RMK Etika dan Moral Restu Mutmainnah Marjan.docx
-
Upload
restu-mutmainnah-marjan -
Category
Documents
-
view
46 -
download
3
Transcript of RMK Etika dan Moral Restu Mutmainnah Marjan.docx
BAB I
PENDAHULUAN
Di era perkembangan zaman yang ipteknya semakin maju pesat ini, kita
harus tetap mengedepankan hal-hal mengenai pengembangan etika, moral, dan
akhlak. Yang mana kita harus dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Sebab semua itu dapat
mempengaruhi bagaimana pribadi kita dan bagaimana cara pandang kita terhadap
zaman yang telah didominasi oleh perkembangan iptek yang semakin merajalela
tersebut.
Penalaran etika, moral, dan akhlak tersebut semata-mata diwujudkan
sebaik mungkin bukan hanya untuk kebaikan diri sendiri, namun juga dapat
menjadi tolak ukur kita dalam menanggapi setiap masalah-masalah yang muncul
di lingkungan kita sesuai dengan karakter pola pikir yang sehat, logis, dan
analistis. Supaya kita dapat menempatkan diri kita sesuai dengan situasi dan
kondisi sekitar. Sehingga kita nanti diharapkan menjadi insan (kholifah/tauladan)
yang baik secara etika, moral, dan akhlak bagi seluruh makhluk di alam semesta
ini.
1
BAB II
ISI
A. Pengertian Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral).
Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah
dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai
filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep
nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Dari definisi etika tersebut
diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai
berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya
membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi
sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia
terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain
itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia
seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan
sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai,
penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina
dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika
2
bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan
cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia
untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof
barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran
etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya
humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan
diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah
laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
B. Jenis-Jenis Etika
Jika dilihat berdasarkan nilai dan norma yang terkandung di dalamnya,
etika dapat dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu :
1. Etika Deskriptif, merupakan etika yang berbicara mengenai suatu fakta,
yaitu tentang nilai dan pola perilaku manusia terkait dengan situasi dan
realitas yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Etika ini berusaha
menyoroti secara rasional dan kritis tentang apa yang diharapkan manusia
dalam hidup ini mengenai sesuatu yang bernilai.
2. Etika Normatif, merupakan etika yangmemberikan penilaian serta
himbauan kepada manusia tentang bagaimana harus bertindak sesuai
norma yang berlaku. Jadi, etika ini berbicara mengenai norma-norma yang
menuntun tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-harinya.
Etika normatif berbeda dengan etika deskriptif. Perbedaannya adalah
bahwa etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil
keputusan tentang perilaku yang akan dilakukan, sedangkan etika normatif
memberi penilaian sekaligus memberikan norma sebagai dasar dan kerangka
tindakan yang akan diputuskan.
C. Perbedaan Etika dan Etiket
Etika dan etiket merupakan istilah yang sangat berdekatan dan mempunyai
arti yang hampir sama walaupun terdapat perbedaan. Berikut ini beberapa
perbedaan antara etika dan etiket :
3
1. Menurut Bertens (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket
dengan etika, yaitu :
a. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan
manusia. Contoh : Ketika saya menyerahkan sesuatu kepada orang
lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan.
Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap
melanggar etiket. Etika menyangkut cara dilakukannya suatu
perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri.
Contoh : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin
karena mengambil barang milik orang lain tanpa izin sama artinya
dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di
sini tidak dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan
kanan atau tangan kiri.
b. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada
orang lain di sekitar kita). Bila tidak ada orang lain di sekitar kita atau
tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Contoh : Saya sedang
makan bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas
meja makan, maka saya dianggap melanggat etiket. Tetapi kalau saya
sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak
melanggar etiket jika saya makan dengan cara demikian. Etika selalu
berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Contoh:
Larangan mencuri selalu berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang
lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan meskipun
si empunya barang sudah lupa.
c. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Contoh : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Etika
bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan
prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar.
d. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang
berpegang pada etiket bisa juga bersifat munafik. Contoh : Bisa saja
orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan
4
dan halus, tapi di dalam penuh kebusukan. Etika memandang manusia
dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik,
sebab orang yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh
baik.
2. Menurut Sukrisno Agoes dan Cenik Ardana (2009) dalam bukunya etika
bisnis dan profesi.
No Etika etiket
1 Persamaan : mengatur perilaku manusia
2 Perbedaan :
a Sumber etika : masyarakat Sumber etiket : Golongan masyarakat
b
Sifat pengaturan : ada yang lisan
(berupa adat kebiasaan) dan ada yang
tertulis (berupa kode etik)
Sifat pengaturan : lisan
c
Objek yang diatur: bersifat rohaniah,
contohnya: perilaku etis (jujur, tidak
menipu, bertanggung jawab) dan
perilaku tidak etis (korupsi,
mencuri,berzina)
Objek yang diatur: bersifat lahiriah,
contohnya tata cara berpakaian (untuk
sekolah, pesta, pertemuan resmi,
berkabung, beribadah dan lainnya)
tata cara menerima tamu, tata cara
berbicara dengan orang tua, dan
sebagainya.
D. Prinsip – Prinsip Etika Bisnis
Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang harus ditempuh perusahaan oleh
perusahaan untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar
memiliki standar baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam
memandang etika moral sebagai standar kerja atau operasi perusahaan. Muslich
(1998: 31-33) mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut:
Prinsip otonomi
Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil
keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya
baik untuk dilakukan. Atau mengandung arti bahwa perusahaan secara bebas
memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya
5
dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil perusahaan harus
diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada
kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.
Prinsip kejujuran
Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung
keberhasilan perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua pihak, baik
internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini dapat dipegang
teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan dari
lingkungan perusahaan tersebut.Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa
ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil
kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-
syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa
dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja
intern dalam suatu perusahaan.
Prinsip tidak berniat jahat
Prinsip ini ada hubungan erat dengan prinsip kejujuran. Penerapan prinsip
kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat perusahaan itu.
Prinsip keadilan
Perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang terkait dengan
sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada karywan sesuai kontribusinya,
pelayanan yang sama kepada konsumen, dan lain-lain,menuntut agar setiap orang
diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang
rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
Prinsip hormat pada diri sendiri
Perlunya menjaga citra baik perusahaan tersebut melalui prinsip kejujuran,
tidak berniat jahat dan prinsip keadilan.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance
Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam
merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada
konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya
6
mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada
masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-
rendahnya.
2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan
kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun
tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan
terjadi benturan dengan hak orang lain.
3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan
yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan
baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu
untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang
tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang
tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan
strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh
budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen. Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika
bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah
maupun jangka panjang, karena :
a. Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan
terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
b. Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
c. Melindungi prinsip kebebasan berniaga
d. Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh
perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan
akan sangat kontra. Namun, dalam etika bisnis ada prinsip-prinsip yang dinilai
Adiwarman Karim, Presiden Direktur Karim Business Consulting, seharusnya
jangan dilanggar, yaitu :
a. Kejujuran Banyak orang beranggapan bisnis merupakan kegiatan
tipu-menipu demi mendapat keuntungan. Ini jelas keliru.
7
Sesungguhnya kejujuran merupakan salah satu
kunci keberhasilan berbisnis. Bahkan, termasuk unsur penting
untuk bertahan ditengah persaingan bisnis.
b. Keadilan - Perlakukan setiap orang sesuai haknya
c. Rendah Hati - Jangan lakukan bisnis dengan kesombongan.
d. Simpatik - Kelola emosi. Tampilkan wajah ramah dan simpatik.
Bukan hanya di depan klien atau konsumen anda, tetapi juga di
hadapan orang-orang yang mendukung bisnis anda, seperti
karyawan, sekretaris dan lain-lain.
e. Kecerdasan - Diperlukan kecerdasan atau kepandaian untuk
menjalankan strategi bisnis sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku, sehingga menghasilkan keuntungan yang memadai.
Dengan kecerdasan pula seorang pebisnis mampu mewaspadai
dan menghindari berbagai macam bentuk kejahatan non-etis yang
mungkin dilancarkan oleh lawan-lawan bisnisnya.
f. Lakukan dengan cara yang baik, lebih baik atau dipandang baik.
E. Permasalahan Etika dalam Bisnis
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika
dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas
panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo
Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida
berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo,
bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih
mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan
dan sosial yang ditimbulkan.Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah
meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf
itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu
terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar
di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari
tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin
8
pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan
bahan yang sudah berbelatung.
Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya,bagaimana perusahaan
bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis,
satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang
saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan
maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran
pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan
keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering
menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun,
belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan
sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat
ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Salah
satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson
(J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh
orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago.
Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski
penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab,
J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar
konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut.
J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya Amerika Serikat)
menyelidiki kasus itu.
Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang
memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam
kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung
jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus
yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar
kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali
menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat. Secara jangka
panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan
perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada perusahaan. Doug Lennick
dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence,
9
berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang
menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam
jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005
(dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama
kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh
integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu,
sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika
dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan
memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus
belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui
pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis
amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan
di Indonesia.
E. Pengertian Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu
jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa
Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan
dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan
nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral
tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara
etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang
perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang
tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika
10
lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan
etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam
moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan
lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam
pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system
nilai yang ada.
Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam
bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab
disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama,
perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua,
kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan
yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan
dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Berdasarkan
pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih
mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau
diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh
masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan
ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib,
rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah
daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri.
Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa
harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
F. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang
dapat berubah ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa
yang benar dan apa yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika
tumbuh menjadi remaja, standar moral konvensional secara bertahap
11
diinternalisasikan. Standar moral pada tahap ini didasarkan pada pemenuhan
harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya sebagian manusia
dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan merefleksikan
secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman, budaya
atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan
perhatian terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2
tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk
berhadapan dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional Pada tahap pertama, seorang anak dapat
merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan dapat menerapkan label-label baik,
buruk, benar dan salah.
a. Orientasi Hukuman dan Ketaatan. Pada tahap ini, konsekuensi fisik
sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan
itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman
atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
b. Orientasi Instrumen dan Relativitas. Pada tahap ini, tindakan yang benar
adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk memuaskan kebutuhan
anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional Pada level ini, orang tidak hanya berdamai
dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-
normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang
lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
c.Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal. Pada tahap ini, melakukan apa
yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai pelaku yang baik
dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
d.Orientasi pada Hukum dan Keteraturan. Benar dan salah pada tahap
konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh loyalitas terhadap negara
atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai
dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
12
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip Pada tahap
ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara
adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan
nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam
pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara
rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
e. Orientasi pada Kontrak Sosial. Tahap ini, seseorang menjadi sadar
bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan
dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman,
kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat
relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
f. Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal. Tahap akhir ini, tindakan
yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang dipilih karena
komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip
moral tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua
aturan dan tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita
berkembang dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman
dan kritis dalam menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai.
Namun tidak semua orang mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti
pada tahap awal sepanjang hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap
prakonvensional, benar atau salah terus menerus didefinisikan dalam pengertian
egosentris untuk menghindari hukuman dan melakukan apa yang dikatakan oleh
figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang mencapai tahap konvensional,
tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu didefinisikan dalam
pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara atau
masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level
postkonvensional dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap
standar moral yang merekayakini, benar dan salah secara moral didefinisikan
13
dalam pengertian prinsip-prinsip moral yang mereka pilih bagi mereka sendiri
sebagai yang lebih rasional dan memadai.
G. Penalaran Moral.
Pengertian Penalaran Moral Kohlberg (dalam Glover, 1997),
mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga
penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu
tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya
tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar
yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai
terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya.
Menurut Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran
tentang masalah moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam
menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral
dipandang sebagai suatu struktur bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai
isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada
lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi
jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk
terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat
universal. Penalaran moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau
tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan
salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan perilaku
seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska
dan Whelan, 1975). Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa penalaran moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang
untuk dapat memutuskan masalah sosial-moral dalam situasi kompleks dengan
melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan
apa yang akan dilakukannya.
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi,
atau kebijakan dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu
melibatkan dua komponen mendasar :
14
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh
standar moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan,
institusi, atau perilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut,
melarang,menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis Penalaran Moral. Ada beberapa criteria yang digunakan
para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan penalaran moral, yaitu :
• Penalaran moral harus logis.
• Bukti faktual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat,
relevan dan lengkap.
• Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus
konsisten.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani,
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral).
Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah
dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.
arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak
dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa
Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan
dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang
digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan
nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
B. Saran
Semoga moral dan etika ini di lakukan dengan baik oleh kita semua
sehingga kita memiliki pribadi yang baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan Ardhana, I. Cenik. 2011. Etika Bisnis dan Profesi :
Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya, Edisi Revisi. Salemba Empat.
Jakarta.
Bartens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Jakarta.
Santosa, Heru. 2007. Etika dan teknologi. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Wahyono, Teguh.2009.Etika Komputer.Jakarta: Penerbit ANDI.
Diana. (2011), Perkembangan dan penalaran moral.
http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/elearning/attachments/040_etika
%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf/ (25 oktober 2011)
17