al Turats wa al Tajdid, 1992, Beirut:

Muassasah al Jam'iyyah li al Dirasat wa al

Nasyr wa al tauzi'.

Hanafi, Hassan. Muqaddimah fi ilm al Istighrab

MauqifuncZ Min Turats al Gharbi,1992, Kairo:

Dar al Fannani.

Hanafi, Hassan. Islam in The Modern World, vol I,

Religion, Ideology and Development I, 2000,

Kairo: Dar Kbaa.

Hanafi, Hassan. Islam in The Modern World, vol. II

Tradition, Revolution and Development. 2000,

Kairo: Dar Kbaa,.

Hanafi, Hassan. Humum al Fikr al Wathan al Turats wa al

`ashr, di Indanesiakan oleh Khoiron

Nahdhiyyin, Oposisi Pasca Tradisi, 2003,

Yogyakarta: Syarikat.

251

Hanafi, Hassan. al Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981,

1989, Kairo: Maktabah Madbuli, Vol. VI.

Harun, Salman. Mutiara A1 Quran, 1999, Jakarta: Logos.

Harvey, Van A. "Hermeneutic" dalam Encychlopedia of

Religions, Val. IV, Ed. Mircea Eliade, 1989,

New York: Macmillan Publishing Co.

Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama,

1996,Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina.

Ichwan, Muhammad Nur. Hermeneutika al Quran: Analisis

Peta Perkembangan Tafsir al Quran

Kontemporer, 1995, Yogyakarta: IAIN Sunan

Kalijaga.

Izutsu, Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam

Qur‟an Jakarta: Pustaka

Jabiri, Abid al. Takwin al Aql al Arabi, cet. IV,

1989,Bairut:Markaz Dirasat al Nahdlah al

'Arabiah.

Jabiri, Abid al. Bunyah al Aql al Arabi, cet.III, 1990,

Beirut: Markaz Dirasah al Wahdah al

'Arabiyah.,

Jurnal Ulumul Quran, Edisi Khusus No. 5 & 6 Volume V,

1994, Jakarta: Aksara Buana.

Jurnal Ulumul Quran, No. 5. Vo1.2, 1990, Jakarta: Aksara

Buana.

252

Jurnal Ulumul Quran, No 1 dan 2 Vol. III, 1992,

Jakarta: Aksara Buana.

Jurnal Ulumul Quran, No. 4 vol.IV, 1993,

Jakarta: Aksara Buana

Jurnal, Filsafat Drriyarkara, No. 2 Tahun XXIII,

1997,Jakarta: STF Driyarkarya.

Kusnadiningrat. Teologi Pembebasan dalam Islam;

Analisis Terhadap Gerakan Kiri Islam Hassan

Hanafi, 1995, Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah,

Lanur, Alex. Sajarah Filsafat Kontemporer, 1996,

Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Majalah Prisma, No. 4, April, 1984, Jakarta-.LP3ES.

Mansur, M. Metodologi Tafsir Realis dalam Studi a1

Quran Koontemporer, Abdul Mustaqim dkk,

(editor), 2002, Jogjakarta: Tiara Wacana.

Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al Maraghi Jilid 1,

1974, Beirut: Dar Al Fikr.

Martin, Richad C. Approaches to Islam In Religious

Studies, 1985, Arizona: The University of

Arizona Press.

Martin, Richad C. "Membayangkan Islam dan

Modernitas", Terj. Bambang Sipayung, dalam

Majalah Filsafat Driyarkara No.2 Th, xxiii,

1997, Jakarta: STF Driyarkara.

253

Meuleman, Johan Hendrik. Tradisi kemoderenan dan

Metamodernisme (Memperbincangkan

Pemikiran Muhammad Arkoun), 1996,

Yogyakarta: LKiS.

Meuleman, Johan Hendrik. "Pengantar Penyunting" dalam

Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan

Quran, 1997, Jakarta: INIS.

Meuleman, Johan Hendrik. "Nalar Islami dan Nalar

Modern: berbagai tantangan dan jalan baru",

1994,Jakarta: INIS. .

Muhamad Fuad ‗Abd al-Baqi. Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-

Fadz al-Qur‟an al-Karim, 1991, Kairo: Dar al-

hadist, Cet.III.

Muhsin, Amina Wadud. Quran and Women, 1992, Kuala

Lumpur: Fajar Bakti.

Muhtasib, Abd. Masjid Abdussalam. Visi dan Paradigma

Tafsir A1 Quran Kontemporer, Terj. Moh.

Maghfur Wahid 1997, Bangil: Al Izzah.

Nasution, Muslim. ―Menumbuhan Sikap Sabar dalam

Kehidupan‖ Oktober 1999. Makalah, Ciputat.

Muthahari, Murtada, Memahami al Quran, Terj. Tim Staf

YBT, 1989, Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.

Mutsanna, Abu Ubaidah Ma'mar bin al. Majaz al Quran, ed.

M. Fuad Sizkin, 1954,Kairo: Maktabah al-

Khanaji.

254

Nanji, Azim. "Toward a Hermeneutic of Quranic and other

Narratives in lsmaili Thought", dalam Richard G.

Martin, Apparaaches To Islam in Religious

,Studies, 1985, Arizona: The University of

Arizona Press.

Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and the Sacred, 1989,

Arizona: The University of Arizona Press

Palmer, Richard E. Hermeneutics, 1969, Evanston: North

Wester University Press.

Poespoprodjo. Interpretasi, 1987, Bandung: Remaja Karya

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, 1982, Chicago: The

University of Chicago Press.

Rahman, Fazlur. Tema Pokok al Quran, Penerjemah Anas

Mahyudin, 1983,Bandung: Pustaka.

Ridwan, Ahmad Hasan. Pemikiran Hassan Hanafi: Studi

Gagasan Reeaktualisasi Tradisi Keilmuan

Islam, 1996, Yogyakarta: IAIN Sunan

Kalijaga.

Rippin, Andrew (Ed.). Approaches to the History of

Interpretation of the Quran, 1988, Oxford:

Claredon Press.

Robinson, James M. "Hermeneutic since Barth" dalam The

New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John

B.Cobb, 1964, New York: Herper and Row

Publisher.

255

Rudianto, Bambang. dkk, Hakekat Pengetahuan dan Cara

Kerja Ilmu-ilmu, 1993, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan, 2002,

Bandung: Teraju.

Shadr, Muhamrnad Baqir. " Pendekatan Tematik Terhadap

Tafsir al Quran". Dalam Jurnal UQ 4 Vol. 1

1990, Jakarta: Aksara Buana.

Shihab, M.Quraish, "Tafsir dan Modernitas", dalam Jurnal

Ulumul Quran No. 8. 1991, Jakarta: Aksara

Buana.

Shihab, M.Quraish, Membumikan al Quran, 1994, Bandung :

Mizan.

Shihab, M.Quraish. Wawasan al Quran, 2005, Bandung :

Mizan.

Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah, 2009, Jakarta : Lentera

Hati.

Simogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan

Posmodernisme, penerjemah M. Imam Aziz,

1994,Yogyakarta: LKis.

Simogoki, Kazuo. " Pemikiran Hassan Hanafi dan

Munculnya al Yasar al Islami dalam Jurnal

Islamika No. 1 Th., 1993, Bandung : Mizan dan

MISSI,

256

Sudjiman dan A Van Zoest. Serba-Serbi Semiotika, 1992,

Jakarta: Gramedia.

Sulaiman, Muqatil Bin. A1 Asybah wa al Nazhair fi al Quran

al Karim, ed. Abdullah Mahmud Syahatah, 1975,

Kairo: Ma' iah al Misriyah al Ammah li al-Kitab.

Sumaryono, E. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,

1993,Yogyakarta: Kanisius.

Thahhan, Mahmud. Taisir Mushthalah al Hadits, 1985,

Beirut: Dar al Tsaqafah.

Thair, Mushtafa Muhammad al Hadidi. Ittijah a1 Tafsir Fi al

‟Ash al Hadist, TT, Beirut: Mansyurat.

Umar, Nasaruddin. 40 Seni Hidup Bahagia Berdasarkan

Tuntunan Al-Quran, As-Sunnah dan Salafush-

Shaalih 2005, Semarang: Pesantren Karya.

Verhaak, C. Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Cara Kerja

Ilmu-ilmu, 1989, Jakarta: PT.Gramedia.

Yusuf, Yunan, "Karakteristik Tafsir A1 Quran di Indonesia

Abad ke-20", dalam Jurnal Ulumul Quran No. 4.

1992, Jakarta: Aksara Buana.

Zanzani, Abdullah az-. Tarikh al-Qur‟an, Terjemah Kamaludin

MA dan A. Qurthubi H, 1996, Bandung: Mizan.

Zayd, Nashr Hamid Abu. Imam Syafi'i: -Moderatisme,

Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoirun

Nahdhiyyin, 1997, Yogyakarta: LKIS.

257

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Identitas diri dan keluarga

Adang Kuswaya lahir di Ciamis, 31 Mei 1972. Ayah

bernama Mohamad Omon seorang guru ngaji di kampung

yang bertetangga pesantren besar PP. Darussalam. Ibu

bernama Esin Kuraesin yang mendidik penulis akan

kesederhanaan dan kerja keras. Penulis dibesarkan dengan

tradisi pengajian madrasah diniyah di kampung Cidewa di

Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Mulai pendidikan TK sampai

dengan lulus dari MANPK ditempuh penulis di lembaga

pendidikan Yayasan Al-Fadliliyah PP. Darussalam.

Setelah lulus dari Darussalam tahun 1991 ia

melanjutkan studi sarjana dengan beasiswa penuh selama 4

tahun dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Jurusan

Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. Selesai meraih gelar Sarjana

258

ia melanjutkan program beasiswa pascasarjana S2 di IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1998 diangkat sebagai

staf pengajar di STAIN (sekarang IAIN) Salatiga. Setahun

kemudian, tapatnya bulan september tahun 1999 Adang

Kuswaya menikah dengan Layly Atiqoh. Tahun 1999 penulis

diterima sebagai Mahasiswa S3 UIN Jakarta dan lulus tahun

2006.

Dari pernikahannya penulis dikarunia dua anak, Adila

Tara Nisawanda DA dan Nur Adly Sania AS. Tempat tinggal

penulis di Jl. Nakula Sadewa V No.5B, Kota Salatiga, Jawa

Tengah. Email: [email protected]

Karya Ilmiah

Tahun 2016 artikel berjudul Agama; Antara Cita dan

Kritk diterbitkan Fikrah : Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi

Keagamaan. DOI:10.21043/fikrah.v4i1.1612. Tahun 2015,

Badhan, Pelestarian Tradisi Bulan Syawal Pada Masyarakat

Muslim Kembangarum Kota Salatiga. Jurnal Penelitian Vol.12,

No.1 Mei 2015. Gerakan Damai ala Kelompok-Kelompok

Islamis di Dunia Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 13. No.2, Salatiga,

2013). Chiefdom Madinah: Mengurai Kekeliruan Tafsir Negara

Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 11. No.1, Salatiga, 2011). Tafsir Sosio-

tematik al Qur‟an (jurnal, Ijtihad Vol. 9. No.2, Salatiga, 2009).

Model Penafsiran Muqatil Bin Sulaiman (jurnal, Ijtihad Vol. 8.

No.2, Salatiga, 2008). Orientari dari Teks Menuju Realitas

(jurnal, Ijtihad Vol. 8. No.1, Salatiga, 2008). Hermeneutika

Sebuah Pengantar (jurnal, Ijtihad Vol. 6. No.2, Salatiga, 2006).

259

Menimbang Tafsir Depag RI (jurnal, Attarbiyah, Salatiga, 2004

).

Beberapa buku di antaranya : Tahun 2008 Metode Tafsir

Alternatif, Mitra Cendekia Jogjakarta. Tahun 2009 judul Geliat

Kajian Keislaman, STAIN Salatiga Press. Tahun 2011 judul

buku Hermeneutika Hassan Hanafi, STAIN Salatiga Press.

Tahun 2010 judul buku Studi Kritis terhadap Metode Tafsir

Tradisional, STAIN Salatiga Press.

Pengalaman kerja

Sejak tahun 1998 tercatat sebagai dosen sampai sekarang di

IAIN Salatiga. Tahun 2008 – 2014 sebagi Ketua Forum Diskusi

Dosen STAIN Salatiga. Tahun 2006 – 2010 sebagai Director of

Journal Ijtihad Ijtihad. Tahun 2010 – 2014 sebagai Kepala Pusat

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) STAIN

Salatiga. Tahun 2014 – 2015 menjadi Kepala Pusat Penjeminan

Mutu (P2M) STAIN Salatiga. Tahun 2015 diangkat menjadi

Ketua Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)

tahun 2015-2019 IAIN Salatiga.

Pengalaman Penelitian

Tahun 2016, penelitian dengan judul Mendefinisikan Ulang

Ayat – Ayat Wala dan Bara dalam Al-Quran dan Akar-Akar

Sektarianisme. Tahun 2015, penelitian tentang Sikap Narima:

Misinterpretasi Sabar (Pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika

Pembebasan tentang Konsepsi Sabar dalam al-Qur‟an sebagai

Prilaku Narima pada Masyarakat Muslim).

260

Pendidikan Nonformal

September – Oktober Tahun 2015 mengikuti International

Visitor Leadership Program (IVLP), Washington DC,

Michigan, Texas, Oregon, AMERIKA SERIKAT. January-

March tahun 2013 mengikuti Short Course, Entrepreneurship

for Small Business Trainers and Promoters, Noida, UP,

INDIA. Ministry of External Affairs, Gov. of India. Bulan

September- November tahun 2013 mengikuti Short Course

Community Outreach in Coady International Institute, St.

Francis Xavier Nova Scotia, CANADA. Ministry of Religious

Affairs and SILE. Pada February- May tahun 2007 mengikuti

acara Hassan Hanafi‟s method on Quranic Interpretation in

Cairo, EGYPT diselenggarakan oleh Ministry of Religious

Affairs, Indonesia. Pada Bulan June 2007, mengikuti acara

Tareqa Dusukiya in Tan‟im, SAUDI ARABIA KINGDOM.

Kegiatan Riset Luar Negeri

Tahun 2012 Advance Research Muslim Community In Beijing,

CHINA. Tahun 2011 Advance Research di Islamic Center dan

di Universitas Kasem Bundit Bangkok, THAILAND. Tahun

2010 Advance Research “International Class” in UKM and

IIUM, Kuala Lumpur, MALAYSIA. Tahun 2010 Advance

Research: Educational system in National Institute of

Education NIE, Nanyang University, SINGAPORE.