Romeo-Juliet Kelas Pekerja
-
Upload
pindai-media -
Category
News & Politics
-
view
80 -
download
2
Transcript of Romeo-Juliet Kelas Pekerja
Romeo-Juliet Kelas Pekerja
Oleh:
Azhar Irfansyah
Situsweb: pindai.org | Surel: [email protected]
Twitter: @pindaimedia | FB: facebook.com/pindai.org
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 2 | 12
Romeo-Juliet Kelas Pekerja
Oleh : Azhar Irfansyah
Ketika buruh berserikat, ancaman tak hanya dari pihak pabrik, melainkan juga dari keluarga dan orang
terdekat.
INI adalah lautan manusia. Ketika adzan maghrib mengalun, pintu pabrik Panarub Industry terbuka.
Seketika para buruh pun berhamburan keluar. Mayoritas adalah perempuan dengan seragam kerja kemeja
biru pucat. Di luar pintu gerbang pabrik, lapak-lapak dari pasar tumpah berjubel, memenuhi jalan raya.
Suara gaduh, obrolan-obrolan, klakson kendaraan. Lapak menjual buah-buahan, sayur-mayur, roti, nasi
goreng, mainan, pakaian, sandal, hingga jepit rambut. Jalanan riuh.
Supir angkutan kota berteriak ke supir angkot lain saat berpapasan, “Panarub ramai, tuh!” Benar saja, saat
angkot yang saya tumpangi mendekat, para buruh segera menyerbu. Sampai-sampai lutut kami beradu.
Padat dan berjejal. Udara seketika panas.
Di dalam angkot, seorang buruh mencopot seragamnya. Di baliknya, ia mengenakan kaos putih dengan
tulisan, Las Vegas Never Die! Disaksikan temannya, ia cepat berhias. Seseorang menyahut, “Ciee...,
pulang kerja langsung pacaran, nih.” Ia menimpali dengan senyum genit sambil menyisir rambut, “Iya,
nih. Tadi katanya dia mau jemput, tapi ternyata dia harus lembur juga.”
Di luar, jalanan macet dan semrawut. Angkot berjalan merayap. Ini adalah pemandangan rutin saban
petang di bilangan Mohammad Toha, Tangerang.
Saya, satu-satunya lelaki di dalam angkot, hendak menemui Kokom Komalawati, ketua Serikat Buruh
Garmen Tekstil dan Sepatu Panarub Dwikarya.
Tiga tahun lalu Kokom bisa terlihat di antara para buruh yang pulang kerja. Namun sejak Juli 2012 ia
dipecat bersama 1.300 buruh PT Panarub Dwikarya karena menuntut upah layak sesuai ketetapan.
Pabrik tempat Kokom bekerja adalah perusahaan yang memproduksi sepatu olahraga untuk merek
internasional. Berdiri sebagai Panarub Industry pada 1968, Panarub Group mendirikan dua pabrik baru
pada 2006: Panarub Dwikarya (PT PDK) dan Panarub Dwikarya Cikupa (PT PDKC). Ketiganya
dibangun di Tangerang, provinsi Banten di sebelah barat Jawa, salah satu kawasan industri tertua di
Indonesia. Presiden direktur Panarub Group adalah Hendrik Sasmito sejak 1991.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 3 | 12
Pabrik milik Panarub tergolong terbesar. Ini bisa dilihat dari pasar tumpah di depan gerbang pabrik, satu
pemandangan yang biasanya dapat ditemukan di pabrik dengan jumlah buruh ribuan. Pabrik Panarub
Industry memekerjakan sekira 8.000 buruh, sementara Dwikarya Cikupa sekira 2.000 buruh. Adapun
jumlah buruh PT Panarub Dwikarya, tempat Kokom bekerja, sekira 2.650 pekerja pada 2012. Dari jumlah
itu, 500 pekerja PT Panarub Dwikarya sebagai staf, supervisor, manajer dan direktur, yang disebut dengan
golongan B. Sisanya, operator produksi, disebut golongan A, di mana sekitar 90 persen adalah
perempuan. Mereka memproduksi sepatu untuk merek Adidas, Mizuno, dan Specs.
Pada 2013, Panarub Dwikarya menghentikan operasinya. Tapi di tahun yang sama pula Panarub Group
mendirikan pabrik di Brebes, Jawa Tengah. Faktornya upah buruh yang lebih murah.
Seperti buruh perempuan berkaos Las Vegas yang saya jumpai di angkot, Kokom juga pernah berpacaran
saat masih bekerja. Pada 2013 lalu, Kokom dan pacarnya gagal menikah dan memutuskan akhiri
hubungan selama 15 tahun. Pacar Kokom minta ia meninggalkan Tangerang dan pindah ke Bandung jika
mereka menikah. Namun Kokom bilang “tak bisa memastikan”. Ia memilih melanjutkan perjuangan
bersama para buruh yang dipecat sepihak pada 18 Juli 2012 sesudah aksi mogok.
“Sekarang mantan pacar saya itu sudah menikah, sedangkan kasus saya belum kelihatan ujungnya,” ujar
Kokom, kini berumur 35 tahun, seraya tertawa lepas. Di mata kawan Serikat, ia memang dikenal sebagai
perempuan periang dan hangat.
PADA 23 Februari 2012, Kokom Komalawati dan sesama kawan buruh mendeklarasikan Serikat Buruh
Garmen Tekstil dan Sepatu Panarub Dwikarya, di bawah afiliasi Gabungan Serikat Buruh Independen,
dengan jumlah anggota 610 orang. Pemicu utamanya, pabrik tak membayar upah buruh berbasis
kelayakan hidup. Sementara Serikat Pekerja Nasional, yang sudah lebih dulu hadir di kalangan buruh PT
Panarub Dwikarya, tak segera bergerak untuk merespons tuntutan buruh di sana. Sehari kemudian,
sembilan pemimpin Serikat dipecat oleh manajemen Panarub.
“Hanya tiga orang pimpinan yang masih bertahan karena mereka pribumi,” tutur Kokom.
Memberi kuota buruh kepada warga lokal menjadi praktik umum pelbagai pabrik di Indonesia. Tujuannya
untuk mengamankan lalulintas produksi tanpa berkonflik dengan penduduk sekitar. Kokom yang berasal
dari Bandung termasuk yang dipecat. Namun tiga pemimpin Serikat yang masih bekerja di pabrik
memungkinkan aktivitasnya tetap berkembang.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 4 | 12
Persoalan upah jadi pemicu awal perselisihan antara Serikat dan pihak manajemen Panarub. Pada Januari
2012, PT Dwikarya hanya memberi upah buruh Rp 1.381.000. Padahal upah minimum Kabupaten
Tangerang saat itu Rp 1.529.150 dan upah sektoral untuk garmen Rp 1.682.065.
Selain itu, dalam temuan People Tribunal digelar di Jakarta pada 21-24 Juni 2014, ada sejumlah
pelanggaran lain dari pihak Panarub. Misalnya, adanya diskriminasi layanan kesehatan antara operator
produksi dan mereka yang bekerja di kantor. Bagi operator, apalagi yang baru bekerja, dibikin sulit
mengakses klinik. Temuan lain, manajemen PT Dwikarya melakukan pelanggaran atas hak kesehatan
buruh. Ini lantaran buruh tak diizinkan untuk istirahat.
Selanjutnya, pihak pabrik mengabaikan hak memberikan upah penjagaan atau tempat penitipan anak
terhadap buruh perempuan yang sudah memiliki buah hati. Mereka kerap kebingungan mencari pengasuh
saat hari kerja lantaran tak mampu membayar upah. Di sisi lain, manajemen juga mengesampingkan hak
reproduktif perempuan dengan menolak memberi cuti haid, menikah, dan hamil.
Selain itu, ada manipulasi kontrak kerja. Poin lain, manajemen Panarub Dwikarya kerap memberi
hukuman tak manusiawi terhadap para buruh yang diklaim melakukan kesalahan. Para buruh akan
diperintah membersihkan kamar mandi atau berdiri selama satu jam di depan meja pimpinan. Mereka
juga kerap menerima rentetan kekerasan verbal yang merendahkan martabat manusia dengan kata-kata
“bodoh” atau “anjing”.
Temuan berikutnya, praktik pengekangan kebebasan berserikat dan berkumpul. Para buruh yang
bergabung dalam Serikat diintimidasi hingga dipecat dengan alasan efisiensi. Tercatat sejak 10 tahun
terakhir, manajemen Panarub Group telah mengkriminalisasi empat buruh yang aktif berserikat.
Rutinitas kerja berjam-jam di PT Dwikarya juga memaksa para buruh menahan hajat kecil.
“Kalau ada lembur hingga malam dikasih istirahat saat maghrib. Saat ashar tetap kerja,” ujar Yanti,
mantan buruh PT Dwikarya.
Cerminan kerja berjam-jam tanpa memberi jeda bagi kebutuhan kecil tapi penting itu tergambar pula di
PT Panarub Industry. Fatimah, buruh di pabrik itu dan anggota Serikat, mengatakan para buruh tak diberi
rehat sore hari, sehingga banyak pula buruh beragama Islam berada dalam situasi sulit menjalankan shalat
ashar.
Hari-hari sesudah mendeklarasikan Serikat, Kokom dan anggota Serikat mengadakan perkumpulan di luar
pabrik dan berkeliling ke kantong-kantong kediaman para buruh. Sementara, sejak 2012, rutinitas kerja di
pabrik pun kian memberatkan para buruh di mana manajemen produksi menerapkan sistem one piece
flow, satu bentuk pengaturan kerja berantai yang tak boleh membiarkan penundaan.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 5 | 12
Sebagaimana kesaksian Kokom, sistem produksi macam ini bikin buruh tak punya waktu meninggalkan
pekerjaan, bahkan sekadar untuk keperluan ibadah, mengambil air minum, atau menuju kamar mandi,
sebab ia bisa menyebabkan pekerjaan bertumpuk.
Sistem itu juga adalah strategi meningkatkan produksi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja secara
bertahap. Kokom mengisahkan, untuk produksi sepatu Adidas model Predito di mana PT Panarub
Dwikarya menyuplai 40 persen, 48 buruh bagian penjahitan (sewing) ditetapkan target 140 pasang sepatu/
jam dari Januari-April, dan sejak Maret jumlah buruhnya dikurangi menjadi 40 orang, lantas menyusut
lagi hingga 34 orang pada Mei, dengan penetapan target produksi yang sama.
Memburuknya kondisi kerja, adanya upaya-upaya pemberangusan serikat, dan proses perundingan yang
dibatalkan sepihak oleh pihak manajemen, telah mengeraskan tekad Kokom dan sesama kawan serikat
buruh. Pada Juli 2012, 650 buruh PT Panarub Dwikarya berkumpul di rumah kontrakan Kokom untuk
konsolidasi. Pada 12 Juli mereka mengadakan mogok.
Pada hari pertama, hampir semua buruh PT Dwikarya terlibat mogok. Hanya 47 buruh dari total 2.650
buruh yang masuk pabrik. Hari kedua, 79 buruh menyusul ke pabrik. Di hari kemudian peserta mogok
berkurang akibat intimidasi oleh pihak manajemen, termasuk dengan mengerahkan massa tandingan.
Mogok berlangsung selama hampir dua pekan. Pada salah satu hari mogok, polisi-polisi Indonesia
melepaskan gas airmata hingga dua peserta mogok yang tengah hamil jatuh pingsan.
Pihak manajemen juga memanfaatkan perpecahan dalam kelompok buruh untuk menggagalkan mogok.
Buruh operator mesin terbelah, sementara kebanyakan buruh di bagian kantor tak ikut mogok. Pihak
manajemen kemudian mengklaim, lebih untuk membesar-besarkan, bahwa para pemogok mengintimidasi
buruh yang ingin tetap bekerja.
Hingga 18 Juli peserta mogok yang tersisa ada 1.300 buruh. Jumlah ini lebih banyak dari anggota resmi
Serikat yang tercatat saat itu 710 buruh. Ini karena banyak buruh dari anggota serikat lain atau tak
tergabung dalam Serikat tapi terlibat dalam aksi mogok.
Yanti misalnya, saat ada aksi mogok, ia hendak menuju klinik. Dalam perjalanan, Yanti ikut mendengar
orasi peserta mogok. “Sekalipun saat itu saya anggota Serikat Pekerja Nasional, bukan anggota Serikat
Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu Panarub Dwikarya, tapi saya yakin (yang terakhir) yang benar,” tutur
Yanti.
Setelah mendengar orasi, Yanti ikut aksi mogok. Ia tak kembali ke dalam pabrik seperti yang ia janjikan
kepada supervisornya. Ia bertahan bersama 1.300 kawan buruh. Mereka inilah yang dipecat sepihak oleh
PT Panarub Dwikarya. Alasannya, mereka dianggap “tak tahu berterimakasih” dengan menuntut upah
berbasis kelayakan hidup sesuai ketetapan.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 6 | 12
Pemecatan sepihak secara massal bikin kualitas produksi pabrik menurun hingga sepi pesanan dan
terlambat pengiriman. Adidas sendiri mencabut pesanannya sejak aksi mogok spontan itu, kendati
menurut Kokom, ada pengiriman lagi pada Juni 2013 atas nama PT Panarub Dwikarya ke Amerika
Serikat.
Pada November 2013, Panarub Dwikarya menghentikan operasinya, tapi di tahun yang sama Panarub
Group membuka pabrik baru di Brebes. Banyak aktivis serikat di Tangerang menganggap perpindahan
pabrik ini karena upah minimum regional Brebes lebih murah dari Tangerang. Upah Kabupaten
Tangerang pada tahun itu berkisar Rp 2.442.000 dan Kota Tangerang Rp 2.444.301. Sementara upah
regional Brebes sekitar Rp. 1.000.000.
TAK cuma dari pihak manajemen pabrik dan aparat negara, reaksi dari internal keluarga buruh dapat
menghambat agenda politik serikat. Ini telah menjadi gejala rutin di kalangan gerakan buruh, sehingga
penting seorang buruh, yang aktif dalam serikat, mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang
terdekat.
Kokom Komalawati sebagai ketua Serikat Buruh Panarub Dwikarya tak lepas dari pergulatan itu.
Ia telah mengenal serikat buruh sejak 2000. Di Panarub Dwikarya, ia bekerja semula sebagai staf di
bagian gudang pada 2008. Satu kali ia melihat seorang buruh menangis di pojok pabrik, yang mengeluh
sakit perut tapi tak diizinkan ke klinik hanya karena anak baru.
“Sejak saat itu saya merasa ada yang salah dengan pabrik,” kata Kokom. Setelahnya ia mulai terlibat
dalam serikat buruh sekalipun tak terlalu intens.
Awalnya keluarga tak begitu keberatan atas aktivitas Kokom dalam serikat. Tapi mulai menunjukkan rasa
sungkan sesudah Kokom mulai mendeklarasikan Seriat Buruh Panarub Dwikarya.
Mulanya kedua kakak lelaki Kokom tak ambill peduli, tapi intimidasi terhadap Kokom, yang mulai
terbiasa menerima ancaman diperkosa lewat pesan pendek, akhirnya merembes ke keluarga juga.
“Ketika kami sedang sering-seringnya aksi, tiga orang berseragam tentara mendatangi tempat abang saya
mengajar,” ujar Kokom.
Kakak Kokom adalah guru di sebuah sekolah menengah atas di Tangerang. “Tolong bilang pada adik
Anda untuk berhenti bikin rusuh,” ujar Kokom mengingat pesan pengancam kepada kakaknya. Tapi
kakak Kokom masih dapat membelanya, dengan bilang kegiatan berserikat adalah hak adiknya.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 7 | 12
Baru setelah Kokom membatalkan pernikahan demi serikat, pihak keluarga terutama kakak ipar
menganggap Kokom telah jauh melangkah.
“Apalagi ada mahasiswa kakak ipar saya yang bilang saya ini terlibat organisasi kiri, baca-baca Marxisme
dan Leninisme...” ujar Kokom. Kakak iparnya adalah dosen di sebuah kampus swasta di Tangerang.
Marxisme adalah suatu pandangan menyeluruh atas dunia yang melihat perubahan sosial melalui analisis
kelas. Paham ini dilarang di Indonesia selama puluhan tahun terkait propaganda resmi pemerintahan
Soeharto sejak 1966.
Setelah pertengkaran di depan televisi dengan kakak ipar menjelang lebaran 2013, Kokom pergi dari
rumah kakaknya dan tinggal di sekretariat Serikat Buruh Panarub Dwikarya.
“Baru lebaran kemarin saya komunikasi lagi dengan keluarga,” ujar Kokom.
Bercermin dari kesulitannya sendiri, Kokom kemudian melibatkan keluarga dalam kerja-kerja organisasi
serikat. “Sejak awal saya bilang, kalau mau propaganda pertama-tama harus ke keluarga dulu,” ujarnya.
Kokom dan sesama kawan serikat juga membangun struktur serikat yang memungkinkan keluarga
anggota terlibat. Mereka membagi Serikat ke dalam tiga tim: politik, propaganda, organisasi. Tugas tim
terakhir melibatkan keluarga anggota dalam agenda-agenda serikat.
Hanya 11 dari 1.300 anggota Serikat adalah lelaki. Sehingga, setiap ada agenda aksi, mayoritas
perempuan bergantung kepada para suami untuk antar-jemput.
“Ketimbang para suami itu dicuekin atau ngerumpi sendiri selama kita rapat, maka kita buat juga forum
untuk para suami,” jelas Kokom.
Tugas lain mendatangi wilayah-wilayah tempat tinggal buruh, seringnya dengan cara informal seperti
merujak bersama. “Rujakan itu agenda penting. Namanya juga ibu-ibu,” seloroh Kokom sambil terkekeh.
Sementara peran koordinator wilayah memberi pemahaman tentang tujuan dan agenda serikat kepada
keluarga anggota, jika dibutuhkan dari rumah ke rumah, sebagaimana misalnya dilakukan Jemirah yang
mengemban Taman Cibodas.
Meyakinkan pihak keluarga buruh bukan hal mudah, menurut Jemirah. “Seringkali para suami malah
membantah dan menjawab terus ketika kita coba beri pengertian.”
Dari sana, peran buruh yang tergabung dalam serikat diminta untuk menceritakan sendiri keadaan pabrik.
“Seringkali dari cerita itu, para suami baru mengetahui kalau istrinya sering dibentak-bentak dengan kata
kasar, disuruh menahan kencing berjam-jam, atau pernah dihukum berdiri di depan meja pimpinan,”
menurut Kokom.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 8 | 12
Beberapa suami jadi lebih menerima kegiatan istri dalam serikat, bahkan ikut berperan dalam aksi serikat
sesudah jalur-jalur itu ditempuh. Ada pula yang ikut terlibat konsolidasi dan menggantikan istrinya bila
berhalangan hadir.
“Ada juga yang seperti Romeo dan Juliet. Setiap rapat atau aksi sukanya datang berdua,” kata Kokom,
tersenyum ringan.
Selain itu, para suami bisa diandalkan saat bikin materi aksi. Misalnya, saat aksi di Bundaran Hotel
Indonesia, jantung ibukota Jakarta dan penanda pusat ekonomi-politik Indonesia, pada 11 Juni 2014,
“Kami membawa dummy bola dari kardus berukuran besar. Itu yang buat bapak-bapak,” tutur Yanti
sambil menunjukkan sejumlah foto aksi.
“Ada juga suami dari anggota kami yang selalu orasi kalau kami aksi,” Kokom menambahkan.
Tapi, selain respons positif dari kalangan keluarga dan orang terdekat, tak semua suami anggota serikat
menyetujui kegiatan istrinya.
“Ada enam anggota kami yang dicerai oleh suaminya sejak dipecat dan terlibat kegiatan-kegiatan
serikat,” kata Kokom.
Ada pula salah satu anggota Serikat Buruh Pararub Dwikarya yang dipukul suaminya setiap pulang aksi.
Kokom dan pengurus Serikat lain sampai harus mendatangi rumah untuk mengajak bicara suami itu.
“Katanya sekarang sudah tak dipukuli lagi,” kata Kokom.
Salah satu faktor yang memengaruhi kadar dukungan suami terhadap istrinya dalam serikat adalah
pekerjaan suami bersangkutan. Menurut Kokom, bila suami itu pengangguran, maka ia tak ambil peduli.
Pendapatan keluarga bergantung penuh pada istri. Ini bikin suami sulit diajak berpolitik, yang lebih
mengharapkan istrinya fokus pada kerja, alih-alih aktif dalam agenda serikat.
Sementara suami-suami yang bekerja sebagai buruh pabrik lebih gampang diajak berkomunikasi.
“Kami juga pernah terlibat dalam kerja mengorganisir nelayan lewat salah satu suami anggota,” kata
Kokom.
Selain pekerjaan, asal daerah suami juga turut berpengaruh. Para suami dari perantauan lebih sulit diajak
bekerjasama ketimbang mereka yang penduduk lokal.
“Artinya, paling sulit kalau suaminya pengangguran dan juga perantau,” kata Kokom.
Posisi Kokom dan pengurus Serikat jadi serba sulit di tengah keadaan-keadaan itu. Kadang pula muncul
pesan dari suami yang menolak istrinya terlibat dalam serikat, “Ini Kokom kita karungin saja, yuk!” Kali
lain Kokom pernah didemo oleh beberapa suami anggota lantaran tak menyetujui strategi politik serikat.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 9 | 12
Pada aksi besar Serikat Buruh Panarub Dwikarya pada 18 Oktober 2012, beberapa suami anggota yang
terlibat rupanya telah menyiapkan bom molotov. “Mereka mau bikin hancur pabrik,” ujar Kokom. Ia
menolak kerusuhan terjadi.
Pihak manajemen pabrik, di sisi lain, meniru strategi serikat dengan mengorganisir suami para buruh yang
masih bekerja, mendesak mereka berjaga-jaga di dalam pabrik, dan mengerahkan polisi-polisi di luar
pabrik.
“Saya nggak mau perjuangan kami jadi belok gara-gara kerusuhan, makanya kemudian saya perintahkan
kawan-kawan mundur,” tutur Kokom. Gara-gara keputusan itu, beberapa suami marah. Tak lama
setelahnya, Serikat Buruh Panarub Dwikarya kehilangan 500 anggota dalam waktu kurang dari sebulan.
Kini dari 1.300 buruh yang ikut mogok dan dipecat, hanya tersisa 350 buruh yang masih berjuang. Tiga
tuntutan utamanya, pihak Panarub memekerjakan kembali 1.300 buruh, bila menolak harus membayar
pesangon sesuai ketentuan, dan membayar sisa upah yang ditunggak.
Pengurus Serikat Buruh Panarub Dwikarya sejauh ini memutuskan tak menempuh jalur litigasi guna
menyelesaikan sengkata dengan pihak pabrik. Mereka memilih menggelar rentetan aksi dan kampanye.
“Saya pernah lihat hakim tertidur saat sidang pengadilan hubungan industrial. Saya tak mau menyerahkan
nasib anggota kepada orang-orang yang tidak peduli pada buruh seperti hakim itu,” kata Kokom.
Hingga kini Serikat masih terus menggalang aksi pada jalur non-litigasi, membuat gerakan mereka
termasuk dalam gerakan buruh paling tahan lama dalam memperjuangkan tuntutan di Indonesia.
SALAH seorang pengurus Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu Panarub Dwikarya yang tetap
bertahan sewaktu kehilangan para anggota adalah Jemirah. Perempuan paruh baya asal Yogyakarta ini
awalnya harus menghadapi suaminya yang seringkali protes terkait kegiatan berserikat. Ia dan suaminya
kerap bertengkar saat mulai berserikat pada 2012.
Agak sulit membayangkan bagi saya bahwa Agus Wibowo, suami Jemirah, marah-marah kepada istrinya
setelah saya mengenalnya sebagai lelaki jenaka dan ramah. Ia tak keberatan berbagi rokok dengan istrinya
atau menyapa Kokom, usianya terpaut lebih muda, dengan panggilan “ketua”.
Agus bilang merasa “dikesampingkan” oleh istrinya waktu itu. “Ketika malam istri saya pulang, saya
sudah tidur. Ketika pagi saya baru bangun, istri saya sudah berangkat lagi,” ujarnya. Situasi harian itu
bikin mereka jarang punya kesempatan bertemu. Ancaman “lebih memilih suami atau serikat” sering
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 10 | 12
terlontar dari mulut Agus. Tapi Jemirah tiada bosan menyampaikan bahwa berpolitik bersama serikat
merupakan perjuangan yang harus ia tempuh.
“Berjuang memang berat. Tapi ini bukan untuk saya pribadi, melainkan untuk semua. Nasib kita semua
tergantung pada kita sendiri, bukan orang lain,” kata Jemirah kepada Agus.
Sebagai koordinator lapangan untuk wilayah Taman Cibodas, ketika aksi Serikat tengah marak pada
2012, Jemirah pergi dari pintu ke pintu kediaman para buruh. Ia kerap kesulitan menghadapi suami-suami
anggotanya yang punya wawasan lebih luas tapi tak mendukung serikat.
“Tapi saya lebih suka propaganda ke mereka ketimbang ke suami sendiri. Kalau propaganda ke suami
sendiri, hilang sedikit sabar bisa jadi pertengkaran panjang,” ujar Jemirah. Namun Jemirah tetap tak bisa
mengelak berbincang dengan suaminya. Perlahan, pria yang menikah dengannya pada September 1997 itu
luluh juga.
Kadang selepas bertengkar, Agus ingat Jemirah pernah menangis saat dijemput dari pabrik sewaktu masih
bekerja. Saat ditanya, istrinya mengadu telah dibentak-bentak oleh supervisor bagian produksi. “Katanya
sepatu hasil jahitan saya kurang beres. Sepatu hasil jahitan saya itu sampai-sampai dia banting di atas
meja di depan saya.” Saat mengingat ini, Agus menilai wajar bila Jemirah akhirnya melawan bersama
serikat.
Ia juga ikut marah saat istrinya dan kawan buruh lain dilecehkan secara verbal. Satu kali Jemirah dan
sesama buruh lain aksi di depan pabrik. Pihak manajemen Panarub mengadakan aksi tandingan di mana
oratornya mengolok-olok mereka yang semuanya perempuan, “Pulang saja sana! Menyusui anak atau
menyusui suamimu!”
Agus ikut berang mendengar itu. “Akhirnya saya berpikir, daripada berseberangan dengan istri saya
sendiri, lebih baik saya berjuang bareng. Toh, saya ini juga buruh,” katanya, kini bekerja di pabrik
pembuatan genteng.
Kini Agus dan Jemirah selalu menghadiri agenda-agenda serikat. “Kepala suami saya sampai pernah
bocor ketika dia ikut aksi serikat yang berujung ricuh,” kata Jemirah, sedih sekaligus bangga.
Semangat istrinya dalam berserikat mendorong Agus untuk membentuk serikat di pabriknya sendiri.
“Dulu pabrik saya kalau memecat tanpa membayar pesangon. Sekarang sudah mau bayar pesangon,” ujar
Agus. Sejak berserikat, Agus juga merasa wawasan dan pergaulannya makin luas.
“Tapi Mas Agus tetap suka marah kadang-kadang kalau saya kelamaan nggak pulang,” kata Jemirah.
“Ah, itu kan kalau saya sedang suntuk nggak punya duit saja,” ujar Agus, tertawa.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 11 | 12
Epilog
PERGULATAN para buruh yang tergabung dalam serikat dan orang-orang terdekat bukanlah dominan di
Tangerang saja. Sebelas buruh Indofood Purwakarta yang mengikuti mogok pada Juli 2014 digugat cerai
oleh istrinya. Ada kasus di mana pacar dari seorang buruh perempuan di Cakung mengancam bunuh diri
karena kurang diperhatikan. Masih ada sederet contoh kasus lain.
Bagi buruh yang telah berkeluarga, kebanyakan kasus itu muncul karena faktor jaminan pendapatan
keluarga, yang bisa menurun bila istri atau suaminya dipecat dari pekerjaan, terlebih bila pihak pabrik
mengabaikan prosedur hukum dengan tak memberikan upah dan pesangon sesuai ketetapan. Bagi buruh
yang masih lajang, ancaman seperi kisah cinta umumnya, dari kurang perhatian hingga tiada waktu
senggang bersama, bikin hubungan itu renggang, dan kadang-kadang memengaruhi psikologi seorang
buruh yang berserikat, sehingga ada masa emosional yang dapat mengganggu agenda serikat.
“Dalam kasus buruh perempuan, ada juga suami-suami mereka yang tak mau istrinya jadi pintar,”
menurut Syarif Arifin, direktur Lembaga Informasi Perburuhan Sedane.
Ada pelbagai pendekatan untuk membangun komunikasi antara buruh yang aktif berserikat dan
keluarganya. Hendra, aktivis Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Purwakarta, mengatakan selalu
berusaha meluangkan sehari dalam seminggu untuk anak dan istrinya. Ia menekankan bahwa serikat perlu
sensitif atas urusan domestik anggotanya. Tapi di waktu tertentu juga harus tegas.
“Kalau ada pacar anggota yang merepotkan anggota, kami sarankan untuk instal ulang,” kata Admo,
aktivis Forum Buruh Lintas Pabrik yang bermarkas di Cakung. “Instal ulang” maksudnya memutus
hubungan dengan pacar dan mencari lagi yang baru. “Tapi itu kalau anggotanya masih berstatus pacaran.
Kalau sudah suami-istri tak akan kami suruh cerai,” ujar Admo.
Dalam pandangan Kokom, serikat sebenarnya tak perlu melibatkan diri terlalu jauh pada kehidupan
pribadi anggota, “Hanya perlu diingat, ketika kita berpolitik bersama anggota, artinya kita juga berpolitik
bersama keluarga dan orang-orang terdekat anggota.”
Itulah sebabnya pendekatan dan pelibatan keluarga jadi penting. Bahkan ada suami dari salah satu
anggota yang tetap mendukung agenda serikat sekalipun istrinya telah menyeberang ke pihak manajemen.
Politisasi keluarga dan orang terdekat anggota inilah yang membuat sekretariat Serikat Buruh Garmen
Tekstil dan Sepatu Panarub Dwikarya di bilangan Periuk, Kota Tangerang, selalu ramai oleh kehadiran
mereka. Saat kali pertama datang, saya bertemu bapak dari seorang anggota yang merasa bakat
memberontak anaknya turun dari dirinya. Suami para anggota juga berbaur akrab.
PINDAI.ORG – Romeo-Juliet Kelas Pekerja / 26 November 2014
H a l a m a n 12 | 12
Sekali waktu, untuk melepas penat di tengah agenda serikat yang padat, mereka bernyanyi sambil bergitar
bersama. Saya agak terkejut bahwa lagu dangdut favorit mereka adalah Secangkir Kopi. Liriknya sangat
bias laki-laki, dipopulerkan Johny Iskandar, yang memilih “tak setia” karena tak diacuhkan istrinya,
bahkan sekadar untuk bikin kopi. Kendati begitu, melihat mereka begitu riang bernyanyi, saya jadi paham
bahwa mereka tengah menertawakan kekonyolan lirik lagu ini. Atau kadang pula mencerminkan sebagian
realitas psikologis pasangan kelas pekerja.
Ku pulang malam karena tak tahan
Mencari hiburan di luar rumah
Salahkan aku dosakah aku
Bila diriku tak lagi setia... []