RUUK DIY 2010
Transcript of RUUK DIY 2010
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
1/101
NASKAH AKADEMIK
Rancangan Perubahan dan Penyempurnaan
UNDANG - UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1950
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
Disusun oleh:
TIM KERJA KOMITE I
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
Jakarta
2010
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
2/101
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ------------------------------------------------------------------- i
DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------- ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalahi ----------------------------------------------- 1
1.2 Masalah dan Cakupannya --------------------------------------------- 5
1.3 Maksud dan Tujuan ------------------------------------------------------ 7
1.4 Metode Pendekatan ----------------------------------------------------- 8
1.5 Sistematika Pemaparan Naskah Akademik RUUK DIY -------- 9
BAB II ARGUMENTASI PERUBAHAN UU NO.3 YAHUN 1950
2.1 Landasan Filosofis ------------------------------------------------------- 10
2.2 Landasan Sosio-Historis------------------------------------------------ 12
a. Pengakuan Pemerintahan Belanda dan Jepang ------------- 13
b. Pengakuan RI Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta ----- 16
2.3 Landasan Sosiologis----------------------------------------------------- 23
2.4 Landasan Yuridis Konstitusional-------------------------------------- 29
2.5 Perbandingan Monarki Konstitusional------------------------------- 34
2.6 Asas-asas Pembentukan RUUK DIY-------------------------------- 39
a. Asas Nasionalitas --------------------------------------------------- 39
b. Asas Bhineka Tunggal Ika---------------------------------------- 40
c. Asas Religiusitas ---------------------------------------------------- 40
d. Asas Kolektifitas /Gotong Royong ------------------------------ 41
e. Asas Musyawarah dan Mufakat--------------------------------- 41
f. Asas Keselarasan Sosial------------------------------------------ 42
g. Asas Kebijaksanaan------------------------------------------------ 43
h. Asas Menghormati dan Memberikan Hak Setiap Orang -- 44
i. Asas Larangan Sewenang-wenang ---------------------------- 45
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
3/101
iii
BAB III RASIONALISASI KEISTIMEWAAN DIY DAN PENETAPAN SRI
SULTAN HAMENGKU BUWONO X DAN PAKU ALAM SEBAGAI
GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
3.1 Kontroversi di Seputar Penetapan dan Pemilihan --------------- 46
3.2 Argumentasi Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam ------------- 53
a). Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta------------------ 53
b). Kasultanan Yogyakarta dan Puro Paku Alaman ------------- 57
c). Kota Pendidikan dan Kota Pelajar ------------------------------- 61
3.3 Kepemimpinan Kharismatik dan Modern --------------------------- 63
3.4 Mekanisme Penetapan dan Hak Konstitusional Bersyarat ---- 67
a). Maklumat 5 September 1945 Merupakan Ijab Qobul ------ 67
b). Penetapan Sebagai Pengecualian Hukum (Lex Specialis) 69
3.5 Konvensi Penetapan Dalam Ketatanegaraan RI ----------------- 73
3.6 Keadilan dalam Doktrin Preseden------------------------------------ 77
3.7 Penetapan DIY dalam Koridor Demokrasi ------------------------- 80
3.8 Paugeran dan Wali Palimbangan ------------------------------------ 82
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan----------------------------------------------------------------- 84
4.2 Rekomendasi -------------------------------------------------------------- 85
DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------- 86
LAMPIRAN DRAFT RUU PERUBAHAN ------------------------------------------ 89
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
4/101
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak Februari 2010, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Dewan
Perwakilan Daerah RI telah menyepakati hak inisiatif DPD RI, sesuai Pasal
22 D UUD 1945, untuk mengusulkan perubahan dan penyempurnaan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.
Hal ini bukan karena DPD RI sebelumnya tidak mengusulkan RUUK DIY,
melainkan karena adanya perubahan orientasi yang mengharuskan DPD RI
periode ini mengakomodir aspirasi masyarakat Yogyakarta.
Sebelumnya, Sidang Paripurna DPD RI diselenggarakan di akhir
tahun 2009, telah menyetujui hak inisiatif untuk mengusulkan RUUK DIY
disempurnakan. Kemudian Naskah RUUK DIY tersebut telah diajukan ke
Dewan Perwakilan Rakyat RI, untuk dipersandingkan dengan Naskah
RUUK DIY yang telah diajukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian
Dalam Negeri kepada DPR. Berbagai informasi dari sidang di DPR telah
menunjukan adanya kemajuan yang berarti. Bahkan beberapa anggota DPR
telah melakukan kunjungan dan konsultasi dengan Sri Sultan HB X dan
pihak terkait di DIY, termasuk angggota DPRD dan masyarakat sekitar tahun
2008. Berbagai fraksi partai politik yang ada di DPR umumnya telah
memberikan pandangan yang positif atas pentingnya pengesyahan RUUK
DIY.
Namun, pemerintah dan DPR belum ada kesepakatan yang bulat.
Presiden keberatan untuk dapat menerima usulan penetapan terhadap Sri
Sultan HB dan Paku Alam, sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Model
penetapan dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip
demokrasi yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Sebagian
pandangan akademisi di kampus senada dengan keberatan presiden
tersebut. Memang dapat dipahami jika konsep penetapan masih
menyisakan berbagai persoalan bila dikaitkan dengan pertumbuhan
demokrasi ke depan, khususnya terkait dengan beberapa kondisi riil internal
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
5/101
2
SDM Kesultanan dan Paku Alam. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam
sistem ketatanegaraan RI, pemilihan kepala daerah merupakan konsekuensi
logis dari implementasi Pasal 6A dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Karena itu
jika model pemilihan disimpangi, yaitu dengan penetapan, bukankah itu
berarti bahwa pemerintah pusat membiarkan demokrasi yang sedang
ditumbuhkan dan berkembang terlecehkan. Perlakuan pemerintah pusat yang
mengistimewakan Yogyakarta dikhawatirkan akan menimbulkan
kecemburuan bagi daerah-daerah lain yang memilki kesultanan atau
kerajaan. Dari perspektif ini munculnya klaim keistimewaan dari berbagai
daerah dapat mengganggu bangunan utuh NKRI.
Beberapa pertanyaan yang menjadi problematik adalah
bagaimanakah instrumen hukum ketika terjadi kekosongan sumber daya
manusia sekiranya UU ini telah diberlakukan. Ketika Sri Sultan dan atau Paku
Alam berhalangan tetap karena wafat atau sakit karena faktor umur, siapa
yang pantas menggantikan kedudukan kepemimpinan tersebut oleh karena
dalam kebiasaan masyarakat bangsawan, kedudukan kepemimpinan dapat
diwariskan kepada anak-anak laki-laki, dari anak seorang permaisuri.
Parameter dan persyaratan kualitas SDM juga menjadi tuntutan penting yang
harus dipenuhi.
Belum lagi pertanyaan yang terkait keseragaman kepatuhan pada
UUD 1945. Mengapa proses suksesi kepemimpinan di DIY tidak sama
dengan kebanyakan pemilihan kepala daerah di wilayah RI lainnya?. Sikap
pemerintah seperti itu, memang masuk akal bilamana dikaitkan dengan
format implementasi demokrasi. Namun, sikap kehati-hatian pemerintah
pusat telah dipahami secara berbeda. RUUK yang saat ini sedang dinantikan
kehadirannya dan belum juga disahkan dipandang diskriminatif.
Kekhawatiran akan adanya kekosongan hukum, tidaklah berlebihan oleh
karena masa perpanjangan sudah hampir berakhir.
Berbeda halnya sikap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Aceh
dan Papua. Tuntutan mereka untuk menetapkan kedua provinsi ini sebagai
daerah khusus, juga telah diwujudkan dalam instrumen hukum. Misalnya,
kedudukan status daerah khusus bagi Aceh didasarkan pada UU nomor 18
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
6/101
3
tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan status otonomi
khusus Papua didasarkan pada UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua. Sementara itu, perlakuan pemerintah pusat
terhadap DIY diskriminatif sampai hari ini belum juga jelas.
Karena itu, langkah DPR RI dan DPD RI saat ini, untuk mendorong
RUUK DIY dibahas kembali merupakan wujud kongkrit kepedulian
pemerintah pusat terhadap masyarakat DIY. DPD RI mengambil peran
strategis untuk mendorong DPR RI menyelesaikan RUUK DIY dan hal itu
menjadi langkah positif. Proses persiapan RUUK DIY telah berlangsung sejak
tahun 2002, yang berarti telah bergulir hampir 8 tahun dari wacana ke
wacana. Sementara tuntutan suksesi di DIY sudah harus dilaksanakan pada
bulan Agustus 2011. Keputusan Presiden yang terkait dengan kebijakan
memperpanjang kedudukan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan
Wakil Gubernur akan segera berakhir pula. Kondisi tersebut mestinya
mendorong pihak pemerintah pusat untuk memberikan perhatian lebih serius
lagi mengingat usulan perpanjangan hanya akan menuai perselisihan.
Karena itu, UU Keistimewaan DIY harus segera disahkan agar
kepastian hukum dapat segera terjamin. Masyarakat Yogyakarta terutama
lapisan pejabat pemerintahan dari tingkat yang paling bawah, pemerintahan
Desa/Kelurahan, Kecamatan dan sebagian besar pamong di tingkat
kabupaten dan kota, termasuk suara dari anggota DPRD Provinsi dan juga
Kabupaten dan/atau kota terbaca jelas bahwa model penetapan,
dipandang sebagai pilihan tepat yang perlu menjadi pertimbangan
Pemerintah Pusat.
Menyikapi pandangan tersebut, Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU) Selasa, tanggal 2 Maret 2010 di Ruang Sidang Komite I DPD RI.
Setelah disampaikan pemaparan secara akademik oleh pakar hukum dan
otonomi daerah, secara bulat DPD RI bermaksud memperjuangkan suatu
Naskah Akademik dan Draft RUUK DIY, dengan melakukan usul perubahan
terhadap UU Nomor 3 tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Selain itu, DPD RI juga merekomendasikan untuk melakukan
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
7/101
4
pertemuan dengan Komisi II DPR RI, untuk memperoleh informasi yang jelas
tentang bagaimanakah kedudukan hak inisiatif DPR.
Persoalan yang muncul terkait dengan hal itu adalah apakah bahan-
bahan dari pemerintahan masih tetap dipergunakan sebagai referensi?..
Selain itu, Komite I. DPD RI juga menyetujui bahwa penetapan Sri Sultan
dan Sri Paku Alam merupakan salah satu wujud dari keistimewaan DIY yang
paling utama. Sedangkan Naskah Akademik RUUK DIY versi DPD RI
(periode 2004-2009) menjadi salah satu rujukan dari kajian Tim Kerja Komite
I DPD RI saat ini. Akibatnya, Naskah Akademik dan RUUK DIY perlu
dilakukan suatu perumusan ulang sesuai dengan tuntutan masyarakat DIY.
Upaya untuk memperkuat kajian akademik yang lebih mendalam dan lebih
kritis dari berbagai pakar perlu dihadirkan agar kajian terkait dengan isu
utama, apakah penetapan sebagai ciri Keistimewaan DIY tersebut
berkesesuaian dengan nilai-nilai prinsipil demokrasi dan HAM sebagaimana
diatur oleh UUD 1945.
Hal ini dimaksudkan agar di satu pihak dapat menyesuaikan dengan
tuntuan masyarakat DIY dan kecenderungan pandangan elit-elit politik, baik
di DPRD tingkat DIY, maupun di tingkat Pusat (DPR dan DPD RI). Di pihak
lain, juga harus diupayakan dapat mencegah timbulnya uji materiel (judicial
review) ke MK RI, yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang
berseberangan. Untuk mencegah hal tersebut, perlu ditegaskan bahwa status
hukum kekhususan dan keistimewaan, secara konsitusional bukanlah
monopoli hak konstitusional DIY. Akan tetapi merupakan hak konstitusional
setiap daerah sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18B ayat (1).
Apakah daerah-daerah merasa memiliki hak-hak kekhususan dan
keistimewaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan memberikan
bukti-bukti yang signifikan atas persoalan yang diusulkan, yaitu untuk
membuktikan keunikan-keunikan yang membedakan secara diametral dari
model otonomi daerah pada umumnya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pasal perubahan dan
penyempurnaan UU No. 03 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, melalui
prosedur penetapan sebagai ciri utama keistimewaan DIY, secara obyektif
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
8/101
5
dipandang sebagai hak konstitusional bersyarat. Suatu alternatif, dimana UU
yang hendak disahkan dapat diberlakukan manakala syarat-syarat yang
melekat pada keistimewaan DIY masih ada dan mendapatkan dukungan dari
masyarakatnya. Karena itu fungsi UU DIY yang akan disahkan tersebut
nantinya hanya memiliki sifat Ius Constitum (menjawab persoalan saat ini
yang sangat diperlukan) dan tidak dipersiapkan untuk merespons atas suatu
peristiwa yang akan datang (Ius Constituandum).
1.2 Masalah dan Cakupannya
Untuk sampai kepada pemahaman yang komprehensif dan mencapai
tujuan tersebut di atas, perlu diajukan suatu rumusan masalah yang
fundamental, sehingga semua wacana yang timbul dapat menjadi bahan
pertimbangan yang logis, obyektif dan berkesesuaian dengan nilai-nilai
demokrasi dan HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Pertama, dalam Pasal 18B UUD 1945, ayat (1) dengan tegas
dinyatakan bahwa bentuk pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa
dipandang merupakan hak konstitusional yang dalam implementasinya
diberikan kepada setiap daerah. Senada dengan itu Pasal 18B ayat (2)
mengamanahkan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat dapat
diperjuangkan sepanjang memenuhi syarat-syarat sosiologis dan yuridis.
Persoalannya, adalah bagaimana sebenarnya makna dan fungsi
keistimewaan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, dan bagaimana
landasan atau argumentasi yang dikemukakan agar keistimewaan
memperoleh pembenaran dalam sistem Ketatanegaraan RI, baik secara
filosofis, historis, sosiologis, juridis konstitusional RI?.
Kedua, sistem monarki konstitusional di berbagai negara modern
seperti Raja Bumibhol di Thailand, Belanda, Inggris dan keberadaan Sultan-
Sultan di negara-negara Bagian Malaysia. Keberadaan raja-raja tersebut,
sejatinya memiliki kekuasaan dan kewenangan sejajar dengan kepala negara
suatu Negara berdaulat (sovereign state). Pengakuan terhadap eksistensi
raja-raja di negara-negara modern tersebut bukan sekedar karena mereka
merupakan simbol kenegaraan semata, tetapi sesungguhnya karena urusan
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
9/101
6
politik dan pemerintahan sebagai wilayah publik diserahkan kepada institusi
politik yang lebih legitimit. Konsekuensinya, raja-raja tersebut masih memiliki
hubungan dengan sistem pemerintahan demokratis dan modern di tingkat
nasional meskipun realitas tidak berada dalam struktur kekuasaan politik
melainkan lebih mewakili sebagai simbol kultural dan menghormati negara.
Hal ini sungguh berbeda dengan Sultan HB dan Paku Alam di DIY
mengingat keberadaan dan status mereka berada pada tingkat pemerintahan
provinsi dengan membawahi lima (5) pemerintahan setingkat kabupaten.
Sehingga kajian terhadap monarki konstitusional di beberapa negara tidak
menempati kedudukan yang sebanding (incompatible conditions). Persoalan
yang timbul adalah, apakah jika status keistimewaan DIY melalui praktek
penetapan Sultan HB dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil
Gubenur DIY akan berdampak menimbulkan disharmonisasi sosial terhadap
pemerintahan yang demokratis?
Ketiga, terhadap realitas sistem pemerintahan yang semakin legitimit
berdasarkan pemilihan Presiden dan Wakilnya secara langsung
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 A, dan pemilihan kepala daerah
(Gubernur, Bupati dan Walikota) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat
(4) UUD 1945 (amandemen), merupakan ketentuan hukum umum (general
rule of law) dalam demokrasi Indonesia. Konsekuensinya, pemilihan umum
secara seragam wajib dilakukan secara jujur, adil, bebas dan rahasia, tetapi
juga diselenggarakan secara demokratis melalui pemilihan secara langsung
(direct vote). Persoalan yang timbul adalah apakah penetapan kepala
daerah, sebagaimana dijumpai dalam kasus penetapan Sri Sultan HB
dengan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur DIY
mendapatkan pembenaran secara juridis konstitusional dan berkesuaian
dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM?.
Keempat, perpanjangan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
melalui Keppres RI 2009, tidak lama lagi akan berakhir pada bulan Agustus
2011, dan menjadi tantangan bilamana UU Keistimewaan DIY belum juga
disyahkan oleh DPR bersama pemerintah. Padahal, beberapa wilayah seperti
pemerintahan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, dan Daerah Khusus
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
10/101
7
Pemerintahan Papua telah memperoleh status hukum yang jelas dan pasti.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah pemerintahan pusat masih tetap akan
menawarkan opsi pemilihan secara langsung di DIY dengan penuh resistensi
atau menyediakan alternatif penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai hak konstitusional bersyarat (right of
constitusional condition)?.
1.3 Maksud dan Tujuan
Naskah akademik ini dipersiapkan dengan maksud dan tujuan sebagai
berikut. Pertama, mempersiapkan acuan atau pedoman teoritis, landasan
filosofis, historis, sosiologis dan juridis yang dapat dijadikan sumber
pengetahuan dalam merumuskan berbagai norma hukum terikait dengan
makna dan fungsi keistimewaan DIY yang mensejaheratakan bagi
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkesesuaian dengan konsep
Negara Kesatuan RI.
Kedua, memperoleh gambaran tentang kaitan antara status raja-raja
di berbagai negara dengan sistem pemerintahan modern di beberapa negara
untuk dijadikan bahan perbandingan bagi upaya menetapkan relevansinya
dengan kasus Kesultanan Yogyakarta, termasuk implikasinya terhadap
sistem pemerintahan secara nasional.
Ketiga, terbangunnya argumentasi empat pilar keistimewaan selain
parameter kebudayaan, tanah, dan pendidikan selain penetapan Sri Sultan
HB dan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,
sebagai inti keistimewaan DIY yang dapat menjadi sumber potensial bagi
terbentuknya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Yogyakarta.
Keempat, terbentuknya suatu instrumen hukum berwujud UU yang
sifat dan statusnya hanya merespon kebutuhan hukum yang ada saat ini ( Ius
constitutum), dan tidak dipergunakan untuk merespon keadaan yang belum
pasti di masa mendatang (Ius constituandum), sehingga dapat tercipta
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum dalam proses pergantian
kepemimpinan di tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai koridor
demokrasi dan nilai-nilai HAM yang diatur dalam UUD 1945.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
11/101
8
1.4 Metode dan Pendekatan
Suatu peraturan perundang-undangan, sebagai produk legislatif
bersama dengan pemerintah selalu diharapkan out-comenya, adalah suatu
UU yang legitimit. Menurut UU Nomor 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, suatu peraturan perundang-undangan yang
legitmit dapat disahkan manakala didukung oleh prosedur dan mekanisme
sebagai berikut.
Selain adanya usulan atau hak inisiatif dari Pemerintah, DPR atau
inisiatif dar DPD RI terhadap obyek tertentu, juga diperlukan adanya suatu
proses penjaringan input dengan Focus Group Discussion, Daftar Identifikasi
Masalah, Rapat Dengar Pendapat (RDPU), Peer Review, juga diperlukan
adanya suatu Uji Publik. Dengan harapan, bahwa suatu Draft RUU selain
memperoleh masukan dari berbagai lapisan sosial secara menyeluruh, juga
dengan cara pengujian publik maka hal itu telah mengakomodir peran serta
masyarakat, sehingga dapat menghindari sikap resistensi atas produk UU
baru dapat meminimalisir timbulnya uji materiel ke Mahkamah Konstitus.
Sedangkan penggunaan pendekatan komprehensif dalam Naskah
akademik ini dimaksudkan sebagai suatu upaya memaparkan atau menjawab
berbagai persoalan secara argumentatif, mengenai urgensi RUUK-DIY.
Penggunaan istilah penetapan bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri
Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, yaitu dilakukan
dengan mengedepankan berbagai disiplin keilmuan yang relevan. Beberapa
landasan seperti, filosofis, historis, sosiologis, dan juridis konstitusional dan
konvensi ketatanegeraan, baik yang telah berlangsung sejak pemerintahan
orde lama maupun dalam era pemerintahan orde baru merupakan
argumentasi yang melekat pada keistimewaan DIY hingga kini.
Keraguan pemerintah untuk mengakomodir keberadaan keistimewaan
DIY melalui penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai
gubernur dan wakil gubernur, yang diusulkan melalui prosedur, institusi adat,
yaitu pisowanan Agung kepada DPRD DIY, sesungguhnya merefleksikan
nilai-nilai demokrasi perwakilan (representative democracy) yang secara
khusus diberlakukan di DIY.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
12/101
9
1.5 Sistematika Pemaparan Naskah Akademik RUUK DIY
Dalam penyelesaian NA RUUK DIY ini terbagi ke dalam empat bagian
utama. Bab I, pendahuluan yang isinya mencakup argumentasi pentingnya
usulan perubahan, masalah dan cakupannya, maksud dan tujuan serta
metode dan pendekatan dalam pembuatan dan perumusan Naskah
Akademik dan RUUK DIY, dalam perspektif yang responsif dan aspiratif. Bab
II, memuat argumentasi pentingnya RUUK DIY diusulkan, agar selain ada
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Karena itu dalam bab ini yang akan dikemukakan
mengenai landasan filosofis, historis, sosiologis dan juridis, asas-asas
hukum, juga dipaparkan mengenai perbandingan monarki konstitusional. Bab
III, kajian khusus tentang landasan konstitusional, parameter keistimewaan
DIY, status tanah, Keraton, Pendidikan dan kepemimpinan, serta
argumentasi Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan
Wakilnya. Kelima argumentasi penetapan yang akan dibahas adalah,
maklumat 5 september 1950, Lex Specialis, konvensi ketatanegaraan RI,
Doktrin Preseden dan Implementasi demokrasi di DIY. Bab IV, sebagai
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
13/101
10
BAB II
ARGUMENTASI PERUBAHAN UU NO. 3 TAHUN 1950TENTANG PEMBENTUKAN DAERAHISTIMEWAYOGYAKARTA
Pemaparan dalam Bab II ini lebih ditekankan pada upaya
mengedepankan argumentasi atas persoalan, mengapa dan bagaimana
makna dan fungsi Keistimewaan DIY masih tetap relevan untuk dilestarikan
dalam sistem pemerintahan demokratis. Untuk mencapai pemahaman yang
lebih komprehensif perlu dikemukakan beberapa perspektif. Pertama, perludibahas tentang landasan, filosofis, historis, sosiologis dan yuridis
konstitusional. Dari keempat landasan inilah urgensi pelestarian
keistimewaan DIY mendapatkan pembenaran secara obyektif dan kritis.
Kedua, tinjauan tentang sistem monarki konstitusional sebagaimana yang
berlaku di beberapa negara, seperti Belanda, Thailand, dan Malaysia. Ketiga,
kajian tentang asas-asas hukum yang dijadikan landasan perubahan dan
penyempurnaan UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
2.1 Landasan Filosofis
Pentingnya keistimewaan DIY dilestarikan terkait dengan landasan
filosofis yang tertuang dalam pandangan filsafat bangsa yaitu Pancasila.
Dalam tataran filosofi, kehadiran Yogyakarta sebagai suatu entitas politik,
sejak zaman dulu hingga saat ini, tidak dapat melepaskan dirinya dari
eksistensi Sang Pencipta, Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Dalamperspektif Ideologi bangsa, sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa
prasyarat utama atas lahirnya proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17
Agustus 1945, sebagai rahmat bagi bangsa Indonesia. Sila pertama inilah
yang menjadi sumber inspirasi dan moralitas bagi kehidupan bermasyarakat
dan negara. Dalam perspektif budaya Adiluhung Ngayogyakarta
Hadiningrat, keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa
tersebut dimaknai sebagai Sangkan Paraning Dumadi atau asa-usul dari
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
14/101
11
mana manusia itu datang dan akan kembali. Pengakuan demikian ini, telah
teraktualisasi dalam pengalaman sejarah secara berkesinambungan.
Keberhasilan demi keberhasilan ditujukan oleh setiap zaman dengan
spiritnya masing-masing di babad tanah Jawi. Sejak kerajaan Majapahit
hingga kerajaan Mataram. Peran agama-agama besar yang menitiskan
peninggalan budayanya, seperti Hindu dan Budha menghantarkan puncak
kejayaan teknologi dan bangunan arsitektur seperti Candi Borobudur dan
candi Prambanan pada sekitar abad VII. Lebih luas lagi, pengaruh agama
terhadap perubahan dan perkembangan zaman tersebut, tidak saja
berlangsung di Indonesia semata. Interaksi ajaran agama-agama besar masa
lalu di pulau Jawa khususnya, dan di Nusantara pada umumnya terefleksi ke
dalam realitas masyarakat Indonesia yang toleran dan permisif.
Sebagaimana puncak kejayaan juga pernah di raih oleh pengaruh
ajaran Islam, yang semula datang dari pedang-pedagang Gujarat, India,
Persia dan juga negeri Timur Tengah Lainnya. Puncak kejayaan Islam
tersebut, terpatri secara kultural pada simbol-simbol kekuasaan tradisional,
termasuk berbagai gelar keagamaan bagi seorang Raja atau Sultan.
Pengakuan kekuasaan raja Mataram menjadi lebih legitimit ketika
mendapatkan gelar, Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo
Khalifatullah. Gelar khalifatullah ini dalam konteks peran sosial dan politik
adalah bahwa pemimpin itu adalah wakil Tuhan di muka bumi (Khalifatullah
Fir Ardhi).1
Interaksi antara ajaran agama dengan kekuasaan politik tradisional
inilah yang berimbas pada lahirnya Pancasila sebagai Dasar Idiologi Negara
Republik Indonesia. Lima sila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Permusyawaratan dengan Hikmah Kebijaksanaan dan Perwakilan, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima dasar filsafat kenegaraan ini,
menjadi pedoman berpikir, berperilaku atau bertindak dalam konteks
kemasyarakatan dan kenegaraan. Karena itu, gagasan keistimewaan DIY
mengacu pada Ketuhanan, juga kemanusiaan dan keutuhan NKRI serta
1Lihat Jawahir Thontowi, Apa Istimewanya Jogja, Fahima Press, Yogyakarta, 2007
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
15/101
12
musyawarah untuk mufakat dan berkeadilan sosial dalam menyelesaikan
suatu persoalan.
Dasar negara Pancasila, mewajibkan semua warga negara Indonesia
untuk memeluk satu ajaran agama sesuai dengan keimanan atau keyakinan
dan kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara teologis,
warga negara Indonesia berhak untuk hidup berdampingan secara rukun dan
damai sesuai dengan perbedaan naluriahnya sebagai manusia terhadap
suatu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila, sebagai kesepakatan
politik nasional warga negara Indonesia berfungsi untuk memberikan
bimbingan dan pedoman yang benar bahwa keanekaragaman latar
belakang sejarah, budaya, agama, ras dan juga suku terbingkai pada satu
kesatuan, BHINEKA TUNGGAL IKA. Karena itu Pasal 18 B ayat (1) yang
mengamanahkan jenis pemerintahan daerah otonomi khusus, dan
keistimewaan adalah wujud jaminan unifikasi, dalam keanekaragaman.
Dengan kata lain, pentingnya keistimewaan DIY dalam ranah filosofis
dan dasar idiologi negara adalah bahwa Sri Sultan dan Paku Alam, adalah
manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai wakil Tuhan di muka bumi
berfungsi untuk memelihara terciptanya keseimbangan hubungan antara
tuntutan pembangunan budaya materiel di duniawi (fidduniya) dengan
kehidupan immateriel (wal-akhiroh). Kehadiran Sri Sultan dan Sri Paduka
Paku Alam sebagai pimpinan daerah mendapatkan pengakuan dari
masyarakat atas dasar kesepakatan sebagian besar masyarakat,
sebagaimana terumuskan dalam prinsip deokrasi, vox populi vox dei.
2.2 Landasan Sosio-Historis
Konsistensi filosofis dan ideologi hanya akan menjadi wacana belaka
manakala terlepas dari pengujian empirik kehidupan masyarakat.
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dalam wacana dan fakta di telusuri
melalui kisah dan juga cerita sejarah tersebut. Yogyakarta sebagai nagari
pada masa lalu. Awal mula status Yogyakarta sebagai negeri berdaulat tidak
lepas dari sejarah kontrak politik dari pemerintahan kolonial Belanda hingga
Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
16/101
13
a. Pengakuan Pemerintahan Belanda dan Jepang
Landasan historis terkait dengan keberadaan Yogyakarta sebagai
suatu wilayah berdaulat adalah adanya kontrak politik tersebut antara
pemerintahan Belanda dengan Raja Yogyakarta, pemerintah Jepang dan
Presiden Indonesia yang pertama.
Pertama, adanya Perjanjian Gianti yang dilaksanakan pada tanggal
13 Februari 1755 yang mengukuhkan pembagian kerajaan Mataram tersebut.
Kerajaan ini dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Ngayogjokarto Hadiningrat. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah
Kasultanan Yogyakarta dikurangi lagi oleh Pemerintah Inggris dan diserahkan
kepada Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono II yang
kedudukannya tidak berada di bawah Sultan (pangeran Merdiko) dan
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Dengan
demikian di wilayah Ngayogjokarto Hadiningrat terdapat dua pucuk
kekuasaan yang terpisah antara satu dengan yang lain, Sultan Hamengku
Buwono II memerintah di Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat dan Paku
Alam I yang memerintah di Puro Pakualaman dan sekitarnya yakni
Onderdistrik Pakualaman dan Kabupaten Adikarto (Karang
Kemuning/sekarang adalah Kabupaten Kulonprogo).2
Sejak zaman Belanda, praktek pemerintahan di Kasultanan dijalankan
oleh Ryksbestuurder (Pepatih dalem), dengan persetujuan Gubernur
Pemerintah Hindia Belanda. Pepatih Dalem ini diangkat oleh Sultan dari
keluarga Keraton dengan persetujuan dari Gubernur Belanda yang
bertanggung jawab kepada Sultan maupun kepada Gubernur. Selain Pepatih
Dalem merupakan pegawai Kasultanan sekaligus pegawai Gubernemen
Belanda yang mendapat gaji dari Kesultanan maupun Gubernemen. Pepatih
Dalem ini juga harus mengangkat sumpah setia kepada Sultan maupun
Gubernur Belanda.3
2B. Hestu Cipto Handoyo, Kilas balik Keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta (Sebah
Tinjauan Historis Yuridis), Penerbitan Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 8.3
Parwi Foundation, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan, UnitPenerbitan Parwi Foundation, Yogyakarta, 2002, hlm. 15.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
17/101
14
Fakta Historis tersebut menandakan bahwa dualisme kepemimpinan
di DIY telah tumbuh dan berkembang sejak lama dengan bukti-bukti yang
cukup signifikan. Untuk Kasultanan Yogyakarta, kontrak politik yang terakhir
dibuat antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Gubernur Yogyakarta,
L.A. Adam tanggal 18 Maret 1940 dan disahkan tanggal 29 April 1940 oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.W.L. Tjarda Van Starkenborg.4 Isi
kontrak politik yang terpenting adalah:
a. Penegasan tentang kedudukan hukum Daerah Kasultanan.
b. Penegasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda dengan alat-alat kekuasaannya dan kekuasaan Sri Sultan.
Kedua, kontrak politik lainnya dilakukan dengan pemerintahan pada
zaman penjajahan Jepang, kedudukan Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta
juga diatur oleh Jepang ketika itu. Ini terbukti dengan adanya surat perintah
dari Panglima Besar Tentara yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 1942
antara lain sebagai berikut:
1. Dai Nippon Gun Seireikan (Panglima Besar Bala tentara Dai Nippon)
mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi Ko (Sultan) Yogyakarta.
2. Ko turut di bawah Dai Nippon Gun Sireikan serta harus mengurus
pemerintah Koti (Kasultanan) menurut Pemerintah Dai Nippon Gun
Sireikan.
3. Daerah Koti adalah Daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu.
4. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada
asasnya diperkenankan seperti sediakala.
5. Terhadap Dai Nippon Gun Sireikan, Ko wajib mengurus segala
pemerintahan Koti agar memajukan kemakmuran penduduk Koti
umumnya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX berusaha sedikit demi sedikit
mengurangi peranan dan kekuasaan Pepatih Dalem ini. Beliau menampatkan
Pepatih Dalem di dalam keraton, sehingga segala urusan dengan penjajah
Jepang yang semula harus melalui Pepatih Dalem dapat langsung
berhubungan dengan Sri Sultan sendiri. Kemudian dalam perkembangan
4
Atmakusumah (Penyunting), Tahta Untuk Rakyat, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 302-374.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
18/101
15
lebih lanjut Sri Sultan HB IX juga membagi pemerintahan Kasultanan dalam
jawatan-jawatan yang diberi nama Paniradya yang masing-masing dikepalai
oleh seorang kepala Jawatan yang diberi nama Paniradyapati. Langkah ini
dimaksudkan untuk memperkecil peran dan kekuasaan Pepatih Dalem,
karena para Paniradyapati tersebut bertanggung jawab secara langsung
kepada Sultan. Pada awalnya terdapat enam Paniradya, yaitu : 5
Paniradya Paniradya Kapanitraan (kantor Sekretariat), Paniradya
Ayahan Umum (jawatan Urusan Umum), Paniradya Ekonomi (Jawatan
Perekonomian), Paniradya Wiyatapraja (Jawatan Pendidikan dan
Kebudayaan), Paniradya Yayasan Umum (Jawatan Pekerjaan Umum),
Paniradya Racana-Pencarwara (Jawatan Urusan Rancangan dan
Propaganda).
Menurut PJ. Soewarno, keistimewaan DIY dalam sejarah awal
perkembangan Kasultanan Yogyakarta (Ngayogjokarto Hadiningrat) termasuk
Kadipaten Pakualaman berasal dari pecahan Kerajaan Mataram, yang
semula meliputi seluruh pulau Jawa kecuali Jawa Barat. Wilayah Mataram
dibagi menurut konsep kekuasaan yang terpusat pada raja, yang
membentang sejauh kekuasaan raja mampu mengamankannya. Dalam masa
kemerdekaan RI sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
ditetapkannya Yogyakarta sebagai salah satu daerah istimewa pertama kali
dalam sejarah NKRI. Hal ini berkaitan dengan masa sebelum Kemerdekaan
RI, wilayah Yogyakarta sekarang merupakan dua daerah swapraja
(zelfbestuurende landschappen), yaitu Negeri Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Negeri (Kadipaten) Pakualaman6.
Eksistensi dua kerajaan ini sangat diakui oleh Penjajah Belanda,
sehingga dikembangkan hubungan khusus atas dasar perjanjian politik.
Kasultanan dan Pakualaman yang merupakan sistem pemerintahan yang
memiliki asal-usul susunan asli tersendiri. Dalam konteks ini, maka
pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, secara hukum dan politik
sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah ketika itu.
5ibid, hlm 17.
6
Lihat Suwarno PJ (Disertasi), Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi PemerintahanYogyakarta 1945-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 51.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
19/101
16
b. Pengakuan RI Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta
Embrio Keistimewaan Yogyakarta muncul dan berkembang pada
tahun 1945, sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kapasitas
mereka sebagai raja, mengirim telegram kepada Presiden Soekarno yang
berisi ucapan selamat dan pernyataan untuk bergabung dengan RI. Telegram
itu direspon positif oleh Pemerintah Pusat dengan memberi Piagam
Kedudukan bagi HB IX dan PA VIII7.
Isi amanah tersebut, antara lain dua orang raja secara langsung
ditetapkan sebagai kepala daerah DIY sejajar dengan pemerintahan setingkat
provinsi. Jadi keistimewaan tersebut, seyogyanya dikaitkan dengan
nomenklatur bahwa keitimewaan Yogyakarta tidak diberi attribut
pemerintahan Provinsi. Pasal 18 UUD 1945 dan isi penjelasannya
menegaskan bahwa Negara RI memandang dan mengingat hak-hak asal-
usul dan susunan asli setiap daerah istimewa di Indonesia.
Tindakan taktis HB IX dan PA VIII dengan mengeluarkan Amanat 5
September 1945 yang isinya menegaskan bahwa Negeri (Kasultanan)
Yogyakarta dan Negeri Pakualaman merupakan dua Daerah Istimewa dalam
Negara RI8. Selain itu ada amanat kedua yaitu Amanat 30 Oktober 1945,
sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu
Daerah Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX
dan PA VIII). Dilihat dari segi sejarah perkembangan hukum tentang status
keistimewaan DIY, khususnya pasca kemerdekaan sudah ada beberapa
ketentuan yang terbit berkaitan dengan masalah keistimewaan Yogyakarta.
Sejarah tersebut keistimewaan tersebut sebenarnya sudah ada sejak negara
Indonesia belum merdeka, namun yang paling penting adalah pada saat
kemerdekaan sebagaimana terlihat pada Tabel 1 berikut ini.9
7Ditandatangani pada 19 Agustus 1945
8Pada butir 1 terdapat kalimat ...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....
Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah DaerahIstimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogyakarta,Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah adaupaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah DaerahIstimewa Mataram. Status Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat selama tahun 1946,
sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa Mataram tidak kesampaian.9Dikutip dari Martitah dan Hidayat, 2008, Op.Cit, hlm. 30-31.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
20/101
17
Tabel 1Roadmap Sejarah Keistimewaan Yogyakarta
No. Nama/Sebutan Status Dasar Hukum
1 a. Negeri Yogyakarta Hadiningrat
b. Negeri Pakualaman
Dua daerah istimewa dalam NegeriRI
Amanat Sri Sultan dan Amanat SriPaku Alam 5 September 1945
2 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia
Satu daerah istimewa dengan duaKepala Daerah Istimewa (Sri Sultandan Sri Paku Alam)
Amanat 30 Oktober 1945 yangditanda tangani oleh Sri SultanHamengkubuwono IX dan Sri Paku
Alam VIII
3 Daerah Istimewa Yogyakarta danSurakarta
Satu Daerah Istimewa yang meliputiKesultanan Yogyakarta, KasultananSurakarta, Kadipaten Pakualaman
dan Kadipaten Mangkunegaran
Penjelasan UU No.1 Tahun 1945
4 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia Yogyakarta (Kasultanandan Pakualaman)
Satu Daerah Istimewa yang meliputiKasultanan Yogyakarta danKadipaten Pakualaman dengan SriSultan Hamengkubuwono IX dan SriPaku Alam VIII sebagai KepalaDaerah
Maklumat No.14 tanggal 11 April1946 dan Maklumat No.15 tanggal 11
April 1946
5 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia (Kasultanan dan Paku
Alaman) Yogyakarta
s.d.a Maklumat No.17 tanggal 11 April1946
6 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a Maklumat No.18 yang ditanda tanganioleh Sri Sultan Hamengkubuwono IXdan Sri Paku Alam VIII, tanggal 18Mei 1946
7 Daerah Istimewa Surakarta danYogyakarta
s.d.a. dan seperti halnya no.3 belumpernah terwujud dan belum pernahditentukan siapa Kepala Daerahnya
Penetapan Pemerintah No.16 s/dtanggal 15 Juli 1946
8 Daerah Istimewa Kasultanan danPaku Alaman di Yogyakarta
Suatu daerah istimewa yangmeliputi wilayah KasultananYogyakarta dan Kadipaten Paku
Alaman
Diktum keempat butir (1) PenetapanPemerintah No.16 s/d tanggal 15 Juli1946
9 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a dan dengan Sri SultanHamengkubuwono IX sebagai
Kepala Daerah dan Sri Paku AlamVIII sebagai wakil kepala daerah
UU No. 3/1950 tentang pembentukanDaerah Istimewa Yogyakarta jo. UU
No.22/1950 tentang Pokok-pokokPemerintahan Daerah
10 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a dan denganHamengkubuwono X sebagaigubernur dan Paku Alam IX sebagaiwakil Gubernur
Pasal 122 UU No.22 tahun 1999 danpenjelasannya
Sumber: Martitah dan Hidayat, 200910
10
Lihat juga Wikipedia, Sejarah Keistimewaan Yogyakarta, diakses pada tanggal 30 Maret2010 dari http://www.wikipedia/sejarah_keistimewaan_Yogyakarta.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
21/101
18
Berdasarkan uraian di atas, maka penetapan daerah istimewa dalam
tahap awal terbagi ke dalam dua wilayah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta
yang terdiri dari Kesultanan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam. Di pihak
lain, NKRI mengakui juga adanya Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sementara dari road map searah keistimewaan
tersebut di atas, tampak jelas bahwa pengakuan NKRI terhadap kedudukan
Kesultanan Yogyakarta dengan menggabungkan antara Kesultanan
Yogyakarta dengan Puro Pakualam secara berkesinambungan terbukti dari
sejarah perkembangan ketentuan hukumnya.
Kondisi di atas jelas menunjukan bahwa sejarah keistimewaan
Yogyakarta memang berbeda degan pengakuan Keistimewaan daerah
Surakarta. Setidaknya perbedaan tersebut dapat dalam tiga hal. Pertama,
status pengakuan keistimewaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah
dilakukan selama delapan (8) kali sejak Indonesia merdeka. Sementara,
Surakarta hanya mendapat dua (2) kali pengakuan. Kedua, kepala daerah
sebagai hak istimewa di Yogyakarta telah dengan jelas disebutkan.
Sementara di Surakarta pengakuan keistimewaan dan kedudukan
Mangkunegaran tidak otomatis menjadi kepala daerah. Ketiga, keistimewaan
DIY boleh dijamin selain oleh UUD 1945, juga oleh dasar yuridis peraturan
perundang-undangan, sejak pemerintah RI diproklamasikan hingga masa
reformasi 1999.
Adapun kontrak politik antara kedua pemimpin nasional tersebut
antara lain dapat diuraikan dibawah ini. Pertama, sikap dan respon
Kesultanan Yogyakarta terhadap pernyataan Proklamasi kemerdekaan RI 17
Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB
IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat
kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya
mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Ucapan terima
kasih juga dikirimkan kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua
BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko
Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti
Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
22/101
19
intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, dan akan
mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan
agar Indonesia kokoh dan abadi.
Kedua, respon pemerintah pusat terhadap sikap positif Sultan HB IX
dengan Paku Alam VIII, melalui sidang PPKI untuk membahas status dan
kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 19 Agustus 1945 terjadi
pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti di
Jakarta. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD,
namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Purboyo, wakil
dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti
dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara
rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh
Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah
disahkan sehari sebelumnya. Purboyo menerangkan bahwa banyak
kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil
kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan
Kementerian Negara, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi
bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan, sehingga Panitia Kecil
PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada
beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso,
Suryohamijoyo, dan Soepomo, mengusulkan bahwa kedudukan Kooti
ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah.
Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan
kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6
September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki
dikeluarkan. Sikap penerimaan Soekarno dan Hatta sebagai pimpinan
nasional terhadap kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta dipandang
sebagai sikap pengakuan penerimaan resmi negara terhadap kedua raja
Yogyakarta.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
23/101
20
Ketiga, respon positif kedua raja Yogyakarta dibuktikan dengan
adanya dekrit resmi dua kerajaan untuk berintegrasi kepada RI dan
Pembentukan Wilayah Yogyakarta. Pada tanggal 1 September 1945, Komite
Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak
keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga
dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR,
Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki
Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat
Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit
kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut
adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit
dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari
yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya
juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit
monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie
setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang
sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya
terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan
NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia. Pada saat
berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi: (1).
Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, dan (2).
Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang. Kabupaten-
kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah
administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya
disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
24/101
21
kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah
yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY
sampai tahun 1950.
Keempat, Yogyakarta yang semula dipandang sebagai sistem monarki
ternyata tidak demikian halnya mengingat setelah ada pengakuan dan
penerimaan kedua belah pihak, justru Yogyakarta telah beritikad baik untuk
melengkapi bentuk pemerintahan daerah melalui pendirian berbagai
kabupaten denga sistem modern. Terbentuknya Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua
Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo,
sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit
kerajaan bersama11
yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP
KNI Daerah Yogyakarta.
Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan
memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih
dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri
oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu
dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa
monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta
yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari
seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi
pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas
Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat,
Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan
Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu
menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan
terganggunya persatuan.
Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11
yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi
Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan
11Dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
25/101
22
Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17,
monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan
(sebutan pemerintah desa saat itu).12 Dalam menyusun pemerintahan
tersebut tidak lepas dari peletakan dasar juridis adanya penyusunan RUU
Pokok Tentang Pemerintahan Yogyakarta, yang nantinya menjadi cikal bakal
lahirnya UU Nomor 3 tahun 1950.
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP
KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU
Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung
selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki
Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua
penguasa monarki yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa.
Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan.
Kesepuluh Bab tersebut adalah: Kedudukan Yogyakarta, Kekuasaan
Pemerintahan, Kedudukan kedua raja, Parlemen Lokal (Dewan Daerah,
Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan), Pemilihan
Parlemen, Keuangan, Dewan Pertimbangan, Perubahan, Aturan Peralihan,
Aturan Tambahan.
Pembentukan sistem pemerintahan monarki sudah jelas terbantahkan
sejak awal. Sebab, UU yang dipersipakan untuk mengatur susunan daerah
yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD bukanlah berada dalam
satu atau dua kekuasaan raja. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan
persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 telah
mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeislatif dan
eksekutif. 13 Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah
Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu,
KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk
berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY
mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui
dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.
12Lihat Soedarisman Poerwokoeoemo (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.13Lihat Maklumat Yogyakarta No. 18.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
26/101
23
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta
digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman
dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada
sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta14 bukan dua
buah15. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID
dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman
maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari
materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak
tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang
Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.
2.3 Landasan Sosiologis
Salah satu aspek penting dalam proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan adalah adanya dorongan atau keterlibatan masyarakat
secara langsung dalam penyusunannya. Leopold Posipisil, dengan tegas
menyatakan bahwa suatu peraturan hukum yang lejitimit adalah ketika
undang-undang tersebut benar-benar mengakomodir nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat. Karena itu, landasan sosiologis dimaksudkan sebagai
realitas emirik yang menujukkan adanya bukti bahwa peraturan hukum
tersebut lahir karena kebutuhan masyarakat, baik dalam tingkat lokal maupun
di tingkat nasional.
Tentu saja landasan sosiologis tersebut tidak saja mencakup
keberadaan kraton Kasultanan dan puro Paku Alaman sebagai suatu wilayah
kekuasaan lokal, melainkan perlunya suatu jaminan kepastian hukum akan
keberadaannya sebagai subyek hukum yang memiliki kewenangan berindak
atau tidak. Termasuk di dalamnya adanya fakta pertentangan, di satu pihak
masyarakat yang menghendaki perubahan fundamental dalam konteks politik
dan pemerintahan. Dan di pihak lain, terdapat pula kelompok yang
menghendaki perubahan tanpa meninggalkan adanya pelestaran terhadap
nilai-nilai lama.
14
Gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman.15Satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
27/101
24
Seperti dikatakan Riswanda Imawan16, setidaknya ada tiga
pemaknaan terhadap kasus Keistimewaan Jogyakarta. Pertama,
Keistimewaan melekat pada diri HB IX dan PA VIII (keduanya sudah wafat),
karena dalam Surat Presiden Soekarno yang disampaikan pada tanggal 6
September 1945 secara eksplisit disebutkan nama kedua tokoh tersebut.
Dengan demikian nuansa personalitas sangat kental dengan memaknai
status keistimewaan Jogyakarta. Pemaknaa tersebut tentunya akan menjadi
permasalahan ketika kedua tokoh tersebut meninggal dunia.
Kedua, Keistimewaan melekat pada wilayah. Dalam amanat Sultan
HB IX dan PA VIII, 5 September 1945 secara tegas dinyatakan
penggabungan wilayah Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman ke dalam wilayah RI. Jadi yang bergabung adalah dua wilayah
kerajaan namun identitasnya tidak lebur, bahkan menjadi ciri khasnya. Dari
sini bisa ditarik pemahaman bahwa integritas wilayah ini tidak berarti
merombak secara radikal seluruh tatanan dan stuktur kerumahtanggaan
Jogjakarta. Dengan demikian, kebiasaan asli dalam pengaturan
pemerintahan di Jogjakarta justru menjadi ciri khas dari Keistimewaan
tersebut.
Ketiga, Keistimewaan melekat pada hak atau wewenang daerah. UU
No. 3 Tahun 1950 memberi keabsahan terbentuknya Propinsi DIJ. Di
dalamnya mengatur cukup detail tentang wewenang pangkal yang menjadi
urusan dalam negeri Jogjakarta. Sementara itu, menurut Baskoro dan
Sunaryo17, Final Decision Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (1945-1950) di
atas menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut. Pertama, pada awalnya,
secara konstitusional Negara sangat memandang dan mengingat hak-hak
asal usul dan susunan asli setiap daerah istimewa di Indonesia (UUD
1945 Pasal 18 sebelum diamandemen). Kedua, Keistimewaan Yogyakarta
adalah konsekuensi logis dari keputusan politik dua raja Yogyakarta untuk
berintegrasi dengan RI.
16Sebagaimana dikutip oleh Martitah dan Arih Hifayat dalam tulisaanya Suksesi
Kepemimpinan dan Keistimewaa Jogjakarta, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta, Fakultas Hukum,Universitas Negeri Semarang, Vol.2 No.2, Juli-Desember 2008, hlm.33.
17
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Menengok Sejarah Keistimewaan DIY, Diaksestanggal 30 Maret 2010 dari http://risnawanpm.multiply.com/journal/item/5
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
28/101
25
Ketiga, pengakuan terhadap Keistimewaan Yogyakarta terakselerasi
oleh political will yang tegas dan tangkas dari Presiden Soekarno yang
dengan serta merta memberikan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA
VIII sebagai dwi tunggal pemimpin Yogyakarta. Keempat, Keistimewaan
Yogyakarta adalah visi dan keputusan tegas dari HB IX dan PA VIII, terlihat
dari Amanat-amanat dan Maklumat-maklumat yang dikeluarkan. Kelima,
Keistimewaan Yogyakarta benar-benar diperjuangkan oleh HB IX dan PA VIII
bukan dalam rangka makar namun justru dalam rangka menjadi pilar bagi
berdiri tegaknya NKRI. Jadi, Keistimewaan Yogyakarta adalah visi dan
keputusan final dari pihak Yogya yang direspons sangat positif dan relatif
cepat meskipun suasana pada masa itu (1945-1950) sangat genting.
Sebagaimana halnya, aspirasi untuk mengukuhkan HB X secara
otomatis menjadi gubernur DIY mendapat tentangan dari kelompok yang
menganggap mekanisme tersebut tidak demokratis. Setelah melalui proses
panjang dan sempat menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat
Yogyakarta, akhirnya Sri Sultan HB X diangkat menjadi Gubernur DIY
dengan Keppres No.268/M, tertanggal 24 September 1998. Sekarang di saat
jabatan HB X dan Sri Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur
hampir habis, rakyat Yogyakarta dihadapkan pada persoalan serupa, yakni
suksesi kepemimpinan daerah tanpa dasar hukum yang jelas.
Bilamana dibandingkan dengan kebutuhan di masa pasca era
reformasi maka proses demokratisasi seagaimana diperdebatkan tersebut
masih menyisakan persoalan. Namun, proses tersebut bukanlah sesuatu hal
yang mengherankan mengingat kenyataan demokratisasi di Asia Tenggara
umumnya dilakukan tanpa mengubah struktur sosial secara keseluruhan.
Upaya lebih mengutamakan harmoni sosial daripada dinamika dan konflik,
tampaknya merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan.
Implementasi demokrasi di negara-negara Asia Tenggara sangat
tergantung kepada kondisi elit-elit politik dan masyarakatnya, sehingga tidak
dapat sepenuhnya dibenarkan, ketika unsur-unsur tradisional, patriarkis
masih hidup untuk secara langsung dihilangkan. Kenyataan adanya
demokrasi yang langsung dan tidak langsung menujukan adanya realitas
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
29/101
26
sosial dan politik bahwa dalam masa transisi dan konsolidasi pemilihan
kepala daerah harus dilihat apakah suatu daerah sepenuhnya melaksanakan
atau tidak melaksanakan demokrasi. Penting untuk dijadikan catatan kita
secara kritis pandangan dari ahli politik, Hayhnes,
The issue of consolidation is closedly related to the question of typesof democracy because, when concerned about process ofdemocratization, one would naturally ask, how does one move fromtype to type, is it in fact possible to do so. .. Haynes ..Consolidateddemocracy is defined by a number of observers as being achievedwhen both leaders and the masses agreed that democratic system isbetter than any other alternative. For the elites in society this mean
being willing to share power and decision making, and for subordinatetheir own goals and conflict the common good, thus being willing tocheck a return to authoritarianism. Haynes and his colleage arguedthat consolidating democracy has proven to be not easy taks, and avery complex processes. It cannot be assumed to occur naturally outof developing system of free and fair election; these are no guaranteeof satisfactory development of democratization, which needs also thecreation of internal dynamic in the political process which graduallywill engender more contestation, more participation and more rightsand libertie.18
Pandangan Haynes ini menyiratkan beberapa hal penting. Pertama,,dibeberapa negara implementasi demokrasi masih merupakan isu penting
untuk terus dilakukan konsolidasi dan perbaikan. Kedua, konsolidasi
demokrasi di suatu tempat acapkali terkait dengan peran pemimpin dan
masyarakat dalam menyetujui model demokrasi yang dianut. Ketiga,
konsolidasi demokrasi bukan sesuatu yang mudah untuk dijalankan
mengingat sangat kompleks. Hal ini teruTama karena jaminan kepuasan bagi
masyarakat belum tentu terselenggara, meskipun sistem pemilihannya
bebas, rahasia, dan jujur.
Dalam pendekatan sosiologis dan kebudayaan, kedudukan
keistimewaan atau privilege status, merupakan suatu penggolongan
kelompok sosial dari yang sifatnya umum menjadi istimewa, sebagai model
dalam suatu kehidupan.
18Lihat Hayness dalam Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesisa
Direlction Election for Local Leaders. Singapore, Isntitute of Souteast Asian Studies (ISEAS ).2009. hlm. 13
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
30/101
27
Beside the specific status honor, which always rests upon distanceand exclusiveness, we find all sorts of materiel monopolies. Such
honorific preferences may consist of their privilege of wearing specialcostume, of eating special dishes, With an increase inclosure of thestatus groups, the conventional preferential opportunities for specialemployment growth into a legal monopoloy of special offices for themembers. The decisive role of a style life in status honor means thatstatus groups are the specific bearers of all conventions. In whateverway it may be manifest, all stylization on life either originiates in statusgroups or is at least conserved by them.
19
Tentu saja pandangan Weber itu menujukan pada masa berlakunya
sistem sosial feodalisme yang parameter materiil jauh lebih menonjol.
Namun, yang perlu mendapatkan perhatian dari Max Weber tersebut adalah
kecenderungan kepemimpinan, dalam masa transisi telah terjadi suatu model
campuran yang asimetrik, dimana kepemimpinan yang mengandalkan pada
kewibawaan (charismatic leaders) dengan rasional tidak menafikan
kenyataan yang ada saat ini.
Manakala terjadi suatu upaya untuk mengakomodasikan antara kedua
model tersebut dapat dipahami dan memiliki dasar argumentasi yang cukup
kuat. Apalagi bilamana hal tersebut dikaitkan dengan fenomena antropologis,dimana nilai-nilai kemasyarakatan masih cukup tampak relevan dengan
pengelompokan masyarakat dalam hukum adat. Klaim sebagian besar aparat
pemerintah lokal, Asosiasi Kepala Desa, Camat dan Forum Masyarakat
lainnya begitu resisten untuk menolak model pemilihan langsung, tetap
penetapan atas Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai
gubernur dan wakil gubernurnya menjadi pilihan masyarakat Yogyakarta.
Dalam hukum, fakta empiris usulan penetapan baik secara teoritis
maupun praktis, sebagai bagian kepentingan dari keistimewaan DIY tentu
saja dapat diartikan sebagai sama dengan diskrimatif. Sebab, pertama,
diskriminatif lebih diterapkan pada situasi perbedaan perlakuan terhadap
subyek hukum, disuatu tempat pada suatu masa atau kekuasaan tertentu.
Kedua, istimewa berbeda dari diskriminatif, karena keistimewaan
hanya diberikan dan merupakan subyek hukum khusus, atas suatu kualitas
19
Penjelasan lebih lanjut dibaca H.H. Gert and C Wright Mills. From Max Weber. Essay inSocilogy. London. Routledge and Kegan Paul. 1977. hlm. 191
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
31/101
28
tertentu, dan karena itu tidak bisa diberlakukan pada subyek hukum umum.
Keistimewaan ini berbeda dari diskriminasi didasarkan kepada azas hukum,
tidak ada peraturan hukum yang berlaku tanpa pengecualian (There is no rule
without exception).
Hasil polling panitia Yayasan Tuna Bangsa, yang mengindikasikan
kesepakatan antara lain, bahwa setiap warga mempunyai hak yang sama
untuk memilih dan dipilih adalah tidak dapat diragukan lagi (96,6%). Namun
menjadi berubah sangat drastis (59,8%) ketika unsur Sultan di DIY dilibatkan.
Poling ini menunjukkan, bahwa keistimewaan yang diberikan sebagai
ketentuan khusus. Karena itu, adanya pengecualian dalam hukum juga
dibenarkan dalam kehidupan demokrasi.20
Konsekuensi dari keistimewaan tersebut, memberikan peluang kepada
Sultan sebagai pimpinan Daerah. Wewenang dan tanggung jawab Sultan
sebagai Gubernur memang memiliki fungsi ganda. Pertama, ia sebagai
pimpinan pemerintah tingkat provinsi, yaitu penyelenggara pemerintah pusat
yang berada di daerah. Kedua, Sultan sebagai wali (guidance) dari struktur
keluarga keraton dan terhadap tempat peninggalan zaman kuno. Dalam skala
nasional, usaha pelestarian cagar budaya, termasuk di dalamnya keraton,
telah didukung oleh UU No. 5 tahun 1992 tentang cagar budaya.
Tugas utama sebagai wali keraton adalah pemeliharaan tradisi,
termasuk peninggalannya yang tidak akan mudah dilestarikan, jika penguasa
daerah tidak dipilih bukan dari warga keraton. Hal itu juga tidak akan terjadi,
jika tidak karena ia terkait dengan peranannya dalam mempertahankan
keraton sebagai warisan peradaban umat manusia (Preservation of the
Cultural Heritage of Mankind). Untuk usaha melestarikan warisan budaya
tersebut, PBB selain akan memberikan arahan juga berbagai kemungkinan
untuk membantu tindak lanjutnya21
.
20Lihat, hasil polling, Ahmad Zaini Abar: Ikhwal masa Depan Kepemimpinan Yogyakarta:
Dari Rasionalitas Kultural Menuju Rasional Demokrasi, Yogyakarta. 2001. hlm : 221
Lebih lanjut persoalan ini ditegaskan dalam pasal 18, dari Rekomendasi UNESCO 19November 1974, mengenai Rekomendasi Pendidikan dan Kerjasama Kesepahaman Internasional,dan Kerjasama Perdamaian dan Pendidikan berkaitan dengan HAM dan Kebebasan dasar lainnya.
Lihat World Campaign for Human Rights. Human Rights: A Compilation of InternationalInstruments. Vol I. (Second Part) Universal Instrument. New York: UNO, 1993, hlm. 599.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
32/101
29
Meskipun demikian, usaha-usaha untuk membuka kesempatan yang
lebih longgar bagi hak politik masyarakat tidaklah menutup kemungkinan.
Namun, prosedur hukum yang secara sah dapat dilaksanakan tanpa
mengabaikan nilai-nilai lokal. Sebelum anggota DPRD memainkan peranan
secara efektif, kedudukan Gubernur dan Wagub diangkat oleh pemerintah
Pusat22. Dalam kontek ini, lembaga Pisowanan Agung dapat diberdayakan
dalam kaitannya dengan prosedur dan mekanisme penetapan yang diajukan
kepada DPRD hingga diusulkan kepada Presiden, melalu Menteri Dalam
Negeri.
Dalam perspektif sosio politis, sekalipun keistimewaan DIY tidak
bertentangan dengan kaidah nilai-nilai demokrasi. Sebab, DIY sebagai
bentuk pemeritntah daerah dan bagian NKRI sudah sejak lama menerapkan
prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi dengan upaya pada penyesuaian
dengan nilai-nilai budaya lokal.
2.4 Landasan Yuridis Konstitusional
Atribut pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa bukan
sesuatu yang baru, melainkan telah dirmuskan eksistensinya dalam UUD
1945. Suasana kebatinan dibalik makna dan fungsi keistimewaan dapat
mendorong perlunya kajian komprehensif. Dalam Pasal 18B, baik ayat (1)
dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi
khusus dan otonomi yang istimewa tersebut. Misalnya dalam Pasal 18 B,
UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang undang.
(2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
22Lihat lebih lanjut penjelasan UU No 1 Tahun 1957 tentang Undang-Undang Pokok
Daerah dan juga tulisan J. Thontowi, Penguasaan dan Pemikiran Tanah yang Diskriminatif:
Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jurnal Hukum. No 13. Vol 7 Tahun 2000.hlm. 43.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
33/101
30
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang.
Kedua ayat dari Pasal 18 B tersebut mengandung norma-norma
imperatif yaitu mengandung norma perintah sebagai kewajiban bagi negara
untuk melindunginya. Di Pihak lain, bagi daerah menimbulkan hak-hak yang
wajib dilindungi. Terhadap Pasal 18 B ayat (1) negara wajib melindungi dan
menjamin hak-hak konstitusional daerah untuk menegaskan kekhususan atau
keistimewaan. Selain itu, negara mengatur melalu instrumen hukum baik
dalam arti adanya peraturan UU untuk mengatur tentang syarat-syarat,
mekanisme, prosedur dan pembentukan daerah khusus dan istimewa.
Sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) kewajiban negara untuk
melindungi hak-hak tradisional masyarkat hukum adat yang didalamnya
terkait dengan material hak ulayat, hutan adat, termasuk hak kolektif atas
sungai dan laut, juga hak-hak immaterial seperti bahasa daerah, seni tari,
menyanyi dan hak cipta. Secara faktual pengabaian negara atas kewajiban
tersebut berakibat status dan keberadaan masyarakat hukum adat
tersudutkan. Karena tiadanya penjelasan atas istilah keistimewaan tersebut,
maka perlu dicari makna dan fungsinya dari pendekatan kebahasaan dan
pandangan para pakar HTN. Model pemahaman ini diharapkan bahwa, istilah
keistimewaan dalam arti dan makna kebahasaan dapat digunakan sebagai
cara memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B UUD 1945.
Pertama, dalam pendekatan bahasa (Linguistic Approach)
keistimewaan mengandung unsur-unsur yang memberikan kepastian hukum.
Dalam kamus berbahasa Inggris, istilah istimewa sama artinya dengan
privilege, something special one is allowed to have, sesuatu yang paling
khusus yang diperbolehkan, atau privileged (adjecive),23
having or enjoying
one or more privilieges (keistimewaan). Dengan kata lain, keistimewaan
merupakan sesuatu yang sangat khusus, dan keadannya berbeda dari yang
lain, dan wujud perbedaan tersebut diakui keberadaaannya. Dalam Laws
23Lihat secara cermat rumusan istilah privileges, dalam Websters New Enciclopedic
Dictionary. BD&L New York, 1993: hlm. 803. Dalam Mozley and Whiteleyss Law Dictionary byJohn B Saunders, menjadi sangat tegas istilah privilege sebagai keistimewaan. London.
Nutterworth. 1977. Hal 255. Baca pula W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. PT Balai Pustaka. hlm. 455.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
34/101
31
Dictionary, Privilege That which is granted or allowed to any person, or any
class persons, either against or beyond the course of ordinary law.
Keistimewaan adallah sesuatu jaminan yang diberikan pada seseorang atau
sekelompok masyarakat, apakah ia bertentangan atau berkesesuaian
dengan peraturan hukum yang menjadi kelaziman. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, istimewa adalah yang khas, atau untuk suatu maksud tertentu,
atau sesuatu yang lain dan luar biasa.24
Sebagai perbandingan, dalam bahasa Arab, istilah keistimewaan
diterjemahkan sebagai khoriqul adat, di luar kebiasaan suatu peristiwa yang
sangat luar biasa dan menakjubkan, seperti halnya peristiwa mukjizat.
Misalnya, Allah SWT. mengizinkan Nabi Muhammad untuk melakukan
perjalanan dari Mekkah ke Palestina, melakukan Isra miraj menuju langit
ketujuh di Sidratul Muthaha. Peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad
tersebut bukan saja tidak dipercayai, melainkan juga karena tidak dijumpai
dalam kaidah-kaidah akal sehat biasa, common sense. Bagi mereka yang
tidak percaya atas kejadian tersebut tidaklah menafikan bahwa peristiwa luar
biasa itu tidak ada. Sedangkan mereka yang percaya akan peristiwa tersebut
didasarkan pada aspek keimanan yang tidak menuntut adanya pembuktian.
Karena itu, bilamana keistimewaan dipahami sebagai sesuatu yang
luar biasa, keadaan yang terjadi hanya satu kali dan tidak ada
perbandingannya tergantung pada argumentasi yang diperlukan. Bilamana
istilah keistimewaan dalam pendekatan kebahasaan dapat ditegaskan
sebagai sesuatu keadaan yang luar biasa, unik dan tiada bandingannya,
maka pemaknaan secara bahasa ini juga harus seuai dengan pandangan
para ahli HTN. Keistimewaan merupakan suatu pernyataan yang
menegaskan sesuatu keadaan yang sangat khusus, unik, atau satu-satunya
atau tiada bandingan merupakan sesuatu kondisi yang luar biasa, sehingga
tidak dijumpai pada tingkat penalaran yang umum.
Kedua, pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B
yang kemudian dikaitkan dengan makna dan fungsi bahasa yang konsisten.
Bagaimana para ahli HTN memandang persoalan kekhususan dan
24Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
35/101
32
keistimwaan sebagaimana tertera dalam Pasal 18 dan 18B ayat (1) dan ayat
(2), UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD sepakat bahwa ketentuan
pasal Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang
dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A
serta Pasal 18B UUD 1945.
Prinsip otonomi daerah yang diadopsikan tetap menjamin pluralisme
antara daerah dan tuntutan keprakarsaan dari bawah atau dari tiap-tiap
daerah untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Pengaturan yang memberikan status otonomi khusus kepada Irian Jaya
yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencerminkan
bahwa di bawah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap
dimungkinkan dengan adanya pola-pola pengaturan yang bersifat pluralis
seperti terhadap Aceh dan Papua.25
Seiring dengan itu, Mahfudz MD menyatakan bahwa pasal 18 B ayat
(1) dan (2) terkait dengan hukum pemerintahan daerah yang memungkinkan
adanya daerah istimewa dengan prinsip demokrasi di Indoensia yang
dituangkan di dalam Naskah Akademik agar orang-orang di legislatif yang
tidak semuanya mengerti, dipaksa menghayati tentnag DIY agar bisa
memahami dan menerima. Hanya saja yang harus diantisipasi adalah
kemungkinan dimintakan uji materi (judicial reviwe) ke Mahkamah Konstitusti
oleh mereka yang mempunyai legal standing.26
Senada dengan itu, Jimly Asshiddiqie menguatkan bahwa Pasal 18 B,
dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersfiat federalistik
dalam hubungan antara pemerntah pusat dengan pemerintah daerah.
Dalam dinamika hubungan antara pusat dan, daerah itu, dimungkinkan pula
dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa
setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.
Keberagaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya
25Lihat lebih jauh penjelaasan Jimly Asshiddiqie, dalam Konstitusi dan konstitualisme di
Indonesia. Jakarta Penerbit Konsititusi Press. 2005, hlm. 284.26
Moch. Mahfud MD, Menyongsong RUUK DIY Mencermati Aspek Substansi/Kedaulatan Rakyat, 12 Februari 2007
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
36/101
33
prinsip otonomi khusus Provinsi NAD dan Provinsi Papua yang keduanya
memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan
daerah lain pada umumnya.27 Disamping itu, Pasal 18 B ayat (1) disebutkan
pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa. Beberapa contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Otonomi Khusus
Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Otonomi Khusus Papua.28
Secara tegas Dahlan Thaib menyatakan bahwa kalau dirunut secara
konstitusi seperti Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi negara meyakini
dan menghormati sebuah satuan pemerintahan darerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Disini konstitusi
mengakui adanya daerah khusus dan daerah istimewa, disamping daerah
otonom lainnya setelah memberikan amanat kepada DPR RI dan pemerintah
untuk membentuk UU yang mengatur daerah khusus dan daerah istimewa.
Selanjutnya Dahlan Thaib menyebutkan bahwa daerah khusus dan daerah
istimewa adalah anak kembar negara yang telah ditegasakan dalam
konstitusi, karenanya harus diperlakukan secara adil.
Aceh yang namanya saat ini Daerah Khusus Aceh telah mendapatkan
kepastian hukum berupa ditetapkannya UU No. 11 tahun 2006 yang
didalamnya mengatur hak-hak pemerintah Daerah Aceh. Lebih dari itu,
mereka mendapatkan dana tambahan. Demikian pula halnya Provinsi Papua
juga telah mendapatkan status daerah khusus sebagaimana ditegaskan
dengan UU No. 21 tahun 2000. Demikian pula halnya UU No. 29 tahun 2007
tentang DKI Jakarta yang telah ditetapkan.29
Pandangan tersebut juga ditegaskan dalam suatu diskusi informal
dengan penulis bahwa Keistimewaan di Yogyakarta bukan saja mendapatkan
pengakuan dan perlindungan dalam UUD 1945, melainkan kita wajib
melestarikan keaneka ragaman ciri-ciri lokal dari suatu pemerintahan.
27Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta . Sekretariat
Jendral dan Kepanitriaan Mahkamah Konstitusi RI. 2008, hlm. 793.28
Lihat lebih jauh Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi. Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006, hlm. 276.
29
Lihat Dahlan Thaib, RUU Keistimewaan DIY , Sampai dimana Perjalananmu?. KantorBerita Indonesia. GEMARI, Seri 26 April 2010. hlm. 2
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
37/101
34
Sehingga menjadi tidak beralasan jika bentuk negara NKRI tidak memberikan
ruang atas tegaknya keanekaragaman. Kedudukan Sultan HB dan Paku
Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dipandang sebagai nilai-nilai
lokal yang perlu dilestarikan.30
Berdasarkan pembahasan di atas, maka makna keistimewaan
sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) baik dari pendekatan bahasa
dan pandangan ahli-ahli HTN menunjukkan adanya konsistensi dan
konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi
pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya dikecualikan dari ketentuan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensinya pemerintah daerah
bersifat otonom, sifat khusus dan bersifat istimewa merupakan hak
konstitusional yang menyebutkan negara untuk melindungi dan
melestarikannya. Dengan demikian, hak-hak keistimewaan DIY untuk
dilestarikan melalui instrumen hukum ini mendapatkan dasar-dasar
argumentatif, baik secara filosofis, historis, sosiologis, dan juga juridis.
2.5 Perbandingan Monarki Konstitusional
Gerakan HAM dunia lahir dan mendapatkan respon positif dari
masyarakat karena fakta historis menujukan bahwa kekuasaan di satu
tangan, kekuasaan raja, kekuasaan Kaisar melahirkan kekuasaan yang
otoriter dan absolut, sehingga hak-hak warga negara terabaikan. Kekuasaan
sewenang-wenang tidak dapat dihindarkan oleh karena kekuasaan berada
dalam satu tangan. Sistem kekuasaan demikian ini seringkali disebut sebagai
sistem kekuasaan monarki, yang meletakkan dasar kekuasaannya. Secara
teoritik, The King cant do no wrong, suatu konsep politik yang jauh dari
nilai-nilai demokrasi. Rakyat tidak terlibat bahkan lebih menjadi obyek
kekuasaan dalam proses dan pembuatan kebijakan negara.
Pembangkangan terhadap kekuasaan yang absolut tersebut lahir
dengan suatu tesis perlunya perjuangan atas hak-hak dasar dan hak hak
kebebaasan rakyat yang fundamental, termasuk kebebasan berbicara dan
30Diskusi tersebut berlangsung di Kampus Paska Sarjana fakultas Hukum, Universitas
Islam Indoneia sekitar tahun 2007, pada saat ramainya DPD RI mengajukan hak inisiatifPerubahan atas UU Nomor 3/1950 tentang Pembenekan Daerah Istimewa Jogjakarta.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
38/101
35
berserikat, sesuai keyakinan keagamaan dan keprcayaan mereka masing-
masing. Deklarasi hak asasi manusia di Perancis, HAM di Inggris dengan
Magna Carta(1215) abad ketiga belas merupakan bukti kemajuan peradaban
umat manusia dunia. Disusul dengan Bill of Rights (1688) di Inggris yang
dikenal dengan Glorius Revolution. Adapun substansi Magna Carta,
merespons penyelesaian konstitusional yaitu berfungsi membatasi
kekuasaan negara dan mengandung beberapa perubahan dalam hak-hak
dasar manusia.31
Konsekuensinya, bentuk-bentuk kerajaan-kerajaan yang telah
memperoleh imbas dari sistem politik Trias Politica, yaitu pembagian dan
pemisahan kekuasaan (distribution and separation of power) telah diadopsi.
Termasuk di dalamnya adanya jaminan hak-hak fundamental dan kebebasan
bagi warga negara, baik secara individual dan kolektif wajib dilindungi32
.
Namun, tidak dengan serta merta sistem kekuasaan monarki tersebut hilang.
Justru nilai-nilai kekuasaan yang lama tersebut tetap dipertahankan,
meskipun yang melakukan suatu percampuran model antara kepemimpinan
tradisional kharimatik dengan nilai-nilai kepemimpinan moderen yang
menuntut kemampuan dan kualitas yang unggul, atau meritocracy. Tidak
terkecuali negara Eropa, Timur Tengah dan juga Asia, sistem kepemimpinan
yang campuran itupun diadopsi, sehingga tidak heran jika dalam suatu
negara dikenal dengan monarchi konstitusional (constitutional monarchie).
Suatu model kepemimpinan dimana seorang raja yang berkedudukan dan
memiliki kekuasaan di tingkat nasional masih tetap memainkan peranan
moral spiritualitasnya, dalam menentukan arah dan dinamika politik dan
pemerintahannya.
Sebelum menentukan bagaimana orientasi dari penentuan model
kepemimpinan di DIY, maka secara akademik perlu tinjauan dimana letak
kesamaan dan perbedaan antara sistem kekuasaan monarki konstitusional di
Timur Tengan, Erofa dan juga beberapa di negara Asia.
31Lihat Robertson Q.C. Geoferey. Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk
Mewujudkan Keadilan Global. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1987 .hlm.5.32
Lihat Hukum Hak Asasi Manusia. Phillip Alston and Franz Magnus-Suseno. Jogjakarta.Pusat Studi HAM UII. 2008, hlm. 15.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
39/101
36
Pertama, sistem politik dan pemerintahan di negara Belanda, dipimpin
oleh seorang Ratu Beatrix, yang dipertuan Agung, yang dikukuhkan tahun
1815. Sedangkan pewaris tahta kerajaannya adalah Pangeran Willem
Alexander, Prince of Orange. Sistem pewarisan tahta dan kekuasaan
kerajaan masih terus berlangsung, namun mereka tidak turut serta langsung
dalam sistem kekuasaan politik dan pemerintahan. Namun, kedudukan Ratu
sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Belanda (Royal Coat of
Arms of the Netherland). Tentu saja, keluarga kerajaan selain memiliki hak
waris langsung untuk memperoleh gelar kerajaan, juga terdapat perlakuan
khusus dalam hal hak-hak keistimewaan dan protokolernya. Sedangkan
untuk urusan politik dan pemerintahan diserahkan pada mekanisme yang
demokratis. Keterlibatan rakyat, baik secara langsung ataupun sistem
perwakilan dalam menentukan kebiajakan eksekutif merupakan keniscayaan,
sehingga fungsi pengawasan juga sebagian terdapat dalam masyarakat
selain anggota parlemen.
Negara dan pemerintahan negeri Kincir Angin tersebut, tampak jelas
ketika sistem kekuasaan dan politik pemerintahan Belanda didasarkan
kepada Piagam Konstitusi dan Piagaman HAM. Sementara keudukan Ratu
Beatrix sebagai simbol kenegaraan, yang dalam pelaksanaanya kekuasaan
legislatif dilakukan oleh Senat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rayat
(House of Representative). Sedangkan kabinet untuk jajaran kekuasaan
eksekutif dipimpinan oleh Perdana Menteri (Prime Minister). Pilar demokrasi
didukung oleh tiga kekuatan partai politik yaitu Partai Liberal; Partai Sosialis,
dan Partai Kristen demokratik. Adapun lembaga lembaga negara antara lain:
Dewan Tinggi Negara: Ombudsman Nasional, Dewan Negara (semacam
Sekretariat Negara), Peradilan Audit (Court Audit), Dewan Sosial-Ekonomi
Nasional, Mahkamah Agung, Bank Central Netherland dan lain sebagainya.33
Lembaga-lembaga kenegaraan tersebut, lebih menempatkan pada fungsi
sebagai penyelenggaraan pelayanan publik atau menciptakan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat.
33Lihat Monarchy of the Netherlands. From Wikipedia, the free enciclopedia. Retrieved
from http//: en. Wikipedia.org/wiki/monarchy_ of the _ Netherlands, Categories: Dutch monarchi,History of the Netherlands. List of monarchs.
-
8/7/2019 RUUK DIY 2010
40/101
37
Kedua, hampir mirip dengan Belanda dan juga Inggris dijumpai di
Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej merupakan simbol tertinggi kedaulatan
negara. Pendirian kerjaan Thailand sekitar tahun 1238 dan raja pertamanya
adalah Sri Indraditya. Kedudukan kekuasaan Raja di ibu kota Negara,
Thailand, sama halnya dengan Belanda yang memainkan peranan dalam
kekuasaan militer. Raja sebagai Penguasa Utama Militer (Royal Coat of Arms
of Thailand), yang dilengkapi dengan aparat Kerajaan (Chakry Dinasty), dan
Dewan Kerajaan (Privy Council). Gedung kerajaan sebagai tempat berkantor
resmi adalah berada di Istana, di Bangkok, Thailand. Adapun sistem politik
dan pemerintahan diselenggarakan oleh Perdana Menteri yang dibantu oleh
menteri-menteri lain. Perbedaan dengan Netherland adalah adanya Dewan
Nasional (National Council) yang anggotanya terdiri dari Presiden, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemimpinan dari Partai
Oposisi, sebagai kabinet bayangan.
Adapun badan negara lainnya antara lain, Badan Peradilan (Judiciary)
terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Administrasi, Mahkamah Konstitusi.
Dalam proses suksesi, baik kedudukan Perdana Menteri maupun anngota
dari Senator dan DPR dilakukan dengan pemilihan umum, diselenggarakan
oleh Komisi Pemilihan Umum. Pemerintahan Thailand terhitung sebagai
negara monarki konstitusional yang baru saja memiliki konstitusi baru. Dalam
proses pembentukannya dilakukan suatu model referendum yang melibatkan
masyarak