Rinologi 1
-
Upload
courtney-carr -
Category
Documents
-
view
90 -
download
11
description
Transcript of Rinologi 1
RINOLOGI
Disusun oleh :
dr. Doharni Damayanti S.
dr. Gatot Andriyadi W
dr. Mohammad Arifianto
dr. Wawan Siswadi
SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK Universitas Sebelas Maret
RSUD Dr.Moewardi Surakarta
2013
0
HIDUNG
Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian yang paling menonjol pada wajah. Fungsinya sebagai
jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air condition), penyaring dan pembersih
udara, indera pembau, resonansi suara, membantu proses berbicara, dan refleksi
nasal. Hidung juga merupakan tempat bermuaranya sinus paranasalis dan saluran
air mata.
Proses Mencium :
Pada saat bernapas, zat kimia berupa gas akan dihirup masuk ke dalam rongga
hidung Sumber bau pada zat kimia tersebut akan dilarutkan oleh selaput lendir
kemudian akan merangsang rambut-rambut halus pada sel pembau Sel
pembau akan meneruskan rangsangan ini ke otak dan mengolahnya sehingga
kita dapat membedakan jenis bau dari zat kimia tersebut.
Struktur hidung luar terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1. Kubah tulang.
Letaknya paling atas dan bagian hidung yang tidak bisa digerakkan.
2. Kubah kartilago (tulang rawan).
Letaknya dibawah kubah tulang dan bagian hidung yang bisa sedikit
digerakkan.
3. Lobulus hidung.
Letaknya paling bawah dan bagian hidung yang paling mudah digerakkan.
1
Struktur penting dari anatomi hidung :
Dorsum Nasi (Batang Hidung).
Struktur yang membangun dorsum nasi (batang hidung) :
1. Bagian kaudal dorsum nasi (batang hidung)
Bagian kaudal dorsum nasi (batang hidung) merupakan bagian lunak dari
dorsum nasi (batang hidung). Tersusun oleh kartilago lateralis dan
kartilago alaris. Jaringan ikat yang keras menghubungkan antara kulit dan
perikondrium pada kartilago alaris.
2. Bagian kranial dorsum nasi (batang hidung)
Bagian kranial dorsum nasi (batang hidung) merupakan bagian keras dari
dorsum nasi (batang hidung). Tersusun oleh os nasalis dan ossis maksila
prosesus frontalis
Septum Nasi
Fungsi utama septum nasi adalah menopang dorsum nasi (batang hidung) dan
membagi dua kavum nasi (lubang hidung).
Struktur yang membangun septum nasi adalah 2 tulang dan 2 kartilago, yaitu :
1. Bagian anterior septum nasi
Bagian anterior septum nasi tersusun oleh tulang rawan, yaitu kartilago
quadrangularis, cartilago alaris mayor crus medial, dan cartilago septi nasi.
Bagian anterior septum nasi terdapat plexus Kiesselbach.
2
2. Bagian posterior septum nasi
Bagian posterior septum nasi tersusun oleh os vomer dan os ethmoidalis
lamina perpendikularis. Kelainan septum nasi yang paling sering
ditemukan adalah deviasi septi.
Kavum Nasi (Lubang Hidung)
Rongga / lubang hidung (cavum nasi / cavitas nasi) berbentuk terowongan dari
depan ke belakang. Rongga hidung dilapisi 2 jenis mukosa, yaitu mukosa
olfaktori dan mukosa respiratori.
3
Rongga hidung tersusun oleh :
1. Nares anterior (nosetril). Nares anterior merupakan lubang depan rongga
hidung (cavitas nasi).
2. Vestibulum nasi. Letaknya dibelakang nares anterior. Vestibulum nasi
dilapisi oleh rambut dan kelenjar sebasea.
3. Nares posterior (choanae). Nares posterior (choanae) merupakan lubang
belakang rongga hidung (cavitas nasi). Penghubung antara rongga hidung
(cavitas nasi) dengan nasofaring.
Rongga / lubang hidung (cavum nasi/cavitas nasi) merupakan suatu ruangan yang
memiliki dinding dan batas, yaitu :
1. Dinding medial kavum nasi (lubang hidung) yaitu septum nasi.
2. Dinding lateral kavum nasi (lubang hidung) yaitu konka nasi4 dan meatus
nasi. Keduanya terbagi atas konka nasi superior, meatus nasi superior,
konka nasi medius, meatus nasi medius, konka nasi inferior, meatus nasi
inferior, dan konka nasi suprema. Duktus nasolakrimalis bermuara pada
meatus nasi inferior. Sinus paranasalis golongan anterior bermuara pada
meatus nasi medius. Sinus paranasalis golongan posterior bermuara pada
meatus nasi superior.
3. Batas anterior kavum nasi (lubang hidung) yaitu nares (introitus kavum
nasi).
4. Batas posterior kavum nasi (lubang hidung) yaitu koane.
5. Dinding superior kavum nasi (lubang hidung) yaitu lamina kribrosa
(lamina kribriformis). Lamina kribriformis memisahkan rongga tengkorak
dan rongga hidung. Selain itu, bagian atap ini dibentuk oleh os frontonasal,
os ethmoidalis dan os sphenoidalis.
6. Dinding inferior kavum nasi (lubang hidung) yaitu palatum durum
(processus palatina os maxilla dan lamina horisontal os palatina).
4
Rongga / lubang hidung (cavum nasi / cavitas nasi) berdasarkan epitel pelapisnya
terbagi atas :
1. Vestibulum nasi. Vestibulum nasi dilapisi epitel squamous complex.
Terdapat vibrissae (rambut)
2. Regio respiratoria. Regio respiratoria dilapisi epitel pseudocolumnar.
3. Regio olfaktoria. Regio olfaktoria dilapisi neuroepitelium yang berasal
dari nervus olfaktorius menembus lamina et foramina cribrosa.
Vestibulum nasi dan regio respiratoria dibatasi oleh limen nasi.
Vaskularisasi Rongga Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior
dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung
5
mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach
merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior.
Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior &
posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexux
Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.
Innervasi Rongga Hidung
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus
nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian
lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis
rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang
dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical
superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan
vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang
dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia
olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga
hidung.
6
Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung. Biasanya berjumlah 12 rongga. Fungsi sinus paranasalis antara
lain :
1. Mengurangi berat tulang wajah.
2. Memelihara kekuatan dan bentuk tulang.
3. Menambah resonansi suara.
Golongan besar sinus paranasalis :
1. Golongan anterior sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris, sinus
ethmoidalis anterior, dan sinus frontalis.
2. Golongan posterior sinus paranasalis yaitu sinus ethmoidalis posterior, dan
sinus sfenoidalis. Ostia golongan anterior sinus paranasalis berada pada
meatus nasi medius. Ostia golongan posterior sinus paranasalis berada
pada meatus nasi superior. Pus dalam meatus nasi medius akan mengalir
ke dalam vestibulum nasi. Pus dalam meatus nasi superior akan mengalir
ke dalam faring.
a rynx
7
FISIOLOGI HIDUNG
A. PENGHIDU
Menurut teori streokimia, untuk pengidu setiap bau – bauan dari
ketujuh bau – bauan kimia atau dasar indra penciuman mempunyai
molekul yang ukuran dan bentuknya unik dan bersifat elektrofilik atau
nukleofilik. Epitel olfaktorius diduga mempunyai reseptor reseptor yang
bentuk dan dimensinya tertentu. Bau – bauan primer adalah bau – bauan
eterial, kamper, musky, wangi buah, bau permen, pedas, busuk. Bau
tambahan termasuk bau amandel, merupakan kombinasi yang ditimbulkan
oleh pertautan molekul – molekul dengan dua atau lebih reseptor primer.
Pada perangsangan sel reseptor, akan timbul perubahan potensial listrik
yang menghasilkan penjalaran impuls ke bulbus olfaktorius untuk
merangsang sel mitral. Bila ada rangsang penghidu akan terjadi
peningkatan aktivitas, kualitasnya tergantung pada pola eksitensinya
reseptor atau sel mitral. Ujung proksimal sel olfaktorius menipis sampai
hanya berbentuk filamen setebal mikrometer, yakni akson. Bersama –
sama akson lain berkumpul membentuk gabungan 20 filamen disebut fila
olfaktoria, yang berjalan menuju lubang pada lamina kribosa dan
memasuki bulbus olfaktorius di otak. Di dalam bulbus olfaktorius akson
dari n. Olfaktorius akan berhubungan dengan sel mitral dan akson ini
meninggalkan bulbus untuk membentuk traktus olfaktorius yang berjalan
sepanjang dasar lobus frontalis yang kemudian masuk ke korteks
piriformis, komisura anterior, nukleus kaudatus, tuberkulus olfaktorius,
dan limbus anterior kapsula internus
B. JALAN NAFAS
Hidung merupakan tempat lalunya udara pernafasan masuk keluar.
Alur ydara pernafasan terutama ditentukan oleh hasi; efek nares anterior
yang arahnya ke atas dan bentuk rongga hidung. Udara masuk hidung
8
dengan arah vertikal, membelok 80 0 sampai 90® ke arah posterior
sewaktu memasuki rongga hidung. Aliran udara utama kemudian berjalan
horizontal sampai membentur dinding posterior nasofaring, menikung 80 0
sampai 90® ke arah bawah, bergabung dengan aliran dari sisi hidung
satunya, berjalan ke belakang palatum masuk ke faring. Kedua belokan
tajam tersebut disebut titik benturan dan membantu untuk menyingkirkan
partikel.
C. ALIRAN UDARA
Katup nasal anterior atau ostium internum pada limen nasi, terletak
kira – kira 1,5 sampai 2 cm di belakang nares anterior. Pada titik ini
potongan melintang saluran udara tiap sisi hidung sebesar 10 sampai 40
mm dan merupakan bagian traktus respiratorius yang paling sempit. Pada
hidung terdapat kira – kira 50 % tahanan dari seluruh traktus respiratorius.
Di belakang katup ini potongan melintang saluran utama hidung lebih
lebar sehingga aliran udara tetap sempit, sehingga memberikan
kesempatan hubungan bebas antara permukaan yang luas dengan aliran
udara. Kemudian pada koana posterior potongan melintang menyempit
kembali. Hal inilah yang dapat menerangkan mengapa terjadi variasi
tekanan intranasal dari -5 atau -6 mmH20 sampai +5 atau +6 pada inspirasi
dan ekspirasi.
D. KECEPATAN ALIRAN UDARA
Aliran udara ini tercepat pada katup nasal anterior, sampai 3,3 m/
detik pada aliran udara inspirasi sebesar 200 ml/ detik dibandingkan
dengan 1 m/ detik pada bronkus sekunder. Selanjutnya pada bagian
horizontal kecepatan aliran udara melambat, walaupun penampang
melintang nya melebar dan aliran udara nya tetap kecil. Kondisi ini sangat
ideal untuk fungsi pengatur kondisi udara dan di tempat ini juga sekret
sinus yang bebas kontaminasi memasuki hidung pada saat yang sangat
dibutuhkan.
9
E. PENYARINGAN PARTIKEL
Partikel yang berukuran 5 – 6 mikrometer atau lebih, 85 sampai 90
% disaring di dalam hidung dan nasofaring. Partikel yang lebih besar dapat
ditangkap oleh bulu hidung.
F. PENGATUR KONDISI UDARA
Pengaturan suhu dan kelembaban sebagian besar terjadi dalam
tempo yang singkat pada waktu udara pernafasan melintasi bagian
horizontal saluran hidung. Disini udara dipanaskan ( atau didinginkan)
oleh radiasi yang berasal dari pe,buluh darah mukosa. Proses pelembaban
udara pernafasan terjadi oleh evaporasi dari lapisan lendir yang
menyelimuti permukaan mukosa. Mekanisme yang efisien ini dibuktikan
dengan mengamati udara inspirasi di nasofaring yang ternyata suhunya
mendekati suhu tubuh normal dan kelembaban nisbinya mendekati 100%.
Suhu ukosa hidung lebih rendah beberapa derajat daripada ydara ekspirasi.
Oleh karena itu terjadi pengembunan dan pemansan mukosa hidung pada
waktu ekspirasi. Hal ini yang disebut pertukaran panas dan kelembaban
regeneratif. Hal ini juga menjelaskan mengapa ujung hidung yang “ basah
“ pada cuaca dingin ( dengan suhu – 10 sampai – 29 C)
10
ALAT PEMERIKSAAN HIDUNG
Untuk melakukan pemeriksaan dasar khususnya di bagian hidung,
diperlukan beberapa alat-alat standar yang, yaitu :
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung (ukuran kecil, sedang dan besar)
3. Pinset bayonet
4. Kaca laring (ukuran kecil, sedang dan besar)
5. Tongue spatel (penekan lidah/tongue depresor)
6. Haak korpal
7. Lampu spirtus
8. Nearbeken (mangkok bengkok)
9. Cairan : pemati rasa (lidokain 2 %) dan vasokonstriktor (ephedrin)
10. Kapas untuk tampon
11. Tampon steril.2
Selain diperlukan alat-alat sederhana seperti yang telah disebutkan diatas,
untuk melakukan pemeriksaan THT-KL, juga diperlukan sarana penunjang lain,
yaitu : sebuah kursi untuk pemeriksa, sebuah kursi untuk pasien, sebuah tempat
tidur, serta sebuah meja untuk meletakaan peralatan yang akan digunakan untuk
melakukan pemeriksaan.
Dalam melakukan pemeriksaan dibagian THT, juga diperlukan sebuah
ruangan atau tempat yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu : 1. Agak
gelap/tidak terlalu terang (ruangan diberi gorden kain warna hitam), serta 2.
Ruangan yang tenang.
Macam-macam peralatan sederhana yang digunakan dalam melakukan
pemeriksaan bagian THT-KL,
1. Lampu kepala
11
Gambar 1 : lampu kepala
2. Penekan Lidah / Tongue spatel
Gambar 2 : Penekan Lidah / Tongue spatel
3. Kaca laring
Gambar 3 : Kaca Laring
12
4. Spekulum hidung
Gambar 4 : Spekulum hidung
5. Cairan pemati rasa
Gambar 5 : Xilocain spray
6. Haak korpal
13
Gambar 6 : Haak korpal
7. Neirbeken (Bengkok)
Gambar 7 : Neirbeken / bengkok
8. Pinset Bayonet
Gambar 8 : Pinset Bayonet
14
9. Lampu spritus
Gambar 9 : Lampu spritus
15
PEMERIKSAAN HIDUNG
HIDUNG BAGIAN LUAR
Inspeksi : bentuk hidung, ada / tidak deformitas, ada rhinorea atau tidak.
Palpasi : rhinalgia, krepitasi, nyeri tekan daerah sinus paranasal.
RINOSKOPI ANTERIOR
Dengan menggunakan spekulum hidung dan sumber cahaya dari lampu
kepala. Dilihat hidung bagian dalam hidung dengan cara memasukkan spekulum
hidung melalui nares anterior. Untuk lubang hidung kanan, spekulum dipegang
dengan tangan kiri, sedangkan untuk lubang hidung kiri, spekulum dipegang
dengan tangan kanan.
Spekulum dimasukkan dalam keadaan tertutup, setelah ujung spekulum masuk,
baru dibuka. Letakkan ujung jari telunjuk pada cuping hidung. Sinar diarahkan ke
lubang hidung, diperiksa berturut-turut septum nasi, dasar cavum nasi, konka
nasalis, meatus nasi dan nasofaring.
Untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas, bisa digunakan tampon kapas
yang sebelumnya dibasahi dengan adrenalin yang diencerkan 1:1000. Dengan
tampon tang dimasukkan tampon kapas adrenalin tesebut dan ditempelkan pada
konka.
Gambar 10 : Rinoskopi anterior
16
RINOSKOPI POSTERIOR
Bagian - bagian yang diperiksa :
1. Permukaan belakang uvula2. Permukaan atas palatum molle3. Koana4. Tepi belakang septum nasi5. Ujung belakang konka media dan konka inferior6. Ostium tuba eustachii7. Fossa Rossenmulleri8. Torus tubarius9. Atap nasofaring10. Kelainan - kelainan : tumor, polip, discharge, hipertrofi adenoid,
atresia koanan.
Bahan dan Alat :
Lampu kepala, spatel lidah, cermin tenggorok, lampu spiritus dan korek api,
xylocain spray 2%.
Cara : Sebelum memulai pemeriksaan, pasien diberi penjelasan cara pemeriksaan,
tujuan pemeriksaan dan bahwa pemeriksaan ini tidak membahayakan dirinya.
Cermin dihangatkan di atas lampu spiritus dan ditempelkan pada punggung
tangan kiri pemeriksa untuk memastikan kehangatannya sebelum dipakai. Pasien
diminta membuka mulut dan bernapas melalui hidung. Punggung lidah ditekan
dengan spatel lidah ( lidah tak perlu dijulurkan ). Cermin diselipkan antara uvula
dan plika anterior, masuk ke orofaring di belakang palatum molle. Sinar lampu
diarahkan ke cermin dan diperiksa bagian-bagian tersebut seperti di atas.
17
Gambar 11 : Rinoskopi posterior
TRANSILUMINASI ( DIAPHANASKOPI )
Tujuan :Membandingkan keadaan sinus maksilaris kanan dan kiri,
membandingkan sinus frontalis kanan dan kiri.
Cara : Di dalam ruangan yang betul – betul gelap, sinus maksilaris disinari
dengan cara memasukkan sumber sinar dari diaphanascop ke dalam mulut,
dibandingkan sinus maksilaris kanan dan kiri. Untuk pemeriksaan sinus frontalis,
diaphanascop ditempelkan di bawah alis bagian medial ( dasar sinus frontalis ).
Hasil : Pada sinus yang normal akan tampak merah terang. Pada sinusitis akan
tampak lebih gelap.
PEMERIKSAAN NASAL SWAB
Bahan : Sekret hidung pasien bebas obat lima hari, obyek glass, lampu spiritus,
larutan eosin 0,5%, air atau aquades, ethyl alkohol 95%, methylen blue 0,5% dan
mikroskop.
18
Cara : Dengan teknik pemeriksaan Hansel.
1. Sekret hidung diambil dengan lidi kapas dan dioleskan pada obyek
glass. Dikeringkan di udara atau di atas api.
2. Ditetesi dengan larutan eosin dan dibiarkan 1 menit, tambah air
secukupnya supaya larutan cukup menutupi seluruh permukaan.
Biarkan 1 menit.
3. Larutan cat dibuang, dibersihkan sampai bersih, tetesi dengan ethyl
alkohol.
4. Cat dengan methylen blue 10 detik, tanbah aquades, biarkan 30
detik.
5. Bersihkan dengan air dan ethyl alkohol, keringkan.
6. Periksa dibawah mikroskop.
Hasil : Terlihat eosinofil ( granula kemerahan ) atau netrofil ( granula kebiruan ).
Penilaian :
(+) = 1 – 5 / lapangan pandang
(++) = 6 – 10 / lapangan pandang
(+++) = > 10 / lapangan pandang
Pemeriksaan Nasal Swab :
19
TES PENGHIDU
Penilaian kasar mengenai fungsi penghidu dapat dibuat dengan
menggunakan botol-botol kecil, masing-masing berisi kopi, coklat, minyak
gandapura, kamfer, ekstrak lemon dan air sebagai kontrol.
Pasien dengan mata tertutup menhirup untuk mengidentifikasi masing-
masing materi tes. Kebanyakan orang normal akan mengenal dengan menyebut
salah satu dari senyawa tersebut. Biasanya mereka sanggup menyatakan bahwa
mereka dapat menghidu senyawa, walaupun tidak dapat mengidentifikasi senyawa
tersebut.
20
EPISTAKSIS
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis
bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir
90% dapat berhenti sendiri.1,2
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun,
sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka
kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang
bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum
dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada
orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2
A. Definisi
Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari kavitas nasalis atau
nasofaring.3
B. Anatomi
Gambar 1 Skema vaskularisasi septum nasi4
Vaskularisasi rongga hidung dan septum nasi berasal dari cabang ethmoid dari
arteri karotis interna dan cabang fasialis dan maksilaris interna dari arteri karotis
21
eksterna.4 Cabang dari arteri maksilaris interna berupa arteri palatina mayor dan
arteri sfenopalatina. Bersama nervus sfenopalatinus, arteri ini keluar dari foramen
sfenopalatina masuk ke rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.
Bagian anterior hidung menerima vaskularisasi dari cabang-cabang arteri fasialis.5
Arteri karotis interna dan cabang-cabangnya
Vaskularisasi kavum nasi sebagian besar didapatkan dari arteri karotis
eksterna, sedangkan arteri karotis interna menyuplai arteri ethmoidalis anterior –
yang berukuran lebih besar – dan posterior. Kedua arteria ini mendarahi arteri
oftalmika dalam kavum orbita. Kedua arteria tersebut melewati fasia periorbital
melalui dinding medial orbita dan fovea lateralis ossa ethmoidalis sepanjang garis
sutura frontoethmoidalis pada setinggi lamina kribrosa. A. ethmoidalis posterior
masuk ke dalam foramen ethmoidalis posterior dengan jarak 4 – 7 mm dekat N. II.
A. ethmoidalis anterior masuk ke dalam foramen ethmoidalis anterior dengan
jarak 14 – 22 mm dari sutura maksilolakrimalis. Jarak antar kedua foramina
tersebut bervariasi pada tiap orang.6
Arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya
A. karotis eksterna menyuplai kavum nasi terutama melalui a. maksilaris,
dan kemudian a. fasialis. A. fasialis membentuk a. labialis superior, yang
kemudian bercabang menjadi a. nasalis, medial ke septum dan lateral ke ala nasi.
A. maksilaris adalah cabang terminal dari a. karotis eksterna. Dalam fossa
infratemporalis, a. maksilaris melewati kaput superior dan inferior m. pterigoideus
di lateral atau tepat di antaranya.6
Arteri tersebut kemudian masuk ke dalam fossa pterigopalatina melalui
fisura pterigopalatina. Fossa ini adalah suatu bangunan yang berbentuk seperti
piramid yang memanjang dan terbalik. Batas anteriornya adalah posterior sinus
maksilaris dan prosesus orbitalis ossis palatini; batas posteriornya adalah antero-
inferior dari ala mayor ossis sfenoidalis dan prosesus pterigoideus; batas
medialnya adalah bagian vertikal dari os palatina; batas lateralnya adalah fisura
22
pterigomaksilaris; batas superiornya adalah rostrum sfenoid (medial) dan fisura
orbitalis inferior (lateral); dan batas inferiornya adalah kanalis pterigopalatina.6
Di dalam fosa pterigopalatnia, a. maksilaris berjalan seperti ular pada
suatu alas jaringan lemak. A. maksilaris dan cabang-cabangnya lebih antero-
inferior di dalam fossa pterigopalatina dibandingkan nervus vidianus dan nervus
maksilaris, yang menjadi titik anatomis dalam ligasi a. maksilaris. Ujung terminal
a. maksilaris yang penting pada epistaksis adalah a. palatina mayor (desendens), a.
faringea, a. nasalis posterior, dan a. sfenopalatina.6
Struktur khusus
Terdapat suatu struktur khas pada bagian anterior hidung yang disebut
sebagai Pleksus Kiesselbach (Little’s area) yang disusun oleh cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. ethmoidalis anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor.
Pleksus ini letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis.5
Pada bagian posterior terdapat pleksus Woodruff, yang terbentuk dari anastomosis
arteri ethmoidalis posterior, a. sfenopalatina, dan a. faringea asendens. Bila
mengalami ruptura, struktur ini akan menyebabkan epistaksis posterior.1,7
C. Klasifikasi
Berdasarkan anatomi letak sumber perdarahannya, epistaksis dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu epistaksis anterior dan posterior.4 Garis batas antara kedua
daerah ini adalah ostium sinus maksilaris.7
23
Gambar 2 Skema epistaksis anterior dan posterior8
1. Epistaksis Anterior
Pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach yang
terletak di depan septum nasi.7 90% epistaksis merupakan akibat dari ruptura
pembuluh darah pada pleksus Kiesselbach.1,9 Epistaksis ini sering terjadi pada
anak-anak, dan pada umumnya dapat berhenti dengan sendirinya (spontan), serta
mudah diatasi.5
2. Epistaksis Posterior
Sekitar 10% epistaksis merupakan epistaksis posterior.1 Perdarahan ini
diakibatkan oleh ruptura pleksus Woodruff yang terletak pada bagian belakang
tengah.1,7
24
Epistaksis posterior dapat bersifat asimtomatik.4 Epistaksis posterior lebih
sulit diatasi karena posisi sumber perdarahannya yang sulit terlihat. Selain itu,
darah yang keluar seringkali tertelan, sehingga sulit untuk mengukur jumlah
perdarahan.7 Beberapa arteri besar dapat terlibat dalam epistaksis posterior,
sehingga mengakibatkan perdarahan yang masif.4,5 Pasien dengan hipertensi,
arterosklerosis atau penyakit kardiovaskuler dapat mengalami epistaksis posterior
akibat pecahnya a. sfenopalatina.5
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.3
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak
dan biasanya dapat berhenti sendiri.2 Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari
pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah
di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.1,4
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior.1 Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah
ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan .4
25
2.Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien
dengan penyakit kardiovaskuler. Thorton(2005) melaporkan 81% epistaksis
posterior berasal dari dinding nasal lateral.6
ETIOLOGI
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan
ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti
kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang
merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis
dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada
tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.2,3,7 Tiwari (2005)
melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa.8
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada
arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause,
kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam
berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan
kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler-Weber
disease. Disamping itu epistaksis dapat terjadi pada penyelam yang merupakan
akibat perubahan tekanan atmosfer. 2,3,9
DIAGNOSIS
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi
biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan
penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat
26
hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan
darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus
paranasal, kalau perlu CT-scan.5
PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.2
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk,
sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di
belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan
dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.
Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin
1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada
saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara
ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau
posterior.2
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan
jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan
tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini
harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa
tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan
sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell)
disamping penggantian cairan.10
A. Epistaksis Anterior
1.Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan
27
menggunakan tampon kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4%
topikal dengan epinefrin 1 :100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan
penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung dan dibiarkan
selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan
larutan asam triklorasetat 40 – 70%. Setelah tampon dikeluarkan, sumber
perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta yang berwarna
kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan
pada kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain
menggunakan zat kimia dapat digunakan elektrokauter atau laser.5 Yang (2005)
menggunakan electrokauter pada 90% kasus epistaksis yang ditelitinya.11
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber
perdarahan tidak dapat diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon
anterior dengan menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi vaselin atau
salap antibiotik.2,10 Tampon ini dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada pasien
diberikan antibiotik spektrum luas.12 Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s
nose clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.13
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.2
Epistaksis posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, balloon
tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.10
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup
koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya darah ke
nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini
pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang
28
diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil melalui hidung
kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari
mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter
ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana
melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring
akan mempermudah tindakan ini.4,5 Apabila masih tampak perdarahan keluar
dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam
kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada
sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak
di nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada
pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 –3
hari.2
2.Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung
dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal
yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan
disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon
diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior
sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada
palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada
balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dankateter difiksasi dengan
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon
balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior.1,6,14
3.Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah
dengan meligasi pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber
29
perdarahan dengan segera. Tetapi kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi
sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada
beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.12
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior
m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m. sternokleido-
mastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju
selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis
eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.faringeal
asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang 3/0 silk atau linen.3
b.Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi local atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan
menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial
untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang,
lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope pada
daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang menandakan letak
arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan
menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar
electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksilainterna diidentifikasi, arteri ini
diretraksi dengan menggunakan nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya.
Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi salap
antibiotik selama 24 jam.2 Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk
ligasi a. maksilaris interna. Plane of buccinator dimasuki melalui insisi
gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi perlekatan m.
30
temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah
ini dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau
diligasi. Prosedur ini berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan
oleh karena trauma sinus atau malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah
lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan pendekatan
transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya kegagalan.
Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang
dapat berlangsung selama tiga bulan.10 Shah (2005) menggunakan clip titanium
pada arteri sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis posterior.15
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi
dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior
berada kira-kira 1,5 cm posterior dari Krista lakrimalis posterior. Foramen
etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. 10
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi
dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.
Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak
diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten,
a.etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian kauter untuk
menghindari trauma. 10
d. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi
perkutan pada a. maksilaris interna dengan menggunakan absorbable gelatin
sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir mendiskusikan
kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland,(1980)
melaporkan penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik
herediter, epistaksis (primer dan traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor
31
ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan dalam melakukan
embolisasi a.etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila
dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi
dibagian distal arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan
hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa
material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge
merupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih
kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.10
Prinsip penanganan epistaksis adalah :
1. Menghentikan perdarahan
Hal ini dilakukan dengan cara memasang tampon yang diolesi cairan
adrenalin 1 : 1000.
2. Mencegah terjadinya komplikasi
Pemasangan tampon mempunyai efek samping, yaitu terjadinya infeksi
sekunder. Untuk menghindari terjadinya infeksi, dibutuhkan suatu antibiotika.
3. Mencegah terjadinya epistaksis berulang.
32
KELAINAN KONGENITAL PADA HIDUNG
I. Nasal dermoid
Istilah Dermoid pada hidung digunakan untuk menggambarkan berbagai
anomali pada hidung. Berasal dari epitel yang terdapat pada bagian punggung
hidung yang membentang dari kul i t punggung hidung melalui septum
ke dura dan sangat jarang sampai ke ventrikel otak. Pelebaran yang bervariasi
pada berbagai saluran disebut kista dermoid, namun patologi dasarnya adalah
saluran yang melebar pada kuli t . Histologis kista ini dapat berisi epi tel
dan organ kuli t la innya sepert i rambut, akar rambut, dan kelenjar keringat
dan sebaceous. Keragaman komposisi i n i m e r u p a k a n t o l a k u k u r y a n g
d a p a t m e m b e d a k a n k i s t a d e r m o i d i n k l u s i epidermis simpleks.
Beberapa massa dermoid dapat ter l ihat didalam hidung, septum, atau
rongga intrakranial tanpa saluran sinus.
Presentasi Klinis
Kista dermoid dan sinus umumnya terjadi pada garis tengah hidung. Mereka bias
tampak sebagai sebuah lubang sebuah saluran f is tulous, atau massa
yang bisa terdapat didaerah mana saja, mulai dari ujung hidung sampai ke
glabella. Histologis, dermoid khas juga ditemukan dalam alur nasomaxillary dan
u j u n g h i d u n g n a m u n b i a s a n y a t i d a k m e m i l i k i s a l u r a n s i n u s
d a n m e m i l i k i signifikansi klinis yang berbeda. Dermoid biasanya
jarang, dan biasanya tidak terdapat hubungan dengan kelainan
bawaan. Meskipun adanya laporan dapat terjadi sporadis dalam keluarga,
dermoid umumnya tidak dianggap sebagai suatu herediter (6,7). Rambut atau
bahan sebaceous mungkin menonjol dari pit, dan pasien dapat
di temukan dengan r iwayat drainase yang berulang, infeksi, dan
mungkin bahkan meningitis. Dermoid yang terletak pada septum dapat
dijumpai dengan pembengkakan internal yang ada dalam septum atau tepatdi
septum hidung.
33
K i s t a d e r m o i d s i n u s y a n g terinfeksi. Lokasi dan penampilan dari lesi
hidung tidak memberi petunjuk pada kedalaman penetrasi dari
saluran sinus yang terkait. Meskipun dermoid paling sering berakhir
dalamsebuah saluran subkutan tunggal, namun ini memungkinkan dapat
terjadi pada beberapa saluran lainnya. Selain itu, keterlibatan yang lebih
jauh, dapat terjadi sampai dengan 45% dari pasien, dan penyuluhan
intracranial telah dicatat dalam25% sampai 30% kasus (2,8,9). Jika tidak ada
saluran yang mendalam, penetrasi akan berlanjut sampai ke hidung di daerah
pertemuan antara tulang hidung dan kartilago lateral atas. Saluran
tersebut kemudian terbungkus dalam septum dan dapat berlanjut sampai
kelapisan cribiform yang kemudian akan memasuki dasar tengkorak di foramen
sekum yang hanya di bagian anterior crista galli. Saluran tersebut dapat
berpotensi melebar, j ika saluran tersebut memiliki
potensinya.Beberapa dermoid memiliki saluran yang dapat
menembus tengkorak antara tulang frontal dan hidung, dan beberapa
mungkin dapat menggabungkan kedua jalur tersebut. Hal ini diyakini
bahwa karena unsur ectodermal menumpuk, kista dermoid berkembang
seir ing dengan waktu. Ketika suatu massa nasal terkai t dengan fistula
kulit diteliti,diagnosis dermoid dapat menjadi jelas. Namun, diagnosis diferensial
pada pasien dengan massa yang terdapat pada hidung atau septum adalah
hemangioma, kistaepidermoid, glioma, atau encephalocele.
Evaluasi
Radiologi memiliki peranan penting dalam mempelajari tingkat
lesi dan yang paling penting dalam menilai kemungkinan keterlibatan
intrakranial sebelum p e n g o b a t a n d i l a k u k a n . C T d a n M R I a d a l a h
p e n c i t r a a n p i l i h a n y a n g d a p a t menghasilkan informasi yang berbeda. CT
digunakan untuk melukiskan anatomi tulang dari dasar tengkorak.
Temuan pada CT dapat memperl ihatkan adanya keterlibatan, namun,
ekstrakranial oleh dermoid tersebut meliputi pembengkakan fusiform atau bifidity
dari tulang yang ada pada septum hidung, pelebaran kubah hidung, atau erosi
34
glabellar. Sebuah paten foramen sekum dan crista galli bifida
menyarankan keterlibatan intracranial, pada beberapa kasus, massa fosa
anterior dapat ditemukan di daerah anterior crista galli. Temuan
radiografi belum dapatdipast ikan sepenuhnya sebagai diagnost ik,
karena cacat dari cr is ta gal l i dan patensi dari foramen sekum
mungkin hadir tanpa komponen intrakranial dari d e r m o i d
t e r s e b u t . D e n g a n t e m u a n s e p e r t i d i d a e r a h c r i s t a g a l l i ,
d a p a t menimbulkan adanya kemungkinan yang berhubungan dengan massa
intracranial.Menginterpretasikan temuan radiografi pada anak-anak sangat sulit
karena septum nasal hidung yang menebal dan kubah yang meluas
adalah gambaran yangnormal. MRI semakin banyak digunakan untuk
mendapatkan hasil yang sangat baik pada gambar massa jaringan lunak.
Selain itu, dapat juga untuk visualisasi dari seluruh kista dan saluran pada
bidang sagital langsung. Salah satu atau kedua
teknik pencitraan tersebut diperlukan sebelum perawatan dermoid
dilakukan.
Pengobatan
Dermoid mungkin akan menjadi rumit dikarenakan oleh
infeksi lokal yang berulang atau bahkan meningitis. Juga, deformitas
kosmetik mungkin progresif akibat kista meluas. Sementara pengobatan
dapat dilakukan dengan insisi dan drainase, tetapi ini harus dilakukan dengan
sangat hati-hati. Seluruh saluran harus d i p o t o n g d e n g a n c e r m a t u n t u k
m e n c e g a h t e r u l a n g n y a k i s t a d e r m o i d . Dokter bedah harus ingat
bahwa hampir setengah dari lesi ini dapat menembus ke d a l a m t u l a n g
h i d u n g d a n t e r h u b u n g k e d u r a ; p e n d e k a t a n b e d a h
h a r u s direncanakan. Bart let t e t al dan Posnick et al mengamati
bahwa keterl ibatan intrakranial tidak terjadi jika massa tersebut berada
di atas sutura nasofrontal.Pada penderi ta yang memiliki kecurigaan
t inggi adanya ekstensi intrakranial ( y a k n i , t e m u a n r a d i o l o g i s
s u g e s t i f a t a u r i w a y a t m e n i n g i t i s ) , p e n d e k a t a n kraniofasial
35
harus direncanakan. Saluran yang melewati foramen sekum untuk dapat
masuk ke intracranial sehinnga dapat menuju ruang potensial antara lapisan dari
cerebri falx yang selanjutnya menuju ke anterior crista galli. Jika ada
massadi daerah ini, sebagian besar penulis percaya bahwa craniotomy harus
dilakukan pertama, eksisi dilakukan pada bagian ekstrakranial.
Kebanyakan dermoid tidak memiliki hubungan intrakranial dan aman
mendekati eksternal. Kami percaya bahwa sayatan vertikal di garis tengah
punggung hidung adalah pendekatan yang paling efisien untuk dermoid
ekstrakranial. Dapat memberikan hasil kosmetik yang baik, dan insisi
affords eksposure yang sangat baik dapat menghilangkan lesi y a n g d a l a m
u n t u k m e m p e r p a n j a n g t u l a n g h i d u n g . M e d i a l o s t e o t o m y
d a n outfracturing tulang hidung pada kasus ini mungkin perlu dan mudah
dilakukan d a n d i p e r b a i k i m e l a l u i s a y a t a n v e r t i k a l . S u a t u
p e n d e k a t a n o p e r a s i h i d u n g eksternal, yang dapat diperpanjang
dengan sayatan paraoral, telah ditawarkan sebagai pendekatan alternatif
untuk dermoid, namun hasil kosmetik yang sangat baik harus ditimbang
terhadap eksposure terbatas menawarkan pendekatan ini.Pendekatan
f lap bicoronal mungkin juga berguna untuk dermoid pada
akar hidung. Dalam semua kasus, lubang hidung dipotong dengan ellips
kulit dalam kontinuitas dengan saluran sinus. Teknik bedah mikro,
termasuk penggunaan latihan otologic berkecepatan tinggi, sangat membantu
pembedahan akurat dalam saluran sinus. Selain itu visualisasi dengan mikroskop
binokuler sangat diperlukan pada pembedahan tertentu. Jika sudah ditemukan
saluran untuk memperluas dasar tengkorak, dokter bedah harus menentukan
apakah itu adalah sebuah band fibrosasederhana yang dapat dengan aman
diamputasi tanpa risiko kekambuhan ataucerebrospinal fluid (CSF)
kebocoran atau apakah itu suatu tangkai epitel berlapis.Ini bisa dicapai
dengan tangkai bagian beku pada saat operasi . Adanya epitel
d a l a m t a n g k a i d i d a s a r t e n g k o r a k m e r u p a k a n j a m i n a n u n t u k
p e n d e k a t a n i n t r a c r a n i a l y a n g l e n g k a p d a n
a m a n b a g i s e l u r u h s a l u r a n . Kecacatan kosmetik yang
36
disebabkan baik oleh kista i tu sendir i a tau karena metode
penghapusan kista tersebut, setiap upaya untuk mengganti dan akurat
menyetel kembali tulang hidung dibuat. Jika rekonstruksi sekunder
diperlukan,harus ditunda sampai pertumbuhan hidung selesai. Para
pasien dan orang tua mereka harus diberi konseling tentang bekas luka,
deformitas hidung, dan dan hal-hal yang dibutuhkan untuk bedah
rekonstruksi. Waktu operasi ini tidak begitu penting kecuali dalam kasus-
kasus yang jarang terjadi dan adanya komplikasiyang disebabkan oleh
meningitis. Karena kista cenderung dapat meluas seiringdengan waktu
maka dapat menyebabkan deformitas yang progresif, pembedahan dalam 2 atau
3 tahun pertama kehidupan direkomendasikan. Dermoid berkaitandengan
massa intrakranial yang mengkhawatirkan, dan penanganan yang
paling baik adalah dilakukan pada waktu yang lebih awal.
2.GLIOMA DAN ENCEPHALOCELE
Glioma dan encephalocele dianggap bersama-sama karena
memiliki penampilan y a n g s a m a s e c a r a k l i n i s , h i s t o l o g i , d a n
e m b r i o g e n e s i s . G l i o m a a d a l a h unencapsulated sel glial yang
terdapat dalam matriks jaringan ikat yang dapat s a m p a i k e l a p i s a n
d u r a . M e r e k a j e l a s k o n g e n i t a l d a n t i d a k
n e o p l a s t i k . Encephalocele adalah herniasi dari meninges dengan atau
tanpa jaringan otak melalui dasar tengkorak dan dapat berhubungan dengan
CSF yang terdapat pada ruang subarachnoid.
Presentasi Klinis
Glioma adalah suatu massa yang biasanya timbul di awal kehidupan
tetapi dapat juga timbul pada usia dewasa. Mereka dapat bermanifestasi
sebagai massa extranasal, massa intranasal, atau keduanya. Tidak seperti
dermoid, mereka tidak secara rutin terjadi pada garis tengah, dan tidak
menyambung ke saluran sinus yang bermuara ke kulit. Kulit di atasnya
37
mungkin terdapat seperti massa, dan dapat melekat pada massa
tersebut .Mereka adalah massa noncompressible yang tidak berkembang
dengan keras dan tidak bertransiluminasi. Eksternal glioma hidung adalah
yang paling umum (60%). Mereka biasanya ditemukan di glabella tetapi dapat
hadir sebagai massa lateral hidung. Tiga puluh persen dari gliomahadir
sebagai intranasal massa sepihak yang mungkin prolaps dari nares,
dans i s a n y a 1 0 % e k s t e r n a l d a n m e n g g a b u n g k a n k o m p o n e n
i n t r a n a s a l . g l i o m a Intranasal melekat pada turbinate menengah atau lebih
tinggi di lateral hidung dandapat bersamaan dengan polip. Intranasal
gabungan dan lesi extranasal adalah b e r b e n t u k h a l t e r , d e n g a n
b a g i a n y a n g m e n g h u b u n g k a n d a n m e l e w a t i persimpangan
tulang rawan lateral atas dan tulang hidung. Secara keseluruhan,15% dari
glioma terhubung dengan dura (15,19). Meskipun ini jarang terlihat pada
lesi extranasal , hampir sepert iga dari mereka yang memiliki
komponenintranasal . Beberapa bagian ini berhubungan dengan
CSF yang mengandungr u a n g s u b a r a c h n o i d . A d a l a p o r a n b a h w a
C S F m e n g e l u a r k a n g l i o m a t a n p a sambungan yang jelas ke SSP, tetapi
dalam keadaan demikian kita dapat membuatevaluasi diagnostik. Ketika
terdapat hubungan, maka dapat terjadi baik melaluiforamen sekum atau
antara tulang frontal dan hidung. Dengan demikian, gliomadapat hadir
dengan rhinorrhea CSF atau meningitis. Baik dengan faktor keluargaatau sebuah
hubungan kelainan bawaan lain telah ditunjukkan pada glioma hidungGlioma
harus dibedakan dari encephalocele karena pengobatan dan
prognosissangatlah berbeda. Encephalocele adalah kelainan yang lebih
serius yang terdiridari jaringan prolaps melalui cacat dalam tempurung kepala
dan dalam kontinuitasdengan SSP. Mereka mungkin harus diklasifikasikan
menurut isi kantung hernia:Meningocele mengandung meninges, dan
encephalocele mengandung meningesdan jaringan gl ial . Dengan
konvensi , bagaimanapun, semua disebut sebagai encephalocele.
Mereka juga sering diklasifikasikan berdasarkan lokasi lesi yang berada di
dasar tengkorak, sehingga mereka bisa berlokasi di oksipital, sincipital,atau
38
basal. Variasi oksipital dapat berlokasi di atas tengkuk dan berada di
luar cakupan diskusi ini. Varietas sincipital atau basal terjadi di dalam
atau di dekat h i d u n g . E n c e p h a l o c e l e S i n c i p i t a l j u g a d i k e n a l
s e b a g a i e n c e p h a l o c e l e frontoethmoidal karena selalu terdapat cacat dasar
tengkorak antara tulang frontal dan ethmoid di foramen sekum, yang terletak
tepat di sebelah anterior cribiform plate. Encephalocele Sincipital dapat
dibagi lagi menjadi :
1. Nasofrontal (Gbr. 78.5B): kantung ini akan langsung melewati bagian
depan menuju antara tulang frontal dan hidung. Tulang hidung yang normal,
tetapi dapat turun ke bagian bawah. Dinding medial orbita dapat pindah ke
lateral oleh karena massa. Lesi ini berlokasi di glabella.
2. Nasoethmoidal (Gbr. 78.5C): Setelah meninggalkan kranium melalui
foramensekum, kantung menuju ke bagian bawah. Di bawah tulang hidung
dan di ataslateral kartilago atas terlihat sebagai massa pada hidung lateral.
Tulang frontal dan hidung dan proses frontal dari rahang adalah normal dan
bentuk atapnya saja yang cacat. Lantai yang cacat adalah tulang rawan
septum nasal atas yang terdistorsi oleh massa.
GAMBAR 78,5. A: Normal anatomi. B: encephalocele Nasofrontal, dengan
cacatyang kurus di atas tulang hidung. C: Nasoethmoidal encephalocele, dengan
cacattulang di bawah tulang hidung. E, tulang ethmoid; M, rahang; N,
tulang hidung, NC, tulang rawan hidung.
3. Nasoorbital: Melalui lesi dasar tengkorak yang sama, kantung meluas di
bawahtulang frontal dan hidung kemudian menonjol melalui lesi di dinding
medial orbit.Ada empat jenis encephaloceles basal :
Transethmoidal: kantung hernia tersebut melewati lesi yang berada
padacribiform plate sampai ke meatus superior dan medial, kemudian
meluas ketengah turbinate.
Sphenoethmoidal: sac membentang melalui lesi cranial antara sel
ethmoidal posterior dan sphenoid untuk berada di nasofaring .
39
Transsphenoidal: kantung ini menjorok melalui kanal craniopharyngeal paten
untuk berada dalam nasofaring tersebut.
Sphenomaxillary: encephalocele herniates melewati fisura orbital superior
dankemudian melewati f isura orbi tal inferior untuk berada dalam
fosasphenomaxillary.
Encephalocele oksipital yang paling umum (75%), diikutioleh kelompok
sincipital (15%), dimana varian nasofrontal adalah yang paling umum (21%).
Jenis basal jarang, dengan t ipe t ransethmoidal yang pal ing umum
dari grup ini (20%). Kebanyakan sincipi tal encephaloceles
hadir s e b a g a i m a s s a k o m p r e s i b e l l e m b u t d i a t a s g l a b e l l a .
B i a s a n y a , m e r e k a digambarkan sebagai massa yang berdenyut ,
dan mereka dapat menjadi meluas dengan menangis atau mengedan
atau dengan kompresi dari vena j u g u l a r i s ( F u r s t e n b e r g
t e s t ) . T i d a k a d a b e n t u k y a n g d a p a t h a d i r , bagaimanapun,
dan mereka mungkin muncul hanya sebagai suatu massa. Ada l a p o r a n d a r i
b e k a s l u k a i n i b a w a a n d a r i m a s s a . J e n i s b a s a l
b i a s a n y a menunjukkan sedikit bukti eksternal dari kehadiran mereka, kecuali
mungkin adanya pelebaran akar hidung dan hypertelorism. Ini biasanya timbul
dengan gejala yang berhubungan dengan sumbatan hidung (3 pasien).
EncephaloceleIntranasal mungkin mirip polip tetapi, tidak seperti polip,
terletak medial ke tengah turbinate dan sangat erat dengan septum
hidung daripada hidung lateral . Hal ini berbeda dengan gl ioma,
yang sering pada daerah lateral . Bentuk-bentuk ini juga ditunjang
dengan fakta bahwa polip sangat jarang p a d a a n a k - a n a k , a k a n
m e m b a n t u m e n c e g a h t e r j a d i n y a k e t i d a k p a s t i a n . Encephalocele
Intranasal mungkin atau mungkin tidak kompresif. Mereka juga dapat
tampak sebagai massa nasofaring dan dapat keliru dengan jaringan
adenoid.Meskipun tampaknya tidak menjadi insiden keluarga untuk
encephaloceles,ini dihubungkan dengan kelainan bawaan yang signifikan dalam
40
30% sampai 40% kasus. Telah diamati bahwa encephalocele yang
di tularkan melalui tulang sphenoid memiliki insiden tertinggi anomali serius.
Anomali ini dapat mengenai berbagai tingkat hidrosefalus, kelainan otak,
kelainan optik, dan median f i tur wajah sumbing. Tergantung pada
jumlah dan lokasi hernia jaringan otak dan juga pada kelainan yang
terkait, prognosis dapat berkisar dari yang sangat baik sampai buruk.
Evaluasi
Setiap anak dengan massa nasal eksternal atau internal akan
membutuhkan evaluasi radiologi yang sangat hat i-hat i . Tidak
semua massa hidung dapatd i a n g g a p s e b a g a i p o l i p s e d e r h a n a .
K a r e n a r i s i k o n y a d a p a t m e n y e b a b k a n meningit is . Aspirasi atau
biopsi dari massa merupakan kontraindikasinya. CT dan MRI adalah
terapi pilihan. Pasien dengan glioma biasanya tidak memiliki bukti dehiscence
tulang tempurung kepala. Massa seperti dehiscence dianggaps e b a g a i
s u a t u e n c e p h a l o c e l e . T e m u a n l a i n y a n g t e r k a i t d e n g a n
b e b e r a p a e n c e p h a l o c e l e a d a l a h p o s i s i r e n d a h d a r i a t a p
e t h m o i d r e l a t i f k e o r b i t a . C T merupakan pilihan terbaik untuk
mendeteksi kelainan tulang, tetapi MRI unggul s e c a r a a k u r a t
u n t u k m e n u n j u k k a n m a s s a j a r i n g a n l u n a k k e S S P .
Pengobatan
Lesi yang memiliki potensi yang berhubungan dengan otak harus
di tangani bersama oleh Dokter Ahli THT dan ahli bedah saraf. Glioma
harus benar-benar diambil bi la memungkinkan untuk meminimalkan
kemungkinan deformitas kosmetik dan risiko meningitis. Encephalocele
berkembang seiring dengan waktu,dan ini telah terbukti menyebabkan
hidrosefalus yang dapat menyebabkan peningkatan herniasi jaringan
otak ke dalam kantung dan deformitas kosmetik progresif. Selain itu,
risiko meningitis tetap ada. Semua faktor diterapi secarac e p a t . G l i o m a
E x t r a n a s a l d a p a t d i t a n g a n i m e l a l u i i n s i s i s t a n d a r
41
e k s t e r n a l , t e r g a n t u n g p a d a l o k a s i m a s s a . G a b u n g a n a t a u l e s i
m a s s a i n t r a n a s a l d a p a t ditangani melalui rhinotomy lateral. Teknik
bedah mikro dapat berguna. Angkakekambuhan dari gl ioma pada kuli t
di atasnya telah banyak di laporkan, dan sebaiknya kulit di atasnya
harus diambil sebesar yang ada hubungannya dengan glioma itu sendiri.
Jika tangkai meluas ke dasar tengkorak, dokter bedah harus menentukan
apakah i tu hanya sebuah band f ibrosa atau ada keterl ibatan
dari jar ingan saraf . J ika jar ingan gl ial ter identif ikasi dalam satu
tangkai di dasar tengkorak, massa harus ditangani seperti encephalocele
yang telah dijelaskan sebelumnya. Manajemen encephalocele dan glioma
diduga memiliki hubungan i n t r a k r a n i a l t e r u t a m a b e d a h s a r a f ,
d e n g a n e k s i s i k o m p o n e n e k s t r a k r a n i a l d i l a k u k a n s e t e l a h n y a .
G l i o m a t i d a k d i c u r i g a i m e m i l i k i h u b u n g a n d e n g a n intracranial.
Sehingga tengkorak dapat didekati secara eksternal sebagai prosedur utama,
bantuan bedah saraf tersedia jika itu menjadi perlu.
42
SINUSITIS
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Sinusitis adalah suatu proses inflamasi pada sinus yang terjadi karena
alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah
satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau
sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau
kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut
sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah
sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis.
Secara klinis sinusitis dibagi atas :
1. Sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.
2. Sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu hingga beberapa bulan.
3. Sinusitis Kronis, bila infeksi beberapa bulah hingga beberapa tahun.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis
1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar
dan molar).
43
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostia sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan
parsial oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen.
Apabila terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi
sekret ini, maka terjadilah sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostia), kerusakan pada silia, dan kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus.
Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti
rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus,
adenovirus dan enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA akan
memberikan bukti gambaran radiologis yang melibatkan sinus paranasal. Infeksi
virus akan menyebabkan terjadinya oedem pada dinding hidung dan sinus
sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus,
dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi,
polyps, tumor, trauma, scar, anatomic varian, dan nasal instrumentation juga
menyebabkan menurunya patensi sinus ostia.
Virus yang menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan
neuraminidase yang mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus
pada lapisan mukosilia. Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret
yang diproduksi sinus menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat
baik untuk berkembangnya bakteri patogen. Silia yang kurang aktif fungsinya
tersebut terganggu oleh terjadinya akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya
fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kehilangan
lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran udara yang cepat, virus, bakteri,
environmental ciliotoxins, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, primary cilliary dyskinesia (Kartagener syndrome).
44
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang
tidak adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya
beberapa bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi
pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti
infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan
menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium
sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini
akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus. Keterlibatan antrum
unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan gigi sebagai penyebab.
Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab kemungkinan adalah
jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak didapatkan pada
infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri khas pada sinus.
Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan
gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya
menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan
memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh
oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka.
Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai
dari sinus maksila dan pada sebagian individu berhubungan langsung dengan
mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke
sinus dapat terjadi.
45
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis sinusitis sangat bervariasi. Keluhan utama yang paling
sering ditemukan adalah tidak spesifik, dan dapat berupa sekret nasal purulen,
kongesti nasal, rasa tertekan pada wajah, nyeri gigi, nyeri telinga, demam, nyeri
kepala, batuk, rasa lelah, halitosis, atau berkurangnya penciuman. Gejala seperti
ini sulit dibedakan dengan infeksi saluran nafas atas karena virus, sehingga durasi
gejala menjadi penting dalam diagnosis. Pasien dengan gejala diatas selama lebih
dari tujuh hari mengarahkan diagnosis ke arah sinusitis.
Sinusitis maksilaris akut biasanya menyusul infeksi saluran napas atas
yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi
merupakan faktor-faktor predisposisi lokal yang paling sering ditemukan. Gejala
infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak
jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin.
Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan
telinga. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Selama
berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan mengungkapkan
adanya pus dalam hidung. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.
Gambaran radiologik sinusitis akut mula-mula berupa penebalan mukosa,
selanjutnya opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat,
atau akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Biakan bakteri yang muncul
biasanya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, bakteri anaerob,
Branghamella catarrhalis. Jika tidak mendapatkan penanganan yang adekuat
Sinusitis maksilaris akut dapat berubah menjadi sinusitis maksilaris kronis yang
berlangsung selama beberapa bulan atau tahun.
46
DIAGNOSA
Kriteria diagnosis sinusitis :
Gejala mayor Gejala minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal purulen Batuk
Demam Rasa lelah
Kongesti nasal Rasa lelah
Obstruksi nasal Halitosis
Hiposmia atau anosmia Nyeri gigi
Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua
kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pemeriksaan transluminasi.
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan tampak suram atau gelap.
Hal ini lebih mudah diamati bila sinusitis terjadi pada satu sisi wajah, karena akan
nampak perbedaan antara sinus yang sehat dengan sinus yang sakit.
2. Pencitraan
Dengan foto kepala posisi Water’s, PA, dan lateral, akan terlihat perselubungan
atau penebalan mukosa atau air-fluid level pada sinus yang sakit. CT Scan adalah
pemeriksaan pencitraan terbaik dalam kasus sinusitis.
47
3. Kultur
Karena pengobatan harus dilakukan dengan mengarah kepada organisme
penyebab, maka kultur dianjurkan. Bahan kultur dapat diambil dari meatus
medius, meatus superior, atau aspirasi sinus.
4. Rontgen gigi
Dilakukan untuk mengetahui apakah sudah timbul abses atau belum.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan sinusitis adalah:
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Sinusitis akut dapat diterapi dengan pengobatan (medikamentosa) dan
pembedahan (operasi). Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien sinusitis
akut, yaitu:
1. Antibiotik. Berikan golongan penisilin selama 10-14 hari meskipun gejala
klinik sinusitis akut telah hilang.
2. Dekongestan lokal. Berupa obat tetes hidung untuk memperlancar drainase
hidung.
3. Analgetik. Untuk menghilangkan rasa sakit.
4. Irigasi Antrum. Indikasinya adalah apabila terapi diatas gagal dan ostium
sinus sedemikian edematosa sehingga terbentuk abses sejati. Irigasi
antrum maksilaris dilakukan dengan mengalirkan larutan salin hangat
melalui fossa incisivus ke dalam antrum maksilaris. Cairan ini kemudian
akan mendorong pus untuk keluar melalui ostium normal.
5. Menghilangkan faktor predisposisi dan kausanya jika diakibatkan oleh gigi
48
6. Diatermi gelombang pendek selama 10 hari dapat membantu
penyembuhan sinusitis dengan memperbaiki vaskularisasi sinus.
Pembedahan (operasi) pada pasien sinusitis akut jarang dilakukan kecuali telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial. Selain itu nyeri yang hebat akibat
sekret yang tertahan oleh sumbatan dapat menjadi indikasi untuk melakukan
pembedahan.
DIAGNOSA BANDING
Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis
tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan
kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang
dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorrhea cairan serebrospinal harus
dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten
unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing
nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis
alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah. Pasien dengan demam
memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi
sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau
abses intrakranial.
49
RINITIS ALERGI
DEFINISI
Rinitis Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitifitas tipe I yang
diperantarai oleh Ig E pada sel mast mukosa hidung. Untuk menimbulkan reaksi
alergi harus dipenuhi 2 faktor, yaitu adanya fase sensitisasi terhadap suatu alergen
yang biasa bersifat herediter (atopi) dan adanya kontak ulang dengan alergen
tersebut sehingga menimbulkan manifestasi. Rinitis alergi didefinisikan dengan
adanya bersin, sekret nasal, postnasal drip, gatal hidung, dan obstruksi nasal
bilateral.
ETIOLOGI
Rinitis alergi disebabkan oleh semua zat yang berperan sebagai alergen
pada seorang individu. Triger alergi yang sering adalah polen, kutu rumah,
ketombe hewan, serangga (kecoa) dan jamur dan ia berbeda pada negara dan
regio. Berdasarkan cara masuk, secara umum alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang serta jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk saluran cerna berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, udang, ikan dan lain-lain.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan, atau tusukan, misalnya,
penicillin, sengatan lebah dan lain-lain.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik dan perhiasan.
50
KLASIFIKASI RINITIS ALERGI
Rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi, menurut WHO Initiative
Allergic Rinitis and its impact on asthma tahun 2000. yaitu :
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejal kurang dari 4 hari per minggu dan
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap) bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu
atau lebih dari 4 minggu.
Menurut berat ringannya penyakit, rinitis alergi dapat diklasifikasikan sebagai :
1. Gejala ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas,
bersantai dan atau olahraga, gangguan belajar atau bekerja dan gejala lain
yang mengganggu.
2. Gejala sedang sampai berat bila terdapat satu atau lebih gejala tersebut
diatas.
Pembagian klasifikasi yang penting dalam penanganan rinitis alergi secara tepat
dan rasional.
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dapat dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu :
1. Rinitis Alergi Musiman
Penyakit ini timbul periodik, sesuai dengan musim dimana pada waktu terjadi
konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur
dan biasanya mulai timbul pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya
gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun tergantung pada banyaknya alergen
di udara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan. Hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu dinamakan pollinosis
51
Rinitis alergi musiman ini merupakan suatu rino konjungtivitis oleh karena gejala
klinis yang tampak yaitu mata merah, gatal, disertai lakrimasi, sedangkan gejala
pada hidung berupa hidung gatal disertai dengan bersin paroksismal, adanya
sumbatan hidung, rinore yang cair dan banyak, serta kadang-kadang disertai rasa
gatal pada palatum.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa hidung pucat kebiruan
(livide) atau hiperemis serta ditemukan eosinofil pada pemeriksaan sekret hidung.
Terapi yang diberikan yaitu dengan melakukan desensitisasi terhadap tepung sari,
karena alergennya pada penyakit ini jelas.
2. Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)
Gejala penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim,
jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering yaitu alergen inhalan, terutama pada orang dewasa
dan alergen ingestan yang merupakan penyebab pada anak-anak, biasanya diikuti
dengan gejala alergi lainnya seperti urtikaria, gangguan pencernaan.
Selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh fakor non spesifik pun dapat
memperberat gejala, seperti asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban yang tinggi.
Patogenesis
Ketika tubuh kontak pertama dengan alergen, tubuh akan membentuk Ig E
spesifik. Ig E ini menempel pada permukaan sel-sel mediator yaitu mastosit dan
basofil yang mengandung granula. Proses ini disebut proses sensitisasi, yang
memerlukan waktu 5 sampai 10 hari dan selanjutnya akan ditemukan adanya sel
mediator yang tersensitisasi. Bila terjadi kontak lagi dengan alergen, maka alergen
tersebut akan bereaksi dengan Ig E yang terdapat pada permukaan sel mediator
tadi. Dengan demikian terjadilah degranulasi sel mediator, yang berakibat
pecahnya membran sel mast dan dilepaskannya zat-zat mediator, seperti histamin,
52
serotonin, bradikinin, Slow Reacting Substance of Anaphylactic (SRS-A),
Eosinopyl Chemotactic of Anaphylactic (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini yang
kemudian menimbulkan gejala klinik.
Pada rinitis alergi terjadi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell and Coombs type 1
immediate), dimana sel plasma pada jaringan mukosa hidung, dan saluran nafas
banyak memproduksi Ig E. Pada reaksi antigen – Ig E antibodi, terjadi pelepasan
zat-zat mediator dari mastosit yang terdapat pada saluran nafas. Pada rinitis alergi,
zat mediator yang berperan utama yaitu histamin dan serotonin, dimana kedua zat
mediator ini memiliki efek dilatasi pembuluh darah kapiler, meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi cairan dari pembuluh
darah, dan meningkatkan sekresi kelenjar. Secara klinis terjadi rinore, sering
bersin dan hidung tersumbat.
GEJALA KLINIK
Gejala rinitis alergi antara lain gatal pada membran mukosa saluran nafas, bersin,
rinore, post nasal drip. Gejala yang timbul bisa tergantung pada musim atau
sepanjang tahun.
Gejala rinitis alergi yang khas yaitu terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan.
Gejala lainnya adalah ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air
mata (lakrimasi). Pada rinitis alergi tidak terdapat demam.
Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Pada anak-
anak yang berumur kurang dari 2 tahun jarang disebabkan oleh alergen inhalan,
gejala yang timbul pada anak-anak lebih sering disebabkan oleh alergi makanan.
53
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-
satunya gejala yang diutarakan pasien.
Tanda pada rinitis alergi biasanya dapat ditemukan pada pemeriksaan kepala-
leher. Pasien dengan obstruksi jalan nafas dapat menunjukkan open-mouthed
adenoid facies. Gejala spesifik lain pada anak-anak adalah terdapatnya bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Gatal pada mukosa hidung
menyebabkan anak menggosok-gosok hidungnya dengan menggunakan punggung
tangan yang disebut allergic salute. Keadaan menggosok-gosok hidung ini akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Dengan anamnesis 50% diagnosis dapat ditegakkan. Anamnesis
dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan pertanyaan
yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung.. Pasien juga ditanyakan manifestasi
penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma, eksem,
urtikaria atau alergi obat. Riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Waktu dalam
setahun dimana serangan lebih sering timbul juga diperlukan dalam mendiagnosa
rinitis alergi musiman.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita rinitis alergi memperlihatkan lakrimasi yang
berlebih, sklera dan konjungtiva yang merah, daerah gelap di bawah mata. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna pucat atau
livid disertai adanya sekret yang encer. Pembengkakan yang sedang sampai nyata
54
dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan. Keadaan anatomi
hidung lainnya seperti septum nasi dan perhatikan pula adanya polip nasi.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan sitologi hidung : ditemukan eosinofil dalam jumlah yang
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan, basofil (cukup 5 sel/lap)
mungkin alergi makanan, sedangkan sel PMN menunjukkan infeksi bakteri.
• Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya
dengan Ig E total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu Ig
E spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym-linked
immunosorbent assay test).
• Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab. Ada beberapa cara yitu : uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration-SET), uji cukit (prick test), uji gores (scratch
test).
DIAGNOSIS BANDING
Rinitis alergi perlu dibedakan dengan rinitis vasomotor, rinitis akut infeksiosa,
rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal maupun sistemik, rinitis sekunder dari
faktor mekanis, tumor hidung, polip hidung, iritan kimia dan faktor psikologis.
PENATALAKSANAAN
Secara garis besar, penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu
menghindari alergen, farmakoterapi, dan imunoterapi. Sedangkan tindakan
operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis.
55
Menghindari alergen
Bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan Ig E spesifik yang
terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak terjadi dan
gejala dapat dihindarkan. Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan dengan
konsentrasi alergen di lingkungan.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan kelembaban
udara.
FARMAKOTERAPI
Antihistamin
Sebagai antagonis reseptor H1 yang bekerja secara inhibisi kompetitif pada
reseptor H1 dan merupakan terapi pertama dalam pengobatan rinitis alergi.
Antihistamin dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal tetapi mempunyai efek
minimal dan tidak efektif untuk mengatasi sumbatan hidung. Terdapat banyak
macam antihistamin, tetapi secara garis besar dibedakan atas antihistamin H 1
klasik dan antihistamin H 1 generasi baru.
Dekongestan
Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokontriksi karena efeknya pada
reseptor alfa-adrenergik. Berbagai jenis alfa adrenergik agonis dapat diberikan
secara peroral seperti pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini
secara primer dapat mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam
mengatasi rinore tetapi tidak mempunyai efek terhadap bersin dan gatal di hidung
maupun di mata.
Kombinasi antihistamin dan dekongestan
56
Kombinasi kedua obat dimaksud mengatasi semua gejala rinitis alergi termasuk
sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi bila hanya menggunakan antihistamin
saja.
Kortikosteroid topikal dam sistemik
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pertama untuk penderita
rinitis alergi dengan gatal sedang sampai berat dengan gejala persisten (menetap),
karena mempunyai efek anti inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang
tinggi pada reseptornya.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
Kortikosteroid sistemik mempunyai kerja anti inflamasi yang luas dan efektif
untuk hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung.
Ipratropium bromida
Ipratropium bromida topikal merupakan salah satu preparat pilihan dalam
mengatasi rinitis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat
mengurangi sekresi (rinore) dengan cara menghambat reseptor kolinergik tersebut
pada permukaan sel reseptor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya.
Preparat ini berguna pada rinitis alergi dengan rinore yang tidak dapat diatasi
dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin.
Sodium kromoglikat intranasal
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada hidung
dan mata bila digunakan 4 kali sehari. Preparat ini bekerja dengan cara
menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium
sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Selain itu obat ini bekerja pada respon
fase lambat rinitis alergi dengan menghambat proses inflamasi terhadap aktivasi
sel eosinofil.
Imunoterapi
57
Dilakukan atau diberikan pada penderita rinitis alergi yang tidak ada respon
terhadap farmakoterapi, bila penghindaran terhadap alergen tidak dilakukan atau
bila terdapat efek samping dari pemakaian obat
Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis
yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi.
Imunoterapi akan meningkatkan sel Th 1 dalam memproduksi IFN, sehingga
aktifitas sel B akan terhambat dan selanjutnya pembentukan Ig E akan tertahan.
Selain itu imunoterapi akan menurunkan produksi molekul inflamasi seperti IL-4,
IL-5, PAF, ICAM, dan akumulasi sel eosinofil.
58
Operatif
Pada hipertrofi konka inferior yang sudah berat, kauterasi dengan AgNO3 atau
trikloroaseatat tidak menolong. Maka dalam hal ini tindakan konkotomi
(pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan.
KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah:
1. Sinusitis paranasal
2. Polip hidung
3. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
Komplikasi ke-1 dan ke-2 bukanlah merupakan akibat langsung dari rinitis alergi,
tetapi karena adanya sumbatan hidung sehingga menghambat drainase.
59
TUMOR HIDUNG DAN SINONASAL
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga
yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung
sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor
primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien
berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga
hidung dan seluruh sinus.
Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab anatara lain nikel, debu kayu,
kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropil dan lain-lain. Alkohol, asap rokok,
makanan yang diasin atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya
keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan
terjadinya keganasan.
Histopatologi
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di
daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu : adenoma dan papiloma,
yang non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma,
osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Di samping itu ada tumor odontogenik
misalnya ameloblastoma aau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.
Tumor ganas epilelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar
liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non
epitelial ganas adalah hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk
rabdomiosarkoma dan osteogenik sarkoma ataupun keganasan limfoproliferatif
seperti limfoma malignum, plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering
juga ditemukan di daerah ini.
60
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis
bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma
inverted,displasia fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan
operasi harus radikal.
Gejala dan tanda
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.
Tumor di dalam maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,
mendorong atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga
mulut, pipi atau orbita.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikatagorikan sebagai
berikut :
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rineorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang
besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung.
Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan
nekrotik.
2. Gejala orbita. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia,proptosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan
visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan
atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi
palsunya tidak pas lagi atau gigi geliginya goyah.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan
pipi. Disertai nyeri, anestesia atau parestesia muka jika mengenai nervus
trigeminus.
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit
kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea,
yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke
61
fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya juga terkena. Jika
tumor meluas ke belakang, terjadi trimus akibat terkenaanya muskulus
pterigoideus disertai anestesia dan parestesi daerah yang dipersyarafi
nervus maksilaris dan mandibularis.
Pemeriksaan
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada
asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata.
Jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika mata
terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan
lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalu
rinoskopi anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakh
permukaannya licin, merupakan pertanda tumor jinak atau jpermukaan berbenjol-
benjol, rap-uh dan mudah berdarrah, merupakan pertanda tumor ganas. Jika
dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial beerarti tumor berada di sinus
maksila. Untuk memeriksa rongga oral, di samping inspeksi lakukanlah palpasi
dengan memakai sarung tangan., palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada
nyeri tekan, penonjolan atau gigi goyah.
Pemeriksaan naso-endoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan
tumor dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juaga perlu dicari meskipun tumor
ini jarang bermetstasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosisi dan
menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteotoma. Tetapi
foto polos tetap berfungsi sebagai diagnosos awal, terutama jika ada erosi tulang
62
dan perselebungan pada unilateral, harus dicurigai keganasan dan buatlah
tomogram atau CT scan. CT scan merupakan sarana terbaik karena lebih jelas
memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi tulang. MRI atau magnetic
resonance imaging dapat membedakan jaringan tumor dari jaringan normal tetapi
kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika
tumor tampak di rongga hidung atau rigga mulut, maka biopsi mudah dan harus
segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tidakan
sinuskopi atau operasi caldwell-luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskular, misalnya hemangioma atau angiofibroma,
jangan lakukan biopsi karena sangat sulit menghentikan pendarah yang terjadi.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi.
Tumor jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip
dengan polip tetapi lebih vaskular, padat dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis
papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut
papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat dengan invasif, dapat merusak
jaringan di sekitarnya. Tumor ini sangat cendrung untuk residif dan dapat berubah
menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah
radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi medial. Tumor jinak
angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang menisi rongga
hidung bahkan juaga menisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola
mata ke anterior.
Tumor ganas
Tumor ganas adalah kasinoma sel skuamosa, karsinoma tanpa diferensiasi dan
tumor asal kelanjar. Perluasan tumor primer dikategorikan dalam T1,T2,T3 dan
63
T4. Paling ringan T1, tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor
sudah meluas ke orbita, sinus sfenoid dan frontal dan/atau rongga intrakranial
Metastasis ke kelenjar limfa leher regional dikatagorikan dengan NO (tidak
ditemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar
limfa leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3
centimeter ), N2 (diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3
( diameter terbesar lebih dari 6 cm) Metastasis jauh dikatagorikan sebagai M0
( tidak ada metastasis) dan M1 (ada metastasis)
Penatalaksanaan
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti
radiasi dan kemoterapi sebagai adjuvan sampai saat ini masih merupakan
pengobatan utama untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pembedahan
masih di indikasikan walaupun menyebabkan morbiditas yang tinggi bila dibukti
dapat mengangkat tumor secara lengkap. Pembedahan di kontraindikasikan pada
kasus-kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus
bilateral atau tumor sudah mengenai kedua orbita. Kemoterapi bermanfaat pada
tumor ganas dengan metastasis atau residif atau jenis yang sangat baik dengan
kemoterapi misalnya limfoma malignum. Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi
tumor sebersih mungkin. Bila perlu dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi
lateral atau degloving (peningkapan). Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus
seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi dapat berupa maksilektomi
medial, total atau radikal. Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor
yang sudah mengenai seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke
rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai
eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intrakranial dilakuakn
reseksi kraniofasial atau kalau perlu kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim
bersama dokter bedah saraf.
64
Rekonstruksi dan rehabilitasi
Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai
tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan
fungsi menelan dan berbicara dengan baik, di samping perbaikan kosmetis melalui
operasi bedah plastik. Dengan tindakan – tindakan ini pasien dapat bersosialisasi
kembali dalam keluarga dan masyarakat.
Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal cara tepat dan
akurat. Faktor-faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor
primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas
sayatan, terapi ajuvan yang diberikan,stasus batas sayatan, terapi adjuvan yang
diberikan, status immunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil terbaik
dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan hidup
selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
65