RUTH ELLIA - nulisbuku.com fileAku memperhatikan Amy, gadis yang bijaksana di antara kami, dengan...
-
Upload
phungkhuong -
Category
Documents
-
view
230 -
download
0
Transcript of RUTH ELLIA - nulisbuku.com fileAku memperhatikan Amy, gadis yang bijaksana di antara kami, dengan...
RUTH ELLIA
Reversed Time
Penerbit
Arooliamedia
Reversed Time Oleh: Ruth Ellia
Copyright © 2014 by Ruth Ellia
Penerbit :
Arooliamedia www.nulisbuku.com
Desain Sampul: Adrian Mailoor
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Thank You Note
Pertama dan utama, tentu saja Tuhan
Yesus Kristus yang sudah memberi karunia
berupa imajinasi tak terbatas, jari-jari untuk
menulis dan pengetahuan tentang kata-kata.
Untuk Papa pahlawanku, Mama yang
melahirkanku, Kakak yang baik. Oma - Oma
atas nasihat-nasihatnya. Mama Meila atas
supportnya.
Randy yang selalu memotivasi, selalu
percaya pada kemampuanku, tidak pernah
menyerah, sumber inspirasiku.
Gajektif Team yaitu Merry, Maria,
Vero, Gracia, Claudia, Angel, terutama
Adrian yang menjadi mentor soal self-
publishing. Terima kasih banyak atas
semangatnya.
Teman-teman sekolah, Megan, Felicia,
Stephanie terima kasih atas momen-momen
menyenangkannya. Melisa, terima kasih
karena telah memperkenalkanku pada dunia
menulis online dimana semua ini berawal.
Galauers, Jessica, Erick, Bill para
tempat curhat di jaman putih abu-abu bahkan
sampai sekarang.
Navy si lontong cokelat, teman setia,
penghibur, teman bermain berkaki empat.
Terima kasih, dasar kau bola berbulu!
Followers Wattpadku yang
membuatku percaya diri. Terima kasih atas
vote-vote dan komentar-komentarnya yang
membangun.
NulisBuku yang membuat mimpiku
jadi nyata.
Dan kalian yang memegang buku ini
dan membacanya. Terima kasih. Banyak.
Terima kasih banyak. Tuhan memberkatimu.
Ruth Ellia
~ 1 ~
PROLOG
Aku tertidur di belakang jok mobil.
Perjalanan menuju rumah musim dingin milik
ayahku di puncak amat melelahkan bagiku.
Bayangan pohon-pohon melintasi wajahku
dan udara dingin pegunungan menusuk
kulitku. Aku menggigil dalam tidur dan
merapatkan mantelku. Samar-samar aku bisa
mendengar suara ibuku tertawa.
Mobil berbelok, memasuki garasi yang
cukup menanjak. Aku terbangun namun tidak
ingin bergerak bahkan tidak mau membuka
mata. Seperti kebanyakan anak berumur lima
tahun, aku ingin digendong. Aku mengintip
dari balik kelopak mataku dan melihat ayahku
tersenyum melihatku dan membuka jendela
sedikit agar aku mendapat sedikit udara.
Orang tuaku tampak sibuk mengurus bagasi
dan menurunkan barang-barang. Aku sempat
mendengar ibuku bersuara
"Biarkan saja ia tertidur. Setelah kita
selesai membereskan kamar barulah kita
bangunkan dia"
~ 2 ~
Ayah mengecup puncak kepala ibuku
dan mereka mengangkut dus-dus cokelat yang
tampak berat ke dalam rumah.
Meninggalkanku di dalam mobil.
Hening
Aku merasakan mobilku meluncur
perlahan. Aku masih diam dalam posisiku dan
agak kebingungan. Aku terduduk, melihat
pintu garasi yang semakin menjauh. Aku
membuka mulutku, mencoba memanggil
ibuku, tapi yang terdengar adalah suara
klakson yang nyaring. Aku menoleh ke arah
jendela samping dan melihat sebuah besi besar
bergerak dengan cepat dan sebelum aku
sempat berkedip, aku merasakan dadaku
seperti dihantam batu besar. Aku mendengar
bunyi gemeretuk yang berasal dari rusukku
dan merasakan amis dalam mulutku.
Aku terbanting ke pojok mobil dan
berusaha mencari udara. Dadaku terjepit di
antara tempat duduk belakang dan depan.
Kepalaku terasa berat. Tanganku menggapai
tempat duduk dan merasakan serpihan kaca di
telapaknya. Akhirnya semua menjadi gelap.
Dan jantungku berhenti berdetak.
~ 3 ~
SATU
“Aku benci Biologi!!" suara Chelsea
yang menjerit di telingaku tidak membuatku
berhenti mencabik-cabik roti yang ada di
piringku.
"Oh, tenanglah sedikit. Kita tinggal
menghabiskan 2 semester dan semuanya akan
jadi masa lalu" Amy mengaduk saladnya dan
menatap Chelsea sedikit kesal. "Dan kau!
Makanlah yang benar. Jangan mencabik
makananmu seperti itu" ia menyikutku sambil
melotot. Aku mendengus.
"Tapi aku benar-benar benci Biologi!!
Kalian tahu tidak tadi aku..." Chelsea
meneruskan ocehannya sambil mengangkat
garpunya dan menunjuk ke arahku.
"Hei! Sudah kubilang jangan
mengancungkan benda seperti itu ke wajahku"
aku mendorong garpunya menjauh. "Maaf..
tapi aku sudah tidak sanggup lagi dengan Mr.
Harrison" Chelsea membuang mukanya,
mengakibatkan rambut pirangnya jatuh ke sisi
wajahnya yang berbintik cokelat.
Mr. Harrison adalah guru biologi
kami. Orangnya tegas dan tidak kenal belas
~ 4 ~
kasihan. Aku sudah tahu bahwa dari awal
Chelsea yang seronok tidak akan cocok
dengan guru yang disiplin seperti Mr.
Harrison
Aku memperhatikan Amy, gadis yang
bijaksana di antara kami, dengan rambut
hitam lurusnya dan wajah Asianya, mencoba
menenangkan Chelsea yang mengomel sepuas
hati. Aku kemudian melayangkan pandangan
ke seluruh penjuru kantin sekolah.
Memperhatikan sekelompok cheerleaders
yang memamerkan tubuh berbentuk mereka
ke para cowok-cowok berandalan.
Sekelompok remaja yang memakai dandanan
serba gothic. Ada juga yang tampak normal
dan menikmati makanan mereka sambil
bercanda.
Tapi tidak ada yang seribut Chelsea
dan aku tidak begitu mempedulikan tentang
pembagian kelompok di sekolah ini. Yang
lebih jauh aku khawatirkan adalah apabila
anak-anak yang membawa baki ke lantai dua
kantin terpeleset jatuh dari tangga. Atau dapur
kantin sewaktu-waktu dapat meledak karena
kebocoran gas, atau gelang-gelang berpaku
milik seorang cowok gothic menusuk mata
temannya dan sejumlah kecelekaan
mengerikan lainnya.
~ 5 ~
"Haloo?? Bumi memanggil Rae...!"
lagi-lagi Chelsea berteriak di depan wajahku.
Amy memandangku dengan kesal sebelum
memutuskan menceramahiku.
"Biarkan saja dia. Palingan ia hanya
memikirkan tentang kematian seseorang.
Menurutku Rae, kau harus mendapat bantuan.
Sifat paranoidmu ini membuatku takut.
Sungguh, tidak ada yang akan mati, oke?"
Amy memang sudah mengetahui sikap
konyolku ini. Kami sudah bersama-sama
semenjak di bangku SMP. Tapi menurutku ini
sama sekali tidak konyol. Namun apa yang
bisa kubilang? Maaf, tapi aku tahu rasanya
mati itu bagaimana, dan hei aku lolos dari
kematian itu karena aku seorang Underhand
alias manusia yang bisa mencurangi kematian!
Mereka hanya akan tertawa, atau lebih parah
lagi, mereka menghubungi guru konseling dan
memutuskan aku ditempatkan di rumah sakit
jiwa dan menjadwalkan terapi untukku
Karena itu sebagai balasan, aku hanya
tersenyum sambil mengangkat bahu
"Setidaknya, mengkhawatirkan
kematianmu sendiri lebih logis daripada
proyek Biologi yang konyol"
Chelsea cemberut sambil menghirup
yogurthnya. Sedangkan aku dan Amy tertawa
~ 6 ~
lepas karena menggoda Chelsea menimbulkan
perasaan yang menyenangkan.
Mr. Harrison tampak sibuk berusaha
menjejalkan otak kami dengan materi-materi
tentang sel dan jaringan. Aku sama sekali
tidak tertarik dan membuang muka,
menghadap jendela - hal yang kusukai dari
sekolah ini adalah tempat dudukku dekat
jendela menghadap taman- dan berusaha
memikirkan kata-kata Amy tentang aku yang
terlalu paranoid dan kenyataan mengerikan
yang disampaikan ibuku bahwa aku bukanlah
manusia biasa.
Mitosnya, semuanya diawali dari
kepongahan nenek moyangku, leluhurku, yang
mengadakan taruhan dengan seseorang bahwa
ia bisa hidup sehari lebih lama. Entah apa
taruhannya, tapi membuat kedua orang- yang
menurutku bodoh itu- berupaya saling
menghabisi hidup satu sama lain. Sampai
leluhurku menemukan mantra yang bisa
membuatnya umur panjang.
Sayang sekali, itu bukan umur panjang
yang sering diimpikan setiap orang, tidak
bertambahnya umur atau tidak bisa menjadi
tua atau menjadi tua tanpa keriput atau
kantong mata yang menyedihkan. Menjadi
~ 7 ~
umur panjang jauh lebih mengerikan dari itu.
Ia menjadi seorang Underhand - pencurang
kematian. Memang awalnya agak sukar
dipahami, sampai mantra yang kuanggap
kutukan itu tidak terlepas dari setiap
keturunannya termasuk kakekku, ibuku dan
berlanjut padaku dan mungkin sampai ke anak
cucuku.
Setelah pengalaman 'kematianku' saat
aku berumur lima tahun , aku mengetahui
bahwa mencurangi kematian merupakan
proses yang amat.. amat menyakitkan. Ketika
jantungku berhenti berdetak. Saat itu aku
yakin aku sudah mati. Tapi aku merasakan
kekuatan besar menyambar diriku, seakan-
akan menarikku keluar dari kegelapan yang
menyelimutiku. Dadaku yang sesak tak
bernapas perlahan mendapatkan oksigen. Rasa
amis di mulutku menghilang dan aku bisa
melihat semua luka dan darah di tubuhku
lenyap.
Berlawanan dengan apa yang kulihat,
aku merasakan kesakitan yang luar biasa,
yang merayapi saraf-sarafku, merasuk hingga
ke sumsum tulangku. Aku menahan jeritanku
sambil menyaksikan serpihan kaca kembali
menjadi utuh, rongsokan besi kembali menjadi
mulus tak bercacat dan seperti film yang
~ 8 ~
diputar mundur, aku melihat truk besar yang
menubrukku mundur menjauhi kaca samping
mobilku yang melucur kembali naik ke
tanjakan garasi dan aku melihat kedua orang
tuaku yang menggendong dus-dus besar
berjalan mundur ke arah bagasi mobil yang
terbuka.
Adegan demi adegan terulang kembali
sampai aku melihat ayahku tersenyum padaku
sebelum menutup pintu mobil. Dan saat itu
jeritanku meloncat keluar dari tenggorokanku,
membuat ayahku dengan panik memelukku,
menenangkanku, berkata semuanya hanya
mimpi buruk.
Mimpi buruk yang menghantuiku
sampai setahun kemudian ketika ibuku
menjelaskan semuanya padaku, bahwa aku
seorang Underhand, sama seperti dirinya.
Awalnya aku tidak percaya, namun ketika ia
menceritakan proses yang sakit dan gila itu
seakan ia ada disana, aku tidak punya pilihan
selain percaya dan mimpi-mimpi itu terus
merasukiku, mimpi mengerikan yang buruk
terus terbayang di otakku.
Membuatku paranoid, kata Amy. Aku
kembali ke dunia nyata ketika Mr. Harrison
menegurku dan bel pulang sekolah
menyelamatku dari hukuman. Aku menyusuri
~ 9 ~
koridor dengan langkah cepat, hampir
menubruk segerombolan anak perempuan
yang baru keluar dari toilet. Aku tidak bisa
melambatkan gerakan kakiku. Tepatnya tidak
mampu. Aku merasakan kematian kapan saja
bisa menyergapku dan ketika jantungku
berhenti berdetak, aku akan mengulang proses
menyiksa itu dan aku tidak ingin
mengalaminya lagi,terima kasih.
Saat itulah aku ceroboh. Menubruk
seseorang. Seorang cowok tepatnya. Lebih
detail lagi, seorang cowok berambut hitam,
bermata kelabu yang menatapku tepat sampai
ke relung hatiku. Entah kenapa jantungku
berdebar-debar melihatnya. Dengan gugup
aku berusaha mengumpulkan suaraku yang
hilang.
"Kau tidak apa-apa?"
Ya Tuhan, mendengar suaranya seakan
menghipnotisku untuk menatap matanya.
Siapa dia? Kenapa sikapku jadi seperti ini?
Aku menggeleng dan mengucapkan maaf
sepelan mungkin dan menghilang ke belokan
koridor.
~ 10 ~
***
"Cowok bermata kelabu?" Chelsea
mengangkat sebelah alisnya. "Tidak biasanya
kau berbicara soal cowok. Siapa kau? Dan apa
yang kau lakukan pada Rae yang asli?"
"Diamlah. Kau tahu siapa dia?" aku
tidak merespon lelucon Chelsea dan
menatapnya tajam
“Oh sayang, kau mau aku diam, atau
menjawab pertanyaanmu?” Tanya Chelsea
sambil menyalakan mesin dan menjalankan
mobil.
Aku mencengkeram sabuk pengaman
dan memejamkan mataku. Berbisik pada
diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja
dan bersyukur Chelsea rela mengantarku
pulang tiap hari karena rumahku cukup jauh
dari sekolah.
“Rae?”
Aku membuka mataku dan menatap Chelsea
“Jawab saja pertanyaanku”
“Memangnya kau pikir ada berapa
cowok bermata kelabu di dunia ini?”
"Cukup banyak, tapi kurasa di sekolah
kita hanya satu"
~ 11 ~
"Ya mungkin saja” ia menggedikan
bahu. “
“Tapi aku tidak menilai cowok dari
matanya Rae, namun aku akan
memperhatikannya mulai sekarang" Chelsea
menyetir mobil dengan tenang. Ia tersenyum.
"Menyenangkan rasanya melihatmu
tertarik pada seseorang"
Aku melengos "Aku tidak tertarik!" aku
berteriak. Kemudian terdiam "Aku hanya..kau
tahu.. penasaran saja"
"Ya ya.. aku tahu" Chelsea tertawa
sambil menepikan mobilnya, tepat di depan
rumahku. Aku merapikan tas sekolahku, dan
meloncat turun dari mobilnya. Ketika aku
hendak mengucapkan terima kasih, Chelsea
menatapku dan tertawa
"Aku akan mengabarimu jika aku tahu
siapa si pemilik mata kelabu idamanmu"
Sebelum aku sempat mencakarnya, Chelsea
menginjak gas dan menghilang di balik
belokan.
~ 12 ~
DUA
“Aku pulang!” aku melepaskan
sepatuku dan bergegas mencari ibuku. Sebagai
sesama Underhand, sudah menjadi naluri kami
untuk saling menjaga dan memastikan
keadaan masing-masing. Aku menemukannya
di dapur, sedang sibuk mengiris-ngiris wortel
untuk makan malam. Ia tersenyum melihatku,
melepaskan pisaunya dengan hati-hati dan
memelukku.
“Bagaimana sekolah hari ini?” ia
bertanya sambil melakukan ritualnya.
Memeriksa mataku, lenganku dan seluruh
tubuhku untuk memastikan aku tidak mati hari
ini.
“Biasa saja Mom. Daaan..aku tidak
apa-apa. Tidak ada musibah hari ini” aku
mendorongnya pelan, kemudian mencomot
irisan wortel. Meskipun sama-sama
Underhand, kami tidak bisa mengetahui
apakah seorang Underhand baru saja
mencurangi kematian.
Untuk ibuku, ia memiliki cara
tersendiri untuk mengecekku. Memperhatikan
~ 13 ~
gerak tubuhku dan pandangan mataku yang
menunjukkan tanda-tanda trauma atau
frustrasi menahan sakit yang berlebihan.
Ia memperhatikanku sebentar
kemudian meneruskan masakannya. Aku
segera menuju ke kamarku, tempat keramatku.
Satu-satunya tempat yang membuatku merasa
aman. Karena berada di lantai dua, jendela
kamarku selalu terkunci, dan hampir tak ada
benda tajam yang mengancam diriku. Bisa
dibilang ibuku sama paranoidnya dengan
diriku. Bahkan lebih parah.
Saat seperti ini, biasanya aku
merenungkan tentang betapa berbedanya
diriku dengan orang lain. Berusaha
menyingkirkan mimpi buruk yang terus
membayangiku, tapi saat ini aku memikirkan
hal lain. Merebahkan diriku ke kasur yang
empuk sambi menatap langit-langit kamarku
yang berwarna biru cerah dihiasi garis-garis
krem seperti ukiran.
Aku memikirkan cowok itu.
Bagaimana ia menatapku dengan tajam dan
suaranya yang berat yang menghantam
dadaku.
Aku terus memikirkan mata
kelabunya.
~ 14 ~
TIGA
“Sudah siap untuk studi wisata akhir
pekan?!” Chelsea memekik dengan penuh
kegirangan. Rambut pirangnya bergoyang-
goyang seiring ia menganggukkan kepalanya
penuh semangat.
“Studi wisata?” aku menatapnya
heran. Merapatkan mantelku dan bergidik
ketika anak-anak kutu buku sedang membawa
praktikum biologi mereka yang dikelilingi
kawat. Kawat-kawat yang tajam.
“Oh ayolah Rae! Kau selalu begitu.
Tidak pernah memperhatikan pelajaran ya?
Kita akan mengadakan studi wisata di Grand
Valley barat, bekas benteng kuno jaman
perang dunia kedua. Mrs. Quell, guru sejarah
kita sudah membuka pendaftaran sejak 2
minggu lalu. Aku yang mendaftarkan kita
bertiga” Chel-begitu panggilanku pada
Chelsea-memutar bola matanya. Gemas.
“Tidak. Ia hanya menghayalkan
tentang hal-hal konyol di jendela” Amy
menambahkan. Membetulkan letak
kacamatanya dan tersenyum ke arahku “Ia
~ 15 ~
hampir mengacuhkan semua pelajaran. Aku
heran ia lolos sampai semester ini”
“Yah kalaupun aku tahu mengenai
studi wisata ini. Aku tidak bisa pergi.
Maksudku, kalian tahu seperti apa ibuku
kan?” Aku membela diriku sambil berusaha
menghindari tatapan kecewa para sahabatku.
Amy tampak sedikit kesal dan
mengangguk, tapi Chel justru tersenyum lebih
lebar. Tidak baik.
“Kurasa saatnya kita melihat sisi lain
dari seorang Raellene Sullivan!”
Aku menatap Chel curiga dan Amy
tampak kebingungan. Mataku melebar melihat
Chel mengangkat tangannya, memanggil
seseorang. Oh…tidak.
“Yo! Sewell! Disini..disini!!” Chel
berteriak penuh semangat dan melemparkan
tatapan menggodanya padaku. Orang yang
dipanggil itu mendekat, menyeberangi
kerumunan orang yang sedang menghabiskan
waktu istirahatnya di koridor dan taman
sekolah. Mendatangi kami yang sedang duduk
di rumput taman sekolah. Aku langsung
mengenali mata kelabunya.
“Semuanya, kenalkan. Ini Vaclav
Sewell. Ia teman sekelasku di SMP dulu.”
~ 16 ~
“Senang bertemu denganmu, Vaclav,
tapi aku tidak mengerti Chel, apa
hubungannya dengan kita?” Amy makin
kebingungan. Aku terpuruk, bersembunyi di
balik bayangan Amy dan aku bisa merasakan
bahwa cowok itu sedang memandangiku.
“Kalian bisa memanggilku Val.
Setidaknya begitulah teman-temanku yang
lain memanggilku dan jujur saja, aku juga
tidak mengerti kenapa dipanggil kemari”
Suara Val yang berat langsung melumpuhkan
saraf-sarafku. Aku menggigit bibir.
“Aku hanya ingin tahu kalau kau ikut
studi wisata yang diselenggarakan Mrs. Quell?
Karena teman kami yang ini…” Chel
menarikku dan aku bertatapan langsung
dengan Val. Aku yakin inilah caraku
menghentikan detak jantungku dan melakukan
proses pemunduran. Tapi untunglah tidak ada
yang terjadi
“....tidak bisa ikut. Jadi siapa tahu kau
membutuhkan kelompok? Karena kami
kekurangan personil” Chel tersenyum jahil
dan merangkulku. Aku merasa mulas.
“Sungguh? Sayang sekali kau tidak
bisa ikut. Kurasa perjalanannya akan
menyenangkan” Val terdengar kecewa. Atau
mungkin itu hanya perasaanku saja.
~ 17 ~
“Yah mungkin aku bisa mencoba
membicarakannya dengan ibuku. Tapi aku
tidak yakin”
Val masih menatapku.
“Itu lebih dari cukup. Terima kasih
Val. “ Chel memecahkan keheningan dan
menyeret kami pergi dari situ.
“Eh..sama-sama kurasa” Val tampak
kikuk dan melemparkan senyum. Pada kami.
Padaku. Sambil melangkah menjauh, Amy
lebih dulu buka suara.
“Apa-apaan itu tadi?”
“Amy sayang, yang kau temui tadi itu
adalah pujaan hati Rae”
“Bukan. Sudah kubilang aku hanya…”
Aku terdiam. Bingung harus berkata apa.
“Kau tidak pernah bercerita..” Amy
tampak tersinggung.
“Tapi sekarang kau sudah tahu kan?
Amy, kau harus lebih banyak bergaul dengan
cowok” Chel tersenyum dan menggandeng
aku dan Amy. Ia menoleh padaku.
“Katamu kau tidak mengenal cowok
bermata kelabu.” Protesku.
“Sudah kubilang aku tidak
memperhatikan cowok dari matanya. Lagipula
Rae..Kau tahu kau tidak akan melewatkan
kesempatan ini kan?”
~ 18 ~
Aku benci mengakuinya tapi Chelsea
benar.
***
“Aku pulang”
Aku mendapati sepatu ayahku di
depan pintu. Dad pulang. Aku terburu-buru
menuju dapur, dan mendapati kedua orang
tuaku sedang bercerita. Mom tampak ceria
hari ini. Bagus.
“Rae, kau pulang cepat” Dad
memandangku dibalik kacamatanya dan aku
menghampiri untuk mengecup pipinya.
“Kabar baik hari ini?” tanya Mom. Ia
bergelimang tepung.
“Yah, well ada studi wisata di akhir
pecan dan Chelsea sudah mendaftarkan
namaku.”
“Kau tahu tidak kau tidak mendapat
izinku kan? Silahkan telepon temanmu itu dan
katakan kau tidak bisa pergi” Mom tersenyum
dan mencuci tangannya.
“Tapi Mom, kurasa aku ingin pergi.
Aku tidak pernah ikut kegiatan sekolah” Aku
membela diriku, menatap Dad, meminta
pembelaan.
~ 19 ~
“Entahlah…kurasa Rae sudah cukup
dewasa. Ia bisa mengurus dirinya sendiri” Dad
angkat bicara.
“Kita tidak tahu pasti bukan? Kita
sudah sepakat Raellene, tidak ada kegiatan
diluar” Mom memandangku tajam dan
melemparkan tatapan kesal pada Dad.
“Tapi Mom…” suaraku meninggi.
“Tidak ada tapi. Kau tahu resikonya!”
“Kurasa kau terlalu
mengkhawatirkannya. Rae bisa menjaga
dirinya sendiri. Ayolah, ia tidak akan mati dan
semacamnya karena studi wisata ringan” Dad
terdengar tegas dan beriwabawa. Mom hendak
memprotes tapi aku tidak mengizinkannya.
“Ya Mom! Toh aku TIDAK AKAN
MATI!” aku berteriak marah.
Mom terdiam, mengatupkan mulutnya.
Tanpa mengeluarkan suara, ia melepaskan
celemeknya dan keluar ke halaman belakang.
Aku mendesah. Menyadari kejamnya kata-
kataku. Dad tidak tahu tentang kami, tentang
diri kami, karena kami tidak bisa
membuktikannya. Mom yang mengatakannya
padaku dulu.
“Aku tidak tahu lelucon apa itu tadi,
tapi ibumu tampak tidak senang. Kusarankan
kau bicara dengannya” Dad memelukku,
~ 20 ~
mengecup kepalaku dan keluar dari dapur. Ia
benar, ucapanku kelewatan. Seakan-akan aku
menyalahkannya karena keadaan kami.
Aku menyusuri pintu menuju halaman
belakang. Sebuah taman kecil yang ditata
dengan manis oleh ibuku. Dulu kami sering
menghabiskan waktu disini. Dad memasang
tempat tidur gantung diantara dua pohon oak
yang dari dulu sudah tertanam disini. Mom
ada disitu, memandang ke arah langit, tampak
lelah dan sedih.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi
tidak ada suara yang keluar. Aku
mendekatinya, dan ia menoleh sedikit, tidak
marah. Hanya diam. Dan saat itu aku tahu
persis apa yang harus aku lakukan. Aku
menelusuri tubuhnya. Tungkainya,lengannya,
lehernya. Mom selalu memeriksa diriku,
mencari tahu apa ada yang salah denganku,
tapi aku tidak pernah melakukan hal yang
sama pada Mom. Kurasa sekarang waktu yang
tepat.
Mom yang mengetahui maksudku,
hanya terdiam. Saat itulah aku melihatnya.
Guratan kecil di atas alis Mom, tipis dan
halus, bisa saja karena terantuk, tapi aku yakin
luka itu menandakan sesuatu yang lebih. Aku
menyentuh garis itu.
~ 21 ~
“Apa yang terjadi?” bisikku
Mom menyentuh lukanya, tersenyum
kecil.
“2 hari yang lalu, ketika aku
mengumpulkan baju kotor di kamarmu, aku
tersandung ketika menuruni tangga…”
Aku bergidik membayangkannya.
Apabila Mom bukan seorang Underhand,
mungkin hari ini aku sudah tidak punya ibu
“Apakah sakit?”
“Kalau sudah terbiasa, tidak terlalu”
“Maafkan aku. Aku tidak
bermaksud…” aku bersuara. Benar-benar
merasa menyesal.
“Tidak apa. Aku mengerti Rae.
Lagipula kau tidak sepenuhnya benar. Semua
orang, pada akhirnya akan mati. Termasuk
kita”
“Termasuk kita.” Ulangku
“Bagaimana?”
“Menurutmu apa yang terjadi pada
kakekmu? Ia meninggal 2 hari sebelum
kelahiranmu. Toh ia seorang Underhand”
Mom mengelusku “Dulu, aku membenci
diriku sendiri. Membuktikan bahwa aku bisa
mati seperti orang lain. Aku selalu terlibat
dalam kekacauan, kecelakaan. Aku dulu
~ 22 ~
berandalan, kau tahu. Ngebut-ngebutan dan
sebagainya. Dan aku selalu hidup”
Aku memandanginya tak percaya.
Mom tidak pernah bercerita tentang masa
lalunya dan aku tidak mau tahu.
“Aku mengalami kematian dengan
berbagai cara. Makin membenci tiap detik
kehidupanku. Sampai aku bertemu ayahmu. Ia
memberiku alasan untuk bertahan hidup. Dan
kematian kakekmu makin menyadarkanku,
betapa aku harus menjagamu tetap hidup”
Mom merangkulku lembut. Suaranya bergetar.
“Proses pemunduran melibatkan
perbaikan organ-organ tubuh yang rusak.
Makin bertambah umurmu atau makin sering
kematianmu, perbaikan tubuhmu makin
melemah. Meninggalkan luka yang tidak
sembuh total”
“Seperti luka itu” kataku pelan
“Seperti luka ini.” Mom mengulangi
kalimatku. Ia menatapku dalam-dalam dan
meremas tanganku.
“Aku hanya ingin kau mengalami
kematian yang sedikit dalam hidupmu”
“Aku akan baik-baik saja Mom” aku
memeluknya “Terima kasih”
~ 23 ~
EMPAT
Bus kuning itu melaju dengan gesit di
jalan raya. Kami, para murid tampak cukup
menikmati perjalanan. Aku duduk sebangku
dengan Amy dan Chelsea di seberang
kananku. Mataku menatap punggung Val yang
duduk dua bangku di depan Chel, yang
kemudian berbalik, memergokiku sedang
menatapnya dan tersenyum. Pipiku memerah
dan aku membuang muka.
Aku bisa mendengar Leia Micht
sedang bersenandung di bagian belakang bus,
dan melihat Andrew Lynn sibuk memainkan
ipodnya. Aku juga menangkap adegan Brian
Lowell sedang menggoda Susan Lue yang
justru mengacuhkannya. Perjalanan ini akan
berlangsung lama
Aku melayangkan pandanganku
kembali pada Val, menepis pikiran konyol
kalau bus ini akan terjun ke sisi jurang.
Klakson berbunyi nyaring, bus kami disalip
sebuah truk besar.
Truk. Benda yang menghantuiku
selama 12 tahun. Tiba-tiba sisi truk itu
~ 24 ~
menyambar sisi bus dan kaca di barisan kami
pecah. Amy menjerit dan mencengkeram
tanganku. Bus kami pun menubruk pagar
pembatas dan meluncur.
Senandung Leia berubah menjadi
teriakan.
Chel menangis.
Dan punggung Val menegang.
Bus terbalik. Berputar-putar menuruni
lereng dan jeritan-jeritan makin melemah,
berubah menjadi isak tangis menyedihkan.
Bau asam yang familier menyengat hidungku
dan pandanganku berputar-putar. Ketika bus
berhenti, posisi kami terbalik.
Aku tergantung di kursiku, tertahan
sabuk pengaman. Kepalaku pusing dan
berdenyut-denyut. Pandanganku memerah,
kurasa pembuluh darah di mataku pecah
akibat terantuk kursi depan. Aku mencakari
tempat dudukku, mencoba melepaskan diri.
Amy tidak sadarkan diri. Darah menetes-netes
dari pelipisnya namun pundaknya masih
bergerak naik turun, menandakan ia masih
hidup.
Aku menoleh ke kanan, dan mendapati
Chel terbaring di dasar -yang sekarang adalah
atap bus- rambut pirangnya berbercak merah,
menutupi wajahnya. Ia tidak bergerak. Aku
~ 25 ~
mengamatinya lebih lama. Tidak terlihat
tanda-tanda kehidupan. Tidak bernapas..
Begitu aku menyadarinya tangisku pecah.
Aku mendenger Leia menangis
memanggil-manggil nama seseorang.
Kepalaku makin berat, dan aku makin sulit
bernapas karena sakit dan karena airmata
mulai mengalir melalui hidungku. Sulit
kupercaya, ibuku benar.
Val.
Ia berdiri dengan lunglai,
mengumpulkan tenaga. Menatapku dengan
kaget dan menghampiriku dengan susah
payah.
"Val..."panggilku lirih "Val!!"
Ia mencengkeram kursiku, menekan
tombol pelepas sabuk pengaman dan
menangkapku ketika gravitasi mengambil alih
tubuhku.
"Amy…Chelsea…"bisikku pelan.
"Sst.."
Aku mengerang dan perasaanku kacau
balau. Tangisanku melemah.
Kepalaku meremasku, penglihatanku
memburam dan jantungku berdetak tak
karuan. Aku tahu saatku akan tiba.
Val masih memelukku. Memar di bibir
kananya dan luka di dahinya tidak
~ 26 ~
mempengaruhi kekuatannya. Ia masih
memelukku, meletakkan kepalaku di dadanya
sehingga aku bisa mendengar detak
jantungnya yang berdebar kencang namun,
entah kenapa aku merasa aman. Aku masih
mendengar erangan dan rintihan dari sisi bus
yang lain.
"Kau akan baik-baik
saja…Percayalah…Kau akan baik-baik saja"
bisik Val lembut namun suaranya bergetar.
"Bertahanlah...kumohon…kau…kita
akan baik baik saja" katanya sambil mengurai
rambutku.
Aku tersenyum, mengangguk.
Mataku mulai terasa berat dan aku
menengadahkan kepalaku, menatap Val ke
dalam matanya yang kelabu. Aku
menangkupkan tanganku ke wajahnya dengan
segenap sisa kekuatanku.
"Aku tahu"
Dan jantungku berhenti berdetak.