RUUK DIY 2010

download RUUK DIY 2010

of 101

Transcript of RUUK DIY 2010

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    1/101

    NASKAH AKADEMIK

    Rancangan Perubahan dan Penyempurnaan

    UNDANG - UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1950

    TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH

    ISTIMEWA YOGYAKARTA

    Disusun oleh:

    TIM KERJA KOMITE I

    DEWAN PERWAKILAN DAERAH

    REPUBLIK INDONESIA

    Jakarta

    2010

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    2/101

    ii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL ------------------------------------------------------------------- i

    DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------- ii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalahi ----------------------------------------------- 1

    1.2 Masalah dan Cakupannya --------------------------------------------- 5

    1.3 Maksud dan Tujuan ------------------------------------------------------ 7

    1.4 Metode Pendekatan ----------------------------------------------------- 8

    1.5 Sistematika Pemaparan Naskah Akademik RUUK DIY -------- 9

    BAB II ARGUMENTASI PERUBAHAN UU NO.3 YAHUN 1950

    2.1 Landasan Filosofis ------------------------------------------------------- 10

    2.2 Landasan Sosio-Historis------------------------------------------------ 12

    a. Pengakuan Pemerintahan Belanda dan Jepang ------------- 13

    b. Pengakuan RI Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta ----- 16

    2.3 Landasan Sosiologis----------------------------------------------------- 23

    2.4 Landasan Yuridis Konstitusional-------------------------------------- 29

    2.5 Perbandingan Monarki Konstitusional------------------------------- 34

    2.6 Asas-asas Pembentukan RUUK DIY-------------------------------- 39

    a. Asas Nasionalitas --------------------------------------------------- 39

    b. Asas Bhineka Tunggal Ika---------------------------------------- 40

    c. Asas Religiusitas ---------------------------------------------------- 40

    d. Asas Kolektifitas /Gotong Royong ------------------------------ 41

    e. Asas Musyawarah dan Mufakat--------------------------------- 41

    f. Asas Keselarasan Sosial------------------------------------------ 42

    g. Asas Kebijaksanaan------------------------------------------------ 43

    h. Asas Menghormati dan Memberikan Hak Setiap Orang -- 44

    i. Asas Larangan Sewenang-wenang ---------------------------- 45

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    3/101

    iii

    BAB III RASIONALISASI KEISTIMEWAAN DIY DAN PENETAPAN SRI

    SULTAN HAMENGKU BUWONO X DAN PAKU ALAM SEBAGAI

    GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR

    3.1 Kontroversi di Seputar Penetapan dan Pemilihan --------------- 46

    3.2 Argumentasi Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam ------------- 53

    a). Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta------------------ 53

    b). Kasultanan Yogyakarta dan Puro Paku Alaman ------------- 57

    c). Kota Pendidikan dan Kota Pelajar ------------------------------- 61

    3.3 Kepemimpinan Kharismatik dan Modern --------------------------- 63

    3.4 Mekanisme Penetapan dan Hak Konstitusional Bersyarat ---- 67

    a). Maklumat 5 September 1945 Merupakan Ijab Qobul ------ 67

    b). Penetapan Sebagai Pengecualian Hukum (Lex Specialis) 69

    3.5 Konvensi Penetapan Dalam Ketatanegaraan RI ----------------- 73

    3.6 Keadilan dalam Doktrin Preseden------------------------------------ 77

    3.7 Penetapan DIY dalam Koridor Demokrasi ------------------------- 80

    3.8 Paugeran dan Wali Palimbangan ------------------------------------ 82

    BAB IV PENUTUP

    4.1 Kesimpulan----------------------------------------------------------------- 84

    4.2 Rekomendasi -------------------------------------------------------------- 85

    DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------------- 86

    LAMPIRAN DRAFT RUU PERUBAHAN ------------------------------------------ 89

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    4/101

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Sejak Februari 2010, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Dewan

    Perwakilan Daerah RI telah menyepakati hak inisiatif DPD RI, sesuai Pasal

    22 D UUD 1945, untuk mengusulkan perubahan dan penyempurnaan

    Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

    Hal ini bukan karena DPD RI sebelumnya tidak mengusulkan RUUK DIY,

    melainkan karena adanya perubahan orientasi yang mengharuskan DPD RI

    periode ini mengakomodir aspirasi masyarakat Yogyakarta.

    Sebelumnya, Sidang Paripurna DPD RI diselenggarakan di akhir

    tahun 2009, telah menyetujui hak inisiatif untuk mengusulkan RUUK DIY

    disempurnakan. Kemudian Naskah RUUK DIY tersebut telah diajukan ke

    Dewan Perwakilan Rakyat RI, untuk dipersandingkan dengan Naskah

    RUUK DIY yang telah diajukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian

    Dalam Negeri kepada DPR. Berbagai informasi dari sidang di DPR telah

    menunjukan adanya kemajuan yang berarti. Bahkan beberapa anggota DPR

    telah melakukan kunjungan dan konsultasi dengan Sri Sultan HB X dan

    pihak terkait di DIY, termasuk angggota DPRD dan masyarakat sekitar tahun

    2008. Berbagai fraksi partai politik yang ada di DPR umumnya telah

    memberikan pandangan yang positif atas pentingnya pengesyahan RUUK

    DIY.

    Namun, pemerintah dan DPR belum ada kesepakatan yang bulat.

    Presiden keberatan untuk dapat menerima usulan penetapan terhadap Sri

    Sultan HB dan Paku Alam, sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY. Model

    penetapan dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip

    demokrasi yang saat ini sedang berkembang di Indonesia. Sebagian

    pandangan akademisi di kampus senada dengan keberatan presiden

    tersebut. Memang dapat dipahami jika konsep penetapan masih

    menyisakan berbagai persoalan bila dikaitkan dengan pertumbuhan

    demokrasi ke depan, khususnya terkait dengan beberapa kondisi riil internal

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    5/101

    2

    SDM Kesultanan dan Paku Alam. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam

    sistem ketatanegaraan RI, pemilihan kepala daerah merupakan konsekuensi

    logis dari implementasi Pasal 6A dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Karena itu

    jika model pemilihan disimpangi, yaitu dengan penetapan, bukankah itu

    berarti bahwa pemerintah pusat membiarkan demokrasi yang sedang

    ditumbuhkan dan berkembang terlecehkan. Perlakuan pemerintah pusat yang

    mengistimewakan Yogyakarta dikhawatirkan akan menimbulkan

    kecemburuan bagi daerah-daerah lain yang memilki kesultanan atau

    kerajaan. Dari perspektif ini munculnya klaim keistimewaan dari berbagai

    daerah dapat mengganggu bangunan utuh NKRI.

    Beberapa pertanyaan yang menjadi problematik adalah

    bagaimanakah instrumen hukum ketika terjadi kekosongan sumber daya

    manusia sekiranya UU ini telah diberlakukan. Ketika Sri Sultan dan atau Paku

    Alam berhalangan tetap karena wafat atau sakit karena faktor umur, siapa

    yang pantas menggantikan kedudukan kepemimpinan tersebut oleh karena

    dalam kebiasaan masyarakat bangsawan, kedudukan kepemimpinan dapat

    diwariskan kepada anak-anak laki-laki, dari anak seorang permaisuri.

    Parameter dan persyaratan kualitas SDM juga menjadi tuntutan penting yang

    harus dipenuhi.

    Belum lagi pertanyaan yang terkait keseragaman kepatuhan pada

    UUD 1945. Mengapa proses suksesi kepemimpinan di DIY tidak sama

    dengan kebanyakan pemilihan kepala daerah di wilayah RI lainnya?. Sikap

    pemerintah seperti itu, memang masuk akal bilamana dikaitkan dengan

    format implementasi demokrasi. Namun, sikap kehati-hatian pemerintah

    pusat telah dipahami secara berbeda. RUUK yang saat ini sedang dinantikan

    kehadirannya dan belum juga disahkan dipandang diskriminatif.

    Kekhawatiran akan adanya kekosongan hukum, tidaklah berlebihan oleh

    karena masa perpanjangan sudah hampir berakhir.

    Berbeda halnya sikap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Aceh

    dan Papua. Tuntutan mereka untuk menetapkan kedua provinsi ini sebagai

    daerah khusus, juga telah diwujudkan dalam instrumen hukum. Misalnya,

    kedudukan status daerah khusus bagi Aceh didasarkan pada UU nomor 18

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    6/101

    3

    tahun 2001, Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

    Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan status otonomi

    khusus Papua didasarkan pada UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi

    Khusus bagi Provinsi Papua. Sementara itu, perlakuan pemerintah pusat

    terhadap DIY diskriminatif sampai hari ini belum juga jelas.

    Karena itu, langkah DPR RI dan DPD RI saat ini, untuk mendorong

    RUUK DIY dibahas kembali merupakan wujud kongkrit kepedulian

    pemerintah pusat terhadap masyarakat DIY. DPD RI mengambil peran

    strategis untuk mendorong DPR RI menyelesaikan RUUK DIY dan hal itu

    menjadi langkah positif. Proses persiapan RUUK DIY telah berlangsung sejak

    tahun 2002, yang berarti telah bergulir hampir 8 tahun dari wacana ke

    wacana. Sementara tuntutan suksesi di DIY sudah harus dilaksanakan pada

    bulan Agustus 2011. Keputusan Presiden yang terkait dengan kebijakan

    memperpanjang kedudukan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan

    Wakil Gubernur akan segera berakhir pula. Kondisi tersebut mestinya

    mendorong pihak pemerintah pusat untuk memberikan perhatian lebih serius

    lagi mengingat usulan perpanjangan hanya akan menuai perselisihan.

    Karena itu, UU Keistimewaan DIY harus segera disahkan agar

    kepastian hukum dapat segera terjamin. Masyarakat Yogyakarta terutama

    lapisan pejabat pemerintahan dari tingkat yang paling bawah, pemerintahan

    Desa/Kelurahan, Kecamatan dan sebagian besar pamong di tingkat

    kabupaten dan kota, termasuk suara dari anggota DPRD Provinsi dan juga

    Kabupaten dan/atau kota terbaca jelas bahwa model penetapan,

    dipandang sebagai pilihan tepat yang perlu menjadi pertimbangan

    Pemerintah Pusat.

    Menyikapi pandangan tersebut, Rapat Dengar Pendapat Umum

    (RDPU) Selasa, tanggal 2 Maret 2010 di Ruang Sidang Komite I DPD RI.

    Setelah disampaikan pemaparan secara akademik oleh pakar hukum dan

    otonomi daerah, secara bulat DPD RI bermaksud memperjuangkan suatu

    Naskah Akademik dan Draft RUUK DIY, dengan melakukan usul perubahan

    terhadap UU Nomor 3 tahun 1950, tentang Pembentukan Daerah Istimewa

    Yogyakarta. Selain itu, DPD RI juga merekomendasikan untuk melakukan

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    7/101

    4

    pertemuan dengan Komisi II DPR RI, untuk memperoleh informasi yang jelas

    tentang bagaimanakah kedudukan hak inisiatif DPR.

    Persoalan yang muncul terkait dengan hal itu adalah apakah bahan-

    bahan dari pemerintahan masih tetap dipergunakan sebagai referensi?..

    Selain itu, Komite I. DPD RI juga menyetujui bahwa penetapan Sri Sultan

    dan Sri Paku Alam merupakan salah satu wujud dari keistimewaan DIY yang

    paling utama. Sedangkan Naskah Akademik RUUK DIY versi DPD RI

    (periode 2004-2009) menjadi salah satu rujukan dari kajian Tim Kerja Komite

    I DPD RI saat ini. Akibatnya, Naskah Akademik dan RUUK DIY perlu

    dilakukan suatu perumusan ulang sesuai dengan tuntutan masyarakat DIY.

    Upaya untuk memperkuat kajian akademik yang lebih mendalam dan lebih

    kritis dari berbagai pakar perlu dihadirkan agar kajian terkait dengan isu

    utama, apakah penetapan sebagai ciri Keistimewaan DIY tersebut

    berkesesuaian dengan nilai-nilai prinsipil demokrasi dan HAM sebagaimana

    diatur oleh UUD 1945.

    Hal ini dimaksudkan agar di satu pihak dapat menyesuaikan dengan

    tuntuan masyarakat DIY dan kecenderungan pandangan elit-elit politik, baik

    di DPRD tingkat DIY, maupun di tingkat Pusat (DPR dan DPD RI). Di pihak

    lain, juga harus diupayakan dapat mencegah timbulnya uji materiel (judicial

    review) ke MK RI, yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang

    berseberangan. Untuk mencegah hal tersebut, perlu ditegaskan bahwa status

    hukum kekhususan dan keistimewaan, secara konsitusional bukanlah

    monopoli hak konstitusional DIY. Akan tetapi merupakan hak konstitusional

    setiap daerah sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18B ayat (1).

    Apakah daerah-daerah merasa memiliki hak-hak kekhususan dan

    keistimewaan tersebut sangat tergantung pada kemampuan memberikan

    bukti-bukti yang signifikan atas persoalan yang diusulkan, yaitu untuk

    membuktikan keunikan-keunikan yang membedakan secara diametral dari

    model otonomi daerah pada umumnya.

    Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pasal perubahan dan

    penyempurnaan UU No. 03 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, melalui

    prosedur penetapan sebagai ciri utama keistimewaan DIY, secara obyektif

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    8/101

    5

    dipandang sebagai hak konstitusional bersyarat. Suatu alternatif, dimana UU

    yang hendak disahkan dapat diberlakukan manakala syarat-syarat yang

    melekat pada keistimewaan DIY masih ada dan mendapatkan dukungan dari

    masyarakatnya. Karena itu fungsi UU DIY yang akan disahkan tersebut

    nantinya hanya memiliki sifat Ius Constitum (menjawab persoalan saat ini

    yang sangat diperlukan) dan tidak dipersiapkan untuk merespons atas suatu

    peristiwa yang akan datang (Ius Constituandum).

    1.2 Masalah dan Cakupannya

    Untuk sampai kepada pemahaman yang komprehensif dan mencapai

    tujuan tersebut di atas, perlu diajukan suatu rumusan masalah yang

    fundamental, sehingga semua wacana yang timbul dapat menjadi bahan

    pertimbangan yang logis, obyektif dan berkesesuaian dengan nilai-nilai

    demokrasi dan HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

    Pertama, dalam Pasal 18B UUD 1945, ayat (1) dengan tegas

    dinyatakan bahwa bentuk pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa

    dipandang merupakan hak konstitusional yang dalam implementasinya

    diberikan kepada setiap daerah. Senada dengan itu Pasal 18B ayat (2)

    mengamanahkan bahwa pengakuan masyarakat hukum adat dapat

    diperjuangkan sepanjang memenuhi syarat-syarat sosiologis dan yuridis.

    Persoalannya, adalah bagaimana sebenarnya makna dan fungsi

    keistimewaan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945, dan bagaimana

    landasan atau argumentasi yang dikemukakan agar keistimewaan

    memperoleh pembenaran dalam sistem Ketatanegaraan RI, baik secara

    filosofis, historis, sosiologis, juridis konstitusional RI?.

    Kedua, sistem monarki konstitusional di berbagai negara modern

    seperti Raja Bumibhol di Thailand, Belanda, Inggris dan keberadaan Sultan-

    Sultan di negara-negara Bagian Malaysia. Keberadaan raja-raja tersebut,

    sejatinya memiliki kekuasaan dan kewenangan sejajar dengan kepala negara

    suatu Negara berdaulat (sovereign state). Pengakuan terhadap eksistensi

    raja-raja di negara-negara modern tersebut bukan sekedar karena mereka

    merupakan simbol kenegaraan semata, tetapi sesungguhnya karena urusan

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    9/101

    6

    politik dan pemerintahan sebagai wilayah publik diserahkan kepada institusi

    politik yang lebih legitimit. Konsekuensinya, raja-raja tersebut masih memiliki

    hubungan dengan sistem pemerintahan demokratis dan modern di tingkat

    nasional meskipun realitas tidak berada dalam struktur kekuasaan politik

    melainkan lebih mewakili sebagai simbol kultural dan menghormati negara.

    Hal ini sungguh berbeda dengan Sultan HB dan Paku Alam di DIY

    mengingat keberadaan dan status mereka berada pada tingkat pemerintahan

    provinsi dengan membawahi lima (5) pemerintahan setingkat kabupaten.

    Sehingga kajian terhadap monarki konstitusional di beberapa negara tidak

    menempati kedudukan yang sebanding (incompatible conditions). Persoalan

    yang timbul adalah, apakah jika status keistimewaan DIY melalui praktek

    penetapan Sultan HB dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil

    Gubenur DIY akan berdampak menimbulkan disharmonisasi sosial terhadap

    pemerintahan yang demokratis?

    Ketiga, terhadap realitas sistem pemerintahan yang semakin legitimit

    berdasarkan pemilihan Presiden dan Wakilnya secara langsung

    sebagaimana diatur dalam Pasal 6 A, dan pemilihan kepala daerah

    (Gubernur, Bupati dan Walikota) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat

    (4) UUD 1945 (amandemen), merupakan ketentuan hukum umum (general

    rule of law) dalam demokrasi Indonesia. Konsekuensinya, pemilihan umum

    secara seragam wajib dilakukan secara jujur, adil, bebas dan rahasia, tetapi

    juga diselenggarakan secara demokratis melalui pemilihan secara langsung

    (direct vote). Persoalan yang timbul adalah apakah penetapan kepala

    daerah, sebagaimana dijumpai dalam kasus penetapan Sri Sultan HB

    dengan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Gubenur dan Wakil Gubernur DIY

    mendapatkan pembenaran secara juridis konstitusional dan berkesuaian

    dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM?.

    Keempat, perpanjangan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur

    melalui Keppres RI 2009, tidak lama lagi akan berakhir pada bulan Agustus

    2011, dan menjadi tantangan bilamana UU Keistimewaan DIY belum juga

    disyahkan oleh DPR bersama pemerintah. Padahal, beberapa wilayah seperti

    pemerintahan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, dan Daerah Khusus

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    10/101

    7

    Pemerintahan Papua telah memperoleh status hukum yang jelas dan pasti.

    Pertanyaan yang timbul adalah apakah pemerintahan pusat masih tetap akan

    menawarkan opsi pemilihan secara langsung di DIY dengan penuh resistensi

    atau menyediakan alternatif penetapan Sultan HB dan Paku Alam sebagai

    Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai hak konstitusional bersyarat (right of

    constitusional condition)?.

    1.3 Maksud dan Tujuan

    Naskah akademik ini dipersiapkan dengan maksud dan tujuan sebagai

    berikut. Pertama, mempersiapkan acuan atau pedoman teoritis, landasan

    filosofis, historis, sosiologis dan juridis yang dapat dijadikan sumber

    pengetahuan dalam merumuskan berbagai norma hukum terikait dengan

    makna dan fungsi keistimewaan DIY yang mensejaheratakan bagi

    masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkesesuaian dengan konsep

    Negara Kesatuan RI.

    Kedua, memperoleh gambaran tentang kaitan antara status raja-raja

    di berbagai negara dengan sistem pemerintahan modern di beberapa negara

    untuk dijadikan bahan perbandingan bagi upaya menetapkan relevansinya

    dengan kasus Kesultanan Yogyakarta, termasuk implikasinya terhadap

    sistem pemerintahan secara nasional.

    Ketiga, terbangunnya argumentasi empat pilar keistimewaan selain

    parameter kebudayaan, tanah, dan pendidikan selain penetapan Sri Sultan

    HB dan Sri Paduka Paku Alam, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur,

    sebagai inti keistimewaan DIY yang dapat menjadi sumber potensial bagi

    terbentuknya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Yogyakarta.

    Keempat, terbentuknya suatu instrumen hukum berwujud UU yang

    sifat dan statusnya hanya merespon kebutuhan hukum yang ada saat ini ( Ius

    constitutum), dan tidak dipergunakan untuk merespon keadaan yang belum

    pasti di masa mendatang (Ius constituandum), sehingga dapat tercipta

    kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum dalam proses pergantian

    kepemimpinan di tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai koridor

    demokrasi dan nilai-nilai HAM yang diatur dalam UUD 1945.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    11/101

    8

    1.4 Metode dan Pendekatan

    Suatu peraturan perundang-undangan, sebagai produk legislatif

    bersama dengan pemerintah selalu diharapkan out-comenya, adalah suatu

    UU yang legitimit. Menurut UU Nomor 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan

    Peraturan Perundang-Undangan, suatu peraturan perundang-undangan yang

    legitmit dapat disahkan manakala didukung oleh prosedur dan mekanisme

    sebagai berikut.

    Selain adanya usulan atau hak inisiatif dari Pemerintah, DPR atau

    inisiatif dar DPD RI terhadap obyek tertentu, juga diperlukan adanya suatu

    proses penjaringan input dengan Focus Group Discussion, Daftar Identifikasi

    Masalah, Rapat Dengar Pendapat (RDPU), Peer Review, juga diperlukan

    adanya suatu Uji Publik. Dengan harapan, bahwa suatu Draft RUU selain

    memperoleh masukan dari berbagai lapisan sosial secara menyeluruh, juga

    dengan cara pengujian publik maka hal itu telah mengakomodir peran serta

    masyarakat, sehingga dapat menghindari sikap resistensi atas produk UU

    baru dapat meminimalisir timbulnya uji materiel ke Mahkamah Konstitus.

    Sedangkan penggunaan pendekatan komprehensif dalam Naskah

    akademik ini dimaksudkan sebagai suatu upaya memaparkan atau menjawab

    berbagai persoalan secara argumentatif, mengenai urgensi RUUK-DIY.

    Penggunaan istilah penetapan bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Sri

    Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, yaitu dilakukan

    dengan mengedepankan berbagai disiplin keilmuan yang relevan. Beberapa

    landasan seperti, filosofis, historis, sosiologis, dan juridis konstitusional dan

    konvensi ketatanegeraan, baik yang telah berlangsung sejak pemerintahan

    orde lama maupun dalam era pemerintahan orde baru merupakan

    argumentasi yang melekat pada keistimewaan DIY hingga kini.

    Keraguan pemerintah untuk mengakomodir keberadaan keistimewaan

    DIY melalui penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai

    gubernur dan wakil gubernur, yang diusulkan melalui prosedur, institusi adat,

    yaitu pisowanan Agung kepada DPRD DIY, sesungguhnya merefleksikan

    nilai-nilai demokrasi perwakilan (representative democracy) yang secara

    khusus diberlakukan di DIY.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    12/101

    9

    1.5 Sistematika Pemaparan Naskah Akademik RUUK DIY

    Dalam penyelesaian NA RUUK DIY ini terbagi ke dalam empat bagian

    utama. Bab I, pendahuluan yang isinya mencakup argumentasi pentingnya

    usulan perubahan, masalah dan cakupannya, maksud dan tujuan serta

    metode dan pendekatan dalam pembuatan dan perumusan Naskah

    Akademik dan RUUK DIY, dalam perspektif yang responsif dan aspiratif. Bab

    II, memuat argumentasi pentingnya RUUK DIY diusulkan, agar selain ada

    kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat Daerah

    Istimewa Yogyakarta. Karena itu dalam bab ini yang akan dikemukakan

    mengenai landasan filosofis, historis, sosiologis dan juridis, asas-asas

    hukum, juga dipaparkan mengenai perbandingan monarki konstitusional. Bab

    III, kajian khusus tentang landasan konstitusional, parameter keistimewaan

    DIY, status tanah, Keraton, Pendidikan dan kepemimpinan, serta

    argumentasi Penetapan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan

    Wakilnya. Kelima argumentasi penetapan yang akan dibahas adalah,

    maklumat 5 september 1950, Lex Specialis, konvensi ketatanegaraan RI,

    Doktrin Preseden dan Implementasi demokrasi di DIY. Bab IV, sebagai

    penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    13/101

    10

    BAB II

    ARGUMENTASI PERUBAHAN UU NO. 3 TAHUN 1950TENTANG PEMBENTUKAN DAERAHISTIMEWAYOGYAKARTA

    Pemaparan dalam Bab II ini lebih ditekankan pada upaya

    mengedepankan argumentasi atas persoalan, mengapa dan bagaimana

    makna dan fungsi Keistimewaan DIY masih tetap relevan untuk dilestarikan

    dalam sistem pemerintahan demokratis. Untuk mencapai pemahaman yang

    lebih komprehensif perlu dikemukakan beberapa perspektif. Pertama, perludibahas tentang landasan, filosofis, historis, sosiologis dan yuridis

    konstitusional. Dari keempat landasan inilah urgensi pelestarian

    keistimewaan DIY mendapatkan pembenaran secara obyektif dan kritis.

    Kedua, tinjauan tentang sistem monarki konstitusional sebagaimana yang

    berlaku di beberapa negara, seperti Belanda, Thailand, dan Malaysia. Ketiga,

    kajian tentang asas-asas hukum yang dijadikan landasan perubahan dan

    penyempurnaan UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

    Istimewa Yogyakarta.

    2.1 Landasan Filosofis

    Pentingnya keistimewaan DIY dilestarikan terkait dengan landasan

    filosofis yang tertuang dalam pandangan filsafat bangsa yaitu Pancasila.

    Dalam tataran filosofi, kehadiran Yogyakarta sebagai suatu entitas politik,

    sejak zaman dulu hingga saat ini, tidak dapat melepaskan dirinya dari

    eksistensi Sang Pencipta, Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Dalamperspektif Ideologi bangsa, sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa

    prasyarat utama atas lahirnya proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17

    Agustus 1945, sebagai rahmat bagi bangsa Indonesia. Sila pertama inilah

    yang menjadi sumber inspirasi dan moralitas bagi kehidupan bermasyarakat

    dan negara. Dalam perspektif budaya Adiluhung Ngayogyakarta

    Hadiningrat, keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan Yang Maha Esa

    tersebut dimaknai sebagai Sangkan Paraning Dumadi atau asa-usul dari

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    14/101

    11

    mana manusia itu datang dan akan kembali. Pengakuan demikian ini, telah

    teraktualisasi dalam pengalaman sejarah secara berkesinambungan.

    Keberhasilan demi keberhasilan ditujukan oleh setiap zaman dengan

    spiritnya masing-masing di babad tanah Jawi. Sejak kerajaan Majapahit

    hingga kerajaan Mataram. Peran agama-agama besar yang menitiskan

    peninggalan budayanya, seperti Hindu dan Budha menghantarkan puncak

    kejayaan teknologi dan bangunan arsitektur seperti Candi Borobudur dan

    candi Prambanan pada sekitar abad VII. Lebih luas lagi, pengaruh agama

    terhadap perubahan dan perkembangan zaman tersebut, tidak saja

    berlangsung di Indonesia semata. Interaksi ajaran agama-agama besar masa

    lalu di pulau Jawa khususnya, dan di Nusantara pada umumnya terefleksi ke

    dalam realitas masyarakat Indonesia yang toleran dan permisif.

    Sebagaimana puncak kejayaan juga pernah di raih oleh pengaruh

    ajaran Islam, yang semula datang dari pedang-pedagang Gujarat, India,

    Persia dan juga negeri Timur Tengah Lainnya. Puncak kejayaan Islam

    tersebut, terpatri secara kultural pada simbol-simbol kekuasaan tradisional,

    termasuk berbagai gelar keagamaan bagi seorang Raja atau Sultan.

    Pengakuan kekuasaan raja Mataram menjadi lebih legitimit ketika

    mendapatkan gelar, Senopati Ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo

    Khalifatullah. Gelar khalifatullah ini dalam konteks peran sosial dan politik

    adalah bahwa pemimpin itu adalah wakil Tuhan di muka bumi (Khalifatullah

    Fir Ardhi).1

    Interaksi antara ajaran agama dengan kekuasaan politik tradisional

    inilah yang berimbas pada lahirnya Pancasila sebagai Dasar Idiologi Negara

    Republik Indonesia. Lima sila tersebut adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,

    Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,

    Permusyawaratan dengan Hikmah Kebijaksanaan dan Perwakilan, Keadilan

    Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima dasar filsafat kenegaraan ini,

    menjadi pedoman berpikir, berperilaku atau bertindak dalam konteks

    kemasyarakatan dan kenegaraan. Karena itu, gagasan keistimewaan DIY

    mengacu pada Ketuhanan, juga kemanusiaan dan keutuhan NKRI serta

    1Lihat Jawahir Thontowi, Apa Istimewanya Jogja, Fahima Press, Yogyakarta, 2007

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    15/101

    12

    musyawarah untuk mufakat dan berkeadilan sosial dalam menyelesaikan

    suatu persoalan.

    Dasar negara Pancasila, mewajibkan semua warga negara Indonesia

    untuk memeluk satu ajaran agama sesuai dengan keimanan atau keyakinan

    dan kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara teologis,

    warga negara Indonesia berhak untuk hidup berdampingan secara rukun dan

    damai sesuai dengan perbedaan naluriahnya sebagai manusia terhadap

    suatu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila, sebagai kesepakatan

    politik nasional warga negara Indonesia berfungsi untuk memberikan

    bimbingan dan pedoman yang benar bahwa keanekaragaman latar

    belakang sejarah, budaya, agama, ras dan juga suku terbingkai pada satu

    kesatuan, BHINEKA TUNGGAL IKA. Karena itu Pasal 18 B ayat (1) yang

    mengamanahkan jenis pemerintahan daerah otonomi khusus, dan

    keistimewaan adalah wujud jaminan unifikasi, dalam keanekaragaman.

    Dengan kata lain, pentingnya keistimewaan DIY dalam ranah filosofis

    dan dasar idiologi negara adalah bahwa Sri Sultan dan Paku Alam, adalah

    manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai wakil Tuhan di muka bumi

    berfungsi untuk memelihara terciptanya keseimbangan hubungan antara

    tuntutan pembangunan budaya materiel di duniawi (fidduniya) dengan

    kehidupan immateriel (wal-akhiroh). Kehadiran Sri Sultan dan Sri Paduka

    Paku Alam sebagai pimpinan daerah mendapatkan pengakuan dari

    masyarakat atas dasar kesepakatan sebagian besar masyarakat,

    sebagaimana terumuskan dalam prinsip deokrasi, vox populi vox dei.

    2.2 Landasan Sosio-Historis

    Konsistensi filosofis dan ideologi hanya akan menjadi wacana belaka

    manakala terlepas dari pengujian empirik kehidupan masyarakat.

    Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dalam wacana dan fakta di telusuri

    melalui kisah dan juga cerita sejarah tersebut. Yogyakarta sebagai nagari

    pada masa lalu. Awal mula status Yogyakarta sebagai negeri berdaulat tidak

    lepas dari sejarah kontrak politik dari pemerintahan kolonial Belanda hingga

    Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    16/101

    13

    a. Pengakuan Pemerintahan Belanda dan Jepang

    Landasan historis terkait dengan keberadaan Yogyakarta sebagai

    suatu wilayah berdaulat adalah adanya kontrak politik tersebut antara

    pemerintahan Belanda dengan Raja Yogyakarta, pemerintah Jepang dan

    Presiden Indonesia yang pertama.

    Pertama, adanya Perjanjian Gianti yang dilaksanakan pada tanggal

    13 Februari 1755 yang mengukuhkan pembagian kerajaan Mataram tersebut.

    Kerajaan ini dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan

    Ngayogjokarto Hadiningrat. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1813 wilayah

    Kasultanan Yogyakarta dikurangi lagi oleh Pemerintah Inggris dan diserahkan

    kepada Pangeran Notokusumo, adik Sultan Hamengku Buwono II yang

    kedudukannya tidak berada di bawah Sultan (pangeran Merdiko) dan

    bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I. Dengan

    demikian di wilayah Ngayogjokarto Hadiningrat terdapat dua pucuk

    kekuasaan yang terpisah antara satu dengan yang lain, Sultan Hamengku

    Buwono II memerintah di Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat dan Paku

    Alam I yang memerintah di Puro Pakualaman dan sekitarnya yakni

    Onderdistrik Pakualaman dan Kabupaten Adikarto (Karang

    Kemuning/sekarang adalah Kabupaten Kulonprogo).2

    Sejak zaman Belanda, praktek pemerintahan di Kasultanan dijalankan

    oleh Ryksbestuurder (Pepatih dalem), dengan persetujuan Gubernur

    Pemerintah Hindia Belanda. Pepatih Dalem ini diangkat oleh Sultan dari

    keluarga Keraton dengan persetujuan dari Gubernur Belanda yang

    bertanggung jawab kepada Sultan maupun kepada Gubernur. Selain Pepatih

    Dalem merupakan pegawai Kasultanan sekaligus pegawai Gubernemen

    Belanda yang mendapat gaji dari Kesultanan maupun Gubernemen. Pepatih

    Dalem ini juga harus mengangkat sumpah setia kepada Sultan maupun

    Gubernur Belanda.3

    2B. Hestu Cipto Handoyo, Kilas balik Keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta (Sebah

    Tinjauan Historis Yuridis), Penerbitan Univ Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998, hlm. 8.3

    Parwi Foundation, Masa Depan Yogyakarta dalam Bingkai Keistimewaan, UnitPenerbitan Parwi Foundation, Yogyakarta, 2002, hlm. 15.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    17/101

    14

    Fakta Historis tersebut menandakan bahwa dualisme kepemimpinan

    di DIY telah tumbuh dan berkembang sejak lama dengan bukti-bukti yang

    cukup signifikan. Untuk Kasultanan Yogyakarta, kontrak politik yang terakhir

    dibuat antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Gubernur Yogyakarta,

    L.A. Adam tanggal 18 Maret 1940 dan disahkan tanggal 29 April 1940 oleh

    Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.W.L. Tjarda Van Starkenborg.4 Isi

    kontrak politik yang terpenting adalah:

    a. Penegasan tentang kedudukan hukum Daerah Kasultanan.

    b. Penegasan tentang pembatasan kekuasaan pemerintah Hindia

    Belanda dengan alat-alat kekuasaannya dan kekuasaan Sri Sultan.

    Kedua, kontrak politik lainnya dilakukan dengan pemerintahan pada

    zaman penjajahan Jepang, kedudukan Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta

    juga diatur oleh Jepang ketika itu. Ini terbukti dengan adanya surat perintah

    dari Panglima Besar Tentara yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 1942

    antara lain sebagai berikut:

    1. Dai Nippon Gun Seireikan (Panglima Besar Bala tentara Dai Nippon)

    mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi Ko (Sultan) Yogyakarta.

    2. Ko turut di bawah Dai Nippon Gun Sireikan serta harus mengurus

    pemerintah Koti (Kasultanan) menurut Pemerintah Dai Nippon Gun

    Sireikan.

    3. Daerah Koti adalah Daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu.

    4. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada

    asasnya diperkenankan seperti sediakala.

    5. Terhadap Dai Nippon Gun Sireikan, Ko wajib mengurus segala

    pemerintahan Koti agar memajukan kemakmuran penduduk Koti

    umumnya.

    Sri Sultan Hamengku Buwono IX berusaha sedikit demi sedikit

    mengurangi peranan dan kekuasaan Pepatih Dalem ini. Beliau menampatkan

    Pepatih Dalem di dalam keraton, sehingga segala urusan dengan penjajah

    Jepang yang semula harus melalui Pepatih Dalem dapat langsung

    berhubungan dengan Sri Sultan sendiri. Kemudian dalam perkembangan

    4

    Atmakusumah (Penyunting), Tahta Untuk Rakyat, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm. 302-374.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    18/101

    15

    lebih lanjut Sri Sultan HB IX juga membagi pemerintahan Kasultanan dalam

    jawatan-jawatan yang diberi nama Paniradya yang masing-masing dikepalai

    oleh seorang kepala Jawatan yang diberi nama Paniradyapati. Langkah ini

    dimaksudkan untuk memperkecil peran dan kekuasaan Pepatih Dalem,

    karena para Paniradyapati tersebut bertanggung jawab secara langsung

    kepada Sultan. Pada awalnya terdapat enam Paniradya, yaitu : 5

    Paniradya Paniradya Kapanitraan (kantor Sekretariat), Paniradya

    Ayahan Umum (jawatan Urusan Umum), Paniradya Ekonomi (Jawatan

    Perekonomian), Paniradya Wiyatapraja (Jawatan Pendidikan dan

    Kebudayaan), Paniradya Yayasan Umum (Jawatan Pekerjaan Umum),

    Paniradya Racana-Pencarwara (Jawatan Urusan Rancangan dan

    Propaganda).

    Menurut PJ. Soewarno, keistimewaan DIY dalam sejarah awal

    perkembangan Kasultanan Yogyakarta (Ngayogjokarto Hadiningrat) termasuk

    Kadipaten Pakualaman berasal dari pecahan Kerajaan Mataram, yang

    semula meliputi seluruh pulau Jawa kecuali Jawa Barat. Wilayah Mataram

    dibagi menurut konsep kekuasaan yang terpusat pada raja, yang

    membentang sejauh kekuasaan raja mampu mengamankannya. Dalam masa

    kemerdekaan RI sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,

    ditetapkannya Yogyakarta sebagai salah satu daerah istimewa pertama kali

    dalam sejarah NKRI. Hal ini berkaitan dengan masa sebelum Kemerdekaan

    RI, wilayah Yogyakarta sekarang merupakan dua daerah swapraja

    (zelfbestuurende landschappen), yaitu Negeri Kasultanan Ngayogyakarta

    Hadiningrat dan Negeri (Kadipaten) Pakualaman6.

    Eksistensi dua kerajaan ini sangat diakui oleh Penjajah Belanda,

    sehingga dikembangkan hubungan khusus atas dasar perjanjian politik.

    Kasultanan dan Pakualaman yang merupakan sistem pemerintahan yang

    memiliki asal-usul susunan asli tersendiri. Dalam konteks ini, maka

    pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta, secara hukum dan politik

    sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah ketika itu.

    5ibid, hlm 17.

    6

    Lihat Suwarno PJ (Disertasi), Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi PemerintahanYogyakarta 1945-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 51.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    19/101

    16

    b. Pengakuan RI Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta

    Embrio Keistimewaan Yogyakarta muncul dan berkembang pada

    tahun 1945, sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Setelah Proklamasi

    Kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII dalam kapasitas

    mereka sebagai raja, mengirim telegram kepada Presiden Soekarno yang

    berisi ucapan selamat dan pernyataan untuk bergabung dengan RI. Telegram

    itu direspon positif oleh Pemerintah Pusat dengan memberi Piagam

    Kedudukan bagi HB IX dan PA VIII7.

    Isi amanah tersebut, antara lain dua orang raja secara langsung

    ditetapkan sebagai kepala daerah DIY sejajar dengan pemerintahan setingkat

    provinsi. Jadi keistimewaan tersebut, seyogyanya dikaitkan dengan

    nomenklatur bahwa keitimewaan Yogyakarta tidak diberi attribut

    pemerintahan Provinsi. Pasal 18 UUD 1945 dan isi penjelasannya

    menegaskan bahwa Negara RI memandang dan mengingat hak-hak asal-

    usul dan susunan asli setiap daerah istimewa di Indonesia.

    Tindakan taktis HB IX dan PA VIII dengan mengeluarkan Amanat 5

    September 1945 yang isinya menegaskan bahwa Negeri (Kasultanan)

    Yogyakarta dan Negeri Pakualaman merupakan dua Daerah Istimewa dalam

    Negara RI8. Selain itu ada amanat kedua yaitu Amanat 30 Oktober 1945,

    sebuah Amanat yang menyatakan bahwa Yogyakarta merupakan satu

    Daerah Istimewa Negara RI yang dipimpin oleh dua Kepala Daerah (HB IX

    dan PA VIII). Dilihat dari segi sejarah perkembangan hukum tentang status

    keistimewaan DIY, khususnya pasca kemerdekaan sudah ada beberapa

    ketentuan yang terbit berkaitan dengan masalah keistimewaan Yogyakarta.

    Sejarah tersebut keistimewaan tersebut sebenarnya sudah ada sejak negara

    Indonesia belum merdeka, namun yang paling penting adalah pada saat

    kemerdekaan sebagaimana terlihat pada Tabel 1 berikut ini.9

    7Ditandatangani pada 19 Agustus 1945

    8Pada butir 1 terdapat kalimat ...Komite Nasional Pusat Daerah Istimewa Yogyakarta....

    Masih di tahun 1945, muncul pula UU No 1/1945 yang penjelasannya menyatakan sebuah DaerahIstimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta (meliputi Kasultanan Yogyakarta,Kasultanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, Kadipaten Mangkunegaran). Rupanya pernah adaupaya untuk menjadikan wilayah-wilayah dari empat Praja Kejawen itu menjadi sebuah DaerahIstimewa Mataram. Status Keistimewaan Yogyakarta semakin menguat selama tahun 1946,

    sementara upaya untuk menetapkan Daerah Istimewa Mataram tidak kesampaian.9Dikutip dari Martitah dan Hidayat, 2008, Op.Cit, hlm. 30-31.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    20/101

    17

    Tabel 1Roadmap Sejarah Keistimewaan Yogyakarta

    No. Nama/Sebutan Status Dasar Hukum

    1 a. Negeri Yogyakarta Hadiningrat

    b. Negeri Pakualaman

    Dua daerah istimewa dalam NegeriRI

    Amanat Sri Sultan dan Amanat SriPaku Alam 5 September 1945

    2 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia

    Satu daerah istimewa dengan duaKepala Daerah Istimewa (Sri Sultandan Sri Paku Alam)

    Amanat 30 Oktober 1945 yangditanda tangani oleh Sri SultanHamengkubuwono IX dan Sri Paku

    Alam VIII

    3 Daerah Istimewa Yogyakarta danSurakarta

    Satu Daerah Istimewa yang meliputiKesultanan Yogyakarta, KasultananSurakarta, Kadipaten Pakualaman

    dan Kadipaten Mangkunegaran

    Penjelasan UU No.1 Tahun 1945

    4 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia Yogyakarta (Kasultanandan Pakualaman)

    Satu Daerah Istimewa yang meliputiKasultanan Yogyakarta danKadipaten Pakualaman dengan SriSultan Hamengkubuwono IX dan SriPaku Alam VIII sebagai KepalaDaerah

    Maklumat No.14 tanggal 11 April1946 dan Maklumat No.15 tanggal 11

    April 1946

    5 Daerah Istimewa Negara RepublikIndonesia (Kasultanan dan Paku

    Alaman) Yogyakarta

    s.d.a Maklumat No.17 tanggal 11 April1946

    6 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a Maklumat No.18 yang ditanda tanganioleh Sri Sultan Hamengkubuwono IXdan Sri Paku Alam VIII, tanggal 18Mei 1946

    7 Daerah Istimewa Surakarta danYogyakarta

    s.d.a. dan seperti halnya no.3 belumpernah terwujud dan belum pernahditentukan siapa Kepala Daerahnya

    Penetapan Pemerintah No.16 s/dtanggal 15 Juli 1946

    8 Daerah Istimewa Kasultanan danPaku Alaman di Yogyakarta

    Suatu daerah istimewa yangmeliputi wilayah KasultananYogyakarta dan Kadipaten Paku

    Alaman

    Diktum keempat butir (1) PenetapanPemerintah No.16 s/d tanggal 15 Juli1946

    9 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a dan dengan Sri SultanHamengkubuwono IX sebagai

    Kepala Daerah dan Sri Paku AlamVIII sebagai wakil kepala daerah

    UU No. 3/1950 tentang pembentukanDaerah Istimewa Yogyakarta jo. UU

    No.22/1950 tentang Pokok-pokokPemerintahan Daerah

    10 Daerah Istimewa Yogyakarta s.d.a dan denganHamengkubuwono X sebagaigubernur dan Paku Alam IX sebagaiwakil Gubernur

    Pasal 122 UU No.22 tahun 1999 danpenjelasannya

    Sumber: Martitah dan Hidayat, 200910

    10

    Lihat juga Wikipedia, Sejarah Keistimewaan Yogyakarta, diakses pada tanggal 30 Maret2010 dari http://www.wikipedia/sejarah_keistimewaan_Yogyakarta.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    21/101

    18

    Berdasarkan uraian di atas, maka penetapan daerah istimewa dalam

    tahap awal terbagi ke dalam dua wilayah yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta

    yang terdiri dari Kesultanan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam. Di pihak

    lain, NKRI mengakui juga adanya Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah

    Istimewa Yogyakarta. Sementara dari road map searah keistimewaan

    tersebut di atas, tampak jelas bahwa pengakuan NKRI terhadap kedudukan

    Kesultanan Yogyakarta dengan menggabungkan antara Kesultanan

    Yogyakarta dengan Puro Pakualam secara berkesinambungan terbukti dari

    sejarah perkembangan ketentuan hukumnya.

    Kondisi di atas jelas menunjukan bahwa sejarah keistimewaan

    Yogyakarta memang berbeda degan pengakuan Keistimewaan daerah

    Surakarta. Setidaknya perbedaan tersebut dapat dalam tiga hal. Pertama,

    status pengakuan keistimewaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah

    dilakukan selama delapan (8) kali sejak Indonesia merdeka. Sementara,

    Surakarta hanya mendapat dua (2) kali pengakuan. Kedua, kepala daerah

    sebagai hak istimewa di Yogyakarta telah dengan jelas disebutkan.

    Sementara di Surakarta pengakuan keistimewaan dan kedudukan

    Mangkunegaran tidak otomatis menjadi kepala daerah. Ketiga, keistimewaan

    DIY boleh dijamin selain oleh UUD 1945, juga oleh dasar yuridis peraturan

    perundang-undangan, sejak pemerintah RI diproklamasikan hingga masa

    reformasi 1999.

    Adapun kontrak politik antara kedua pemimpin nasional tersebut

    antara lain dapat diuraikan dibawah ini. Pertama, sikap dan respon

    Kesultanan Yogyakarta terhadap pernyataan Proklamasi kemerdekaan RI 17

    Agustus 1945. Tanggal 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB

    IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat

    kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya

    mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Ucapan terima

    kasih juga dikirimkan kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua

    BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko

    Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti

    Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    22/101

    19

    intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, dan akan

    mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan

    agar Indonesia kokoh dan abadi.

    Kedua, respon pemerintah pusat terhadap sikap positif Sultan HB IX

    dengan Paku Alam VIII, melalui sidang PPKI untuk membahas status dan

    kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada 19 Agustus 1945 terjadi

    pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti di

    Jakarta. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD,

    namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Purboyo, wakil

    dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti

    dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara

    rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh

    Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah

    disahkan sehari sebelumnya. Purboyo menerangkan bahwa banyak

    kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil

    kembali dapat menimbulkan keguncangan.

    Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan

    Kementerian Negara, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi

    bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan, sehingga Panitia Kecil

    PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada

    beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso,

    Suryohamijoyo, dan Soepomo, mengusulkan bahwa kedudukan Kooti

    ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang

    Pemerintahan Daerah.

    Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan

    kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan

    Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6

    September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki

    dikeluarkan. Sikap penerimaan Soekarno dan Hatta sebagai pimpinan

    nasional terhadap kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta dipandang

    sebagai sikap pengakuan penerimaan resmi negara terhadap kedua raja

    Yogyakarta.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    23/101

    20

    Ketiga, respon positif kedua raja Yogyakarta dibuktikan dengan

    adanya dekrit resmi dua kerajaan untuk berintegrasi kepada RI dan

    Pembentukan Wilayah Yogyakarta. Pada tanggal 1 September 1945, Komite

    Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak

    keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga

    dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR,

    Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki

    Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat

    Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit

    kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut

    adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit

    dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari

    yang sama.

    Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya

    juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit

    monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie

    setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang

    sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya

    terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan

    NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia. Pada saat

    berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:

    1. Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,

    2. Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,

    3. Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,

    4. Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,

    5. Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.

    Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi: (1).

    Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat, dan (2).

    Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang. Kabupaten-

    kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah

    administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya

    disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    24/101

    21

    kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah

    yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY

    sampai tahun 1950.

    Keempat, Yogyakarta yang semula dipandang sebagai sistem monarki

    ternyata tidak demikian halnya mengingat setelah ada pengakuan dan

    penerimaan kedua belah pihak, justru Yogyakarta telah beritikad baik untuk

    melengkapi bentuk pemerintahan daerah melalui pendirian berbagai

    kabupaten denga sistem modern. Terbentuknya Badan Pekerja Komite

    Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua

    Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo,

    sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit

    kerajaan bersama11

    yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP

    KNI Daerah Yogyakarta.

    Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan

    memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih

    dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri

    oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu

    dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa

    monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta

    yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari

    seluruh rakyat Yogyakarta.

    Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi

    pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas

    Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat,

    Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan

    Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu

    menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan

    terganggunya persatuan.

    Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11

    yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi

    Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan

    11Dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    25/101

    22

    Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17,

    monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan

    (sebutan pemerintah desa saat itu).12 Dalam menyusun pemerintahan

    tersebut tidak lepas dari peletakan dasar juridis adanya penyusunan RUU

    Pokok Tentang Pemerintahan Yogyakarta, yang nantinya menjadi cikal bakal

    lahirnya UU Nomor 3 tahun 1950.

    Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP

    KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU

    Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung

    selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki

    Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua

    penguasa monarki yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa.

    Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan.

    Kesepuluh Bab tersebut adalah: Kedudukan Yogyakarta, Kekuasaan

    Pemerintahan, Kedudukan kedua raja, Parlemen Lokal (Dewan Daerah,

    Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan), Pemilihan

    Parlemen, Keuangan, Dewan Pertimbangan, Perubahan, Aturan Peralihan,

    Aturan Tambahan.

    Pembentukan sistem pemerintahan monarki sudah jelas terbantahkan

    sejak awal. Sebab, UU yang dipersipakan untuk mengatur susunan daerah

    yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD bukanlah berada dalam

    satu atau dua kekuasaan raja. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan

    persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 telah

    mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeislatif dan

    eksekutif. 13 Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah

    Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu,

    KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk

    berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY

    mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui

    dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.

    12Lihat Soedarisman Poerwokoeoemo (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:

    Gadjah Mada University Press.13Lihat Maklumat Yogyakarta No. 18.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    26/101

    23

    Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta

    digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman

    dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada

    sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta14 bukan dua

    buah15. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID

    dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman

    maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari

    materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak

    tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang

    Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.

    2.3 Landasan Sosiologis

    Salah satu aspek penting dalam proses pembentukan suatu peraturan

    perundang-undangan adalah adanya dorongan atau keterlibatan masyarakat

    secara langsung dalam penyusunannya. Leopold Posipisil, dengan tegas

    menyatakan bahwa suatu peraturan hukum yang lejitimit adalah ketika

    undang-undang tersebut benar-benar mengakomodir nilai-nilai yang hidup

    dalam masyarakat. Karena itu, landasan sosiologis dimaksudkan sebagai

    realitas emirik yang menujukkan adanya bukti bahwa peraturan hukum

    tersebut lahir karena kebutuhan masyarakat, baik dalam tingkat lokal maupun

    di tingkat nasional.

    Tentu saja landasan sosiologis tersebut tidak saja mencakup

    keberadaan kraton Kasultanan dan puro Paku Alaman sebagai suatu wilayah

    kekuasaan lokal, melainkan perlunya suatu jaminan kepastian hukum akan

    keberadaannya sebagai subyek hukum yang memiliki kewenangan berindak

    atau tidak. Termasuk di dalamnya adanya fakta pertentangan, di satu pihak

    masyarakat yang menghendaki perubahan fundamental dalam konteks politik

    dan pemerintahan. Dan di pihak lain, terdapat pula kelompok yang

    menghendaki perubahan tanpa meninggalkan adanya pelestaran terhadap

    nilai-nilai lama.

    14

    Gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman.15Satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    27/101

    24

    Seperti dikatakan Riswanda Imawan16, setidaknya ada tiga

    pemaknaan terhadap kasus Keistimewaan Jogyakarta. Pertama,

    Keistimewaan melekat pada diri HB IX dan PA VIII (keduanya sudah wafat),

    karena dalam Surat Presiden Soekarno yang disampaikan pada tanggal 6

    September 1945 secara eksplisit disebutkan nama kedua tokoh tersebut.

    Dengan demikian nuansa personalitas sangat kental dengan memaknai

    status keistimewaan Jogyakarta. Pemaknaa tersebut tentunya akan menjadi

    permasalahan ketika kedua tokoh tersebut meninggal dunia.

    Kedua, Keistimewaan melekat pada wilayah. Dalam amanat Sultan

    HB IX dan PA VIII, 5 September 1945 secara tegas dinyatakan

    penggabungan wilayah Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Kadipaten

    Pakualaman ke dalam wilayah RI. Jadi yang bergabung adalah dua wilayah

    kerajaan namun identitasnya tidak lebur, bahkan menjadi ciri khasnya. Dari

    sini bisa ditarik pemahaman bahwa integritas wilayah ini tidak berarti

    merombak secara radikal seluruh tatanan dan stuktur kerumahtanggaan

    Jogjakarta. Dengan demikian, kebiasaan asli dalam pengaturan

    pemerintahan di Jogjakarta justru menjadi ciri khas dari Keistimewaan

    tersebut.

    Ketiga, Keistimewaan melekat pada hak atau wewenang daerah. UU

    No. 3 Tahun 1950 memberi keabsahan terbentuknya Propinsi DIJ. Di

    dalamnya mengatur cukup detail tentang wewenang pangkal yang menjadi

    urusan dalam negeri Jogjakarta. Sementara itu, menurut Baskoro dan

    Sunaryo17, Final Decision Sejarah Keistimewaan Yogyakarta (1945-1950) di

    atas menunjukkan beberapa fakta sebagai berikut. Pertama, pada awalnya,

    secara konstitusional Negara sangat memandang dan mengingat hak-hak

    asal usul dan susunan asli setiap daerah istimewa di Indonesia (UUD

    1945 Pasal 18 sebelum diamandemen). Kedua, Keistimewaan Yogyakarta

    adalah konsekuensi logis dari keputusan politik dua raja Yogyakarta untuk

    berintegrasi dengan RI.

    16Sebagaimana dikutip oleh Martitah dan Arih Hifayat dalam tulisaanya Suksesi

    Kepemimpinan dan Keistimewaa Jogjakarta, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta, Fakultas Hukum,Universitas Negeri Semarang, Vol.2 No.2, Juli-Desember 2008, hlm.33.

    17

    Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Menengok Sejarah Keistimewaan DIY, Diaksestanggal 30 Maret 2010 dari http://risnawanpm.multiply.com/journal/item/5

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    28/101

    25

    Ketiga, pengakuan terhadap Keistimewaan Yogyakarta terakselerasi

    oleh political will yang tegas dan tangkas dari Presiden Soekarno yang

    dengan serta merta memberikan Piagam Kedudukan kepada HB IX dan PA

    VIII sebagai dwi tunggal pemimpin Yogyakarta. Keempat, Keistimewaan

    Yogyakarta adalah visi dan keputusan tegas dari HB IX dan PA VIII, terlihat

    dari Amanat-amanat dan Maklumat-maklumat yang dikeluarkan. Kelima,

    Keistimewaan Yogyakarta benar-benar diperjuangkan oleh HB IX dan PA VIII

    bukan dalam rangka makar namun justru dalam rangka menjadi pilar bagi

    berdiri tegaknya NKRI. Jadi, Keistimewaan Yogyakarta adalah visi dan

    keputusan final dari pihak Yogya yang direspons sangat positif dan relatif

    cepat meskipun suasana pada masa itu (1945-1950) sangat genting.

    Sebagaimana halnya, aspirasi untuk mengukuhkan HB X secara

    otomatis menjadi gubernur DIY mendapat tentangan dari kelompok yang

    menganggap mekanisme tersebut tidak demokratis. Setelah melalui proses

    panjang dan sempat menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat

    Yogyakarta, akhirnya Sri Sultan HB X diangkat menjadi Gubernur DIY

    dengan Keppres No.268/M, tertanggal 24 September 1998. Sekarang di saat

    jabatan HB X dan Sri Paku Alam IX sebagai gubernur dan wakil gubernur

    hampir habis, rakyat Yogyakarta dihadapkan pada persoalan serupa, yakni

    suksesi kepemimpinan daerah tanpa dasar hukum yang jelas.

    Bilamana dibandingkan dengan kebutuhan di masa pasca era

    reformasi maka proses demokratisasi seagaimana diperdebatkan tersebut

    masih menyisakan persoalan. Namun, proses tersebut bukanlah sesuatu hal

    yang mengherankan mengingat kenyataan demokratisasi di Asia Tenggara

    umumnya dilakukan tanpa mengubah struktur sosial secara keseluruhan.

    Upaya lebih mengutamakan harmoni sosial daripada dinamika dan konflik,

    tampaknya merupakan realitas yang tidak dapat dihindarkan.

    Implementasi demokrasi di negara-negara Asia Tenggara sangat

    tergantung kepada kondisi elit-elit politik dan masyarakatnya, sehingga tidak

    dapat sepenuhnya dibenarkan, ketika unsur-unsur tradisional, patriarkis

    masih hidup untuk secara langsung dihilangkan. Kenyataan adanya

    demokrasi yang langsung dan tidak langsung menujukan adanya realitas

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    29/101

    26

    sosial dan politik bahwa dalam masa transisi dan konsolidasi pemilihan

    kepala daerah harus dilihat apakah suatu daerah sepenuhnya melaksanakan

    atau tidak melaksanakan demokrasi. Penting untuk dijadikan catatan kita

    secara kritis pandangan dari ahli politik, Hayhnes,

    The issue of consolidation is closedly related to the question of typesof democracy because, when concerned about process ofdemocratization, one would naturally ask, how does one move fromtype to type, is it in fact possible to do so. .. Haynes ..Consolidateddemocracy is defined by a number of observers as being achievedwhen both leaders and the masses agreed that democratic system isbetter than any other alternative. For the elites in society this mean

    being willing to share power and decision making, and for subordinatetheir own goals and conflict the common good, thus being willing tocheck a return to authoritarianism. Haynes and his colleage arguedthat consolidating democracy has proven to be not easy taks, and avery complex processes. It cannot be assumed to occur naturally outof developing system of free and fair election; these are no guaranteeof satisfactory development of democratization, which needs also thecreation of internal dynamic in the political process which graduallywill engender more contestation, more participation and more rightsand libertie.18

    Pandangan Haynes ini menyiratkan beberapa hal penting. Pertama,,dibeberapa negara implementasi demokrasi masih merupakan isu penting

    untuk terus dilakukan konsolidasi dan perbaikan. Kedua, konsolidasi

    demokrasi di suatu tempat acapkali terkait dengan peran pemimpin dan

    masyarakat dalam menyetujui model demokrasi yang dianut. Ketiga,

    konsolidasi demokrasi bukan sesuatu yang mudah untuk dijalankan

    mengingat sangat kompleks. Hal ini teruTama karena jaminan kepuasan bagi

    masyarakat belum tentu terselenggara, meskipun sistem pemilihannya

    bebas, rahasia, dan jujur.

    Dalam pendekatan sosiologis dan kebudayaan, kedudukan

    keistimewaan atau privilege status, merupakan suatu penggolongan

    kelompok sosial dari yang sifatnya umum menjadi istimewa, sebagai model

    dalam suatu kehidupan.

    18Lihat Hayness dalam Priyambudi Sulistiyanto, Deepening Democracy in Indonesisa

    Direlction Election for Local Leaders. Singapore, Isntitute of Souteast Asian Studies (ISEAS ).2009. hlm. 13

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    30/101

    27

    Beside the specific status honor, which always rests upon distanceand exclusiveness, we find all sorts of materiel monopolies. Such

    honorific preferences may consist of their privilege of wearing specialcostume, of eating special dishes, With an increase inclosure of thestatus groups, the conventional preferential opportunities for specialemployment growth into a legal monopoloy of special offices for themembers. The decisive role of a style life in status honor means thatstatus groups are the specific bearers of all conventions. In whateverway it may be manifest, all stylization on life either originiates in statusgroups or is at least conserved by them.

    19

    Tentu saja pandangan Weber itu menujukan pada masa berlakunya

    sistem sosial feodalisme yang parameter materiil jauh lebih menonjol.

    Namun, yang perlu mendapatkan perhatian dari Max Weber tersebut adalah

    kecenderungan kepemimpinan, dalam masa transisi telah terjadi suatu model

    campuran yang asimetrik, dimana kepemimpinan yang mengandalkan pada

    kewibawaan (charismatic leaders) dengan rasional tidak menafikan

    kenyataan yang ada saat ini.

    Manakala terjadi suatu upaya untuk mengakomodasikan antara kedua

    model tersebut dapat dipahami dan memiliki dasar argumentasi yang cukup

    kuat. Apalagi bilamana hal tersebut dikaitkan dengan fenomena antropologis,dimana nilai-nilai kemasyarakatan masih cukup tampak relevan dengan

    pengelompokan masyarakat dalam hukum adat. Klaim sebagian besar aparat

    pemerintah lokal, Asosiasi Kepala Desa, Camat dan Forum Masyarakat

    lainnya begitu resisten untuk menolak model pemilihan langsung, tetap

    penetapan atas Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai

    gubernur dan wakil gubernurnya menjadi pilihan masyarakat Yogyakarta.

    Dalam hukum, fakta empiris usulan penetapan baik secara teoritis

    maupun praktis, sebagai bagian kepentingan dari keistimewaan DIY tentu

    saja dapat diartikan sebagai sama dengan diskrimatif. Sebab, pertama,

    diskriminatif lebih diterapkan pada situasi perbedaan perlakuan terhadap

    subyek hukum, disuatu tempat pada suatu masa atau kekuasaan tertentu.

    Kedua, istimewa berbeda dari diskriminatif, karena keistimewaan

    hanya diberikan dan merupakan subyek hukum khusus, atas suatu kualitas

    19

    Penjelasan lebih lanjut dibaca H.H. Gert and C Wright Mills. From Max Weber. Essay inSocilogy. London. Routledge and Kegan Paul. 1977. hlm. 191

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    31/101

    28

    tertentu, dan karena itu tidak bisa diberlakukan pada subyek hukum umum.

    Keistimewaan ini berbeda dari diskriminasi didasarkan kepada azas hukum,

    tidak ada peraturan hukum yang berlaku tanpa pengecualian (There is no rule

    without exception).

    Hasil polling panitia Yayasan Tuna Bangsa, yang mengindikasikan

    kesepakatan antara lain, bahwa setiap warga mempunyai hak yang sama

    untuk memilih dan dipilih adalah tidak dapat diragukan lagi (96,6%). Namun

    menjadi berubah sangat drastis (59,8%) ketika unsur Sultan di DIY dilibatkan.

    Poling ini menunjukkan, bahwa keistimewaan yang diberikan sebagai

    ketentuan khusus. Karena itu, adanya pengecualian dalam hukum juga

    dibenarkan dalam kehidupan demokrasi.20

    Konsekuensi dari keistimewaan tersebut, memberikan peluang kepada

    Sultan sebagai pimpinan Daerah. Wewenang dan tanggung jawab Sultan

    sebagai Gubernur memang memiliki fungsi ganda. Pertama, ia sebagai

    pimpinan pemerintah tingkat provinsi, yaitu penyelenggara pemerintah pusat

    yang berada di daerah. Kedua, Sultan sebagai wali (guidance) dari struktur

    keluarga keraton dan terhadap tempat peninggalan zaman kuno. Dalam skala

    nasional, usaha pelestarian cagar budaya, termasuk di dalamnya keraton,

    telah didukung oleh UU No. 5 tahun 1992 tentang cagar budaya.

    Tugas utama sebagai wali keraton adalah pemeliharaan tradisi,

    termasuk peninggalannya yang tidak akan mudah dilestarikan, jika penguasa

    daerah tidak dipilih bukan dari warga keraton. Hal itu juga tidak akan terjadi,

    jika tidak karena ia terkait dengan peranannya dalam mempertahankan

    keraton sebagai warisan peradaban umat manusia (Preservation of the

    Cultural Heritage of Mankind). Untuk usaha melestarikan warisan budaya

    tersebut, PBB selain akan memberikan arahan juga berbagai kemungkinan

    untuk membantu tindak lanjutnya21

    .

    20Lihat, hasil polling, Ahmad Zaini Abar: Ikhwal masa Depan Kepemimpinan Yogyakarta:

    Dari Rasionalitas Kultural Menuju Rasional Demokrasi, Yogyakarta. 2001. hlm : 221

    Lebih lanjut persoalan ini ditegaskan dalam pasal 18, dari Rekomendasi UNESCO 19November 1974, mengenai Rekomendasi Pendidikan dan Kerjasama Kesepahaman Internasional,dan Kerjasama Perdamaian dan Pendidikan berkaitan dengan HAM dan Kebebasan dasar lainnya.

    Lihat World Campaign for Human Rights. Human Rights: A Compilation of InternationalInstruments. Vol I. (Second Part) Universal Instrument. New York: UNO, 1993, hlm. 599.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    32/101

    29

    Meskipun demikian, usaha-usaha untuk membuka kesempatan yang

    lebih longgar bagi hak politik masyarakat tidaklah menutup kemungkinan.

    Namun, prosedur hukum yang secara sah dapat dilaksanakan tanpa

    mengabaikan nilai-nilai lokal. Sebelum anggota DPRD memainkan peranan

    secara efektif, kedudukan Gubernur dan Wagub diangkat oleh pemerintah

    Pusat22. Dalam kontek ini, lembaga Pisowanan Agung dapat diberdayakan

    dalam kaitannya dengan prosedur dan mekanisme penetapan yang diajukan

    kepada DPRD hingga diusulkan kepada Presiden, melalu Menteri Dalam

    Negeri.

    Dalam perspektif sosio politis, sekalipun keistimewaan DIY tidak

    bertentangan dengan kaidah nilai-nilai demokrasi. Sebab, DIY sebagai

    bentuk pemeritntah daerah dan bagian NKRI sudah sejak lama menerapkan

    prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi dengan upaya pada penyesuaian

    dengan nilai-nilai budaya lokal.

    2.4 Landasan Yuridis Konstitusional

    Atribut pemerintahan daerah secara khusus dan istimewa bukan

    sesuatu yang baru, melainkan telah dirmuskan eksistensinya dalam UUD

    1945. Suasana kebatinan dibalik makna dan fungsi keistimewaan dapat

    mendorong perlunya kajian komprehensif. Dalam Pasal 18B, baik ayat (1)

    dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi

    khusus dan otonomi yang istimewa tersebut. Misalnya dalam Pasal 18 B,

    UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut:

    (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah

    daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

    undang undang.

    (2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

    hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

    22Lihat lebih lanjut penjelasan UU No 1 Tahun 1957 tentang Undang-Undang Pokok

    Daerah dan juga tulisan J. Thontowi, Penguasaan dan Pemikiran Tanah yang Diskriminatif:

    Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Jurnal Hukum. No 13. Vol 7 Tahun 2000.hlm. 43.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    33/101

    30

    dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

    Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang undang.

    Kedua ayat dari Pasal 18 B tersebut mengandung norma-norma

    imperatif yaitu mengandung norma perintah sebagai kewajiban bagi negara

    untuk melindunginya. Di Pihak lain, bagi daerah menimbulkan hak-hak yang

    wajib dilindungi. Terhadap Pasal 18 B ayat (1) negara wajib melindungi dan

    menjamin hak-hak konstitusional daerah untuk menegaskan kekhususan atau

    keistimewaan. Selain itu, negara mengatur melalu instrumen hukum baik

    dalam arti adanya peraturan UU untuk mengatur tentang syarat-syarat,

    mekanisme, prosedur dan pembentukan daerah khusus dan istimewa.

    Sedangkan dalam Pasal 18 B ayat (2) kewajiban negara untuk

    melindungi hak-hak tradisional masyarkat hukum adat yang didalamnya

    terkait dengan material hak ulayat, hutan adat, termasuk hak kolektif atas

    sungai dan laut, juga hak-hak immaterial seperti bahasa daerah, seni tari,

    menyanyi dan hak cipta. Secara faktual pengabaian negara atas kewajiban

    tersebut berakibat status dan keberadaan masyarakat hukum adat

    tersudutkan. Karena tiadanya penjelasan atas istilah keistimewaan tersebut,

    maka perlu dicari makna dan fungsinya dari pendekatan kebahasaan dan

    pandangan para pakar HTN. Model pemahaman ini diharapkan bahwa, istilah

    keistimewaan dalam arti dan makna kebahasaan dapat digunakan sebagai

    cara memahami apa yang tersirat dan tersurat dalam Pasal 18B UUD 1945.

    Pertama, dalam pendekatan bahasa (Linguistic Approach)

    keistimewaan mengandung unsur-unsur yang memberikan kepastian hukum.

    Dalam kamus berbahasa Inggris, istilah istimewa sama artinya dengan

    privilege, something special one is allowed to have, sesuatu yang paling

    khusus yang diperbolehkan, atau privileged (adjecive),23

    having or enjoying

    one or more privilieges (keistimewaan). Dengan kata lain, keistimewaan

    merupakan sesuatu yang sangat khusus, dan keadannya berbeda dari yang

    lain, dan wujud perbedaan tersebut diakui keberadaaannya. Dalam Laws

    23Lihat secara cermat rumusan istilah privileges, dalam Websters New Enciclopedic

    Dictionary. BD&L New York, 1993: hlm. 803. Dalam Mozley and Whiteleyss Law Dictionary byJohn B Saunders, menjadi sangat tegas istilah privilege sebagai keistimewaan. London.

    Nutterworth. 1977. Hal 255. Baca pula W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. PT Balai Pustaka. hlm. 455.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    34/101

    31

    Dictionary, Privilege That which is granted or allowed to any person, or any

    class persons, either against or beyond the course of ordinary law.

    Keistimewaan adallah sesuatu jaminan yang diberikan pada seseorang atau

    sekelompok masyarakat, apakah ia bertentangan atau berkesesuaian

    dengan peraturan hukum yang menjadi kelaziman. Dalam Kamus Bahasa

    Indonesia, istimewa adalah yang khas, atau untuk suatu maksud tertentu,

    atau sesuatu yang lain dan luar biasa.24

    Sebagai perbandingan, dalam bahasa Arab, istilah keistimewaan

    diterjemahkan sebagai khoriqul adat, di luar kebiasaan suatu peristiwa yang

    sangat luar biasa dan menakjubkan, seperti halnya peristiwa mukjizat.

    Misalnya, Allah SWT. mengizinkan Nabi Muhammad untuk melakukan

    perjalanan dari Mekkah ke Palestina, melakukan Isra miraj menuju langit

    ketujuh di Sidratul Muthaha. Peristiwa yang terjadi pada diri Nabi Muhammad

    tersebut bukan saja tidak dipercayai, melainkan juga karena tidak dijumpai

    dalam kaidah-kaidah akal sehat biasa, common sense. Bagi mereka yang

    tidak percaya atas kejadian tersebut tidaklah menafikan bahwa peristiwa luar

    biasa itu tidak ada. Sedangkan mereka yang percaya akan peristiwa tersebut

    didasarkan pada aspek keimanan yang tidak menuntut adanya pembuktian.

    Karena itu, bilamana keistimewaan dipahami sebagai sesuatu yang

    luar biasa, keadaan yang terjadi hanya satu kali dan tidak ada

    perbandingannya tergantung pada argumentasi yang diperlukan. Bilamana

    istilah keistimewaan dalam pendekatan kebahasaan dapat ditegaskan

    sebagai sesuatu keadaan yang luar biasa, unik dan tiada bandingannya,

    maka pemaknaan secara bahasa ini juga harus seuai dengan pandangan

    para ahli HTN. Keistimewaan merupakan suatu pernyataan yang

    menegaskan sesuatu keadaan yang sangat khusus, unik, atau satu-satunya

    atau tiada bandingan merupakan sesuatu kondisi yang luar biasa, sehingga

    tidak dijumpai pada tingkat penalaran yang umum.

    Kedua, pandangan para ahli Hukum Tata Negara terhadap Pasal 18B

    yang kemudian dikaitkan dengan makna dan fungsi bahasa yang konsisten.

    Bagaimana para ahli HTN memandang persoalan kekhususan dan

    24Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta. PT Balai Pustaka.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    35/101

    32

    keistimwaan sebagaimana tertera dalam Pasal 18 dan 18B ayat (1) dan ayat

    (2), UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD sepakat bahwa ketentuan

    pasal Pasal 18 ayat (1) tidak mengurangi makna otonomi daerah yang

    dijamin dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan Pasal 18 A

    serta Pasal 18B UUD 1945.

    Prinsip otonomi daerah yang diadopsikan tetap menjamin pluralisme

    antara daerah dan tuntutan keprakarsaan dari bawah atau dari tiap-tiap

    daerah untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

    Pengaturan yang memberikan status otonomi khusus kepada Irian Jaya

    yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Daerah

    Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mencerminkan

    bahwa di bawah konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap

    dimungkinkan dengan adanya pola-pola pengaturan yang bersifat pluralis

    seperti terhadap Aceh dan Papua.25

    Seiring dengan itu, Mahfudz MD menyatakan bahwa pasal 18 B ayat

    (1) dan (2) terkait dengan hukum pemerintahan daerah yang memungkinkan

    adanya daerah istimewa dengan prinsip demokrasi di Indoensia yang

    dituangkan di dalam Naskah Akademik agar orang-orang di legislatif yang

    tidak semuanya mengerti, dipaksa menghayati tentnag DIY agar bisa

    memahami dan menerima. Hanya saja yang harus diantisipasi adalah

    kemungkinan dimintakan uji materi (judicial reviwe) ke Mahkamah Konstitusti

    oleh mereka yang mempunyai legal standing.26

    Senada dengan itu, Jimly Asshiddiqie menguatkan bahwa Pasal 18 B,

    dimungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersfiat federalistik

    dalam hubungan antara pemerntah pusat dengan pemerintah daerah.

    Dalam dinamika hubungan antara pusat dan, daerah itu, dimungkinkan pula

    dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa

    setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.

    Keberagaman pola hubungan itu telah dibuktikan dengan diterimanya

    25Lihat lebih jauh penjelaasan Jimly Asshiddiqie, dalam Konstitusi dan konstitualisme di

    Indonesia. Jakarta Penerbit Konsititusi Press. 2005, hlm. 284.26

    Moch. Mahfud MD, Menyongsong RUUK DIY Mencermati Aspek Substansi/Kedaulatan Rakyat, 12 Februari 2007

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    36/101

    33

    prinsip otonomi khusus Provinsi NAD dan Provinsi Papua yang keduanya

    memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan

    daerah lain pada umumnya.27 Disamping itu, Pasal 18 B ayat (1) disebutkan

    pula adanya satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

    istimewa. Beberapa contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

    istimewa itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Otonomi Khusus

    Nanggroe Aceh Darussalam dan Daerah Otonomi Khusus Papua.28

    Secara tegas Dahlan Thaib menyatakan bahwa kalau dirunut secara

    konstitusi seperti Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi negara meyakini

    dan menghormati sebuah satuan pemerintahan darerah yang bersifat khusus

    atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Disini konstitusi

    mengakui adanya daerah khusus dan daerah istimewa, disamping daerah

    otonom lainnya setelah memberikan amanat kepada DPR RI dan pemerintah

    untuk membentuk UU yang mengatur daerah khusus dan daerah istimewa.

    Selanjutnya Dahlan Thaib menyebutkan bahwa daerah khusus dan daerah

    istimewa adalah anak kembar negara yang telah ditegasakan dalam

    konstitusi, karenanya harus diperlakukan secara adil.

    Aceh yang namanya saat ini Daerah Khusus Aceh telah mendapatkan

    kepastian hukum berupa ditetapkannya UU No. 11 tahun 2006 yang

    didalamnya mengatur hak-hak pemerintah Daerah Aceh. Lebih dari itu,

    mereka mendapatkan dana tambahan. Demikian pula halnya Provinsi Papua

    juga telah mendapatkan status daerah khusus sebagaimana ditegaskan

    dengan UU No. 21 tahun 2000. Demikian pula halnya UU No. 29 tahun 2007

    tentang DKI Jakarta yang telah ditetapkan.29

    Pandangan tersebut juga ditegaskan dalam suatu diskusi informal

    dengan penulis bahwa Keistimewaan di Yogyakarta bukan saja mendapatkan

    pengakuan dan perlindungan dalam UUD 1945, melainkan kita wajib

    melestarikan keaneka ragaman ciri-ciri lokal dari suatu pemerintahan.

    27Lihat Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta . Sekretariat

    Jendral dan Kepanitriaan Mahkamah Konstitusi RI. 2008, hlm. 793.28

    Lihat lebih jauh Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga NegaraPasca Reformasi. Jakarta. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006, hlm. 276.

    29

    Lihat Dahlan Thaib, RUU Keistimewaan DIY , Sampai dimana Perjalananmu?. KantorBerita Indonesia. GEMARI, Seri 26 April 2010. hlm. 2

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    37/101

    34

    Sehingga menjadi tidak beralasan jika bentuk negara NKRI tidak memberikan

    ruang atas tegaknya keanekaragaman. Kedudukan Sultan HB dan Paku

    Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dipandang sebagai nilai-nilai

    lokal yang perlu dilestarikan.30

    Berdasarkan pembahasan di atas, maka makna keistimewaan

    sebagaimana diamanahkan Pasal 18B ayat (2) baik dari pendekatan bahasa

    dan pandangan ahli-ahli HTN menunjukkan adanya konsistensi dan

    konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi

    pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya dikecualikan dari ketentuan

    penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensinya pemerintah daerah

    bersifat otonom, sifat khusus dan bersifat istimewa merupakan hak

    konstitusional yang menyebutkan negara untuk melindungi dan

    melestarikannya. Dengan demikian, hak-hak keistimewaan DIY untuk

    dilestarikan melalui instrumen hukum ini mendapatkan dasar-dasar

    argumentatif, baik secara filosofis, historis, sosiologis, dan juga juridis.

    2.5 Perbandingan Monarki Konstitusional

    Gerakan HAM dunia lahir dan mendapatkan respon positif dari

    masyarakat karena fakta historis menujukan bahwa kekuasaan di satu

    tangan, kekuasaan raja, kekuasaan Kaisar melahirkan kekuasaan yang

    otoriter dan absolut, sehingga hak-hak warga negara terabaikan. Kekuasaan

    sewenang-wenang tidak dapat dihindarkan oleh karena kekuasaan berada

    dalam satu tangan. Sistem kekuasaan demikian ini seringkali disebut sebagai

    sistem kekuasaan monarki, yang meletakkan dasar kekuasaannya. Secara

    teoritik, The King cant do no wrong, suatu konsep politik yang jauh dari

    nilai-nilai demokrasi. Rakyat tidak terlibat bahkan lebih menjadi obyek

    kekuasaan dalam proses dan pembuatan kebijakan negara.

    Pembangkangan terhadap kekuasaan yang absolut tersebut lahir

    dengan suatu tesis perlunya perjuangan atas hak-hak dasar dan hak hak

    kebebaasan rakyat yang fundamental, termasuk kebebasan berbicara dan

    30Diskusi tersebut berlangsung di Kampus Paska Sarjana fakultas Hukum, Universitas

    Islam Indoneia sekitar tahun 2007, pada saat ramainya DPD RI mengajukan hak inisiatifPerubahan atas UU Nomor 3/1950 tentang Pembenekan Daerah Istimewa Jogjakarta.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    38/101

    35

    berserikat, sesuai keyakinan keagamaan dan keprcayaan mereka masing-

    masing. Deklarasi hak asasi manusia di Perancis, HAM di Inggris dengan

    Magna Carta(1215) abad ketiga belas merupakan bukti kemajuan peradaban

    umat manusia dunia. Disusul dengan Bill of Rights (1688) di Inggris yang

    dikenal dengan Glorius Revolution. Adapun substansi Magna Carta,

    merespons penyelesaian konstitusional yaitu berfungsi membatasi

    kekuasaan negara dan mengandung beberapa perubahan dalam hak-hak

    dasar manusia.31

    Konsekuensinya, bentuk-bentuk kerajaan-kerajaan yang telah

    memperoleh imbas dari sistem politik Trias Politica, yaitu pembagian dan

    pemisahan kekuasaan (distribution and separation of power) telah diadopsi.

    Termasuk di dalamnya adanya jaminan hak-hak fundamental dan kebebasan

    bagi warga negara, baik secara individual dan kolektif wajib dilindungi32

    .

    Namun, tidak dengan serta merta sistem kekuasaan monarki tersebut hilang.

    Justru nilai-nilai kekuasaan yang lama tersebut tetap dipertahankan,

    meskipun yang melakukan suatu percampuran model antara kepemimpinan

    tradisional kharimatik dengan nilai-nilai kepemimpinan moderen yang

    menuntut kemampuan dan kualitas yang unggul, atau meritocracy. Tidak

    terkecuali negara Eropa, Timur Tengah dan juga Asia, sistem kepemimpinan

    yang campuran itupun diadopsi, sehingga tidak heran jika dalam suatu

    negara dikenal dengan monarchi konstitusional (constitutional monarchie).

    Suatu model kepemimpinan dimana seorang raja yang berkedudukan dan

    memiliki kekuasaan di tingkat nasional masih tetap memainkan peranan

    moral spiritualitasnya, dalam menentukan arah dan dinamika politik dan

    pemerintahannya.

    Sebelum menentukan bagaimana orientasi dari penentuan model

    kepemimpinan di DIY, maka secara akademik perlu tinjauan dimana letak

    kesamaan dan perbedaan antara sistem kekuasaan monarki konstitusional di

    Timur Tengan, Erofa dan juga beberapa di negara Asia.

    31Lihat Robertson Q.C. Geoferey. Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk

    Mewujudkan Keadilan Global. Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 1987 .hlm.5.32

    Lihat Hukum Hak Asasi Manusia. Phillip Alston and Franz Magnus-Suseno. Jogjakarta.Pusat Studi HAM UII. 2008, hlm. 15.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    39/101

    36

    Pertama, sistem politik dan pemerintahan di negara Belanda, dipimpin

    oleh seorang Ratu Beatrix, yang dipertuan Agung, yang dikukuhkan tahun

    1815. Sedangkan pewaris tahta kerajaannya adalah Pangeran Willem

    Alexander, Prince of Orange. Sistem pewarisan tahta dan kekuasaan

    kerajaan masih terus berlangsung, namun mereka tidak turut serta langsung

    dalam sistem kekuasaan politik dan pemerintahan. Namun, kedudukan Ratu

    sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Belanda (Royal Coat of

    Arms of the Netherland). Tentu saja, keluarga kerajaan selain memiliki hak

    waris langsung untuk memperoleh gelar kerajaan, juga terdapat perlakuan

    khusus dalam hal hak-hak keistimewaan dan protokolernya. Sedangkan

    untuk urusan politik dan pemerintahan diserahkan pada mekanisme yang

    demokratis. Keterlibatan rakyat, baik secara langsung ataupun sistem

    perwakilan dalam menentukan kebiajakan eksekutif merupakan keniscayaan,

    sehingga fungsi pengawasan juga sebagian terdapat dalam masyarakat

    selain anggota parlemen.

    Negara dan pemerintahan negeri Kincir Angin tersebut, tampak jelas

    ketika sistem kekuasaan dan politik pemerintahan Belanda didasarkan

    kepada Piagam Konstitusi dan Piagaman HAM. Sementara keudukan Ratu

    Beatrix sebagai simbol kenegaraan, yang dalam pelaksanaanya kekuasaan

    legislatif dilakukan oleh Senat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rayat

    (House of Representative). Sedangkan kabinet untuk jajaran kekuasaan

    eksekutif dipimpinan oleh Perdana Menteri (Prime Minister). Pilar demokrasi

    didukung oleh tiga kekuatan partai politik yaitu Partai Liberal; Partai Sosialis,

    dan Partai Kristen demokratik. Adapun lembaga lembaga negara antara lain:

    Dewan Tinggi Negara: Ombudsman Nasional, Dewan Negara (semacam

    Sekretariat Negara), Peradilan Audit (Court Audit), Dewan Sosial-Ekonomi

    Nasional, Mahkamah Agung, Bank Central Netherland dan lain sebagainya.33

    Lembaga-lembaga kenegaraan tersebut, lebih menempatkan pada fungsi

    sebagai penyelenggaraan pelayanan publik atau menciptakan kesejahteraan

    dan kemakmuran masyarakat.

    33Lihat Monarchy of the Netherlands. From Wikipedia, the free enciclopedia. Retrieved

    from http//: en. Wikipedia.org/wiki/monarchy_ of the _ Netherlands, Categories: Dutch monarchi,History of the Netherlands. List of monarchs.

  • 8/7/2019 RUUK DIY 2010

    40/101

    37

    Kedua, hampir mirip dengan Belanda dan juga Inggris dijumpai di

    Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej merupakan simbol tertinggi kedaulatan

    negara. Pendirian kerjaan Thailand sekitar tahun 1238 dan raja pertamanya

    adalah Sri Indraditya. Kedudukan kekuasaan Raja di ibu kota Negara,

    Thailand, sama halnya dengan Belanda yang memainkan peranan dalam

    kekuasaan militer. Raja sebagai Penguasa Utama Militer (Royal Coat of Arms

    of Thailand), yang dilengkapi dengan aparat Kerajaan (Chakry Dinasty), dan

    Dewan Kerajaan (Privy Council). Gedung kerajaan sebagai tempat berkantor

    resmi adalah berada di Istana, di Bangkok, Thailand. Adapun sistem politik

    dan pemerintahan diselenggarakan oleh Perdana Menteri yang dibantu oleh

    menteri-menteri lain. Perbedaan dengan Netherland adalah adanya Dewan

    Nasional (National Council) yang anggotanya terdiri dari Presiden, Dewan

    Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemimpinan dari Partai

    Oposisi, sebagai kabinet bayangan.

    Adapun badan negara lainnya antara lain, Badan Peradilan (Judiciary)

    terdiri dari Peradilan Umum, Peradilan Administrasi, Mahkamah Konstitusi.

    Dalam proses suksesi, baik kedudukan Perdana Menteri maupun anngota

    dari Senator dan DPR dilakukan dengan pemilihan umum, diselenggarakan

    oleh Komisi Pemilihan Umum. Pemerintahan Thailand terhitung sebagai

    negara monarki konstitusional yang baru saja memiliki konstitusi baru. Dalam

    proses pembentukannya dilakukan suatu model referendum yang melibatkan

    masyarak