Ruang-3
-
Upload
rizki-hary -
Category
Documents
-
view
26 -
download
11
Transcript of Ruang-3
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 205
IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Utami Murwaningsih, Erika Laras Astutiningtyas
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian: (1) Terlaksananya pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) Melakukan
penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran, (3) Melakukan uji terbatas keterbacaan dan
simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) Melakukan uji coba terbatas perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) Menghasilkan perangkat pembelajaran di Sekolah
Menengah Pertama.Metode penelitian adalah pengembangan model 4-D (four D model) . Subjek
uji coba terbatas perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo tahun
pelajaran 2012/ 2013. Hasil penelitian: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2)
Perangkat pembelajaran telah dinilai ahli dengan nilai tiga atau dapat digunakan dengan sedikit
revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan
disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas,dan
(5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
Kata kunci:perangkat pembelajaran, pendekatan pembelajaran matematika realistik
PENDAHULUAN
Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan
siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (1999: 41), sifat abstrak
tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika sekolah.
Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut sehingga
memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Sebagai guru perlu memahami cara-cara
penyampaian materi pelajaran. Di samping penguasaan materi, cara menyajikan atau
menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang guru
matematika. Standar proses pembelajaran yang ditetapkan pemerintah melalui Permendiknas No.
41 tahun 2007 yaitu, mendorong siswa dan guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi.
Kenyataan yang ada di SMP Negeri 2 Sukoharjo, pembelajaran matematika masih
menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu pembelajaran yang dimulai dari definisi
atau teorema, contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal penerapan dalam masalah yang
menyangkut kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan pembelajaran berpusat pada guru (guru aktif
dan siswa pasif). Guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima. Kesempatan
bagi siswa untuk melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi antara siswa dengan siswa,
dan siswa dengan guru kurang dikembangkan. Pembelajaran tersebut tidak memberi kedempatan
kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
206 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pemecahan masalah. Pada akhirnya siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa
memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang
menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam
proses pembelajaran. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek
matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mendeskripsikan,
menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut
cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau
pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para
siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya
konsep atau pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak (Soedjadi, 2001:3).
Menurut Marpaung (2001: 4 5), PMR ini memiliki prospek lebih berhasil untuk
diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, seperti pendekatan
strukturalistik, empiristik dan mekanistik. Karena pendekatan strukturalistik, bagi siswa terlalu
abstrak, sehingga sangat sedikit siswa yang mampu memahami struktur itu. Pendekatan
empiristik, lebih mudah diterima siswa, tetapi kurang berarti dalam kemampuan matematis, sebab
kurang memuat komponen matematika vertikal. Pendekatan mekanistik boleh dikatakan tidak ada
maknanya dilihat dari sudut matematika, karena kurang menanamkan pengertian. Sedangkan
PMR bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai
fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, artinya mereka bebas
mengkomunikasikan ide-idenya. Guru membantu membandingkan ide-ide dan membimbing
untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik. Sehingga, dalam PMR
pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan
contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat,
definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui
penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. PMR mendorong
siswa untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang
diperolehnya.
De Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses conceptual
mathematizing atau matematisasi konseptual, yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1
berikut.
Gambar 1Matematisasi Konseptual (Conceptual Mathematizing)
(a)
(b) (c)
(d) Real World
Mathematizing and Reflection Mathematizing in Aplication
Abtraction and Formalization
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 207
Berdasar uraian di atas, pembelajaran matematika perlu diarahkan pada aktivitas-aktivitas
yang mendorong siswa untuk belajar secara aktif baik mental, fisik maupun sosial. Salah satu
upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengaitkan konsep-konsep matematika dengan
pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada pembelajaran siswa aktif dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-
hari adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).
Penelitian pengembangan perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran
Matematika Realistik yang telah dilaksanakan peneliti pada tahun pertama, telah menghasilkan:
(1) Penetapan dan pendefinisian segala sesuatu yang diperlukan dalam pembelajaran, dengan
menganalisis tujuan dan batasan materi pelajaran; (2) Perancangan perangkat pembelajaran
sehingga diperoleh prototipe perangkat pembelajaran contoh yang meliputi (a) penyusunan tes
beracuan patokan, (b) pemilihan media, (c) pemilihan format dan (d) perancangan awal bahan ajar
matematika dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yang meliputi: (1) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan
(5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
Peneliti perlu melanjutkan penelitian tahun kedua yang akan melakukan uji terbatas
terhadap perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada tahun pertama. Penelitian tahun
kedua ini didasarkan atas dua pertimbangan. Pertimbangan pertama, bahwa pengembangan
perangkat pembelajaran yang dilakukan pada tahun pertama belum dilakukan expert judgement
yang menilai kualitas perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan, sehingga ada perbaikan
sebelum diuji cobakan. Pertimbangan kedua, bahwa pengembangan perangkat pembelajaran yang
dilakukan pada tahun pertama baru pada tahap pendefinisian dan perancangan perangkat
pembelajaran, belum di uji cobakan, sehingga perlu penelitian tahun kedua yaitu tahap
pengembangan.
Berdasar latar belakang masalah, dirumuskan tujuan khusus penelitian tahun kedua sebagai
berikut: (1) Terlaksana pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) melakukan penilaian ahli
terhadap perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di
Sekolah Menengah Pertama, (3) melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian, dan (5) menghasilkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan
Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama.
METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini tergolong penelitian pengembangan,
yaitu pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik, meliputi: (1) Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
208 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
(5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Bersamaan
denganitu dikembangkan pula instrumen penelitian berupa: (1) Lembar Penilaian Validator
Terhadap Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian, (2) Lembar Observasi Kemampuan
Guru Mengelola Pembelajaran,(3) Lembar Observasi Aktivitas Siswa Selama Mengikuti Proses
Pembelajaran,(4)Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan
Pembelajaran dan (5) Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan
Pembelajaran.
Model pengembangan yang digunakan adalah dengan memodifikasi model 4-D (Four D
model) dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974: 5-9). Prosedur pengembangan perangkat
pembelajaran terdiri dari tiga tahap, yaitu:a) pendefinisian (define),b) perancangan (design), c)
pengembangan (develop), dan (d) penyebaran (desseminate), sebagaimana terlihat pada Gambar 2
berikut.
Keterangan: : garis pelaksanaan
: garis siklus yang mungkin dilaksanakan
: garis hasil kegiatan
: kegiatan
: hasil kegiatan
Tahun II : (draf IV/ draf I yang telah direvisi) perangkat pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran matematika realistik di Sekolah Menengah Pertama yang telah di uji
coba terbatas
Gambar 2. Modifikasi Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran dari Model 4-D (Four D
Model)
Pen
gem
ba
nga
n (
dev
elo
p)
Ta
hu
n I
I
Validasi Ahli
Revisi
Uji Terbatas Keterbacaan
& Simulasi RPP Tertentu
Revisi
Uji Coba Terbatas Perangkat
Pembelajaran
Analisis
Analisis
Revisi
Draft I
Draft II
Draft III
Draft IV
Analisis
Hasil Penilaian, ko-
reksi dan saran per-
baikan dari Ahli
Data hasil Uji Terbatas Keter-
bacaan & Simulasi RPP Tertentu
Data hasil Uji Coba Terbatas
Perangkat Pembelajaran
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 209
HASIL DAN PEMBAHASAN
Semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang telah disusun dalam bentuk
draft I (hasil penelitian tahun I), selanjutnya dilakukan penilaian oleh ahli (validator). Hasil
validasi yang sudah dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel1 Daftar Nama Validator Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian
No Nama Validator Pekerjaan Keterangan
1. Dr. Herry Agus
Susanto, M.Pd.
Dosen Pend. Matematika
Univet Bantara Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
2.
Joko Sungkono,
S.Si.M.Sc.
Dosen Pend. Matematika
Universitas Widya Dharma
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
3.
Dra. Dewi
Susilowati, M.Pd.
Dosen Pend. Matematika
Univet Bantara Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Penelitian
4.
Sri Hutomo,
S.Pd.M.Pd.
Guru Matematika Kelas VIII
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
5.
Sumaryani, S.Pd.
Guru Matematika Kelas IX
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
6. Dwi Agus Sri
Kuncoro, S.Pd.
Guru Matematika Kelas VII
SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Perangkat Pembela-jaran
dan Instrumen Tes Hasil Belajar
7.
Kenang Tri
Hatmo, S.
Pd.M.Pd.
Guru Bahasa Indonesia Kelas
IX SMP Negeri 2 Sukoharjo
Validator Khusus Bahasa pada
Perangkat Pembelajaran dan
Instrumen Penelitian
Tabel 2 Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Perangkat Pembelajaran
No Perangkat Yang Dinilai
Banyak Validator
Memberi Nilai
1 2 3 4
1. Buku Siswa (BS) 0 0 5 1
2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 0 0 0 6
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 0 0 6 0
4. Buku Petunjuk Guru (BPG) 0 0 3 3
5. Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa (Kisi-kisi, Lembaran
Soal, Alternatif Jawaban dan Pedoman Pemberian Skor)
0 0 6 0
Keterangan nilai:
1 : Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi
2 : Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi
3 : Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi
4 : Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
210 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Tabel 3Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Instrumen Penelitian
No Instrumen Yang Dinilai
Banyak Validator
Memberi Nilai
1 2 3 4
1. Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola
Pembelajaran
0 0 5 1
2. Lembar Observasi Aktivitas Siswa 0 0 4 2
3. Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan
Pelaksanaan Pembelajaran
0 0 2 4
4. Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat
dan Pelaksanaan Pembelajaran
0 0 2 4
5. Lembar Penilaian Validator Terhadap Perangkat dan
Instrumen Penelitian
0 0 1 5
Keterangan nilai:
1:Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi
2:Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi
3:Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi
4:Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi
Pada umumnya para validator memberikan catatan dan saran perbaikan RPP ini pada
komponen: (a) alokasi waktu, (b) apersepsi dan motivasi, (c) pengkodean SK, KD, dan indikator
(d) perkiraan waktu untuk setiap kegiatan, dan (e) beberapa kesalahan penulisan/ejaan. Namun
demikian revisi terhadap RPP pada tahap ini hanya peneliti lakukan terhadap: apersepsi dan
motivasi, pengkodean SK, KD, dan indikator dan kesalahan penulisan/ejaan. Untuk revisi
terhadap alokasi waktu dan perkiraan waktu akan peneliti lakukan setelah pelaksanaan uji
keterbacaan dan simulasi RPP tertentu.
Saran perbaikan Buku Siswa ini pada komponen: (a) Penomoran (b) Beberapa kesalahan
hitung dan (c) kesalahan penulisan/ejaan. Secara umum LKS dinilai baik dan sangat baik oleh
validator, sehingga bisa digunakan tanpa revisi. Validator menilai penampilan LKS menarik,
mudah dipahami, dan telah sesuai dengan langkah-langkah pendekatan pembelajaran matematika
realistik. Tetapi ada sedikit revisi di penulisan tanda seru (!) pada perintah soal. Sesuai saran
validator, tanda seru (!) tersebut dihilangkan, sehingga tidak rancu antara tanda seru atau simbol
faktorial (!) yang ada di matematika. Pada LKS ini sebagian besar soal untuk kegiatan siswa telah
diberikan petunjuk yang sangat detail, hal ini membuat siswa malas dalam berpikir dan cenderung
membatasi kreativitasnya. Sebaiknya proporsi soal yang diberi petunjuk langkah demi langkah
dikurangi, sedangkan soal yang tanpa ditertai petunjuk langkah-langkah pengerjaan ditambah. Hal
ini akan menuntut siswa berpikir secara kritis.
Koreksi, saran dan masukan para validator terhadap buku petunjuk guru umumnya berupa:
(a) pencantuman alokasi waktu dan tujuan, dan (b) materi dan perintah soal diperjelas. Saran
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 211
validator terhadap perangkat tes hasil belajar umumnya berupa: (a) kesesuaian penulisan butir
soal dengan indikatornya, (b) pengurutan soal, dan (c) koreksi terhadap kesalahan penulisan pada
beberapa soal, alternatif jawaban dan pedoman pemberian skor
Revisi terhadap instrumen penelitian pada tahap ini hanya peneliti lakukan dengan
membetulkan beberapa kesalahan penulisan/ pengetikan/ ejaan pada beberapa instrumen
penelitian sesuai dengan koreksi, saran dan masukan dari beberapa validator.
Setelah semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft I tersebut direvisi
menjadi dratf II, selanjutnya dilakukan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu. Tujuan
kegiatan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu ini adalah untuk memperoleh masukan apakah
semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dapat jelas dibaca dan dipahami serta
dapat dilaksanakan di lapangan. Idealnya semua RPP dapat diujicobakan pada kegiatan ini.
Namun karena keterbatasan waktu, sehingga hanya dua RPP, yaitu RPP I dan RP II yang sempat
diujicobakan. Kegiatan ini telah dilaksanakan selama tiga hari dengan jadwal kegiatan
sebagaimana tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Jadwal Kegiatan Uji Keterbacaan dan Simulasi RPP Tertentu
No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Keterangan
1.
2.
3.
Selasa,
12 Maret
2013
Sabtu,
16 Maret
2013
Senin,
18 Maret
2013.
09.15-
10.35
07.30-
09.45
09.45-
11.15
Uji keterbacaan
Simulasi RPP I
Simulasi RPP II
a. Semua siswa yang menjadi subjek
uji keterbacaan diminta membaca
semua kalimat yang terdapat pada:
Buku Siswa, LKS, Lembar Soal Tes
dan Lembar Angket Respon Siswa,
kemudian menanyakan kalimat-
kalimat yang kurang dipahami.
b. Calon pengamat dan guru mitra
diminta membaca semua kalimat
pada perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian, kemudian
menanyakan kalimat-kalimat yang
kurang mereka pahami.
Selama pelaksanaan simulasi pe-neliti
bertindak sebagai guru (pengajar),
calon guru mitra dan calon pengamat
mengamati dan mengecek kesesuaian
perkiraan waktu yang tercantum pada
RPP dan LKS dengan pelaksanaan
simulasi.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
212 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Berdasarkan paparan hasil uji keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk tidak
melakukan revisi terhadap semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft II, tetapi
langsung menggunakannya pada kegiatan simulasi RPP tertentu pada hari berikutnya.
Semua data hasil pelaksanaan simulasi RPP I dan RPP II tersebut peneliti gunakan sebagai
bahan diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra untuk merevisi perangkat pembelajaran dan
instrumen penelitian draft II menjadi draft III. Dari hasil diskusi itu diperoleh masukan (data)
sebagai berikut. (1) Berdasarkan jadwal pelajaran yang berlaku di sekolah itu (SMP Negeri 2
Sukoharjo) dan juga di beberapa SMP di Sukoharjo, mata pelajaran matematika untuk satu kali
tatap muka adalah dua jam pelajaran (2 x 40 menit). (2) Berdasarkan program semester dan
kebiasaan guru mitra dan calon pengamat bahwa materi itu diajarkan dengan alokasi waktu 15
jam pelajaran dan untuk setiap KD diajarkan selama tiga jam pelajaran.
Berdasarkan paparan data hasil uji keterbacaan dan simulasi RPP I, RPP II serta hasil
diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra di atas, peneliti memutuskan untuk melakukan
revisi terhadap semua perkiraan waktu untuk beberapa kegiatan pada semua RPP, perkiraan
waktu pada semua LKS, Buku Siswa halaman 2, Revisi terhadap instrumen Lembar Observasi
Aktivitas Siswa.
Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk memperoleh data atau
masukan dari guru, siswa dan para pengamat (observer) terhadap semua perangkat pembelajaran
serta untuk mengetahui reliabelitas instrumen lembar observasi, sebagai dasar untuk melakukan
revisi (penyempurnaan) draft III menjadi draft IV (draft final). Berikut ini dipaparkan secara
singkat pelaksanaan dan hasil uji coba perangkat pembelajaran dan hasil analisisnya masing-
masing serta revisi perangkat pembelajaran berdasarkan hasil uji coba di lapangan dengan jadwal
kegiatan sebagaimana tercantum pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Jadwal Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran
No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Jml Siswa
Hadir
1.
2.
3.
Selasa, 19 Maret 2013
Senin, 8 April 2013
Selasa, 9 April 2013
07.00-08.20
07.40-09.00
08.20-09.40
Uji Coba Perangkat I
(Himpunan)
Postes LTHB Himpunan
36siswa
36 siswa
36 siswa
4.
5.
6.
Selasa, 9 April 2013
Rabu, 10 April 2013
Selasa, 23 April 2013
09.55-11.25
07.00-08.20
08.20-09.40
Uji Coba Perangkat II
(Perbandingan)
Postes LTHB
Perbandingan
36siswa
36 siswa
36 siswa
7.
8.
9.
Selasa, 30 April 2013
Selasa, 7 Mei 2013
Selasa, 4 Mei 2013
07.00-08.20
07.00-08.20
07.00-08.20
Uji Coba Perangkat III
(Aritmatika Sosial)
Postes LTHB Aritmatika
Sosial
36siswa
36 siswa
36 siswa
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 213
Siswa yang menjadi subjek uji coba perangkat ini adalah siswa kelas VII G SMP Negeri 2
Sukoharjo, sebanyak 36 siswa dengan kemampuan akademik yang beragam, ada siswa yang
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sebagai guru mitra dan pengamat pada kegiatan ini
dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6 Nama Guru Mitra dan Pengamat pada Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran
No. Nama Pekerjaan Pendidikan
Terakhir Sebagai
1. Dwi Agus Sri
Kuncoro,
S.Pd.
Guru Matematika Kelas
VII SMP Negeri 2
Sukoharjo
S1 Pendidikan
Matematika
Guru Mitra
2. Sumaryani,
S.Pd.
Guru Matematika Kelas
IX SMP Negeri 2
Sukoharjo
S1 Pend.
Matematika
Peneliti/Pengamat
kemampuan guru
3. Januar Budi
Asmari, S.Pd.
Dosen Pendidikan
Matematika Univet
Bantara Sukoharjo
Mhs. S2 Pend.
Matematika PPs
UNS
Pengamat
kemampuan guru
Rancangan yang akan digunakan dalam uji coba perangkat pembelajaran adalah two-group
design. Sampel pertama sebagai kelas eksperimen yang dikenai perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik,yaitu kelas VII G, sedangkan sampel kedua
sebagai kelas kontrol yang menggunakan perangkat pembelajaran konvensional, yaitu kelas VII
H. Sebelum dikenai perlakuan, dilakukan uji keseimbangan dengan rumus t-test independent.
Setelah diketahui data tersebut homogenitas dan normal, maka langkah selanjutnya adalah
menghitung data dengan rumus t-test sebagaimana hasil pada Tabel 7.
Berdasarkan tabel 7, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan
antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada materi aritmatika sosial. Rerata untuk kelas
eksperimen adalah 78,056 sedangkan rerata kelas kontrol adalah 68,778, sehingga prestasi belajar
matematika siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada prestasi belajar siswa pada kelas
kontol. Dengan kata lain, prestasi belajar matematika siswa yang dikenai pembelajaran dengan
pendekatan matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang
dikenai pembelajaran konvensional bagi siswa kelas VII SMP Negeri 02 Sukoharjo pada materi
aritmatika sosial. Demikian juga untuk materi Perbandingan dan Himpunan.
.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
214 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Tabel 7 Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan PembelajaranMatematika
Realistik terhadap Prestasi Belajar
N
o
Materi Normalitas Homogenitas t-test Keputusa
n
1. Aritmatika
Sosial
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
= 1,845 <
3,841
t =3,105 >
1,987
Ho
ditolak
2. Perbandingan
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
= 1,845 <
3,841
t =6,247 >
1,987
Ho
ditolak
3. Himpunan
a. Eksperimen
b. Kontrol
L= 0,126<
0,148
L= 0,136<
0,148
= 1,845 <
3,841
t =2,045 >
1,987
Ho
ditolak
Tabel 8 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola
Pembelajaran
Pertemuan (RP) I II III Rata-rata
Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D
ketidakcocokan (D) 15 3 14 4 15 3 14,67 3,33
Percentace of agreement
(R) 83,33 % 77,78 % 83,33 % 81,48 %
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Tabel 9 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Aktivitas Siswa
Pertemuan (RPP) I II III Rata-rata
Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D
ketidakcocokan (D) 158 4 159 3 157 4 158 3,7
Percentace of agreement (R) 97,53 % 98,15 % 96,91 % 97,53 %
Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 215
Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diperoleh informasi bahwa percentasce of agreement(R)
lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran maupun lembar observasi aktivitas
siswa, baik untuk setiap pertemuan maupun secara keseluruhan 75 %, berarti lembar observasi
kemampuan guru mengelola pembelajaran dan lembar observasi aktivitas siswa ini reliabel
(Grinnel, 1998:160), sehingga dapat digunakan sebagai instrumen lembar observasi draft IV (draft
final) tanpa revisi. Hal itu berarti pula bahwa data kemampuan guru mengelola pembelajaran dan
data aktivitas siswa yang dikumpulkan menggunakan kedua lembar observasi dalam pelaksanaan
uji coba perangkat pembelajaran ini valid.
Revisi perangkat pembelajaran selain perangkat tes hasil belajar siswa dari draft III menjadi
draft IV didasarkan atas hasil analisis efektivitas pembelajaran dengan menggunakan lima
indikator, yaitu: (a) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (b) aktivitas siswa, (c) respon
guru, (d) respon dan minat siswa dan (e) kesesuaian antara perkiraan waktu perencanaan dengan
pelaksanaan di kelas, maka berikut ini dipaparkan kelima data hasil uji coba perangkat
pembelajaran beserta hasil analisisnya masing-masing.
Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran untuk setiap pertemuan, tampak
bahwa pada pertemuan pertama dan kedua beberapa kemampuan guru baru mencapai cukup baik,
yaitu kemampuan guru dalam hal: (1) memotivasi siswa/mengkomunasikan tujuan pembelajaran,
(2) menghubungkan pelajaran saat itu dengan sebelumnya, (3) menginformasikan langkah-
langkah pembelajaran/membahas PR, (4) menjelaskan soal/masalah kontekstual, (5) mengarahkan
siswa untuk menemukan jawaban dan cara menjawab soal, (6) mengoptimalkan interaksi siswa
dalam bekerja, (7) memimpin diskusi kelas/menguasi kelas, (8) mengarahkan siswa untuk
menemukan sendiri dan menarik kesimpulan, (9) mengarahkan siswa untuk
membuat/menegaskan rangkuman materi pelajaran dan (10) kemampuan mengelola waktu.
Namun demikian pada pertemuan berikutnya terdapat peningkatan menuju baik, bahkan sangat
baik. Hal itu wajar mengingat pembelajaran itu masih relatif baru bagi guru mitra maupun bagi
siswa. Sedangkan bila ditinjau secara keseluruhan rata-rata kemampuan guru mengelola
pembelajaran matematika realistik dan antusias siswa adalah baik, kecuali kemampuan dalam hal
menginformasikan langkah-langkah pembelajaran/membahas PR, memimpin diskusi kelas/
menguasi kelas, dan mengelola waktu baru mencapai cukup. Berarti dari 17 komponen yang
dinilai 14 komponen (82,35%) baik dan tiga komponen (17,65%) cukup.
Pembelajaran ini efektif ditinjau dari kemampuan guru mengelola pembelajaran. Namun
demikian beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup itu akan dipertimbangkan untuk
merevisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan, yaitu dengan memperjelas beberapa
kegiatan pada RPP, khususnya pada beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup baik
dilakukan guru tersebut.
Hasil pengamatan aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran ditinjau dari
aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan dan untuk setiap
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
216 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pertemuan dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Pada pertemuan I, semua aktivitas siswa berada
pada batas toleransi waktu ideal yang ditentukan. Pada pertemuan II dan IV terdapat satu aktivitas
yang berada di bawah batas toleransi waktu ideal dan dua jenis aktivitas yang berada di atas batas
toleransi waktu ideal yang ditetapkan. (2) Aktivitas yang kurang dari batas toleransi waktu ideal
adalah mendengarkan/ memperhatikan guru dengan aktif, yaitu: 10,88 % (pertemuan II) dan 11,19
% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu ideal 15 % - 25 %. (3) Aktivitas yang melebihi
batas toleransi waktu ideal adalah membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar.
Aktivitas membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar ini sebesar 15,2%
(pertemuan II), 13,96% (pertemuan III) dan 12,11% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu
ideal 2 % - 12%. Berdasarkan paparan di atas, maka pembelajaran ini efektif ditinjau dari aktivitas
siswa. Namun demikian tiga jenis aktivitas mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru dan
membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar perlu digunakan sebagai
pertimbangan untuk melakukan revisi terhadap RPP dan LKS. Revisi tersebut adalah dengan
mengurangi beban pertanyaan pada LKS/ Buku Siswa dan merubah perkiraan waktu beberapa
kegiatan pada RPP.
Angket respon guru terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran diberikan kepada
tiga orang guru matematika masing-masing satu orang guru kelas VII, kelas VIII dan kelas IX di
SMP Negeri 2 Sukoharjo. Hasil angket menunjukkan bahwa semua guru memberikan respon
yang positif atau sangat positif, terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran matematika
realistik pada materi Aljabar ini. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, berarti pembelajaran ini
efektif, ditinjau dari respon guru.
Hasil angket respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran menunjukkan
bahwa dari 24 komponen perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sebanyak 22 komponen (91,67
%) direspon positif oleh lebih dari 60 % siswa dan dua komponen (8,33 %) direspon positif oleh
kurang dari 60 %. Sehingga berdasarkan kriteria yang ditentukan di bab IV, menunjukkan bahwa
pembelajaran tersebut efektif ditinjau dari respon siswa. Komponen yang direspon positif oleh
kurang dari 60 % siswa adalah suasana pembelajaran. Dalam hal itu justru mayoritas siswa, yakni
59,46 % menyatakan tidak senang dan hanya 40,54 % siswa yang menyatakan senang. Di
samping itu siswa yang menyatakan suasana pembelajaran itu baru hanya 54,05 % dan yang
menyatakan tidak baru 45,95%. Hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan tidak senang
dengan suasana pembelajaran itu mungkin disebabkan dalam PMR ini dituntut siswa lebih aktif
dalam belajar sejak awal pembelajaran dan guru tidak banyak memberi cara menyelesaikan
masalah. Suasana pembelajaran seperti itu sangat berbeda dari kebiasaan mereka yang banyak
pasif sebagai pendengar dan selalu dijelaskan serta diberi contoh pembahasan soal. Atau karena
biasanya kebanyakan siswa kurang suka bila disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal
atau mempresentasikan jawaban, sedangkan dalam PMR kegiatan ini merupakan kegitan inti
pembelajaran. Sedangkan hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan bahwa suasana
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 217
pembelajaran di kelas itu tidak baru, kemungkinannya adalah karena PMR ini masih relatif baru
bagi guru mitra, sehingga masih agak sulit untuk menciptakan suasana pembelajaran yang benar-
benar sesuai dengan tuntutan PMR yang tampak jelas berbeda dari biasanya.
Berdasarkan pengamatan selama uji coba perangkat pembelajaran tentang kesesuian antara
perkiraan waktu pada RPP dan LKS dengan pelaksanaan di lapangan, ternyata terdapat perkiraan
waktu pada RPP yang masih kurang tepat dengan pelaksanaan dan terdapat satu kegiatan pada
RPP yang sulit dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang kurang tepat antara perkiraan waktu pada
RPP dengan pelaksanaan antara lain kegiatan: (1) memotivasi siswa, (2) mengingatkan materi
prasyarat, (3) menyelesaikan masalah dan (4) membandingkan jawaban masing-masing kegiatan
terdapat selisih antara dua sampai tiga menit. Sedangkan satu kegiatan yang sulit dilaksanakan di
lapangan adalah penilaian proses, meskipun hanya dilakukan secara tidak formal. Hal itu
mengingat terlalu banyaknya siswa di kelas dan guru lebih memfokuskan pemberian bimbingan
terbatas secara individual pada saat siswa mengerjakan LKS dan soal latihan.
Berdasarkan analisis deskreptif terhadap: (1) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (2)
aktivitas siswa, (3) respon guru, (4) respon dan minat siswa dan (5) kesesuaian antara perkiraan
waktu perencanaan dengan pelaksanaan di kelas menunjukkan bahwa pembelajaran selama uji
coba di kelas VIIG SMP Negeri 2 Sukoharjo menggunakan perangkat PMR pada materi Aljabar
efektif. RPP, Buku Siswa, LKS dan Buku Petunjuk Guru draft III baik atau valid, meskipun untuk
menjadikannya sebagai draft IV (draft final) masih diperlukan beberapa revisi.
Beberapa revisi tersebut secara garis besar dilakukan dengan: (1) Menyesuaikan perkiraan
waktu beberapa kegiatan pada RPP dengan pelaksanaan di lapangan, (2) Memperjelas beberapa
kegiatan pada RPP, (3) Menyesuaikan halaman buku siswa, petunjuk dan alternatif jawaban pada
Buku Petunjuk Guru, dengan revisi pada Buku Siswa dan LKS serta dengan menambahkan
alternatif penyelesaian yang dilakukan siswa di lapangan. Revisi perangkat tes hasil belajar siswa
dari draft III menjadi draft IV (draft final) dalam penelitian ini adalah didasarkan dari hasil
analisis validitas dan reliabilitas perangkat tes. Berdasarkan hasil anates, secara keseluruhan
perangkat tes ini cukup dapat mengukur dengan tepat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Hasil
analisis reliabilitas perangkat tes, ternyata memiliki reliabilitas sangat tinggi, berarti perangkat tes
ini memiliki keajegan sangat tinggi untuk digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar siswa.
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti memutuskan bahwa perangkat tes hasil belajar
siswa draft III untuk dijadikan draft IV (draft final), masih memerlukan revisi. Revisi tersebut
secara garis besar dilakukan dengan cara: (1) Mengurangi banyak butir soal yang berfungsi untuk
mengukur KD yang sama, (2) Merevisi kisi-kisi tes, alternatif jawaban siswa dan pedoman
pemberian skor sesuai dengan revisi pada butir soal tes.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
218 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan diskusi hasil penelitian, melalui prosedur pengembangan
perangkat pembelajaran Model 4-D (Four D-Model) yang dimodifikasi hanya sampai pada tahap
pengembangan (develope), dapat disimpulkan bahwa: (1) Perangkat pembelajaran dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara
teoretis, (2) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di
Sekolah Menengah Pertama telah dinilai ahli dengan nilai 3 atau dapat digunakan dengan sedikit
revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan
disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas, dan
(5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.
DAFTAR PUSTAKA
Marpaung, Y. 2001. Pedekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan
pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika realistik di Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Tanggal, 14 - 15 Nopember 2001.
Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
--------------. 2001. Pemanfaatan Realitas dan lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.
Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di
UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.
Thiagarajan, S. , Semmel, D. S. dan Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Teacher
of Exceptional Children.Bloomington: Indiana University.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 219
PENGGUNAAN MODEL Connecting, Organizing, Reflecting and Extending
(CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIS SISWA SMP
Grifin Ryandi Egeten1)
, Louise M. Saija2)
1) Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: [email protected]
2) Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia
Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: [email protected]
Abstrak
Dilaporkan bahwa saat ini 70% siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah
matematis yang rendah. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada
siswa SMP merupakan masalah yang besar yang harus diatasi. Untuk itu diperlukan suatu
solusi sehingga siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang
baik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran
connecting, organizing, reflecting and extending (CORE). CORE memacu siswa lebih
kritis dalam mengumpulkan data dari suatu masalah, mempersiapakan rencana
penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah dan juga lebih teliti dalam memecahkan
suatu masalah. Oleh karena itu pada penelitian ini model CORE digunakan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Siswa SMP Negeri 1
Parongpong Bandung Barat digunakan sebagai sampel. Sampel dibagi ke dalam dua
kelompok, yaitu: kelompok kontrol, yang diberi perlakuan pengajaran konvensional dan
kelompok eksperimem yang diberi perlakuan pengajaran model CORE. Dari hasil analisis
data dengan menggunakan statistik uji- pada tingkat signifikansi = 0.05 diperoleh bahwa model pembelajaran CORE menghasilkan peningkatan kemampuan pemecahan
masalah lebih baik dibanding dengan pembelajaran konvensional. Didasarkan pada hasil
ini, model pembelajaran CORE dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.
Keywords: Model CORE, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Siswa SMP.
PENDAHULUAN
Kemampuan pemecahan masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran matematika
karena memberikan keuntungan bukan hanya pada saat belajar tetapi memberikan kesanggupan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
termasuk masalah sehari hari (Pimta et al., 2009). Klegeris et al., (2012) juga memaparkan hal
yang selaras bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah akar dari segala bentuk pendidikan
karena menyanggupkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir.
Kemampuan pemecahan masalah yang baik adalah kunci untuk mendapat solusi yang
berguna dalam pembelajaran matematika. Tindakan untuk berpikir terhadap konsep matematika
merupakan hal yang sulit bagi siswa (Huang et al., 2012). Kemampuan pemecahan masalah itu
melibatkan kesanggupan untuk melakukan pertimbangan yang baik, menganalisis, memberikan
pendapat yang membangun, dan pengembangan akan strategi maupun ide ide yang baru. Hal
tersebut didapati dalam pembelajaran matematika, dan semuannya itu berdampak pada
pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa (Woodward et al., 2012). Sajadi et al., (2013)
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
220 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
melaporkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kesulitan bagi banyak siswa karena
proses mencari solusi dari masalah tersebut kompleks.
Sebagian kecil siswa sering mencoba untuk mendorong dirinya sendiri untuk dapat
memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika, untuk menjadi lebih tekun, mampu
membuat suatu pendekatan yang berbeda, dan dapat membuat solusi (Kennedy & Stoyonova,
2012). Itu sebabnya pencapaian pembelajaran matematika anak SMP hanya kecil yaitu 6 %.
Didapati bahwa 1 % siswa yang akan belajar matematika, 29 % siswa yang akan menggunakan
matematika dalam kehidupan mendatang, dan 70 % siswa yang tidak akan pernah mau
membutuhkan matematika (Huang et al., 2012).
Model pembelajaran dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah dan menolong siswa menjadi lebih efektif dalam belajar (Sajadi et al.,
2013). Untuk menolong pencapaian yang rendah tersebut, kemampuan pemecahan masalah harus
dipertajam dengan menggunakan model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, and Extending). Model CORE berlandaskan pada teori konstruktivisme yang mampu
membuat siswa menjadi lebih aktif, kreatif, kritis, dan membangun sendiri pengetahuan yang
mendalam tentang matematika melalui sarana yang ada (Azizah et al., 2012). CORE ialah
connecting: Dalam belajar matematika siswa perlu dihubungkan pengetahuan yang sudah
dipelajari dan yang akan dipelajari karena setiap pengetahuan yang diperoleh berguna untuk
menyelesaikan masalah. Pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah bukan berasal
dari guru, melainkan diperoleh dengan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan sehingga
membangun pengetahuan yang mendalam akan matematika dan ini dapat digunakan untuk
memecahkan masalah (Marais & Nalize, 2011), organizing: mengorganisir pengetahuan tersebut
sehingga membuat suatu keterkaitan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dan pengetahuan
yang akan diperoleh. Untuk mempermudahnya siswa dapat bekerja sama dalam kelompok melalui
diskusi. Dengan berdiskusi terjadi interaksi sesama siswa dalam kelompok, hal ini membantu
siswa mengerti mengkaitkan semua informasi pengetahuan yang ada menjadi suatu rencana
pemecahan yang baik (Ase & Hansson, 2012), reflecting: siswa harus meningkatkan proses
berpikir dengan cara membuat suatu kesimpulan dari materi yang diajarkan, menyelesaikan soal
yang diberikan, dan merenung untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut, bila terdapat
kesalahan dalam menyelesaikan soal siswa dituntun untuk berpikir menemukan jawaban yang
benar dan tepat dan ini semua dilakukan di dalam kelompok masing - masing (Clark & Marie,
2009), extending: diberikan soal secara individu kepada siswa, untuk melatih siswa untuk
mengerti materi yang diajarkan. Pemberian soal yang lebih tinggi tingkat kesulitannya
memberikan sebuah kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan apa yang telah dipelajari
dan soal tersebut harus dikerjakan sendiri (Kaur & Berinderjeet, 2011).
Dengan adanya kemampuan connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan dulu dengan
sekarang), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting (membuat
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 221
kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi)mampu melatih siswa
memecahkan suatu masalah (Azizah et al., 2012). Dengan demikian model CORE dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Berdasarkan uraian diatas perlu untuk diteliti suatu penelitian ilmiah tentang penerapan
model connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE) untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.
METODE PENELITIAN
Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat diterapkan
model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE). CORE
merupakan model pembelajaran yang membantu siswa untuk belajar mandiri dengan
menggunakan teknik connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan yang sudah ada dengan yang
akan dipelajari), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting
(membuat kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi). Metode penelitian
dalam penelitian ini sebagai berikut:
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena dari awal penelitian sampai
pada tahap akhir penelitian ini menuntut penggunaan angka yang diolah dengan menggunakan
statistik.
Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini berlokasi di Parongpong Bandung Barat. Waktu untuk penelitian
adalah empat minggu, mulai dari tanggal 12 November 2013 sampai tanggal 04 Desember 2013.
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Kelas VIII di Bandung. Yang menjadi
sampel pada penelitian ini adalah sekolah SMP Negeri 1 Parongpong. Pemilihan sampel akan
dilakukan dengan teknik simple random sampling sehingga diperoleh dua kelompok yang berbeda
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen berjumlah 37 orang
dan kelompok kontrol berjumlah 36 orang.
Prosedur
Langkah langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Langkah Pertama:
Dalam melakukan penelitian ini terdapat alat dan bahan yang diperlukan untuk
menjalankan penelitian ini, bahan penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
222 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
No. Nama Bahan Peruntukan
1 Buku Paket Diperlukan untuk mengajar materi ajar.
2 Kertas (A4) Diperlukan untuk print out soal, LKK, dan LKM.
3 Spidol Untuk menulis di papan tulis
4 Tinta Printer Untuk mencetak dokumen penelitian
Sementara peralatan utama yang diperlukan dan diperuntukkan diuraikan pada tabel berikut:
No. Nama Alat Peruntukan
1 Lap Top Diperlukan guru untuk membuat soal, LKK, LKM, dan
instrument penelitian termasuk bahan ajar diluar buku paket.
2 Printer Diperlukan untuk mencetak semua soal, LKK, dan LKM.
3 LCD Menampilkan bahan ajar yang berasal dari lap top.
Langkah Kedua:
a. Memilih bahan ajar
Bahan ajar yang dipilih harus disesuaikan dengan waktu dan silabus yang ada. Bahan ajar
yang ditetapkan pada penelitian ini adalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Bahan
ajar ini untuk SMP kelas VIII dan tepat dengan waktu yang diharapkan yaitu pada bulan
November 2013.
b. Membuat RPP, LKK, LKM
Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja kelompok (LKK), dan
lembar kerja mandiri (LKM) yang sesuai dengan materi ajar yaitu SPLDV. LKK dan LKM yang
dibuat harus menuntun siswa kearah soal soal pemecahan masalah agar dapat melatih
kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini diperlukan agar mempersiapkan pengajar dalam
mengajar dengan baik pada setiap pertemuan.
c. Menyusun Instrument
Instrument yang dibuat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa.
Jumlah soal dalam instrument yaitu lima soal. Soal soal ini dibuat sesuai dengan materi, standar
kompetensi, kompetensi dasar sesuai dengan silabus dan soal soal ini dibuat dengan bimbingan
dari dosen.
Langkah Ketiga:
a. Melakukan uji coba instrumen pada sampel uji coba instrument
Instrument yang telah dibuat akan diuji cobakan pada siswa SMP kelas VIII diluar dari
sampel penelitian.
b. Menghitung uji validitas dan uji reliabilitas
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 223
Data dari hasil uji coba instrument dikumpulkan untuk dihitung validitas dan reliabilitas
instrument tersebut. Tujuan untuk mengetahui soal yang valid dan tidak valid. Soal yang valid
akan dilakukan pada pretes dan postes.
Langkah Keempat:
a. Menentapkan sampel penelitian
Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP Negeri 1 kelas VIII
Parongpong Bandung Barat.
b. Mengelompokkan sampel penelitian
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 73 siswa yang akan dibagi menjadi dua
kelompok yaitu 37 siswa kelompok eksperimen dan 36 siswa kelompok kontrol. Pembagian
kelompok ini dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.
Langkah Kelima:
a. Pretes
Soal yang telah selelah diuji cobakan dan sudah dilihat kevalidannya akan digunakan
menjadi pretest. Pretest ini diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
sebelum mulai proses belajar mengajar untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis siwa.
b. Perlakuan
Selama penelitian ini berlangsung akan diberikan perlakuan yang berbeda terhadap
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan mendapat perlakuan
model pembelajaran CORE dan kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran
konvensional. Perlakuan akan dilakukan selama delapan pertemuan sesuai dengan RPP yang
dibuat.
c. Postes
Soal yang diberikan pada pretest akan diberikan juga pada pertemuan terakhir pada
penelitian ini dengan kompetensi dasar yang sama bentuk soal yang sama namun berbeda
kandungan angka pada setiap soal. Postes juga menjadi bagian untuk mengukur kemampuan
pemecahan masalah matematis.
Langkah Keenam:
Data dikumpulkan dengan menggunakan instrument (soal pretest postest) untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Data dari kedua kelompok dianalisis dengan menggunakan statistic uji-t
namun sebelumnya normalitas distribusi data setiap kelompok terlebih dahulu diuji melalui uji
normalitas. Selanjutnya kehomogenan varians kedua data juga diuji melalui uji homogenitas. Dari
hasil statistik uji-t akan didapat informasi perbedaan tingkat kemampuan pemecahan masalah dari
kedua kelompok. Mengacu pada hasil uji-t maka dapat ditarik suatu kesimpulan.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
224 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Langkah Ketujuh:
Menarik kesimpulan yang menunjukkan bahwa model CORE mampu meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis siswap SMP dan model CORE ini pantas digunakan
sebagai model pembelajaran matematika dalam proses belajar mengajar.
Data, Instrument, dan Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan langkah langkah diatas, data akan diperoleh dari hasil tes kemampuan
pemecahan masalah pretes dan postes dengan menggunakan instrumen penelitian yang ada.
Instrumen penelitian ini terdiri dari lima soal mewakili semua kompetensi dan valid. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi dan data dari hasil pretes
postes. Kuesioner tentang sikap siswa terhadap model pembelajaran yaitu model CORE, soal
soal pemecahan masalah, serta pelajaran matematika.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis validitas butir soal, analisis
reliabilitas, uji normalitas, dan uji beda dua rata rata (uji t). Analisis validitas butir soal
digunakan untuk melihat kevalidan dari instrument yang dibuat, analisis reliabilitas untuk melihat
soal yang diandalkan, uji normalitas untuk melihat data merupakan sebaran secara normal
sehingga dapat dilakukan perhitungan statistik, dan uji beda dua rata rata digunakan untuk
melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan model CORE dibanding dengan
konvensional.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini belum selesai dilakukan, masih dalam proses. Penelitian dengan model
CORE untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sudah pernah diteliti oleh Wijayanti
tahun 2012 dengan judul penerapan model connecting, organizing, reflecting, and extending
(CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP yang
dilakukan di Bandung menarik kesimpulan bahwa: 1) Siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model CORE terbukti mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah. 2)
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran
dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model
konvensional. 3) Siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan model
CORE. Wijayanti menerapkan model CORE pada kelas VIII dengan materi bangun ruang sisi
datar dan membuat kelompok. Ada juga penelitian yang dibuat oleh Kumalasari dengan judul
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP melalui pembelajaran
matematika model CORE menarik kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis kelompok eksperimen siswa yang belajar dengan model CORE lebih baik
daipada kelompok kontrol yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini,
terdapat beberapa nilai baru yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan model
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 225
CORE dengan materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Cara membuat kelompok
pada model CORE menggunakan rangking pertemanan, tidak hanya dari hasil pretes dan postes.
Dengan perbedaan tersebut akan diteliti apakah model CORE dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa SMP?
SIMPULAN DAN SARAN
Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang disajikan pada penelitian ini adalah
pembelajaran matematika dengan menggunakan model connecting, organizing, reflecting, and
extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.
DAFTAR PUSTAKA
Ase dan Hansson. (2012). The Meaning of Mathematics Instruction in Multilingual Classroom:
Analyzing the Importance of Responsibility for Learning. Education Study
Mathematics, 81: 103 125.
Azizah L, Mariani S, dan Rochmad. (2012). Development of Devices The CORE Model
Constructivism Mathematic Connection. Unnes Journal of Mathematics Education
Research, 2 (1), 101.
Clark dan Marie A. (2009). When Privilege Meets Poverty: Using Poetry in The Process of
Reflection. Journal on Excellence in College Teaching, v20 n2 p125 142.
Huang T H, Liu Y C, dan Chang H C. (2012). Learning Achievement in Solving Word-Based
Mathematical Questions through a Computer-Assisted Learning System. Educational
Technology & Society, 15 (1), 248 259.
Kennedy dan Stoyonova N. (2012). What are You Assuming?. Mathematics Teaching in Middle
School, v18 n2, 86 91.
Kaur dan Berinderjeet. (2011). Mathematics Homework: A Study of Three Grade Eight
Classrooms in Singapore. International Journal of Science and Mathematics Education,
v9 n1 p187 206.
Klegeris A, Bahniwai M, dan Hurren H. (2013). Improvement in Generic Problem-Solving
Abilities of Students by Use of Tutor-less Problem-Based Learning in Large Classroom
Setting. Life Sciences Education, Vol. 12, 73 79.
Marais, dan Nalize. (2011). Connectivism as Learning Theory: The Force Behind Changed
Teaching Practice in Higher Education. Journal for Education and Social Enterprise,
v4 n3 p173 182.
McDonald B. (2013). Evaluation instruments used in Problem-Based Learning. University of
Trinidad and Tobago.
Pimta S, Tayruakham S, dan Nuangchalerm P. (2009). Factors Influencing Mathematic Problem-
Solving Ability of Sixth Grade Students. Journal of Social Sciences, 5(4), 381 385.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
226 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Polya. G. (2008). How to Solve It. United States of America: Princeton University Press.
Sajadi M, Amiripour P, dan Malkhalifeh M R. (2013). The Examining Mathematical Word
Problems Solving Ability under Efficient Representation Aspect. Mathematics
Education Trends and Research, 1 11.
Woodward J, Beckmann S, Driscoll M, Franke M, Herzig P, Jitendra A, Koedinger K R, dan
Ogbuehi P. (2012). Improving Mathematical Problem Solving in Grades 4 Through 8.
Institute of Education Sciences, p6.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 227
STUDI LITERATUR: PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM
MENINGKATKAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SISWA
Nur Wahidin Ashari
Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI
Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154,
email: [email protected]
Abstrak
Peningkatan kemampuan Mathematical Higher Order Thinking sudah menjadi
tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Namun kenyataanya beberapa hasil studi
memperlihatkan bahwa kemampuan Mathematical Higher Order Thinking siswa di
Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini diakibatkan karena masalah matematika
yang diberikan disekolah masih tergolong dalam Lower Order Thinking yang
sifatnya rutin. Selain itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa
startegi pembelajaran yang digunakan guru masih monoton dan berpusat pada guru.
Sesuai dengan Taksonomi Bloom yang telah direvisi Lower Order Thinking
mencakup mengingat, mengetahui, dan mengaplikasikan sedangkan Higher Order
Thinking mencakup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Studi literatur ini
mengkaji tentang pengaruh strategi scaffolding terhadap kemampuan Higher Order
Thinking siswa.
Kata kunci: Higher Order Thinking, Taksonomi Bloom, Strategi Scaffolding
PENDAHULUAN
Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi-operasi mental, seperti induksi,
deduksi, klasifikasi dan penalaran, selain itu berpikir adalah sebuah proses representasi secara
simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi itu
untuk menemukan prinsip-prinsip esensial objek dan kejadian tersebut, berpikir diartikan pula
sebaai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan
inferensi atau judgment yang baik. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa berpikir merupakan
suatu proses mengolah informasi yang melibatkan operasi mental dan menghasilkan suatu
representasi secara simbolis dari informasi tersebut (Arends, 2008, 43).
Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis
diklasifikasikan menjadi dua tingkat berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.
Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,
digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,
kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi
matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).
Peningkatan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi sudah selayaknya menjadi
tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Kemampuan bepikir khususnya berpikir tingkat tinggi
perlu mendapat perhatian yang serius karena sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
228 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
pembelajaran matematika masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah
yang bersifat prosedural (Suryadi, 2012, 2).
Higher Order Thinking berarti memberi tantangan dan mengembangkan penggunaan
pikiran, sedangkang lower thinking berarti, rutin, penerapan mekanistis dan tidak berpikir secara
luas. Tantangan disini berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
penggunaan pikiran. Hal ini akan muncul ketika siswa harus menginterpretasi, analisis, atau
memanipulasi informasi. Masalah disini tidak akan terpecahkan melalui penerapan pengetahuan
sebelumnya secara rutin (Newmann, 1988).
Higher order thinking juga dapat dilihat dari Taxonomy of Educational Objective dari
Bloom, yang dikenal sebagai Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom membagi dua tingkat
pemikiran kognitif yaitu Lower Order Thinking dan Higher Order Thinking, seperti yang di
jelaskan oleh (Thompson, 2008) yaitu
The thinking skills in Bloom Taxonomy considered LOT include knowledge and
comprehension, while the thinking skills of analysis, synthesis and evaluation are
considered HOT. Application often falls into both categories.
Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher
order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur fitur utama dari kemampuan berpikir
tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur fitur tersebut
yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu: (1) non algorithmic, (2) komplex, (3)
multiple solutions (banyak solusi), (4) melibatkan nuance judgment dan interpretasi, (5) multiple
criteria (banyak kriteria), (6) uncertainty (ketidakpastian), (7) melibatkan self-regulation proses
proses berpikir, (8) melibatkan imposing meaning (menentukan makna), (9) bersifat effortful
(membutuhkan banyak usaha).
Berkaitan dengan masalah yang membutuhkan Higher order thinking, siswa Indonesia pada
umumnya belum bisa menyelesaikannya. Hal ini juga diperjelas oleh hasil TIMSS untuk kelas
dua SLTP (eight grade), memperlihatkan bukti lebih jelas bahwa soalsoal matematika tidak rutin
yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab
dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2012,2). Hal ini dikarenakan berpikir tingkat
tinggi berbeda dari perilaku yang lebih konkret, sifatnya kompleks dan tidak dapat diturunkan
menjadi rutinitas rutinitas yang lebih pasti (Arends, 2008,43).
Kebanyakan siswa sudah mampu mencapai lower thinking namun sebagian kecil siswa
yang mampu higher order thinking. Bahkan menurut penilaian 3 tahunan PISA at Galance
2009 (OECD, 2010) tidak lebih dari 10% siswa di Indonesia yang bisa mencapai higher order
thinking dan berada pada peringkat 63 dari 65 negara.
Menanggapi masalah siswa yang pada umumnya tidak mampu menyelesaikan masalah
yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, telah banyak berkembang model model
pembelajaran untuk mengatasi masalah ini. Namun, dilain pihak ketarampilan berpikir tingkat
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 229
tinggi tidak dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan pendekatan yang dirancang untuk
mengajarkan ide ide dan ketarmpilan konkret (Arends, 2008, 44).
PEMBAHASAN
Higher Order Thinking
Solso, (1995) menyatakan bahwa berpikir adalah proses dimana representasi mental baru
dibentuk melalui transformasi informasi oleh interaksi yang kompleks dari sifat mental dari
penilaian, abstraksi, penalaran, membayangkan dan pemecahan masalah.
Mayer (Solso, 1995) menyatakan bahwa terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu:
(1) Berpikir bersifat kognitif yaitu, menghasilkan secara internal dalam akal namun
disimpulkan dari perilaku.
(2) Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam
sistem kognitif.
(3) Berpikirdiarahkan untukdanmenghasilkanperilaku"memecahkan" masalahataudiarahkan
padasolusi.
Sedangkan menurut (Arends, 2008) definisi berpikir adalah:
(1) Sebuah proses yang melibatkan operasi operasi mental, seperti induksi, deduksi,
klarifikasi, dan penalaran.
(2) Sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian
riil dan menggunakan representasi simbolis itu untuk menemukan prinsip prinsip esensial
objek dan kejadian tersebut. Representasi simbolis (abstrak) itu biasanya diperbandingkan
dengan operasi operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus kasus tertentu di
tingkat konkret.
(3) Kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan
inferensi atau judgement yang baik.
Sebaiknya sekolah lebih memberikan pembekalan pada siswa untuk berpikir. Siswa harus
dilatih untuk mempertanyakan isi, misalnya membedakan antara fakta dan opini, kesimpulan
sementara dan kesimpulan tetap, faktor yang relevan dan yang tidak relevan; generalisasi yang
yang benar, mengadakan klasifikasi dan sebagainya (Harsanto, 2011).
Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis
diklasifikasikan menjadi dua tingkat, berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.
Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,
digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,
kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi
matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher
order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur fitur utama dari kemampuan berpikir
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
230 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur fitur tersebut
yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu:
(a) Higher order thinking bersifat non algorithmic, artinya, jalur tindakan tidak ditetapkan
sebelumnya.
(b) Higher order thinking cenderung bersifat komplex. Jalur totalnya tidak visibel (secara
mental) dilihat dari sudut manapun.
(c) Higher order thinking sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi), masing
masing dengan kerugian dan keuntungannya masing masing, dan bukan sebuah solusi
tunggal.
(d) Higher order thinking melibatkan nuance judgment and interpretasi.
(e) Higher order thinking melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria), yang
kadang kadang bertentangan satu sama lain..
(f) Higher order thinking sering melibatkan uncertainty (ketidakpastian). Tidak semua yang
berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui.
(g) Higher order thinking melibatkan self-regulation proses proses berpikir. Kita tidak dapat
menengarai higher order thinking dalam individu bila orang lainlah yang menentukan
setiap langkahnya.
(h) Higher order thinking melibatkan imposing meaning (menentukan makna), menemukan
struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan.
(i) Higher order thinking bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak
pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.
Tahun 1956 Bloom menyampaikan gagasan dalam bentuk taksonomi yang dikenal dengan
Taksonomi bloom yang disajikan dalam bentuk hirarki. Taksonominya bloom memberikan
pemetaan ranah kognitif dalam kategori berpikir. Bloom membagi tingkat berpikir menjadi enam
tingkatan yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis, dan berpikir evaluative atau
berpikir kreatif (evaluation).
Tahun 1990-an Lorin Anderson, murid dari Bloom membuat revisi dari taxonomy gurunya.
Revisi yang dilakukan oleh Anderson ini menggunakan kata kerja dari setiap kategori dan
penyusunan kembali tahapan-tahapan yang ada di dalam taxonomy sebelumnya.
Menurut (Thompson, 2008, 98) Kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom
mempertimabangkan LOT mencakup pengetahuan dan pemahaman, sementara kemampuan
berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi dikategorikan sebagai HOT. Aplikasi berada
dianatara baik HOT maupun LOT.
a. Menganalisis
Tujuandomain menganalisismencakup belajaruntuk menentukanbagianyang relevan
ataupenting dari sebuahpesan (membedakan),cara-caradi manabagian -
bagianpesaninidiatur(mengorganisir)dan tujuandasar daripesan(menghubungkan)
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 231
5 17
3 11
10 25
9 15
31
(a) Membedakan melibatkan membandingkan bagian-bagian dari seluruh struktur dalam hal
relevansi atau pentingnya. Membedakan terjadi ketika seorang siswa mendiskriminasikan
informasi relevan dari informasi yang tidak relevan, atau informasi penting dari informasi
yang tidak penting, dan kemudian berada pada informasi yang relevan atau penting.
(b) Mengorganisirmelibatkan identifikasiunsur-unsurkomunikasiatau situasidan
mengenalibagaimana mereka cocok bersamake dalam strukturyang jelas. Dalam
mengorganisir, mahasiswamembangun koneksisistematis dan
koherenantarabagianinformasi yang disajikan.Pengorganisasianbiasanya
terjadiinconjuctiondengan membedakan. Istilahalternatif untukpengorganisasian
adalahmenyusun, mengintegrasikan, menemukankoherensi,menguraikan, dan melakukan
pengecekan.
(c) Menghubungkanterjadi ketikasiswamampumemastikansudut pandang, prasangka, nilai-
nilai, atau tujuan komunikasidasar. Menghubungkanmelibatkanprosesdekonstruksi, di mana
siswamenentukanmaksuddaripenulismateri yang disajikan. Sebuahistilahalternatif
adalahmendekonstruksi. Menghubungkandapat dinilaidengan menyajikanbeberapa
materitertulis atau lisandan kemudianmemintasiswa untukmembangun
ataumemilihdeskripsi daripenulisatau titikpandangpembicara, niat, dan sejenisnya.
Dalam Taksonomi Bloom, tingkat analisis adalah di mana siswa menggunakan
pertimbangan sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang telah mereka pelajari. Pada
poin ini, mereka mulai memahami struktur yang mendasari untuk pengetahuan dan juga mampu
membedakan antara fakta dan opini (Kelly, 2002).
Salah satu jalan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah adalah guru
mengajukan pertanyaan bagaimana jika? (what if ?). Harta, (2008) menyatakan bahwa
pertanyaan ini membuat siswa memeriksa kembali soal dan melihat apakah pengaruh perubahan
ini terhadap proses penyelesaian dan juga jawabannya. Dengan jalan ini siswa akan menganalisa
apa yang terjadi sehingga akan meningkatkan berfikir kritisnya. Berikut contohnya.
Yani mengambil empat kartu bilangan bernilai 31, 5, 9 dan
10. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan
tersebut?
Dengan proses penjumlahan sederhana diperoleh
jawaban 55. Sekarang ajukan pertanyaan:
Bagaimana jika?
Bagaimana jika Yani mengambil empat kartu dengan total nilai 55? Kartu bilangan manakah
yang diambilnya?
Banyak jawaban terhadap pertanyaan ini. Artinya, terdapat banyak jawaban benar. Soal
terakhir ini lebih memerlukan analisa, bukan sekedar latihan penjumlahan.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
232 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
b. Mengevaluasi
Evaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria
yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Itu dapat
ditentukan oleh siswa atau diberikan kepada siswa oleh orang lain. Kategori
mengevaluasitermasukproseskognitifpemeriksaan(penilaian tentang konsistensi internal) dan
mengkritisi(penilaian berdasarkan kriteriaeksternal)
(a) Memeriksamelibatkan pengujianuntukketidakkonsistenaninternal ataukesalahandalam
operasiatau hasil.Sebagai contoh, memeriksaterjadi jikates siswaapakahkesimpulanmuncul
daripremisnya,apakah datamendukung atautidak mendukunghipotesis.Alternatifistilahuntuk
memeriksamenguji,mendeteksi,memonitor,dan mengkoordinasi.Dalam
memeriksa,siswamelihatketidakkonsistenaninternal.
(b) Mengkritisimelibatkanmenilaisuatu produkatau operasiberdasarkan kriteriaeksternalyang
dikenakandan standar. Dalammengkritisi, siswamencatatfiturpositif dannegatif dariproduk
danmembuatpenilaian berdasarkansetidaknya sebagianpada fiturtersebut.
Istilahalternatifmenilai. Dalammengkritisi, seorang siswa dapatdiminta
untukkritikhipotesisnyasendiri ataupenciptaan atauyang dihasilkan olehorang lain.
Kritikdapat didasarkan padajenispositif, negatif, atau keduanyakriteriadan
hasilbaikkonsekuensi positifdan negatif.
Dalam taksonomi Bloom, tingkat evaluasi adalah tingkat dimana siswa membuat penilaian
tentang nilai gagasan, sesuatu, bahan, dan banyak lagi. Pada tingkat ini, siswa diharapkan
membawa semua yang telah mereka pelajari untuk melakukan evaluasi materi yang
diinformasikan dan diperdengarkan (Kelly, 2002).
Salah satu cara untuk melihat keterampilan siswa dalam menganalisis adalah menanyakan
pertanyaan seperti (apakah yang akan kamu lakukan?). Harta (2008) menyatakan bahwa
pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis. Setelah menjawab
pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan ini dapat
didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa. Akan
tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut.
Penjelasan ini bisa dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi siswa kesempatan untuk
melatih keterampilan komunikasinya. Berikut contohnya, di suatu kota terdapat dua system tarif
taksi, tarif lama dan tarif baru. Biaya tarif lama adalah Rp 4000 + Rp250/km, sedangkan tarf
baru Rp5000 + Rp200/km. Apabila anda memerlukan taksi, taksi manakah yang akan dipilih?
mengapa?
c. Mencipta (C6)
Menciptakanmelibatkanpenempatan unsur-unsursecara
bersamauntukmembentukkeseluruhanyang koherenataufungsional, yaitu, menata
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 233
kembalielemenke dalampolabaruatau struktur. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong
dalam kategori ini, yaitu: membuat, merencanakan, dan memproduksi.
(a) Membuat: menguraikan suatu masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai kemungkinan
hipotesis yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan hipotesis
untuk memecahkan permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan.
(b) Merencanakan: merancang suatu metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Contoh:
merancang serangkaian percobaan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
Memproduksi: membuat suatu rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk
memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau juga membuat) suatu alat yang akan digunakan
untuk melakukan percobaan.
Srategi Scaffolding
Strategi khususnya dalam pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang wajib
dilakukan. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung di kelas berjalan
dengan lancar, sesuai dengan apa yang diinginkan dan mencapai hasil yang memuaskan
sebagaimana semua guru menginginkannya
Strategi dalam kaitannya pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang
sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar
pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa
tercapai secara optimal (Suherman dkk, 2003.) Tentunya semua guru berharap pembelajaran
yang dilaksanakannya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pembelajaran scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky
tentang assisted learning. Teknik ini dimulai dengan pemberian dukungan belajar secara lebih
terstruktur berupa motivasi, bimbingan serta bantuan kemudian secara berjenjang menuntun
siswa ke arah kemandirian belajar.
Menurut Hogan dan Pressley (dalam Lagne, 2002) terdapat lima teknik pembelajaran
scaffolding, yaitu :
(1) Pemberian model perilaku yang diharapkan
Modeling umumnya langkah pertama dalam pembelajaran scaffolding. Hal ini didefinisikan
sebagai "perilaku mengajar yang menunjukkan bagaimana orang harus merasa, berpikir atau
bertindak dalam situasi tertentu.
(2) Pemberian penjelasan
Selain model, sangat penting bagi guru untuk memberikan penjelasan, yang seharusnya
"pernyataan eksplisit disesuaikan agar sesuai dengan pemahaman peserta didik 'muncul tentang
apa yang sedang dipelajari (pengetahuan deklaratif atau preposisi), mengapa dan kapan digunakan
(pengetahuan bersyarat atau situasional), dan bagaimana digunakan (pengetahuan prosedural) "
(3) Mengundang siswa berpartisipasi
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
234 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Terutama pada tahap awal scaffolding, seorang instruktur harus mengundang partisipasi
siswa dalam bekerja. Praktek ini melibatkan siswa dalam belajar dan menyediakan dengan
kepemilikan pengalaman belajar. Siswa mungkin diajak untuk berpartisipasi secara lisan atau
dia mungkin akan diminta untuk datang ke depan kelas dan menyumbangkan ide atau
strateginya secara tertulis. Ketika siswa menyumbangkan ide ide mereka tentang suatu topik
atau keterampilan, guru bisa menambahkan ide sendiri untuk memandu diskusi. Jika pemahaman
siswa tidak benar atau hanya sebagian benar, guru dapat memperbaiki mereka dan memperbaiki
penjelasannya.
(4) Menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman siswa
Sebagai hasil dari pengalaman siswa terhadap materi baru, penting bagi guru untuk
terus menilai pemahaman mereka dan menawarkan umpan balik. "Memeriksa pemahaman siswa
dan mengklarifikasi" pada dasarnya adalah menawarkan umpan balik afirmatif untuk pemahaman
masuk akal, atauumpan balik perbaikan untuk pemahaman tidak masuk akal.
(5) Mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Sedangkang Vygotsky mengidentifikasi empat tahap pembelajaran scaffolding Byrnes
(Lagne, 2002) yaitu:
(1) Tahap pertama adalah pemodelan, dengan penjelasan verbal.
(2) Tahap kedua adalah peniruan siswa dari keterampilan yang telah mereka lihat atau
dimodelkan oleh guru mereka, termasuk penjelasan. Selama fase ini, guru harus terus-
menerus menilai pemahaman siswa dan sering menawarkan bantuan dan umpan balik.
(3) Tahap ketiga adalah periode ketika instruktur mulai menghapus bimbingannya atau
scaffolding-nya. Guru mengurangi untuk menawarkan bantuan dan umpan balik kepada
murid-muridnya ketika murid murid mereka mulai menguasai konten.
(4) Pada tahap empat, para siswa telah mencapai tingkat ahli penguasaan. Mereka dapat
melakukan tugas baru tanpa bantuan dari guru mereka.
Secara operasional (Syamsiah, 2008), strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh
melalui tahapan-tahapan berikut:
(1) Mengecek hasil belajar sebelumnya
(a) Assesmen keterampilan atau pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh siswa berkaitan
dengan tugas belajar baru yang akan diberikan. Assesmen hendaknya dilakukan secara
perseorangan melalui interaksi langsung dengan masing-masing siswa.
(b) Menentukan the Zone of Proximal Development (ZPD) untuk masing-masing siswa. Siswa
kemudian dapat dikelompokkan menurut level perkembangan awal yang dimiliki dan atau
yang membutuhkan ZPD yang relatif sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan
kemajuan rata-rata kelas dapat diberi perhatian khusus.
(2) Merancang tugas-tugas belajar (aktivitas belajar scaffolding)
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 235
(a) Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat
membantu siswa melihat sasaran tugas yang diharapkan akan mereka lakukan.
(b) Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan
(motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh.
(3) Memantau dan memediasi aktifitas dalam belajar
(a) Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar diikuti dengan pemberian dukungan
seperlunya. Kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan
membiarkan siswa menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
(b) Memberikan dukungan kepada siswa dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci,
dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian
belajar dan pengarahan diri.
(4) Mengecek dan mengevaluasi belajar
(a) Hasil belajar yang dicapai, bagaimana kemajuan belajar setiap siswa.
(b) Proses belajar yang digunakan, apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan
diri dalam belajar.
(c) Tentang diri siswa, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar dan
mencapai kemandirian dalam belajar.
Kaitan Higher Order Thinking dengan Strategi Scaffolding
Interaksi sosial anak dengan orang yang lebih pakar dan dengan lingkungannya secara
signifikan sangat mempengaruhi cara berpikir siswa dan caranya menginterpretasi situasi. Ia
mengembangkan intelektualnya melalui internalisasi konsep berdasarkan interpretasinya sendiri
yang terjadi dalam sosial setting. Komunikasi yang terjadi dengan orang yang lebih pakar
membantu siswa mengkonstruk suatu pemahaman konsep (Nusu,2010).
Stuyf (Nusu, 2010) menyatakan bahwa peran guru atau pakar menjadi kunci teori ini
melalui bimbingan yang diberikan kepada anak, sehingga anak sanggup mencapai sesuatu yang
tidak berada pada level kemampuannya sendiri. Mereka beralih dari level aktual ke level
potensialnya. Anak tidak dianggap sebagai saintis yang mencoba penyelesaian, akan tetapi aktif
belajar dibimbing oleh orang yang lebih pakar. Dipercaya bahwa anak dapat diajar secara efektif
menggunakan teknik scaffolding pada daerah ZPD. Guru mengaktifkan daerah ini saat
mengajarkan konsep di atas tingkat keterampilan dan pengetahuan yang ada pada siswa yang
mendorong mereka untuk melampaui tingkat keterampilan terakhir mereka. Siswa diarahkan dan
dibimbing melalui aktivitas belajar yang berfungsi sebagai jembatan interaktif untuk membawa
mereka ke tingkat berikutnya. Dengan demikian siswa mengembangkan dan mengkonstruk
pengetahuan baru melalui elaborasi pengetahuan sebelumnya dengan support yang disiapkan oleh
pakar. Tanpa pengalaman belajar terbimbing dan interaksi sosial, maka pengembangan belajar
akan terhambat.
-
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1
236 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3
Saat pemberian masalah (matematika) yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi
siswa, tidak menuntut kemungkinan banyak siswa yang membutuhkan bantuan dari guru. Hal ini
dimungkinkan karena kebanyakan siswa masih belum terbiasa dalam menyelesaikan masalah
yang demikian. Olehnya itu bantuan yang intensif dari seorang guru pada tahap awal sangat
dibutuhkan. Tahap awal ini merupakan tahap awal dalam strategi pembelajaran scaffolding.
Bantuan yang intensif pada tahap awal dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang
menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berupa bantuan secara individu ataupun
kelompok oleh guru. Bantuan ini akan membentuk cara berpikir siswa dalam menyelesaikan soal.
Pada saat siswa mendapat kesulitan