Ruang-3

78
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 205 IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Utami Murwaningsih, Erika Laras Astutiningtyas Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo E-mail: [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian: (1) Terlaksananya pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) Melakukan penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran, (3) Melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) Melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) Menghasilkan perangkat pembelajaran di Sekolah Menengah Pertama.Metode penelitian adalah pengembangan model 4-D (four D model) . Subjek uji coba terbatas perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo tahun pelajaran 2012/ 2013. Hasil penelitian: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2) Perangkat pembelajaran telah dinilai ahli dengan nilai tiga atau dapat digunakan dengan sedikit revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas,dan (5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Kata kunci:perangkat pembelajaran, pendekatan pembelajaran matematika realistik PENDAHULUAN Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (1999: 41), sifat abstrak tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika sekolah. Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut sehingga memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Sebagai guru perlu memahami cara-cara penyampaian materi pelajaran. Di samping penguasaan materi, cara menyajikan atau menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang guru matematika. Standar proses pembelajaran yang ditetapkan pemerintah melalui Permendiknas No. 41 tahun 2007 yaitu, mendorong siswa dan guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Kenyataan yang ada di SMP Negeri 2 Sukoharjo, pembelajaran matematika masih menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu pembelajaran yang dimulai dari definisi atau teorema, contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal penerapan dalam masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan pembelajaran berpusat pada guru (guru aktif dan siswa pasif). Guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima. Kesempatan bagi siswa untuk melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi antara siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru kurang dikembangkan. Pembelajaran tersebut tidak memberi kedempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif

Transcript of Ruang-3

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 205

    IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN

    MATEMATIKA REALISTIK DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

    Utami Murwaningsih, Erika Laras Astutiningtyas

    Program Studi Pendidikan Matematika FKIP

    Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

    E-mail: [email protected]

    ABSTRAK

    Tujuan penelitian: (1) Terlaksananya pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan

    pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) Melakukan

    penilaian ahli terhadap perangkat pembelajaran, (3) Melakukan uji terbatas keterbacaan dan

    simulasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) Melakukan uji coba terbatas perangkat

    pembelajaran dan instrumen penelitian, dan (5) Menghasilkan perangkat pembelajaran di Sekolah

    Menengah Pertama.Metode penelitian adalah pengembangan model 4-D (four D model) . Subjek

    uji coba terbatas perangkat pembelajaran adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sukoharjo tahun

    pelajaran 2012/ 2013. Hasil penelitian: (1) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan

    Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara teoretis, (2)

    Perangkat pembelajaran telah dinilai ahli dengan nilai tiga atau dapat digunakan dengan sedikit

    revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan

    disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas,dan

    (5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.

    Kata kunci:perangkat pembelajaran, pendekatan pembelajaran matematika realistik

    PENDAHULUAN

    Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan

    siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (1999: 41), sifat abstrak

    tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika sekolah.

    Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut sehingga

    memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Sebagai guru perlu memahami cara-cara

    penyampaian materi pelajaran. Di samping penguasaan materi, cara menyajikan atau

    menyampaikan materi matematika merupakan syarat mutlak yang harus dikuasai seorang guru

    matematika. Standar proses pembelajaran yang ditetapkan pemerintah melalui Permendiknas No.

    41 tahun 2007 yaitu, mendorong siswa dan guru melakukan aktivitas eksplorasi, elaborasi, dan

    konfirmasi.

    Kenyataan yang ada di SMP Negeri 2 Sukoharjo, pembelajaran matematika masih

    menggunakan pembelajaran secara konvensional, yaitu pembelajaran yang dimulai dari definisi

    atau teorema, contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal penerapan dalam masalah yang

    menyangkut kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan pembelajaran berpusat pada guru (guru aktif

    dan siswa pasif). Guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima. Kesempatan

    bagi siswa untuk melakukan refleksi dan negosiasi melalui interaksi antara siswa dengan siswa,

    dan siswa dengan guru kurang dikembangkan. Pembelajaran tersebut tidak memberi kedempatan

    kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif dan menemukan berbagai alternatif

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    206 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    pemecahan masalah. Pada akhirnya siswa menghafalkan saja semua rumus atau konsep tanpa

    memahami maknanya dan tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Pembelajaran matematika realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang

    menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal dalam

    proses pembelajaran. Siswa diminta mengorganisasikan dan mengidentifikasikan aspek-aspek

    matematika yang terdapat pada masalah tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mendeskripsikan,

    menyederhanakan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual tersebut menurut

    cara mereka sendiri baik secara individu maupun kelompok, berdasarkan pengalaman atau

    pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, para

    siswa diharapkan dapat menggunakan masalah kontekstual tersebut sebagai sumber munculnya

    konsep atau pengertian-pengertian matematika yang meningkat abstrak (Soedjadi, 2001:3).

    Menurut Marpaung (2001: 4 5), PMR ini memiliki prospek lebih berhasil untuk

    diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya, seperti pendekatan

    strukturalistik, empiristik dan mekanistik. Karena pendekatan strukturalistik, bagi siswa terlalu

    abstrak, sehingga sangat sedikit siswa yang mampu memahami struktur itu. Pendekatan

    empiristik, lebih mudah diterima siswa, tetapi kurang berarti dalam kemampuan matematis, sebab

    kurang memuat komponen matematika vertikal. Pendekatan mekanistik boleh dikatakan tidak ada

    maknanya dilihat dari sudut matematika, karena kurang menanamkan pengertian. Sedangkan

    PMR bertolak dari masalah-masalah yang kontekstual, siswa aktif, guru berperan sebagai

    fasilitator, anak bebas mengeluarkan idenya, siswa sharing ide-idenya, artinya mereka bebas

    mengkomunikasikan ide-idenya. Guru membantu membandingkan ide-ide dan membimbing

    untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang lebih baik. Sehingga, dalam PMR

    pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan

    contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat,

    definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui

    penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. PMR mendorong

    siswa untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang

    diperolehnya.

    De Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses conceptual

    mathematizing atau matematisasi konseptual, yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1

    berikut.

    Gambar 1Matematisasi Konseptual (Conceptual Mathematizing)

    (a)

    (b) (c)

    (d) Real World

    Mathematizing and Reflection Mathematizing in Aplication

    Abtraction and Formalization

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 207

    Berdasar uraian di atas, pembelajaran matematika perlu diarahkan pada aktivitas-aktivitas

    yang mendorong siswa untuk belajar secara aktif baik mental, fisik maupun sosial. Salah satu

    upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengaitkan konsep-konsep matematika dengan

    pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pendekatan pembelajaran yang

    berorientasi pada pembelajaran siswa aktif dan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-

    hari adalah pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

    Penelitian pengembangan perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran

    Matematika Realistik yang telah dilaksanakan peneliti pada tahun pertama, telah menghasilkan:

    (1) Penetapan dan pendefinisian segala sesuatu yang diperlukan dalam pembelajaran, dengan

    menganalisis tujuan dan batasan materi pelajaran; (2) Perancangan perangkat pembelajaran

    sehingga diperoleh prototipe perangkat pembelajaran contoh yang meliputi (a) penyusunan tes

    beracuan patokan, (b) pemilihan media, (c) pemilihan format dan (d) perancangan awal bahan ajar

    matematika dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik yang meliputi: (1) Rencana

    Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan

    (5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP.

    Peneliti perlu melanjutkan penelitian tahun kedua yang akan melakukan uji terbatas

    terhadap perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada tahun pertama. Penelitian tahun

    kedua ini didasarkan atas dua pertimbangan. Pertimbangan pertama, bahwa pengembangan

    perangkat pembelajaran yang dilakukan pada tahun pertama belum dilakukan expert judgement

    yang menilai kualitas perangkat pembelajaran yang telah dihasilkan, sehingga ada perbaikan

    sebelum diuji cobakan. Pertimbangan kedua, bahwa pengembangan perangkat pembelajaran yang

    dilakukan pada tahun pertama baru pada tahap pendefinisian dan perancangan perangkat

    pembelajaran, belum di uji cobakan, sehingga perlu penelitian tahun kedua yaitu tahap

    pengembangan.

    Berdasar latar belakang masalah, dirumuskan tujuan khusus penelitian tahun kedua sebagai

    berikut: (1) Terlaksana pengujian teoretis perangkat pembelajaran dengan pendekatan

    Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama, (2) melakukan penilaian ahli

    terhadap perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di

    Sekolah Menengah Pertama, (3) melakukan uji terbatas keterbacaan dan simulasi Rencana

    Pelaksanaan Pembelajaran tertentu, (4) melakukan uji coba terbatas perangkat pembelajaran dan

    instrumen penelitian, dan (5) menghasilkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan

    Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama.

    METODE PENELITIAN

    Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini tergolong penelitian pengembangan,

    yaitu pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik, meliputi: (1) Rencana

    Pelaksanaan Pembelajaran, (2) Buku Siswa, (3) Lembar Kerja Siswa, (4) Buku Petunjuk Guru dan

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    208 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    (5) Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa, pada materi Aljabar di kelas VII SMP. Bersamaan

    denganitu dikembangkan pula instrumen penelitian berupa: (1) Lembar Penilaian Validator

    Terhadap Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian, (2) Lembar Observasi Kemampuan

    Guru Mengelola Pembelajaran,(3) Lembar Observasi Aktivitas Siswa Selama Mengikuti Proses

    Pembelajaran,(4)Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan

    Pembelajaran dan (5) Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat dan Pelaksanaan

    Pembelajaran.

    Model pengembangan yang digunakan adalah dengan memodifikasi model 4-D (Four D

    model) dari Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974: 5-9). Prosedur pengembangan perangkat

    pembelajaran terdiri dari tiga tahap, yaitu:a) pendefinisian (define),b) perancangan (design), c)

    pengembangan (develop), dan (d) penyebaran (desseminate), sebagaimana terlihat pada Gambar 2

    berikut.

    Keterangan: : garis pelaksanaan

    : garis siklus yang mungkin dilaksanakan

    : garis hasil kegiatan

    : kegiatan

    : hasil kegiatan

    Tahun II : (draf IV/ draf I yang telah direvisi) perangkat pembelajaran dengan pendekatan

    pembelajaran matematika realistik di Sekolah Menengah Pertama yang telah di uji

    coba terbatas

    Gambar 2. Modifikasi Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran dari Model 4-D (Four D

    Model)

    Pen

    gem

    ba

    nga

    n (

    dev

    elo

    p)

    Ta

    hu

    n I

    I

    Validasi Ahli

    Revisi

    Uji Terbatas Keterbacaan

    & Simulasi RPP Tertentu

    Revisi

    Uji Coba Terbatas Perangkat

    Pembelajaran

    Analisis

    Analisis

    Revisi

    Draft I

    Draft II

    Draft III

    Draft IV

    Analisis

    Hasil Penilaian, ko-

    reksi dan saran per-

    baikan dari Ahli

    Data hasil Uji Terbatas Keter-

    bacaan & Simulasi RPP Tertentu

    Data hasil Uji Coba Terbatas

    Perangkat Pembelajaran

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 209

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian yang telah disusun dalam bentuk

    draft I (hasil penelitian tahun I), selanjutnya dilakukan penilaian oleh ahli (validator). Hasil

    validasi yang sudah dilakukan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

    Tabel1 Daftar Nama Validator Perangkat Pembelajaran dan Instrumen Penelitian

    No Nama Validator Pekerjaan Keterangan

    1. Dr. Herry Agus

    Susanto, M.Pd.

    Dosen Pend. Matematika

    Univet Bantara Sukoharjo

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Penelitian

    2.

    Joko Sungkono,

    S.Si.M.Sc.

    Dosen Pend. Matematika

    Universitas Widya Dharma

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Penelitian

    3.

    Dra. Dewi

    Susilowati, M.Pd.

    Dosen Pend. Matematika

    Univet Bantara Sukoharjo

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Penelitian

    4.

    Sri Hutomo,

    S.Pd.M.Pd.

    Guru Matematika Kelas VIII

    SMP Negeri 2 Sukoharjo

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Tes Hasil Belajar

    5.

    Sumaryani, S.Pd.

    Guru Matematika Kelas IX

    SMP Negeri 2 Sukoharjo

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Tes Hasil Belajar

    6. Dwi Agus Sri

    Kuncoro, S.Pd.

    Guru Matematika Kelas VII

    SMP Negeri 2 Sukoharjo

    Validator Perangkat Pembela-jaran

    dan Instrumen Tes Hasil Belajar

    7.

    Kenang Tri

    Hatmo, S.

    Pd.M.Pd.

    Guru Bahasa Indonesia Kelas

    IX SMP Negeri 2 Sukoharjo

    Validator Khusus Bahasa pada

    Perangkat Pembelajaran dan

    Instrumen Penelitian

    Tabel 2 Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Perangkat Pembelajaran

    No Perangkat Yang Dinilai

    Banyak Validator

    Memberi Nilai

    1 2 3 4

    1. Buku Siswa (BS) 0 0 5 1

    2. Lembar Kerja Siswa (LKS) 0 0 0 6

    3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) 0 0 6 0

    4. Buku Petunjuk Guru (BPG) 0 0 3 3

    5. Perangkat Tes Hasil Belajar Siswa (Kisi-kisi, Lembaran

    Soal, Alternatif Jawaban dan Pedoman Pemberian Skor)

    0 0 6 0

    Keterangan nilai:

    1 : Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi

    2 : Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi

    3 : Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi

    4 : Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    210 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Tabel 3Hasil Penilaian Umum Validator terhadap Instrumen Penelitian

    No Instrumen Yang Dinilai

    Banyak Validator

    Memberi Nilai

    1 2 3 4

    1. Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola

    Pembelajaran

    0 0 5 1

    2. Lembar Observasi Aktivitas Siswa 0 0 4 2

    3. Lembar Angket Respon Guru Terhadap Perangkat dan

    Pelaksanaan Pembelajaran

    0 0 2 4

    4. Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Perangkat

    dan Pelaksanaan Pembelajaran

    0 0 2 4

    5. Lembar Penilaian Validator Terhadap Perangkat dan

    Instrumen Penelitian

    0 0 1 5

    Keterangan nilai:

    1:Sangat tidak baik, sehingga belum dapat dipakai, masih memerlukan konsultasi

    2:Tidak baik, tetapi dapat dipakai dengan banyak revisi

    3:Baik, sehingga dapat dipakai tetapi dengan sedikit revisi

    4:Sangat baik, sehingga dapat dipakai tanpa revisi

    Pada umumnya para validator memberikan catatan dan saran perbaikan RPP ini pada

    komponen: (a) alokasi waktu, (b) apersepsi dan motivasi, (c) pengkodean SK, KD, dan indikator

    (d) perkiraan waktu untuk setiap kegiatan, dan (e) beberapa kesalahan penulisan/ejaan. Namun

    demikian revisi terhadap RPP pada tahap ini hanya peneliti lakukan terhadap: apersepsi dan

    motivasi, pengkodean SK, KD, dan indikator dan kesalahan penulisan/ejaan. Untuk revisi

    terhadap alokasi waktu dan perkiraan waktu akan peneliti lakukan setelah pelaksanaan uji

    keterbacaan dan simulasi RPP tertentu.

    Saran perbaikan Buku Siswa ini pada komponen: (a) Penomoran (b) Beberapa kesalahan

    hitung dan (c) kesalahan penulisan/ejaan. Secara umum LKS dinilai baik dan sangat baik oleh

    validator, sehingga bisa digunakan tanpa revisi. Validator menilai penampilan LKS menarik,

    mudah dipahami, dan telah sesuai dengan langkah-langkah pendekatan pembelajaran matematika

    realistik. Tetapi ada sedikit revisi di penulisan tanda seru (!) pada perintah soal. Sesuai saran

    validator, tanda seru (!) tersebut dihilangkan, sehingga tidak rancu antara tanda seru atau simbol

    faktorial (!) yang ada di matematika. Pada LKS ini sebagian besar soal untuk kegiatan siswa telah

    diberikan petunjuk yang sangat detail, hal ini membuat siswa malas dalam berpikir dan cenderung

    membatasi kreativitasnya. Sebaiknya proporsi soal yang diberi petunjuk langkah demi langkah

    dikurangi, sedangkan soal yang tanpa ditertai petunjuk langkah-langkah pengerjaan ditambah. Hal

    ini akan menuntut siswa berpikir secara kritis.

    Koreksi, saran dan masukan para validator terhadap buku petunjuk guru umumnya berupa:

    (a) pencantuman alokasi waktu dan tujuan, dan (b) materi dan perintah soal diperjelas. Saran

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 211

    validator terhadap perangkat tes hasil belajar umumnya berupa: (a) kesesuaian penulisan butir

    soal dengan indikatornya, (b) pengurutan soal, dan (c) koreksi terhadap kesalahan penulisan pada

    beberapa soal, alternatif jawaban dan pedoman pemberian skor

    Revisi terhadap instrumen penelitian pada tahap ini hanya peneliti lakukan dengan

    membetulkan beberapa kesalahan penulisan/ pengetikan/ ejaan pada beberapa instrumen

    penelitian sesuai dengan koreksi, saran dan masukan dari beberapa validator.

    Setelah semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft I tersebut direvisi

    menjadi dratf II, selanjutnya dilakukan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu. Tujuan

    kegiatan uji keterbacaan dan simulasi RPP tertentu ini adalah untuk memperoleh masukan apakah

    semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian dapat jelas dibaca dan dipahami serta

    dapat dilaksanakan di lapangan. Idealnya semua RPP dapat diujicobakan pada kegiatan ini.

    Namun karena keterbatasan waktu, sehingga hanya dua RPP, yaitu RPP I dan RP II yang sempat

    diujicobakan. Kegiatan ini telah dilaksanakan selama tiga hari dengan jadwal kegiatan

    sebagaimana tercantum pada Tabel 4.

    Tabel 4 Jadwal Kegiatan Uji Keterbacaan dan Simulasi RPP Tertentu

    No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Keterangan

    1.

    2.

    3.

    Selasa,

    12 Maret

    2013

    Sabtu,

    16 Maret

    2013

    Senin,

    18 Maret

    2013.

    09.15-

    10.35

    07.30-

    09.45

    09.45-

    11.15

    Uji keterbacaan

    Simulasi RPP I

    Simulasi RPP II

    a. Semua siswa yang menjadi subjek

    uji keterbacaan diminta membaca

    semua kalimat yang terdapat pada:

    Buku Siswa, LKS, Lembar Soal Tes

    dan Lembar Angket Respon Siswa,

    kemudian menanyakan kalimat-

    kalimat yang kurang dipahami.

    b. Calon pengamat dan guru mitra

    diminta membaca semua kalimat

    pada perangkat pembelajaran dan

    instrumen penelitian, kemudian

    menanyakan kalimat-kalimat yang

    kurang mereka pahami.

    Selama pelaksanaan simulasi pe-neliti

    bertindak sebagai guru (pengajar),

    calon guru mitra dan calon pengamat

    mengamati dan mengecek kesesuaian

    perkiraan waktu yang tercantum pada

    RPP dan LKS dengan pelaksanaan

    simulasi.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    212 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Berdasarkan paparan hasil uji keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk tidak

    melakukan revisi terhadap semua perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian draft II, tetapi

    langsung menggunakannya pada kegiatan simulasi RPP tertentu pada hari berikutnya.

    Semua data hasil pelaksanaan simulasi RPP I dan RPP II tersebut peneliti gunakan sebagai

    bahan diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra untuk merevisi perangkat pembelajaran dan

    instrumen penelitian draft II menjadi draft III. Dari hasil diskusi itu diperoleh masukan (data)

    sebagai berikut. (1) Berdasarkan jadwal pelajaran yang berlaku di sekolah itu (SMP Negeri 2

    Sukoharjo) dan juga di beberapa SMP di Sukoharjo, mata pelajaran matematika untuk satu kali

    tatap muka adalah dua jam pelajaran (2 x 40 menit). (2) Berdasarkan program semester dan

    kebiasaan guru mitra dan calon pengamat bahwa materi itu diajarkan dengan alokasi waktu 15

    jam pelajaran dan untuk setiap KD diajarkan selama tiga jam pelajaran.

    Berdasarkan paparan data hasil uji keterbacaan dan simulasi RPP I, RPP II serta hasil

    diskusi dengan calon pengamat dan guru mitra di atas, peneliti memutuskan untuk melakukan

    revisi terhadap semua perkiraan waktu untuk beberapa kegiatan pada semua RPP, perkiraan

    waktu pada semua LKS, Buku Siswa halaman 2, Revisi terhadap instrumen Lembar Observasi

    Aktivitas Siswa.

    Uji coba perangkat pembelajaran di lapangan bertujuan untuk memperoleh data atau

    masukan dari guru, siswa dan para pengamat (observer) terhadap semua perangkat pembelajaran

    serta untuk mengetahui reliabelitas instrumen lembar observasi, sebagai dasar untuk melakukan

    revisi (penyempurnaan) draft III menjadi draft IV (draft final). Berikut ini dipaparkan secara

    singkat pelaksanaan dan hasil uji coba perangkat pembelajaran dan hasil analisisnya masing-

    masing serta revisi perangkat pembelajaran berdasarkan hasil uji coba di lapangan dengan jadwal

    kegiatan sebagaimana tercantum pada Tabel 5 berikut ini.

    Tabel 5. Jadwal Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran

    No. Hari/Tanggal Jam Jenis Kegiatan Jml Siswa

    Hadir

    1.

    2.

    3.

    Selasa, 19 Maret 2013

    Senin, 8 April 2013

    Selasa, 9 April 2013

    07.00-08.20

    07.40-09.00

    08.20-09.40

    Uji Coba Perangkat I

    (Himpunan)

    Postes LTHB Himpunan

    36siswa

    36 siswa

    36 siswa

    4.

    5.

    6.

    Selasa, 9 April 2013

    Rabu, 10 April 2013

    Selasa, 23 April 2013

    09.55-11.25

    07.00-08.20

    08.20-09.40

    Uji Coba Perangkat II

    (Perbandingan)

    Postes LTHB

    Perbandingan

    36siswa

    36 siswa

    36 siswa

    7.

    8.

    9.

    Selasa, 30 April 2013

    Selasa, 7 Mei 2013

    Selasa, 4 Mei 2013

    07.00-08.20

    07.00-08.20

    07.00-08.20

    Uji Coba Perangkat III

    (Aritmatika Sosial)

    Postes LTHB Aritmatika

    Sosial

    36siswa

    36 siswa

    36 siswa

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 213

    Siswa yang menjadi subjek uji coba perangkat ini adalah siswa kelas VII G SMP Negeri 2

    Sukoharjo, sebanyak 36 siswa dengan kemampuan akademik yang beragam, ada siswa yang

    berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sebagai guru mitra dan pengamat pada kegiatan ini

    dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

    Tabel 6 Nama Guru Mitra dan Pengamat pada Kegiatan Uji Coba Perangkat Pembelajaran

    No. Nama Pekerjaan Pendidikan

    Terakhir Sebagai

    1. Dwi Agus Sri

    Kuncoro,

    S.Pd.

    Guru Matematika Kelas

    VII SMP Negeri 2

    Sukoharjo

    S1 Pendidikan

    Matematika

    Guru Mitra

    2. Sumaryani,

    S.Pd.

    Guru Matematika Kelas

    IX SMP Negeri 2

    Sukoharjo

    S1 Pend.

    Matematika

    Peneliti/Pengamat

    kemampuan guru

    3. Januar Budi

    Asmari, S.Pd.

    Dosen Pendidikan

    Matematika Univet

    Bantara Sukoharjo

    Mhs. S2 Pend.

    Matematika PPs

    UNS

    Pengamat

    kemampuan guru

    Rancangan yang akan digunakan dalam uji coba perangkat pembelajaran adalah two-group

    design. Sampel pertama sebagai kelas eksperimen yang dikenai perangkat pembelajaran dengan

    pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik,yaitu kelas VII G, sedangkan sampel kedua

    sebagai kelas kontrol yang menggunakan perangkat pembelajaran konvensional, yaitu kelas VII

    H. Sebelum dikenai perlakuan, dilakukan uji keseimbangan dengan rumus t-test independent.

    Setelah diketahui data tersebut homogenitas dan normal, maka langkah selanjutnya adalah

    menghitung data dengan rumus t-test sebagaimana hasil pada Tabel 7.

    Berdasarkan tabel 7, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan

    antara kelas eksperimen dan kelas kontrol pada materi aritmatika sosial. Rerata untuk kelas

    eksperimen adalah 78,056 sedangkan rerata kelas kontrol adalah 68,778, sehingga prestasi belajar

    matematika siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada prestasi belajar siswa pada kelas

    kontol. Dengan kata lain, prestasi belajar matematika siswa yang dikenai pembelajaran dengan

    pendekatan matematika realistik lebih baik daripada prestasi belajar matematika siswa yang

    dikenai pembelajaran konvensional bagi siswa kelas VII SMP Negeri 02 Sukoharjo pada materi

    aritmatika sosial. Demikian juga untuk materi Perbandingan dan Himpunan.

    .

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    214 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Tabel 7 Hasil Uji Coba Perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan PembelajaranMatematika

    Realistik terhadap Prestasi Belajar

    N

    o

    Materi Normalitas Homogenitas t-test Keputusa

    n

    1. Aritmatika

    Sosial

    a. Eksperimen

    b. Kontrol

    L= 0,126<

    0,148

    L= 0,136<

    0,148

    = 1,845 <

    3,841

    t =3,105 >

    1,987

    Ho

    ditolak

    2. Perbandingan

    a. Eksperimen

    b. Kontrol

    L= 0,126<

    0,148

    L= 0,136<

    0,148

    = 1,845 <

    3,841

    t =6,247 >

    1,987

    Ho

    ditolak

    3. Himpunan

    a. Eksperimen

    b. Kontrol

    L= 0,126<

    0,148

    L= 0,136<

    0,148

    = 1,845 <

    3,841

    t =2,045 >

    1,987

    Ho

    ditolak

    Tabel 8 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola

    Pembelajaran

    Pertemuan (RP) I II III Rata-rata

    Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D

    ketidakcocokan (D) 15 3 14 4 15 3 14,67 3,33

    Percentace of agreement

    (R) 83,33 % 77,78 % 83,33 % 81,48 %

    Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel

    Tabel 9 Hasil Analisis Reliabilitas Lembar Observasi Aktivitas Siswa

    Pertemuan (RPP) I II III Rata-rata

    Frekuensi kecocokan (A) dan A D A D A D A D

    ketidakcocokan (D) 158 4 159 3 157 4 158 3,7

    Percentace of agreement (R) 97,53 % 98,15 % 96,91 % 97,53 %

    Reliabilitas Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 215

    Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diperoleh informasi bahwa percentasce of agreement(R)

    lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran maupun lembar observasi aktivitas

    siswa, baik untuk setiap pertemuan maupun secara keseluruhan 75 %, berarti lembar observasi

    kemampuan guru mengelola pembelajaran dan lembar observasi aktivitas siswa ini reliabel

    (Grinnel, 1998:160), sehingga dapat digunakan sebagai instrumen lembar observasi draft IV (draft

    final) tanpa revisi. Hal itu berarti pula bahwa data kemampuan guru mengelola pembelajaran dan

    data aktivitas siswa yang dikumpulkan menggunakan kedua lembar observasi dalam pelaksanaan

    uji coba perangkat pembelajaran ini valid.

    Revisi perangkat pembelajaran selain perangkat tes hasil belajar siswa dari draft III menjadi

    draft IV didasarkan atas hasil analisis efektivitas pembelajaran dengan menggunakan lima

    indikator, yaitu: (a) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (b) aktivitas siswa, (c) respon

    guru, (d) respon dan minat siswa dan (e) kesesuaian antara perkiraan waktu perencanaan dengan

    pelaksanaan di kelas, maka berikut ini dipaparkan kelima data hasil uji coba perangkat

    pembelajaran beserta hasil analisisnya masing-masing.

    Hasil penilaian kemampuan guru mengelola pembelajaran untuk setiap pertemuan, tampak

    bahwa pada pertemuan pertama dan kedua beberapa kemampuan guru baru mencapai cukup baik,

    yaitu kemampuan guru dalam hal: (1) memotivasi siswa/mengkomunasikan tujuan pembelajaran,

    (2) menghubungkan pelajaran saat itu dengan sebelumnya, (3) menginformasikan langkah-

    langkah pembelajaran/membahas PR, (4) menjelaskan soal/masalah kontekstual, (5) mengarahkan

    siswa untuk menemukan jawaban dan cara menjawab soal, (6) mengoptimalkan interaksi siswa

    dalam bekerja, (7) memimpin diskusi kelas/menguasi kelas, (8) mengarahkan siswa untuk

    menemukan sendiri dan menarik kesimpulan, (9) mengarahkan siswa untuk

    membuat/menegaskan rangkuman materi pelajaran dan (10) kemampuan mengelola waktu.

    Namun demikian pada pertemuan berikutnya terdapat peningkatan menuju baik, bahkan sangat

    baik. Hal itu wajar mengingat pembelajaran itu masih relatif baru bagi guru mitra maupun bagi

    siswa. Sedangkan bila ditinjau secara keseluruhan rata-rata kemampuan guru mengelola

    pembelajaran matematika realistik dan antusias siswa adalah baik, kecuali kemampuan dalam hal

    menginformasikan langkah-langkah pembelajaran/membahas PR, memimpin diskusi kelas/

    menguasi kelas, dan mengelola waktu baru mencapai cukup. Berarti dari 17 komponen yang

    dinilai 14 komponen (82,35%) baik dan tiga komponen (17,65%) cukup.

    Pembelajaran ini efektif ditinjau dari kemampuan guru mengelola pembelajaran. Namun

    demikian beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup itu akan dipertimbangkan untuk

    merevisi perangkat pembelajaran yang dikembangkan, yaitu dengan memperjelas beberapa

    kegiatan pada RPP, khususnya pada beberapa kegiatan yang masih kurang baik atau cukup baik

    dilakukan guru tersebut.

    Hasil pengamatan aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran ditinjau dari

    aktivitas siswa selama mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan dan untuk setiap

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    216 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    pertemuan dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Pada pertemuan I, semua aktivitas siswa berada

    pada batas toleransi waktu ideal yang ditentukan. Pada pertemuan II dan IV terdapat satu aktivitas

    yang berada di bawah batas toleransi waktu ideal dan dua jenis aktivitas yang berada di atas batas

    toleransi waktu ideal yang ditetapkan. (2) Aktivitas yang kurang dari batas toleransi waktu ideal

    adalah mendengarkan/ memperhatikan guru dengan aktif, yaitu: 10,88 % (pertemuan II) dan 11,19

    % (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu ideal 15 % - 25 %. (3) Aktivitas yang melebihi

    batas toleransi waktu ideal adalah membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar.

    Aktivitas membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar ini sebesar 15,2%

    (pertemuan II), 13,96% (pertemuan III) dan 12,11% (pertemuan IV) dengan batas toleransi waktu

    ideal 2 % - 12%. Berdasarkan paparan di atas, maka pembelajaran ini efektif ditinjau dari aktivitas

    siswa. Namun demikian tiga jenis aktivitas mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru dan

    membandingkan jawaban/ berdiskusi dalam kelompok belajar perlu digunakan sebagai

    pertimbangan untuk melakukan revisi terhadap RPP dan LKS. Revisi tersebut adalah dengan

    mengurangi beban pertanyaan pada LKS/ Buku Siswa dan merubah perkiraan waktu beberapa

    kegiatan pada RPP.

    Angket respon guru terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran diberikan kepada

    tiga orang guru matematika masing-masing satu orang guru kelas VII, kelas VIII dan kelas IX di

    SMP Negeri 2 Sukoharjo. Hasil angket menunjukkan bahwa semua guru memberikan respon

    yang positif atau sangat positif, terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran matematika

    realistik pada materi Aljabar ini. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan, berarti pembelajaran ini

    efektif, ditinjau dari respon guru.

    Hasil angket respon siswa terhadap perangkat dan pelaksanaan pembelajaran menunjukkan

    bahwa dari 24 komponen perangkat dan pelaksanaan pembelajaran sebanyak 22 komponen (91,67

    %) direspon positif oleh lebih dari 60 % siswa dan dua komponen (8,33 %) direspon positif oleh

    kurang dari 60 %. Sehingga berdasarkan kriteria yang ditentukan di bab IV, menunjukkan bahwa

    pembelajaran tersebut efektif ditinjau dari respon siswa. Komponen yang direspon positif oleh

    kurang dari 60 % siswa adalah suasana pembelajaran. Dalam hal itu justru mayoritas siswa, yakni

    59,46 % menyatakan tidak senang dan hanya 40,54 % siswa yang menyatakan senang. Di

    samping itu siswa yang menyatakan suasana pembelajaran itu baru hanya 54,05 % dan yang

    menyatakan tidak baru 45,95%. Hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan tidak senang

    dengan suasana pembelajaran itu mungkin disebabkan dalam PMR ini dituntut siswa lebih aktif

    dalam belajar sejak awal pembelajaran dan guru tidak banyak memberi cara menyelesaikan

    masalah. Suasana pembelajaran seperti itu sangat berbeda dari kebiasaan mereka yang banyak

    pasif sebagai pendengar dan selalu dijelaskan serta diberi contoh pembahasan soal. Atau karena

    biasanya kebanyakan siswa kurang suka bila disuruh maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal

    atau mempresentasikan jawaban, sedangkan dalam PMR kegiatan ini merupakan kegitan inti

    pembelajaran. Sedangkan hal yang menyebabkan banyak siswa menyatakan bahwa suasana

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 217

    pembelajaran di kelas itu tidak baru, kemungkinannya adalah karena PMR ini masih relatif baru

    bagi guru mitra, sehingga masih agak sulit untuk menciptakan suasana pembelajaran yang benar-

    benar sesuai dengan tuntutan PMR yang tampak jelas berbeda dari biasanya.

    Berdasarkan pengamatan selama uji coba perangkat pembelajaran tentang kesesuian antara

    perkiraan waktu pada RPP dan LKS dengan pelaksanaan di lapangan, ternyata terdapat perkiraan

    waktu pada RPP yang masih kurang tepat dengan pelaksanaan dan terdapat satu kegiatan pada

    RPP yang sulit dilaksanakan. Beberapa kegiatan yang kurang tepat antara perkiraan waktu pada

    RPP dengan pelaksanaan antara lain kegiatan: (1) memotivasi siswa, (2) mengingatkan materi

    prasyarat, (3) menyelesaikan masalah dan (4) membandingkan jawaban masing-masing kegiatan

    terdapat selisih antara dua sampai tiga menit. Sedangkan satu kegiatan yang sulit dilaksanakan di

    lapangan adalah penilaian proses, meskipun hanya dilakukan secara tidak formal. Hal itu

    mengingat terlalu banyaknya siswa di kelas dan guru lebih memfokuskan pemberian bimbingan

    terbatas secara individual pada saat siswa mengerjakan LKS dan soal latihan.

    Berdasarkan analisis deskreptif terhadap: (1) kemampuan guru mengelola pembelajaran, (2)

    aktivitas siswa, (3) respon guru, (4) respon dan minat siswa dan (5) kesesuaian antara perkiraan

    waktu perencanaan dengan pelaksanaan di kelas menunjukkan bahwa pembelajaran selama uji

    coba di kelas VIIG SMP Negeri 2 Sukoharjo menggunakan perangkat PMR pada materi Aljabar

    efektif. RPP, Buku Siswa, LKS dan Buku Petunjuk Guru draft III baik atau valid, meskipun untuk

    menjadikannya sebagai draft IV (draft final) masih diperlukan beberapa revisi.

    Beberapa revisi tersebut secara garis besar dilakukan dengan: (1) Menyesuaikan perkiraan

    waktu beberapa kegiatan pada RPP dengan pelaksanaan di lapangan, (2) Memperjelas beberapa

    kegiatan pada RPP, (3) Menyesuaikan halaman buku siswa, petunjuk dan alternatif jawaban pada

    Buku Petunjuk Guru, dengan revisi pada Buku Siswa dan LKS serta dengan menambahkan

    alternatif penyelesaian yang dilakukan siswa di lapangan. Revisi perangkat tes hasil belajar siswa

    dari draft III menjadi draft IV (draft final) dalam penelitian ini adalah didasarkan dari hasil

    analisis validitas dan reliabilitas perangkat tes. Berdasarkan hasil anates, secara keseluruhan

    perangkat tes ini cukup dapat mengukur dengan tepat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Hasil

    analisis reliabilitas perangkat tes, ternyata memiliki reliabilitas sangat tinggi, berarti perangkat tes

    ini memiliki keajegan sangat tinggi untuk digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar siswa.

    Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti memutuskan bahwa perangkat tes hasil belajar

    siswa draft III untuk dijadikan draft IV (draft final), masih memerlukan revisi. Revisi tersebut

    secara garis besar dilakukan dengan cara: (1) Mengurangi banyak butir soal yang berfungsi untuk

    mengukur KD yang sama, (2) Merevisi kisi-kisi tes, alternatif jawaban siswa dan pedoman

    pemberian skor sesuai dengan revisi pada butir soal tes.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    218 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    KESIMPULAN

    Berdasarkan analisis data dan diskusi hasil penelitian, melalui prosedur pengembangan

    perangkat pembelajaran Model 4-D (Four D-Model) yang dimodifikasi hanya sampai pada tahap

    pengembangan (develope), dapat disimpulkan bahwa: (1) Perangkat pembelajaran dengan

    pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama telah teruji secara

    teoretis, (2) Perangkat pembelajaran dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik di

    Sekolah Menengah Pertama telah dinilai ahli dengan nilai 3 atau dapat digunakan dengan sedikit

    revisi, (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tertentu telah diuji terbatas keterbacaan dan

    disimulasikan, (4) Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian telah diuji coba terbatas, dan

    (5) Dihasilkan pengembangan perangkat pembelajaran pada materi Aljabar di kelas VII SMP.

    DAFTAR PUSTAKA

    Marpaung, Y. 2001. Pedekatan Realistik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan

    pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika realistik di Universitas Sanata

    Dharma Yogyakarta. Tanggal, 14 - 15 Nopember 2001.

    Soedjadi, R. 1999. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

    --------------. 2001. Pemanfaatan Realitas dan lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.

    Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di

    UNESA Surabaya, 24 Pebruari 2001.

    Thiagarajan, S. , Semmel, D. S. dan Semmel, M. I. 1974. Instructional Development for Teacher

    of Exceptional Children.Bloomington: Indiana University.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 219

    PENGGUNAAN MODEL Connecting, Organizing, Reflecting and Extending

    (CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH

    MATEMATIS SISWA SMP

    Grifin Ryandi Egeten1)

    , Louise M. Saija2)

    1) Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia

    Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: [email protected]

    2) Jurusan Pendidikan Matematika Universitas Advent Indonesia

    Jl. Kolonel Masturi no. 288 Parongpong Bandung Barat, e-mail: [email protected]

    Abstrak

    Dilaporkan bahwa saat ini 70% siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah

    matematis yang rendah. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah pada

    siswa SMP merupakan masalah yang besar yang harus diatasi. Untuk itu diperlukan suatu

    solusi sehingga siswa SMP memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis yang

    baik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan model pembelajaran

    connecting, organizing, reflecting and extending (CORE). CORE memacu siswa lebih

    kritis dalam mengumpulkan data dari suatu masalah, mempersiapakan rencana

    penyelesaian masalah, menyelesaikan masalah dan juga lebih teliti dalam memecahkan

    suatu masalah. Oleh karena itu pada penelitian ini model CORE digunakan untuk

    meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Siswa SMP Negeri 1

    Parongpong Bandung Barat digunakan sebagai sampel. Sampel dibagi ke dalam dua

    kelompok, yaitu: kelompok kontrol, yang diberi perlakuan pengajaran konvensional dan

    kelompok eksperimem yang diberi perlakuan pengajaran model CORE. Dari hasil analisis

    data dengan menggunakan statistik uji- pada tingkat signifikansi = 0.05 diperoleh bahwa model pembelajaran CORE menghasilkan peningkatan kemampuan pemecahan

    masalah lebih baik dibanding dengan pembelajaran konvensional. Didasarkan pada hasil

    ini, model pembelajaran CORE dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan

    kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.

    Keywords: Model CORE, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis, Siswa SMP.

    PENDAHULUAN

    Kemampuan pemecahan masalah dianggap sebagai jantung pembelajaran matematika

    karena memberikan keuntungan bukan hanya pada saat belajar tetapi memberikan kesanggupan

    untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah

    termasuk masalah sehari hari (Pimta et al., 2009). Klegeris et al., (2012) juga memaparkan hal

    yang selaras bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah akar dari segala bentuk pendidikan

    karena menyanggupkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir.

    Kemampuan pemecahan masalah yang baik adalah kunci untuk mendapat solusi yang

    berguna dalam pembelajaran matematika. Tindakan untuk berpikir terhadap konsep matematika

    merupakan hal yang sulit bagi siswa (Huang et al., 2012). Kemampuan pemecahan masalah itu

    melibatkan kesanggupan untuk melakukan pertimbangan yang baik, menganalisis, memberikan

    pendapat yang membangun, dan pengembangan akan strategi maupun ide ide yang baru. Hal

    tersebut didapati dalam pembelajaran matematika, dan semuannya itu berdampak pada

    pencapaian kemampuan pemecahan masalah siswa (Woodward et al., 2012). Sajadi et al., (2013)

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    220 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    melaporkan bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah kesulitan bagi banyak siswa karena

    proses mencari solusi dari masalah tersebut kompleks.

    Sebagian kecil siswa sering mencoba untuk mendorong dirinya sendiri untuk dapat

    memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika, untuk menjadi lebih tekun, mampu

    membuat suatu pendekatan yang berbeda, dan dapat membuat solusi (Kennedy & Stoyonova,

    2012). Itu sebabnya pencapaian pembelajaran matematika anak SMP hanya kecil yaitu 6 %.

    Didapati bahwa 1 % siswa yang akan belajar matematika, 29 % siswa yang akan menggunakan

    matematika dalam kehidupan mendatang, dan 70 % siswa yang tidak akan pernah mau

    membutuhkan matematika (Huang et al., 2012).

    Model pembelajaran dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan untuk

    menyelesaikan masalah dan menolong siswa menjadi lebih efektif dalam belajar (Sajadi et al.,

    2013). Untuk menolong pencapaian yang rendah tersebut, kemampuan pemecahan masalah harus

    dipertajam dengan menggunakan model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,

    Reflecting, and Extending). Model CORE berlandaskan pada teori konstruktivisme yang mampu

    membuat siswa menjadi lebih aktif, kreatif, kritis, dan membangun sendiri pengetahuan yang

    mendalam tentang matematika melalui sarana yang ada (Azizah et al., 2012). CORE ialah

    connecting: Dalam belajar matematika siswa perlu dihubungkan pengetahuan yang sudah

    dipelajari dan yang akan dipelajari karena setiap pengetahuan yang diperoleh berguna untuk

    menyelesaikan masalah. Pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah bukan berasal

    dari guru, melainkan diperoleh dengan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan sehingga

    membangun pengetahuan yang mendalam akan matematika dan ini dapat digunakan untuk

    memecahkan masalah (Marais & Nalize, 2011), organizing: mengorganisir pengetahuan tersebut

    sehingga membuat suatu keterkaitan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dan pengetahuan

    yang akan diperoleh. Untuk mempermudahnya siswa dapat bekerja sama dalam kelompok melalui

    diskusi. Dengan berdiskusi terjadi interaksi sesama siswa dalam kelompok, hal ini membantu

    siswa mengerti mengkaitkan semua informasi pengetahuan yang ada menjadi suatu rencana

    pemecahan yang baik (Ase & Hansson, 2012), reflecting: siswa harus meningkatkan proses

    berpikir dengan cara membuat suatu kesimpulan dari materi yang diajarkan, menyelesaikan soal

    yang diberikan, dan merenung untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut, bila terdapat

    kesalahan dalam menyelesaikan soal siswa dituntun untuk berpikir menemukan jawaban yang

    benar dan tepat dan ini semua dilakukan di dalam kelompok masing - masing (Clark & Marie,

    2009), extending: diberikan soal secara individu kepada siswa, untuk melatih siswa untuk

    mengerti materi yang diajarkan. Pemberian soal yang lebih tinggi tingkat kesulitannya

    memberikan sebuah kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan apa yang telah dipelajari

    dan soal tersebut harus dikerjakan sendiri (Kaur & Berinderjeet, 2011).

    Dengan adanya kemampuan connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan dulu dengan

    sekarang), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting (membuat

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 221

    kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi)mampu melatih siswa

    memecahkan suatu masalah (Azizah et al., 2012). Dengan demikian model CORE dapat

    meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

    Berdasarkan uraian diatas perlu untuk diteliti suatu penelitian ilmiah tentang penerapan

    model connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE) untuk meningkatkan

    kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP sebagai salah satu alternatif model

    pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas.

    METODE PENELITIAN

    Dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat diterapkan

    model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, and extending (CORE). CORE

    merupakan model pembelajaran yang membantu siswa untuk belajar mandiri dengan

    menggunakan teknik connecting (menghubungkan ilmu pengetahuan yang sudah ada dengan yang

    akan dipelajari), organizing (mengorganisir informasi dalam diskusi kelompok), reflecting

    (membuat kesimpulan), dan extending (memperluas pengetahuan akan materi). Metode penelitian

    dalam penelitian ini sebagai berikut:

    Jenis Penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena dari awal penelitian sampai

    pada tahap akhir penelitian ini menuntut penggunaan angka yang diolah dengan menggunakan

    statistik.

    Waktu dan Tempat Penelitian

    Tempat penelitian ini berlokasi di Parongpong Bandung Barat. Waktu untuk penelitian

    adalah empat minggu, mulai dari tanggal 12 November 2013 sampai tanggal 04 Desember 2013.

    Populasi dan Sampel

    Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMP Kelas VIII di Bandung. Yang menjadi

    sampel pada penelitian ini adalah sekolah SMP Negeri 1 Parongpong. Pemilihan sampel akan

    dilakukan dengan teknik simple random sampling sehingga diperoleh dua kelompok yang berbeda

    yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen berjumlah 37 orang

    dan kelompok kontrol berjumlah 36 orang.

    Prosedur

    Langkah langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

    Langkah Pertama:

    Dalam melakukan penelitian ini terdapat alat dan bahan yang diperlukan untuk

    menjalankan penelitian ini, bahan penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    222 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    No. Nama Bahan Peruntukan

    1 Buku Paket Diperlukan untuk mengajar materi ajar.

    2 Kertas (A4) Diperlukan untuk print out soal, LKK, dan LKM.

    3 Spidol Untuk menulis di papan tulis

    4 Tinta Printer Untuk mencetak dokumen penelitian

    Sementara peralatan utama yang diperlukan dan diperuntukkan diuraikan pada tabel berikut:

    No. Nama Alat Peruntukan

    1 Lap Top Diperlukan guru untuk membuat soal, LKK, LKM, dan

    instrument penelitian termasuk bahan ajar diluar buku paket.

    2 Printer Diperlukan untuk mencetak semua soal, LKK, dan LKM.

    3 LCD Menampilkan bahan ajar yang berasal dari lap top.

    Langkah Kedua:

    a. Memilih bahan ajar

    Bahan ajar yang dipilih harus disesuaikan dengan waktu dan silabus yang ada. Bahan ajar

    yang ditetapkan pada penelitian ini adalah sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Bahan

    ajar ini untuk SMP kelas VIII dan tepat dengan waktu yang diharapkan yaitu pada bulan

    November 2013.

    b. Membuat RPP, LKK, LKM

    Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja kelompok (LKK), dan

    lembar kerja mandiri (LKM) yang sesuai dengan materi ajar yaitu SPLDV. LKK dan LKM yang

    dibuat harus menuntun siswa kearah soal soal pemecahan masalah agar dapat melatih

    kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini diperlukan agar mempersiapkan pengajar dalam

    mengajar dengan baik pada setiap pertemuan.

    c. Menyusun Instrument

    Instrument yang dibuat digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa.

    Jumlah soal dalam instrument yaitu lima soal. Soal soal ini dibuat sesuai dengan materi, standar

    kompetensi, kompetensi dasar sesuai dengan silabus dan soal soal ini dibuat dengan bimbingan

    dari dosen.

    Langkah Ketiga:

    a. Melakukan uji coba instrumen pada sampel uji coba instrument

    Instrument yang telah dibuat akan diuji cobakan pada siswa SMP kelas VIII diluar dari

    sampel penelitian.

    b. Menghitung uji validitas dan uji reliabilitas

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 223

    Data dari hasil uji coba instrument dikumpulkan untuk dihitung validitas dan reliabilitas

    instrument tersebut. Tujuan untuk mengetahui soal yang valid dan tidak valid. Soal yang valid

    akan dilakukan pada pretes dan postes.

    Langkah Keempat:

    a. Menentapkan sampel penelitian

    Pada penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah siswa SMP Negeri 1 kelas VIII

    Parongpong Bandung Barat.

    b. Mengelompokkan sampel penelitian

    Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 73 siswa yang akan dibagi menjadi dua

    kelompok yaitu 37 siswa kelompok eksperimen dan 36 siswa kelompok kontrol. Pembagian

    kelompok ini dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.

    Langkah Kelima:

    a. Pretes

    Soal yang telah selelah diuji cobakan dan sudah dilihat kevalidannya akan digunakan

    menjadi pretest. Pretest ini diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

    sebelum mulai proses belajar mengajar untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah

    matematis siwa.

    b. Perlakuan

    Selama penelitian ini berlangsung akan diberikan perlakuan yang berbeda terhadap

    kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen akan mendapat perlakuan

    model pembelajaran CORE dan kelompok kontrol mendapat perlakuan pembelajaran

    konvensional. Perlakuan akan dilakukan selama delapan pertemuan sesuai dengan RPP yang

    dibuat.

    c. Postes

    Soal yang diberikan pada pretest akan diberikan juga pada pertemuan terakhir pada

    penelitian ini dengan kompetensi dasar yang sama bentuk soal yang sama namun berbeda

    kandungan angka pada setiap soal. Postes juga menjadi bagian untuk mengukur kemampuan

    pemecahan masalah matematis.

    Langkah Keenam:

    Data dikumpulkan dengan menggunakan instrument (soal pretest postest) untuk

    mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dari kelompok eksperimen dan

    kelompok kontrol. Data dari kedua kelompok dianalisis dengan menggunakan statistic uji-t

    namun sebelumnya normalitas distribusi data setiap kelompok terlebih dahulu diuji melalui uji

    normalitas. Selanjutnya kehomogenan varians kedua data juga diuji melalui uji homogenitas. Dari

    hasil statistik uji-t akan didapat informasi perbedaan tingkat kemampuan pemecahan masalah dari

    kedua kelompok. Mengacu pada hasil uji-t maka dapat ditarik suatu kesimpulan.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    224 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Langkah Ketujuh:

    Menarik kesimpulan yang menunjukkan bahwa model CORE mampu meningkatkan

    kemampuan pemecahan masalah matematis siswap SMP dan model CORE ini pantas digunakan

    sebagai model pembelajaran matematika dalam proses belajar mengajar.

    Data, Instrument, dan Teknik Pengumpulan Data

    Berdasarkan langkah langkah diatas, data akan diperoleh dari hasil tes kemampuan

    pemecahan masalah pretes dan postes dengan menggunakan instrumen penelitian yang ada.

    Instrumen penelitian ini terdiri dari lima soal mewakili semua kompetensi dan valid. Teknik

    pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, lembar observasi dan data dari hasil pretes

    postes. Kuesioner tentang sikap siswa terhadap model pembelajaran yaitu model CORE, soal

    soal pemecahan masalah, serta pelajaran matematika.

    Teknik Analisis Data

    Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis validitas butir soal, analisis

    reliabilitas, uji normalitas, dan uji beda dua rata rata (uji t). Analisis validitas butir soal

    digunakan untuk melihat kevalidan dari instrument yang dibuat, analisis reliabilitas untuk melihat

    soal yang diandalkan, uji normalitas untuk melihat data merupakan sebaran secara normal

    sehingga dapat dilakukan perhitungan statistik, dan uji beda dua rata rata digunakan untuk

    melihat peningkatan kemampuan pemecahan masalah dengan model CORE dibanding dengan

    konvensional.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Penelitian ini belum selesai dilakukan, masih dalam proses. Penelitian dengan model

    CORE untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah sudah pernah diteliti oleh Wijayanti

    tahun 2012 dengan judul penerapan model connecting, organizing, reflecting, and extending

    (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP yang

    dilakukan di Bandung menarik kesimpulan bahwa: 1) Siswa yang mendapatkan pembelajaran

    dengan model CORE terbukti mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah. 2)

    Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapat pembelajaran

    dengan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran dengan model

    konvensional. 3) Siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan model

    CORE. Wijayanti menerapkan model CORE pada kelas VIII dengan materi bangun ruang sisi

    datar dan membuat kelompok. Ada juga penelitian yang dibuat oleh Kumalasari dengan judul

    peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP melalui pembelajaran

    matematika model CORE menarik kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan

    masalah matematis kelompok eksperimen siswa yang belajar dengan model CORE lebih baik

    daipada kelompok kontrol yang belajar melalui pembelajaran konvensional. Pada penelitian ini,

    terdapat beberapa nilai baru yang berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan model

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 225

    CORE dengan materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Cara membuat kelompok

    pada model CORE menggunakan rangking pertemanan, tidak hanya dari hasil pretes dan postes.

    Dengan perbedaan tersebut akan diteliti apakah model CORE dapat meningkatkan kemampuan

    pemecahan masalah matematis siswa SMP?

    SIMPULAN DAN SARAN

    Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang disajikan pada penelitian ini adalah

    pembelajaran matematika dengan menggunakan model connecting, organizing, reflecting, and

    extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ase dan Hansson. (2012). The Meaning of Mathematics Instruction in Multilingual Classroom:

    Analyzing the Importance of Responsibility for Learning. Education Study

    Mathematics, 81: 103 125.

    Azizah L, Mariani S, dan Rochmad. (2012). Development of Devices The CORE Model

    Constructivism Mathematic Connection. Unnes Journal of Mathematics Education

    Research, 2 (1), 101.

    Clark dan Marie A. (2009). When Privilege Meets Poverty: Using Poetry in The Process of

    Reflection. Journal on Excellence in College Teaching, v20 n2 p125 142.

    Huang T H, Liu Y C, dan Chang H C. (2012). Learning Achievement in Solving Word-Based

    Mathematical Questions through a Computer-Assisted Learning System. Educational

    Technology & Society, 15 (1), 248 259.

    Kennedy dan Stoyonova N. (2012). What are You Assuming?. Mathematics Teaching in Middle

    School, v18 n2, 86 91.

    Kaur dan Berinderjeet. (2011). Mathematics Homework: A Study of Three Grade Eight

    Classrooms in Singapore. International Journal of Science and Mathematics Education,

    v9 n1 p187 206.

    Klegeris A, Bahniwai M, dan Hurren H. (2013). Improvement in Generic Problem-Solving

    Abilities of Students by Use of Tutor-less Problem-Based Learning in Large Classroom

    Setting. Life Sciences Education, Vol. 12, 73 79.

    Marais, dan Nalize. (2011). Connectivism as Learning Theory: The Force Behind Changed

    Teaching Practice in Higher Education. Journal for Education and Social Enterprise,

    v4 n3 p173 182.

    McDonald B. (2013). Evaluation instruments used in Problem-Based Learning. University of

    Trinidad and Tobago.

    Pimta S, Tayruakham S, dan Nuangchalerm P. (2009). Factors Influencing Mathematic Problem-

    Solving Ability of Sixth Grade Students. Journal of Social Sciences, 5(4), 381 385.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    226 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Polya. G. (2008). How to Solve It. United States of America: Princeton University Press.

    Sajadi M, Amiripour P, dan Malkhalifeh M R. (2013). The Examining Mathematical Word

    Problems Solving Ability under Efficient Representation Aspect. Mathematics

    Education Trends and Research, 1 11.

    Woodward J, Beckmann S, Driscoll M, Franke M, Herzig P, Jitendra A, Koedinger K R, dan

    Ogbuehi P. (2012). Improving Mathematical Problem Solving in Grades 4 Through 8.

    Institute of Education Sciences, p6.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 227

    STUDI LITERATUR: PENGGUNAAN STRATEGI SCAFFOLDING DALAM

    MENINGKATKAN KEMAMPUAN HIGHER ORDER THINKING SISWA

    Nur Wahidin Ashari

    Program Studi Pendidikan Matematika SPs UPI

    Jl. Dr. Setiabudi 229 Bandung 40154,

    email: [email protected]

    Abstrak

    Peningkatan kemampuan Mathematical Higher Order Thinking sudah menjadi

    tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Namun kenyataanya beberapa hasil studi

    memperlihatkan bahwa kemampuan Mathematical Higher Order Thinking siswa di

    Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini diakibatkan karena masalah matematika

    yang diberikan disekolah masih tergolong dalam Lower Order Thinking yang

    sifatnya rutin. Selain itu beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa

    startegi pembelajaran yang digunakan guru masih monoton dan berpusat pada guru.

    Sesuai dengan Taksonomi Bloom yang telah direvisi Lower Order Thinking

    mencakup mengingat, mengetahui, dan mengaplikasikan sedangkan Higher Order

    Thinking mencakup menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Studi literatur ini

    mengkaji tentang pengaruh strategi scaffolding terhadap kemampuan Higher Order

    Thinking siswa.

    Kata kunci: Higher Order Thinking, Taksonomi Bloom, Strategi Scaffolding

    PENDAHULUAN

    Berpikir adalah sebuah proses yang melibatkan operasi-operasi mental, seperti induksi,

    deduksi, klasifikasi dan penalaran, selain itu berpikir adalah sebuah proses representasi secara

    simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian riil dan menggunakan representasi itu

    untuk menemukan prinsip-prinsip esensial objek dan kejadian tersebut, berpikir diartikan pula

    sebaai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan

    inferensi atau judgment yang baik. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa berpikir merupakan

    suatu proses mengolah informasi yang melibatkan operasi mental dan menghasilkan suatu

    representasi secara simbolis dari informasi tersebut (Arends, 2008, 43).

    Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis

    diklasifikasikan menjadi dua tingkat berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.

    Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,

    digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,

    kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi

    matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).

    Peningkatan kemampuan berpikir matematika tingkat tinggi sudah selayaknya menjadi

    tujuan utama dari pendidikan pada saat ini. Kemampuan bepikir khususnya berpikir tingkat tinggi

    perlu mendapat perhatian yang serius karena sejumlah hasil studi menunjukkan bahwa

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    228 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    pembelajaran matematika masih berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah

    yang bersifat prosedural (Suryadi, 2012, 2).

    Higher Order Thinking berarti memberi tantangan dan mengembangkan penggunaan

    pikiran, sedangkang lower thinking berarti, rutin, penerapan mekanistis dan tidak berpikir secara

    luas. Tantangan disini berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan

    penggunaan pikiran. Hal ini akan muncul ketika siswa harus menginterpretasi, analisis, atau

    memanipulasi informasi. Masalah disini tidak akan terpecahkan melalui penerapan pengetahuan

    sebelumnya secara rutin (Newmann, 1988).

    Higher order thinking juga dapat dilihat dari Taxonomy of Educational Objective dari

    Bloom, yang dikenal sebagai Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom membagi dua tingkat

    pemikiran kognitif yaitu Lower Order Thinking dan Higher Order Thinking, seperti yang di

    jelaskan oleh (Thompson, 2008) yaitu

    The thinking skills in Bloom Taxonomy considered LOT include knowledge and

    comprehension, while the thinking skills of analysis, synthesis and evaluation are

    considered HOT. Application often falls into both categories.

    Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher

    order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur fitur utama dari kemampuan berpikir

    tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur fitur tersebut

    yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu: (1) non algorithmic, (2) komplex, (3)

    multiple solutions (banyak solusi), (4) melibatkan nuance judgment dan interpretasi, (5) multiple

    criteria (banyak kriteria), (6) uncertainty (ketidakpastian), (7) melibatkan self-regulation proses

    proses berpikir, (8) melibatkan imposing meaning (menentukan makna), (9) bersifat effortful

    (membutuhkan banyak usaha).

    Berkaitan dengan masalah yang membutuhkan Higher order thinking, siswa Indonesia pada

    umumnya belum bisa menyelesaikannya. Hal ini juga diperjelas oleh hasil TIMSS untuk kelas

    dua SLTP (eight grade), memperlihatkan bukti lebih jelas bahwa soalsoal matematika tidak rutin

    yang memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada umumnya tidak berhasil dijawab

    dengan benar oleh sampel siswa Indonesia (Suryadi, 2012,2). Hal ini dikarenakan berpikir tingkat

    tinggi berbeda dari perilaku yang lebih konkret, sifatnya kompleks dan tidak dapat diturunkan

    menjadi rutinitas rutinitas yang lebih pasti (Arends, 2008,43).

    Kebanyakan siswa sudah mampu mencapai lower thinking namun sebagian kecil siswa

    yang mampu higher order thinking. Bahkan menurut penilaian 3 tahunan PISA at Galance

    2009 (OECD, 2010) tidak lebih dari 10% siswa di Indonesia yang bisa mencapai higher order

    thinking dan berada pada peringkat 63 dari 65 negara.

    Menanggapi masalah siswa yang pada umumnya tidak mampu menyelesaikan masalah

    yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, telah banyak berkembang model model

    pembelajaran untuk mengatasi masalah ini. Namun, dilain pihak ketarampilan berpikir tingkat

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 229

    tinggi tidak dapat diajarkan dengan menggunakan pendekatan pendekatan yang dirancang untuk

    mengajarkan ide ide dan ketarmpilan konkret (Arends, 2008, 44).

    PEMBAHASAN

    Higher Order Thinking

    Solso, (1995) menyatakan bahwa berpikir adalah proses dimana representasi mental baru

    dibentuk melalui transformasi informasi oleh interaksi yang kompleks dari sifat mental dari

    penilaian, abstraksi, penalaran, membayangkan dan pemecahan masalah.

    Mayer (Solso, 1995) menyatakan bahwa terdapat tiga ide dasar tentang berpikir yaitu:

    (1) Berpikir bersifat kognitif yaitu, menghasilkan secara internal dalam akal namun

    disimpulkan dari perilaku.

    (2) Berpikir adalah suatu proses yang melibatkan beberapa manipulasi pengetahuan dalam

    sistem kognitif.

    (3) Berpikirdiarahkan untukdanmenghasilkanperilaku"memecahkan" masalahataudiarahkan

    padasolusi.

    Sedangkan menurut (Arends, 2008) definisi berpikir adalah:

    (1) Sebuah proses yang melibatkan operasi operasi mental, seperti induksi, deduksi,

    klarifikasi, dan penalaran.

    (2) Sebuah proses representasi secara simbolis (melalui bahasa) berbagai objek dan kejadian

    riil dan menggunakan representasi simbolis itu untuk menemukan prinsip prinsip esensial

    objek dan kejadian tersebut. Representasi simbolis (abstrak) itu biasanya diperbandingkan

    dengan operasi operasi mental yang didasarkan pada fakta dan kasus kasus tertentu di

    tingkat konkret.

    (3) Kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan

    inferensi atau judgement yang baik.

    Sebaiknya sekolah lebih memberikan pembekalan pada siswa untuk berpikir. Siswa harus

    dilatih untuk mempertanyakan isi, misalnya membedakan antara fakta dan opini, kesimpulan

    sementara dan kesimpulan tetap, faktor yang relevan dan yang tidak relevan; generalisasi yang

    yang benar, mengadakan klasifikasi dan sebagainya (Harsanto, 2011).

    Sesuai dengan kedalaman dan kompleksitas kegiatannya, pemikiran matematis

    diklasifikasikan menjadi dua tingkat, berpikir tingkat rendah dan berpikir tingkat tinggi.

    Melakukan operasi aritmetika sederhana, menerapkan aturan secara langsung, mengerjakan tugas,

    digolongkan dalam berpikir tingkat rendah. Di sisi lain, dugaan, pemahaman bermakna,

    kompilasi, analogi dan membuat koneksi diklasifikasikan sebagai berpikir tingkat tinggi

    matematis (Webb dan Coxford dalam Sumarmo dan Nishitami, 2010, 11).

    Kemampuan berpikir tingkat tinggi belum bisa didefinisikan dengan baik, namun higher

    order thinking dengan mudah dapat dikenali apabila fitur fitur utama dari kemampuan berpikir

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    230 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    tingkat tingkat itu muncul atau pada saat proses berpikir itu terjadi. Adapun fitur fitur tersebut

    yang dikemukakan oleh (Lauren Resnick, 1987) yaitu:

    (a) Higher order thinking bersifat non algorithmic, artinya, jalur tindakan tidak ditetapkan

    sebelumnya.

    (b) Higher order thinking cenderung bersifat komplex. Jalur totalnya tidak visibel (secara

    mental) dilihat dari sudut manapun.

    (c) Higher order thinking sering mendapatkan multiple solutions (banyak solusi), masing

    masing dengan kerugian dan keuntungannya masing masing, dan bukan sebuah solusi

    tunggal.

    (d) Higher order thinking melibatkan nuance judgment and interpretasi.

    (e) Higher order thinking melibatkan penerapan multiple criteria (banyak kriteria), yang

    kadang kadang bertentangan satu sama lain..

    (f) Higher order thinking sering melibatkan uncertainty (ketidakpastian). Tidak semua yang

    berhubungan dengan tugas yang harus ditangani telah diketahui.

    (g) Higher order thinking melibatkan self-regulation proses proses berpikir. Kita tidak dapat

    menengarai higher order thinking dalam individu bila orang lainlah yang menentukan

    setiap langkahnya.

    (h) Higher order thinking melibatkan imposing meaning (menentukan makna), menemukan

    struktur dalam sesuatu yang tampak tidak beraturan.

    (i) Higher order thinking bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha). Ada banyak

    pekerjaan mental yang terlibat dalam elaborasi dan judgement yang dituntut di dalamnya.

    Tahun 1956 Bloom menyampaikan gagasan dalam bentuk taksonomi yang dikenal dengan

    Taksonomi bloom yang disajikan dalam bentuk hirarki. Taksonominya bloom memberikan

    pemetaan ranah kognitif dalam kategori berpikir. Bloom membagi tingkat berpikir menjadi enam

    tingkatan yakni pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis, dan berpikir evaluative atau

    berpikir kreatif (evaluation).

    Tahun 1990-an Lorin Anderson, murid dari Bloom membuat revisi dari taxonomy gurunya.

    Revisi yang dilakukan oleh Anderson ini menggunakan kata kerja dari setiap kategori dan

    penyusunan kembali tahapan-tahapan yang ada di dalam taxonomy sebelumnya.

    Menurut (Thompson, 2008, 98) Kemampuan berpikir pada taksonomi Bloom

    mempertimabangkan LOT mencakup pengetahuan dan pemahaman, sementara kemampuan

    berpikir seperti analisis, sintesis, dan evaluasi dikategorikan sebagai HOT. Aplikasi berada

    dianatara baik HOT maupun LOT.

    a. Menganalisis

    Tujuandomain menganalisismencakup belajaruntuk menentukanbagianyang relevan

    ataupenting dari sebuahpesan (membedakan),cara-caradi manabagian -

    bagianpesaninidiatur(mengorganisir)dan tujuandasar daripesan(menghubungkan)

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 231

    5 17

    3 11

    10 25

    9 15

    31

    (a) Membedakan melibatkan membandingkan bagian-bagian dari seluruh struktur dalam hal

    relevansi atau pentingnya. Membedakan terjadi ketika seorang siswa mendiskriminasikan

    informasi relevan dari informasi yang tidak relevan, atau informasi penting dari informasi

    yang tidak penting, dan kemudian berada pada informasi yang relevan atau penting.

    (b) Mengorganisirmelibatkan identifikasiunsur-unsurkomunikasiatau situasidan

    mengenalibagaimana mereka cocok bersamake dalam strukturyang jelas. Dalam

    mengorganisir, mahasiswamembangun koneksisistematis dan

    koherenantarabagianinformasi yang disajikan.Pengorganisasianbiasanya

    terjadiinconjuctiondengan membedakan. Istilahalternatif untukpengorganisasian

    adalahmenyusun, mengintegrasikan, menemukankoherensi,menguraikan, dan melakukan

    pengecekan.

    (c) Menghubungkanterjadi ketikasiswamampumemastikansudut pandang, prasangka, nilai-

    nilai, atau tujuan komunikasidasar. Menghubungkanmelibatkanprosesdekonstruksi, di mana

    siswamenentukanmaksuddaripenulismateri yang disajikan. Sebuahistilahalternatif

    adalahmendekonstruksi. Menghubungkandapat dinilaidengan menyajikanbeberapa

    materitertulis atau lisandan kemudianmemintasiswa untukmembangun

    ataumemilihdeskripsi daripenulisatau titikpandangpembicara, niat, dan sejenisnya.

    Dalam Taksonomi Bloom, tingkat analisis adalah di mana siswa menggunakan

    pertimbangan sendiri untuk mulai menganalisis pengetahuan yang telah mereka pelajari. Pada

    poin ini, mereka mulai memahami struktur yang mendasari untuk pengetahuan dan juga mampu

    membedakan antara fakta dan opini (Kelly, 2002).

    Salah satu jalan untuk melihat kemampuan siswa dalam menganalisis masalah adalah guru

    mengajukan pertanyaan bagaimana jika? (what if ?). Harta, (2008) menyatakan bahwa

    pertanyaan ini membuat siswa memeriksa kembali soal dan melihat apakah pengaruh perubahan

    ini terhadap proses penyelesaian dan juga jawabannya. Dengan jalan ini siswa akan menganalisa

    apa yang terjadi sehingga akan meningkatkan berfikir kritisnya. Berikut contohnya.

    Yani mengambil empat kartu bilangan bernilai 31, 5, 9 dan

    10. Berapakah total nilai kartu-kartu bilangan

    tersebut?

    Dengan proses penjumlahan sederhana diperoleh

    jawaban 55. Sekarang ajukan pertanyaan:

    Bagaimana jika?

    Bagaimana jika Yani mengambil empat kartu dengan total nilai 55? Kartu bilangan manakah

    yang diambilnya?

    Banyak jawaban terhadap pertanyaan ini. Artinya, terdapat banyak jawaban benar. Soal

    terakhir ini lebih memerlukan analisa, bukan sekedar latihan penjumlahan.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    232 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    b. Mengevaluasi

    Evaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria

    yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Itu dapat

    ditentukan oleh siswa atau diberikan kepada siswa oleh orang lain. Kategori

    mengevaluasitermasukproseskognitifpemeriksaan(penilaian tentang konsistensi internal) dan

    mengkritisi(penilaian berdasarkan kriteriaeksternal)

    (a) Memeriksamelibatkan pengujianuntukketidakkonsistenaninternal ataukesalahandalam

    operasiatau hasil.Sebagai contoh, memeriksaterjadi jikates siswaapakahkesimpulanmuncul

    daripremisnya,apakah datamendukung atautidak mendukunghipotesis.Alternatifistilahuntuk

    memeriksamenguji,mendeteksi,memonitor,dan mengkoordinasi.Dalam

    memeriksa,siswamelihatketidakkonsistenaninternal.

    (b) Mengkritisimelibatkanmenilaisuatu produkatau operasiberdasarkan kriteriaeksternalyang

    dikenakandan standar. Dalammengkritisi, siswamencatatfiturpositif dannegatif dariproduk

    danmembuatpenilaian berdasarkansetidaknya sebagianpada fiturtersebut.

    Istilahalternatifmenilai. Dalammengkritisi, seorang siswa dapatdiminta

    untukkritikhipotesisnyasendiri ataupenciptaan atauyang dihasilkan olehorang lain.

    Kritikdapat didasarkan padajenispositif, negatif, atau keduanyakriteriadan

    hasilbaikkonsekuensi positifdan negatif.

    Dalam taksonomi Bloom, tingkat evaluasi adalah tingkat dimana siswa membuat penilaian

    tentang nilai gagasan, sesuatu, bahan, dan banyak lagi. Pada tingkat ini, siswa diharapkan

    membawa semua yang telah mereka pelajari untuk melakukan evaluasi materi yang

    diinformasikan dan diperdengarkan (Kelly, 2002).

    Salah satu cara untuk melihat keterampilan siswa dalam menganalisis adalah menanyakan

    pertanyaan seperti (apakah yang akan kamu lakukan?). Harta (2008) menyatakan bahwa

    pertanyaan ini diajukan untuk merangsang keterampilan berfikir kritis. Setelah menjawab

    pertanyaan, siswa dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Keputusan ini dapat

    didasarkan pada ide pribadi, pengalaman pribadi, atau apa saja sesuai keinginan siswa. Akan

    tetapi siswa harus menjelaskan konsep matematika yang mendasari keputusan tersebut.

    Penjelasan ini bisa dalam bentuk kalimat tertulis sehingga memberi siswa kesempatan untuk

    melatih keterampilan komunikasinya. Berikut contohnya, di suatu kota terdapat dua system tarif

    taksi, tarif lama dan tarif baru. Biaya tarif lama adalah Rp 4000 + Rp250/km, sedangkan tarf

    baru Rp5000 + Rp200/km. Apabila anda memerlukan taksi, taksi manakah yang akan dipilih?

    mengapa?

    c. Mencipta (C6)

    Menciptakanmelibatkanpenempatan unsur-unsursecara

    bersamauntukmembentukkeseluruhanyang koherenataufungsional, yaitu, menata

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 233

    kembalielemenke dalampolabaruatau struktur. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong

    dalam kategori ini, yaitu: membuat, merencanakan, dan memproduksi.

    (a) Membuat: menguraikan suatu masalah sehingga dapat dirumuskan berbagai kemungkinan

    hipotesis yang mengarah pada pemecahan masalah tersebut. Contoh: merumuskan hipotesis

    untuk memecahkan permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatan di lapangan.

    (b) Merencanakan: merancang suatu metode atau strategi untuk memecahkan masalah. Contoh:

    merancang serangkaian percobaan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.

    Memproduksi: membuat suatu rancangan atau menjalankan suatu rencana untuk

    memecahkan masalah. Contoh: mendesain (atau juga membuat) suatu alat yang akan digunakan

    untuk melakukan percobaan.

    Srategi Scaffolding

    Strategi khususnya dalam pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang wajib

    dilakukan. Hal ini dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung di kelas berjalan

    dengan lancar, sesuai dengan apa yang diinginkan dan mencapai hasil yang memuaskan

    sebagaimana semua guru menginginkannya

    Strategi dalam kaitannya pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang

    sengaja direncanakan oleh guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar

    pelaksanaan pembelajaran berjalan dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa

    tercapai secara optimal (Suherman dkk, 2003.) Tentunya semua guru berharap pembelajaran

    yang dilaksanakannya akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan.

    Pembelajaran scaffolding merupakan praktik yang didasarkan pada konsep Vygotsky

    tentang assisted learning. Teknik ini dimulai dengan pemberian dukungan belajar secara lebih

    terstruktur berupa motivasi, bimbingan serta bantuan kemudian secara berjenjang menuntun

    siswa ke arah kemandirian belajar.

    Menurut Hogan dan Pressley (dalam Lagne, 2002) terdapat lima teknik pembelajaran

    scaffolding, yaitu :

    (1) Pemberian model perilaku yang diharapkan

    Modeling umumnya langkah pertama dalam pembelajaran scaffolding. Hal ini didefinisikan

    sebagai "perilaku mengajar yang menunjukkan bagaimana orang harus merasa, berpikir atau

    bertindak dalam situasi tertentu.

    (2) Pemberian penjelasan

    Selain model, sangat penting bagi guru untuk memberikan penjelasan, yang seharusnya

    "pernyataan eksplisit disesuaikan agar sesuai dengan pemahaman peserta didik 'muncul tentang

    apa yang sedang dipelajari (pengetahuan deklaratif atau preposisi), mengapa dan kapan digunakan

    (pengetahuan bersyarat atau situasional), dan bagaimana digunakan (pengetahuan prosedural) "

    (3) Mengundang siswa berpartisipasi

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    234 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Terutama pada tahap awal scaffolding, seorang instruktur harus mengundang partisipasi

    siswa dalam bekerja. Praktek ini melibatkan siswa dalam belajar dan menyediakan dengan

    kepemilikan pengalaman belajar. Siswa mungkin diajak untuk berpartisipasi secara lisan atau

    dia mungkin akan diminta untuk datang ke depan kelas dan menyumbangkan ide atau

    strateginya secara tertulis. Ketika siswa menyumbangkan ide ide mereka tentang suatu topik

    atau keterampilan, guru bisa menambahkan ide sendiri untuk memandu diskusi. Jika pemahaman

    siswa tidak benar atau hanya sebagian benar, guru dapat memperbaiki mereka dan memperbaiki

    penjelasannya.

    (4) Menjelaskan dan mengklarifikasi pemahaman siswa

    Sebagai hasil dari pengalaman siswa terhadap materi baru, penting bagi guru untuk

    terus menilai pemahaman mereka dan menawarkan umpan balik. "Memeriksa pemahaman siswa

    dan mengklarifikasi" pada dasarnya adalah menawarkan umpan balik afirmatif untuk pemahaman

    masuk akal, atauumpan balik perbaikan untuk pemahaman tidak masuk akal.

    (5) Mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.

    Sedangkang Vygotsky mengidentifikasi empat tahap pembelajaran scaffolding Byrnes

    (Lagne, 2002) yaitu:

    (1) Tahap pertama adalah pemodelan, dengan penjelasan verbal.

    (2) Tahap kedua adalah peniruan siswa dari keterampilan yang telah mereka lihat atau

    dimodelkan oleh guru mereka, termasuk penjelasan. Selama fase ini, guru harus terus-

    menerus menilai pemahaman siswa dan sering menawarkan bantuan dan umpan balik.

    (3) Tahap ketiga adalah periode ketika instruktur mulai menghapus bimbingannya atau

    scaffolding-nya. Guru mengurangi untuk menawarkan bantuan dan umpan balik kepada

    murid-muridnya ketika murid murid mereka mulai menguasai konten.

    (4) Pada tahap empat, para siswa telah mencapai tingkat ahli penguasaan. Mereka dapat

    melakukan tugas baru tanpa bantuan dari guru mereka.

    Secara operasional (Syamsiah, 2008), strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh

    melalui tahapan-tahapan berikut:

    (1) Mengecek hasil belajar sebelumnya

    (a) Assesmen keterampilan atau pengetahuan sebelumnya yang dimiliki oleh siswa berkaitan

    dengan tugas belajar baru yang akan diberikan. Assesmen hendaknya dilakukan secara

    perseorangan melalui interaksi langsung dengan masing-masing siswa.

    (b) Menentukan the Zone of Proximal Development (ZPD) untuk masing-masing siswa. Siswa

    kemudian dapat dikelompokkan menurut level perkembangan awal yang dimiliki dan atau

    yang membutuhkan ZPD yang relatif sama. Siswa dengan ZPD yang jauh berbeda dengan

    kemajuan rata-rata kelas dapat diberi perhatian khusus.

    (2) Merancang tugas-tugas belajar (aktivitas belajar scaffolding)

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3 235

    (a) Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci sehingga dapat

    membantu siswa melihat sasaran tugas yang diharapkan akan mereka lakukan.

    (b) Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat

    dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringatan, dorongan

    (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh.

    (3) Memantau dan memediasi aktifitas dalam belajar

    (a) Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar diikuti dengan pemberian dukungan

    seperlunya. Kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan

    membiarkan siswa menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.

    (b) Memberikan dukungan kepada siswa dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci,

    dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat memancing siswa bergerak ke arah kemandirian

    belajar dan pengarahan diri.

    (4) Mengecek dan mengevaluasi belajar

    (a) Hasil belajar yang dicapai, bagaimana kemajuan belajar setiap siswa.

    (b) Proses belajar yang digunakan, apakah siswa bergerak ke arah kemandirian dan pengaturan

    diri dalam belajar.

    (c) Tentang diri siswa, hambatan-hambatan internal apa yang dihadapi siswa dalam belajar dan

    mencapai kemandirian dalam belajar.

    Kaitan Higher Order Thinking dengan Strategi Scaffolding

    Interaksi sosial anak dengan orang yang lebih pakar dan dengan lingkungannya secara

    signifikan sangat mempengaruhi cara berpikir siswa dan caranya menginterpretasi situasi. Ia

    mengembangkan intelektualnya melalui internalisasi konsep berdasarkan interpretasinya sendiri

    yang terjadi dalam sosial setting. Komunikasi yang terjadi dengan orang yang lebih pakar

    membantu siswa mengkonstruk suatu pemahaman konsep (Nusu,2010).

    Stuyf (Nusu, 2010) menyatakan bahwa peran guru atau pakar menjadi kunci teori ini

    melalui bimbingan yang diberikan kepada anak, sehingga anak sanggup mencapai sesuatu yang

    tidak berada pada level kemampuannya sendiri. Mereka beralih dari level aktual ke level

    potensialnya. Anak tidak dianggap sebagai saintis yang mencoba penyelesaian, akan tetapi aktif

    belajar dibimbing oleh orang yang lebih pakar. Dipercaya bahwa anak dapat diajar secara efektif

    menggunakan teknik scaffolding pada daerah ZPD. Guru mengaktifkan daerah ini saat

    mengajarkan konsep di atas tingkat keterampilan dan pengetahuan yang ada pada siswa yang

    mendorong mereka untuk melampaui tingkat keterampilan terakhir mereka. Siswa diarahkan dan

    dibimbing melalui aktivitas belajar yang berfungsi sebagai jembatan interaktif untuk membawa

    mereka ke tingkat berikutnya. Dengan demikian siswa mengembangkan dan mengkonstruk

    pengetahuan baru melalui elaborasi pengetahuan sebelumnya dengan support yang disiapkan oleh

    pakar. Tanpa pengalaman belajar terbimbing dan interaksi sosial, maka pengembangan belajar

    akan terhambat.

  • Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013 Volume 1

    236 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 3

    Saat pemberian masalah (matematika) yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi

    siswa, tidak menuntut kemungkinan banyak siswa yang membutuhkan bantuan dari guru. Hal ini

    dimungkinkan karena kebanyakan siswa masih belum terbiasa dalam menyelesaikan masalah

    yang demikian. Olehnya itu bantuan yang intensif dari seorang guru pada tahap awal sangat

    dibutuhkan. Tahap awal ini merupakan tahap awal dalam strategi pembelajaran scaffolding.

    Bantuan yang intensif pada tahap awal dalam menyelesaikan permasalahan matematika yang

    menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berupa bantuan secara individu ataupun

    kelompok oleh guru. Bantuan ini akan membentuk cara berpikir siswa dalam menyelesaikan soal.

    Pada saat siswa mendapat kesulitan