RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

21
Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online) RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA-BUDAYA Tri Hastuti Nur R 1 , Hajar Nur Setyowati 2 , Rizanna Rosemary 3 1 Program Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta 2 Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yogyakarta 3 Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: [email protected] Diterima: 29 April 2020; Direvisi: 23 Mei 2020; Disetujui: 30 Juni 2020 Abstrak Gizi buruk (malnutrisi) dan pendek badan anak (stunting) masih merupakan permasalahan kesehatan di Indonesia. ‘Aisyiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan melalui program kesehatannya telah mendampingi pemerintah menjalankan program-program guna menurunkan angka malnutrisi dan stunting di Indonesia. Salah satunya adalah melalui program Rumah Gizi di beberapa kabupaten di tanah air. Melalui pendekatan kualitatif, dengan metode wawancara mendalam dan analisa dokumen, studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis implementasi program Rumah Gizi ‘Aisyiyah di tiga daerah yaitu Kabupaten Cianjur, Sambas, dan Mamuju. Melalui analisis kritis-budaya, yakni modernitas refleksif dalam pendekatan komunikasi kesehatan, hasil studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan program kampanye dan advokasi Rumah Gizi untuk menurunkan angka malnutrisi dan stunting di wilayah studi melibatkan pendekatan budaya dan agama yang terintegrasi disamping penguatan dan pemberdayaan perempuan. Kata Kunci: Aisyiyah, Malnutrisi-Stunting, Pemberdayaan Perempuan, Pendekatan Budaya-Agama, Rumah Gizi Abstract Malnutrition and stunting remain a health problem in Indonesia. ‘Aisyiyah as one of the civil society organizations through its health program has assisted the government to reduce the number of malnutrition and stunting cases in Indonesia. One of them is through the Rumah Gizi program run in several districts in the country. Through a qualitative approach, in-depth interviews, and document analysis, this study aims to explain and analyse the implementation of the Rumah Gizi in three regions, namely Cianjur, Sambas, and Mamuju districts. Using a cultural approach—reflexive modernity in health communication, the findings of this study indicate that the success of Rumah Gizi campaign and advocacy program to reduce malnutrition and stunting requires an integrated cultural and religious approach as well as strengthening and empowering women. Keywords: ‘Aisyiyah, Cultural-Religious Approach, Malnutrition-Stunting, Rumah Gizi, Women Empowerment

Transcript of RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Page 1: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020 ISSN: 2614-7998 (Print), 2614-218X (Online)

RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA-BUDAYA

Tri Hastuti Nur R1, Hajar Nur Setyowati2, Rizanna Rosemary3 1Program Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta

2Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yogyakarta 3Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Email: [email protected]

Diterima: 29 April 2020; Direvisi: 23 Mei 2020; Disetujui: 30 Juni 2020

Abstrak Gizi buruk (malnutrisi) dan pendek badan anak (stunting) masih merupakan permasalahan kesehatan di Indonesia. ‘Aisyiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan melalui program kesehatannya telah mendampingi pemerintah menjalankan program-program guna menurunkan angka malnutrisi dan stunting di Indonesia. Salah satunya adalah melalui program Rumah Gizi di beberapa kabupaten di tanah air. Melalui pendekatan kualitatif, dengan metode wawancara mendalam dan analisa dokumen, studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis implementasi program Rumah Gizi ‘Aisyiyah di tiga daerah yaitu Kabupaten Cianjur, Sambas, dan Mamuju. Melalui analisis kritis-budaya, yakni modernitas refleksif dalam pendekatan komunikasi kesehatan, hasil studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan penerapan program kampanye dan advokasi Rumah Gizi untuk menurunkan angka malnutrisi dan stunting di wilayah studi melibatkan pendekatan budaya dan agama yang terintegrasi disamping penguatan dan pemberdayaan perempuan. Kata Kunci: ‘Aisyiyah, Malnutrisi-Stunting, Pemberdayaan Perempuan, Pendekatan Budaya-Agama, Rumah Gizi

Abstract

Malnutrition and stunting remain a health problem in Indonesia. ‘Aisyiyah as one of the civil society organizations through its health program has assisted the government to reduce the number of malnutrition and stunting cases in Indonesia. One of them is through the Rumah Gizi program run in several districts in the country. Through a qualitative approach, in-depth interviews, and document analysis, this study aims to explain and analyse the implementation of the Rumah Gizi in three regions, namely Cianjur, Sambas, and Mamuju districts. Using a cultural approach—reflexive modernity in health communication, the findings of this study indicate that the success of Rumah Gizi campaign and advocacy program to reduce malnutrition and stunting requires an integrated cultural and religious approach as well as strengthening and empowering women. Keywords: ‘Aisyiyah, Cultural-Religious Approach, Malnutrition-Stunting, Rumah Gizi, Women Empowerment

Page 2: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

142

Pendahuluan

Malnutrisi atau gizi buruk dan stunting atau pendek-badan (kerdil) merupakan

permasalahan kesehatan global. Prevalensi kedua isu kesehatan tersebut masih relatf

tinggi di negara berkembang, seperti Indonesia (Rachmi, Agho, Li, & Baur, 2016;

Torlesse, Cronin, Sebayang, & Nandy, 2016). Perhatian serius terhadap gizi buruk dan

pendek-badan ini ditunjukkan, salah satunya melalui Capaian Pembangunan

Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs adalah komitmen

global dan rencana aksi dunia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan

mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, memerangi ketimpangan, membangun

masyarakat yang damai, adil dan inklusif, melindungi hak asasi manusia dan mendukung

kesetaraan dan memberdayakan perempuan, memastikan perlindungan bumi dan sumber

daya alam, menciptakan kondisi yang memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan,

inklusif, serta menciptakan kesejahteraan.

Sebagai kelanjutan dari Capaian Pembangunan Milenium atau Millennium

Development Goals (MDGs), SDGs lebih bersifat komprehensif dengan melibatkan lebih

banyak negara, memperluas sumber pendanaan, menekankan pada hak asasi manusia, dan

perhatian pada isu inklusivitas melibatkan CSO, media, filantropi, bisnis, akademisi, dan

para ahli (Sachs, 2012). SDGs terdiri atas 17 tujuan dan 169 target. Agenda

pengembangan terkait gizi memiliki dua capaian, yakni ‘Tidak Kelaparan’ (Without

Hunger) dan menghapuskan semua bentuk gizi buruk di tahun 2030, termasuk mencapai

target internasional berupa pengurangan stunting pada anak-anak usia dibawah lima

tahun, dan memenuhi kebutuhan nutrisi untuk remaja, wanita, wanita hamil dan

menyusui, serta lansia. Terdapat enam indikator pencapaian kedua target tersebut,

meliputi prevalensi anak stunting di bawah lima tahun; prevalensi pendek-badan pada

anak di bawah dua tahun atau bayi di bawah 2 tahun; gizi buruk anak-anak di bawah usia

5 tahun; prevalensi anemia pada wanita hamil; presentasi bayi berusia kurang dari 6 bulan

yang menerima ASI eksklusif; dan kualitas konsumsi makanan sesuai nilai/skor pola

makanan ideal atau Hope Food Pattern (PPH), yang salah satu indikatornya adalah

tingkat konsumsi ikan (WHO, 2016).

Walau telah merdeka selama 75 tahun, hingga saat ini Indonesia masih

menghadapi permasalahan pelik dalam hal gizi buruk (malnutrisi) dan pendek-badan

(stunting), terutama pada anak-anak. Stunting adalah masalah kronis tumbuh kembang

Page 3: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

143

anak akibat kurang atau buruknya asupan gizi dalam jangka waktu tertentu. Dampak

bahaya dari malnutrisi dan stunting adalah kematian bayi. Hal ini berkaitan erat dengan

pelanggaran hak-hak anak khususnya kehidupan usia kanak-kanak. Akibat buruk lainnya

adalah pertumbuhan anak yang kurang sempurna baik secara fisik (pertumbuhan tubuh)

dan pertumbuhan otak (kognitif), serta kerentanan anak terhadap penyakit di masa depan.

Pertumbuhan kognitif yang tidak sempurna akan berdampak pada kualitas hidup

seseorang. Fakta ini menunjukkan bahwa hak asasi dasar manusia (khususnya anak-anak)

untuk hidup sejahtera belum terpenuhi dan diabaikan. Padahal, anak-anak adalah generasi

masa depan potensial yang akan melanjutkan dan membangun negara.

Tingkat stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara

lain di Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand. Berdasarkan data Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia 2018, Pemantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan bahwa

tingkat stunting di Indonesia adalah 3,5% (status merah) dan kekurangan gizi adalah

11,3% (status kuning). Data ini telah menurun dari 2016 sebesar 27,5%. Namun di tingkat

provinsi, stunting dan kekurangan gizi di beberapa provinsi masih tinggi. Provinsi dengan

gizi buruk di atas 18% adalah provinsi NTT 20,9%, Sulawesi Tengah 19,9%, Sulawesi

Barat 19,9%, Kalimantan Barat 19,4%, Aceh 18,9%, dan NTB 18,3%%; sementara data

stunting (status merah) NTT adalah 7,4%, Papua 6,8%, Papua Barat 6,6, Sulawesi Utara

6,5% dan Kalimantan Barat 6,5% (Riset Kesehatan Dasar, 2018). Fenomena ini sangat

memprihatinkan karena masalah stunting akan mempengaruhi perkembangan generasi

emas di masa depan dan mengabaikan hak-hak dasar warga negara untuk memenuhi

kesejahteraannya.

Problema kesehatan dalam masyarakat semakin tinggi, seperti penyakit menular

dan tidak menular, maka upaya untuk mengkomunikasikan isu-isu kesehatan baik dari

aspek preventif, promotif dan kuratif menjadi sangat krusial. Menurut Fajar Junaedi

(2018), komunikasi kesehatan sifatnya lebih khusus dari komunikasi antar manusia

(human communication) karena berfokus pada isu kesehatan. Komunikasi kesehatan

adalah “komunikasi di ranah kesehatan yang dilakukan untuk mendorong tercapainya

keadaan atau status yang sehat secara utuh, baik fisik, metal, maupun sosial” (Junaedi,

2018, p. 4).

Sebagaimana proses komunikasi secara umum, komunikasi kesehatan

berlangsung dalam berbagai tingkatan, baik secara individu, kelompok, organisasi,

Page 4: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

144

sosial/masyarakat, dan negara yang dilakukan secara langsung, tatap muka, bermedia

maupun non-media. Promosi kesehatan merupakan ruang lingkup dari komunikasi

kesehatan yang berkaitan dengan proses kampanye isu-isu kesehatan yang bertujuan

mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku publik tentang kesehatan dan

mengurangi risiko kesehatan (Junaedi, 2018, pp. 5-6). Kegiatan komunikasi kesehatan ini

bisa dilakukan dalam bentuk himbauan hingga bentuk kebijakan yang memiliki kekuatan

hukum yang lebih besar.

Kebijakan dan upaya aktual untuk mengentaskan permasalahan malnutrisi dan

stunting telah dilakukan sejak lama. Beberapa kebijakan terkait gizi yang menjadi rujukan

dalam program gizi, termasuk Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009,

Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Gizi

Peningkatan yang berfokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), Peraturan

Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, dan RPJMN 2015-2019

dengan program untuk mempercepat peningkatan gizi masyarakat melalui peningkatan

akses dan kualitas paket layanan kesehatan dan gizi dengan fokus utama pada 1000 Hari

Hidup (1000 Hari Kehidupan). Kementerian Kesehatan sendiri menjadikan peningkatan

gizi sebagai salah satu dari 4 program prioritas oleh Kementerian Kesehatan.

Program pengembangan gizi menjadi tanggung jawab setiap periode

kepemimpinan. Pada tahun 2013, dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 42/2013 yang

mengatur Gerakan Nasional Percepatan Peningkatan Gizi dan difokuskan pada 1000 Hari

Pertama Kehidupan (HPK). Program ini merupakan upaya bersama antara pemerintah

dan masyarakat melalui partisipasi yang terencana dan berkoordinasi dengan para

pemangku kepentingan dalam percepatan peningkatan gizi masyarakat di 1000 hari

pertama kehidupan (1000 Hari Kelahiran). Beberapa program pengembangan gizi lainnya

meliputi program pencegahan, seperti pendidikan kesehatan remaja, kursus calon

pengantin, wanita hamil dengan menyusui, ANC terintegrasi, kelas ibu, vitamin taburia,

skrining aktif, promosi garam beryodium, pemberian vitamin FE untuk tablet wanita

hamil, Inisiasi Menyusui Dini, pemberian Kapsul Vitamin A, Menyusui Eksklusif,

konseling menyusui, makanan tambahan untuk suplemen menyusui (MPASI), imunisasi

dan pemantauan pertumbuhan. Program kuratif seperti program amal untuk

meningkatkan gizi (Pemberian Makanan Tambahan/PMT), dan penanganan anak-anak

kurang gizi di bawah 5 tahun.

Page 5: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

145

Sebagai bentuk komitmen pada prinsip-prinsip SDGs, Indonesia telah menjadikan

pencapaian target SDGs sebagai referensi dan prioritas pembangunan nasional.

Diperlukan sinergi dalam menerapkan kebijakan perencanaan pembangunan di berbagai

tingkatan, dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten, bahkan di tingkat desa. Target SDGs

harus sejalan dengan dokumen perencanaan pembangunan seperti Rencana

Pembangunan Menengah (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Di dalam

RPJMN 2015-2019, masalah pengembangan gizi diatur dalam dua poin penting, yaitu (1)

percepatan peningkatan gizi masyarakat melalui peningkatan akses, dan (2) peningkatan

kualitas paket layanan kesehatan dan gizi dengan fokus utama pada 1000 Hari Hidup.

Merujuk pada data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018, pemerintah

telah mengembangkan program model untuk mengurangi stunting di 1000 kabupaten

seperti Mamuju, Cirebon, Cianjur, Sumedang, Cilacap, Cilebap, Klaten, Kepulauan

Seribu, Pidie, Bangkalan, Jember, Lamongan, Pandeglang, NTT, NTB, Kalimantan

Barat, Papua, Maluku, dan Papua Barat.

Meskipun berbagai kebijakan dan upaya telah dikembangkan oleh pemerintah dan

masyarakat, indikasi permasalahan gizi di Indonesia terjadi karena beberapa faktor.

Antara lain, kemiskinan yang mempengaruhi kerawanan pangan di rumah tangga,

pengasuhan yang tidak optimal, lingkungan yang buruk seperti konsumsi air kotor

(Torlesse et al., 2016), dan kurangnya akses ke layanan kesehatan (Riset Kesehatan

Dasar, 2013, 2018). Faktor-faktor ini menyebabkan kurangnya asupan makanan bergizi

dan kerentanan terhadap penyakit yang berkontribusi pada kekurangan gizi dan

terhambatnya tumbuh-kembang pada anak-anak (Beal, Tumilowicz, Sutrisna, Izwardy,

& Neufeld, 2017). Hal ini sangat tergantung pada komitmen dan kinerja pemerintah

daerah melalui alokasi anggaran daerah untuk mencegah bertambahnya angka gizi buruk

dan stunting.

‘Aisyiyah merupakan organisasi massa yang berkomitmen untuk berkontribusi

dalam meningkatkan kesehatan yang berkualitas bagi perempuan dan anak-anak.

‘Aisyiyah telah melakukan berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat guna

menunjukkan komitmen mereka memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat, antara lain

dalam isu imunisasi, tuberkulosis, kesehatan reproduksi termasuk gizi buruk dan stunting.

Program berbasis masyarakat yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah merupakan salah satu faktor

penting dalam upaya perubahan perilaku masyarakat, antara lain melalui

Page 6: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

146

pengorganisasian, pendidikan, dan advokasi. Program Rumah Gizi atau Nutrition House

yang dikembangkan oleh ‘Aisyiyah adalah program berbasis masyarakat melalui Balai

Sakinah ‘Aisyiyah (BSA). Anggota BSA adalah perempuan usia subur dan kader desa.

Model penguatan masyarakat untuk mengatasi masalah gizi buruk dan stunting ini telah

terlebih dahulu dilakukan dan dikembangkan oleh beberapa organisasi internasional

seperti Save The Children, Mercy Corps, World Vision Indonesia, CARE Indonesia dan

Layanan Bantuan Katolik (USAID, 2004).

Program Rumah Gizi adalah program nutrisi berbasis keluarga dan masyarakat

untuk anak-anak yang berisiko kekurangan energi protein di negara-negara berkembang.

Rumah Gizi atau Pos Gizi adalah tempat atau rumah yang digunakan untuk melakukan

kegiatan pemulihan dan pendidikan gizi kepada masyarakat. Pendekatan ini dilakukan

dengan mengidentifikasi perilaku positif ibu atau pengasuh yang memiliki anak yang

bergizi baik tetapi dari keluarga kurang mampu. Perilaku positif tersebut diharapkan

dapat mentransmisikan kebiasaan positif ini ke keluarga lain dengan anak gizi kurang

dalam suatu komunitas tertentu. Program ini merupakan sarana untuk mobilisasi

masyarakat yang efektif, yang melibatkan berbagai lapisan sosial di masyarakat untuk

bekerja bersama mengatasi masalah dan menemukan solusi di komunitas mereka sendiri.

Namun, kecenderungan masyarakat bertindak sangat bergantung pada banyak faktor,

antara lain cara menilai apakah ada masalah, kemampuan pribadi untuk menyelesaikan

masalah dengan beberapa operasi, kegiatan penyelesaian masalah yang sesuai dengan

situasi, yaitu bagaimana menyelesaikannya langkah-langkah dan cara untuk menentukan

apakah hasil tertentu memadai (Simmons, 1990).

Sebagai salah satu organisasi perempuan, ‘Aisyiyah meyakini bahwa perempuan

adalah agen yang memiliki peran strategis dalam mengubah masyarakat, termasuk gizi.

Hal ini juga didasarkan pada nilai-nilai Islam progresif yang mendasari munculnya

gerakan ‘Aisyiyah, yaitu ajaran Islam tentang hubungan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan. Dalam Quran Surat An-Nahl: 97 disebutkan, “Barangsiapa yang berbuat

baik, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan

memberinya kehidupan yang baik dan benar. Kami akan memberi mereka hadiah dengan

hadiah yang lebih baik daripada apa mereka telah melakukan.” Berdasarkan pengalaman

pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan oleh ‘Aisyiyah, kepemimpinan

perempuan adalah faktor kunci untuk mengubah hidup lebih baik dan inisiatif

Page 7: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

147

keberlanjutan. Oleh karena itu, ‘Aisyiyah mempertimbangkan upaya untuk meningkatkan

kepemimpinan perempuan di tingkat masyarakat. Kader ‘Aisyiyah adalah agen

perubahan di tingkat masyarakat melalui Balai Sakinah '‘Aisyiyah (BSA) menjalin kerja

sama atau kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan di desa dan kecamatan,

seperti pemimpin agama, tokoh masyarakat, bidan, pusat kesehatan, dan lembaga desa

lainnya, dan advokasi di tingkat desa dan penyedia layanan kesehatan.

Dalam menjalankan peran strategis ini, ‘Aisyiyah melakukan pengembangan

kapasitas dalam hal kepemimpinan perempuan, kesadaran akan kesehatan dan gizi di

perspektif perempuan, pemberdayaan masyarakat, dan advokasi. Pengembangan

kapasitas dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan oleh kader, pemimpin

‘Aisyiyah, dan tim pemberdayaan di tingkat kecamatan dan regional. Salah satu

kompetensi yang dibutuhkan kader adalah komunikasi partisipatif dan konseling karena

memerlukan pendekatan persuasif dalam rangka mendorong perubahan perilaku

masyarakat. Dalam kasus isu-isu kesehatan perempuan termasuk stunting pada

perempuan dan anak-anak, kepemimpinan perempuan yang mampu menyuarakan

kepentingan perempuan menjadi signifikan karena dunia sosial dibangun dengan budaya

male dominated sehingga isu-isu kesehatan perempuan menjadi marginal dan tidak

dianggap penting. Perempuan merupakan muted group (kelompok terbungkam); yang

memiliki pengalaman berbeda dengan bahasa yang ada dalam masyarakat apalagi

perempuan dari kelompok marginal. Sistem bahasa yang ada yang didominasi laki-laki

mewakili kepentingan mereka sendiri; tidak mewakili kelompok perempuan. Cheris

Kramarae (1981 dalam West & Turner, 2008) menegaskan bahwa perempuan tidak

sebebas atau mampu sebagaimana laki-laki mengatakan apa yang mereka inginkan karena

kata-kata atau norma untuk penggunaan mereka telah dirumuskan oleh kelompok

dominan, yaitu laki-laki.

Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Balai ‘Aisyiyah Sakinah (BSA)

melibatkan kelompok 15-20 perempuan dhu'afa mustadh'afin (perempuan di bawah

kemiskinan). BSA adalah tempat kegiatan kelompok untuk pendidikan, pengaduan,

konseling, hingga pemberdayaan ekonomi sesuai dengan kebutuhan anggota kelompok.

Di BSA, ‘Aisyiyah juga mendorong kader dan anggota BSA untuk memiliki kompetensi

berbicara di depan umum dan berkomunikasi secara setara dengan mitra mereka. Model

pemberdayaan ini penting sebagai bagian dari kepemimpinan perempuan yang

Page 8: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

148

membutuhkan keberanian untuk menyampaikan aspirasi perempuan di depan umum dan

mengkomunikasikan kebutuhan mereka dan anak-anak kepada pasangan mereka.

Rumah Gizi ’Aisyiyah tidak mengacu pada keberadaan bangunan, namun

bertujuan mencapai peningkatan status gizi dan pencegahan stunting serta

mengembangkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan berbasis masyarakat.

Terdapat enam kegiatan Rumah Gizi, meliputi pendidikan gizi, manajemen taman gizi,

praktik pengolahan makanan lokal yang bergizi, konseling menyusui, konseling gizi dan

pemberian makanan tambahan, dan sanitasi. Pendidikan gizi terkait edukasi tentang 1000

Hari Pertama Kehidupan, menyusui (ASI), MPASI (makanan tambahan selain ASI), gizi

anak-anak di bawah lima tahun, wanita hamil, ibu menyusui, dan remaja. Pendidikan

tidak hanya diberikan kepada perempuan tetapi juga nenek dan suami, karena keduanya

memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dalam keluarga mereka. Sebagai

contoh, nenek memiliki peran strategis dalam mendukung pemberian Air Susu Ibu (ASI)

eksklusif selama enam bulan tanpa minuman dan makanan tambahan. Begitu juga dengan

ayah, karena ibu juga membutuhkan dukungan ayah sehingga produksi ASI cukup dan

berhasil dalam pemberian ASI eksklusif. Dalam konteks masalah gizi, ayah penting

karena sering kali pemberian makanan bergizi menjadi kendala karena perilaku merokok

ayah, yang anggarannya seharusnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

keluarga.

Rumah Gizi menyediakan konseling ASI untuk perempuan yang mengalami

masalah dengan menyusui. Untuk mendukung kegiatan konseling ASI, pelatihan

konseling ASI diadakan untuk kader. Pelatihan konselor ASI ditujukan pada petugas

kesehatan (kader) yang memiliki kedekatan geografis dan sosial budaya dengan

masyarakat yang lebih banyak. Praktik pengolahan makanan ini menggunakan produk

lokal dan dari kebun nutrisi mereka; serta belajar bersama tentang kandungan nutrisi dari

bahan yang tersedia. Konseling nutrisi dilakukan dengan melibatkan petugas kesehatan

setempat dan kader bekerja sama dengan badan amal ‘Aisyiyah-Muhammadiyah seperti

layanan kesehatan (klinik), rumah sakit dan universitas ‘Aisyiyah Muhammadiyah.

Selain konseling, Rumah Gizi juga menyediakan praktik pengolahan makanan

bergizi. Untuk melakukan pendidikan gizi, ‘Aisyiyah juga mengadakan praktik

pengolahan makanan mengingat masyarakat menghadapi tantangan dalam menyediakan

makanan bergizi berkualitas. Hal ini membutuhkan pengetahuan dan keterampilan

Page 9: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

149

pengolahan makanan yang dapat mempengaruhi kualitas gizi. Praktik pengolahan

makanan ini menggunakan produk lokal dan dari kebun nutrisi mereka; serta belajar

bersama tentang kandungan nutrisi dari bahan yang tersedia. Sedangkan, program sanitasi

tertuang dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bagian dari program

pencegahan stunting.

Untuk memahami bagaimana program berbasis masyarakat tersebut berjalan

sesuai tujuan—penurunan angka gizi buruk dan stunting, diperlukan pendekatan sosio-

kultural yang kritis yang menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek penelitian,

tapi lebih kepada subjek yang terlibat aktif dalam program dan studi yang dilakukan oleh

‘Aisyiyah. Penelitian ini bertujuan mengkaji implementasi Rumah Gizi yang telah

dilakukan ‘Aisyiyah dalam upaya mengurangi angka gizi buruk dan stunting di beberapa

provinsi di Indonesia.

Untuk mendapatkan pemahaman langsung akan masalah yang dihadapi

masyarakat, diperlukan upaya komprehensif yang tidak memisahkan subjek dan objek

penelitian sehingga menghasilkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dalam

memaknai kehidupan sosial (Salim, 2002). Penelitian ini berusaha memahami secara

intrinsik tentang fenomena, keteraturan dan kekhususan kasus yang diteliti (Salim, 2002).

Merujuk pada pendekatan yang telah dikembangkan oleh Mohan Dutta dan Rebecca de

Souza (2008), diperlukan pendekatan yang bersifat 'modernitas refleksif' (reflexive

modernity) dalam menerapkan komunikasi kesehatan dan pengembangan kampanye.

Konsep modernitas refleksif ini menekankan perlunya penelitian yang berpusat pada

budaya partisipatif dengan mengkaji praktik-praktik sosial dari isu yang bersifat multi-

dimensi, seperti dalam isu gizi buruk dan stunting dalam masyarakat (Dutta & de Souza,

2008).

Dutta (2008) menyebutkan bahwa kecenderungan penerapan komunikasi

kesehatan adalah hanya upaya mencapai target perubahan perilaku individu atau

masyarakat yang umumnya melalui penerapan model yang bersifat biomedis atau klinis,

yang diterapkan melalui kebijakan dari pemerintah ke masyarakat (top-down approach).

Di saat bersamaan berpotensi mencederai suara dan partisipasi masyarakat serta

mengabaikan kepekaan budaya yang mendasari mengapa dan bagaimana mereka

berperilaku (Dutta-Bergman & Dutta, 2005; Dutta & de Souza, 2008). Selain itu, Dutta

(2008) menjelaskan bahwa “pendekatan studi budaya menekankan sifat interaksi budaya

Page 10: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

150

dan proses komunikasi kesehatan serta mengkaji budaya dalam struktur kekuasaan.”

Mereka selanjutnya berpendapat bahwa studi budaya dan paradigma interpretif dalam

komunikasi kesehatan berfokus pada bagaimana makna kesehatan diciptakan dalam

konteks lokal (Dutta & de Souza, 2008). Mohan Dutta juga menyebutkan bahwa

komunikasi kesehatan melibatkan negosiasi makna bersama yang tertanam dalam

identitas, hubungan, norma sosial, dan struktur yang dibangun secara sosial (Dutta-

Bergman & Dutta, 2005; Dutta & Zapata, 2018; Edwards & Kreshel, 2008).

Salah satu studi terdahulu dengan pendekatan perspektif budaya adalah studi

kasus program pencegahan HIV pada perempuan Afrika-Amerika yang dilakukan

Wingwood dan DiClemente (2009). Dengan melihat relasi kekuasaan dan gender, studi

ini mengevaluasi program pencegahan HIV, yang disebut 'Cinta SISTA—tangguh, aman,

dan selamat.’ Ketiga konsep tersebut mewakili kebanggaan budaya perempuan Afrika-

Amerika serta kesadaran mereka akan seks yang aman, serta pengalaman mereka

bertahan hidup dalam menghadapi kesulitan sebagai penderita HIV. Evaluasi program

tersebut menunjukkan kegagalan, karena abai melihat pengaruh struktur sosial terhadap

kesehatan perempuan yang terjadi dalam komunitas tersebut. Terdapat beberapa perilaku

atau praktik sosial, seperti stigma sosial terhadap perempuan yang masih berjalan dan

sulit dirubah (DiClemente, Crosby, & Kegler, 2009). Namun, studi tersebut menjadi

acuan untuk intervensi pencegahan HIV selanjutnya di lingkungan tersebut.

Dalam konteks Indonesia, studi empiris yang menerapkan pendekatan budaya

dalam komunikasi kesehatan adalah penelitian oleh Pitaloka (2018) yang mengeksplorasi

penggunaan telepon genggam (ponsel) pada perempuan di lingkungan pedesaan di Jawa.

Studi ini melihat bagaimana pesan teks telah dimanfaatkan untuk menfasilitasi bantuan

penyuluhan kesehatan dan pertukaran pengetahuan tentang diabetes. Minim dan

mahalnya akses teknologi telah menyebabkan masyarakat miskin di daerah perkotaan dan

pedesaan mengalami kesulitan dalam mengakses informasi terkait kesehatan (Pitaloka,

2018). Studi ini membantu memahami bagaimana memahami kesehatan sebagai nilai dan

praktik bersama dari sudut pandang perempuan adalah penting dalam membangun

promosi kesehatan yang bermakna.

Merujuk pada hasil studi di atas, penelitian ini bertujuan untuk memahami

bagaimana masyarakat merasakan manfaat dari program Rumah Gizi yang dilakukan

‘Aisyiyah. Sebagaimana penelitian terdahulu, studi ini juga akan menggunakan

Page 11: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

151

pendekatan sosio-kultural (sosial-budaya) yang bersifat kritis khususnya terhadap

pendekatan modern atau pendekatan ‘westernisasi’ yang umumnya diterapkan dalam

pendekatan komunikasi kesehatan di Indonesia, yakni top-down approach yang

terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan atau konteks nilai-nilai lokal yang diyakini

masyarakat setempat.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif-interpretatif (Neuman & Neuman, 2006).

Terdapat tiga kabupaten yang menjadi kajian penelitian ini, yakni Kabupaten Cianjur,

Sambas dan Mamuju. Alasan pemilihan ketiga lokasi tersebut karena kabupaten Cianjur

dan Mamuju merupakan kabupaten prioritas intervensi penurunan stunting yang

ditetapkan oleh pemerintah. Kabupaten Cianjur memiliki prevalensi stunting sebesar

41,76 tertinggi kedua di Jawa Barat; sementara Mamuju prevalensi stunting sebesar 47,26

(Kemenkes, 2010). Adapun kabupaten Sambas merupakan salah satu kabupaten yang

masih memiliki kasus stunting sebesar 34%; sedangkan standard WHO angka stunting

maksimal 20%. Alasan berikutnya adalah ketiga daerah tersebut mendapat intervensi

program Rumah Gizi dengan capaian edukasi dan advokasi dengan pemerintah yang

hasilnya cukup baik.

Guna memahami secara spesifik studi kasus di ketiga daerah pilihan studi, metode

pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam kepada total 18 informan

yang meliputi, koordinator program (1 orang ), staf program (4 orang ), pimpinan

organisasi di ‘Aisyiyah di tingkat nasional, wilayah, dan daerah (3 orang), tokoh agama

dan tokoh masyarakat (4 orang), kader, dan perempuan anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah

di tingkat komunitas (6 orang). Pemilihan informan penelitian dilakukan dengan teknik

purposive sampling yaitu memilih dengan kriteria tertentu.

Dalam penelitian ini para informan yang dipilih yaitu orang-orang (pihak-pihak)

dengan kriteria, yaitu pimpinan organisasi ‘Aisyiyah di tingkat nasional yang mendesain

konsep Rumah Gizi; pimpinan organisasi ‘Aisyiyah maupun tim program di tingkat

provinsi dan kabupaten yang memahami konsep Rumah Gizi, menggerakkan

pengembangan Rumah Gizi, dan melakukan pendampingan maupun asistensi pada kader

di komunitas; kader di komunitas yang menggerakkan program Rumah Gizi; tokoh

masyarakat maupun tokoh agama yang memberikan dukungan dan terlibat secara aktif

Page 12: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

152

dalam program Rumah Gizi; dan anggota Balai Sakinah ‘Aisyiyah yang mendapatkan

manfaat dari program Rumah Gizi.

Hasil dan Pembahasan

Ketidakadilan Gender dalam Keluarga: Penghambat Penurunan Stunting

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dan pengalaman ‘Aisyiyah dalam

memberikan dukungan kesehatan dan gizi melalui Balai Sakinah ‘Aisyiyah (BSA) di

masyarakat, ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi permasalahan gizi buruk

dalam rumah tangga, yaitu beban ganda (double burden) yang dihadapi perempuan

(khususnya ibu) dalam perawatan dan pengelolaan rumah tangga. Beban ganda

perempuan disebabkan oleh kurangnya pembagian peran dan tanggung jawab di wilayah

domestik, terutama peran suami dalam membantu istri mengurus rumah tangga.

Di ketiga kabupaten daerah penelitian, peran-peran domestik seperti memasak,

mencuci, membersihkan rumah dan mengasuh anak-anak balita merupakan peran-peran

yang dijalankan ibu meskipun mereka dalam kondisi hamil maupun menyusui. Budaya

terkait dengan pembagian kerja domestik menjadi mitos yang dianggap sebagai sebuah

konsep yang benar; diyakini oleh hampir semua masyarakat baik perempuan maupun

laki-laki. Arief Budiman dalam bukunya ‘Pembagian Kerja Secara Seksual’ menjelaskan

dalam banyak masyarakat dianut sebuah keyakinan bahwa perempuan yang hidup

mengabdi di dalam rumah tangga dan lelaki mencari nafkah (Budiman, 1982, p. 2).

Pembagian ini dianggap rigid/kaku; dan ketika perempuan berada di sektor publik

dan menjalankan peran reproduksi maka kerja-kerja domestik tetap menjadi tanggung

jawab perempuan. Sebagian perempuan tidak menyadari ketertindasan ini bahkan

menikmati dan justru melanggengkannya. Perdebatan tentang perbedaan peran antara

lelaki dan perempuan pada dasarnya selalu berputar dalam dua arus teori besar,

yakni nature atau alam dan nurture atau kebudayaan. Berdasarkan wawancara dengan

perempuan, ibu-ibu di desa Tadui dan Bambu, kabupaten Mamuju sebagai berikut:

“Iya biasa bu, ibu-ibu di sini, pagi beres-beres rumah, masak mencuci, terus ke kebun.

Pulang dari kebun bantu-bantu suami, ya masak lagi untuk makan malam semua

keluarga. Kalau bapak-bapak ya jarang bantu-bantu di dapur, tidak biasa. Ya ibu-ibu

yang mengurus rumah tangga.” (Nina, wawancara, Maret 2019)

Page 13: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

153

Ketidaksetaraan gender dalam keluarga ini dipengaruhi oleh budaya patriarki,

khususnya anggapan bahwa pemenuhan kebutuhan gizi keluarga dan pengelolaan rumah

tangga hanyalah menjadi kewajiban dan tanggung jawab perempuan. Akibatnya,

perempuan mengalami kesulitan memberikan nutrisi seimbang untuk anak-anak mereka,

khususnya dalam keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas (miskin). Di satu sisi mereka

harus menjaga dan merawat anak-anak, di sisi lain mereka harus mengurus pekerjaan

domestik rumah tangga termasuk melayani kebutuhan suami.

Selain itu, hubungan dan peran serta yang tidak setara antara suami dan istri

menyebabkan perempuan tidak memiliki kekuatan tawar-menawar dalam

mengkomunikasikan kebutuhan gizi bagi anak-anak sementara uang yang tidak sedikit

digunakan untuk membelanjakan rokok untuk suami. Perempuan juga mengalami

kesulitan berkomunikasi dengan suami mereka dalam berbagi peran perawatan dan

manajemen rumah tangga. Salah satu yang disampaikan Nartya terkait dengan kebiasaan

merokok suami yang menggambarkan relasi tidak setara antara suami istri sebagai

berikut:

“Hehehe kalau tentang merokok ya, bagaimana ya bu, memang suami merokok sehari 1

bungkus kadang lebih. Tapi ya gimana ya bu, kan uang mereka sendiri yang cari sendiri,

dan saya kenal suami saya juga sudah merokok. Masak saya mau sampaikan untuk tidak

merokok untuk beli susu atau lauk pauk.” (Nartya, wawancara, Maret 2019)

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk

menyampaikan pada laki-laki sekalipun itu suami dan pesan yang disampaikan bukan

semata-mata kepentingan dirinya. Namun relasi kuasa yang tidak setara menyebabkan

perempuan tidak berani menyampaikan. Inilah yang disebut beda pengalaman dan

bahasa. Bahasa perempuan adalah kebutuhan keluarga dan domestik, sementara laki-laki

bahasanya adalah publik termasuk kebutuhan untuk merokok sebagai bagian dari status

sosial. Fenomena tersebut sejalan dengan pemikiran pada muted group theory yang

dikemukakan oleh Shirley Ardener asumsi-asumsi atas teori tersebut bahwa (1)

Perempuan melihat dunia secara berbeda dibandingkan dengan laki-laki karena

pengalaman berbeda antara perempuan dan laki-laki serta kegiatan berakar pada

pembagian kerja dan kedua bahwa sistem persepsi laki-laki dominan, menghambat

ekspresi secara bebas dari model-model alternatif perempuan di dunia karena dominasi

politis mereka (West & Turner, 2008).

Page 14: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

154

Selanjutnya terkait dengan relasi antara faktor budaya memiliki pengaruh penting

terhadap permasalahan gizi. Sebagai contoh, di kabupaten Mamuju berlaku budaya yang

tidak mengizinkan wanita hamil dan ibu menyusui untuk mengonsumsi telur dan ikan

karena kekhawatiran bahwa anak-anak akan mengalami gatal-gatal karena makan ikan

bersisik. Padahal telur merupakan sumber protein hewani dan sumber nutrisi penting

untuk perkembangan anak dan dapat mencegah stunting. Selain itu, masih ada budaya

masyarakat yang mempercayakan perawatan penyakit pada bayi kepada tabib tradisional,

seperti demam, batuk-pilek pada tabib tradisional dibandingkan dengan petugas

kesehatan. Senada dengan temuan-temuan di atas, Lisya salah satu kader ‘Asyiyah dari

kabupaten Sambas menyebutkan bahwa banyak mitos-mitos yang berkembang dan

diyakini masyarakat secara turun temurun sampai hari ini yang berupa larangan-larangan

makanan bagi ibu hamil, ibu menyusui dan balita.

“Di kabupaten Sambas bu, terdapat banyak mitos yang di masyarakat misalnya ibu hamil

tidak boleh makan ikan pari dan jantung pisang karena menyebabkan ari-arinya bisa

berlapis dan tebal, trus setelah melahirkan dilarang makan buah nanas. Trus untuk ibu

yang menyusui tidak boleh makan daun katuk karena dapat menyebabkan sakit perut

atau meroyan dalam bahasa Sambas; sedangkan kalau makan makanan dari laut karena

menyebabkan pusar anak menjadi gatal.” (Lisya, wawancara, Januari 2019)

Selain di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, di Jawa, misalnya di kabupaten

Cianjur, juga banyak berkembang mitos-mitos yang masih ditaati oleh banyak perempuan

yang sedang menjalankan peran-peran reproduksi; seperti dijelaskan oleh teteh Febri,

bidan dari Cianjur, sebagai berikut:

“Saya amati dan dengar dari ibu-ibu di desa-desa seperti Ciwalen, Mekarwangi,

Sukaluyu, Penyusuhan, Talagasari, Ciranjang, dan Ciendeur, banyak pantangan dan

tantangan yang tidak boleh dilakukan ibu-ibu terutama saat hamil, melahirkan dan

menyusui. Ibu hamil tidak boleh periksa kuatir banyak yang mengetahui kemudian

menyebabkan keguguran, tidak boleh mengikat-ikat apapun kuati nanti persalinannya

sulit. Sementara kalau habis melahirkan tidak boleh makan daging kuatir luka

melahirkan tidak sembuh-sembuh. Ibu yang habis melahirkan harus menduduki batu

panas, agar lukanya segera mongering.” (Febriyanti, wawancara, Januari 2019)

Namun di sisi lain, budaya lokal juga memiliki potensi positif yang membantu

pengembangan gizi dan tumbuh-kembang anak. Misalnya, tanaman lokal (daun kelor)

diyakini memiliki nilai gizi tinggi dan dapat meningkatkan produksi ASI.

Page 15: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

155

Peran Pemuka Agama dan Masyarakat

Faktor agama juga memiliki pengaruh pada permasalahan gizi di ketiga wilayah

penelitian. Misalnya, saran para ulama dan pemangku adat untuk memberikan kurma atau

dikenal sebagai tahnik atau madu untuk bayi. Padahal pemberian ASI eksklusif

(menyusui selama enam bulan pertama) telah terbukti memberikan nutrisi yang cukup

untuk bayi di 1000 hari kehidupannya. Tetapi di sisi lain, banyak ajaran agama

mendukung nutrisi terbaik untuk bayi, seperti pemberian ASI selama dua tahun dan ajaran

tentang makanan halal dan thayyib.

Namun, sayangnya ketidaksetaraan antara peran gender dalam keluarga serta

faktor agama yang mendukung kesetaraan peran suami-istri dalam perawatan anak sangat

jarang disebutkan dalam analisa kajian-kajian sosial, khususnya yang berkaitan dengan

masalah gizi. Dampak strategi dan program manajemen gizi jarang menggunakan

pendekatan keluarga dan pendekatan budaya dan agama yang memiliki peran penting

dalam perilaku masyarakat di Indonesia.

Agama dan budaya adalah faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi

perilaku kesehatan seseorang, baik bagi yang ingin atau yang tidak ingin mengubah

perilakunya. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh (Yildiz S, Toruner EK, & N,

2018), pengaruh budaya yang berbeda memiliki dampak pada kesehatan anak. Hal ini

menegaskan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh faktor budaya yang dinamis, yang sama

pentingnya dengan faktor biologis dan lingkungan.

Perilaku kesehatan adalah hasil dari kepercayaan tentang kesehatan yang berasal

dari budaya di mana individu berasal. Praktik budaya keluarga terkait erat dengan praktik

budaya anggota keluarga lainnya. Studi ini menjelaskan bahwa anak-anak belajar tentang

kepercayaan, nilai, keterampilan, dan pengetahuan dari keluarga dan budaya mereka.

Latar belakang budaya memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan

sosial dan emosional anak-anak. Tradisi, nilai-nilai budaya, sikap dan perilaku dalam

masyarakat dan struktur keluarga akan disosialisasikan dari generasi ke generasi.

Budaya ini berkaitan erat dengan bagaimana mereka memandang konsep rasa

sakit, konsep kesehatan, konsep makanan sehat dan konsep perilaku sehat dan bersih.

Praktik kesehatan biasanya merupakan hasil dari kepercayaan kesehatan yang timbul dari

budaya individu. Dalam banyak budaya, individu menggunakan praktik perawatan

kesehatan tradisional sebelum praktik perawatan profesional. Seperti halnya masalah

Page 16: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

156

perilaku yang terkait dengan stunting atau pendek-badan, dipengaruhi oleh banyak faktor

seperti kepercayaan, nilai-nilai, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan dan budaya

individu atau keluarga mereka. Bagan di bawah ini menggambarkan bagaimana faktor

dan interpretasi budaya agama mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat termasuk

dalam masalah gizi buruk dan stunting.

Gambar 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan Masyarakat

Terkait dengan praktik kesehatan, interpretasi atau kepercayaan agama adalah

salah satu rujukan penting untuk membimbing individu atau masyarakat. Agama adalah

konsep yang dapat mempengaruhi filosofi hidup individu dan masyarakat, konsepsi

kesehatan dan penyakit, jenis makanan yang dikonsumsi, ritual kelahiran dan kematian,

dan praktik perawatan kesehatan. Masyarakat diketahui menggunakan berbagai praktik

keagamaan dalam pencegahan dan perawatan isu kesehatan. Menurut Yildiz dkk, budaya

memiliki dampak yang signifikan dalam pembentukan keragaman yang begitu besar

(Yildiz S et al., 2018, pp. 6-10). Sebagai contoh, dalam beberapa agama seperti

Budhisme, Kristen, Hindu, Islamisme, dan Yehuwa, mereka memiliki banyak aturan

pembatasan makanan.

Terdapat banyak faktor yang mendukung dialog agar dapat berdampak pada

perubahan perilaku, yakni pendapat pemimpin, organisasi masyarakat sipil, inovasi,

kebijakan, dan teknologi komunikasi yang mengangkat isu kesehatan ini di media

(Figueroa, Kincaid, Rani, & Lewis, 2002). ‘Aisyiyah bekerja sama dengan para pemimpin

agama setempat, baik pria maupun wanita, dalam mengkomunikasikan dan

mensosialisasikan isu kesehatan, seperti gizi dalam perspektif Islam progresif. ‘Aisyiyah

berkolaborasi dengan pemimpin agama perempuan mengingat mereka memiliki

Page 17: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

157

kedekatan dan kepedulian terhadap masalah ini. Sebagai contoh, di kecamatan Jeruk Legi,

kabupaten Cilacap, seorang pemimpin Muhammadiyah bernama Darno adalah muballigh

(pemimpin agama) di lingkungan setempat yang sering menyampaikan tema kesehatan

reproduksi dan gizi. Menurut Darno, tema-tema ini adalah tema-tema penting untuk

disampaikan dalam pertemuan keagamaan sebagai kebutuhan dasar manusia. Darno

menambahkan: “ajaran Islam juga membahas tema nutrisi dan perlu disampaikan kepada

masyarakat luas, guna meningkatkan motivasi warga untuk mempraktikkan hidup sehat.”

Metode komunikasi dalam menyampaikan isu gizi dan stunting yang dilakukan

oleh pemuka agama beragam, antara lain melalui aplikasi pesan WhatsApp. Selain itu,

referensi banyak digunakan oleh para pemimpin agama untuk menambah pengetahuan

dan wawasan akan isu gizi dan stunting, pemuka agama merujuk pada majalah ‘Aisyiyah

yang diterbitkan oleh organisasi, seperti Suara Muhammadiyah, Suara ‘Aisyiyah, bulletin

dan buku-buku yang diterbitkan oleh Muhammadiyah-’Aisyiyah. Di samping majalah,

buku masih menjadi pilihan para pemimpin agama yang membantu ketika menyampaikan

materi bacaan. Berikut contoh buletin Sakinah yang didistribusikan kepada para tokoh

agama untuk menjadi bahan edukasi dan sosialisasi di komunitas:

Gambar 2. Buletin Sakinah tentang Pencegahan Stunting

dalam Perspektif Islam Berkemajuan.

Guna memperluas jangkauan informasi tentang gizi dalam perspektif progresif

Islam, tema gizi dan stunting dimasukkan ke dalam materi dakwah ‘Aisyiyah melalui

Page 18: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

158

media sosial, baik dalam bentuk info grafik, videografi, vlog, dan tilawah langsung;

dengan beberapa contoh sebagai berikut:

Gambar 3. Infografis tentang Risiko Pemberian MP ASI Dini untuk Pencegahan

Stunting (Sumber: Akun Instagram Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah)

Pemberdayaan Perempuan dalam Kebijakan Pembangunan Desa

Pelibatan para tokoh masyarakat, seperti pemuka adat dan agama mendorong

pembentukan kebijakan pembangunan desa yang memiliki visi berkeadilan gender dan

inklusi sosial. Selain sebagai penerima manfaat, keberadaan kelompok perempuan juga

merupakan salah satu kekuatan sumber daya manusia di desa. Dengan demikian, sangat

penting bagi pemerintah desa untuk melibatkan kelompok-kelompok perempuan di setiap

tahap pembangunan desa karena perencanaan pembangunan akan memiliki dampak nyata

pada kehidupan perempuan yang memainkan peran penting dalam pengelolaan

kehidupan keluarga termasuk gizi.

Peraturan atau kebijakan desa tentang kesehatan reproduksi dan gizi penting

karena peraturan desa dapat menjadi referensi hukum agar desa memprioritaskan program

kesehatan reproduksi dan gizi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

(RPJMDes). Sehingga program-program penurunan angka gizi buruk dan stunting

Page 19: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

159

melalui Rumah Gizi dapat terus diwujudkan dengan alokasi anggaran di RPJMDes dan

RKPDes yang disiapkan oleh pemerintah desa setiap tahun.

Penguatan kepemimpinan perempuan dan memberdayakan masyarakat dalam

meningkatkan status kesehatan atau gizi masyarakat adalah hal yang signifikan. Kader

perempuan dan kelompok perempuan perlu menjadi perwakilan dalam berbagai

pertemuan desa. Berdasarkan data ‘Aisyiyah bahwa perwakilan perempuan dari lembaga

di desa dan forum musyawarah desa lebih sering diwakili oleh PKK (kelompok

perempuan yang dibuat oleh pemerintah) yang dipandang sebagai organisasi perempuan

formal di desa.

Penutup

Penelitian ini menunjukkan bahwa pencegahan dan pengurangan program

stunting dan gizi buruk dilakukan oleh ‘Aisyiyah melalui Rumah Gizi dapat diterima baik

oleh masyarakat. Terdapat dua alasan (a) karena pendekatan top-down yang selama ini

dilakukan pemerintah dirasakan bersifat tidak partisipatif serta tidak berdampak pada

perubahan perilaku yang diharapkan baik di tingkat individu dan tingkat masyarakat

dengan baik; (b) karena pelibatan langsung perempuan dalam menjalankan program-

program Rumah Gizi adalah sesuai dengan kebutuhan mereka, di mana mereka

mendapatkan pembelajaran dan dapat menemukan solusi konkret dalam mengatasi

permasalahan isu kesehatan yang dihadapi.

Pendekatan budaya dan agama adalah faktor yang signifikan dalam mendorong

perubahan perilaku dalam masyarakat terkait dengan gizi. Beban ganda perempuan dalam

rumah tangga ditemukan berpengaruh terhadap status gizi anggota keluarga, khususnya

anak-anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran pemuka agama dan pemuka

masyarakat adalah penting dalam membantu mensosialisasikan isu gizi buruk dan

stunting melalui perspektif agama kepada masyarakat. Termasuk mengkomunikasikan

isu kesetaraan gender yang tertuang dalam ajaran agama Islam. Selain peran eksternal

tokoh-tokoh masyarakat tersebut, perempuan perlu terus diberdayakan melalui Rumah

Gizi untuk meningkatkan status gizi baik anak-anak dan anggota keluarga lainnya.

Berdasarkan temuan penelitian ini, maka saran atau rekomendasi yang perlu

disampaikan antara lain, pertama, dalam melaksanakan program penurunan stunting

hendaknya berbasis komunitas dan bersifat partisipatif sesuai dengan karakter masyarakat

Page 20: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Rumah Gizi ‘Aisyiyah: Komunikasi Kesehatan dengan Pendekatan Agama-Budaya Tri Hastuti Nur R, Hajar Nur Setyowati, Rizanna Rosemary

160

Indonesia yang bersifat komunal. Kedua, pentingnya pelibatan tokoh agama dan

masyarakat sebagai agen yang berpengaruh dalam mendorong perubahan perilaku, karena

tokoh agama dan masyarakat menjadi rujukan nilai yang mendasari perubahan

pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat. Ketiga, program peningkatan gizi keluarga

dan penurunan stunting hendaknya menggunakan perspektif gender karena salah satu

akar masalah tingginya prevalensi stunting adalah faktor budaya patriarki yang

mengakibatkan ketidakadilan gender, sehingga laki-laki tidak terlibat dalam upaya

penurunan stunting serta minimnya alokasi anggaran pembangunan bagi program

penurunan stunting.

Daftar Pustaka

Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2017). A review

of child stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition,

14:e12617. doi:10.1111/mcn.12617

Budiman, A. (1982). Pembagian kerja secara seksual: Sebuah pembahasan sosiologis

tentang peran wanita di dalam masyarakat: Penerbit PT Gramedia.

DiClemente, R. J., Crosby, R. A., & Kegler, M. C. (2009). Emerging theories in health

promotion practice and research: John Wiley & Sons.

Dutta-Bergman, & Dutta, M. J. (2005). Theory and practice in health communication

campaigns: A critical interrogation. Health communication, 18(2), 103-122.

doi:10.1207/s15327027hc1802_1

Dutta, M. J., & de Souza, R. (2008). The past, present, and future of health development

campaigns: Reflexivity and the critical-cultural approach. Health

Communication, 23(4), 326-339. doi:10.1080/10410230802229704

Dutta, M. J., & Zapata, D. B. (2018). Communicating for social change: meaning, power,

and resistance. Singapore: Palgrave MacMillan.

Edwards, H. H., & Kreshel, P. J. (2008). An audience interpretation of corporate

communication in a cause-related corporate outreach event: The avon breast

cancer 3-day walk. Journalism & Communication Monographs, 10(2), 175-244.

doi:10.1177/152263790801000203

Figueroa, M. E., Kincaid, D. L., Rani, M., & Lewis, G. (2002). Communication for social

change: An integrated model for measuring the process and its outcomes

Communication for social change: an integrated model for measuring the process

and its outcomes.

Junaedi, F. (2018). Komunikasi Kesehatan: Prenada Media.

Kemenkes, R. (2010). Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM).

Neuman, W. L., & Neuman, L. W. (2006). Workbook for Neumann Social research

methods: qualitative and quantitative approaches: Allyn & Bacon.

Pitaloka, D. (2018). The Use of Mobile Phones in Rural Javanese Villages: Knowledge

Production and Information Exchange Among Poor Women with Diabetes. In E.

Baulch, J. Watkins, & A. Tariq (Eds.), mHealth Innovation in Asia: Grassroots

Challenges and Practical Interventions (pp. 49-67). Dordrecht: Springer

Netherlands.

Page 21: RUMAH GIZI ‘AISYIYAH: KOMUNIKASI KESEHATAN DENGAN ...

Jurnal Komunikasi Global, 9(1), 2020, pp. 141-161

161

Rachmi, C. N., Agho, K. E., Li, M., & Baur, L. A. (2016). Stunting, Underweight and

Overweight in Children Aged 2.0–4.9 Years in Indonesia: Prevalence Trends and

Associated Risk Factors. PLOS ONE, 11(5), e0154756.

doi:10.1371/journal.pone.0154756

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta Indonesia:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Riset Kesehatan Dasar. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta Indonesia:

Balitbangkes.

Sachs, J. D. (2012). From millennium development goals to sustainable development

goals. The Lancet, 379(9832), 2206-2211.

Salim, A. (2002). Perubahan sosial: sketsa teori dan refleksi metodologi kasus Indonesia:

Tiara Wacana Yogya.

Simmons, R. E. (1990). Communication campaign management: A systems approach:

Addison-Wesley Longman Limited.

Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016). Determinants of

stunting in Indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a

prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction.

BMC Public Health, 16(1), 669. doi:10.1186/s12889-016-3339-8

USAID. (2004). Positive Deviance and Health: Suatu Pendekatan Perubahan Perilaku

dan Pos Gizi. Retrieved from

West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar teori komunikasi: analisis dan aplikasi.

Jakarta: Salemba Humanika.

WHO. (2016). Address double burden of malnutrition: WHO. Retrieved from

https://www.who.int/southeastasia/news/detail/07-09-2016-address-double-

burden-of-malnutrition-who

Yildiz S, Toruner EK, & N, A. (2018). Effects of Different Cultures on Child Health.

Journal Nursing Research Practice, 2(2), 6-10.