s apa r edaksi

49

Transcript of s apa r edaksi

Page 1: s apa r edaksi
Page 2: s apa r edaksi

R E D A K S I

Penanggung Jawab Direktur Jenderal Multilateral

Redaktur

Sesditjen Multilateral Direktur HAM & Kemanusiaan

Direktur KIPS Direktur PELH Direktur PPIH

Direktur Sosbud OINB

Penyunting Wakil-wakil dari:

Setditjen Multilateral Direktorat HAM & Kemanusiaan

Direktorat KIPS Direktorat PELH Direktorat PPIH

Direktorat Sosbud OINB

Alamat Redaksi: Setditjen Multilateral

Kementerian Luar Negeri Gedung Eks BP-7 Lt. 9

Jl. Taman Pejambon 6, Jakarta 10110

Telp. +6221-3848464 Fax. +6221-3849411

Email: [email protected]

D A F T A R I S I

Sapa Redaksi ......................................................................... 1

Artikel:

Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia ....................................... 2

Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem:

Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda ................ 7

KTT ke-12 OKI: OKI Harus Jadi Net Contributor

Perdamaian dan Pembangunan Global ...................................... 12

Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan

Lintas Batas ................................................................................ 15

The Rise of Social Media in Diplomacy:

Indonesia’s Response ................................................................. 20

Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba:

Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012 ........................................ 29

Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di

Filipina Selatan ........................................................................... 33

Pengarusutamaan Gender di Indonesia ..................................... 36

Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik ............. 39

Sekilas Info Multilateral ........................................................ 41

Agenda Diplomasi Multilateral ............................................... 44

Isi tulisan dalam Buletin ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat institusi. Penggandaan atau pengutipan isi tulisan untuk keperluan penelitian atau pengajaran diizinkan dengan mengutip sumber dengan jelas. Penggandaan dan pengutipan untuk tujuan lain harus dengan izin.

Page 3: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 1

Diplomasi Multilateral

S A P A R E D A K S I

Pembaca yang budiman,

Kami kembali menyapa dengan edisi terbaru Buletin Diplomasi Multilateral, Volume II No. 2

Tahun 2013. Selama beberapa bulan terakhir, diplomasi multilateral Indonesia disibukkan

dengan beberapa agenda, yang paling menonjol di antaranya adalah pertemuan High Level

Panel of Eminent Persons of the Post-2015 Development Agenda (HLP).

Setelah pertemuan sebelumnya di New York dan London pada tahun 2012, tahun ini per-

temuan HLP diselenggarakan di Monrovia (Liberia), Bali, dan terakhir New York disertai

penyerahan laporan akhir HLP oleh Presiden SBY kepada Sekjen PBB. Dalam edisi ini, kami

menyajikan ulasan mengenai hasil keseluruhan proses pertemuan HLP dengan judul “Me-

nuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem.”

Selain itu ada juga beberapa agenda lain seperti KTT ke-12 OKI di Mesir, pertemuan Bali

Process ke-5, dan agenda rutin pengiriman Tim Pengamat Indonesia (TPI) untuk memoni-

tor proses perdamaian di Filipina Selatan. Tulisan-tulisan dalam edisi kali ini merefleksikan

beberapa kegiatan tersebut.

Secara umum, diplomasi multilateral Indonesia menorehkan catatan semakin diperhitung-

kannya Indonesia di kancah internasional. Kita layak berbangga, sekaligus terus berupaya

bersama-sama supaya catatan itu tetap terjaga dan terus membaik.

Selanjutnya, voila, kami ucapkan selamat membaca.

Salam,

Redaksi

Page 4: s apa r edaksi

2 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Wajah Diplomasi Multilateral Indonesia Ary Raharjo dan Shohib Masykur

ejak bergulirnya reformasi pada ta-

hun 2008, Indonesia terus melaku-

kan pembenahan di dalam negeri.

Perekonomian terus membaik. Demokrasi

semakin matang. Hal ini berimplikasi pada

semakin meningkatnya profil Indonesia di

mata dunia internasional. Akibatnya, Indo-

nesia semakin diperhitungkan di berbagai

forum multilateral. Modal tersebut menye-

diakan ruang bagi Indonesia untuk berpe-

ran secara lebih aktif dan memberikan kon-

tribusi yang lebih signifikan dalam upaya

penetapan norma-norma (norms setting)

internasional, baik di berbagai badan dan

forum PBB maupun di berbagai organisasi

internasional lain di luar PBB.

Peran tersebut antara lain dapat digambar-

kan dari terpilihnya Indonesia sebagai ang-

gota badan/dewan eksekutif atau ketua di

berbagai forum multilateral penting di du-

nia, baik sebagai negara maupun individu.

Misalnya, Indonesia berhasil terpilih seba-

gai anggota Dewan Keamanan PBB periode

2007-2008. Hal ini merupakan bentuk

pengakuan dunia internasional atas peran

Indonesia dalam mengupayakan perda-

maian dunia. Indonesia juga terus terpilih

sebagai anggota Dewan HAM PBB sejak

tahun 2006 hingga kini. Ini adalah pertanda

adanya pengakuan internasional atas peran

Indonesia dalam pemajuan dan

perlindungan HAM. Selain itu, Indonesia

juga menduduki jabatan di sederet organi-

sasi internasional lainnya, seperti Economic

and Social Council (ECOSOC), International

Maritime Organization (IMO), International

Telecomunication Union (ITU), Universal

Postal Union (UPU), Food and Agriculture

Organization (FAO), United Nations Indus-

trial Development Organization (UNIDO),

dan lain-lain. Individu-individu Indonesia

juga dipercaya untuk memimpin atau men-

duduki jabatan-jabatan penting di organi-

sasi internasional, seperti di International

Law Commission (ILC), International Nar-

cotics Control Board ( INCB), World Meteo-

rological Organization (WMO), dan lain-lain.

Bidang Politik dan Keamanan Internasional

Komitmen atas amanat UUD 1945 untuk

ikut melaksanakan ketertiban dunia di-

wujudkan melalui kontribusi aktif Indonesia

pada misi-misi pemeliharaan perdamaian

PBB di berbagai belahan dunia. Peran ini

semakin menguat dari tahun ke tahun, tidak

hanya dari sisi jumlah namun juga dari segi

kualitas personel yang dikirim. Per akhir

Mei 2013, Indonesia berpartisipasi pada 7

misi pemeliharaan perdamaian PBB dengan

jumlah kontingen 1.826 personel, menem-

patkan Indonesia pada peringkat 13 negara

dunia pengirim pasukan terbanyak.

S

Page 5: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 3

Diplomasi Multilateral

Untuk meningkatkan peran dan kapasitas

personelnya yang ikut dalam misi pemeli-

haraan perdamaian tersebut, Indonesia

membentuk Indonesia Peace and Security

Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat. Seba-

gai apresiasi atas upaya ini, dan atas ke-

mampuan dan profesionalisme pasukan

Indonesia yang bertugas dalam berbagai

misi pemeliharaan perdamaian, Sekjen PBB

Ban Ki-moon berkunjung ke IPSC pada bu-

lan Maret 2012. Selain itu, Indonesia juga

berupaya memperkuat koordinasi dalam

pengiriman pasukan pemeliharaan perda-

maian dengan membentuk Tim Koordinasi

Misi Pemelihara Perdamaian (TKMPP) yang

juga bermarkas di Sentul.

Perlucutan senjata dan non-proliferasi me-

rupakan isu yang menjadi perhatian serius

Indonesia. Sebagai salah satu bentuk ko-

mitmennya untuk mewujudkan dunia yang

damai tanpa senjata nuklir, Indonesia telah

meratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh

Uji-Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear-

Test-Ban Treaty/CTBT). Selain itu, komit-

men Indonesia juga ditunjukkan dengan

peran aktif Indonesia sebagai Koordinator

Kelompok Kerja Perlucutan Senjata Gera-

kan Non-Blok.

Isu lain yang menjadi perhatian adalah te-

rorisme. Keberhasilan Indonesia dalam

memerangi terorisme memperoleh penga-

kuan dari dunia internasional, salah sa-

tunya ditunjukkan dengan keanggotaan

Indonesia pada Global Counter Terrorism

Forum (GCTF). Keberhasilan itu juga sema-

kin diakui dengan dibentuknya Jakarta

Center for Law Enforcement Cooperation

(JCLEC) di Semarang, Jawa Tengah.

Indonesia juga terus berperan aktif dalam

upaya mencegah penyelundupan manusia

dan perdagangan orang dengan bernisiatif

membentuk mekanisme intra-regional ber-

sama dengan Australia dan menggagas

penyelenggaraan Bali Regional Ministerial

Conference on People Smuggling, Traffick-

ing in Person and Related Transnational

Crime (BRMC) secara berkala. Forum terse-

but merupakan satu-satunya forum yang

mempertemukan antara negara pengirim,

negara transit, dan negara tujuan para imi-

gran internasional. Hingga kini, BRMC telah

diselenggarakan sebanyak lima kali.

Dalam rangka meningkatkan relevansi,

transparansi, dan keterwakilan seluruh

bangsa di dunia dalam PBB, Indonesia kon-

sisten mendukung upaya reformasi PBB,

khususnya Dewan Keamanan. Pengaruh

Indonesia antara lain ditunjukkan dengan

diterimanya sejumlah usulan Indonesia

pada berbagai pembahasan mengenai re-

formasi PBB. Indonesia juga berperan da-

lam upaya mengatasi berbagai konflik yang

timbul di berbagai belahan dunia. Dalam

konflik di Suriah, misalnya, Indonesia men-

dorong diterapkannya tiga elemen penting,

yaitu penghentian kekerasan, terbukanya

akses bantuan kemanusiaan, dan penyele-

saian konflik melalui proses politik.

Page 6: s apa r edaksi

4 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Bidang Ekonomi Pembangunan dan Ling-

kungan Hidup

Indonesia juga terus memanfaatkan forum-

forum multilateral untuk mencapai kepen-

tingan nasional di bidang ekonomi dan me-

ningkatkan pembangunan. Di World Trade

Organization (WTO), misalnya, Indonesia

berupaya mendorong fair trade dan penye-

lesaian Putaran Doha melalui partisipasi

aktif di berbagai grouping, seperti G-33 dan

Cairns Group. Peran aktif ini diakui dunia

internasional dengan dipilihnya Indonesia

sebagai tuan rumah KTM ke-9 WTO pada

bulan Desember 2013 mendatang.

Indonesia juga berkomitmen untuk men-

capai target Millennium Development Goals

(MDGs) sesuai tenggat waktu tahun 2015

dengan menyelaraskannya ke dalam Ren-

cana Pembangunan Jangka Panjang Na-

sional (RPJPN) 2005-2025. Kesungguhan

Indonesia ini diapresiasi oleh dunia inter-

nasional, yang antara lain ditunjukkan

dengan terpilihnya Presiden Susilo Bam-

bang Yudhoyono sebagai satu dari tiga co-

chairs High-Level Panel of Eminent Persons

on Post-2015 Development Agenda (HLP)

– sebuah panel yang dibentuk oleh Sekjen

PBB untuk memberikan rekomendasi

mengenai agenda pembangunan pasca-

2015.

Indonesia juga mendorong upaya mening-

katkan ketahanan pangan global dengan

berpedoman pada tiga aspek, yakni availa-

bility, accessibility, dan affordability. Seba-

gai wujud komitmen Indonesia, Presiden

SBY telah mengirimkan surat kepada Sek-

jen PBB pada bulan Maret 2008 guna me-

nyarankan segera dimulainya upaya global

mengatasi masalah ketahanan pangan dan

energi – sebuah saran yang ditanggapi po-

sitif oleh Sekjen PBB.

Peningkatan perekonomian Indonesia yang

berkelanjutan juga diakui oleh dunia inter-

nasional sehingga menempatkan Indonesia

sebagai anggota G20 – satu-satunya wakil

dari ASEAN. Indonesia juga diundang untuk

meningkatkan kemitraannya dengan OECD

dalam program Enhanced Engagement.

Meski telah masuk ke dalam jajaran nega-

ra-negara penting G20, Indonesia tetap

tidak melupakan kerja sama dengan nega-

ra-negara berkembang. Hal ini tercermin

antara lain dari peran serta aktif Indonesia

di Developing Eight (D-8), yang pernah di-

ketuai oleh Indonesia pada periode 2006-

2008, juga dalam kerja sama negara ber-

kembang lainnya, seperti OKI dan GNB.

Sementara dalam isu lingkungan hidup,

Indonesia menyadari betul pentingnya in-

tegrasi antara social inclusion dan envi-

ronmental protection. Dalam konteks ini,

diplomasi Indonesia diarahkan untuk men-

dorong komitmen global terhadap upaya-

upaya penanggulangan perubahan iklim.

Secara konkret, peran Indonesia ditunjuk-

kan dengan menjadi tuan rumah Confe-

rence of Parties (COP) ke-13 di Bali pada

Page 7: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 5

Diplomasi Multilateral

tahun 2007 yang menghasilkan terobosan

berupa dorongan untuk terciptanya kese-

pakatan global dalam penanganan peruba-

han iklim. Selain itu, sejak 2009 Indonesia

berkomitmen untuk menurunkan gas rumah

kacanya pada tahun 2020 hingga 26 per-

sen dari tingkat business as usual dan

hingga 41 persen apabila disertai bantuan

internasional. Komitmen suka rela ini meru-

pakan upaya Indonesia untuk memberi

contoh kepada negara lain, khususnya ne-

gara maju, agar mempunyai komitmen

yang sama.

Masih dalam kaitan perubahan iklim, Indo-

nesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar

ketiga dunia berinisiatif membentuk forum

Forest Eleven (F-11) pada tahun 2007. F-

11 merupakan koalisi sebelas negara pemi-

lik hutan tropis yang bertujuan untuk

mengedepankan pengelolaan hutan yang

lestari guna mendukung tercapainya per-

tumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,

mengurangi kemiskinan, serta mengurangi

dampak buruk dari perubahan iklim.

Bidang HAM dan Sosial Budaya

Sebagai negara demokratis yang menjun-

jung tinggi pemajuan dan perlindungan

HAM, citra Indonesia di bidang HAM sema-

kin positif. Hal ini terlihat saat Indonesia

menjalani Universal Periodic Review (UPR)

di Dewan HAM PBB untuk kedua kalinya

pada tahun 2012. Ketika itu, Indonesia di-

akui telah mengalami kemajuan pesat da-

lam pemajuan dan perlindungan HAM. Ko-

mitmen Indonesia dalam pemajuan dan

perlindungan HAM itu antara lain ditunjuk-

kan dengan meratifikasi berbagai instru-

men HAM internasional–delapan dari sem-

bilan instrumen HAM internasional utama

saat ini. Satu instrumen yang belum adalah

Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang

dari Penghilangan Paksa (International

Convention for the Protection of All Per-

sons from Enforced Disappearance/CPED)

yang saat ini tengah dibahas di DPR. Se-

bagai bentuk pengakuan internasional se-

kaligus wujud komitmen Indonesia, sejak

tahun 2004 hingga sekarang Indonesia se-

cara konsisten terus terpilih menjadi ang-

gota Dewan HAM PBB.

Keaktifan Indonesia dalam mendorong pe-

majuan dan perlindungan HAM juga dilaku-

kan di forum non-PBB dengan cara mengi-

nisiasi pembentukan Komisi HAM Perma-

nen dan Independen (Independent and

Permanent Human Rights Commis-

sion/IPHRC) OKI. Indonesia bertindak sela-

ku tuan rumah Pertemuan Pertama IPHRC

OKI di Jakarta pada bulan Februari 2012

dan wakil dari Indonesia terpilih sebagai

Ketua Komisi. Masih dalam konteks pema-

juan dan perlindungan HAM, Indonesia dan

Timor-Leste membentuk Komisi Kebenaran

dan Persahabatan (KKP)/Commission of

Truth and Friendship pada bulan Agustus

2005 untuk menyelesaikan masalah-

masalah residual antara kedua negara. Se-

lain untuk meng-address isu HAM, KKP

Page 8: s apa r edaksi

6 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

juga berperan meningkatkan hubungan

bilateral kedua negara.

Sebagai negara rawan bencana, Indonesia

berperan aktif di forum multilateral untuk

mendorong upaya pengurangan risiko ben-

cana (disaster risk reduction) dan mening-

katkan ketahanan (resilience) terhadap

bencana. Keberhasilan Indonesia

menangani bencana alam telah mengantar-

kan Presiden SBY meraih penghargaan

Global Champion for Disaster Risk Reduc-

tion dari PBB pada bulan Mei 2011.

Sementara itu, di bidang kesehatan Indone-

sia aktif mendorong dijadikannya keseha-

tan sebagai aspek penting dalam politik

luar negeri melalui pembentukan Foreign

Policy and Global Health (FPGH) pada ta-

hun 2006. Dalam kerangka WHO, Indonesia

berhasil mendorong dicapainya kesepaka-

tan dalam dalam hal pengaturan yang adil

menyangkut access and virus sharing.

Dalam rangka memajukan budaya nasional

Indonesia sebagai bagian dari budaya du-

nia, diplomasi aktif Indonesia di UNESCO.

telah berhasil memasukkan delapan situs

warisan budaya dan alam ke dalam daftar

warisan dunia (world heritage), antara lain

wayang (2008), keris (2008), batik (2009),

angklung (2010), dan Tari Saman (2011).

Saat ini, Indonesia merupakan salah satu

anggota Komite antar-pemerintah untuk

perlindungan warisan budaya takbenda

UNESCO periode 2010-2014.

Kesimpulan

Catatan di atas merupakan gambaran

umum dari diplomasi multilateral yang di-

lakukan Indonesia. Melihat tren yang ber-

kembang, tampak bahwa peran Indonesia

di kancah internasional semakin diperhi-

tungkan. Jika dapat menjaga stabilitas tren

ini dan memanfaatkan momentum yang

ada, besar harapan ke depan Indonesia

akan menjadi negara yang semakin ber-

pengaruh di dunia internasional.

Ary Raharjo adalah Kepala Sub-bagian pada Sekreta-riat Direktorat Jenderal Multilateral

Shohib Masykur adalah staf pada Sekretariat Di-rektorat Jenderal Multila-teral

Page 9: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 7

Diplomasi Multilateral

Menuju Dunia Tanpa Kemiskinan Ekstrem:

Catatan Proses HLP Post-2015 Development Agenda

Judha Nugraha dan Shohib Masykur

“Our vision and our responsibility are to end extreme poverty in all its forms in

the context of sustainable development and to have in place the building blocks

of sustained prosperity for all.”

alimat di atas adalah visi yang di-

ajukan High-Level Panel of Eminent

Persons on the Post-2015

Development Agenda (HLP) dalam laporan

yang berjudul “A New Global Partnership:

Eradicating Poverty and Transform Econo-

mies Through Sustainable Development”.

Visi ini merefleksikan perlunya agenda

pembangunan pasca-2015 yang bold and

ambitious but practical and achievable,

sebuah visi yang berani dan ambisius na-

mun praktis dan dapat dicapai.

HLP dibentuk berdasarkan mandat Resolusi

Majelis Umum PBB tahun 2010 dengan

tugas memberikan masukan mengenai

agenda pembangunan pasca-2015 dalam

bentuk laporan yang harus disampaikan

kepada Sekjen PBB paling lambat akhir Mei

2013. HLP diketuai bersama oleh Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Men-

teri David Cameron (Inggris), dan Presiden

Ellen Johnson Sirleaf (Liberia), dengan

anggota Panel terdiri dari 23 orang. Pada

tanggal 30 Mei 2013 lalu, Presiden SBY

telah menyerahkan laporan HLP kepada

Sekjen PBB Ban Ki-moon di New York, AS.

Dalam rangka menyusun masukan, Panel

berpijak dari pengalaman yang telah ada

sebelumnya, yaitu Millenium Development

Goals (MDGs). Proses yang berawal sejak

Millennium Declaration tahun 2000 ini telah

berhasil mencapai target memotong

setengah jumlah kemiskinan ekstrem dari

tingkat tahun 1990, bahkan target ini ter-

capai lima tahun lebih awal dari tenggat

waktu tahun 2015. Oleh karena itu, visi

Panel untuk menghapuskan kemiskinan

ekstrem dari muka bumi pada tahun 2030

dipandang sebagai visi agenda pembangu-

nan mendatang yang inspiratif.

MDGs memang masih menyimpan keku-

rangan. Meskipun tingkat penurunan ke-

miskinan dalam 13 tahun terakhir tercatat

sebagai yang tercepat dalam sejarah umat

manusia, namun MDGs masih mengguna-

kan silos approach dan tidak mengintegra-

sikan aspek ekonomi, sosial, dan

lingkungan dalam pembangunan berkelan-

jutan. MDGs juga tidak menyentuh aspek

tata kelola (governance) sebagai kondisi

kondusif untuk merealisasikan agenda

pembangunan. Dari sisi proses, meskipun

K

Page 10: s apa r edaksi

8 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

MDGs didasarkan pada Millennium Decla-

ration, namun penyusunan delapan goals

dilakukan secara tertutup oleh Sekretariat

PBB dan tidak melibatkan pembahasan

yang inklusif dengan berbagai pemangku

kepentingan. Maka, beranjak dari kesada-

ran akan kelemahan-kelemahan MDGs itu,

Panel dihadapkan pada tiga pertanyaan

berikut: Apa yang harus tetap dipertahan-

kan? Apa yang perlu diubah? Apa yang per-

lu ditambahkan? Dipertahankan karena

terdapat beberapa target MDGs yang belum

tercapai dan memerlukan kesinambungan

dalam penanganannya. Perubahan dan

penambahan karena tantangan pembangu-

nan pasca 2015 akan lebih kompleks dan

bersifat cross-cutting.

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan

tersebut, pertemuan demi pertemuan dige-

lar mulai dari pertemuan di New York (Sep-

tember 2012), London (November 2012),

Monrovia (Februari 2013), Bali (Maret

2013), hingga kembali ke New York (Mei

2013). Berbagai kalangan juga dilibatkan

agar dapat menghasilkan masukan yang

matang, inklusif, dan komprehensif: dari

kalangan pemerintah, parlemen, organisasi

masyarakat sipil, komunitas lokal, perem-

puan, orang muda, migran, para ahli, dan

kalangan bisnis. Secara keseluruhan, rang-

kaian pertemuan itu melibatkan lebih dari

5.000 organisasi dari 120 negara. Lebih

dari 850 komentar dan masukan tertulis

diterima oleh Panel.

5 Perubahan Transformatif

Laporan Panel menggarisbawahi bahwa

untuk merealisasikan agenda pembangu-

nan mendatang, kita tidak dapat lagi meng-

gunakan pendekatan business as usual,

melainkan diperlukan sebuah perubahan

transformatif. Dalam hal ini, Panel menga-

jukan lima perubahan transformatif (five

big transformative shifts) agar masyarakat

dunia dapat mengakhiri kemiskinan dan

mendorong pembangunan berkelanjutan.

Kelima perubahan transformatif tersebut

adalah sebagai berikut:

Pertama: Leave no one behind

Janji MDGs untuk mengakhiri kemiskinan

ekstrem harus tetap dijaga dan semua

orang tanpa terkecuali harus memperoleh

hak asasinya sebagai manusia dan menda-

patkan kesempatan ekonomi secara adil.

Karena itu, kelompok-kelompok yang sela-

ma ini terpinggirkan harus diberi perhatian.

Kedua: Put sustainable development at the

core

Pembangunan berkelanjutan harus diuta-

makan. Perubahan iklim dan kerusakan

lingkungan yang terjadi dengan cepat me-

nuntut umat manusia untuk bertindak se-

karang juga sebelum terlambat. Dalam hal

ini, negara maju memiliki peran khusus

untuk mengembangkan teknologi baru dan

Page 11: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │ 9

Diplomasi Multilateral

mengurangi konsumsi yang tidak berkelan-

jutan.

Ketiga: Transform economies for jobs and

inclusive growth

Untuk mengakhiri kemiskinan ekstrem dan

meningkatkan taraf hidup, diperlukan lom-

patan kuantum transformasi ekonomi. Se-

luruh negara memiliki tantangan untuk

memastikan ketersediaan pekerjaan yang

layak, dan pada saat yang sama bergerak

menuju pola hidup dan pekerjaan yang ber-

kelanjutan. Ini sangat penting mengingat

sumber daya alam bersifat terbatas.

Keempat: Build peace and effective, open

and accountable institutions for all

Bebas dari rasa takut, konflik, dan kekera-

san adalah hak manusia yang paling asasi.

Karena itu, perdamaian dan good gover-

nance harus diperlakukan sebagai elemen

pokok, bukan elemen tambahan. Pemerin-

tah yang jujur, akuntabel, dan responsif

terhadap kebutuhan rakyat adalah sebuah

keharusan.

Kelima: Forge a new global partnership

Barangkali ini adalah perubahan yang pal-

ing penting: menuju semangat solidaritas,

kerja sama, dan rasa saling bertanggung

jawab. Kemitraan global yang baru harus

bersandar pada pemahaman bersama ten-

tang kemanusiaan dan rasa saling meng-

hormati. Kemitraan itu harus melibatkan

tidak saja pemerintah tetapi juga orang-

orang miskin, penyandang cacat, perem-

puan, masyarakat sipil, komunitas lokal,

kelompok marjinal, lembaga multilateral,

kalangan bisnis, akademisi, dan kalangan

swasta lainnya.

Empat perubahan pertama lebih banyak

dilaksanakan di tataran nasional, sementa-

ra perubahan kelima mensyaratkan kolabo-

rasi global. Seluruh negara perlu terlibat

dalam implementasi kelima perubahan ter-

sebut sesuai dengan kapasitas dan ke-

mampuannya masing-masing. Dengan kata

lain, meskipun memiliki keterbatasan, se-

tiap negara perlu menunjukkan kontribu-

sinya sebagai bentuk rasa tanggung jawab

bersama. Di satu sisi, negara maju perlu

memberikan contoh dan kepemimpinan,

sedangkan di sisi lain, negara berkembang

perlu memberikan kontribusi yang nyata.

Di era globalisasi yang ditandai peningka-

tan peran aktor-aktor non-negara, kemi-

traan global perlu melibatkan bukan hanya

negara melainkan juga masyarakat dari

berbagai kalangan. Setiap dari kita me-

mainkan peranan. Pemerintah nasional,

misalnya, berperan sentral dan memiliki

tanggung jawab atas pembangunan di ne-

gara masing-masing serta memastikan

terjaminnya hak asasi manusia. Merekalah

yang menentukan target nasional, pajak,

kebijakan, perencanaan, dan peraturan

yang akan menjadi penerjemahan praktis

Page 12: s apa r edaksi

10 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

dari visi dan tujuan agenda pasca-2015.

Sementara kalangan bisnis merupakan mi-

tra pemerintah dalam mendorong pertum-

buhan ekonomi. Organisasi masyarakat

sipil memainkan peran dalam menyuarakan

orang-orang yang hidup dalam kemiskinan

dan mereka yang termarjinalkan. Begitu

juga dengan sektor-sektor lain yang me-

mainkan peran sesuai bidangnya masing-

masing.

2030: 12 Tujuan 54 Target

Panel menyepakati bahwa agenda pem-

bangunan pasca berakhirnya MDGs mem-

punyai rentang waktu antara tahun 2015

sampai tahun 2030. Jangka waktu 15 ta-

hun dirasa tepat karena jangka yang lebih

panjang akan kehilangan urgensinya men-

gingat perubahan dunia yang cepat, se-

mentara jangka yang lebih pendek akan

menyulitkan terjadinya perubahan trans-

formatif.

Melanjutkan kesuksesan MDGs yang

menggunakan pendekatan tujuan (goals)

dan target, dalam laporan akhirnya Panel

memberikan ilustrasi mengenai tujuan dan

target yang perlu diperhatikan dalam agen-

da pembangunan mendatang yang berjum-

lah 12 tujuan dan 54 target (sebagai cata-

tan, MDGs mencakup 8 tujuan dan 21 tar-

get). Tujuan tersebut bersifat SMART: spe-

cific, measurable, attainable, relevant, dan

time-bound.

Kedua belas tujuan tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Mengakhiri kemiskinan

2. Memberdayakan perempuan dan anak

perempuan serta mewujudkan keseta-

raan gender

3. Menyediakan pendidikan yang berkua-

litas dan pembelajaran sepanjang

hayat

4. Memastikan kehidupan yang sehat

5. Memastikan ketahanan pangan dan

nutrisi yang bagus

6. Mewujudkan akses universal atas air

dan sanitasi

7. Mengamankan keberlanjutan energi

8. Menciptakan lapangan kerja, penghi-

dupan yang berkelanjutan, dan per-

tumbuhan yang adil

9. Mengelola aset sumber daya alam se-

cara berkelanjutan

10. Memastikan kepemerintahan yang baik

dan institusi yang efektif

11. Memastikan masyarakat yang stabil

dan damai

12. Menciptakan lingkungan global yang

mendukung dan membangkitkan keua-

ngan jangka panjang

What’s Next?

Sesuai mandatnya, Laporan HLP akan

menjadi masukan bagi Sekjen PBB dalam

mendorong pembahasan agenda

pembangunan pasca-2015. Perlu disadari

bahwa HLP bukan merupakan satu-satunya

proses yang membahas agenda

Page 13: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │11

Diplomasi Multilateral

pembangunan pasca 2015. Terdapat ber-

bagai proses lainnya yang signifikan, anta-

ra lain adalah Open Working Group on Sus-

tainable Development Goals (OWG on

SDGs) yang dibentuk sebagai realisasi

mandat KTT Rio+20. Tantangan ke depan

adalah bagaimana mengerucutkan semua

proses pembahasan tersebut sehingga da-

pat berujung pada single and coherent

post-2015 development agenda.

Mencapai konsensus global mengenai

agenda pembangunan pasca-2015 meru-

pakan tantangan yang nyata. Proses yang

terbuka, transparan, dan inklusif sebagai

koreksi dari proses penyusunan MDGs ter-

dahulu bukan tanpa resiko. Menyatukan

pandangan seluruh negara anggota PBB

dapat menjadi proses yang panjang dan

berlarut-larut. Sebagai hasil kompromi,

intergovernmental process juga sulit

menghasilkan produk yang ambisius.

Di sinilah laporan Panel dapat memainkan

peran yang strategis. Tanpa mendikte, La-

poran ini diharapkan dapat menginspirasi

negara anggota PBB mengenai agenda

pembangunan yang bold and ambitious.

Sebagai sebuah rujukan, Laporan Panel

dapat menyingkat proses pembahasan se-

hingga intergovernmental process tidak

memulai pembahasannya dari nol.

Apakah substansi laporan Panel akan men-

jadi rujukan dalam intergovernmental

process mendatang untuk menghasilkan

agenda pembangunan pasca 2015 yang

definitif? Ataukah laporan ini akan bernasib

sama seperti Laporan Global Sustainability

Panel yang gagal menjadi rujukan proses

KTT Rio+20? Hal ini tentunya masih akan

kita tunggu.

Jika peta jalan proses pembahasan agenda

pembangunan pasca 2015 dapat disepakati

pada Special Event on MDGs bulan Sep-

tember 2013 mendatang, sedikit banyak

hal ini akan mempengaruhi dampak laporan

Panel. Jika peta jalan menyepakati intergo-

vernmental process dimulai September

tahun 2014 pasca OWG on SDGs menyam-

paikan laporannya, maka tantangan ke de-

pan adalah bagaimana kita dapat memper-

tahankan momentum yang telah diciptakan

laporan panel sehingga gaungnya tetap

hidup dan relevan sampai satu tahun ke

depan.

Judha Nugraha adalah

Kepala Seksi pada Direk-

torat Pembangunan, Eko-

nomi, dan Lingkungan

Hidup

Shohib Masykur adalah

staf pada Sekretariat Di-

rektorat Jenderal Multila-

teral

Page 14: s apa r edaksi

12 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

KTT ke-12 OKI:

OKI Harus Jadi Net Contributor Perdamaian dan Pembangunan Global Mia Virnalisi

rganisasi Kerja Sama Islam (OKI)

yang memiliki 57 anggota, atau le-

bih dari seperempat jumlah negara

di dunia, perlu memainkan peran lebih be-

sar di dunia internasional. Agar tetap rele-

van dengan perkembangan zaman, organi-

sasi ini harus mampu mengonversi berba-

gai keunggulan yang dimilikinya menjadi

keuntungan nyata yang dapat dirasakan

oleh banyak pihak, baik di dalam maupun di

luar OKI. Itulah inti pesan yang disampai-

kan Presiden RI dalam pidatonya pada Kon-

ferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 OKI

yang digelar di Kairo, Mesir, Februari 2013,

dengan tema The Muslim World: New Chal-

lenges and Expanding Opportunities.

Peran yang dapat dimainkan OKI, pertama,

adalah menjadi net contributor bagi perda-

maian dan keamanan global. Dalam kon-

teks itu, OKI harus berperan dalam menye-

lesaikan berbagai konflik yang melanda

negara-negara anggotanya, seperti di ka-

wasan Timur Tengah. OKI yang merupakan

organisasi internasional terbesar kedua

setelah PBB ini mewakili 1,5 miliar pendu-

duk muslim dunia. Apabila OKI mampu

membantu penyelesaian konflik di negara-

negara anggotanya, itu sama artinya den-

gan OKI membantu penyelesaian konflik

dunia dan menciptakan perdamaian global.

Peran kedua adalah OKI harus bisa menjadi

net contributor bagi pembangunan ekonomi

dan kesejahteraan global. Total GDP nega-

ra-negara OKI mencapai lebih dari 9 triliun

dolar, atau lebih dari 8 persen total GDP

dunia. Namun sayangnya, perdagangan

antar-negara OKI baru sekitar 600 miliar

dolar atau kurang dari 10 persen. Banyak

penduduk muslim yang hidup di bawah

garis kemiskinan. Oleh karena itu, OKI ha-

rus mampu meningkatkan kerja sama eko-

nomi antar-sesama anggota agar menda-

tangkan kesejahteraan bagi penduduknya.

Ketiga, OKI juga harus mampu menjadi net

contributor bagi wacana tentang demokrasi

dan pemajuan serta perlindungan HAM

yang sekarang sedang berkembang. Kebe-

radaan Komisi Permanen dan Independen

Hak Asasi Manusia OKI harus terus diopti-

malkan sebagai wadah berbagi pengala-

man dan pembelajaran negara anggota

OKI. Di tingkat global, OKI juga harus ber-

peran lebih dalam mendorong dialog dan

toleransi antar-agama.

Isu Palestina

Isu Palestina menjadi perhatian khusus

pada KTT ke-12 OKI dengan diselenggara-

kannya sesi khusus yang membahas isu

O

Page 15: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │13

Diplomasi Multilateral

settlements di wilayah Palestina. Dalam

sejarahnya, OKI yang semula bernama Or-

ganisasi Konferensi Islam ini memang didi-

rikan sebagai reaksi atas adanya aksi pem-

bakaran Mesjid Al Aqsa di Jerusalem. Oleh

karena itu, isu Palestina selalu menjadi

perhatian utama negara anggota dalam

setiap pertemuan OKI.

Pada tanggal 6 Februari 2013, para Kepala

Negara/Pemerintahan menyampaikan pan-

dangannya khusus terkait isu settlements

di wilayah Palestina. Sesi ini diselenggara-

kan guna membahas rencana Israel mem-

bangun lebih dari 3600 pemukiman di Je-

rusalem Timur yang merupakan pelangga-

ran terhadap hukum internasional. Tinda-

kan ini dinilai akan menghambat proses

perdamaian kedua pihak dan melanggar

hak rakyat Palestina untuk self-

determination dan merdeka.

Dalam pembahasan ini, Indonesia kembali

menggarisbawahi pentingnya langkah

konkret OKI dalam membantu Palestina.

Berbagai upaya, baik dalam kerangka dip-

lomatik, legal, maupun ekonomi, harus di-

lakukan. OKI juga harus terus berupaya

mempertahankan dan meningkatkan kon-

sensus global melawan pembangunan set-

tlements guna menghindari ekspansi Israel

yang lebih luas. Selain itu, perlu dijajaki

kemungkinan merujuk isu settlements ini

ke badan legal internasional yang sesuai.

Adalah penting untuk memastikan bahwa

pihak Israel tidak mendapat keuntungan

secara finansial dan ekonomi dari

pembangunan settlements ini dan memas-

tikan bahwa Palestina tidak dirugikan seca-

ra finansial. Sehubungan dengan penaha-

nan pendapatan dari pajak oleh pihak Israel

sebesar USD 100 juta/bulan, Indonesia

mengajak negara anggota OKI lainnya un-

tuk mengambil langkah guna membantu

Palestina dalam mengatasi masalah ini.

Untuk itu, Indonesia menyambut baik pem-

bentukan Islamic financial safety net dan

menyatakan pledge dukungan finansial

Indonesia untuk Palestina.

KTT yang merupakan pertemuan tiga tahu-

nan ini adalah forum tertinggi OKI guna

membahas beragam isu yang menjadi per-

hatian negara-negara anggota. KTT ke-12

di Mesir kali ini menghasilkan Cairo Final

Communique sebagai dokumen hasil utama

yang menjadi pembahasan dan dasar inter-

vensi seluruh negara yang hadir. Dokumen

tersebut memuat isu politik negara OKI,

komunitas dan minoritas muslim di negara

Page 16: s apa r edaksi

14 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Profil: International Civil Aviation Organization (ICAO)

ICAO merupakan badan khusus PBB yang menjadi forum bagi para anggotanya untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan penerbangan sipil. Melalui forum tersebut, negara dan kalangan industri penerbangan membicarakan tentang priori-tas strategis, mengembangkan kebijakan dan standar pener-bangan, mengoordinasikan pengawasan, analisis, dan pelapo-ran global, serta memberikan asistensi dan pembangunan ka-pasitas.

ICAO didirikan pada tanggal 4 April 1947 dan bermarkas di Montreal, Quebec, Kanada. Pada saat ber-

diri, anggotanya hanya berjumlah 26 negara. Kini, 66 tahun sejak didirikan, keanggotaan ICAO telah

bertambah hingga 191 negara. Struktur organisasi ICAO terdiri dari Governing Body, mencakup As-

sembly (Majelis), Council (Dewan), dan Sekretariat. Indonesia merupakan anggota Dewan ICAO dari

tahun 1962 hingga 1998. Saat ini, Indonesia kembali mencalonkan diri untuk periode 2013-2016 yang

pemilihannya akan berlangsung bulan September 2013 di Montreal, Kanada.

ICAO perlu dibedakan dengan organisasi lain yang agak mirip dan bermarkas di kota yang sama, yakni

International Air Transport Association (IATA). IATA merupakan organisasi perdagangan yang mewa-

kili industri penerbangan dengan total anggota 240 masakai penerbangan. Baik ICAO maupun IATA

sama-sama memberikan kode untuk bandara dan maskapai. Namun pada umumnya, kode IATA lebih

banyak dipakai. Misalnya, kode ICAO untuk Bandara Soekarno-Hatta adalah WIII, sedangkan kode

IATA adalah CGK. Kode ICAO untuk Garuda Indonesia adalah GIA, sedangkan kode IATA adalah GA.

non-OKI, HAM, terorisme, disarmament,

islamofobia, voting di forum internasional,

kemanusiaan, kerja sama ekonomi, kerja

sama di bidang sosial-budaya, iptek, pen-

didikan, kesehatan, lingkungan, dan peru-

bahan iklim.

Selain Cairo Final Communique, KTT terse-

but juga menyepakati Resolusi mengenai

Palestina dan Al Quds-Al Sharif sebagai

hasil dari sesi khusus mengenai pemuki-

man di wilayah Palestina dan Deklarasi

mengenai Situasi di Mali. Di samping itu,

juga dilaksanakan pengesahan Turki seba-

gai tuan rumah KTT ke-13 OKI dan tawaran

Gambia sebagai tuan rumah KTT ke-14

OKI. KTT tersebut juga telah mengesahkan

Mr. Iyad Ameen Madani dari Arab Saudi

sebagai Sekretaris Jenderal baru OKI yang

akan menjabat mulai 1 Januari 2014.

Mia Virnalisi adalah Kepa-

la Seksi pada Direktorat

Sosial Budaya dan Orga-

nisasi Internasional Nega-

ra Berkembang

Page 17: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │15

Diplomasi Multilateral

Bali Process: Upaya Regional Mengatasi Kejahatan Lintas Batas Dody Harendro

ermasalahan irregular migration,

arus people smuggling, dan

trafficking in persons di kawasan

Asia-Pasifik yang tidak dapat ditangani

secara parsial telah mendorong Indonesia

dan Australia untuk menginisiasi meka-

nisme intra-regional guna mengatasinya.

Selanjutnya pada tahun 2002, dibentuklah

apa yang dinamakan Bali Regional Minis-

terial Conference on People Smuggling,

Trafficking in Persons, and Related Trans-

national Crime (BRMC), yang kemudian

lebih dikenal dengan Bali Process. Forum

ini merupakan Regional Consultative

Process (RCP) yang bersifat inklusif dan

tidak mengikat dengan tujuan mening-

katkan kerja sama antarnegara dalam

mengurangi irregular movement di kawa-

san. Sejak pertama kali bergulir, forum ini

telah berhasil menyeragamkam pemaha-

man dan membangun saling pengertian di

antara negara-negara anggotanya.

Sebagai sebuah RCP, Bali Process memiliki

keunikan yang menjadi keunggulan diban-

dingkan forum-forum serupa lainnya, yaitu

sebagai satu-satunya forum yang memper-

temukan negara asal, negara transit, dan

negara tujuan irregular migration. Bali

Process membangun fondasi krusial beru-

pa rasa confidence di antara negara anggo-

ta untuk tidak lagi saling menyudutkan satu

sama lain, tetapi duduk bersama membica-

rakan permasalahan irregular migration

secara konstruktif dan tanpa paksaan. Fo-

rum tersebut terdiri dari 43 negara, 2 yuris-

diksi, dan 3 organisasi internasional seba-

gai anggota, 18 negara sebagai partisipan,

dan 10 organisasi internasional sebagai

observer. Forum ini dipercaya efektif untuk

memformulasi kebijakan, mendiseminasi

informasi, melakukan transfer teknologi,

dan pembangunan kapasitas di antara se-

sama anggotanya.

Pembentukan RSO

Pada bulan April 2013, Pertemuan Tingkat

Menteri (PTM) Bali Process diselenggara-

kan untuk kelima kalinya. BRMC V ini me-

neruskan konkretisasi hasil PTM sebelum-

nya yang merumuskan regional coopera-

tion framework (RCF) dengan beberapa

prinsip, yaitu: (1) memberantas irregular

migration yang difasilitasi oleh sindikat

penyelundup, dan seluruh negara anggota

diwajibkan mendorong praktik migrasi se-

cara teratur; (2) setiap pencari suaka diha-

rapkan memperoleh akses yang sama ter-

hadap assessment process di seluruh ka-

wasan; (3) mereka yang terbukti sebagai

pengungsi harus diberi solusi yang

P

Page 18: s apa r edaksi

16 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

berkelanjutan, yaitu voluntary repatriation,

resettlement, atau in country solution; (4)

mereka yang tidak terbukti sebagai pen-

gungsi harus dikembalikan, terutama atas

asas kesukarelaan; (5) peningkatkan

jaringan pengamanan perbatasan, penega-

kan hukum dan disincentives bagi para

pencari suaka yang memanfaatkan sindikat

penyelundup.

www.antaranews.com

Kerangka kerja tersebut mengerucut men-

jadi sebuah Regional Support Office (RSO)

yang dikukuhkan dalam BRMC V. RSO yang

berlokasi di Bangkok, Thailand, ini berfung-

si sebagai institusional memory untuk selu-

ruh kegiatan Bali Process yang diselengga-

rakan dalam kerangka RCF, serta mengon-

disikannya untuk semakin terarah, terstruk-

tur, dan berkesinambungan, walaupun tidak

akan mengubah Bali Process sebagai RCP

yang bersifat voluntary dan non binding.

RSO ini tidak dimaksudkan untuk menjadi

Regional Processing Center atau sebuah

pusat untuk menangani Refugee Status

Determination (RSD) dalam lingkup kawa-

san.

Jika telah berfungsi secara optimal, RSO

dapat menjadi titik pusat information

sharing dalam perlindungan pengungsi

maupun migrasi internasional di kawasan.

Kerja sama antara RSO dan Jakarta Center

for Law Enforcement Cooperation (JCLEC)

juga berpotensi menjadi pusat pertukaran

best practices dan pusat sumber daya tek-

nis di kawasan, yang konkret dan berman-

faat bagi anggota Bali Process. RSO juga

diharapkan dapat menjadi pusat koordinasi

harian antarnegara anggota dalam penye-

diaan bantuan logistik, administrasi, dan

operasional penanganan isu penyelundu-

pan manusia dan perlindungan pengungsi

yang dikembangkan dalam kerangka kerja

sama regional.

Membangun Rasa Saling Percaya

Peringatan 10 tahun Bali Process pada No-

vember 2012 memberikan harapan positif

bagi penanganan permasalahan people

smuggling dan kejahatan lintas negara

terorganisir lainnya. Tetap bertahan dan

aktifnya forum ini sendiri merupakan indi-

kator positif bagi upaya diplomasi di kawa-

san. Selain itu, rasa saling percaya dan

menghormati dari masing-masing negara

untuk tidak saling menyalahkan dan ko-

mitmen untuk terus mengatasi permasala-

Page 19: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │17

Diplomasi Multilateral

han secara bersama-sama menjadi aset

berharga Bali Process. Baik negara asal,

negara transit, maupun negara tujuan me-

miliki keinginan yang semakin kuat dalam

berbagi beban (burden sharing) dalam ling-

kup kawasan. Secara lebih konkret, pertu-

karan data dan informasi di antara negara

anggota telah terbina dan telah mampu

mencegah atau bahkan menyelesaikan ka-

sus per kasus permasalahan people

smuggling.

Rasa saling menghargai ini salah satunya

tercermin ketika Bali Process membahas

masalah irregular migrants yang berasal

dari Myanmar, dalam hal ini etnis Rohingya.

Diskusi Bali Process tidak diarahkan untuk

mengecam atau menekan Myanmar seba-

gai negara asal, namun dibicarakan dalam

konteks tanggung jawab negara asal, nega-

ra transit dan negara tujuan, termasuk ad-

dressing root causes. Myanmar sebagai

negara asal tidak merasa dihakimi oleh

rekomendasi yang dihasilkan forum terse-

but karena mereka juga dilibatkan sebagai

bagian dari solusi.

Bali Process memungkinkan Myanmar un-

tuk duduk bersama dalam satu kesempatan

dengan Bangladesh, India, Malaysia,

Thailand, dan Republik Rakyat Tiongkok

serta Indonesia sebagai negara-negara

yang terkait dengan isu Rohingya, sehingga

dapat menghasilkan solusi komprehensif

yang dapat diterima oleh semua pihak.

Terbangunnya rasa kepercayaan di antara

negara-negara anggota dan pihak-pihak

terkait menipiskan ‘lack of trust’ di antara

berbagai negara dan institusi-institusi ter-

kait isu kejahatan lintas negara terorganisir,

khususnya penyelundupan manusia.

Sementara itu, respons cepat pada level

pejabat setingkat Menteri untuk dapat ber-

kumpul bersama dan menghasilkan kepu-

tusan politik dengan bobot yang tinggi me-

rupakan hal yang positif. Bali Process tidak

hanya bergerak di level menteri, tetapi juga

pada High Level Officials dan praktisi serta

ahli untuk sharing best practices dan men-

gembangkan kapasitas bersama. Bali

Process juga bergerak pada level opera-

sional yang ditunjukkan dengan kerja sama

Regional Immigration Liaison Officer Net-

work (RILON), tempat negara anggota da-

pat secara cepat bertukar informasi se-

hingga dapat mengantisipasi segala anca-

man dan resiko yang berpotensi muncul.

Penanganan Pengungsi di Indonesia

Dengan letak geografis yang strategis dan

luas wilayah yang besar, Indonesia cende-

rung menjadi negara transit penyelundupan

manusia. Namun seiring dengan perkem-

bangan politik kawasan, Indonesia juga

telah menjadi negara tujuan pencari suaka.

Etnis Rohingya adalah salah satu kelompok

pencari suaka yang menjadikan Indonesia

sebagai tujuan. Pelarian tidak hanya karena

kedekatan secara geografis, namun juga

karena sentimen persamaan agama.

Page 20: s apa r edaksi

18 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Pada tanggal 5 April 2013, delapan pencari

suaka asal Myanmar tewas dalam insiden

dengan etnis Rohingya di Rumah Detensi

Imigrasi (Rudenim) Myanmar, Medan, Su-

matera Utara. Tak lama setelah itu, terjadi

tragedi lain yang menimbulkan jumlah kor-

ban yang lebih memprihatinkan, yaitu teng-

gelamnya kapal yang bermuatan 72 pencari

suaka dari Afghanistan. Hanya 14 orang

yang berhasil diselamatkan penduduk se-

tempat bersama Tim SAR.

Kejadian-kejadian tersebut menambah

panjang daftar insiden terkait irregular mi-

gration di Indonesia. Data resmi tahun

2012 mencatat terdapat 7.218 pencari su-

aka yang terdaftar berada dalam wilayah

yurisdiksi Indonesia, sementara jumlah

resettlement dan voluntary return semakin

menurun. Hal ini menimbulkan perhatian

dari banyak pihak sehingga muncul doron-

gan agar Indonesia mengaksesi Konvensi

Pengungsi 1951 sebagai solusi, setidaknya

secara domestik.

Meski Indonesia telah meratifikasi Konven-

si PBB menentang Transnational Organized

Crime (UNTOC) dengan UU Nomor 6 tahun

2011, namun Indonesia belum meratifikasi

Konvensi Pengungsi (Refugee Convention

1951). Aturan hukum mengenai merchants

of misery memang sudah jelas, namun atu-

ran mengenai pencari suaka dan mereka

yang sudah memiliki status pengungsi dari

United Nation High Commissioner for Refu-

gee (UNHCR) belum jelas.

Dari sudut pandang hukum, untuk meratifi-

kasi sebuah konvensi internasional, peme-

rintah wajib menerapkan asas 4 aman, yai-

tu aman secara politis, national security,

yuridis, dan teknis. Aman secara politis

berarti instrumen hukum internasional di-

maksud tidak bertentangan dengan politik

luar negeri dan kebijakan hubungan luar

negeri. Aman dari sudut pandang national

security berarti tidak mengganggu atau

mengancam stabilitas dan keamanan da-

lam negeri. Aman secara yuridis berarti

tidak ada pertentangan dengan hukum na-

sional dan perjanjian internasional lainnya

yang mana Indonesia menjadi negara pi-

hak. Sementara, aman secara teknis berarti

seluruh instansi pemerintah terkait dapat

melaksanakan segala kewajiban yang tim-

bul dari ratifikasi tersebut dan tidak dijum-

pai kendala teknis yang menyulitkan.

Dalam sejarahnya, Indonesia mengakomo-

dasi keberadaan pengungsi di wilayah yu-

risdiksinya dan memperlakukannya secara

manusiawi. Hal ini terlihat antara lain den-

gan didirikannya Pusat Pemrosesan Pen-

gungsi di Pulau Galang pada tahun 1979

(ditutup pada tahun 1996). Ruang gerak

para pengungsi di Indonesia tidak pernah

dibatasi. Indonesia termasuk ke dalam ka-

tegori ‘safe third country’ yang dirumuskan

dalam Michigan Guidelines on Protection

Elsewhere. Selain itu Indonesia juga telah

meratifikasi dan comply terhadap kewaji-

ban beberapa traktat Hak Asasi Manusia

internasional. Hal ini berarti Indonesia telah

Page 21: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │19

Diplomasi Multilateral

terbukti memiliki ‘good faith’ dalam

penanganan pengungsi. Maka secara hu-

kum, Indonesia memenuhi syarat sebagai

negara yang dapat ditinggali oleh pengung-

si.

Indonesia dan Bali Process

Bagi Indonesia yang bertindak selaku ketua

bersama, baik pada Bali Process maupun

pada koordinasi antara RSO dan JCLEC,

terdapat peluang besar untuk berperan

penting dalam menentukan arah kerja sama

Bali Process. Indonesia juga dapat mendo-

rong peningkatan kerja sama dan linkage

antara RSO dengan berbagai kepentingan

nasional dalam memberantas kejahatan

terorganisir lintas negara dan memberikan

solusi yang lebih baik bagi pencari suaka

maupun pengungsi yang tinggal di Indone-

sia.

Partisipasi aktif dan kepemimpinan Indone-

sia pada Bali Process akan memberikan

manfaat langsung dalam menghadapi ma-

salah dan ancaman yang dimunculkan oleh

penyelundupan manusia dan juga perda-

gangan orang, yaitu terutama melalui per-

tukaran informasi, pengembangan jejaring

dan kerja sama internal maupun eksternal

antar lembaga negara. Selain itu, segala

kegiatan di dalam Bali Process akan sema-

kin memperkuat upaya Indonesia dalam

meningkatkan kesadaran masyarakat pesi-

sir di Indonesia sehingga mereka terhindar

dari jerat kejahatan penyelundupan manu-

sia dan perdagangan orang.

Dody Harendro adalah staf

pada Direktorat Keamanan

Internasional dan Perlucu-

tan Senjata

Referensi:

The State of The World’s Refugees, UNHCR

Office, 2012.

Adrianus Meliala, Pemantapan Legalitas

dan Kebijakan Menyangkut Penyelundupan

Manusia, FISIP UI 2011.

Tempo English, Swimming with Sharks,

June 11-17, 2012.

www.baliprocess.net; www.unodc.org;

www.unhcr.org; www.imigrasi.go.id

Page 22: s apa r edaksi

20 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

The Rise of Social Media in Diplomacy: Indonesia’s Response Indah Nuria Savitri

s the robust advance of information

and communication technologies

(ICT) continue to enable and facili-

tate people around the globe to connect

and to interact directly with one another,

social media outlets have stolen the atten-

tions of many bureaucrats for their major

role in voicing peoples’ aspirations and

shaping public policies in many areas.

Along with the exponential growth of social

media around the world, many government

officials, including diplomats, have utilized

this channel to conduct and expand their

public diplomacy.

Although many argue that the advance ICT

in the form of social media only add a new

dimension in foreign policies’ business, it is

widely accepted that the wider use of social

media outlets, such as Facebook and Twit-

ter, do create and bring significant impacts

on the ground. As a wide range of opinions,

political views and interests, and even mo-

bilization of activities are widely and easily

shared, peoples-driven transformation

process are more likely to take place. The

Arab Spring is indeed one of the illustrious

examples of this phenomenon, lauded the

role of social media and even coined the

term “Twitter Revolution”. While security

and political issues are still considered

sensitive and tend to be handled in more

traditional ways, many foreign ministries

expand their public diplomacy efforts fo-

cusing on social, economy and cultural ex-

changes through social media. Rigorous

dissemination of information of one coun-

try’s values and cultures has been aggres-

sively conducted in these platforms.

Nevertheless, as this new technological

revolution is bearing down on foreign min-

istries, it proves to be difficult for many.

The slow pace of adaption in digital diplo-

macy by many foreign ministries suggests

that there is a degree of uncertainty over

this novel concept. Perhaps, two of the big-

gest questions here are what digital diplo-

macy is and what it can be used for. In ad-

dition, how to effectively formulate and

implement communication strategies using

these new platforms continues to be de-

bated.

The Changing Nature of Diplomacy

As public diplomacy and strategic commu-

nications experts continue to explore the

potential of the relatively new social media,

one cannot deny the changing nature of the

world of diplomacy. The marvel of informa-

tion and communication technology has

significantly impacted the conduct of

diplomacy, which traditionally centered on

government officials and took place behind

A

Page 23: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │21

Diplomasi Multilateral

the close doors. Along with the develop-

ment of new communication means and

tools, we have seen novel approaches in-

volving information and communication

technologies introduced and implemented

in the conduct of diplomacy. Websites, so-

cial media outlets, and live-chats are now

among the common platforms used by

ministries and government agencies.

At the same time, those approaches and

mediums enable government officials to

seek and invite new partners and counter-

parts, which might include bloggers, artists

and musicians. Many argue that the “21st

century statecraft” can no longer be con-

ducted exclusively between governments,

but it must be government-to-people and

people-to-people.1 Perhaps, it is also cru-

cial to agree that interconnectedness is

undeniably one of the significant characters

of the 21st century. So is in the business of

diplomacy. With connectivity as a crucial

element in diplomacy, this is where ICT

plays significant roles. Thanks to the expo-

nential grow of the Internet, ensuring con-

nectivity among states and peoples is not

expensive nor complicated as it used to be.

At this juncture, e-Diplomacy, or some

might say, digital diplomacy, was born.

In the networked age where transparency

and accountability are highly demanded,

the growing desire of governments all over

the world to have "two-way-dialogue" with

their constituencies, whether it is at

national, regional as well as international

level, can be catered by social media. In

conjunction with that, networking sites

such as Twitter, Facebook, YouTube, and

even local social media services like chi-

na’s micro blogging site, Sina Weibo, are

now common platforms used by govern-

ments to interact with public. As expected,

the U.S. is a leading player in this field, as

the State Department has spawned

approximately 301 Twitter accounts and

408 Facebook pages with millions of “fol-

lowers” from every corner of the world.

Meanwhile, most other countries still lag

behind although they have embraced or

even implemented similar strategies to

conquer digital diplomacy world. United

Kingdom, which ranks number four on most

active Twitter user and number six for most

active Facebook members, now has around

20 of its ambassadors as active Twitter

users, following William Hague, their

tweeting foreign minister. At individual lev-

el, no less than the late Hugo Chavez, the

President of Venezuela, managed his Twit-

ter account actively with approximately 3.7

million followers. Dmitry Medvedev, Rus-

sia’s prime minister, has 1.5 million

followers, while Barack Obama’s twitter

account has nearly 20 million followers.

Similarly, Dilma Rousseff, Brazil’s Pesident

and Carl Bildt, Sweden’s Foreign Minister,

add to this extensive list. In the case of In-

donesia, two striking examples are Dino

Patti Djalal, Indonesian Ambassador to the

Page 24: s apa r edaksi

22 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

U.S., with 119.138 followers and 2,440

tweets; and Hazairin Pohan, the Head of

Center for Eduation and Training as well as

Indonesian Ambassador to Poland from

2006 - 2011, with 17,421 tweets and 1,743

followers, in times of writing.

If we analyze further, there are three main

reasons why social media has been suc-

cessfully chosen as the new frontier of

diplomacy. Firstly, social media enables us

to directly engage with citizens around the

world. With millions of subscribers from

almost every corner of the world, social

media can facilitate the network expansion

and make public diplomacy effective.

Second, sharing information in real-time

and on global scale can be easily done.

User-friendly technologies and down-to-

earth approach used in social media make

the dissemination process easier, faster,

and farther. Third, intensive communication

with extensive networks in social media

enables us to understand people and

events more deeply, giving us a more com-

prehensive picture of public’s aspirations

and perspectives. Therefore, further analy-

sis on the information received through

social media will be the best use of it.

However, there are some limitations as

well. We cannot deny that the slow pace

adaptation to digital diplomacy by many

foreign ministries suggest that there is a

degree of uncertainty over what digital dip-

lomacy is and its potentials. It can be a

rude awakening for governments as digital

diplomacy requires transparency, where

some countries still restrict the internet

connection for their citizens. At some point,

loss of control due to public demands is the

risks governments must be willing to take.

In additions, the use of social media outlets

do not always yield benefits, as people do

have illicit and ill-fated purposes while

using them. E-culture among people also

varies, resulting in different level of accep-

tability and responsiveness towards con-

tents distributed through social media out-

lets.

It is also important to note that digital

diplomacy is not, and is never meant to be,

a replacement of face-to-face diplomacy.

It, in fact, builds on traditional statecraft,

incorporating the new technologies, demo-

graphics and networks of the modern era.

Social media is just a new means, new

instrument, for advancing the same end

which is built on the traditional govern-

ment-to-government connections. It is in-

deed too naïve to believe that meaningful

relationships with and among people can

be built through social networking media

only. Therefore, virtual interactions need to

move forward in order to get real substan-

tive gains in diplomacy.

Indonesia’s Diplomacy in the Digital Era

With new information and communication

technologies being rigorously used in vari-

Page 25: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │23

Diplomasi Multilateral

ous aspect of life, including diplomacy, the

Ministry of Foreign Affairs of Indonesia,-

hereinafter refer to as Kemlu, has joined the

crowd as well.

As public diplomacy continues to be one of

the missions of Kemlu, policies and pro-

grams which create and support Indone-

sia’s positive image will persistently be

strengthened. Moreover, economic diplo-

macy, which is generally referred to as the

conduct of diplomacy using economic leve-

rages, policies and measures to achieve

national goals, and cultural diplomacy,

where “exchange of ideas, information, val-

ues, systems, traditions, beliefs, and other

aspects of culture, with the intention of

fostering mutual understanding,“2 should

ideally be supported by all elements and

venues of diplomacy, including through

social media outlets.

Along with the internal institutional reform

taking place since 2001, Kemlu has estab-

lished two prominent directorates in this

case, Public Diplomacy as well as Informa-

tion and Media Directorates, under the aus-

pices of the Directorate General of Informa-

tion and Public Diplomacy (previously

known as Directorate General of Informa-

tion, Public Diplomacy and International

Treaties). As stipulated in the Minister for

Foreign Affairs Regulation Number 7/2011,

Public Diplomacy Directorate is in charge of

harnessing public support at home as well

as abroad towards the implementation of

Indonesia’s foreign policies in the area of

political, security, economic, development,

social and cultural, as well as other

strategic and emerging issues. It is

equipped with five relevant sub-

directorates, namely political and security;

economics and development; social

cultural; current and strategic issues; as

well administrative division.3

Moreover, Information and Media Directo-

rate is responsible for taking necessary

measures in the field of information and

media, particularly regarding news, multi-

media, data, media facilitation, audiovisual,

and publishing, which will establish Indo-

nesian positive image and shape positive

public opinion supporting Indonesian na-

tional interests abroad. It has six sub-

directorates, namely news; multimedia;

media data; mass media facilitation;

audiovisual and publishing; and adminis-

tration. In this connection, multimedia sub-

directorate is carrying out multimedia in-

formation management and development

of Kemlu’s website, including, among

others, in preparing, coordinating, and im-

plementing policies and programs in this

field. Formulation of standards, norms,

guidelines, criteria and procedures in the

field of information and media also falls

under this sub-directorate. With this

mandate, Information and Media Directo-

rate is indeed one of the spearheads of

Kemlu’s digital diplomacy.4

Page 26: s apa r edaksi

24 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

In addition to traditional ways and media in

conducting public diplomacy, various novel

information and communication channels

have been utilized by Kemlu, including offi-

cial websites, Facebook and Twitter ac-

counts. The official website of Kemlu, for

example, has been established since 2002.

Beside better displays and more user-

friendly menu, further improvement is con-

tinuously conducted, including by

integrating websites of Indonesia’s 131

missions abroad, which consist of 95 em-

bassies, 3 permanent missions, 30 consu-

late generals and 3 consulates.5 New menu,

such as diplomatic blogs, has been added

since October 9, 2009. Displaying 33 notes

until the time of this writing, a wide range

of topics from political to social cultural

issues as well as ASEAN dynamics to pro-

tection of Indonesian citizens abroad have

been expressed through creative writings.

Success stories of Indonesian citizens and

related stakeholders abroad are also exhi-

bited, and updated information on career

and scholarships, including on internships

in Kemlu, job vacancies in international

organizations, are also available. Further-

more, online public services such as visa

and consular service, diplomatic facilities

and media services, are also available on

the website.

Despite the fact that formal policies on the

use of social media in conducting diploma-

cy are yet to be developed, Kemlu has ma-

naged to create its official Facebook ac-

count and page since June 2010. Until the

time of writing (November 2012), 5,995

individuals ‘like’ it, while 66 has ‘talked’

about it. Many issues, in the forms of sta-

tus, links, and photos, have been raised on

this page, including the latest Bali

Democracy Forum, ASEAN Summit and

Senior Official Meeting, as well as other

events and meetings like various bilateral

meetings of Foreign Minister Natalegawa

with his counterparts.

On Twitter, Kemlu has established also an

official account, @Portal_Kemlu_RI. Until

the time of writing, there are 2,580

followers from many parts of Indonesia and

the world. 1,732 tweets (as of November

18, 2012 at 10.45 am) have been broad-

cast, almost all in the forms of direct links

of headlines from Kemlu’s website. The

English version account,

@MoFA_Indonesia, has 221 tweets and 150

followers so far.6 Policies as well as infor-

mation regarding high-profile issues, such

as protection of Indonesian citizens, have

been tweeted frequently. Moreover, in line

with Kemlu’s priorities, economic diploma-

cy is also highlighted, as business meetings

and trade fairs, the visit of business sectors

from various countries, and the signing of

various trade agreements are among the

feeds being tweeted. Getting more specifi-

cally on cultural diplomacy, efforts empha-

sizing people-to-people contacts and so-

cial cultural events, such as art and cultural

scholarships, student exchanges, technical

Page 27: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │25

Diplomasi Multilateral

cooperation, cultural performances, Indo-

nesian nights and many more, are also ac-

tively disseminated through Twitter.7 Be-

sides, many Indonesian missions and em-

bassies around the world manage their own

Facebook or Twitter accounts. Statistics

show that Indonesian Embassies in Am-

man, Beijing, Bern, Bucharest, Cairo, Can-

berra, Den Haag, London, Kuala Lumpur,

Manila, Moscow, Singapore, Ottawa, Port

Moresby, Washington D.C., and Yangon,

among others, have actively engaged in

these networking sites.

Nevertheless, it is important to note that

dissemination of information is just one

dimensional way of communicating with

constituents. Two-way dialogues are in-

creasingly needed, if not demanded, by

public, as part of the increasing global cul-

ture of transparency and accountability. At

this point, Kemlu still has to further develop

the 2.0 aspect of this communication, the

interactive nature between Kemlu and

public. The establishment of interactive

dialogues with public is still limited and we

cannot deny that public complaints are still

lodged to this institution for not being ‘res-

ponsive’. For simple examples, in some of

the feeds in Facebook, users were frequent-

ly asking about the result of a competition

held by Kemlu as well as updated informa-

tion about scholarships which were not

swiftly responded by the administrator.

Moreover, most of the “followers” or

“friends” are Indonesian diasporas or Kem-

lu’s big family. Although it is important to

engage with Indonesian constituents, out-

reach programs focusing on foreign citi-

zens can be further strengthened.

Amidst the challenges and difficulties faced

in embracing social media, Kemlu’s increa-

singly active engagement with public

through social media outlets shows that the

Ministry is aware of the power of digital

diplomacy in strengthening the outreach

programs which will eventually advance

Indonesia’s national interests. Therefore,

clearer policies on the use of social media,

coupled with specific targets and strate-

gies, will help enhancing the conduct of

Indonesian diplomacy through these chan-

nels.

Maximizing Social Media for Indonesian

Diplomacy

With more foreign ministries, including In-

donesia, lining up to embrace and integrate

social media sites in their communication

and public diplomacy, the question now is

what measures Kemlu has to take in order

to maximize the benefits derived from ef-

fective use of social media in enhancing

economic and cultural diplomacy. Undoub-

tedly, there are several strengths that Kem-

lu has in relations to the use of social me-

dia in enhancing Indonesian diplomacy.

First, many Indonesian diplomats are very

Page 28: s apa r edaksi

26 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

familiar with social media. ‘Digital divide’ in

terms of level of familiarity with these in-

teractive platforms might be present, but

the majority of diplomats have their ac-

counts in at least one of the popular net-

working sites. Second, dedicated directo-

rates dealing with information and media,

including multimedia, and public diplomacy

have been established, along with the inter-

nal institutional reform within Kemlu. Fur-

ther empowerment has to be conducted,

nevertheless. Third, well-established infra-

structures in Kemlu enable diplomats and

other staffs to enjoy good internet connec-

tions at the office, thus facilitating them in

using social media for official use.

However, some weaknesses have also been

identified, which, among others, include the

absence of clear and formal policies re-

garding the use of social media in the con-

duct of diplomacy poses a certain level of

uncertainty for those who want to utilize

these outlets. Limited human resources

who are in charge of Kemlu’s engagement

in social media also hamper its active par-

ticipation and swift responses, particularly

with numerous accounts, pages and sites

to manage. Moreover, insufficient budget

allocation for further development and ac-

tive engagement of Kemlu through social

media hinders its ability to introduce inno-

vative approach and adapt to the dynamics

of this digital diplomacy.

As previously mentioned, the opportunities

present that can be utilized is that social

media sites provide spontaneous and direct

interaction with friends, families, col-

leagues and even strangers. Despite time

differences and vast geographical space,

they enable people to get in touch with a

large number of people instantly, as long as

both parties have access to internet con-

nections. This will help Kemlu build exten-

sive networks and expand its public diplo-

macy effectively. Social media helps

spreading information easier, faster and

farther, as showcased by Twitter and

Facebook which reach a global audience in

real-time. Social media can be used as one

of the analytical tools to get better and

deeper understanding towards people from

different cultures and backgrounds. Their

Page 29: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │27

Diplomasi Multilateral

perspectives and aspirations will help

shaping the relevant policies and programs.

Nevertheless, there are external factors that

might hinder this process further, particu-

larly as social media outlets are open plat-

forms, engagement with them has the po-

tential to be negative. Ill-fated users might

divert or even destruct the outreach and

interaction process between Kemlu and

other users, as they post detrimental com-

ments or inputs. Different level of participa-

tion and engagement, whether as an insti-

tution or on personal basis, might create

confusions to users while communicating

with Kemlu or Indonesian diplomats. The

risks of ‘losing control’ over certain issues

and/or policies are imminent as public’s

responses can be unpredictable. Open dis-

cussions towards particular topics should

ideally support the targeted goals set by

Kemlu. Different landscape of information

societies and e-culture in various countries

significantly impact the level of respon-

siveness and acceptability of people to-

wards information disseminated through

social media.

From the deliberations given above, it is

safe to conclude that digital diplomacy has

indeed brought fundamental change in the

way governments interact with public, and

social media as one of the marvels of the

advance of ITC is regarded as one of the

effective tools in disseminating ideas, poli-

cies, ideologies, and even political influence

to a wide sphere of mass public. But the

use of social media is not, and cannot be, a

substitute of traditional face-to-face

diplomacy. It is also argued that while so-

cial media has not changed the objectives

of foreign policy, it has somehow changed

what people expect from the government.

Opportunities to engage people directly and

to have dialogue with them do, in fact, exist

to social media. The ability to carefully

manage and maintain responsiveness to

users’ interests is crucial. Therefore,

strategies for using social media as part of

public diplomacy efforts should focus on

creating engagement that will encourage

interaction and foster interests in long-term

period.

The great potentials of the use of social

media is yet to be optimized in promoting

Indonesia’s economy and cultural diploma-

cy. As social media’s greatest contribution

to public diplomacy occurs when it creates

potential for continued engagement and

dialogue, the need for understanding target

audiences and conveying information in a

long–lasting and user-friendly ways is im-

perative. Diplomats can definitely play

more active roles in promoting economy

and cultural diplomacy through social me-

dia. Be it on personal level or in a formal

setting, experiences show that many Indo-

nesian diplomats depicting their personal

passions and commitments towards Indo-

nesian cultures, values and economic po-

Page 30: s apa r edaksi

28 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

tentials, have positively attracted the atten-

tions of public.

For Kemlu, ignoring the exponential impact

of social media is no longer an option. Like

it or not, we have to admit that social media

outlets do contribute to the conduct of

foreign policies and approaches used by

government officials, including diplomats,

in connecting with people. Therefore, crea-

tive model of public diplomacy which utilize

social media should be developed and im-

plemented.

If managed well, the benefits of engaging

these new media outlets can outweigh the

costs, as well as the challenges and risks

emerged from this interaction. For rather

‘soft’ or neutral issues such as those re-

lated to economy and cultural diplomacy,

active engagement through social media

will help promoting the ideas, policies, and

events related to the issues at hand.

Clearly, our own ‘21st century statecraft’ is

a work in progress. Even though ICT has yet

to be fully embedded into the conduct of

Indonesian diplomacy, but it is indeed a

viable tool diplomats could use to further

promote Indonesian economy and cultural

diplomacy. Larger conceptual shift may be

required with regard to the use of social

media, but small steps involving formula-

tion and implementation of effective

strategies on embracing and integrating

social media in the conduct of diplomacy

will be a good start.

Indah Nuria Savitri is

Head of Section at the

Directorate for Human

Rights and Humanitarian

Affairs.

The original version of this article was

submitted as final paper of the Mid-Career

Diplomatic Course, 2012.

End Notes: 1

Owen Henry, ““Twitter Diplomacy” Engagement

Through Social Media in 21st

Century Statecraft,”

(Accessed 15 October 2012), 2

The American political scientist and author, Dr.

Milton C. Cummings, offers this profound defini-

tion of cultural diplomacy, as cited by the Insti-

tute of Cultural Diplomacy, available at

http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en

_culturaldiplomacy 3

Minister for Foreign Affairs Regulation Number 7

Year 2011 on the Organization and Procedures

in the Ministry of Foreign Affairs, Articles 680-

699, available in

http://pih.deplu.go.id/smd/php/vis_doc_file.php

?id= 408 4

Minister for Foreign Affairs. Ibid. Articles 656-

679. 5

Hartyo Harkomoyo, Assistant Deputy Director for

Information Management on Multilateral Issues,

November 10 and 17, 2012, telephone interviews 6

@MoFA_Indonesia is an official account of the

Ministry of Foreign Affairs on Indonesia which

uses English.

https://twitter.com/MoFA_Indonesia/ 7

Kemlu RI, @Portal_Kemlu_RI, available at

https://twitter.com/Portal_Kemlu_RI, accessed

on October 15, November 10 – 18, 2012.

Page 31: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │29

Diplomasi Multilateral

Kerja Sama Internasional Penangangan Narkoba:

Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012

Dody Harendro

nternational Narcotics Control Board

(INCB) adalah badan pengawasan inde-

penden dan quasi-judicial yang bertu-

gas melakukan pengawasan obat-obatan di

tingkat global dalam rangka mengimple-

mentasikan berbagai konvensi PBB

mengenai obat-obatan. Badan ini dibentuk

pada tahun 1968 sebagai mandat dari Kon-

vensi Tunggal tentang Narkoba (Single

Convention on Narcotic Drugs) tahun 1961.

Meski secara resmi berdiri tahun 1968,

namun INCB telah memiliki akar organisasi

sejak era Liga Bangsa-Bangsa. Dalam

beroperasi, INCB tidak hanya merujuk pada

UN Single Convention on Narc-otics Drugs

(1961), tetapi juga UN Convention on Psy-

chotropic Substances (1971), dan UN Con-

vention against Illicit Traffic in Narcotic

Drugs and Psychotropic Substances

(1988). Ketiga konvensi tersebut melarang

penggunaan narkoba jenis kokain, opium,

dan ganja di luar tujuan medis atau peneli-

tian.

Kritik atas Laporan INCB Tahun 2012

Setiap tahun, INCB menerbitkan laporan

yang menjadi referensi bagi pemerintah

negara-negara pihak Konvensi dalam

mengambil kebijakan terkait narkoba, baik

di kawasan maupun secara global. Laporan

ini merupakan intisari dari laporan resmi

negara-negara pihak mengenai tren lalu-

lintas maupun penyalahgunaan narkoba di

wilayah masing-masing. Dalam menyusun

laporan tersebut, INCB melakukan

kunjungan atau country mission ke negara-

negara pihak guna melihat implementasi

dan kepatuhan negara-negara tersebut

kepada Konvensi.

Laporan tahun 2012

diterbitkan pada bu-

lan Maret 2013. La-

poran ini mengun-

dang kritik dari ber-

bagai kalangan, khu-

susnya mereka yang

mengadvokasi penggunaan obat-obatan

secara legal untuk mengurangi dampak

buruk penyalahgunaan narkoba atau lebih

dikenal dengan harm reduction. Para pen-

dukung kebijakan harm reduction meman-

dang INCB cenderung mengarah kepada

pendekatan total abstinence yang tidak

bertoleransi terhadap penyalahgunaan nar-

koba. Jika dipandang dari sisi Pemerintah

suatu negara, tidak ada yang benar-benar

rigid pada posisi harm reduction ataupun

abstinence. Kombinasi di antara keduanya-

lah yang secara resmi menjadi posisi nega-

ra-negara pada sidang-sidang

internasional. Namun dari sisi

I

Page 32: s apa r edaksi

30 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

kecenderungan, fair jika dikategorikan

bahwa Belanda dan Swedia merupakan

motor pendekatan harm reduction, semen-

tara Amerika Serikat dan Singapura menja-

di pengusung utama yang condong ke arah

abstinence.

Tulisan ini akan membahas kritik dari pen-

dekatan harm reduction terhadap laporan

INCB 2012 yang dipandang bias dan terda-

pat banyak kelalaian sehingga dapat mele-

mahkan upaya perang terhadap penyalah-

gunaan narkoba. Laporan tersebut juga

dinilai memberikan penekanan yang terlalu

berat pada sisi penghukuman.

Salah satu kritik tajam pendekatan harm

reduction adalah mengenai ekspor ilegal

methadone dari Latvia ke Rusia yang men-

jadi subjek sorotan INCB pada laporannya.

Kritik yang muncul adalah INCB melupakan

bahwa walaupun methadone dan buprenor-

phine adalah zat yang terlarang di Rusia,

namun telah terjadi epidemi AIDS yang ter-

konsentrasi di antara para pengguna nar-

koba terutama di Moscow dan kota-kota

besar lainnya. WHO telah menyatakan

bahwa kedua zat tersebut merupakan zat

yang esensial untuk mengurangi metode

suntik heroin dan mengobati HIV. Para ahli,

termasuk yang bertugas di UN Office on

Drugs and Crime (UNODC), sepakat bahwa

kedua zat tersebut sangat dibutuhkan un-

tuk menyembuhkan pecandu heroin. INCB

selaku institusi internasional independen

seharusnya juga mengarahkan kritiknya

kepada Rusia dan tidak hanya berhenti ke-

pada Latvia.

Kritik juga ditujukan atas laporan INCB

mengenai China, di mana terdapat 220.000

orang yang tengah menjalani proses reha-

bilitasi di compulsory treatment centers.

Dalam laporannya, INCB tidak menying-

gung mengenai kondisi para penghuni pu-

sat rehabilitas tersebut. Hal ini sangat

mengherankan mengingat UNODC dan be-

berapa LSM internasional telah mereko-

mendasikan agar tempat-tempat tersebut

ditutup karena kondisinya yang tidak layak.

Pusat-pusat rehabilitasi tersebut dinilai

lebih menyerupai tempat penyekapan dan

tidak dapat menjalankan fungsi rehabilitasi

secara efektif. Selain itu, diindikasikan ter-

jadi pelanggaran HAM atas para penghu-

ninya, yakni berupa kerja paksa dan pe-

nyiksaan yang dapat dikategorikan sebagai

pelanggaran hukum internasional.

Dalam laporan lainnya terkait dengan Peru,

kritik juga ditujukan karena INCB tidak me-

nyebutkan mengenai tragedi tewasnya 14

pecandu narkoba di sebuah pusat rehabili-

tasi yang terkunci. Padahal kejadian terse-

but berlangsung hanya beberapa bulan se-

belum kunjungan tim ahli INCB. Prosedur

standar internasional sebenarnya telah di-

tetapkan bagi pusat-pusat rehabilitasi yang

tidak perlu dikunci dari luar, namun hal ini

tidak menjadi pokok pembahasan pada

laporan mengenai Peru. Anehnya lagi, INCB

juga tidak menyinggung mengenai peristi-

Page 33: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │31

Diplomasi Multilateral

wa kebakaran di ‘religious therapeutic

community’, suatu komunitas rehabilitasi

yang menggunakan pendekatan religius.

Kebakaran yang terjadi hanya beberapa

hari setelah kunjungan tim ahli INCB ke

Peru tersebut menewaskan sejumlah warga

Peru. Selain memiliki standar klinis yang

buruk, komunitas rehabilitasi tersebut juga

diindikasikan telah melakukan pelanggaran

HAM.

LSM internasional yang bergerak di bidang

HAM dan mereka yang anti terhadap huku-

man mati juga melancarkan kritik terhadap

laporan INCB 2012. Kritik mereka diarah-

kan pada laporan kunjungan ke Arab Saudi

pada tahun 2012, yaitu INCB hanya memuji

komitmen Pemerintah Raja Abdullah dalam

memerangi penyalahgunaan narkoba dan

tidak memberi catatan mengenai pember-

lakuan hukuman mati terhadap 16 penya-

lahguna narkoba, yang beberapa di anta-

ranya termasuk dalam kategori ringan. Pa-

dahal, Komite HAM PBB telah mengecam

pemberlakuan hukuman mati bagi penya-

lahguna narkoba yang nota bene merupa-

kan strategi yang salah dalam perang me-

lawan narkoba.

Kritikus juga menganggap laporan INCB

tahun 2012 kurang berbobot dibandingkan

laporan serupa yang dibuat oleh Special

Rapporteur on Torture yang dipublikasikan

pada minggu yang sama. Dalam laporan

dimaksud, Dewan HAM mencatat bahwa

pusat-pusat rehabilitasi di beberapa negara

telah bertanggung jawab atas perlakuan

yang kejam, sangat merendahkan, dan ti-

dak berperikemanusiaan. Dalam laporan itu

juga disinggung pelarangan atau ilegalisasi

methadone dan buprenorphine yang diang-

gap tidak berperikemanusiaan, suatu posisi

yang belum diambil oleh INCB.

Selain itu, dalam laporan kunjungan (mis-

sion) ke berbagai negara selama tahun

2012 INCB juga kurang menghasilkan

inovasi yang mampu meningkatkan res-

pons negara-negara tersebut dalam men-

gurangi penyalahgunaan narkoba dan me-

nangani mantan pecandu narkoba. Salah

satu contohnya adalah laporan mission ke

Kanada. INCB mengkritik keras kebijakan

pemerintah Kanada dalam menangani

penggunaan marijuana. Kanada memang

telah melegalkan penggunaan marijuana

dengan resep yang digunakan untuk

mengurangi efek rasa sakit selain untuk

meningkatkan nafsu makan. Namun, kritik

keras INCB ini tidak dilengkapi dengan ha-

sil-hasil studi kasus ataupun bentuk-

bentuk catatan kaki lainnya yang dapat

memperkuat argumen mereka. Dalam hal

ini, bagi Indonesia yang akan menjadi sub-

jek mission INCB di tahun 2013, Pemerin-

tah harus memastikan bahwa catatan-

catatan yang akan dibuat INCB nantinya

telah mendapatkan informasi sejelas-

jelasnya dan analisis-analisis yang objektif

yang tidak sekedar estimasi ataupun lapo-

ran-laporan yang bersifat ‘yang penting

ada’.

Page 34: s apa r edaksi

32 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Laporan-laporan INCB adalah laporan res-

mi setiap negara yang diperoleh melalui

kuesioner periodik dan kunjungan oleh 13

Pakarnya sebagai anggota Dewan, yang

saat ini salah satunya adalah Prof. Surya-

wati dari Indonesia. Bagaimanapun, pende-

katan INCB dalam menangani persoalan

narkoba memang lebih soft, baik bagi pen-

gusung harm reduction maupun pendeka-

tan abstinence. Namun, hal ini telah sesuai

dengan mandat dari Konvensi. INCB sendiri

memandang bahwa pendekatan yang soft

tersebut lebih efektif dalam menjalankan

tugasnya sebagai dewan pengawas narko-

tika internasional.

Dody Harendro adalah staf

pada Direktorat Keamanan

Internasional dan Perlucu-

tan Senjata

Referensi:

1. Report of the International Narcotics Control

Board for 2012

2. Daniel Wolfe, Is the INCB Dangerous to Your

Health? 3 April 2013, The Huffington Post.

3. Open Society Institute, Closed to Reason: The

International Narcotics Control Board and

HIV/AIDS.

4. www.incb.org; www.bnn.go.id;

www.depkes.go.id.

Profil: World Tourism Organization (UNWTO)

UNWTO merupakan Badan PBB yang bertugas mendo-rong terciptanya pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan terakses secara universal. Organisasi ini didirikan pada tahun 1974 dan saat ini beranggota-kan 156 negara, 6 associate member, dan lebih dari 400 affiliate member yang mewakili sektor swasta, lembaga pendidikan, asosiasi pariwisata, dan otoritas pariwisata daerah.

UNWTO menempatkan pariwisata sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, pembangunan yang

inklusif, dan keberlanjutan lingkungan. Kode Etik Pariwisata Global menjadi pegangan untuk mengop-

timalkan kontribusi sosial dan ekonomi pariwisata dengan meminimalisir dampak negatifnya. UNW-

TO juga berkomitmen untuk menjadikan pariwisata sebagai instrumen untuk mencapai MDGs, khu-

susnya dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pemajuan pembangunan berkelanjutan.

Dalam melaksanakan tugasnya, UNWTO melakukan banyak hal, antara lain mendorong kebijakan

pariwisata yang kompetitif dan beerkelanjutan, mengadakan pendidikan dan pelatihan, dan memberi-

kan bantuan teknis kepada lebih dari 100 negara.

Struktur organisasi yang bermarkas di Madrid, Spanyol, ini terdiri dari Majelis Umum, Komisi Regio-

nal, Dewan Eksekutif, Komite, dan Sekretariat. Sejak tahun 2012, Indonesia merupakan anggota De-

wan Eksekutif UNWTO hingga akhir periode pada tahun 2015.

Page 35: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │33

Diplomasi Multilateral

Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di Filipina Selatan Muhammad Yusuf dan Tolhah Ubaidi

Proses perdamaian di Filipina Selatan anta-

ra Pemerintah Filipina (GPH) dan Moro Is-

lamic Liberation Front (MILF) telah berlang-

sung sejak ditandatanganinya Perjanjian

Damai antara keduanya pada tahun 2001 di

Tripoli, Libya. Pada bagian akhir perjanjian

damai tersebut, selain kepada Libya dan

Malaysia yang memfasilitasi, GPH-MILF

juga menyampaikan apresiasinya kepada

Presiden RI Abdurrahman Wahid atas du-

kungan yang diberikan. “Collective appreci-

ation and gratitude .....to H.E. Abdurrahman

Wahid, President of the Republic of Indone-

sia, for their full and continuing support,”

demikian bunyinya.

Dalam rangka mengawal implementasi per-

janjian tersebut, GPH dan MILF mengun-

dang negara-negara lain selaku pengawas

dalam International Monitoring Team (IMT).

IMT terdiri dari pengamat militer dan sipil

yang berasal dari Malaysia, Brunei Darus-

salam, Jepang, Libya, Norwegia, Uni Eropa,

dan Indonesia. Misi utama IMT adalah me-

mantau pelaksanaan perjanjian damai an-

tara GPH dengan MILF dan tindak lanjut

pelaksanaan pedoman aspek-aspek kea-

manan, kemanusiaan, rehabilitasi dan

pembangunan, serta bantuan sosio-

ekonomi dan perlindungan sipil. Ada empat

perjanjian damai GPH-MILF yang diawasi

pelaksanaannya, yaitu:

1. Agreement on Peace between GPH-

MILF (22 Juni 2001)

2. Implementing Guidelines on Security

Aspect (7 Agustus 2001)

3. Implementing Guidelines on the Huma-

nitarian, Rehabilitation and Aspects (7

Mei 2002)

4. Agreement on the Civilian Protection

Component IMT (27 Oktober 2009)

IMT saat ini terdiri dari enam negara den-

gan kekuatan 55 personel, dengan kompo-

sisi Malaysia (19 orang), Indonesia (15

orang), Brunei (15 orang), Uni Eropa (2

orang), Jepang (2 orang), dan Norwegia (2

orang). Kehadiran tim ini telah memberikan

kontribusi signifikan bagi meredanya kon-

flik senjata antara GPH-MILF. Sebelum ke-

hadiran IMT tahun 2002, konflik senjata

terjadi sebanyak 698 kali. Setahun kemu-

dian, jumlah itu turun menjadi 559 kali, lalu

di tahun 2004 turun lagi menjadi sebanyak

15 kali, tahun 2005 sebanyak 10 kali, tahun

2006 sebanyak 13 kali, dan tahun 2007

sebanyak 18 kali. Pada tahun 2008, dengan

adanya penarikan misi IMT, jumlah konflik

bersenjata mengalami kenaikan menjadi

sebanyak 118 kali. Setahun kemudian jum-

lah itu masih cukup tinggi, yakni 115 kali.

Kehadiran kembali misi IMT pada tahun

2010 lagi-lagi memberikan dampak positif,

yang terbukti dengan menurunnya jumlah

Page 36: s apa r edaksi

34 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

15 personel Tim Pengamat Indonesia pada IMT II di KBRI Manila (2/07) - www.kemlu.go.id

konflik bersenjata menjadi hanya 10 kali.

Pada tahun 2011, jumlah itu kembali turun

menjadi sebanyak 4 kali, dan pada tahun

2012 tidak ada insiden sama sekali.

Keterlibatan Indonesia pada Misi IMT

Indonesia bergabung ke dalam IMT pada

tahun 2012 atas permintaan GPH dan MILF

yang disampaikan pada tanggal 9 Desem-

ber 2009. Pada kunjungan Presiden Filipina

Benigno Aquino ke Indonesia bulan Maret

2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyo-

no menyampaikan kesediaan Indonesia

untuk berpartisipasi dalam tim tersebut.

Sebagai dasar hukum, dibuatlah Peraturan

Presiden Nomor 47 tahun 2012 tanggal 24

April 2012 tentang Tim Pengamat Indone-

sia (TPI) dalam IMT di Filipina Selatan dan

Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 6

tahun 2012 tanggal 18 Desember 2012

tentang Pedoman, Penyiapan, Pengiriman,

Penarikan, dan Pengawasan TPI-IMT di

Filipina Selatan.

Sesuai dengan permintaan GPH dan MILF,

TPI terdiri dari 10 personel militer serta

lima orang sipil dengan masa tugas satu

tahun yang dapat diperpanjang sesuai ke-

butuhan. Tim Sipil akan dirotasi setiap

enam bulan.

Partisipasi Indonesia dalam IMT ini diha-

rapkan dapat memberikan wawasan yang

lebih komprehensif dan jelas atas permasa-

lahan yang sesungguhnya terjadi di Filipina

Selatan. Peran Indonesia dalam IMT me-

nunjukkan komitmen Indonesia untuk

membantu menciptakan perdamaian seca-

ra menyeluruh di Filipina Selatan. Hal itu

juga menunjukkan partisipasi aktif Indone-

sia dalam mendorong perdamaian di kawa-

san, khususnya yang berbatasan langsung

dengan wilayah Indonesia. Ini sejalan de-

Page 37: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │35

Diplomasi Multilateral

ngan komitmen Indonesia sebagai salah

satu negara anggota ASEAN, yaitu mewu-

judkan keamanan yang komprehensif da-

lam ASEAN Political Security Community

(APSC) pada tahun 2015. Sebagai catatan,

pada tahun 2005, Filipina menyambut baik

undangan Indonesia untuk turut berpartisi-

pasi di dalam Aceh Monitoring Mission

(AMM) sebagai pihak yang memonitor im-

plementasi perjanjian damai Pemri dengan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh

sampai dengan Desember 2006. Dengan

demikian, keterlibatan Indonesia di IMT

juga bisa dimaknai sebagai bentuk balas

budi Indonesia atas Filipina.

Tolhah Ubaidi adalah Ke-pala Seksi pada Direktorat Sosial Budaya dan Orga-nisasi Internasional Nega-ra Berkembang

Muhammad Yusuf adalah Kepala Seksi pada Direk-torat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang

Page 38: s apa r edaksi

36 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Pengarusutamaan Gender di Indonesia Anisa Farida

Konsep pengarusutamaan gender (gender

mainstreaming) atau biasa disingkat PUG

mulai dibahas secara formal di tataran in-

ternasional pada Third World Conference

on Women tahun 1985 di Nairobi, Kenya.

Oleh Economic and Social Council (ECO-

SOC), PUG didefinisikan sebagai proses

untuk menilai implikasi dampak rencana

tindakan, perundang-undangan, kebijakan

ataupun program terhadap laki-laki dan

perempuan di segala bidang dan tingkatan.

PUG sendiri menjadi semacam strategi atau

alat untuk mengintegrasikan kebutuhan

maupun pengalaman laki-laki dan perem-

puan dalam perancangan, implementasi,

pengawasan dan evaluasi kebijakan dan

program dalam semua tataran politik, eko-

nomi dan sosial agar laki-laki dan perem-

puan dapat memperoleh manfaat yang sa-

ma guna tercapainya kesetaraan gender.

Indonesia memiliki komitmen yang kuat

untuk mengarusutamakan gender dalam

pembangunan di segala bidang, baik di

tingkat nasional, regional, maupun global.

Komitmen tersebut antara lain diwujudkan

melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan (Conven-

tion on the Elimination of Discrimination

Against Women/CEDAW) tahun 1984 serta

berbagai Instrumen HAM internasional ter-

kait lainnya. Selain itu, Indonesia juga

mengikatkan diri pada berbagai kesepaka-

tan internasional seperti Beijing Declaration

and Platform for Action tahun 1995, hasil-

hasil Sesi Khusus ke-23 SMU PBB tahun

2000, dan MDGs.

Pada tataran nasional, pengakuan terhadap

hak-hak perempuan dan anak perempuan

terefleksikan dalam Undang-Undang No-

mor 39 tahun 1999 tentang HAM. Berbagai

upaya juga telah dilakukan dalam mewu-

judkan kesetaraan gender secara keseluru-

han di berbagai tataran, di antaranya mela-

lui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000

tentang PUG, yang mengamanatkan pem-

berian kesempatan yang sama antara laki-

laki dan perempuan terhadap akses infor-

masi dan pemanfaatan hasil-hasil pem-

bangunan di segala bidang yang perlu di-

dukung oleh masing-masing kementerian

dan lembaga dalam rangka peningkatan

dan penguatan kelembagaan PUG. Isu ke-

setaraan gender juga merupakan salah satu

dari tiga isu yang diarusutamakan sesuai

yang mandat Peraturan Presiden Nomor 5

tahun 2010 tentang Rencana Pembangu-

nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2010-2014, yang terdiri atas: (i)

pengarusutamaan pembangunan berkelan-

jutan; (ii) pengarusutamaan good gover-

nance; dan (iii) pengarusutamaan gender.

Sebagai tindak lanjut dari Inpres No.

9/2000 dan Perpres No. 5/2010, diter-

Page 39: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │37

Diplomasi Multilateral

bitkanlah Peraturan Menteri Keuangan No-

mor 109 tahun 2009, Nomor 104 tahun

2010 dan Nomor 93 tahun 2011 tentang

Petunjuk Penyusunan dan Rencana Kerja

dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang

Responsif Gender. Hal ini menimbulkan

konsekuensi perencanaan anggaran bagi

setiap program dan kegiatan terkait berda-

sarkan analisa dampak gender untuk men-

capai keadilan dan kesetaraan gender. Da-

lam penerapannya, 28 Kementerian telah

memiliki kelompok kerja dan focal point isu

gender untuk mengarusutamakan isu

gender dalam kebijakan dan programnya.

Saat ini, Pemerintah bersama DPR tengah

membahas RUU Kesetaraan Gender seba-

gai payung hukum upaya pengarusutamaan

gender di Indonesia. RUU ini diharapkan

dapat memperkuat dukungan dari lembaga

eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta

partisipasi masyarakat dan sektor swasta

dalam pengarusutamaan gender.

Di lingkungan Kementerian Luar Negeri, isu

gender telah menjadi bagian dalam pelak-

sanaan tugasnya selama ini. Namun,

proses formalnya baru bergulir sejak tahun

2005 dengan adanya Seminar 60 Tahun

Perempuan dalam Diplomasi Indonesia.

Sebagai tindak lanjut, dibentuklah Kelom-

pok Kerja PUG pada tahun 2006 untuk me-

ningkatkan kesadaran atas isu kesetaraan

gender di lingkungan Kemlu sehingga dapat

diimplementasikan dalam program atau

kegiatan yang lebih konkret.

Dalam pelaksanaan tugas kerja di Kemlu,

isu gender merupakan bagian penting dan

rutin dalam pembahasan di sejumlah forum

internasional dan bilateral. Dalam forum

PBB, isu gender dibahas antara lain di Ko-

mite 3, Committee on the Status of Women

(CSW), Commission for Social Development

(CSocD), Commission on Population and

Development (CPD), maupun pada saat

pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai

negara pihak CEDAW dan instrumen HAM

lainnya di Dewan HAM. Selain itu, isu

gender juga menjadi bagian penting dalam

pembahasan isu-isu lainnya, seperti pen-

capaian MDGs, upaya pemajuan dan perlin-

dungan pekerja migran, serta kesetaraan

gender dalam isu kesehatan maupun isu

keamanan dan perdamaian internasional.

Forum internasional lain, seperti OKI dan

GNB, juga memberi perhatian khusus ter-

hadap isu gender, dan bahkan memiliki

satu forum tingkat menteri yang khusus

membahas isu ini. Indonesia pernah men-

jadi tuan rumah KTM OKI mengenai Peran

Perempuan dalam Pembangunan pada bu-

lan Desember 2012 lalu. Di tingkat kawa-

san, isu gender juga dibahas antara lain

dalam kerangka kerja sama ASEAN melalui

pilar Sosial Budaya maupun dalam sectoral

bodies ASEAN seperti Committee on Wo-

men (ACW) dan pembentukan ASEAN

Commission on the Promotion and Protec-

tion of the Rights of Women and Children

(ACWC) sebagai mekanisme regional bi-

dang HAM.

Page 40: s apa r edaksi

38 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Karena sifatnya yang intersektoral dan mul-

tidimensional, dalam pelaksanaan tugas di

Kemlu isu gender kerap muncul dan diba-

has oleh berbagai satuan kerja. Kemlu me-

mandang perlu untuk melakukan stockta-

king dan pemetaan terhadap berbagai hal

yang telah dilaksanakan Indonesia di bi-

dang kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan di tingkat bilateral, regional,

dan multilateral. Sebagai tindak lanjut, Dit-

jen Multilateral mengadakan Rapat Koordi-

nasi Pemetaan Isu Kesetaraan Gender dan

Pemberdayaan Perempuan dalam Politik

Luar Negeri pada bulan April 2013, yang

bertujuan untuk mengkaji ulang serta me-

ngembangkan dan menyusun arah kebija-

kan dan polugri Indonesia di bidang keseta-

raan gender dan pemberdayaan perempuan

yang lebih strategis, terarah, komprehensif,

serta merefleksikan kepentingan nasional

Indonesia untuk menjadi acuan tunggal

pelaksanakan diplomasi di semua lini.

Dari hasil Rakor tersebut, didapati secara

umum bahwa upaya pengarusutamaan

gender dan pemberdayaan perempuan di

Kemlu telah dilaksanakan dalam aspek

normatif, koordinasi, kerja sama teknis,

riset dan pengembangan, maupun admini-

stratif. Isu kesetaraan gender dan pember-

dayaan perempuan juga telah diangkat se-

bagai elemen dalam pembahasan berbagai

isu di bidang lain, baik pada tingkat bilater-

al, regional, multilateral, maupun dalam

internal Kemlu.

Walaupun saat ini berbagai kementerian

dan lembaga (K/L) telah mulai mengarus-

utamakan perspektif kesetaraan gender

dalam perencanaan dan penganggarannya,

namun menurut Kementerian Pember-

dayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(KPP-PA) sebagai focal point nasional di

bidang perempuan saat ini masih belum

ada inisiatif untuk mengidentifikasi isu-isu

substansi K/L yang dapat dikaitkan dengan

prioritas nasional di bidang kesetaraan

gender dan pemberdayaan perempuan,

seperti yang tengah diupayakan Kemlu.

Dalam hal ini, Kemlu diharapkan menjadi

leading agent dalam mengidentifikasi dan

mengintegrasikan gender ke dalam semua

lini dan menjadi contoh bagi K/L lainnya.

Saat ini, masukan yang terkumpul tengah

disarikan menjadi cetak biru bagi panduan

pelaksanaan kebijakan polugri Indonesia

terkait kesetaraan gender dan pember-

dayaan perempuan. Selain itu, pemajuan

kesetaraan gender dan pemberdayaan pe-

rempuan nasional dapat menjadi modal

soft diplomacy Indonesia dalam mening-

katkan peran dan kontribusi Indonesia, te-

rutama di bidang pemajuan HAM, demokra-

si, dan pembangungan yang inklusif pada

tataran bilateral, kawasan dan global.

Anisa Farida adalah staf pada Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanu-siaan.

Page 41: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │39

Diplomasi Multilateral

Sri Suryawati dan Upaya Global Pengawasan Narkotik Dody Harendro

Indonesia patut berbangga karena salah

seorang putri terbaiknya, Sri Suryawati,

terpilih sebagai anggota International Nar-

cotics Control Board (INCB). Keanggotaan

pada badan tersebut tidak didasarkan pada

keterwakilan negara, melainkan lebih kepa-

da kapasitas pribadi seorang individu yang

dinilai memiliki kompetensi. Dengan pero-

lehan 42 suara dari total 54 negara anggota

Economic and Social Council (ECOSOC),

Suryawati berhasil menyisihkan dua pe-

saingnya dari Estonia dan Suriah dalam

pemilihan yang berlangsung tertutup di

Markas Besar PBB, New York, 25 April

2013.

Suryawati menggantikan anggota INCB dari

Iran, Hamid Ghodse, yang meninggal dunia

pada bulan Desember 2012. Sesuai aturan

pasal 10 paragraf 5 dari Konvensi Tunggal

tentang Narkoba (Single Convention on

Narcotics Drugs) tahun 1961, anggota yang

meninggal akan digantikan melalui pemili-

han dalam sesi khusus (special session).

Jabatan itu akan diembannya hingga 1 Ma-

ret 2017 mendatang.

Anggota INCB yang berjumlah 13 orang

saat ini adalah para pakar yang diseleksi

dan dipilih sendiri oleh ECOSOC. Tiga dian-

taranya, termasuk Sri Suryawati, merupa-

kan pakar yang dipilih khusus karena keah-

liannya di bidang medis, farmakologi, dan

farmasi melalui rekomendasi dan nominasi

dari World Health Organization (WHO).

Suryawati yang memperoleh gelar Guru

Besar dari Universitas Gadjah Mada adalah

seorang ahli farmakologi dengan spesiali-

sasi di bidang clinical pharmacokinetics.

Saat ini, ia dipercaya untuk mengepalai

Pusat Studi Farmakologi Klinis dan Kebija-

kan Obat pada Fakultas Kedokteran UGM.

Terpilihnya Suryawati pada INCB tak terle-

Page 42: s apa r edaksi

40 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

pas dari track record pengalamannya di

dunia internasional. Sejak tahun 1999, ia

aktif sebagai WHO Advisory Panel on Medi-

cine Policy and Management; Dewan Ekse-

kutif pada International Network for Ra-

tional Use of Drugs (INRUD) sejak 2005;

dan juga Wakil Presiden INCB sekaligus

Ketua Standing Committee on Estimates

INCB tahun 2010.

“Terpilihnya Profesor Suryawati tidak hanya

menunjukkan pengakuan atas kepakaran

beliau pada isu kerja sama internasional

dalam pengawasan narkotika, namun juga

mencerminkan kepercayaan masyarakat

internasional terhadap peran dan kontribusi

Indonesia di berbagai kerja sama interna-

sional dalam kerangka PBB,” demikian per-

nyataan Wakil Tetap RI untuk PBB Duta

Besar Desra Percaya.

Selain membawa nama Indonesia, Surya-

wati juga mendapatkan tugas berat yang

merupakan pekerjaan rumah peninggalan

masa lalu, yaitu mengembalikan citra posi-

tif INCB yang tengah didera berbagai kriti-

kan atas kinerjanya pada tahun 2012. Dia

diharapkan dapat memegang teguh man-

datnya dengan bersikap imparsial dan be-

bas dari tekanan politik negara atau kelom-

pok lobi tertentu. Sejumlah negara berha-

rap duduknya wakil Indonesia pada INCB ini

akan memajukan kerja sama penanganan

pengawasan obat-obatan narkotik di ting-

kat internasional.

Selamat bertugas dan semoga sukses Prof.

Suryawati!

Dody Harendro adalah staf

pada Direktorat Keamanan

Internasional dan Perlucu-

tan Senjata

Page 43: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │41

Diplomasi Multilateral

Sekilas Info Multilateral

April-Juni 2013

Indonesia Terpilih Kembali sebagai Anggota SIAP

Pertemuan UNESCAP 69th Session diselenggarakan di Bangkok, 25 April-1 Mei 2013, de-

ngan tema utama “Building Resilience to Natural Disasters and Major Economic Crises”.

Pada sidang ini Indonesia terpilih kembali menjadi anggota Governing Council Statistical

Institute for Asia Pacific (SIAP) untuk periode tahun 2013-2016, serta menjadi sponsor

dari tiga resolusi mengenai pembangunan ketahanan terhadap bencana alam, pengelolaan

sumber daya air, dan statistik. Selain itu, Indonesia ditetapkan sebagai salah satu anggota

yang mewakili kawasan Asia Tenggara pada Working Group on the Asian and Pacific De-

cade of Persons with Disabilities 2013-2017 (Periode I).

Penanganan Bahan Kimia Berbahaya

Rangkaian pertemuan Conferences of the Parties (COPs) dan Extraordinary Conferences of

the Parties (ExCOPs) diselenggarakan di Jenewa, Swiss, 28 April-10 Mei 2013. Tujuan

pertemuan tersebut adalah mengupayakan sinergi antara Konvensi Stockholm (produksi

dan penggunaan bahan kimia), Konvensi Rotterdam (prior informed consent perdagangan

bahan kimia) dan Konvensi Basel (pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan

pembuangannya). Masing-masing pertemuan COP serta pertemuan ExCOP menghasilkan

berbagai decisions terkait pengaturan lintas batas, produksi dan penggunaan bahan kimia

dan limbah, sementara High-Level Segment mengeluarkan Geneva Statement on the

Sound Management of Chemicals and Waste yang turut difasilitasi oleh Indonesia.

Peningkatan Kerja Sama RI-Timor Leste

Pertemuan Tingkat Pejabat Senior (Senior Official Meeting/SOM) ke-6 Implementasi Re-

komendasi Komisi Kebenaran dan Persahatan (KKP) Indonesia – Timor-Leste diselengga-

rakan di Bali pada tanggal 6-7 Mei 2013. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk

meningkatkan kemitraan kedua negara yang didasari atas semangat rekonsiliatif dan for-

ward looking. Berbagai kesepakatan telah dicapai dalam pertemuan ini, antara lain pengu-

sulan pembentukan Forum Persahabatan Indonesia-Timor Leste sebagai suatu forum non-

pemerintah yang muncul dari, oleh, dan untuk masyarakat kedua negara; kelanjutan kerja

sama di bidang administrasi, pendidikan, sosial budaya dan kerjasama lainnya; dan peres-

mian tiga titik lintas batas dan penerapan Pas Lintas Batas (PLB) yang belum dibuka.

Page 44: s apa r edaksi

42 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Kerja Sama Penanganan Bencana

Pada tanggal 19-23 Mei 2013, Indonesia menghadiri forum global dua-tahunan tentang

pengurangan resiko bencana, 4th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) di

Jenewa. Pada kesempatan terebut, Indonesia menegaskan kembali Jogjakarta Declaration

sebagai landasan kerja semua pemangku kepentingan di negara-negara Asia-Pasifik da-

lam usaha pengurangan risiko bencana. Indonesia juga menyampaikan komitmennya un-

tuk memberikan kontribusi konstruktif bagi kerangka DRR global pasca-Hyogo Framework

for Action (HFA). Lebih lanjut, Indonesia akan mendukung dan berpartisipasi aktif dalam

usaha pengintegrasian DRR dalam agenda pembangunan pasca-2015.

Kunjungan Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan yang Layak

Atas undangan Pemerintah Indonesia, Special Rapporteur (SR) PBB on adequate housing

as a component of the right to and adequate standard of living, and on the right to non-

discrimination in this context (Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Perumahan

Layak/SR) Mrs. Raquel Rolnik telah melakukan kunjungan di Indonesia mulai tanggal 30

Mei hingga 11 Juni 2013. Kunjungan ini bertujuan untuk memperoleh informasi melalui

dialog dengan pemangku kepentingan terkait mengenai upaya pemajuan hak atas peruma-

han yang layak, keamanan atas kepemilikan, pendanaan perumahan, penataan daerah ku-

muh, serta dampak perubahan iklim dan bencana alam, termasuk upaya pemulihan dan

rekonstruksinya.

Pertemuan ICECS ke-36

Pertemuan ke-36 Islamic Commission for Economic, Cultural and Social Affairs (ICECS)

berlangsung di Jeddah, Arab Saudi, tanggal 30 Juni-2 Juli 2013. Pertemuan ini membahas

progress report atas implementasi Organization of the Islamic Conference – Ten Year Pro-

gramme of Action (OIC-TYPOA) dan draft resolusi yang meliputi bidang ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan, dakwah, sosial dan budaya. Draft

resolusi ini akan diadopsi pada Konferensi Tingkat Menteri ke-40 OKI yang akan diseleng-

garakan di Conakry, Guinea, tanggal 4-6 November 2013.

Perubahan Iklim

Bonn Climate Change Conference diselenggarakan di Bonn, Jerman pada tanggal 3-14

Juni 2013. Konferensi ini merupakan pertemuan Sesi-38 Badan Subsider Permanen

UNFCCC dan Sesi ke-2 Badan Subsider Adhoc mengenai 2015 agreement dan peningkatan

ambisi penurunan emisi gas rumah kaca pra-2020. Dalam konteks perubahan iklim,

Indonesia berpandangan pentingnya melihat upaya peningkatan aksi antara pra dan pas-

Page 45: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │43

Diplomasi Multilateral

ca-2020 sebagai upaya yang berlanjut dan tidak terpisahkan, serta perlunya dukungan dan

kepemimpinan negara maju.

Pengiriman Tim Pengamat Indonesia ke Filipina Selatan

Pada tanggal 1 Juli 2013, telah diselenggarakan seremoni lepas-sambut Tim Pengamat

Indonesia (TPI) pada International Monitoring Team (IMT) di Filipina Selatan. Misi utama

TPI adalah memantau implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dan MILF

dan menindaklanjuti pelaksanaan pedoman aspek-aspek keamanan, kemanusiaan, rehabi-

litasi dan pembangunan, bantuan sosio-ekonomi, dan komponen perlindungan sipil.

Pertemuan Dirjen Multilateral dengan Utusan Khusus Sekjen OKI

Pada tanggal 5 Juli 2013, Dirjen Multilateral telah menemui Utusun Khusus Sekjen OKI,

Duta Besar Sayed Kassem El-Masry terkait rencana pelaksanaan Tripartite V antara Peme-

rintah Filipina dengan MNLF. Pertemuan dengan Dubes El-Masry cukup penting mengingat

Pemerintah Filipina telah menyampaikan keinginan untuk mengakhiri Tripartite Implemen-

tation Review (TIR) antara Organization of Islamic Cooperation-Peace Committee for

Southern Philippines (OIC-PCSP), Pemerintah Filipina dan Moro National Liberation Front

(MNLF) atas Perjanjian Damai 1996. Tahun 2013 direncanakan sebagai tahun terakhir ma-

sa keketuaan Indonesia dalam OIC-PCSP.

Kunjungan Sekjen D-8

Pada tanggal 20-22 Mei 2013, Sekretaris Jenderal Developing-Eight (D-8), Dr. Seyed Ali

Mousavi, melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

dan serangkaian pertemuan dengan Menteri Pertanian, Menteri Perhubungan, Menteri Per-

dagangan, dan Menteri Sekretaris Kabinet, serta memberikan kuliah umum kepada para

peserta Sekdilu di Pusdiklat Kemlu. Selain itu, Sekjen D-8 juga mengadakan pertemuan

dengan Dirjen Multilateral selaku Commissioner D-8 untuk Indonesia dan bertukar pan-

dangan dalam perumusan strategi dan program-program kerja sama D-8 agar lebih fokus

dan konkret.

Page 46: s apa r edaksi

44 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

Agenda Diplomasi Multilateral

Juli-September 2013

Sidang ECOSOC Substantive Session, Jenewa, Swiss, 1-26 Juli 2013

Rangkaian persidangan Economic and Social Council (ECOSOC) Substantive Session

diselenggarakan di Jenewa, Swiss, tanggal 1-26 Juli 2013. Tema utamanya adalah

mengenai peran science, technology and innovation (STI) serta budaya dalam

meningkatkan akses terhadap pengetahuan, peningkatan produktivitas, industrialisasi

pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja, termasuk peranan STI dan budaya

sebagai pendorong penting pencapaian MDGs dan mewujudkan pembangunan

berkelanjutan.

Pembahasan Laporan Inisial dan Periodik pertama Indonesia terhadap ICCPR, Jenewa,

Swiss, 10-11 Juli 2013

Pada bulan Januari 2012, Pemerintah Indonesia telah menyerahkan Laporan Pendahuluan

dan Laporan Periodik Pertama mengenai berbagai upaya Pemerintah dalam memajukan

dan melindungi hak sipil dan politik di Indonesia. Laporan tersebut selanjutnya akan

dibahas pada Sidang Sesi ke-108 Komite HAM yang akan berlangsung di Jenewa, Swiss,

pada tanggal 10-11 Juli 2013. Indonesia wajib menyerahkan laporan tersebut karena telah

menjadi Negara Pihak untuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights) dengan disahkannya UU No. 12 tahun

2005.

The 11th Meeting of the Cartagena Dialogue, Ghana, 18-20 Juli 2013

11th Meeting of the Cartagena Dialogue akan diselenggarakan di Ghana pada tanggal 18-

20 Juli 2013. Pertemuan tersebut merupakan forum untuk diskusi dan tukar pandangan

antara negara maju dan negara berkembang guna mencari jalan tengah dalam proses

perundingan internasional pengendalian perubahan iklim di bawah UNFCCC.

Special Conference on Irregular Movement of Persons, Jakarta, 20 Agustus 2013

Special Conference on Irregular Movement of Persons akan diselenggarkan di Jakarta pada

tanggal 20 Agustus 2013. Konferensi akan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi

langkah nyata dan konkret yang bersifat operasional di lapangan untuk mengatasi perma-

salahan penyelundupan manusia dan perdagangan orang.

Page 47: s apa r edaksi

Volume II No. 2 Tahun 2013 │45

Diplomasi Multilateral

Seminar Nasional "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan dan Pem-

berantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC," Jakarta, 21 Agustus 2013

Seminar Nasional bertema "Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Pencegahan

dan Pemberantasan Korupsi sesuai dengan UNCAC" akan diselenggarakan di Jakarta pada

tanggal 21 Agustus 2013. Seminar tersebut diharapkan dapat menghasilkan inisiatif-

inisiatif baru dalam rangka membangun kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam

memberantas praktik-praktik korupsi yang melibatkan pemerintah dan swasta sesuai de-

ngan ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster,

Bangkok, Thailand, 27-28 Agustus 2013

Special Programme on an Integrated Financing for the Chemicals and Waste Cluster akan

diselenggarakan di Bangkok, Thailand, tanggal 27-30 Agustus 2013. Pertemuan tersebut

bertujuan menyusun terms of reference pembentukan program khusus pendanaan demi

mendukung implementasi Konvensi Basel, Rotterdam dan Stockholm, Konvensi Minamata,

serta Strategic Approach to International Chemicals Management (SAICM) secara

integrated dan berdasarkan kontribusi sukarela.

Jakarta Conference, 29-30 Agustus 2013

Jakarta Conference akan diselenggarakan pada tanggal 29-30 Agustus 2013 dengan tema

“Regional Mechanisms and Cooperation on International Migration, Mobility of People and

Best Practices on Migration and Development in South East Asia”. Pertemuan ini

merupakan kelanjutan dari Manila Conference on Migration and Development: Taking

Stock of the Situation in South East Asian Countries yang merupakan inisiatif kegiatan

diskusi untuk membahas isu migrasi dan pembangunan di kawasan Asia Pasifik yang

diselenggarakan oleh Commission on Filipino Overseas (CFO) dan International Center for

Migration Policy Development (ICMPD), dengan pendanaan penuh dari Uni Eropa (UE).

COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification, Windhoek, Namibia, 16-27

September 2013

Pertemuan COP-11 United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) akan

diselenggarakan di Windhoek, Namibia, tanggal 16-27 September 2013. Pertemuan itu

akan membahas tema utama mengenai penanganan desertifikasi, pengurangan

kemiskinan, serta memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Page 48: s apa r edaksi

46 │ Volume II No. 2 Tahun 2013

Diplomasi Multilateral

High-Level Meeting of the General Assembly on Disability, New York, AS, 23 September

2013

High-level meeting of the General Assembly on Disability (HLMD) dengan tema “The way

forward: a disability inclusive development agenda towards 2015 and beyond” akan

diselenggarakan pada tanggal 23 September 2013, di New York, AS. Pertemuan yang diha-

diri oleh Kepala Negara atau pejabat setingkat Menteri itu akan menghasilkan outcome

document yang berisi tentang usulan dimasukkannya isu disabilitas dalam post-2015 de-

velopment agenda.

Pembukaan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-68

Sidang Majelis Umum (SMU) PBB akan dibuka secara resmi di New York, Amerika Serikat,

pada tanggal 17 September 2013. Tema pada sidang umum kali ini adalah “Post-2015

Development Agenda: Setting the Stage”.

Page 49: s apa r edaksi