romusa
-
Upload
azkaa-constantine -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of romusa
-
7/22/2019 romusa
1/29
Identitas Buku:
Judul : Mobilitas dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial
di Pedesaan Jawa 1942-1945
Penulis : Aiko Kurasawa
Tahun Terbit : 1993
Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : xxxv + 563 halaman
Mobilitas dan Kontrol
Diperkenalkannya kebijakan ekonomi yang sangat memeras, dalam
banyak hal sungguh-sungguh mempengaruhi masyarakat pribumi. Karena sasaran
utama eksploitasi di Jawa adalah hasil-hasil pertanian serta tenaga kerja, pihak
Jepang tidak bisa mencapai tujuan mereka tanpa kerjasama yang baik dari
penduduk pribumi, dan hal ini mau tidak mau mendorong pemerintahan militer ke
dalam kontak dan campur tangan yang mendalam dengan masyarakat pribumi.
Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh McCoy, penerapan
kebijakan-kebijakan sosio-ekonomi Jepang, serta tanggapan rakyat jelata (massa)
terhadapnya, menjadi salah satu pokok penelitian yang penting. Topik ini lebih
penting terutama karena kebijakan Jepang sebenarnya lebih diarahkan kepada
massa daripada kepada elite kota. Manipulasi terhadap kelas penguasa tak lebih
dari sekadar sarana untuk mendapatkan kontrol atas massa. Akan tetapi, studi-
studi yang ada selama ini lebih ditekankan pada para pemimpin dan kaum elite
sebagai pelaku sejarah, dengan lokasi yang umumnya ada di sektor perkotaan.
Studi-studi yang diarahkan pada Revolusi Sosial sekalipun, cenderung begitu,
kecuali studi-studi yang dilakukan Anton Lucas. Hanya sedikit yang mengulas
persoalan seperti apa yang sebenarnya terjadi di lapisan masyarakat bawah,
1
-
7/22/2019 romusa
2/29
terutama di masyarakat pedesaan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat
Indonesia pada masa itu.
Untuk bisa memahami dampak kebijakan-kebijakan Jepang terhadap
massa, diperlukan akses/pendekatan dari berbagai aspek. Di samping penelitian-
penelitian terhadap kebijakan-kebijakan sosial ekonomi, harus dipertimbangkan
juga serangkaian perangkat yang digunakan Jepang untuk menarik kerjasama
umum, seperti propaganda, pendidikan serta mobilitas politik. Lebih jauh lagi
dalam membahas masalah ini, perlu dikupas juga kebijakan serupa yang dilakukan
di Jepang terhadap rakyat mereka sendiri, karena kebanyakan kebijakan yang
dilakukan di Jawa merupakan tiruan dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan di
Jepang.
Dengan terhentinya perdagangan luar negeri dan adanya tuntutan militer
secara besar-besaran dari pihak Jepang, terjadi perubahan yang radikal dalam
keseimbangan pemasokan dan permintaan barang dan komoditi. Juga, pihak
pemerintah harus mempengaruhi penduduk desa untuk menyesuaikan sistem
produksi mereka dengan situasi baru ini. Bahan pangan dan makanan sangat
dibutuhkan sehingga produksinya harus ditingkatkan, sementara produksi
tanaman keras yang sebelumnya untuk diekspor, dibatasi. Di samping kontrol atas
produksi ini, pemerintah harus mengumpulkan hasil produksi secara efektif.
Untuk tujuan tersebut mereka menerapkan sistem pengawasan yang sangat ketat
dalam hal pemasaran dan distribusi komoditi. Petani diperintahkan untuk
menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah (sistem penyerahan
paksa). Selain itu, untuk mengatasi persoalan langkanya komoditi, distribusi dan
sirkulasinya harus dibatasi dengan memperkenalkan sistem penjatahan. Semua
kebijakan tersebut memperburuk kehidupan petani serta meningkatkan
kemiskinan di wilayah pedesaan.
Tenaga manusia juga direkrut untuk bekerja bagi negara di bawah
sebutan romusa dan pemasok tenaga ini yang terbesar ialah masyarakat pedesaan,
yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak serta tingkat pengangguran
2
-
7/22/2019 romusa
3/29
terselubung yang tinggi. Jutaan manusia direkrut, yang membawa akibat serius
tidak hanya dalam pengertian aspek-aspek kemanusiaan, tetapi juga dalam artian
bahwa ia juga menyebabkan berkurangnya tenaga kerja di pedesaan dan sungguh-
sungguh mempengaruhi kegiatan pertanian yang normal.
Untuk melancarkan pelaksanaan semua kebijakan tersebut, lembaga-
lembaga sosial dan ekonomi yang baru, misalnya rukun tetangga yang disebut
tonarigumi dan koperasi desa yang biasanya disebut nogyo kumiai, dibentuk di
bawah pengawasan pemerintah. Analisis tentang aspek-aspek sosial ekonomi
kebijakan Jepang serta tanggapan petani terhadapnya, tidak hanya penting dilihat
dari sudut perubahan struktur sosial ekonomi, tetapi juga menjadi dasar untuk
mengembangkan pembahasan di dalam bab berikutnya. Kesulitan ekonomi dan
sifat semena-mena dari kebijakan Jepang tampaknya bertanggung jawab atas
menderitanya tatanan sosial serta berubahnya keseimbangan kekuasaan di
masyarakat tradisional.
Dalam rangka mempermudah tercapainya tujuan-tujuan ekonomi mereka,
Jepang dengan berbagai cara berusaha menarik rakyat pedesaan ke arah kerjasama
yang lebih positif. Usaha yang paling kentara tampak dalam bidang-bidang
propaganda, pendidikan dan mobilitas massa. Untuk melakukan propaganda,
dibentuk sebuah departemen yang berdiri sendiri di dalam pemerintahan militer
dan usaha-usaha propaganda yang sangat canggih serta teratur berkembang,
sebagaimana biasa terjadi di setiap rezim fasis. Banyak tokoh yang berbakat
dikirim dari Jepang dan segala jenis media dimanfaatkan. Yang terutama menjadi
ciri skema propaganda Jepang ialah digunakannya secara efektif media
audiovisual seperti film, siaran radio, dan teater yang sangat efektif menjangkau
rakyat pedesaan yang buta huruf.
Sebuah upaya khas Jepang lainnya adalah menyelenggarakan kursus-
kursus latihan untuk indoktrinasi politik serta memanfaatkan mereka yang telah
dilatih sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat. Latihan berbagai
kelompok fungsional, profesional dan sosial, diselenggarakan begitu seringnya
3
-
7/22/2019 romusa
4/29
sehingga periode Jepang sering disebut sebagai zaman latihan. Salah satu
contoh yang paling menarik dan penting ialah latihan untuk alim ulama.
Umumnya, sebagai guru pesantren lokal, yang mengajarkan Alquran serta
pelajaran dasar Islam bagi penduduk pedesaan, mereka hidup di luar sektor
pemerintahan, tetapi memiliki pengaruh kuat terhadap rakyat. Jepang menganggap
ada gunanya memanfaatkan para alim ulama lokal tersebut. Mereka, yang di
zaman Belanda hanya dianggap unsur masyarakat yang berbahaya dan anti
pemerintah, dipakai sebagai propaganda untuk menjinakkan dan mengendalikan
masyarakat pedesaan.
Di samping pencerahan melalui media propaganda dan pembentukan
pemimpin perantara, Jepang juga berusaha untuk memobilisasikan penduduk
pedesaan secara langsung dengan mengatur mereka ke dalam organisasi massa
yang disponsori oleh pemerintah, serta melalui pengembangan pendidikan sekolah
pada jenjang rendah. Mereka membentuk organisasi semacam seinendan
(organisasi pemuda), keibodan (organisasi keamanan), fujinkai (organisasi
wanita), Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian Jawa) dan Barisan Pelopor. Merekaberusaha mendayagunakan kekuatan rakyat demi tercapainya kebijakan
pemerintahan serta membentuk massa ke dalam model yang mereka inginkan.
Pendidikan dasar juga ditekankan. Secara menyeluruh, mereka melakukan
reorganisasi sistem pendidikan yang ada. Pendidikan elite bergaya Barat
dihapuskan dan hanya pendidikan dengan bahasa daerah yang diizinkan. Jepang
memberikan prioritas lebih kepada pengembangan pendidikan dasar di kalangan
massa rakyat daripada pengajaran sejumlah kecil elite. Usaha-usaha ini
bertanggung jawab atas meningkatnya mobilitas sosial.
Salah satu perkembangan terpenting yang terjadi ialah perubahan-
perubahan yang berlangsung dalam kelas penguasa pribumi. Dalam rangka
menjalankan kebijakan masa perang secara lebih efektif, Jepang menggunakan
kontrol secara ketat serta campur tangan langsung di dalam korps pangreh praja
dan kepemimpinan desa. Mereka yang kurang mau bekerjasama disingkirkan dan
digantikan dengan mereka yang lebih mau bekerjasama. Karena itu, mereka
4
-
7/22/2019 romusa
5/29
terpaksa ikut bekerjasama dengan pihak Jepang, kadang-kadang sampai ke
tingkay yang lebih tinggi daripada yang sesungguhnya dibutuhkan. Juga dengan
menangani perekonomian yang mereka kendalikan sendiri, mereka bisa
mengambil keuntungan: tingginya inflasi serta langkanya komoditi mendorong
mereka untuk terlibat korupsi dan pasar gelap.
Semua kebijakan selama pendudukan Jepang tersebut benar-benar sangat
mempengaruhi kehidupan rakyat serta membawa mereka ke dalam kemiskinan
kebendaan dan ketidaknyamanan psikologis. Dengan meningkatnya penderitaam
di satu pihak serta meningkatnya mobilitas sosial di pihak lain, masyarakat Jawa
mengalami ketidakstabilan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keresahan
sosial yang ekstrem muncul pada akhir zaman pendudukan.
Romusha: Eksploitasi Tenaga Kerja
Bagi orang Indonesia, romusa berarti seorang buruh kuli yang
dimobilisasikan bagi pekerjaan kasar di bawah kekuasaan militer Jepang. Mereka
pada umumnya petani biasa, yang diluar kehendak mereka, diperintahkan supayabekerja pada proyek-proyek pembangunan dan pabrik. Jutaan orang Jawa
dimobilisasikan dengan cara ini dan tidak sedikit di antaranya yang dikirim ke
luar negeri. Banyak di antaranya yang meninggal karena kerja keras dan kondisi
kesehatan yang sangat buruk. Banyak lainnya, yang cukup beruntung bertahan
hidup, menderita akibat penyakit, kekurangan gizi dan luka-luka. Keluarga
mereka, yang pencari nafkahnya dibawa pergi, menderita akibat kemiskinan dan
tanah pertanian mereka sering dibiarkan tak ditanami karena langkanya tenaga
kerja. Akhirnya, hal ini menyebabkan situasi rendahnya produktivitas pertanian.
Salah satu tujuan utama Jepang di Asia Tenggara ialah untuk memperoleh
sumber-sumber ekonomi dan untuk menciptakan suatu landasan pasok ekonomi
yang penting demi kelangsungan perang di sana. Jepang terutama memperhatikan
kegiatan-kegiatan ekonomi dan memberikan serta mencurahkan tenaga besar-
besaran dalam bidang ini. Upaya-upaya dibuat tidak hanya dalam kegiatan-
kegiatan produktif, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur yang akan
5
-
7/22/2019 romusa
6/29
meningkatkan produksi. Dalam menjalankan proyek-proyek ini, Jepang
menganggap tenaga kerja di Jawa yang berlebihan sebagai salah satu sumber daya
terpenting di Jawa, dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta surplus
tenaga kerja, memberikan sumber tenaga yang paling penting di Asia Tenggara.
Dalam mengatur romusa, pemerintah Jepang melakukan pembedaan yang
jelas antara mereka yang dikirim jauh dari rumah mereka dengan kontrak yang
relatif berjangka panjang dan mereka yang ditempatkan untuk bekerja di
wilayah yang berdekatan selama jangka waktu relatif pendek. Sekalipun
keduanya disebut romusa di dalam dokumen-dokumen resmi Jepang yang
terdahulu ditempatkan di bawah kendali dan manajemen langsung pemerintahan
militer Jepang, sementara yang belakangan ditangani sebagai persoalan setempat
oleh setiap residen. Lebih jauh lagi, hanya untuk yang pertamalah dibentuk
organisasi perekrutan serta organisasi kesejahteraan. Penderitaan mental dan
psikologis lebih serius dan tingkat korban sesungguhnya lebih tinggi di kalangan
yang disebut pertama itu. Namun di mata rakyat, kedua kategori tersebut saman-
sama merupakan korban pendudukan Jepang dengan pengertian bahwa merekamenderita sebagai tenaga kasar demi keuntungan Jepang di bawah kondisi kerja
yang mengerikan dan istilah romusa dalam sejarah Indonesia digunakan
mencakup kedua jenis tersebut.
Seharusnya romusa dibayar, meskipun beberapa di antaranya menyatakan
bahwa mereka tidak dibayar. Betapapun kecilnya upah, mereka yang dibayar
sesuai dengan yang dijanjikan masih lebih kaya. Beberapa romusa sama sekali
tidak dibayar atau dibayar jauh lebih kecil daripada kontrak. Pembenaran yang
dilakukan atasan mereka ialah uang tersebut dikirim langsung kepada keluarga
mereka di Jawa. Tetapi dalam banyak kasus, keluarga mereka tidak menerima
apapun, atau jika menerimanya, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya.
Anggaran tetap telah dialokasikan oleh penguasa militer Jepang sebagai upah
romusa Jepang, tetapi yang tersebut tidak sampai ke tangan buruh. Mungkin hal
ini sebagian karena penggelapan oleh para kerani yang mempunyai kedudukan
6
-
7/22/2019 romusa
7/29
untuk dibayarkan sebelumnya menjelang keberangkatan seseorang sebagai uang
persiapan, tetapi diambil oleh pejabat yang bertugas dalam proses perekrutan.
Ada kemungkinan romusa dianggap seolah-olah barang yang dapat
dihabiskan dan selalu bisa diganti dan sedikit sekali yang menaruh perhatian
untuk mencegah atau mengurangi kelelahan mereka. Seolah-olah ada perhitungan
bahwa akan lebih murah untuk memasok romusa baru daripada mengambil resiko
merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit. Dengan demikian, puluhan
ribu romusa kehilangan nyawa mereka karena kekurangan pencegahan yang
dilakukan Jepang. Bahkan, sebelum sampai tempat kerja mereka, beberapa orang
meninggal karena kondisi pengapalan yang sangat buruk.
Di samping kelelahan fisik dan kondisi kesehatan yang buruk, romusa juga
dihadapkan pada bahaya serangan udara Sekutu. Karena kebanyakan romusa
mengerjakan proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan perang, tempat
kerja mereka sering menjadi sasaran serangan udara. Laporan interogasi NEFIS,
dengan merujuk pada serangan udara di daerah pelabuhan Surabaya, menyatakan
bahwa romusa yang bekerja di sana bingung dan berusaha melarikan diri. Jepang
mengalami kesukaran untuk mengejar buruh kerja tersebut dan
mengembalikannya ke Surabaya.
Secara umum, tampaknya Jepang tidak mempunyai konsepsi jangka
panjang tentang pemanfaatan tenaga kerja. Mereka tidak mempunyai pengertian
akan penjagaan dan pemeliharaan tenaga kerja sebegitu rupanya sehingga bisa
menopang pemasokan jangka panjang secara terus menerus dan mereka hanya
berusaha sedikit sekali untuk memberikan daya hidup yang lebih lama bagi
sumber daya manusia. Selama sikap dasar Jepang tidak berubah, kesengsaraan
romusa tidak berubah, sekalipun terdapat pergeseran peraturan-peraturan ini.
Perekrutan romusa di bawah kekuasaan Jepang meninggalkan luka yang
sangat mendalam pada masyarakat Jawa. Ia tidak hanya menyebabkan hilangnya
nyawa secara besar-besaran, tetapi juga mengganggu kegiatan ekonomi yang
normal di pedesaan. Penurunan produksi secara serius pada zaman Jepang
7
-
7/22/2019 romusa
8/29
sebagian disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja akibat penekanan romusa. Di
samping kerugian material, kita tidak boleh mengabaikan dampak psikologis
persoalan romusa. Ia menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk desa terhadap
penguasa Jepang yang tak terlihat dan terhadap pemimpin di dalam komunitas
mereka sendiri. Bagi para penduduk desa, Jepang terlihat seperti vampir yang
terus menerus menghisap darah orang Jawa. Tetapi rakyat juga takut terhadap
pemimpin desa dan ketua tonarigumi yang berkuasa menunjuk korban bagi
Drakula ini. Rakyat terus menerus cemas akan kemungkinan terpilih sebagai
romusa dan selalu menghadapi pertanyaan, siapa berikutnya? Pada saat yang sama
perekrutan romusa dapat dimanfaatkan sebagai sarana intimidasi oleh penguasa.
Penduduk desa tidak bisa bertindak lain selain patuh karena takut terpilih. Juga
perekrutan romusa dipergunakan oleh penduduk desa sebagai suatu kesempatan
untuk menyulitkan saingan yang mereka benci. Segala macam desas desus,
tuduhan dan fitnah beredar untuk mengirim seseorang pergi sebagai romusa.
Tepat pada saat diperlukan lebih banyak solidaritas dan kerjasama untuk
mengatasi kekuasaan asing yang semena-mena, tumbuh kecurigaan di kalangan
penduduk desa.
Dengan demikian persoalan romusa meninggalkan luka psikologis yang
mendalam. Di Museum Sejarah Monas Jakarta, sebuah adegan yang melukiskan
romusa dipertontonkan sebagai satu-satunya peristiwa untuk mewakili zaman
Jepang. Sangat mencolok bahwa di antara berbagai peristiwa penting yang terjadi
selama di bawah kekuasaan Jepang, romusa dipilih sebagai peristiwa yang paling
simbolis untuk mewakili periode ini. Persoalan romusa pastilah juga merupakan
salah satu ingatan yang paling memalukan bagi orang Jepang yang terlibat, dan
tidak dapat dilupakan baik oleh orang Indonesia maupun orang Jepang.
Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa
Kebijakan-kebijakan Jepang di Jawa dapat dicirikan oleh perpaduan yang
cerdik antara mobilisasi dan kontrol. Istilah mobilisasi atau doin dalam
bahasa Jepang memiliki beragam makna dan sering sangat kabur. doin dalam
8
-
7/22/2019 romusa
9/29
bahasa Jepang berarti menarik sesuatu dan menempatkannya untuk dimanfaatkan
demi tujuan tertentu. Di Jepang pada masa perang, istilah ini sering digunakan
dalam pengertian memeras, mengumpulkan dan memindahkan barang serta
komoditi sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Tetapi dalam
konteks lain, istilah ini juga berarti memanggil rakyat untuk berpartisipasi dalam
pengabdian militer, pekerjaan umum, kegiatan-kegiatan politik atau seremonial
dan lain-lain.
Kebijakan-kebijakan Jepang pada masa perang, baik di Jepang maupun di
wilayah-wilayah pendudukan, diarahkan pada mobilisasi semacam itu. Untuk
melanjutkan upaya perang, yang akhirnya bertujuan untuk membangun blok
kawasan yang utuh yaitu Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, di
bawah kepemimpinan Jepang. Jepang perlu memobilisasikan sumber daya
ekonomi dan tenaga dari seluruh wilayah yang diduduki dan juga dari Jepang
sendiri. Demi tujuan tersebut, mereke memerlukan dukungan penuh dan
kerjasama dari penduduk dan dengan demikian mengharuskan untuk mendidik,
melatih serta sampai tingkat tertentu mempolitikkan penduduk ke arah yangmereka kehendaki.
Kebijakan mobilisasi Jepang pada masa perang selalu dipadukan dengan
kontrol ketat oleh pemerintah. Seluruh kegiatan ekonomi secara ketat dikontrol
melalui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam
kegiatan politik, ideologi atau ekspresi yang diizinkan. Rakyat diharapkan
mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas dalam tingkah
laku mereka, seperti yang selalu terjadi di dalam rezim-rezim totaliter. Dengan
demikian, mobilisasi di Jawa selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang
ditetapkan oleh dan di bawah kontrol ketat pemerintahan militer.
Sekalipun demikian, kebijakan Jepang membantu melahirkan berbagai
perubahan dan fenomena baru di masyarakat dengan mengaduk-aduk seluruh
masyarakat serta menyebabkan timbulnya kebingungan, keragaman, mobilitas dan
perpecahan.
9
-
7/22/2019 romusa
10/29
Perubahan sosial semacam ini paling mencolok di kawasan pedesaan,
karena tekanan pemerintah militer Jepang paling kuat di sana. Masyarakat desa
subur dengan sumber-sumber dan barang-barang yang dibutuhkan Jepang dan
boleh dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya pemerintahan Jepang tergantung
apakah Jepang bisa menarik bantuan dari masyarakat pedesaan. Oleh karena itu,
Jepang mengadakan bermacam-macam proyek dan kegiatan baru di desa sehingga
ikut campur tangan dengan masalah administrasi dan adat masyarakat desa.
Pada zaman Jepang situasi sudah banyak berubah. Jepang mulai campur
tangan dengan kehidupan desa dan ekonomi rumah tangga petani dan ada
bermacam-macam tekanan berat dari pemerintah militer. Hasil bumi yang paling
dibutuhkan Jepang adalah padi. Oleh karena itu, usaha-usaha menggandakan hasil
dibuat dengan sepenuh tenaga, teknologi pertanian baru serta jenis padi baru
diperkenalkan oleh ahli-ahli pertanian Jepang.
Pemerintah militer Jepang memperkenalkan sistem yang sudah dijalankan
di Jepang untuk mendapatkan jumlah padi sebanyak mungkin. Dalam sistem itu,
untuk mendapatkan jatah tertentu dari hasil petani diharuskan dijual ke
pemerintah dengan harga murah. Jatahnya berlainan, kadang-kadang hampir
separo dari penghasilan, tergantung daerahnya. Kebanyakan petani Jawa memiliki
sawah kecil. Penghasilan yang sangat terbatas itu kebanyakan dimakan sendiri dan
hanya sebagian dijual ke pasar. Oleh karena itu sistem wajib serah padi, petani
miskin menderita kekurangan makanan sendiri. Situasi dipersukar lagi karena
mereka tidak diberi kesempatan membeli beras lagi, karena penjualan beras
dikontrol oleh pemerintah dan bisa dibeli hanya dengan memakai kupon yang
disediakan oleh pemerintah. Pembagian kupon itu tidak ada di masyarakat
pedesaan. Sebagai akibatnya, kelaparan terjadi dan kondisi sosial sangat menurun.
Romusa adalah tenaga kerja paksa yang digunakan untuk kepentingan
militer Jepang, seperti pembangunan lapangan terbang dan benteng pertahanan
serta pekerjaan di pabrik-pabrik militer. Pada permulaan pendudukan Jepang,
waktu masih ada banyak tenaga kerja yang menganggur, umpamanya bekas buruh
10
-
7/22/2019 romusa
11/29
tani di onderneeming, romusa mudah didapat dengan sukarela. Tetapi lama
kelamaan kabar tentang kondisi kerja romusa yang sangat menyusahkan
disebarkan sedikit demi sedikit dan susah dicari yang ingin menjadi romusa. Oleh
karena itu, pemerintah militer Jepang menggunakan cara keras dengan
menentukan jatah romusa ke masing-masing desa. Kepala desalah yang wajib
mencari calon romusa. Yang diambil sebagai romusa jumlahnya kurang lebih
empat juta orang, di antaranya dua atau tiga ratus ribu orang yang dikirim ke luar
Jawa. Oleh karena itu, kondisi kerjanya kurang baik, banyak yang dikirim ke luar
negeri mati. Yang selamat sampai berakhirnya perang ditinggalkan di tempat kerja
pada waktu tentara Jepang pulang ke negeri sendiri. Sebagian yang beruntung,
dipulangkan dengan bantuan palang merah dan instansi lain dari negara-negara
sekutu. Salah satu akibat pengambilan romusa di dalam masyarakat pedesaan
adalah kerusakan hubungan antara pemimpin desa dan penduduk yang menjadi
korban.
Pendidikan sekolah zaman Jepang penting karena dualisme dalam sistem
pendidikan zaman Belanda sudah dihapuskan yaitu sekolah Belanda dilarang danhanya diizinkan sekolah-sekolah yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Artinya pembedaan antara rakyat jelata dan elit dihapuskan dan semua
orang diberi kesempatan yang sama, dan sebagai akibatnya mobilitas sosial
diperkuat. Juga pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar memberi
kesempatan untuk mempromosikan bahasa itu dalam masyarakat. Di bawah
penjajahan Jepang dipakai kurikulum dan sistem pendidikan cara Jepang. Jepang
menganggap pendidikan sebagai salah satu cara menyebar penerangan dari
pemerintah dan karena itu, mereka berusaha memperbanyak jumlah murid.
Sebagai akibatnya, jumlah sekolah dan murid juga bertambah.
Usaha Jepang terhadap propaganda dan mobilisasi massa bersifat politik
dan didasarkan atas ideologi mereka. Artinya Jepang bermaksud menggerakkan
rakyat Indonesia sesuai dengan ideologinya, tetapi sebagai akibatnya, sebagian
rakyat mulai mengalami kebangkitan kesadaran politik. Oleh karena itu volume
informasi dari luar negeri meningkat melalui persentuhan yang lebih besar dengan
11
-
7/22/2019 romusa
12/29
skema propaganda dari atas melalui pengajaran berbagai kursus latihan, hal ini
membantu membentuk gambaran yang lebih jelas mengenai bangsa, sejarah dan
situasi sosial serta politik mereka. Mereka mulai merasakan persatuan dengan
kaum politik dan intelektual dari daerah lain. Rasa bermusuhan terhadap Belanda
yang diperbesar oleh propaganda Jepang membangkitkan rasa nasionalisme kabur
yang telah ada di dalam hati rakyat. Aliran itu selanjutnya diperkuat dengan
adanya revolusi kemerdekaan sesudah berakhirnya penjajahan Jepang. Oleh
karena perubahan sosial yang begitu intensif, masyarakat Jawa mengalami
keragaman dan ketidakstabilan. Penderitaan ekonomi dan material memperlebar
perpisahan antara mereka yang menderita lebih berat dan mereka yang mengambil
keuntungan darinya. Secara umum penderitaan kurang begitu berat di kalangan
petani kelas atas yang makmur karena mereka mempunyai berbagai cara untuk
mengurangi atau menghindari hal-hal ini. Yang miskin semakin miskin dan hal ini
menjadi salah satu penyebab munculnya keresahan sosial yang luar biasa. Dalam
suasana begitu, kekuasaan tradisional digoyang oleh kemarahan rakyat dan
kemarahan itu ditujukan kepada pemimpin tradisional seperti pamong desa dan
kepala desa.
Sebagai akibat kemarahan rakyat terhadap pemimpin tradisional dan juga
karena tekanan ekonomi begitu jelek, pada tahun 1944 telah terjadi
pemberontakan-pemberontakan. Pertama pada bulan Februari di Singaparna,
Tasikmalaya, terjadi peristiwa pemberontakan Pesantren Sukamanah yang
dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa. Selanjutnya pada bulan Juli di beberapa
daerah di Kabupaten Indramayu terjadi pemberontakan-pemberontakan petani
yang menentang terhadap penyetoran padi. Dalam kedua peristiwa tersebut
terdapat hilangnya penghormatan. Dan ketakutan terhadap penguasa pribumi yang
mulai terjadi pada akhir masa pendudukan Jepang, berkembang menjadi tindakan-
tindakan serius yang menentang kekuasaan tradisional. Pada awal masa revolusi,
timbul tindakan-tindakan serius yang disebut sebagai kedaulatan rakyat dan
revolusi sosial.
12
-
7/22/2019 romusa
13/29
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan
pendudukan Jepang di Jawa bertanggung jawab atas timbulnya bermacam-macam
perubahan sosial di dalam masyarakat pedesaan. Oleh karena itu karena keperluan
negara Jepang akan eksploitasi sumber-sumber ekonomi Jawa, Jepang tidak segan
ikut campur dalam masalah-masalah ekonomi desa serta kehidupan petani sehari-
hari. Kontrol yang kuat dipergunakan terhadap usaha-usaha dan kegiatan ekonomi
mereka dan itu mempengaruhi perubahan susunan pertanian dan susunan pasar di
Jawa. Selanjutnya juga diperkenalkan banyak kontrol terhadap pemerintahan desa
dan sebagai akibatnya timbul perubahan di dalam hubungan sosial dan sistem
kepemimpinan desa. Lagi pula, agar bisa dilaksanakan kebijakan Jepang tersebut
dengan lancar, diusahakan pengerahan massa ke arah tujuan Jepang melalui
propaganda dan pendidikan. Sebagai akibat ditingkatkannya mobilitas sosial di
antara penduduk desa, baik secara horisontal maupun vertikal, zona kegiatan
mereka meningkat, sekaligus merangsang timbulnya perasaan identitas nasional di
lain pihak. Tetapi pada saat yang sama ia bertanggung jawab atas menguaknya
keterpisahan sosial di kalangan rakyat dari berbagai lapisan sosial dan antara
penguasa pemerintahan dan mereka yang dikuasai. Ringkasnya, ia membantu
meningkatkan keragaman dan diversifikasi di masyarakat pedesaan. Cara-cara
berpikir dan bertingkah laku yang baru, pola-pola persekutuan dan persaingan,
mulai terlihat.
Namun pertanyaan penting di sini ialah apakah akibat-akibat kebijakan
Jepang tersebut hanya merupakan perubahan sementara, atau mempunyai akibat-
akibat yang mendasar dan berkelanjutan atas masyarakat. Pada kenyataannya tiga
setengah tahun adalah waktu yang terlalu pendek bagi Jepang untuk mencapai
sasaran-sasaran yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki
cukup waktu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan tersebut dengan skala
sebegitu rupa, yang bisa mengakibatkan perubahan mendasar seperti yang mereka
inginkan.
Sekalipun demikian, beberapa upaya Jepang tampak membawa akibat
tertentu bagi masyarakat. Memang banyak di antaranya yang tidak berlangsung di
13
-
7/22/2019 romusa
14/29
bawah pengaruh Jepang. Dalam beberapa kasus, pasangnya perubahan telah
dimulai pada akhir zaman Belanda, terutama selama depresi Ekonomi tahun 1930-
an. Tetapi dapat dikatakan bahwa perubahan ini dipercepat oleh pemerintahan
Jepang. Beberapa perubahan lainnya dihasilkan dari kekuasaan Jepang yang
timbul di luar kehendak dan antisipasi mereka. Sering terjadi bahwa kekuatan
potensial di dalam masyarakat pribumi sendirilah yang melalui tanggapan berhati-
hati atas dampak tertentu, mentransformasikan perubahan-perubahan tersebut ke
arah yang dikehendaki. Kalaupun terlalu jauh untuk menyatakan bahwa ia
merangsang dan memacu proses perubahan. Dan perubahan yang berkembang
selama pendudukan Jepang semakin memperoleh perkembangannya lebih lanjut
karena disusul dengan Revolusi yang menarik seluruh populasi ke dalam
keguncangan dan kesukacitaan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
14
-
7/22/2019 romusa
15/29
Identitas Buku:
Judul : Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942-1945)
Penulis : Hendri F Isnaeni dan Apid
Tahun Terbit : 2008
Penerbit : Ombak
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tebal Buku : xi + 158 halaman
Romusa: Sejarah yang Terlupakan
Sejarah sesungguhnya melekat pada setiap benda, tiap diri makhluk, baik
yang hidup maupun tidak hidup dan tiap fenomena di alam raya ini. Kejadian-
kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut akan dan pasti
ditinggalkan. Peristiwa-peristiwa itu hanya bisa dijadikan cermin dalam termin
kehidupan para pelaku sejarah di masa berikutnya. Menyinggung Bangsa
Indonesia, kita pasti tidak akan pernah menginginkan peristiwa yang terjadi di
masa lampau yang dialami oleh rakyat Indonesia terulang kembali di masa
sekarang. Sebab walau bagaimanapun sejarah masa lalu kita sangat pedih dan
terhina.
Bangsa Indonesia merupakan satu dari sekian bangsa yang pernah
mengecap pahitnya penderitaan dalam sejarah masa lalunya sebagai bangsa yang
dijajah bangsa lain. Bangsa Jepang yang menggantikan kolonialisme Belanda
pada tahun 1942-1945 meninggalkan bekas luka yang menyakitkan pada hati
rakyat Indonesia. Pendudukan Kemaharajaan Jepang di Indonesia berlangsung
tidak begitu lama. Namun dampaknya sangat besar dalam berbagai aspek
kehidupan rakyat Indonesia (politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan,
birokrasi dan mobilitas sosial serta militer).
15
-
7/22/2019 romusa
16/29
Dalam menjalankan kolonialisasinya, Jepang dipandang merata, karena
hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara. Hal ini terbukti dengan dibaginya
Indonesia ke dalam tiga pemerintahan militer. Salah satu daerah yang pernah
diduduki Jepang adalah wilayah Banten, tepatnya di Bayah Banten Selatan. Di
sini tercatat sejarah, di mana Jepang dengan kekuasaannya mengeksploitasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pengerahan tenaga kerja besar-
besaran untuk bekerja paksa (romusa), dalam rangka membangun sarana dan
prasarana untuk kepentingan Jepang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945.
Keberadaan romusa sangatlah memprihatinkan, karena jaminan makanan,
pakaian, kesehatan bahkan jaminan untuk hidup sekalipun tidak ada. Maka tidak
mengherankan jika banyak tenaga romusa yang meninggal akibat kekurangan
makan dan diserang oleh berbagai wabah penyakit.
Jepang pernah menjadi satu-satunya negara di Asia yang mampu menjadi
negara imperialis. Dengan usaha-usaha yang dilakukannya yaitu melakukan
politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Hindia Belanda, akhirnya
memperoleh kedudukan terkemuka dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik,industri dan perdagangan.
Program yang dilancarkan oleh Jepang yakni untuk membentuk
persemakmuran bersama Asia Timur Raya mendapat sambutan positif dari rakyat
Asia dan Pasifik umumnya, khususnya Indonesia. Oleh karena itu kedatangan
Jepang di Indonesia tidak mendapat perlawanan bahkan disambut senang hati
sebagai saudara tua yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan
dan penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda. Di Indonesia, Sendenbu
(organisasi propaganda) mengombinasikan kampanyenya dengan isu lokal yang
sejak awal mengarahkan pandangan rakyat untuk menyambut dan menerima
kedatangan Jepang. Pamflet propaganda yang disebarkan melalui udara beberapa
hari sebelum perang isinya sangat Indonesia.
Serangan Jepang di Indonesia
16
-
7/22/2019 romusa
17/29
Setelah ratusan tahun lamanya menguasai Indonesia akhirnya kekuasaan
Belanda diserahkan kepada Jepang. Jepang menduduki Indonesia selama 3,5
tahun. Namun, meskipun relatif singkat, cukup membuat goresan dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia.
Rakyat Indonesia percaya akan janji Jepang yang akan memberikan
kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal pendudukannya Jepang menunjukkan
tindakan-tindakan yang sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak kepada bangsa
Indonesia. Bendera merah putih dibiarkan berkibar, lagu Indonesia Raya boleh
dinyanyikan dan bahasa Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat. sedangkan
posisi yang kosong dalam pemerintahan didistribusikan kepada kaum terpelajar
bangsa Indonesia. Indonesia dalam pandangan rakyat sebentar lagi akan merdeka.
Bagi Jepang tindakan tersebut merupakan upaya jangka pendek untuk
menghimpun dukungan yang sebesar-besarnya dari rakyat dan pimpinan
pergerakan Indonesia sebelum mereka menunjukkan tujuan utama kedatangannya.
Kebijakan-kebijakan Jepang
- Aspek Politik
Kebijakan pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang
adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Dalam rangka
menancapkan kekuasaan di Indonesia, pemerintah militer Jepang
melancarkan strategi politisnya dengan membentuk gerakan Tiga A
(Jepang Pemimpin Aia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia).
Gerakan Tiga A dalam realisasinya tidak mampu bertahan lama karena
rakyat Indonesia tidak sanggup menghadapi kekejaman militer Jepang
dan berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan Jepang.
Diskriminasi politik tentara pendudukan juga diterapkan, untuk
membedakan wilayah Jawa dengan luar Jawa. Untuk Pulau Jawa
Jepang bersikap lemah karena pertimbangan jauh dari Sekutu,
sementara untuk luar Jawa sebaliknya mendapat kontrol atau
pengawasan yang sangat ketat.
17
-
7/22/2019 romusa
18/29
- Aspek Ekonomi dan Sosial
Potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk
industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil
kebun, pabrik, bank dan perusahaan penting. Jepang menerapkan sistem
ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat.
Menerapkan pula sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi
kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang).
Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasa bertambah
berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat
memprihatinkan. Praktik eksploitasi/pengerahan sosial lainnya adalah
bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita
penghibur (jugun ianfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Perubahan
sosial dalam masyarakat Indonesia yang terjadi pada masa
pemerintahan Jepang ialah diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam
pemerintahan di Indonesia sehingga terjadi perubahan dalam
institusi/lembaga sosial di berbagai daerah.
- Aspek Pendidikan
Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang
pendidikan adalah menghilangkan diskriminasi dalam mengenyam
pendidikan. Pada masa Belanda yang dapat merasakan pendidikan
formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan menengah ke atas,
sementara rakyat kecil tidak memiliki kesempatan. Pola seperti itu
dihilangkan oleh Jepang.
Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan
sistem pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum
disesuaikan untuk kepentingan perang. Dengan melihat kondisi
tersebut, kita mendapatkan dua sisi yaitu kelebihan dan kekurangan dari
sistem pendidikan yang diterapkan pada masa Belanda yang lebih
liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang konsep
18
-
7/22/2019 romusa
19/29
diskriminasi tidak ada, tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis
baik dari keilmuan maupun mutu guru dan murid.
- Aspek Militer
Pada aspek militer, Jepang membentuk badan-badan militer yang
semata-mata karena kondisi militer Jepang yang semakin terdesak
dalam Perang Pasifik. Situasi tersebut membuat Jepang membuat
konsolidasi kekuatan dengan menghimpun kekuatan dari kalangan
pemuda dan pelajar Indonesia sebagai tenaga potensial yang akan
diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu.
Dampak Pendudukan Jepang dalam Bidang Ekonomi dan Sosial
Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan
secara paksa pada masa penjajahan Jepang 1942-1945. Kebanyakan romusha
adalah petani. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti semacam serdadu
kerja. Apapun artinya, romusa adalah orang-orang yang dipaksa kerja berat di luar
daerahnya, selama pendudukan tentara Jepang bagi kepentingan tercapainya
kemenangan akhir.
Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia bahwa
romusa adalah kerja paksa yang mengerikan, sejak tahun 1943 Jepang
melancarkan kampanye baru yang mengatakan bahwa romusa adalah prajurit
ekonomi atau pahlawan pekerja. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit
yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan
sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit.
Pada awalnya romusa dipekerjakan sebagai tenaga produktif di
perusahaan-perusahaan, kedudukannya sama seperti buruh biasa. Kebijakan
mobilitas mereka keluar Jawa dimaksudkan untuk menciptakan produktivitas
akibat pengurangan produktivitas pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa.
Romusa juga merupakan komoditi yang dipertukarkan.
19
-
7/22/2019 romusa
20/29
Memasuki pertengahan tahun 1943, kebijakan pengerahan romusa berubah
menjadi usaha eksploitasi. Pengambilan dan penempatan romusa oleh Angkatan
Perang dilakukan dengan serius. Mulai saat itu tenaga romusa bukan hanya
diperlukan untuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga diperlukan untuk proyek-proyek
yang secara langsung berkaitan dengan perang. Pada taraf ini permintaan terhadap
romusa menjadi tak terkendali. Romusa terus mengalir ke berbagai tempat di luar
Pulau Jawa. Cerita kesengsaraan dan penderitaan deras menyertai mereka.
Tekanan kerja yang berat, ancaman wabah penyakit dan kekurangan pangan
merupakan kondisi yang harus dihadapi. Penderitaan fisik dan psikis membawa
pada kematian massal dengan jumlah yang sangat luar biasa. Di Jawa romusa
umumnya masih bisa bertahan walaupun dibebani kerja yang sangat berat. Tetapi,
bagi yang di luar Jawa, sudah pasti tidak dapat bertahan dan kembali.
Romusa di Pertambangan Batu Bara Bayah Banten Selatan
Bayah sudah ada jauh sebelum kedatangan Jepang. Pada saat itu Bayah
merupakan sebuah perkampungan kecil yang berada di wilayah kekuasaan
Kesultanan Banten. Seiring dengan semakin pentingnya posisi Bayah berkaitan
dengan dibukanya pertambangan batu bara pada tahun 1943 penguasa militer
Jepang meningkatkan status Bayah dari desa menjadi kecamatan yang dipimpin
oleh camat.
Sejarah Bayah adalah sejarah batu bara. Hal ini tampaknya tidak
berlebihan karena dari zaman penjajahan hingga saat ini keberadaan arang hitam
tersebut menghadirkan kisah menarik seputar pemanfaatannya (eksploitasi).
Pemanfaatan batu bara oleh Jepang berkaitan dengan aspek kebutuhan yang
sangat mendesak. Eksploitasi batu bara di Bayah boleh dikatakan sebagai
peristiwa sejarah karena di dalamnya terlibat sangat banyak manusia berasal dari
Jawa yang mengalami kejadian luar biasa yang dieksploitasi tenaganya di luar
batas kemampuannya hingga menimbulkan banyak korban.
Sebab-sebab dibukanya pertambangan batu bara Bayah oleh Jepang di
antaranya menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang. Sejak
20
-
7/22/2019 romusa
21/29
zaman Belanda menjajah hingga awal pendudukan Jepang, Jawa tidak
memproduksi batu bara. Sedangkan kebutuhan terhadap komoditi ini sangat
penting. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pasokan dari
Sumatera dan Kalimantan.
Faktor ekonomi juga menjadi pendorong Jepang membuka tambang batu
bara di Bayah. Jawa pada prinsipnya selain karena hambatan pelayaran juga
hendak mengurangi ketergantungan sumber energi pada luar Jawa dan berusaha
memanfaatkan sumber-sumber strategis penting walaupun sedikit yang terdapat di
Jawa, salah satunya adalah batu bara yang berada di perut bumi Bayah, Banten
Selatan. Dengan melakukan eksploitasi batu bara, dengan sendirinya Jawa
memiliki kegiatan ekonomi.
Tidak semua urusan pertambangan Bayah dipegang Jepang. Di beberapa
tempat, operasional pertambangan didelegasikan kepada orang-orang Indonesia
yang memiliki kecakapan administrasi dan berpendidikan. Jabatan tinggi yang
dipegang bangsa Indonesia seperti kepala gudang mesin dan peralatan
pertambangan, kepala gudang logistik, mandor besar (Hanco) dan mandor-mandor
kecil (Hoin).
Rekrutmen Romusa
Rekrutmen dalam konteks pengerahan merupakan penyeleksian dan
pengambilan masyarakat untuk dijadikan romusa. Sedangkan mobilisasi adalah
tindakan membawa dan menempatkan romusa hasil rekrutmen ke daerah tempat
tujuan pekerjaan.
Pertambangan Bayah sebagai salah satu industri strategis dalam lingkup
Pemerintahan Militer Jawa diprioritaskan untuk selalu mendapatkan tenaga kerja
yang cukup dalam jumlah yang besar. Dalam lingkungan pertambangan,
penduduk Bayah bukan merupakan tenaga inti, tetapi hanya tenaga bantuan yang
dipekerjakan dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya gotong royong, seperti
membuat dan memperbaiki jalan dan jembatan. Jadi, tidak ditemukan penduduk
pribumi yang bekerja sebagai romusa.
21
-
7/22/2019 romusa
22/29
Sedangkan untuk tenaga romusa sendiri dimobilisasi dari Jawa Tengah
dan Jawa Timur dan sedikit dari Cirebon, Jawa Barat. Para romusa tersebut
setelah Indonesia merdeka tidak kembali ke Jawa tetapi menetap di
perkampungan romusa di Pulo Manuk dan Bayah.
Dalam proses rekrutmen dan mobilisasi, terdapat dua unsur yang saling
berkaitan, yaitu pelaku rekrutmen dan sasaran rekrutmen. Sedangkan keberhasilan
perekrutan ditentukan oleh cara-cara yang dilakukan pelaku perekrutan dalam
mempengaruhi sasaran perekrutan. Pelaku perekrutan yang secara langsung
berhubungan dengan penduduk calon romusa adalah kepala desa dan perangkat
desa. Kepala desa yang mendapatkan tugas tersebut melakukan inventarisir
penduduk usia produktif pria dan wanita di desanya untuk sewaktu-waktu dikirim
memenuhi permintaan.
Sasaran rekrutmen merupakan orang-orang atau kelompok orang yang
telah memenuhi kriteria untuk dilibatkan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang
diadakan oleh pemerintah militer Jepang. Romusa-romusa tersebut dikirimkan
dari semua kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Cilacap, Brebes,
Tegal, Purworejo, Sidoarjo, Kebumen, Tulung Agung, Gunung Kidul, Blitar,
Pemalang, Solo, Yogyakarta, Boyolali, Ponorogo, Magelang, Semarang, Tuban,
Sragen, Kediri, Banyuwangi, Pekalongan, Surabaya dan kabupaten lainnya. Dari
daerah-daerah tersebut, pria wanita, tua muda, usia produktif adalah sasaran
perekrutan.
Bayah juga menerima perempuan menjadi romusa yang dikategorikan
menjadi dua, yaitu perempuan yang sudah bersuami yang berangkat bersama
suaminya dan perempuan yang masih gadis atau lajang. Bagi yang pertama
pekerjaan yang tersedia adalah di dapur umum. Kategori yang kedua
kedatangannya adalah permintaan dari manajemen pertambangan untuk
dipekerjakan sebagai pelayan di rumah-rumah Jepang atau dijadikan sebagai
pelacurnya Jepang (jugun ianfu).
22
-
7/22/2019 romusa
23/29
Cara-cara perekrutan adalah tindakan yang dilakukan oleh perekrut untuk
mempengaruhi targetnya agar berperilaku dan bertindak sesuai dengan keinginan
dirinya. Misalnya saja dengan membujuk dan merayu, dengan cara tipu muslihat,
dan yang terakhir dengan cara memaksa. Romusa-romusa hasil rekrutmen, setelah
memenuhi jumlah permintaan dikumpulkan di kantor kabupaten atau karesidenan
menunggu diberangkatkan ke Bayah.
Kondisi Romusa di Pertambangan Batu Bara Bayah Banten Selatan
Romusa di pertambangan Bayah adalah orang-orang yang datang bukan
untuk mengubah nasib atau mencari penghidupan yang lebih baik. Tetapi, orang-
orang yang tertipu sehingga menjadi korban kewajiban kerja paksa Jepang.
Kondisi pekerjaan merupakan gambaran aktivitas romusa yang
berhubungan dengan pelaksanaan kerja yang diberikan oleh Jepang di
pertambangan Bayah. Kondisi kerja tersebut dibedakan menjadi kerja romusa non
tambang dan kerja romusa tambang. Romusa non tambang dipekerjakan pada
pekerjaan biasa seperti membuat jalan raya dan jalan kereta, membuka hutan,membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan lain yang sifatnya tidak berat. Waktu
kerja romusa non tambang adalah harian. Pekerjaan dimulai pukul 7 pagi sampai
pukul 4 sore. Pukul 12 ada waktu istirahat dan diberi jatah makanan.
Pekerja tambang adalah romusa yang dalam pekerjaannya berhubungan
dengan pengambilan batu bara di dalam lubang-lubang penambangan dan
aktivitasnya lebih banyak berada di bawah tanah. Aktivitas kerja di dalam lubang
penambangan berlangsung 24 jam. Waktu kerja dibagi menjadi 4 shift, yaitu shift
pertama pukul 7 pagi sampai 12 siang, shift kedua pukul 12 siang sampai 6 sore,
shift ketiga pukul 6 sore sampai 12 malam dan shift keempat pukul 12 malam
sampai 7 pagi. Setiap shift romusa mendapatkan waktu kerja selama 6 sampai 7
jam.
Proses penambangan di dalam lubang banyak menimbulkan kecelakaan
kerja. Selain kecelakaan kerja, hal umum yang selalu dialami semua romusa
adalah kelelahan fisik yang amat sangat dan menurunnya daya tahan tubuh akibat
23
-
7/22/2019 romusa
24/29
kekurangan pangan dan berbagai penyakit yang dideritanya. Hak dasar bagi
pekerja, seperti mendapatkan makanan dan pakaian, upah dan pelayanan
kesehatan untuk memulihkan kondisi badan justru sulit didapatkan. Akibatnya
dalam jangka waktu yang panjang pekerjaan romusa di pertambangan benar-benar
menjadi tragedi kemanusiaan yang dahsyat..
Di pertambangan Bayah untuk mengungkap apakah gaji romusa diberikan
dan berapa besarnya memang tidak ada sumber pasti dari pihak yang berwenang
Jepang. Tetapi ada beberapa pihak yang memberikan informasi tentang hal
tersebut berdasarkan kesaksiannya. Ada pihak yang mengatakan bahwa Jepang
memang memberikan upah terhadap romusa. Sedangkan pihak lain mengatakan
besaran nominal gaji yang diterima dan satu pihak lagi memberikan angka
nominal serta masalah kontinuitas pemberian gaji tersebut oleh Jepang. Intinya
memang ada atau pernah ada upah untuk romusa di pertambangan Bayah.
Tindakan Jepang memperparah kondisi romusa sehingga berakibat pada
timbulnya berbagai kesengsaraan dan penderitaan. Menurut kesaksian, selain upah
ada beberapa kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain beratnya beban
kerja, kurangnya makanan dan pakaian dan wabah penyakit (kondisi lingkungan
yang tidak sehat, kondisi badan romusa yang lemah, kondisi badan dan pakaian
yang kotor). Selama bergelut dengan rasa sakitnya romusa-romusa ini tidak dapat
bekerja atau tidak mau bekerja lagi, mereka berserakan di berbagai tempat di
sekitar kamp-kamp penambangan, emperan-emperan bangunan, di sepanjang
tepian rel kereta api, di pemukiman penduduk, di sepanjang pantai Pulo Manuk
dan di bawah pepohonan. Para romusa ini hanya bisa terdiam merasakan rasa sakit
dan menunggu maut karena sudah tidak mampu beraktivitas lagi. Setiap pagi
penduduk sekitar dan para romusa menyaksikan pemandangan yang mengerikan,
romusa-romusa malang telah menjadi mayat yang berserakan.
Romusa di pertambangan Bayah merupakan komunitas manusia yang
sangat besar. Sehingga untuk menampung romusa tersebut dibutuhkan banyak
asrama yang harus dipersiapkan Jepang untuk menampung romusa-romusa
24
-
7/22/2019 romusa
25/29
tersebut. Pada umumnya pola pemukiman untuk romusa dibuat oleh Jepang
mengikuti persebaran tempat-tempat penambangan yaitu di mana dibuka blok
penambangan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dibuatlah bedeng (asrama)
romusa. Konstruksi bangunan untuk asrama romusa terdiri dari kayu dan bambu.
Itulah sebabnya bangunan-bangunan romusa tidak dapat bertahan lama.
Jepang tidak membaurkan romusa dengan masyarakat setempat dalam satu
tempat tinggal yang sama. Romusa umumnya dimukimkan di tempat-tempat
sekitar areal penambangan yang jauhnya berkilo-kilo meter dari pemukiman
penduduk. Sesekali mereka berinteraksi apabila beberapa orang penduduk
setempat mendatangi pemukiman romusa untuk sekadar berdagang hasil-hasil
bumi. Itupun tidak rutin karena Jepang umumnya lebih dahulu merampas hasil
pertanian rakyat.
Penutup
Penjajahan oleh siapapun dan apapun bentuknya terhadap bangsa kita telah
menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar biasa. Tindakan kekejamanyang diperagakan oleh bangsa penjajah didesain sedemikian rupa untuk
ditimpakan kepada rakyat bangsa jajahan demi tujuan-tujuan tertentu yang hendak
dicapai bangsa penjajah. Alasan ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya
alam dan sumber daya manusia telah mengorbankan jutaan rakyat Indonesia.
Fakta sejarah itulah yang terjadi di pertambangan batu bara Bayah, Banten Selatan
pada 1942-1945.
Pertambangan batu bara Bayah dibuka oleh Penguasa Militer Angkatan
Darat ke-16 Jepang di Jawa pada bulan Juli 1942 untuk menggantikan pasokan
batu bara dari pertambangan di Sumatera dan Kalimantan, juga sebagai upaya
membangkitkan kegiatan ekonomi baru di Jawa.
Pertambangan batu bara Bayah, Banten Selatan telah menjadi bukti
bagaimana nyawa manusia telah ditukar dengan satu dua kilo batu bara oleh
Jepang selama 3,5 tahun menjajah. Namun, waktu selama itu lebih dari cukup
bagi Jepang untuk mengubur puluhan ribu orang romusa penambangan batu bara
25
-
7/22/2019 romusa
26/29
serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara,
diperkirakan memakan korban kurang lebih 93% menggantikan arang hitam yang
diangkat dari perut bumi Bayah, sebuah ironi yang memilukan dalam perjalanan
sejarah bangsa.
Sejarah romusa di pertambangan batu bara Bayah telah lama berlalu.
Ceritanya pun memudar seiring bergugurannya pelaku sejarah itu. Sejarah romusa
di pertambangan batu bara Bayah dan romusa di daerah-daerah di seluruh
Nusantara, yang paling fenomenal adalah romusa yang dipaksa membangun rel
kereta api di Thailand dan Burma (Myanmar). Sejarah ini mendapatkan porsi yang
sedikit dalam pengisahan dan pelajaran sejarah bangsa.
Analisis dan Perbandingan Kedua Buku:
Kedua buku di atas yang membahas tentang romusa pada khususnya dan
pendudukan Jepang pada umumnya memang secara garis besar dapat ditarik
26
-
7/22/2019 romusa
27/29
kesimpulan bahwa keduanya sinkron terhadap topik yang diambil. Namun dari
kedua buku tersebut tentunya ada kelebihan dan kekurangan yang dapat
ditemukan karena sebuah buku tidak bisa lepas dari cacat, seperti manusia itu
sendiri yang tidak ada kesempurnaan di muka bumi ini. Tentu akan sangat wajar
apabila hal tersebut dapat ditemukan.
Buku pertama yang tulisannya Aiko Kurasawa mengisahkan seluruh
kebijakan Jepang terhadap rakyat desa di Jawa, dari perspektif yang luas serta
dengan mempertimbangkan akibat-akibat terhadapnya, dan tanggapan-tanggapan
dari, masyarakat. Lingkup studi ini akan dibatasi hanya Jawa dan bukannya
seluruh Indonesia. Sulit untuk membahas seluruh wilayah karena adanya
pembagian wilayah kekuasaan menjadi tiga yang mengakibatkan penerapan
kebijakan secara berbeda pula.
Dalam menganalisis persoalan-persoalan tentang kebijakan Jepang,
penulis akan menganalisis perubahan sosial dalam kerangka yang disebut
kebijakan mobilisasi dan kontrol serta dampaknya pada masyarakat pedesaan.
Salah satu ciri pemerintahan Jepang bisa dilukiskan secara tepat melalui
perpaduan yang tak kentara antara mobilisasi dan kontrol. Di satu pihak,
Jepang berniat untuk memobilisasi seluruh masyarakat Jawa dalam skala besar
demi tujuan perangnya. Di sini istilah mobilisasi digunakan dalam pengertian
ganda, dalam arti sebagai eksploitasi sumber daya ekonomi dan tenaga kerja bagi
keuntungan pemerintah dan juga dalam arti pendorongan pemaksaan penduduk
supaya bekerjasama sepenuhnya dalam upaya perang dengan membangunkan
kesadaran politik mereka.
Sudut pandang lain yang digunakan dalam studi ini ialah dikotomi antara
polarisasi (diversifikasi) dan unifikasi. Jika kita melihat pemerintahan Jepang
dari dampaknya atas nasionalisme, faktor-faktor pemersatu tampak lebih
menonjol. Tetapi jika melihat periode ini sebagai latar belakang revolusi sosial,
akan mendorong kita untuk menekankan faktor pemecah belah. Keduanya sama
penting, tetapi sejauh menyangkut masyarakat pedesaan, dampak pemendaran
27
-
7/22/2019 romusa
28/29
dan pemecah belah kelihatan kuat. Pandangan penulis ialah bahwa
pemerintahan Jepang memperkenalkan lebih banyak keragaman, mobilitas,
antagonisme, persaingan dan kebingungan ke dalam masyarakat pedesaan.
Penulis akan membahas semua persoalan ini dengan menyajikan beberapa
bahan baru yang sejauh ini tidak banyak dimanfaatkan, serta dengan melakukan
analisis atas sifat perubahan pada tingkat pedesaan secara lebih terperinci.
Analisis akan dilakukan melintasi aspek-asoek psikologis kehidupan rakyat
pedesaan. Di lain pihak, pembahasan tidak akan mencakup perkembangan politik
pada tingkat nasional yang telah banyak dibahas dalam karya-karya terdahulu.
Buku tulisan Aiko ini secara umum memang layak dijadikan referensi
ilmiah untuk pemahaman tentang romusa di Indonesia pada masa Jepang tahun
1942-1945. Namun memang tak ada gading yang tak retak, buku ini hanya fokus
membahas romusa di tanah Jawa padahal romusa itu tidak hanya terjadi di Jawa
bahkan ada romusa yang dikirim ke luar negeri.
Sedangkan buku kedua yang berjudul Romusa: Sejarah yang Terlupakantulisan Hendri dilihat secara umum memang bagus karena dilihat dari judul sudah
mengerucut ke arah romusa, tidak hanya studi tentang pendudukan Jepang. Di
dalam buku Hendri dikisahkan romusa-romusa yang bekerja di Bayah Banten
Selatan. Romusa-romusa itu kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Latar belakang Hendri yang asli dari Bayah Banten Selatan memang cocok
untuk menulis kisah ini karena tentunya informannya mudah didapat, tempat
ataupun setting tempatnya tepat dan suasananya mendukung untuk mengurutkan
kronologis peristiwa sejarah.
Akan tetapi apabila dilihat dari segi objektivitas, dugaan sementara bisa
jadi objektivitas dari buku ini kurang karena latar belakang penulis yang asli dari
daerah itu dapat menjadi bumerang. Pembaca akan mudah percaya bahwa penulis
memberi efek dramatisir pada tulisannya. Dan lagi, romusa yang dikisahkan
hanya di Bayah Banten Selatan, bukan romusa secara umum, karena pembaca
juga ingin tahu kisah-kisah romusa di daerah lainnya.
28
-
7/22/2019 romusa
29/29
Semua kesimpulannya dari kedua buku ini adalah bahwa setiap buku
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lalu juga kelebihan dan
kekurangan ini dapat diperoleh dari pemikiran pembaca itu sendiri. Pembaca yang
menikmati buku itu, pembaca itu pula yang memberikan penilaian terhadap buku
yang dinikmatinya. Jadi tidak heran apabila setiap analisis dari buku-buku itu ada
perbedaan persepsi dari pembaca satu dengan pembaca lainnya. Sikap ini bagi
penulis malah akan semakin menambah kritikan yang membangun dan juga
memperkaya pengetahuan dari orang lain.