S KIM 0700372 Chapter2 - Digital...
-
Upload
duongxuyen -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of S KIM 0700372 Chapter2 - Digital...
12
.BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Gaya Kognitif
Teori belajar dan perkembangan intelektual merupakan dasar yang
membantu guru dalam memahami perbedaan faktor internal dari keragaman
karakteristik siswa dalam hal: mempersepsikan informasi, mengkodekan
informasi, mentransfer informasi, memindai (scanning) representasi informasi,
dan kapasitas kerja memori (Danili dan Reid, 2006). Selain itu, Kogan (Danili dan
Reid, 2006) menyatakan ada perbedaan karakteristik siswa dalam hal gaya
mengingat, berpikir, penilaian, dan keberagaman individu, secara tidak langsung
merupakan bagian dari kepribadian, yang setidaknya sangat berkaitan erat dengan
berbagai dimensi pada kepribadian non-kognitif. Adanya perbedaan pada faktor-
faktor tersebut menunjukkan bahwa siswa memiliki gaya kognitif yang berbeda,
yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal kecerdasan, kemampuan,
kepribadian dan prestasi. Tampaknya bahwa gaya kognitif pada diri seseorang
akan berpengaruh dalam hal kemampuan intelektual, keterampilan, kepribadian,
belajar mengajar (teaching and learning), dan kinerja.
Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa definisi gaya kognitif yang
diungkapkan oleh para ahli, di antaranya adalah Witkin, Moore, Goodenough, dan
Cox (Kozhevnikov, 2007), characterized cognitive styles as individual differences
in the way people perceive, think, solve problems, learn, and relate to others.
Menurut Messick (Danili dan Reid, 2006), cognitive styles are characteristic
modes of perceiving, remembering, thinking, problem solving, decision making
13
that are reflective of information processing regularities that develop in congenial
ways. Sedangkan Sarachoo (1997), menyatakan bahwa cognitive styles include
stable attitudes, preferences, or habitual strategies that distinguish the individual
styles of perceiving, remembering, thinking, and solving problems. Berdasarkan
definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan gaya kognitif
adalah karakteristik individu dalam menggunakan fungsi kognitif: berpikir,
mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi,
memproses informasi, dan seterusnya yang bersifat konsisten dan berlangsung
lama.
Pemecahan masalah (problem solving), menurut Tsaparalis (2009)
problem solving is well known as a composite activity involving various cognitive
functions that depend on the number and quality of available operative schemata
in long-term memory and on working memory capacity. Hal ini berarti pemecahan
masalah merupakan bagian dari penggunaan informasi yang ada berdasarkan
skemata operasional yang ada pada memori jangka panjang dan kapasitas kerja
memori sesuai model pemrosesan informasi. Pemecahan masalah yang dimaksud
adalah pemecahan soal, menurut Melters (Arifin, 1995), tahapannya adalah:
1. Tahap analisis masalah
2. Tahap pemecahan masalah yang meliputi memecahkan rumus standar,
meneliti hubungan antarkonsep, membuat transformasi.
3. Tahap melakukan perhitungan
4. Tahap pengecekan
14
2.2 Perbedaan Gaya Kognitif
Gaya kognitif mencerminkan cara seseorang menanggapi dan melakukan
sesuatu dalam kondisi yang berbeda. Gaya kognitif dalam penelitian ini adalah
gaya kognitif FD dan FI yang mencirikan satu dimensi persepsi, mengingat, dan
berpikir setiap individu dalam hal mempersepsikan, menyimpan, mengubah dan
memproses informasi (Saracho, 1997). Witkin, Moore, Goodenough, dan Cox
(Ruttun, 2009) menyatakan bahwa siswa dengan gaya kognitif FI dan FD
memiliki perbedaan. Implikasi gaya kognitif berdasarkan perbedaan psikologis
pada siswa dalam pembelajaran menurut Thomas (Ardana, 2008) adalah sebagai
berikut.
1) Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung memilih belajar dalam
kelompok, sesering mungkin berinteraksi dengan guru, dan memerlukan
penguatan yang bersifat ekstrinsik.
2) Siswa yang memiliki gaya kognitif FI cenderung memilih belajar
individual, merespon dengan baik, dan independen. Di samping itu, mereka
dapat mencapai tujuan dengan motivasi intrinsik.
Sedangkan menurut Garger dan Guild (Chu, 2008), hasil kajiannya
menyimpulkan bahwa ada perbedaan karakteristik siswa antara gaya kognitif FD
dan FI yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Siswa Gaya Kognitif FD dan FI Karakteristik Siswa FD Siswa FI
Cara menerima informasi
Penerimaan secara global Penerimaan secara analitis
Cara memahami struktur informasi
Memahami secara global struktur yang diberikan
Memahami secara artikulasi struktur yang diberikan atau
15
Karakteristik Siswa FD Siswa FI pembatasan.
Cara membuat perbedaan konsep dan keterkaitannya
Membuat perbedaan umum yang luas di antara konsep-konsep dan melihat hubungannya
Membuat perbedaan konsep tertentu dan sedikit tumpang tindih (overlap)
Orientasi dan kecenderungan siswa
Orientasi sosial. Cenderung dipengaruhi oleh teman-temannya
Orientasi personal. Cenderung kurang mencari masukan dari temannya
Kebutuhan konten materi yang dipelajari
Belajar materi dengan konten sosial menunjukan hasil terbaik
Belajar materi sosial jika hanya diperlukan
Ketertarikan dalam mempelajari suatu materi
Materi yang baik adalah materi yang relevan dengan pengalamannya
Tertarik pada konsep-konsep baru untuk kepentingannya sendiri
Cara penguatan diri Memerlukan bantuan luar dan penguatan untuk mencapai tujuan
Tujuan dapat dicapai sendiri dengan penguatan sendiri
Cara mengatur kondisi Memerlukan pengorganisasian Bisa dengan situasi struktur sendiri
Pengaruh kritikan Lebih dipengaruhi oleh kritikan
Kurang terpengaruh oleh kritikan
Metode dan cara belajar yang cocok
Pasif, menggunakan pendekatan penonton (ekspositori, ceramah, demonstrasi) untuk mencapai konsep. Memperhatikan petunjuk awal yang menonjol di luar relevansi
Aktif, menggunakan pendekatan pengetesan hipotesis (discovery, inkuiri, eksperimen) dalam pencapaian konsep. Memperhatikan contoh awal di luar konsep penting
Cara memotivasi diri Termotivasi secara ekstrinsik Termotivasi secara intrinsik
Daya tarik dan minat dalam belajar
Lebih menaruh perhatian pada hubungan social
Lebih berminat pada bidang sains dan matematika.
Cara menulis dan memahami informasi
Cenderung mencatat seluruh isi materi, tanpa memilah mana bagian yang penting dan kurang penting
Cenderung akan memilih bagian-bagian yang amat penting dari isi materi untuk dicatat
16
Daniels (Altun dan Cakan, 2006) menyimpulkan secara umum
kecenderungan siswa gaya kognitif FD dan FI. Siswa FD cenderung
mengandalkan persepsi dari lingkungan sekitar; memiliki kesulitan
memperhatikan, mengambil intisari, menggunakan petunjuk yang kurang
menonjol; sulit memberikan struktur informasi yang ambigu; sulit menyusun
informasi baru dan membuat hubungan dengan pengetahuan sebelumnya; sulit
mengambil informasi dari memori jangka panjang. Siswa FI cenderung mampu
melihat bagian bayangan yang terpisah dari suatu bentuk; dapat memisahkan
bagian yang relevan dari bagian yang tidak relevan pada suatu bentuk;
menyediakan struktur informasi yang terpisah dari informasi yang disajikan;
menyusun kembali informasi yang diberikan dari suatu konteks pengetahuan
sebelumnya; cenderung lebih tepat dalam mengambil bagian dari ingatan.
Sedangkan hasil temuan beberapa penelitian ada beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang yang memiliki kecenderungan bergaya kognitif FD atau
FI, di antaranya yaitu usia, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, pengasuhan anak,
dan keseimbangan bagian otak.
1. Usia: Penelitian Gurley (Chu, 2008) anak-anak pada umumnya adalah FD,
namun kecenderungan FI mereka akan meningkat ketika semakin dewasa.
Dewasa (khususnya siswa dewasa) cenderung lebih bergaya kognitif FI.
Menurut Witkin, et al. (Chu, 2008) setelah proses pendewasaan tersebut, FI
secara bertahap menurun sepanjang sisa hidupnya, pada orang tua cenderung
menjadi lebih FD dibandingkan dengan yang lebih muda.
17
2. Jenis kelamin: Penelitian Musser (Chu, 2008) menunjukan bahwa laki-laki
mendapatkan nilai tes FD/FI lebih baik daripada perempuan. Namun, pengaruh
jenis kelamin pada FD/FI pengaruhnya sangat kecil sehingga faktor ini tidak
terlalu signifikan.
3. Status sosial-ekonomi: Penelitian Forns-Santacana, et al. (Chu, 2008), siswa
dari kalangan kelas sosial-ekonomi bawah ditemukan kecenderungannya lebih
FD daripada siswa dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi tinggi.
4. Pengasuhan anak: Penelitian yang dilakukan Witkin (Chu, 2008) menunjukan
bahwa ketika ada penekanan yang kuat agar anak patuh (taat) terhadap
pengawasan orang tua sebagai kontrol dorongan dari luar, anak-anak akan
cenderung relatif menjadi FD. Ketika ada dorongan dalam keluarga bagi anak
untuk berkembang secara terpisah, kemandiriannya berfungsi, anak akan relatif
menjadi FI.
5. Keseimbangan otak kanan dan kiri: Penelitian Pizzamiglio dan Silverman, et
al. (Chu, 2008), menemukan seseorang yang kidal cenderung FD daripada
seseorang yang normal/menggunakan tangan kanan.
18
2.3 Belajar dan Hasil Belajar
Belajar adalah proses modifikasi atau perubahan prilaku ke arah yang baik
melalui pengalaman atau pelatihan. Belajar menurut teori kognitif adalah “a
process of gaining or changing insights, outlooks, expectations, or thought
patterns” (Yang, 2000). Teori ini mendefinisikan belajar dalam hal reorganisasi
persepsi atau kognitif untuk memperoleh pemahaman (Bigge dan Shermis dalam
Yang, 2000). Menurut Vygotsky (Yang, 2000), interaksi sosial dan budaya
merupakan kunci sukses dalam belajar.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya (Depdiknas, 2008). Benyamin Bloom (1956)
membagi hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotor yang digunakan dalam penilaian hasil belajar siswa di
Indonesia. Pada penelitian ini, hasil belajar yang dimaksud adalah hasil belajar
pada ranah kognitif. Hasil belajar tersebut meliputi pengetahuan level
makroskopik, pemahaman level submikroskopik, dan penguasaan level simbolik
pada materi sifat koligatif larutan.
2.4 Belajar Konsep
Menurut Rosser (Dahar, 2006), konsep adalah suatu abstraksi yang
mewakili suatu kelas obyek-obyek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau
hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut yang sama. Sehingga orang
mempunyai stimulus yang berbeda dalam membentuk konsep sesuai dengan
pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu. Gagne (Dahar, 2006),
belajar konsep merupakan satu bagian dari suatu hierarki dari delapan bentuk
19
belajar. Dalam hierarki ini, setiap tingkat belajar tergantung pada tingkat-tingkat
sebelumnya. Berdasarkan delapan hierarki belajar Gagne, belajar konsep dapat
dikemukakan dalam dua konsep yakni belajar konsep konkret dan dan belajar
konsep terdefinisi. Menurut Gagne, belajar konsep konkret memiliki prosedur
yaitu membuat respon yang sama pada stimulus-stimulus dengan atribut yang
mirip. Sedangkan belajar konsep terdefinisi memiliki prosedur yaitu
menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya untuk memperoleh
suatu konsep yang mendefinisikan.
Berdasarkan tingkat belajar yang telah disebutkan oleh Gagne, kedua
konsep mengenai belajar konsep dapat diterapkan dalam pembelajaran kimia.
Menurut Gagne, belajar konsep dibagi menjadi dua yaitu belajar konsep konkret
dan belajar konsep terdefinisi. Belajar konsep yang konkret dalam tingkat hierarki
Gagne dapat disejajarkan dengan konsep pembelajaran kimia pada level
makroskopik. Prosedur dalam belajar konkret dalam Gagne diperoleh dengan
pengamatan secara langsung melalui fenomena-fenomena yang ada, sedangkan
belajar konsep terdefinisi dalam Gagne diperoleh berdasarkan fenomena yang
telah dipelajari berupa definisi-definisi dari konsep awal. Belajar konsep
terdefinisi dalam tingkat hierarki Gagne dapat disamakan dengan konsep
pembelajaran kimia pada level submikroskopik dan simbolik yang bersifat abstrak
diperoleh dari penurunan pengetahuan konsep level makroskopik yang bersifat
konkret.
20
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Hasil Belajar
Hasil belajar siswa merupakan indikator atau gambaran keberhasilan guru
dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sehingga proses belajar dan hasil
belajar siswa merupakan salah satu problem yang tidak pernah habis dibicarakan
dalam dunia pendidikan. Banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar dan
hasil belajar antara lain faktor eksternal atau faktor dari luar diri siswa dan faktor
internal atau faktor dari dalam diri siswa (Slameto, 2010). Beberapa faktor
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Faktor eksternal meliputi faktor sekolah, faktor keluarga dan faktor
masyarakat (Slameto, 2010; Djaramah, 2002). (1) faktor sekolah di antaranya
adalah kurikulum, program, sarana dan fasilitas, guru, metode mengajar, relasi
guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran,
waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar,
pekerjaan rumah. (2) faktor keluarga diantaranya adalah cara orang tua mendidik,
relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, kondisi ekonomi keluarga,
pengertian orang tua dan latar belakang budaya. (3) faktor masyarakat di
antaranya adalah kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul,
dan bentuk kehidupan masyarakat.
Faktor internal meliputi faktor fisiologis dan faktor psikologis (Slameto,
2010; Djaramah, 2002). (1) faktor fisiologis di antaranya adalah faktor kesehatan
dan faktor cacat tubuh. Kondisi panca indra (mata, hidung, pengecap, telinga, dan
tubuh), buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, patah tangan, dan lain-
lain akan berpengaruh pada saat belajar berlangsung seperti membaca, melihat
21
contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen,
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan orang
lain dalam diskusi dan sebagainya. (2) faktor psikologis di antaranya adalah
minat, kecerdasan, bakat, motivasi, perhatian, kematangan, kesiapan, dan
kemampuan kognitif. Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai jembatan
untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat
dan berpikir. Menurut Slameto (2010), kemampuan kognitif tersebut merupakan
bagian dari gaya kognitif.
Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi
ke dalam otak manusia (Djaramah, 2002). Melalui persepsi manusia terus
menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan
melalui panca indra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan
penciuman (Slameto, 2010).
Mengingat adalah menarik kembali informasi yang tersimpan dalam
memori jangka panjang. Mengingat merupakan proses kognitif yang paling
rendah tingkatannya. Untuk mengkondisikan agar “mengingat” bisa menjadi
bagian belajar bermakna, tugas mengingat hendaknya selalu dikaitkan dengan
aspek pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai suatu konsep yang lepas
dan terisolasi (Widodo, 2005). Ada beberapa cara untuk dapat mengingat dan
menyimpannya dalam ingatan seperti teknik memo, jembatan keledai,
mengurutkan kejadian, membuat singkatan yang bermakna (Depdiknas, 2008).
Pada prinsipnya mengingat adalah penarikan kembali informasi dalam bentuk
22
kesan-kesan yang tersimpan di alam bawah sadar yang pernah diperoleh
sebelumnya.
Kemampuan kognitif yang terakhir adalah berpikir. Menurut Presseisen
(1985), berpikir merupakan suatu proses kognitif, yaitu suatu aktivitas mental
untuk memperoleh pengetahuan. Keterampilan berpikir dikelompokkan menjadi
keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks atau tingkat
tinggi. Dalam hal ini keterampilan berpikir dasar meliputi: menghubungkan
sebab-akibat, mentransformasi, serta menemukan hubungan dan memberikan
kualifikasi. Sedangkan proses berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi empat
kelompok, yaitu pemecahan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis dan
berpikir kreatif (Costa dalam Liliasari, 2009). Perkembanagn berpikir seorang
anak bergerak dari kegiatan berpikir konkret menuju berpikir abstrak (Djaramah,
2002). Perubahan berpikir ini bergerak sesuai dengan meningkatnya usia seorang
anak.
23
Siswa
Fisiologis
Kesehatan
Cacat Tubuh
Psikologis
Bakat
Motivasi
Perhatian
Kematangan
Minat
Kecerdasan
Kesiapan
Kemampuan Kognitif
Raw Input Proses Belajar Mengajar
Faktor Masyarakat
Out Put
Faktor Keluarga
Suasana rumah
Relasi antaranggota keluarga
Cara orang tua mendidik
Keadaan ekonomi keluarga
Pengertian orang tua
Latar belakang budaya
Media massa
Teman bergaul
Kegiatan siswa dalam masyarakat
Bentuk kehidupan masyarakat
Sarana dan Fasilitas
Guru
Metode mengajar
Relasi guru dengan siswa
Kurikulum
Program
Relasi siswa dengan siswa
Disiplin sekolah
Alat pelajaran
Waktu sekolah
Standar pelajaran di atas ukuran
Keadaan gedung
Metode belajar
Tugas rumah
Faktor Sekolah Hasil Belajar
Gambar 2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar dan Hasil Belajar
24
PROSES
PENGOLAHAN
FILTER
PERSEPSI
PENYIMPANAN
RUANG KERJA MEMORI
MENYIMPAN
MEMORI JANGKA
PANJANG
KONTROL FILTER
INFORMASI EKSTERNAL
IDE
PERISTIWA
KONSEP
MENGAMBIL
2.6 Model Pemrosesan Informasi
Sesuai dengan faktor kemampuan kognitif yang mempengaruhi hasil
belajar, Johnstone (2006) membuat model pemrosesan informasi mulai dari
tahapan persepsi, proses berpikir sampai cara mengingat kembali informasi yang
disimpan pada memori jangka panjang dalam bentuk struktur kognitif (Johnstone,
2006). Pemrosesan informasi dilihat dari sudut pandang penelitian kognisi dan
perkembangan kognitif dimana pikiran manusia diibaratkan sebagai komputer.
Dasar model pemrosesan informasi adalah berkaitan dengan dasar pengoprasian
mental: terutama bagaimana informasi diterima, diproses, disimpan dan diambil
kembali dari pikiran tiap individu (Chu, 2008). Model pemrosesan informasi
dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2 Model Pemrosesan Informasi Johnstone (Terjemahan dari Learning at the Macro Level: The Role of Practical Work.
Tsaparalis, 2009)
25
Model pemrosesan informasi ini didasarkan pada ide-ide dari teori belajar
Piaget. Selama belajar, informasi diperoses melalui tiga mode memori. Informasi
dari lingkungan luar pertama kali akan dirasakan (dipersepsikan) oleh memori
sensorik (panca indra), diolah dalam memori jangka pendek, kemudian
berasimilasi dan diakomodasi ke dalam memori jangka panjang lalu disimpan
sebagai struktur kognitif. Brunning, et al. (Chu, 2008), mengungkapkan bahwa
memori adalah kemampuan otak untuk memilih, memproses, menyimpan,
mempertahankan kemudian mengingat kembali informasi.
Dari perspektif pemrosesan informasi, ada tiga tahap utama dalam
pembentukan dan pengambilan memori:
1. Pengkodean (pengolahan dan penggabungan informasi yang diterima).
2. Penyimpanan (pembentukan memori permanen dari informasi yang
dikodekan).
3. Mengingat kembali (memanggil kembali informasi yang tersimpan dari
sebagai respon dari beberapa isyarat untuk digunakan dalam beberapa proses
atau aktivitas).
Model pemrosesan informasi lain juga dikembangkan untuk memahami
level submikroskopik yang bersifat abstrak yang dikembangkan melalui model
pengkodean berganda (dual coding model) dari teori Paivio. Teori ini menjadi
dasar pengembangan pembelajaran menggunakan multimedia untuk membantu
memahami level makroskopik, submikroskopik, dan simbolik berdasarkan teori
26
SENSOR MEMORI
KERJA MEMORI
REPRESENTASI MULTIMEDIA
MEMORI JANGKA PANJANG
Pesan Visual
Penetahuan awal
Menyeleksi Kata-kata
Menyeleksi Gambar
Pengorganisasian Gambar
Pengorganisasian Kata-kata
Pengintegrasian
Pesan Verbal
Mata
Telinga
Gambar
Suara
Model mental
visual
Model mental
verbal
kognitif yang di dalamnya mengandung sistem pengolahan informasi visual dan
verbal (Meyer, 2005).
Gambar 2.3 Teori Kognitif Pembelajaran Multimedia
(Terjemahan dari Cognitif Theory of Multimedia Learning. Meyer, 2005)
27
2.7 Pengetahuan Level Makroskopik, Pemahaman Level Submikroskopik,
dan Penguasaan Level Simbolik
Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari tentang materi, sifat fisis
dan kimia, perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi
(Denniston, et al., 2007; Silberberg, 2007; Smith, 2010). Dalam mempelajari ilmu
kimia, Kozma dan Russel (2005), mengkaitkannya dengan representasi kimia
yaitu “representations often refer to entities or processes that can not be observed
directly e.g., atoms, molecules, and reactions and can take a variety of forms e.g.,
structural diagrams, equations” (Mayer, 2005). Hal tersebut berarti representasi
kimia lebih merujuk pada objek atau proses yang tidak dapat diamati secara
langsung (misalnya atom, molekul, dan reaksi) dan dapat mengambil berbagai
bentuk (misalnya diagram, persamaan). Konsep representasi merupakan salah satu
pondasi praktik ilmiah, karena para ahli menggunakan representasi ini sebagai
cara utama dalam berkomunikasi dan memecahkan masalah.
Treagust, Chittleborough, dan Mamiala (Gilbert dan Treagust, 2009)
membedakan representasi kimia ke dalam tiga level (tingkatan) yaitu level
makroskopik, level submikroskopik, dan level simbolik. Kompetensi representasi
pada mata pelajaran kimia pada level makroskopik, level submikroskopik, dan
level simbolik menurut Kozma dan Russel (2005) merupakan “A set of skills and
practices that allow person to use a variety of representations, singly and
together, to think about, communicate, and act on aperceptual physical entities
and processes, as such molecules and their reactions” (Mayer, 2005). Hal ini
berarti kompetensi representasi dalam memahami tiga level representasi kimia
28
Representasi
Nyata
Level Makroskopik Nyata
Level Submikroskopik Nyata dan representasi dari model teorit is
Level Simbolik Representasi
merupakan seperangkat keterampilan dan praktik yang memungkinkan seseorang
untuk menggunakan berbagai representasi (level makroskopik, level
submikroskopik, dan level simbolik), baik secara tersendiri maupun secara
bersamaan, memikirkannya, berkomunikasi dan melakukan pemahaman pada
objek fisik dan prosesnya seperti molekul dan reaksinya. Hubungan pemahaman
ketiga level tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini:
Gambar 2.4 Tiga Level Representasi Kimia pada Materi
(Terjemahan dari Linking the Macroscopic and sub-microscopic Levels: Diagrams. Davidowitz dan Chittleborough, 2009)
Cakupan ketiga representasi kimia ini adalah: (1) Level makroskopik
mengacu pada pengamatan fenomena kimia yang secara langsung dialami oleh
siswa dari percobaan di labolatorium dan kehidupan sehari-hari seperti perubahan
warna, terbentuknya gelembung gas, terbentuknya endapan, pelarutan garam, pH
larutan dan perubahannya, dan perubahan suhu dalam reaksi kimia. Fenomena
kimia yang terjadi dapat dijelaskan berdasarkan sifat, bentuk, gerakan dan
interaksi partikel pada level submikroskopik seperti molekul, atom, ion dan
29
elektron. (2) Level submikroskopik merupakan penjelasan yang real dan tidak
kasat mata melalui pendekatan konsep teori kimia yang dapat digunakan untuk
menjelaskan susunan serta pergerakan partikel (ion, elektron, molekul, dan atom).
(3) Representasi level simbolik yaitu representasi yang melibatkan penggunaan
simbol-simbol kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yang meliputi rumus kimia,
persamaan reaksi, bentuk gambar, diagram, aljabar, grafik, mekanisme reaksi,
simbol kimia, struktur kimia, nomor, stoikiometri, perhitungan matematik,
analogi dan model kit (Treagust dan Chandrasegaran, 2009; Antonoglou,
Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust, Chittleborough, dan Mamiala, 2003; Wu,
Krajcik, dan Soloway, 2001).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa belajar kimia
adalah belajar ketiga level tersebut. Sesuai dengan karakteristiknya, bahwa ilmu
kimia merupakan ilmu yang didasari oleh teori sifat partikulat dari suatu materi
pada level submikroskopik dan makroskopik dimana tingkat submikrospiknya
yang dapat dijelaskan menggunakan model untuk mewakilinya (level simbolik).
Bila ada salah satu level yang tidak dipelajari di kelas berarti siswa belum belajar
ilmu kimia secara utuh. Karena setiap level memiliki peranan penting dalam ilmu
kimia, maka keberhasilan siswa dalam mempelajari ketiga level tersebut harus
menjadi bagian yang dievaluasi setelah proses pembelajarn selesai (Sopandi,
2009)
30
2.7.1 Pengetahuan Level Makroskopik
Menurut Johnstone (Savec, Sajovic dan Grm, 2009) pengetahuan siswa
pada level makroskopik diperoleh melalui fenomena yang dapat teramati langsung
menggunakan panca indra, baik secara kasat mata (melihatnya), menyentuhnya
dan membauinya seperti adanya perubahan warna, terbentuknya gelembung gas,
terbentuknya endapan, pelarutan garam, pH larutan dan perubahannya, dan
perubahan suhu dalam reaksi kimia. Kemampuan mengamati dan menghubungkan
fenomena level makroskopik ini dapat dilakukan melalui persepsi manusia yaitu
proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia
(Djaramah, 2002). Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan
hubungan dengan lingkungannya sesuai model pemrosesan informasi Johnstone.
Hubungan ini dilakukan lewat indranya, yaitu indra penglihatan, pendengaran,
peraba, perasa dan penciuman (Slameto, 2010). Kegiatan mengamati fenomena ini
dapat mengetahui fenomena yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.
Fenomena ini dapat diamati siswa melalui kegiatan praktikum, demonstrasi guru,
melihat video percobaan, atau mengamati peristiwa yang ada dalam kehidupan
sehari-hari (Sopandi, 2009). Bagi siswa, kegiatan ini merupakan bagian yang
paling menyenangkan. Bila bagian ini dihilangkan dari pembelajaran,
diperkirakan akan menurunkan ketertarikan siswa untuk belajar kimia (Sopandi,
2009). Setelah kegiatan mengamati, guru dapat menggunakan metode tanya jawab
untuk mengungkap pengetahuan yang berkaitan dengan hasil pengamatan dan
penjelasan siswa. Bila ditemukan adanya miskonsepsi segera dilakukan langkah
untuk mengoreksi miskonsepsi tersebut.
31
2.7.2 Pemahaman Level Submikroskopik
Pemahaman level submikroskopik pada fenomena-fenomena yang dapat
diamati (level makroskopik) seringkali terabaikan karena berbagai alasan.
Padahal, berbagai fenomena (seperti sifat-sifat materi dan fenomena lainnya yang
menyertai perubahan materi) timbul karena adanya interaksi berbagai partikel
pada level submikroskopik. Dengan demikian, fenomena atau gejala kimia yang
teramati (level makroskopik) dapat dijelaskan berdasarkan susunan dan struktur
partikel penyusun materi dan perubahannya (level submikroskopik). Bila
pemahaman secara mikroskopik tidak diberikan guru di kelas, tentunya akan
banyak ditemukan siswa yang sudah mempelajari berbagai fenomena
(makroskopik) baik itu melalui praktikum di kelas atau berdasarkan pengalaman
sehari-harinya, namun tidak dapat menjelaskan secara ilmiah fenomena yang
terjadi secara mikroskopik (Sopandi, 2009).
Pemahaman siswa mengenai penjelasan level submikroskopik memegang
peranan yang sangat penting. Berbagai temuan penelitian menunjukan bahwa
rendahnya pemahaman siswa akan struktur zat menjadi penyebab kesulitan-
kesulitan siswa dalam mempelajari kimia. Dengan pemahaman ini, siswa dapat
terhindar untuk menghapal penjelasan terhadap setiap fenomena dan memudahkan
siswa untuk memahami arti dari simbol-simbol yang digunakan (level simbolik).
Berdasarkan kajian terhadap berbagai hasil penelitian, Williamson dan Abraham
(Sopandi, 2009). menyimpulkan bahwa kesukaran belajar kimia banyak
disebabkan karena kurangnya pemahaman siswa mengenai apa yang terjadi pada
level submikroskopik.
32
2.7.3 Penguasaan Level Simbolik
Menurut Johnstone (Savec, Sajovic dan Grm, 2009) ilmu kimia lebih
sering menggunakan lambang matematik, rumus dan persamaan untuk
memperlihatkan hubungan level makroskopik dan submikroskopik. Penguasaan
level simbolik akan lebih mudah jika siswa telah menguasai pengetahuan level
makroskopik dan pemahaman level submikroskopik. Hal ini disebabkan karena
level simbolik merupakan terjemahan dari pengalaman atau peristiwa yang
teramati pada eksperimen dan representasi level submikroskopiknya ke dalam
bentuk simbol-simbol, rumus-rumus dan perhitungan. Biasanya siswa akan
merasa kesulitan jika pemahaman level simbolik ini tidak ditunjang oleh kedua
level tersebut.
Penguasaan level simbolik dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah soal perhitungan pada materi sifat koligatif larutan.
Tahapan pemecahan masalah soal perhitungan, menurut Melters (Arifin, 1995)
adalah:
1) Tahap analisis masalah
2) Tahap pemecahan masalah yang meliputi memecahkan rumus standar,
meneliti hubungan antarkonsep, membuat transformasi.
3) Tahap melakukan perhitungan
4) Tahap pengecekan
Bila ketiga level tersebut diperbandingkan, maka akan terlihat bahwa
belajar level submikroskopik dan level simbolik merupakan bagian yang
33
menuntut kemampuan berpikir abstrak. Sedangkan level makroskopik hanya
menuntut kemampuan berpikir konkret. Sehingga kemungkinan hasil belajar level
makroskopik akan lebih baik dibandingkan dengan level submikroskopik dan
simbolik. Walaupun demikian, jika melihat tingkat perkembangan intelektual
siswa SMA kelas XII seharusnya mereka sudah mampu berpikir abstrak dengan
baik.
2.8 Analisis Level Makroskopik, Submikroskopik dan Simbolik pada Materi
Sifat Koligatif Larutan
2.8.1 Pengertian Sifat Koligatif Larutan
Menurut Stoker (2010), A colligative property is a physical property of a
solution that depends only on the number (concentration) of solute particles
(molecules or ions) present in a given quantity of solvent and not on their
chemical identities. Sifat koligatif larutan mencakup penurunan tekanan uap
(vapor-pressure lowering), kenaikan titik didih (boiling-point elevation),
penurunan titik beku (freezing-point depression), dan tekanan osmotik (osmotic
pressure).
Pengetahuan level makroskopik pada materi sifat koligatif larutan meliputi
pengamatan tekanan uap dan penurunannya, titik didih dan kenaikannya, titik
beku dan penurunannya, serta peristiwa osmosis dan tekanan osmotik.
Pengetahuan level makroskopik pada sifat koligatif larutan dapat diperluas
melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Penguasaan level simbolik yang sangat erat hubungannya dengan konsep
sifat koligatif larutan yaitu kemolalan (m) dan fraksi mol (X).
34
1) Fraksi Mol
Komposisi zat-zat dalam larutan dapat dinyatakan dalam satuan fraksi mol
(x). Fraksi mol zat terlarut (x zat terlarut) menyatakan perbandingan jumlah mol zat
terlarut terhadap jumlah mol semua komponen dalam larutan.
x zat terlarut = dan berlaku x pelarut + x zat terlarut = 1
2) Konsentrasi Molal
Kemolalan atau konsentrasi molal (m) adalah jumlah mol zat terlarut per
satu kilogram pelarut.
Kemolalan (m) =
2.8.2 Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit
2.8.2.1 Penurunan Tekanan Uap Larutan
Menguap adalah gejala yang terjadi pada molekul-molekul zat cair
meninggalkan permukaan cairan membentuk fasa gas. Gejala ini disebabkan oleh
molekul-molekul pada bagian permukaan cairan memiliki energi yang dapat
mengatasi gaya antaraksi di antara molekul-molekul cairan. Gaya antaraksi
antarmolekul pada permukaan cairan dinamakan tegangan permukaan. Jadi,
molekul-molekul yang menguap memiliki energi lebih besar daripada tegangan
permukaan. Penjelasan tersebut digambarkan secara mikroskopik pada Gambar
2.5 di bawah ini. Berdasarkan pemahaman level submikroskopik sesungguhnya
dalam suatu wadah yang berisi air terjadi proses penguapan pada suhu tertentu.
mol zat terlarut jumlah mol semua komponen
mol zat terlarut (n) kg pelarut (w)
35
Gambar 2.5 Proses Penguapan Air
(Sumber: General, Organic, and Biological Chemistry. Smith, 2010)
1) Tekanan Uap
Kemudahan suatu zat menguap ditentukan oleh kekuatan gaya
antarmolekul (tegangan permukaan). Semakin lemah gaya antarmolekul semakin
mudah senyawa itu menguap. Pada suhu rendah, molekul-molekul zat dapat
meninggalkan permukaan cairan membentuk kesetimbangan dengan cairan yang
berada di permukaannya. Molekul-molekul fasa uap menimbulkan tekanan yang
disebut tekanan uap. Faktor-faktor yang memengaruhi tekanan uap salah satunya
adalah suhu. Semakin tinggi suhu zat cair, semakin besar tekanan uapnya (lihat
Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Suhu dan Tekanan Uap Air Suhu (oC) Po (H2O) (mmHg) Suhu (oC) Po (H2O) (mmHg)
0 4,58 50 92,57 5 6,54 60 149,4 10 9,21 70 233,7 20 17,54 80 355,1 30 31,82 90 525,7 40 55,35 100 760,0
Sumber: Chemistry Chemistry: The Practical Science. Kelter, et al., 2009
Saat menguap, molekul meninggalkan cairan ke gas
Saat kondensasi, molekul meninggalkan gas ke cairan
36
2) Penurunan Tekanan Uap (∆P)
Apa yang terjadi dengan tekanan uap jika ke dalam suatu cairan (misalnya,
air) dimasukkan zat yang tidak mudah menguap (misalnya, gula pasir)?
Gambar 2.6 Model Level Submikroskopik Proses Penguapan Air Murni dan Larutan
Gula (Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, et al., 2008)
Adanya zat terlarut nonvolatile (tidak mudah menguap) di dalam suatu
pelarut dapat menurunkan tekanan uap pelarut. Akibatnya, tekanan uap larutan
lebih rendah dari tekanan uap pelarut murninya. Fakta tersebut dapat dijelaskan
jika tekanan uap air murni lebih besar dari tekanan larutan yang mengandung zat
nonvolatile, dan adanya kesetimbangan dinamis antara fasa uap dan cairannya.
Oleh karena tekanan uap air murni lebih besar dari tekanan uap larutan gula maka
untuk mencapai keadaan kesetimbangan, uap air murni akan diserap oleh larutan
gula sampai tekanan uap di atas permukaan kedua cairan itu sama dan setimbang.
Proses tersebut secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.6. Proses
Air Larutan Gula
Manometer
37
tersebut menghasilkan perpindahan molekul-molekul air dari pelarut murni
melalui fasa uap ke dalam larutan gula sampai tekanan uap pada kedua permukaan
cairan mencapai kesetimbangan.
Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan
zat terlarut yang sulit menguap menyebabkan tekanan uap larutan lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut murninya. Pengetahuan level makroskopik dalam
kehidupan sehari-hari seharusnya mampu dipahami berdasarkan pemahaman level
submikroskopik tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 2.7, siswa seharusnya
mampu berpikir abstrak pada dua botol yang berisi pelarut murni dan berisi
larutan berdasarkan pemahaman level submikroskopik pada konsep penurunan
tekanan uap.
Gambar 2.7 (a) Pelarut Murni (H2O), (b) Larutan
Pemahaman Level Submikroskopik pada Pengetahuan Level Makroskopik Tekanan Uap antara Pelarut Murni dan Larutan
(Sumber: General, Organic, and Biological Chemistry. Smith, 2010)
(a) (b) Zat terlarut
38
3) Hukum Raoult
Semua larutan dengan zat terlarut nonvolatile (zat terlarut tidak dapat
terevaporasi dari larutannya) memiliki tekanan uap yang lebih rendah
dibandingkan dengan tekanan uap pelarut murninya (lihat Gambar 2.7). Suatu
larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-partikelnya disebut
larutan ideal, hukum yang mendasarinya adalah hukum Raoult, yang
menyatakan bahwa tekanan uap larutan (Plarutan) sebanding dengan fraksi zat
terlarut (xzat terlarut) dan tekanan uap pelarut murni (Popelarut). Secara matematis
(level simbolik) rumus hukum Raoult dapat dituliskan:
Plarutan = xpelarut•P0pelarut
Plarutan = (1- x zat terlarut)•P0pelarut
Plarutan = P0pelarut - x zat terlarut•P
0pelarut
P0pelarut - Plarutan = x zat terlarut•P
0pelarut
∆P = x zat terlarut•P0pelarut
Perubahan tekanan uap berbanding lurus dengan fraksi mol zat terlarut.
Keterangan :
Plarutan = Tekanan Uap Larutan (atm)
xpelarut = Fraksi mol Pelarut
P0pelarut = Tekanan Uap Pelarut Murni (atm)
x zat terlarut = Fraksi mol Zat Terlarut
∆P = Penurunan Tekanan Uap (atm)
39
2.8.2.2 Kenaikan Titik Didih Larutan
1) Hubungan antara Titik Didih dan Tekanan Uap
Titik didih adalah suhu dimana tekanan uap zat cair sama dengan tekanan
udara luar seperti terlihat pada Gambar 2.8. Berdasarkan Tabel 2.2, jumlah
tekanan uap air di atas permukaan cairannya bergantung pada suhu, semakin
tinggi suhu maka tekanan uap airnya semakin tinggi.
Gambar 2.8 Proses Air Mendidih pada Level Makroskopik dan Submikroskopik Sumber: Chemistry Chemistry: The Practical Science. Kelter, et al., 2009
Apabila suatu larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi pada suhu
tertentu, ini berarti bahwa molekul-molekul yang berada dalam larutan tersebut
melepaskan diri (menguap) dari permukaan larutan dengan mudahnya.
Apabila pada suhu yang sama, suatu larutan lain mempunyai tekanan uap
yang rendah, ini berarti bahwa molekul-molekul dalam larutan tersebut sulit
melepaskan diri (menguap).
40
Dari kedua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika dua larutan pada
suhu yang sama maka larutan dengan tekanan uap yang lebih tinggi adalah
larutan yang titik didihnya lebih rendah.
Efek dari fakta tersebut terhadap titik didih larutan. Apabila molekul-
molekul dalam larutan sedang melepaskan diri dengan mudahnya dari permukaan
larutan, ini berarti bahwa daya tarik intermolekuler relatif lemah. Dengan
demikian, tidak perlu suhu terlalu tinggi untuk memutuskan semua daya tarik
intermolekuler tersebut agar larutan mendidih. Larutan dengan tekanan uap yang
lebih tinggi pada suatu suhu tertentu adalah larutan yang titik didihnya lebih
rendah.
Larutan akan mendidih ketika tekanan uapnya menjadi sama dengan
tekanan udara luar. Apabila suatu larutan mempunyai tekanan uap yang tinggi
pada suhu tertentu, maka tidak perlu menambahkan tekanan uap agar menjadi
sama dengan tekanan udara luar. Di lain pihak, apabila tekanan uapnya rendah,
maka harus meningkatkan tekanan uapnya setinggi-tingginya sampai besarnya
menjadi sama dengan tekanan udara luar.
Berdasarkan pernyataan di atas, jika suatu pelarut murni (misalnya, air)
dibandingkan dengan suatu larutan (adanya zat terlarut) pada suhu yang sama
maka akan terlihat fenomena seperti pada Gambar 2.7, tekanan uap pelarut lebih
besar dibandingkan dengan larutannya. Artinya larutan memiliki tekanan uap
yang lebih rendah daripada pelarut murninya, hal tersebut terlihat dengan adanya
perbedaan dari tinggi air raksa di ruas kanan dan kiri manometer pada Gambar
41
2.6. Agar tekanan manometer pada ruas kanan dan kiri sama maka suhu pada
larutan sebelah kanan harus dinaikan.
(a) (b)
Gambar 2.9 (a) Pelarut Murni (H2O), (b) Larutan Gula Pemahaman Level Submikroskopik pada Pengetahuan Level Makroskopik
Titik Didih antara Pelarut Murni dan Larutan Gula Sumber: Illustrated Guide to Home Chemistry Experiments. Thomson, 2008
Kesimpulannya adalah adanya zat terlarut yang sulit menguap
menyebabkan tekanan uap larutan lebih rendah daripada pelarut murninya, maka
larutan akan mendidih pada suhu yang lebih tinggi daripada titik didih pelarut
murninya, pada tekanan luar yang sama.
2) Kenaikan Titik Didih Larutan
Dengan demikian adanya zat terlarut akan mengakibatkan kenaikan titik
didih latutannya. Perbedaan ini dapat digambarkan menurut diagram fasa pada
Gambar 2.10 berikut ini.
42
∆Tf dan ∆Tb masing-masing merupakan perbedaan titik beku dan titik didih antara pelarut dan larutan
Gambar 2.10 Diagram Perubahan Fasa dari Pelarut dan Larutan
Terjemahan dari Principles of general chemistry. Silberberg, 2007
Pada Gambar 2.10, titik didih larutan lebih besar daripada titik didih
pelarut murninya. Perbedaan titik didih larutan dan pelarut murninya pada
diagram perubahan fasa dinyatakan dengan simbol ∆Tb yang disebut kenaikan titik
didih. Besarnya ∆Tb sebanding dengan jumlah molekul relatif zat terlarut dan
pelarutnya. Molalitas (m) lebih digunakan untuk menyatakan konsentrasi (dari
pada fraksi mol dan persen massa) karena dihasilkan persamaan yang lebih
sederhana yang menghubungkan ∆Tb dan konsentrasi yang mengikuti persamaan-
persamaan sebagai berikut:
∆Tb = m.Kb
Keterangan : ∆Tb = kenaikan titik didih (oC)
m = molalitas zat terlarut (molal)
Kb = tetapan titik didih molal (oC/molal)
1 atm larutan
padat
cair
Pelarut murni
Titik beku larutan Titik beku pelarut murni Titik didih pelarut murni Titik didih larutan
suhu
T e k a n a n
43
Kb merupakan konstanta tetapan kenaikan titik didih molal (oC/molal),
konstanta kenaikan titik didih molal merupakan karakteristristik dari setiap pelarut
(lihat Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Titik Didih, Tb (pada 1 atm) dan Harga Kb Beberapa Pelarut Pelarut Tb (
oC) Kb (oC kg/mol)
Air (H2O) 100,0 0,51 Karbon tetraklorida (CCl4) 76,5 5,03 Kloroform (CHCl3) 61,2 3,63 Benzena (C6H6) 80,1 2,53 Karbon disulfida (CS2) 46,2 2,34 Etil eter (C4H10O) 34,5 2,02 Kamfor (C10H16O) 208,0 5,95
Sumber: Chemistry: An Atoms First Approach. Zumdahl, 2010
2.8.2.3 Penurunan Titik Beku Larutan
Perubahan wujud zat dari cair menjadi padat disebut pembekuan. Titik
beku suatu cairan adalah suhu pada saat jumlah partikel-partikel pelarut yang
membentuk fasa cair dan fasa padat berada dalam kesetimbangan.
Berdasarkan diagram fasa pada Gambar 2.10 adanya zat terlarut
menyebabkan titik beku larutan lebih rendah daripada pelarut murninya. Hal ini
disebabkan karena partikel zat terlarut merupakan gangguan bagi partikel pelarut
untuk saling berdekatan dan menyusun fasa padat yang teratur. Agar jarak partikel
semakin dekat dan bisa menyusun fasa padat yang teratur, diperlukan penurunan
suhu. Ketika suhu diturunkan maka akan terjadi kesetimbangan kembali antara
jumlah partikel-partikel. Dalam fasa padat, partikel zat terlarut tidak ikut terlarut
dalam padatan pelarut murni atau terpisah dari padatan pelarut murni, seperti
terlihat pada Gambar 2.11.
44
Gambar 2.11 Titik Beku Larutan Level Makroskopik dan Submikrosk opik
Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, 2008
Pada Gambar 2.11, ditunjukan model keadaan mikroskopik terjadinya
kesetimbangan dinamis pada titik beku larutan sehingga terjadi penurunan titik
beku larutan. Penurunan titik beku larutan adalah selisih antara titik beku pelarut
dengan titik beku larutan yang dinyatakan dengan simbol ∆Tf. Hubungan antara
∆Tf dan konsentrasi mengikuti persamaan-persamaan sebagai berikut:
∆Tf = m.Kf
Keterangan : ∆Tf = penurunan titik beku (oC)
m = molalitas zat terlarut (molal)
Kf = tetapan titik beku molal (oC/molal)
Kf merupakan konstanta tetapan penurunan titik beku molal (oC/molal),
konstanta penurunan titik beku molal merupakan karakteristristik dari setiap
pelarut (lihat Tabel 2.4).
es
molekul zat terlarut
45
Tabel 2.4 Titik Beku, Tf dan Harga Kf Beberapa Pelarut Pelarut Tf (
oC) Kf (oC kg/mol)
Air (H2O) 0 1,86 Karbon tetraklorida (CCl4) -22,99 30,0 Kloroform (CHCl3) -63,5 4,70 Benzena (C6H6) 5,50 5,12 Karbon disulfida (CS2) -111,5 3,83 Etil eter (C4H10O) -116,2 1,79 Kamfor (C10H16O) 179,8 40,0
Sumber: Chemistry: An Atoms First Approach. Zumdahl, 2010
2.8.2.4 Tekanan Osmotik Larutan
Osmosis adalah proses spontan dimana molekul pelarut melewati
membran semipermeabel dari larutan yang konsentrasi zat terlarutnya rendah ke
larutan yang konsentrasi zat terlarutnya tinggi (Whitten, 2008). Membran
semipermeabel adalah benda yang hanya dapat dilewati oleh molekul-molekul
pelarut (air).
(a) (b)
Gambar 2.12 Peristiwa Osmosis: (a) Keadaan Awal; dan (b) Keadaan Akhir Sumber: General, Organic, and Biochemistry. Denniston, 2008
Contoh peristiwa osmosis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah
mentimun yang ditempatkan dalam cairan garam akan kehilangan airnya akibat
osmosis sehingga terjadi pengerutan. Peristiwa tersebut dapat dilihat pada
46
Gambar 2.12, terlihat ukuran mentimun pada keadaan awal lebih besar
dibandingkan setelah terjadi peristiwa osmosis.
Pada suatu percobaan, digunakan sebuah tabung U yang dipisahkan oleh
membran semipermeabel untuk memisahkan larutan gula dengan air seperti yang
terlihat pada Gambar 2.13. Pada Gambar (a) terlihat jumlah molekul air yang
melewati membran semipermeabel lebih besar dibandingkan dengan jumlah
molekul air dari larutan gula. Sehingga setelah selang beberapa waktu terjadinya
pristiwa osmosis, volume larutan gula menjadi lebih besar namun konsentrasinya
menjadi lebih kecil (Gambar b). Akibat adanya kenaikan volume larutan, maka
ada tekanan yang menekan keluar molekul air dari larutan gula melewati
membran. Tekanan pada saat tersebut dinamakan tekanan osmotik.
(a) (b) (c) Gambar 2.13 Percobaan Osmosis: (a) Sebelum Peristiwa Osmosis, (b) Ketika
Berlangsung Peristiwa Osmosis, dan (c) Setelah Terjadi Tekanan Osmotik Sumber: Chemistry: Concepts and Applications. Phillips, et al., 2002
Sukrosa Air murni
Molekul sukrosa
Membran semipermeabel
Tekanan osmotik
Molekul air
Diberikan tekanan tambahan
47
Tekanan osmotik merupakan tekanan hidrostatik, yang dihasilkan dari
proses osmosis, untuk mengimbangi tekanan dari molekul-molekul pelarut pada
larutan yang konsentrasinya lebih rendah.
Harga tekanan osmotik berbeda untuk setiap konsentrasi. Hubungan antara
konsentrasi larutan dan tekanan osmotik pada suhu tertentu dirumuskan oleh
Jacobus Henricus Van’t Hoff sebagai berikut.
π = M.R.T
Keterangan:
π = tekanan osmotik (atm)
M = molaritas larutan (molar)
T = suhu mutlak (K)
R =tetapan gas ideal (0,082 L atm mol-1 K-1)
2.8.3 Sifat Koligatif Larutan Elektrolit
Elektrolit adalah suatu larutan yang dapat menghasilkan ion-ion dalam
larutan, yang ditunjukan dengan sifat larutannya yang dapat menghantarkan
listrik. Berdasarkan daya hantarnya, elektrolit diklasifikasikan ke dalam elektrolit
kuat dan elektrolit lemah. Sebagai contoh, gula termasuk nonelektrolit,
CH3COOH termasuk elektrolit lemah dan K2CrO4 termasuk elektrolit kuat dengan
air sebagai pelarut, seperti terlihat pada Gambar 2.14. Reaksi yang terjadi pada
ketiga zat tersebut ketika dilarutkan dengan pelarut air adalah sebagai berikut:
Larutan nonelektrolit: C12H22O11 (s) → C12H22O11 (aq) 1 molekul
Larutan elektrolit lemah: CH3COOH (l) ↔ CH3COO- (aq) + H+ (aq) 2 ion
48
Larutan elektrolit kuat: K2CrO4 (s) → 2K+ (aq) + CrO4-2 (aq) 3 ion
Secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2.14 di bawah ini.
(a) (b) (c)
Gamabar 2.14 Daya Hantar Listrik Larutan: (a) Nonelektrolit, (b) Elektrolit Lemah, dan (c) Elektrolit Kuat
Sumber: The Foundations of Chemistry. Whitten, 2008
Hubungan antara jumlah mol zat terlarut dan jumlah mol ionik yang
terdapat dalam larutan telah dipelajari oleh Jacobus Henricus Van’t Hoff yang
dilambangkan dengan (i). Hasil pengamatan hubungan harga i (faktor Van’t Hoff)
dengan konsentrasi disajikan pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.5 Hubungan Harga i (Faktor Van’t Hoff) dengan Konsentrasi Larutan
Senyawa Perkiraan harga i
Konsentrasi (m) 0,005 0,01 0,05 0,10 0,20 1,00 2,00
HCl 2 1,95 1,94 1,90 1,89 1,90 2,12 2,38 NH4Cl 2 1,95 1,92 1,88 1,85 1,82 1,79 1,80 CuSO4 2 1,54 1,45 1,22 1,12 1,03 0,93 — CoCl2 3 2,80 2,75 2,64 2,62 2,66 3,40 4,58 K2SO4 3 2,77 2,70 2,45 2,32 2,17 — —
Sumber : Chemistry: The Practical Science. Kelter, 2009
49
Dengan demikian, faktor i berhubungan dengan kekuatan elektrolit.
Kekuatan elektrolit dicirikan oleh derajat ionisasi (α) dari senyawa elektrolit itu.
Hubungan derajat ionisasi tersebut adalah sebagai berikut:
i = {1+ (n-1)α} dimana α =
untuk nonelektrolit, nilai α = 0; dan untuk elektrolit kuat, nilai α = 1; sementara
untuk elektrolit lemah berlaku : 0 < α < 1.
Adanya faktor Van’t Hoff ini membedakan harga sifat koligatif antara
larutan elektrolit dengan nonelektrolit. Perbedaan rumus perhitungan sifat
koligatif larutan elektrolit dengan larutan non-elektrolit dapat dilihat pada Tabel
2.6 berikut ini.
Tabel 2.6 Perbedaan Rumus Sifat Koligatif Larutan Nonelektrolit dan Elektrolit
Konsep sifat koligatif Nonelektrolit Elektrolit Penurunan tekanan uap (∆P)
∆P = x zat terlarutxP0pelarut ∆P = x zat terlarutxP0
pelarutxi Kenaikan titik didih (∆Tb) ∆Tb = mxKb ∆Tb = mxKbxi Penurunan titik beku (∆Tf) ∆Tf = mxKf ∆Tf = mxKfxi Tekanan osmotik (π) π = MxRxT π = MxRxTxi
2.9 Hasil Penelitian yang Mendukung
Menurut Overton dan Potter (2007), gaya kognitif FD/FI merupakan faktor
penentu dalam prestasi akademik. Laporan beberapa hasil penelitian menunjukan
bahwa gaya kognitif menjadi salah satu faktor signifikan yang dapat
mempengaruhi prestasi siswa pada mata pelajaran di sekolah (Altun dan Cakan,
2006). Menurut Witkin et al. (Kozhevnikov, 2007), individu dengan gaya kignitif
Jumlah mol elektrolit yang terionisasi Jumlah mol elektrolit itu sebelum terionisasi
50
FI akan lebih kreatif dan cenderung mengalami banyak perubahan kreativitas
yang lebih beragam dan dapat beradaptasi. Dalam sebuah penelitian, Dwyer dan
Moore (Altun dan Cakan, 2006) melaporkan bahwa hasil tes siswa FI lebih
unggul daripada siswa FD pada lembaga pendidikan yang berbeda di Amerika
Serikat. Pada studi lain, Murphy, Casey, Day, dan Young (Altun dan Cakan,
2006), menemukan hubungan prestasi akademik dan gaya kognitif mahasiswa
program manajemen informasi di Kanada, mahasiswa FI lebih baik daripada
mahasiswa FD. Berdasarkan penelitian Tsaparalis (Overton dan Potter, 2007),
siswa FD sulit memisahkan antara informasi yang relevan dengan yang tidak
relevan atau sinyal noise. Sedangkan Niaz dalam Overton dan Potter, 2007), siswa
FD akan memproses sinyal dan noise sehingga akan menggunakan lebih banyak
fungsi kapasitas mental (M-capacity) dibandingkan dengan siswa FI yang hanya
memproses sinyal.
2.9.1 Level Makroskopik
Pada dasarnya level makroskopik merupakan kegiatan eksperimen atau
pengalaman yang dapat dilihat siswa. Dasar dari ilmu sains adalah kemampuan
dalam hal mengobservasi dan memahami suatu fenomena dalam kehidupan
sehari-hari. Pengetahuan level makroskopik diperoleh melalui pengamatan
menggunakan panca indra baik secara kasat mata, menyentuh dan membauinya
(Johnstone dalam Savec, Sajovic, dan Grm, 2009). Berdasarkan hasil penelitian
dalam pendidikan sains (kimia, fisika, matematika, ilmu komputer dan IPA)
menunjukan bahwa skor siswa FI secara signifikan lebih tinggi daripada siswa FD
di tingkat universitas dan sekolah menengah (Danili, Bahar, Gray, Alamolhodaei,
51
Ziane, Al-Naeme, El-Banna dalam Chu, 2008). Selain itu, Tinajero dan Paramo
(Ghani, 2004) meneliti hubungan antara gaya kognitif dan prestasi siswa pada
beberapa pelajaran (Bahasa, Matematika, IPA dan IPS) memberikan hasil variasi
yang signifikan dalam kinerja keseluruhan, siswa FI mengungguli siswa FD.
2.9.2 Level Submikroskopik
Level submikroskopik merupakan penjelasan yang real dan tidak kasat mata
melalui pendekatan konsep teori kimia yang dapat digunakan untuk menjelaskan
susunan serta pergerakan partikel (ion, elektron, molekul, dan atom) (Treagust dan
Chandrasegaran, 2009; Antonoglou, Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust,
Chittleborough, dan Mamiala, 2003; Wu, Krajcik, dan Soloway, 2001). Hasil
penelitian Dickstein (Alamolhodaei, 1996), menemukan bahwa siswa FI
menunjukkan kesiapan lebih besar secara signifikan pada pencapaian konsep
daripada siswa FD. Penelitian lain dilakukan oleh Goodenough (Alamolhodaei,
1996), juga mencatat bahwa siswa FI umumnya lebih baik daripada siswa FD
dalam pencapaian pemahaman konsep. Menurut Satterly (Thomas, 1990) bahwa
FI berkorelasi dengan kemampuan ruang ketika IQ dikontrol (Ardana, 2008).
Banyak penelitian menemukan bahwa siswa FI lebih tertarik pada pelajaran yang
abstrak dan teoritis daripada siswa FD (Alamolhodaei, 1996). Hasil kajian Witkin
(Alamolhodaei, 1996), menunjukan bahwa siswa FI lebih baik dalam kemampuan
kognitif dan strukturisasi pelajaran sains dan abstrak daripada siswa FD yang
lebih baik pada konteks sosial dan konkret.
52
2.9.3 Level Simbolik
Level simbolik yaitu representasi yang melibatkan penggunaan simbol-
simbol kimia secara kualitatif dan kuantitatif, yang meliputi rumus kimia, aljabar,
simbol kimia, struktur kimia, nomor, stoikiometri, dan perhitungan matematik,
(Antonoglou, Charistos, dan Sigalas, 2006; Treagust, Chittleborough, dan
Mamiala, 2003). Menurut Satterly (Thomas, 1990) bahwa FI berkorelasi dengan
kemampuan matematika ketika IQ dikontrol (Ardana, 2008). Penelitain lain,
Roberge dan Flexr (Alamolhodaei, 1996), menunjukan bahwa nilai siswa Sekolah
Dasar (SD) bergaya kognitif FI secara signifikan lebih tinggi daripada siswa FD
pada tes matematika dan problem solving. Sedangkan hasil penelitian Adams dan
McLeod (Alamolhodaei, 1996), menemukan bahwa siswa FI lebih baik
menggunakan metode belajar penemuan dan siswa FD lebih baik menggunakan
metode ekspositori pada pelajaran matematika. Christou (Alenez, 2008),
menemukan bahwa nilai siswa FI lebih baik daripada siswa FD pada soal cerita
aljabar. Sedangkan Alenez menemukan hasil yang serupa dengan korelasi yang
sangat signifikan perbedaan antara nilai siswa FD dan FI pada matematika
(Alenez, 2008).