S2-2015-353957-bibliography.pdf

14

Click here to load reader

Transcript of S2-2015-353957-bibliography.pdf

Page 1: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 1/14

 Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No.2, 2012, halaman 104-117 ISSN : 1410-0177  

104

TINJAUAN PENGGUNAAN METFORMIN PADA PASIEN DIABETES MELLITUS

TIPE 2 RAWAT INAP DI SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR.ACHMAD

MOCHTAR BUKITTINGGI, INDONESIA.

Hansen Nasif ¹, Yeni Efrina¹, Husni Muchtar¹¹Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang Indonesia

 E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Metformin, adalah suatu obat yang direkomendasikan sebagai obat pilihan utama dan

digunakan luas untuk pengobatan diabetes mellitus tipe 2. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mempelajari penggunaan metformin pada pasien rawat inap di SMF Ilmu Penyakit

Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, khususnya pada penggunaan ygdikategorikan kontraindikasi. 

Penelitian ini merupakan suatu studi prospektif follow up pasien dengan teknik pengambilan

sampel menggunakan metode purposive sampling. Data diambil dari bulan April sampai Juni

2010 di SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, dengan dasar

 perubahan kondisi pasien selama dirawat.

Hasil penelitian, didapatkan 28 pasien yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini, dengan

11 pasien teridentifikasi menggunakan metformin pada keadaan kontraindikasi. Ditemukan

 penggunaannya pada 3 pasien dengan gagal jantung kongesti dan gagal ginjal, 3 pasien

dengan gagal jantung, 2 pasien dengan gagal ginjal, 2 pasien dengan sirosis hepatik, dan 1

 pasien dengan dehidrasi akut disertai hipoperfusi. Terdapat 2 dari 11 pasien tersebut

meninggal dalam masa pengamatan, namun masih belum bisa dipastikan bahwa penyebab

kematian tersebut adalah karena penggunaan metformin.

Farmasis harus selalu memperhatikan perubahan kondisi pasien untuk meyakinkan bahwa

 penggunaan obat masih aman bagi seorang pasien.

Keyword: Metformin, Penggunaan, RSUD Dr. Achmad Mochtar.

PENDAHULUAN 

Metformin bekerja baik pada pasien

dengan kondisi hiperglikemia yang cukup

serius (John, 2007). Berdasarkan suatu

 penelitian prospektif diabetes (United

 Kingdom Prospektif Diabetes Study) dan

 penelitian- penelitian lainnya pada pasien

diabetes tipe 2, dibuktikan bahwa

metformin dapat mengurangi komplikasi

makrofaskular pada pasien obesitas(Dipiro, 2005; Ilkka et al ., 2002; Kasper,

2005; McEvoy, 2008). Metformin terbukti

mengurangi secara signifikan semua

 penyebab kematian pada komplikasi

diabetes, risiko stroke, dan gangguan

myokardial dibandingkan bila

menggunakan pengobatan intensif dengan

sulfonilurea atau insulin.

Risiko hipoglikemia dan hiperinsulinemia

lebih kecil, efek pada lipid serum lebih

Page 2: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 2/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

105

 baik dan dapat menurunkan berat badan

(Kasper, 2005; McEvoy, 2008).

United Kingdom Prospective DiabetesStudy, mempertimbangkan obat ini sebagai

lini pertama dalam pengobatan diabetes

melitus tipe 2 dengan kondisi obesitas ,

 jika toleran dan tidak kontraindikasi bagi

 pasien (Alawadhi, 2008; Dipiro, 2008;

McEvoy, 2008; Rita et al ., 2002; ).

Berdasarkan data dari International

Diabetes Center (IDC), metformin juga

direkomendasikan sebagai pilihan obat

utama manajemen terapi diabetes tipe 2

,diberikan ketika kadar glukosa darah puasa ( fasting plasma glucose/FPG) sekitar

150-200 mg/ml, dan kadar glukosa darah

acak (random plasma glucose/RPG) antara

200-300 mg/ml. Pengobatan dilihat selama

3 bulan, jika pengobatan dengan

metformin ini tidak toleran atau

kontraindikasi dengan pasien, baru

dilakukan terapi kombinasi dua obat

(Kendal, 2009; Mogensen, 2007).

 Namun, secara klinis penggunaan

metformin dibatasi oleh dua faktor,

keduanya berkaitan dengan efek samping

dari metformin itu sendiri. Faktor pertama

adalah efek samping gastrointestinal.

Tetapi, efek ini dapat diminimalkan

dengan pemberian metformin bersama

makanan dan diawali dengan dosis yang

rendah. Faktor kedua jarang terjadi namun

merupakan komplikasi dari penggunaan

metformin yang paling serius yaitu laktatasidosis ( Alawadhi et al ,, 2008;

Khandwala, 2004). Insidennya

diperhitungkan terjadi 0,03 kasus per 1000

 pasien tiap tahunnya (Alawadhi et al .,

2008; Dipiro, JT, 2005; McEvoy, 2008;

Rita et al ., 2002).

Laktat asidosis tidak seutuhnya terjadi

karena penggunaan metformin, namun

kebanyakan semua kasus yang dilaporkan

dari laktat asidosis berkaitan kontraindikasidari penggunaan metformin (Alawadhi et

al ., 2008). Ada ketentuan khusus yang

telah ditetapkan tentang kontraindikasi

tersebut antara lain pada pasien gangguan

ginjal (kreatini serum > 130μmol/l),gangguan hati, ataupun kondisi klinik yang

 berhubungan dengan hipoksemia, gagal

 jantung kongestif, dan penyakit obstruksi

 pulmonary kronik (Dipiro, 2005; ISFI,

2008; McEvoy, 2008; Rita et al ., 2002).

Penggunaan metformin pada pasien

insufisiensi ginjal dengan kreatinin kliren

1,4 mg/dl pada wanita dan 1,5 mg/dl pada

 pria dinyatakan kontraindikasi, karena

metformin di eliminasi di ginjal sebagai

senyawa aktif( Dipiro, 2005; Katzung, 1997; McEvoy,

2008; Rita et al ., 2002).

Oleh karena itu, manajemen terapi diabetes

tipe 2 dengan metformin sebagai obat yang

sangat efektif dan direkomendasikan

secara internasional namun sangat

 berpotensi fatal terjadi efek yang lebih

serius, haruslah dalam pengawasan yang

ketat dan memperhatikan keadaan

fisisologis dari masing- masing pasien.

Penelitian mengenai kontraindikasi

metformin pada pasien diabetes mellitus

tipe 2 merupakan bagian yang penting

dilakukan untuk mencegah penggunaan

obat yang kurang tepat. Penggunaan

metformin dalam kondisi kontraindikasi

menjadi fokus utama dalam penelitian ini.

METODOLOGI

Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan di

SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Achmad

Mochtar Bukittinggi.

Jenis penelitian adalah penelitian observasi

 prospektif dengan teknik pengambilan

sampel menggunakan metode porposive

sampling.

Page 3: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 3/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

106

Pasien yang dipilih adalah pasien diabetes

melitus rawat inap yang diberikan

metformin sebagai terapi diabetes melitus

tipe 2 di SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Achmad Muchtar Bukittinggi.

Data yang diambil adalah data rekam

medik serta kelengkapan data pasien (usia,

 pekerjaan, riwayat penyakit, komplikasi

 penyakit), anamnesa, pemeriksaan fisik

serta data laboratorium pasien diabetes

melitus rawat inap di RSUD Dr. Achmad

Muchtar Bukittinggi. Data yang diambil

dipindahkan ke lembaran pengumpulan

data yang telah disiapkan. Sejak data awaldiambil, pasien akan di follow up terus

untuk melihat perkembangan kondisinya

klinisnya.

Data ditabulasikan berdasarkan pasien

yang menjalani terapi diabetes melitus,

namun kontraindikasi dengan penggunaan

metformin.

Penarikan kesimpulan dilakukan

 berdasarkan analisis kontraindikasi pada

 peggunaan metformin pada SMF Penyakit

Dalam RSUD Dr. Achmad Mochtar

Bukittinggi.

HASIL

Dari penelitian yang telah dilakukan,,

didapatkan hasil sebagai berikut :

1. 

Empat puluh dua orang pasienterdiagnosa menderita diabetes

mellitus

tipe 2 dan di rawat di SMF

 penyakit dalam selama masa

 penelitian ini.

2.  Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang

menggunakan metformin sebagai

antidiabetik oral berjumlah 28

orang, 11 orang diantaranya

terdidentifikasi kontraindikasidengan metformin, terdiri dari :

a.  Gangguan fungsi ginjal

(CrSr 2,1

mg/dl & 2,9 mg/dl): 2 orang

 b. 

Gangguan fungsi jantung(gagal jantung stage II-IV,

dekompensasi kordis ): 3

orang

c.  Gangguan fungsi hati

(sirosis hati dan insufisiensi

fungsi hati): 2 orang

d.  Gangguang fungsi jantung

dan ginjal (gagal jantung

stage III, dekompensasi

kordis, CrSr 2,5-5,7 mg/dl):

3 orange.  KI lain (dehidrasi akut dan

hipoperfusi) : 1 orang

3.  Delapan orang memiliki kondisi

 penyakit yang berat dengan

 parameter yang signifikan untuk

dikategorikan kontraindikasi

dengan terapi metformin, 2 orang

dinyatakan meninggal dunia selama

masa pengobatan di rumah sakit.

4.  Tidak ada dilakukan pengukuran

kadar laktat serum, anion gap, dan

HCO3 sebagai indikator terjadinya

laktat asidosis. Pengukuran pH

darah juga jarang dilakukan.

5.  Tidak ditemukan secara langsung

terjadinya kasus laktat asidosis.

PEMBAHASAN

Penelitian ini melibatkan pasien diabetes

melitus tipe 2 yang dirawat inap di Rumah

Sakit Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi.

Pada umumnya, pasien diabetes mellitus

tipe 2 menjalani rawat inap 5 hingga 10

hari. Beberapa pasien yang memerlukan

 perawatan intensif seperti kasus ganggren

diabetik dan komplikasi serius menjalani

masa perawatan yang lebih lama . Namun,

 beberapa pasien mengajukan untukmelakukan perawatan di rumah, dengan

Page 4: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 4/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

107

alasan biaya dan ketidaknyamanan di

rumah sakit, walaupun kondisi pasien

tersebut masih memerlukan perawatan

intensif dan terapi lanjutan. Pasien inidikategorikan sebagai pasien pulang paksa.

Akibatnya, kondisi pasien menjadi tidak

terkontrol dengan baik, data laboratorium

lanjutan juga tidak dapat dilakukan dan

terapi yang akan diberikan pun menjadi

terhambat karena ketidaksediaan pasien

untuk dilakukan terapi lebih lanjut. Begitu

 juga beberapa pasien yang masuk dalam

kategori penelitian penulis, sebagian lebih

memilih melakukan perawatan di rumah,

sehingga perkembangan penyakit si pasientidak dapat dipantau hingga kondisinya

lebih baik.

Dari 42 orang pasien yang terdiagnosa

menderita diabetes melitus tipe 2, 28 orang

menggunakan antidiabetik oral metformin.

Diantara 28 orang pasien tersebut, 11

orang dikategorikan kontraindikasi dengan

terapi metformin. Hasil ini ditinjau dari

diagnose penyakit oleh dokter, riwayat

 penyakit pasien, data laboratorium, hasilrontgen, USG (ultrasonografi), gejala &

keluhan dan obat yang diberikan. Namun,

tidak semua pasien perkembangan

 penyakitnya dapat dipantau lebih lanjut.

Kendala yang dihadapi antara lain, pasien

 pulang paksa sebelum data laboratorium

dan terapi dilakukan secara sempurna,

 pengukuran data laboratorium pasien yang

hanya dilakukan sekali. Keadaan ini

menyebkan diagnosa penyakit pasien yang

tidak kuat disertai parameter klinis yang

kurang lengkap.

Setelah dianalisa, dari 11 pasien tersebut,

ada 8 orang memilki kondisi penyakit yang

 berat, dengan parameter klinis yang

signifikan untuk dikategorikan

kontraindikasi dengan terapi metformin.

Pasien ini memiliki diagnosa, data

laboratorium dan obat yang jelas,

 perkembangannya dapat diamati sehingga

dapat dilakukan analisa lebih lanjut. Duadiantarnya dinyatakan meninggal dunia di

rumah sakit. Data pasien dengan

kontraindikasi metformin dapat dilihat

 pada tabel.

Tabel I. Pasien yang Kontraindikasi

dengan Metformin

 N

o

 Nam

a

Pasi

en

Keadaan

Kontraindikasi

Keterangan

1 Tn.

BR

Gangguan fungsi

ginjal

CrCl : 2,9 mg/dl

2  Ny.YS

Gangguan fungsiginjal

CrCl : 2,1 mg/dl

3  Ny.

 NL

Gangguan fungsi

 jantung

Gagal jantung

stg III-IV

4 Tn.

MD

Gangguan fungsi

 jantung

Gagal jantung

stg I-II

5 Tn.

MS

Gangguan fungsi

 jantung

Gagal jantung

stg II-III

6  Ny.

SH

Gangguan fungsi

hati

Sirosis hati

7  Ny.

 NM

Gangguan fungsi

hati

Peningkatan

kadar enzim

hati (AST/ALT

2x normal)

8  Ny.

CW

Gangguan fungsi

ginjal dan

 jantung

CrCl :3,4 mg/dl,

dekompensasi

kordis

9  Ny.

MI

Gangguan fungsi

ginjal dan

 jantung

CrCl : 5,5

mg/dl, jantung

kongestif

1

0

 Ny.

MY

Gangguan fungsi

ginjal dan

 jantung

CrCl : 2,5

mg/dl, gagal

 jantung stg III.

1

1

 Ny.

 NS

Dehidrasi akut

Dari 8 orang pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan kondisi penyakit yang berat, 3

Page 5: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 5/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

108

orang memiliki 2 kontraindikasi ( gagal

 jantung dan ginjal), 3 orang dengan

 penyakit jantung, 1 orang mengalami

dehidrasi akut, dan 1 orang lagi memilkiriwayat sirosis hati. Dua orang lainnya

memilki kadar CrSr (creatinin serum) 2,9

mg/dl dan 2,1 mg/dl, sementara satu orang

 pasien lagi mengalami gangguan fungsi

hati dengan peningkatan enzim hati

AST/ALT ( Aspartate Aminotransferase/

 Alanine Aminotransferase) dua kali

normal.

Tiga orang pasien yang mengalami

gangguan fungsi ginjal, kadar kreatininnyaterukur > 1,4 mg/dl. Pada kasus Ny. CW,

 Ny. MI, dan Ny. MY kreatininnya

mencapai 2,5 hingga 5,7 mg/dl.

 Ny. CW (55 th) dengan kadar glukosa

darah puasa 287 mg/dl, kreatinin 3,4

mg/dl diberikan terapi metformin 2x 500

mg/hari selama 4 hari, kadar kreatinin

tetap tinggi hingga mencapai 5,4 hingga

akhirnya meninggal dunia. Kondisi ini

sebenarnya mengharuskan untukmenghentikan terapi metformin atau tidak

menggunakannya karena sudah tergolong

kontraindikasi. Kemampuan ginjal untuk

mensekresikan asam-asam setiap hari

menjadi berkurang. Fungsi ginjal yang

 parah dapat menyebabkan akumulasi

metformin dan laktat didalam darah,

 pencetus terjadinya laktat asidosis

(Chisholm et al .,2008; Kennedy &

Herman, 2005). Pada kadar kreatinin yang

tinggi > 1.4 mg/dl (wanita) dan >1,5 mg/dl(laki-laki), metformin tidak boleh

diberikan karena berisiko laktat asidosis,

strategi alternatif untuk menangani

diabetes pada situasi ini adalah

 penggunaan insulin, thiazilidinedion dan

sulfonylurea. (Dipiro, 2005; Nisbet et al ,

2004; Sinclair & Finucane, 2001)

Begitu juga yang terjadi pada Ny. MI (60

th) dan Ny. MY (61 th), selain mengalami

 penurunan fungsi ginjal (kreatinin 5,7mg/dl dan 2,5 mg/dl) disertai udem juga

terjadi gagal jantung stg III. Kadar Hb

(haemoglobin) terukur sebesar 8,1 g/dl,

 pasien diagnosa mengalami

anemia.Metformin diberikan 2x 500mg/hari selama 3 hari. Pada kasus Ny. MI

dengan GDP/2pp (glukosa darah puasa/ 2

 jam post prandial) 178/197 mg/dl,

diberikan terapi awal insulin selama 24

hari, kemudian di stop, dengan kadar gula

darah terakhir 88 mg/145 (GDP/2pp) mg

lalu diganti dengan metformin dan

glibenklamid. pengukuran terhadap pH

darah dilakukan satu kali setelah 15 hari

dirawat, sebelum diberikan terapi

metformin, ternyata nilai pH darah pasienini sebesar 6,97, nilai yang sudah

tergolong asam. Bila dilihat dari nilai pH

yang rendah ini, pasien sudah dapat

dikategorikan mengalami hiperasidemia.

Berdasarkan standar pH darah normal

(7,35-7,45), jika pH < dari 7,35

mengindikasikan asidemia. (Mogensen,

2007; Tiemey et al ., 2007; Tim Bina

Farkomik, 2007). Setelah konsul bedah ke

 bagian urologi, hasilnya ditemukan adanya

 batu ginjal. Kondisi ini mengharuskan

tidak diberikannya terapi metformin,

karena mengkontribusi berkembangnya

laktat asidosis.

Terapi insulin yang diberikan cukup

efektif, kadar gula darah secara bertahap

turun menjadi 88mg/145mg, artinya sudah

 berada dalam range normal, namun

dilanjutkan dengan terapi metformin,

dikombinasikan dengan glibenklamid.

Kombinasi terapi ini kurang tepat, karena

gula darah sudah kembali normal, tidak

seharusnya diberikan dua kombinasi obat

antidiabetik oral (ADO), kondisi ini dapat

 berisiko hipoglikemia bila obat tetap

diberikan terus. Ditambah lagi pemberian

metformin yang kontraindikasi dengan

 pasien. Namun setelah 3 hari terapi

metfomin dan glibenklamid diberikan,

 pasien meminta untuk dirawat dirumah,

dengan kadar kreatinin masih 5,7 mg/dl,sementara kadar kreatinin normal untuk

Page 6: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 6/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

109

wanita 0,6-1,1 mg/dl dan pria 0,7-1,3

mg/dl (Dipiro, 2005) Metformin dan

glibenklamid tetap diresepkan untuk

 pengobatan dirumah.  American Diabetic Association (ADA) menyatakan kombinasi

metformin dengan sulfonylurea digunakan

ketika terapi obat tunggal tidak

memperlihatkan kontrol glukosa yang

 baik.(Kendal, 2009; Wells, 2006).

Sementara pada pasien jantung, terdapat

 pasien dengan gagal jantung stg I-III,

angina, pembesaran jantung dengan

 bendungan paru (Ny. NL, Ny. MI, Ny.

MY, Tn. MS, dan Tn. MD). Pasien- pasienini mendapatkan terapi diuretik furosemid

(tablet furosemid, inj lasix ) dan

spironolakton. Digoksin, ISDN (isosorbid

dinitrat), asetosal, ramixal, dan valsatran

diberikan untuk pengobatan jantung.

Sama halnya dengan Ny. MI, Ny. MY

dengan CHF (congestif heart failure)  stg

III, kadar gula darah 213 mg/dl juga

mendapatkan terapi awal metformin

selama 3 hari dari 5 hari masa perawatan. Namun hanya dilakukan satu kali

 pengukuran terhadap kadar kreatinin, hasil

menunjukkan 2,5mg/dl, tetapi pasien ini

 juga pernah dirawat sebelumnya dengan

kadar kreatinin mencapai 5,5 mg/dl. Nilai

ini tergolong kontraindikasi dengan

metformin. Namun pasien ini juga

mengajukan untuk pulang, sehingga tidak

dapat dipantau keadaan selanjutnya di

rumah sakit. Pemberian metformin

sebaiknya tidak diberikan karena selain pasien tergolong kontraindikasi, bagi

 pasien rawat jalan, kontrol terhadap

kondisi klinisnya tidak begitu optimal,

apalagi dengan gangguan ginjal stg III ini,

dapat memperparah fungsi ginjal pasien,

aliran darah ke ginjal semakin menurun,

terjadinya udem, dan asidosis metabolik

karena penumpukan asam - asam yang

 berisiko berkembangnya laktat asidosis

 bila tidak dilakukan pemantauan yang

intensif.

Pemberian metformin juga kontraindikasi

 pada Ny. NL (60 th), dengan gagal

 jantung stg III-IV disertai penurunan

kesadaran, udem dan riwayat stroke.Metfomin diberikan ketika kadar gula

darah puasa 155 mg/dl, pasien sudah mulai

 bisa diajak komunikasi, sesak nafas masih

dirasakan tapi berkurang dengan bantuan

oksigen. Metformin hanya diberikan

selama 2 hari oleh seorang dokter,

kemudian di stop oleh dokter lainnya.

Selanjutnya tidak diberikan terapi diabetes

mellitus tipe 2 lagi pada pasien, terapi

lebih difokuskan pada kondisi gagal

 jantung dan udem yang masih berlanjut.Hingga akhir perawatan, kondisi pasien

mulai membaik, sesak nafas mulai

 berkurang, pasien tidak lagi menggunakan

 bantuan oksigen, kadar gula darah puasa

184 mg/dl sedangkan kadar gula darah

2jam post prandial sudah berada dalam

 batas normal yakni 116 mg/dl.

Penghentian terapi metformin diatas

merupakan tindakan yang tepat, mengingat

kondisi gagal jantung yang berada padastadium lanjut, ditambah lagi sesak nafas

dan penurunan kesadaran, Suplai darah dan

oksigen ke sel- sel tidak cukup, kondisi

yang mencetus terjadinya hipoksia dan

hipoksemia jaringan dan sangat

kontraindikasi dengan terapi metformin.

Pada kasus Tn. MD (75 th) dengan gagal

 jantung stg I-II, kadar glukosa puasa awal

382 mg/dl, kreatinin 1,63 mg/dl, ureum 73

mg/dl. Menerima obat digoksin, ISDN,spironolakton, dipiridamol (vasotin®)

yang diberikan selama 13 hari berturut-

turt. Terapi diabetes melitus diawali

dengan inj insulin selama 6 hari, lalu

diganti dengan antidiabetk oral metformin

2x500mg/hari dan glikuidon

(mictonorom®) selama 3 hari ketika kadar

glukosa darah 167/307 mg/dl (GDP/2pp),

metformin dinaikkan menjadi

3x500mg/hari. Walaupun kondisi pasien

ini tergolong kontraindikasi denganmetformin, pada akhir pengobatan kondisi

Page 7: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 7/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

110

 pasien terlihat membaik, sesak nafas yang

dirasakan mulai berkurang, kadar gula

darah menjadi 124mg/dl/167mg/dl.

Dari hasil ini, terlihat bahwa pemberianterapi metformin pada pasien gagal jantung

tidak memperlihatkan efek samping yang

serius. Pada suatu studi prospektif terhadap

71 (65 %) pasien diabetes mellitus tipe 2

dengan 1 atau lebih kontraindikasi

metformin, Alawadhi et al. mengobservasi

 bahwa dari 6 (5 % ) pasien gagal jantung

yang di analisa tidak ditemukan terjadinya

laktat asidosis maupun efek samping yang

serius pada pasien gagal jantung yang

menerima terapi metformin. Namun,karena keterbatasan jumlah pasien, hasil

ini belum menjamin penggunaan

metformin aman diberikan pada pasien

gagal jantung.( Alawhadi, et al., 2008)

Gagal jantung stage III juga di alami oleh

Tn. MS (62 th). Setelah satu bulan

sebelumnya di rawat di rumah sakit dengan

diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dan

komplikasi gagal jantung stage III disertai

 pembesaran jantung dengan bendungan

 paru (dekompensasi kordis), Tn. MS

kembali menjalani masa perawatan dengan

diagnosa yang sama. Selama tiga kali masa

 perawatan dalam jangka waktu dua bulan,

Tn. MS selalu mendapatkan terapi

metformin 3x 500 mg dan akarbose

(glukobay®) 1x 50 mg, sebagai agen

hipoglikemia oral. Terapi metformin

diberikan secara berkelanjutan selama

dirawat di rumah sakit, lebih kurang 15hari perawatan setiap periode. Penggunaan

metformin tidak pernah dihentikan,

walaupun pasien terdiagnosa gagal jantung

stage III dan mendapatkan digoksin (1x

½) dan ISDN (3x5 mg) sebagai terapi

gagal jantung. ISDN dan digoksin

diberikan juga diberikan bersama-sama

secara berkelanjutan dari awal hingga

akhir perawatan. Dapat dikatakan,

metformin, glukobay, ISDN dan digoksin

adalah terapi utama yang diberikan dalam

 jangka waktu yang lama. Kadar glukosa

darah puasa tertinggi sebesar 281 mg/dl.

ISDN bekerja meningkatkan aliran darah,mengurangi kebutuhan oksigen

miokardium dan meningkatkan suplai

oksigen. Sementara digoksin membantu

menguatkan jantung dan memperbaiki

sirkulasi (Terry & Schwinghammer, 2005).

Efek kedua obat ini memiliki pengaruh

yang baik terhadap kondisi pasien.

Keluhan sesak nafas yang dirasakan pada

awal perawatan berangsur- angsur

menurun. Begitu juga dengan terapi

metformin yang diberikan, terlihat cukupefektif pada pasien ini, setelah lebih

kurang dua minggu diberikan metformin,

kada gula darah turun dibawah 200 mg/dl

 berkisar 163/214 mg/dl hingga 129/231

mg/dl.

Bila dilihat dari tiga kali masa perwatan

 pasien, dapat dilihat sesak nafas karena

 penyakit gagal jantung yang diderita

 pasien berangsur pulih selama diberikan

terapi digoksin dan ISDN. Keadaan ini

 berbarengan dengan penurunan kadar

glukosa darah pasien hingga < 200 mg/dl

selama penggunaan metformin (rata-rata

118/187 mg/dl hingga 163/214 mg/dl).

Kadar kreatinin, bilirubin, kolesterol masih

 berada pada batas yang normal. Kondisi ini

menggambarkan bahwa pemberian

metformin pada pasien gagal jantung stage

III yang dikategorikan kontraindikasi,

ternyata tidak memperlihatkan efeksamping yang serius, gejala timbulnya

laktat asidosis pun tidak ditemukan,

walaupun tidak dapat dipastikan secara

langsung tanpa adanya pengukuran kadar

laktat serum dan pH darah, namun pada

akhir perawatan pasien secara umum

kondisi pasien terlihat membaik. Hasil ini

sama halnya dengan kasus yang terjadi

 pada Tn. MD di atas, tidak terjadi efek

samping yang serius pada pasien gagal

 jantung yang diberikan terapi metformin.Walaupun begitu, secara garis besar ADA

Page 8: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 8/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

111

menyatakan penggunaan metformin

kontraindikasi pada pasien gagal jantung

(Maddalone, 2009)

Lain halnya dengan yang dialami oleh Ny.

 NS, pasien mengalami dehidrasi akut

karena disentri yang disebabkan oleh

infeksi amubiasis. Selama awal perawatan

hingga 7 hari dirawat di rumah sakit,

mengalami mencret 5-9x /hari. Konsistensi

feses cair, berlendir, bewarma kemerahan.

Keadaan ini mengakibatkan dehidrasi

akut, suatu kondisi yang tergolong berisiko

kontraindikasi dengan penggunaan

metformin karena dapat mengakibatkan perubahan fungsi ginjal dan terjadi shok

hipovolemik yang dikaitkan dengan

hipoperfusi jaringan (Nisbet, 2004;

Sinclair & Finucane, 2001). Nilai Hb pada

awal masuk rumah sakit cukup rendah

sebesar 7,7 g/dl. Kadar kalium dan klorida

serum masih berada pada nilai normal,

hanya terjadi penurunan ion natrium 123,1

mmol/L. Ini mengindikasikan, sebelum

masuk rumah sakit, pasien juga telah

mengalami mencret yang berulang ulang di

rumah. Pasien mengeluh lapar, pusing,

tidak nafsu makan dan dan badan pusing,

disertai batuk berdahak. Setelah dilakukan

 pengecekan terhadap kadar kreatinin,

nilainya berada pada batas bawah yaitu 0,6

mmol/L. pada hari ke 7 pasien mengalami

mencret 5x/hari, nafsu makan menurun dan

mengalai sesak nafas, akhirnya pasien

meninggal dunia.

Terjadinya metabolis asidosis pada pasien

ini memang tidak diketahui secara pasti,

namun berdasarkan literatur menyatakan

manifestasi klinis shock hipovolemik dapat

mengakibatkan hipoperfusi arteri dan

metabolism asidosis. Metabolisme asidosis

sebagai akibat dari akumulasi asam laktat

yang berasal dari hipoksia jaringan dan

metabolism anaerob. Jika tekanan darah

cukup rendah akan mencetus hipoperfusi

yang yang parah dan disfungsi organ (Chisholm et al ., 2008).

Sirosis hepatik terjadi pada Ny. SH (56 th),

menjalani 5 hari perawatan di rumah sakit

karena diabetes mellitus tipe 2 dan melenaec sirosis hepatik. Satu bulan yang lalu

 juga dirawat dengan keluhan dan diagnosa

yang sama. Kadar glukoda darah pasien

301 mg/dl. Diberikan 2 kombinasi

antidiabetik oral yaitu metformin dan

glibenklamid, kadar glukosa darah turun

menjadi 146/147 mg/dl sebagai

antidiabetik oral. Gejala dan keluhan yang

dirasakan pasien berupa sakit dibagian

 perut, badan lemah, BAB bewarna hitam

dengan konsistensi cair. Kadar Hb terukur8,1 g/dl Dari pemeriksaan klinik, ternyata

HBsAg positif dan anti- HBsAg negatif.

Dari data ini, dapat diberikan hipotesa

 bahwa pasien menderita hepatitis B kronik,

kemudian berkembang menjadi sirosis

hati.

Pada penyakit hati yang sudah lanjut kadar

AST, ALT dan bilirubin sering terlihat

normal (Sinclair & Finunce, 2001; Tim

Bina Farkomik, 2007 ). Selain itu juga

dinyatakan kebanyakan pasien dengan

sirosis hati tidak menampakkan gejala dan

 biasanya berupa dyspepsia dan nyeri

epigastrik (Dipiro , 2005). Hal ini juga

yang dialami oleh pasien SH, kadar AST,

ALT, dan bilirubin masih normal, hanya

albumin yang rendah (2,8 g/dl). Riwayat

sirosis hepatik yang dialami Ny. SH

tergolong kontraindikasi dengan

 penggunaan metformin. Namun, setelah 5hari perawatan, kadar glukosa darah

kembali turun, Hb kembali normal (11,1

g/dl), BAB juga bewarna kuning. Ini

mengindikasikan pasien toleran dengan

terapi metformin walaupun dengan

komplikasi sirosis hati. walaupun begitu,

keadaan ini belum tentu menjamin

keamanan penggunaan metformin, karena

seiring kerusakan hati yang progressif,

dapat saja terjadi laktat asidosis, kondisi

hati yang parah dapat menyebabkanterhambatnya uptake laktat oleh hati, dan

Page 9: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 9/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

112

menimbulkan akumulasi laktat didalam

darah. Jadi, perlu monitoring dan evaluasi

yang tepat pada kasus seperti ini.

Sebagian besar pasien lainnya juga

kontraindikasi dengan metformin, namun

terkadang ada yang hanya dilakukan cek

darah sekali, sehingga kita tidak dapat

mengetahui perkembangan lebih lanjut.

Seperti pada kasus Ny. NM (65 th),

mengalami diabetes mellitus tipe 2 disertai

gangguan fungsi hati yang terlihat dari

nilai enzim hati AST/ALT dua kali

normal.metformin diberikan 2x500 mg

 pada hari kedua ketika kadar AST 116,4U/L dan ALT 134,5 U/L. Literature

menyatakan bahwa metformin

kontraindikasi pada pasien gangguan

fungsi hati yang ditandai dengan kadar

enzim hati 2-3 kali diatas normal (AST 0-

40 U/L dan ALT 0-41 U/L) (Khandwala,

2004; Rita et al ., 2002).

Peningkatan enzim hati terjadi pada

 peradangan hati kronik seperti hepatitis C,

tapi dapat normal pada peradangan yang

sudah lama seperti hepatitis B. AST/ALT

meningkat pada peradangan sel hepatic

(hepatocelluler injur ). AST/ALT

merupakan indikator sensitif pada lesi

nekrosis di hati. Pada keadaan nekrosis

AST/ALT meningkat sedikitnya 2 kali

normal. Gangguan fungsi hati dapat

mengganggu kliren laktat di hati (Dipiro,

2005; Kasper, 2005; Sinclair & Finucane,

2001). Namun, pada kasus Ny. NM, pasienhanya dirawat selama 3 hari, kemudian

memutuskan untuk pulang, sehingga hasil

laboratoriumoratorim hanya dapat dilihat

satu kali.

Selain itu pasien dirawat dalam waktu

yang singkat, ketika kadar gula darahnya

normal dan kondisi fisik mulai membaik,

 pasien dibolehkan pulang, komplikasi

yang dirasakan masih berada pada

tingkatan yang ringan atau hanya berupadiagnosa sementara, obat metformin tetap

diberikan tanpa adanya peninjauan lebih

lanjut terhadap kadar laktat, dan pH darah.

Sejauh ini pasien yang diberikan terapi

metformin pulang dengan kondisi yangcukup baik dengan kadar gula yang mulai

normal, walaupun pasien-pasien tersebut

dinyatakan kontraindikasi. Tidak tertutup

kemungkinan bisa terjadi laktat asidosis,

 bila menggunakan metformin dalam

 jangka waktu lama, dosis tinggi dengan

kondisi klinis yang berat.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap

 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

komplikasi diabetik dan analisa kasusdiatas dengan multiple risiko laktat

asidosis menunjukkan bahwa metformin

menjadi pilihan utama sebagai antidiabetik

oral pada pasien diabetes mellitus tipe 2

dan juga masih diresepkan bagi pasien

diabetes mellitus tipe 2 yang

kontraindikasi dengan penggunannya.

Kondisi klinis pasien dengan komplikasi

diabetes yang berujung berkembangnya

laktat asidosis seperti gagal jantung,

 penyakit jantung koroner, gangguan fungsi

ginjal, gangguan fungsi hati, dan kondisi

klinis berkaitan dengan hipoksemia seperti

dehidrasi, obstruksi pulmonal, emboli paru

dan lainnya, nampaknya tidak terlalu

menjadi bahan pertimbangan utama dalam

 penggunaan terapi metformin. Metformin

 juga masih diberikan pada pasien,

walaupun dengan lebih dari satu

kontraindikasi.

Analisa lainnya menunjukkan bahwa

 pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan

kontraindikasi metformin ternyata selama

masa pengobatan cukup toleran dengan

terapi metformin. Tidak ditemukan efek

langsung terjadinya laktat asidosis.

Walaupun begitu, dari hasil penelitian ini

tidak dapat dinyatakan secara langsung

 bahwa metformin aman digunakan pada

 pasien yang dikategorikan kontraindikasi

dengan penggunaannya dan tidak dapat juga dismpulkan secara pasti terjadinya

Page 10: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 10/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

113

laktat asidosis karena keterbatasan jumlah

 pasien dan tidak dilakukannya pengukuran

terhadap kadar laktat serum, pH darah,

kadar bikarbonate sebagai indikator utamaterjadinya laktat asidosis. Ini membuktikan

 bahwa perhatian terhadap kemungkinan

timbulnya kasus laktat asidosis pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 yang

kontraindikasi dengan metformin tidaklah

 besar. Tampaknya, yang menjadi poin

utama penatalksanaan diabetes mellitus

tipe 2 adalah efek yang dapat diamati

secara pasti yaitu usaha menurunkan kadar

gula darah sampai batas normal,

dibandingkan kemungkinan kecil yang belum tentu terjadi, walaupun dapat

 berakibat fatal, seperti kasus laktat

asidosis.

Kasus-kasus yang ada pada penelitian ini

 juga ditemukan pada suatu penelitian

 prospektif Yoburn et al. terhadap 4 pasien

dengan penyakit yang berat yang diberikan

terapi metformin. Satu dari tiga pasien

dengan diabetes mellitus tipe 2, emboli

 paru dan penyakit paru obstruksi kronis

meninggal dunia, dengan kadar laktat

serum ditemukan 7,8 mmol/L (kadar

normal 0,7-2,1 mmol/L), kreatinin 2,6

mg/d dan glukosa 340 mg/dl. Pasien

lainnya dengan gangguan ginjal kronik

(2,2 mg/dl),dehidrasi, gagal jantung, kadar

digoksin 2,5 mg/dl. Anion gap 16mEq/L

(kadar normal 7-16 mEq/L) dan ion HCO3

(bikarbonat) 22 mmol/L (kadar normal 22-

26 mmol/L), setelah 7 hari diberikan terapimetformin, kadar laktat serum menjadi 8,8

mmol/L, kreatinin 2,0 mg/dl, pH 7,25,

anion gap 18 dan HCO3 13 mmol/L, dan

 pasien mngalami koma. Yoburn melihat

insiden laktat asidosis yang meningkat

 pada pasien yang diberi metformin selama

dua bulan. (Yoburn et al ., 2005)

Berkaitan pertimbangan risiko dan manfaat

terapi metformin dengan kontraindikasi,

 beberapa penelitian klinis telahmengevaluasi keamanan penggunaan

metformin pada pasien dengan

kontraindikasi metformin. Alawadhi et al. 

menyatakan terdapat beberapa kasus

hiperlaktatsemia tapi tidak ada kasus laktatasidosis dari analisa prospektif 106 pasien

diabetes mellitus tipe 2 dengan berbagai

kondisi klinis yang kontraindikasi dengan

 penggunaan metformin. Sama halnya, pada

analisa dari 194 penelitian, Salpeter dan

rekan-rekannya tidak menemukan kasus

laktat asidosis pada 36893 orang per tahun

 pada pasien yang diresepkan metformin.

Pada 26 studi dimana kadar laktat diukur,

tidak ada perbedan pada kadar laktat serum

antara metformin dan non golongan non biguanida (Khandwala,2004).

Studi pada 471 pasien diabetes mellitus

tipe 2 dengan berbagai kriteria

kontraindikasi (CrSr 132-220 µmol/l, CHF

 NYHA ( New York Heart Association)

klass III-IV, fungsi hati abnormal dengan

kadar plasma AST, ALT, GGT (Gamma

Glutamyl Transferase) atau alkalin fosfat

dua kali diatas normal, COPD (Congestif

Obstructive Pulmonary Disease), dan

sindrom koronari akut terhadap terapi

metformin , tidak ditemukan adannya

kasus laktat asidosis (Rachmani et al.,

2002).

Sedangakan Abbasi et al.  menemukan

kadar laktat yang tinggi dikaitkan dengan

CHF dan COPD pada pasien yang

menggunakan terapi metformin. (Alawadhi

et al ,2008).

Terlepas dari keamanan yang relatif dari

terapi metformin diatas,  American

 Diabetic Association  (ADA) dan United

 Kingdom Prospektif Studi  (UKDSP) telah

menyatakan metformin dapat digunakan

 pasien diabetes mellitus tipe 2 jika toleran

dan tidak kontraindikasi (Dipiro, 2005;

Champhel, 2000). Kontraindikasi tersebut

meliputi gagal jantung, insufisiensi ginjal,

sirosis hepatik, dan kondisi klinis yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoksemia

Page 11: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 11/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

114

 jaringan seperti sepsis, dehidrasi dan

koma. New York Heart Association juga

menyatakan gagal jantung stage II-IV pada

klasifikasi NYHA merupakankontraindikasi utama pada terapi

metformin (2-39 % pasien, n  >16,000)

(Maddalone, 2009). Jadi ini adalah standar

yang penting diperhatikan dalam

 penggunaan metformin pada

 penetalaksanaan terapi pasien diabetes

mellitus tipe 2.

Insiden terjadinya laktat asidosis yang

dikaitkan dengan penggunaan metformin

 pada sejumlah pasien diabetes mellitus tipe2 yang kontraindikasi dengan terapi ini

memang secara pasti tidak diketahui dan

tidak ditemukan selama penelitian.

 Namun, bukan berarti metformin dapat

digunakan secara luas pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 yang kontraindikasi. Hasil

ini sesuai dengan sejumlah besar

 penelitian yang menyatakan kasus laktat

asidosis berkaitan dengan penggunaan

metformin jarang terjadi, insidennya

diperkirakan 0,03 kasus per 1000 pasien

(DG, 2006; Kluwer 2009), studi populasi

Saskatchewan yang menyebutkan insiden

laktat asiosis karena penggunaan

metformin 9 kasus per 100000 pasien tiap

tahunnya (Linn, 2009). Namun,

kemungkinan untuk bisa terjadi masih ada

tergantung kondisi klinis pasien dan

akumulasi metformin didalam darah.

Untuk itulah diperlukan pengecekan yang

akurat dan tepat terhadap kondisi pasien,terutama pasien dengan fungi ginjal

menurun, gangguan jantung, hati dan

hipoksia jaringan.

Menurut suatu penelitian, laporan kasus

terjadinya laktat asidosis berkaitan dengan

 pengunaan metformin lebih banyak

disebabkan gabungan laktat asidosis tipe A

dan tipe B (akumulasi metformin dan

 penyakit penyerta) oleh penyakit penyerta

 pada tingkat yang parah berkaitan sepertigagal jantung NYHA kelas II-IV, gagal

ginjal dengan kreatinin serum > 1,4 dan >

1,5 mg/dl, sirosis hati dan sepsis serta

kondisi hipoksia jaringan. Kondisi ini

mengakibatkan terjadinya metabolismeanaerob yang dapat berpotensi timbulnya

laktat asidosis, di barengi juga dengan

 penggunaan metformin, akan semakin

memperburuk keadaan. (Swellen, 2007).

Metformin menurunkan ambilan laktat

oleh hati, keadaan ini menyebabkan

 produksi laktat semakin meningkat

sedangkan klirennya menurun karena

 perfusi ginjal yang rendah, kadar

metformin juga tinggi karena sulitdiekresikan, hati pun mengalami kegagalan

dalam menyerap laktat yang berlebih,

mengakibatkan akumulasi laktat tinggi

didalam darah, pH darah menjadi lebih

asam, akibatnya berujung pada kematian.

(Wolters, 2009; Sheehan, 2003)

Banyak faktor yang dapat mengkontribusi

terjadinya laktat asidosis. Metformin

adalah obat penting untuk terapi diabetes.

kerjanya yang dapat mengurangi efek

makrovaskular pada diabetes dan tidak

mengakibatkan peningkatan berat badan

(Champhel, 2000; Tandon, 2007)) seperti

yang terlihat pada terapi lainnya,

menjadikannya sebagai pilihan utama

dalam penatalaksanaan diabetes mellitus

tipe 2. Kontraindikasi terhadap terapi

metformin umum terjadi pada pasien

diabetes mellitus tipe 2 tapi kebanyakan

kondisi ini tidak terlalu diperhatikan. Halyang sangat penting sekali untuk

mencegah penggunaan metformin pada

 pasien dengan faktor risiko yang multiple

 berkembangnya laktat asidosis. Hasil dari

 berbagai penelitian yang dilakukan baru-

 baru ini, merekomendasikan perlunya

menganalisa lagi standar kontraindikasi

metformin karena standar yang jelas

dipelukan untuk peresepan metformin

dengan kontraindikasi yang lebih spesifik.

Page 12: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 12/14

Page 13: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 13/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

116

Direktorat Bina Farmasi Komunitas & Klinik.(2006).  Pharmaceutical Care Untuk

 Penyakit Jantung Koroner. Jakarta :

Depkes RI.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas & Klinik.(2005).  Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta :Depkes RI.

Edwards, C. & Waker, R. (2003). Clinical

 Pharmacy and Therapeutics. (3th ed). New York : Churchill Livingstone.

Golay, A. (2008). Metformin and Body

Weight.  International Journal ofObesity, 32, 61-72.

Ilkka k, Juha R, Kimmo M, Perttu A, Krista K.(2002). Effect of Metformin on BloodPressure (A Study in Obese Non-Diabetic Patient with Hypertension).Clin Drug Invest  , 22, 347-354.

John, M.G., Giurini, Emily, A.C., Jeremy, J.C.(2007) Diabetes : “The Latest Trends in

Glycemic Control”. Clinics in Pediatric

 Medicine And Surgery , 24, 159-189.

Kasper, Dennis, L. (2005). Harrison’s :

 Manual of Medicine. (16th  ed). US :McGraw-Hill.

Kendal, D.M., et al l . (2009). Treatment ofType 2 Diabetes.  European Journal of Internal Medicine, 20, 5329-5339.

Kennedy, L & Herman, W.H. (2005). RenalStatus Among Patients Using Metformin

in A Primary Care Setting.  DiabetesCare Article, vol 28, no 4.

Khandwala, H.M. (2004). The Prevalence ofContraindications to The Use ofMetformin. Canadian Journal of

 Diabetes, 28 (4), 380-384.

Kluwer, W. (2009).  Drug Fact and

Comparisons. (Pocket Version 2009)

Linn, W.D., Wofford, M.R., O’keefe, M.E.,

Posey, L.M. (2009).  Pharmacotherapyin Primary Care. US: The McGraw-Hill.

Maddalone, T.M. (2009). Metformin Use inPatients With Diabetes and Heart Failure

:Cause for Concern?.  Diabetes

Spectrum, vol 22, no 1.

Matthaei, S.,Bierwirth, R., Fritsche, A.,Gallwitz, B., Harring, H.U., Joost, H.G.,Kellerer, M., Kloos, C.H., Kunt, T.,nauck, M., Schernthaner, G., siegel, E.,Thienel, F. (2008). Medical

antihyperglycaemic Treatment ofDoabetes mellitus Type 2.  Evidence

 Based Guide of The German Diabetes Association (DDG)

McEvoy, Gerald, K. (2008).  AHFS Drug Information. Bethesda, MD : AmericanSiciety of health-system Pharmacist.

Mogensen, C.E. (2007).  Pharmacotherapy of Diabetes : New Developments; Improving Life and Prognosis for

 Diabetic Patients. New York : Springer.

 Nisbet, J.C. (2004). Metformin and Serious

Advers Effect. Editorials, vol 180.

 Noble, J., Baerlocher, M.O., Silverberg, J.(2005). Management of Type 2 Diabetes

Mellitus : Role of Thiazolidinediones.Canadian Family Physician, vol 51,

683-687.

Rita R., Inna S., Zohar L., Bat-Sheva Z., YoavK., Mordchai R. (2002). Metformin in

Patiens With Type 2 Diabetes Mellitus:Reconsideration of traditional

Contraindications.  European Journal of Internal Medicine , 13, 428-433.

Saenz, A., Fernandez, E.I., Mataix, A., Ausejo,S.M., Roquei, F.M., Moher, D. ( 2009).Metformin Monotherapy for Type 2

Diabetes Mellitus. The CochraneCollaboration, issue 1.

Sheehan, M. T. (2003). Current TherapauticOption in Type 2 Diabetes Mellitus : APractical Approach. Clinical Medicine & Research, vol 1, no 3, 189-200.

Page 14: S2-2015-353957-bibliography.pdf

7/21/2019 S2-2015-353957-bibliography.pdf

http://slidepdf.com/reader/full/s2-2015-353957-bibliographypdf 14/14

 Hansen N., et al. J. Sains Tek. Far., 17(2), 2012

117

Sinclair, A. J. & Finucane, P. (2001). Diabetesin Old Age 2nd  Ed. Jonh wiley & Sons

ltd.

Speicher, E.C. & Smith, J. W. (1994). Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif . Jakarta : EGC

Suzuki, H. & Saruta, T. (2004).  Kidney and Blood Pressure Regulation. Vol 143.Switzerland : Karger.

Swellen, W. M. (2007). Contraindication toMetformin Therapy Among PatiensWith Type 2 Diabetes Mellitus.  Journal

 Pharmachy World & Science, vol 29, no6.

Tandon, V. R. (2007). Metformin Theraphy:Benefits Beyond Glicemic Control. International Journal of Diabetes, vol27, issue 1, 1-4.

Terry, L. & Schwinghammer. (2005).

 Instructor’s Guide to Accompany Pharmacotheraphy Casebook : A

 Patient- Focused Appoach. (6th ed). US :

The McGraw-Hill

Tiemey, L.M., McPhee, S.J., Papadakis, M.A.

(2007). Current Medical Diagnosis &Treatment . (46th ed). US : The McGraw-Hill.

Wells, B. G. (2006).  Pharmacotheraphy Handbook.  (6th  ed). US: The McGraw-Hill.

Yoburn, D. (2005). Lactate Acidosis

Associated With Metformin Use inTreatment of Type 2 Diabetes Mellitus.Geriatrics, 60, 36-41.