Ringkasan seminar JKN SJSN

12
Menghitung Hari Penerapan SJSN: Siapkah JKN Mendarat Tahun 2014? Ringkasan Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diundangkan. Walaupun ada jeda selama 7 tahun setelah diundangkannya UU SJSN, dengan lahirnya UU BPJS mencerminkan usaha untuk mewujudkan program jaminan sosial bagi seluruh rakyat sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 secara perlahan akan dapat tercapai. Beberapa peraturan pelaksana turunan UU SJSN dan UU BJPJS hingga kini dalam proses penggodokan. Peraturan-peraturan tersebut diperlukan untuk memastikan program jaminan sosial nasional dapat dijalankan dengan baik, yakni sesuai amanat dari kedua UU tersebut. Terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) SJSN yang akan dimulai 1 Januari 2014, terdapat sejumlah aspek penting yang harus mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Diskusi publik setengah hari yang dimotori oleh Departemen Administerasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (AKK FKM UI), yakni Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (PKAKK) dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) membuka peluang bagi sejumlah kalangan untuk menyajikan aspirasinya. Empat narasumber yang peduli terhadap kebijakan JKN serta implikasinya terhadap sistem kesehatan Indonesia membahas sejumlah aspek terkait kebijakan JKN, yakni pembiayaan (Prof Budi Hidayat, PhD), penyediaan pelayanan kesehatan primer (Prof ascobat Gani, DrPH) dan sekunder (Prof Amal C Sjaaf, DrPH) dan ketenagaan (Dr. Adang Bachtiar, ScD). Berikut poin-poin yang dapat disarikan dari ke-empat narasumber 1

description

seminar JKN SJSN

Transcript of Ringkasan seminar JKN SJSN

Page 1: Ringkasan seminar JKN SJSN

Menghitung Hari Penerapan SJSN: Siapkah JKN Mendarat Tahun 2014?

Ringkasan

Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah diundangkan. Walaupun ada jeda selama 7 tahun setelah diundangkannya UU SJSN, dengan lahirnya UU BPJS mencerminkan usaha untuk mewujudkan program jaminan sosial bagi seluruh rakyat sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 secara perlahan akan dapat tercapai. Beberapa peraturan pelaksana turunan UU SJSN dan UU BJPJS hingga kini dalam proses penggodokan. Peraturan-peraturan tersebut diperlukan untuk memastikan program jaminan sosial nasional dapat dijalankan dengan baik, yakni sesuai amanat dari kedua UU tersebut. Terkait pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) SJSN yang akan dimulai 1 Januari 2014, terdapat sejumlah aspek penting yang harus mendapat perhatian dari berbagai kalangan.

Diskusi publik setengah hari yang dimotori oleh Departemen Administerasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (AKK FKM UI), yakni Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan (PKAKK) dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) membuka peluang bagi sejumlah kalangan untuk menyajikan aspirasinya. Empat narasumber yang peduli terhadap kebijakan JKN serta implikasinya terhadap sistem kesehatan Indonesia membahas sejumlah aspek terkait kebijakan JKN, yakni pembiayaan (Prof Budi Hidayat, PhD), penyediaan pelayanan kesehatan primer (Prof ascobat Gani, DrPH) dan sekunder (Prof Amal C Sjaaf, DrPH) dan ketenagaan (Dr. Adang Bachtiar, ScD). Berikut poin-poin yang dapat disarikan dari ke-empat narasumber

Prof Ascobat GaniProf Ascobat menyajikan aspek pelayanan kesehatan primer. Pemberi pelayanan kesehatan primer merupakan entri poin bagi peserta JKN. Mereka memiliki posisi sangat strategis yang akan menjadi penyaring utama (gatekeeper) dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan tingkat lanjut. ………(lanjutkan, or summary thd slide prof Asco)

Prof Amal C ScaafProf Amal membahas aspek pelayanan kesehatan sekunder. …………(lanjutkan, or summary thd slide prof Amal)

1

Page 2: Ringkasan seminar JKN SJSN

Prof Budi HidayatProf Budi yang menyajikan aspek pembiayaan JKN dan implikasi reformasi yang terkandung didalamnya menyampaikan bahwa kebijakan JKN tidak serta merta turun dari langit. Kebijakan JKN yang tertuang dalam tinta emas UU SJSN sudah dilandasi oleh sejumlah fakta empiris. Jaminan/Asuransi Kesehatan terbukti secara efektif meningkatkan aksesibiitas pesertanya terhadap pelayanan kesehatan. Fakta ini ditemukan dari sejumlah studi yang dilakukannya baik didalam maupun diluar negeri. Di Indonesia, misal, peserta Askes PNS memiliki akses 94% lebih tinggi terhadap pemanfaatan layanan kesehatan fasilitas publik ketimbang non-peserta (Hidayat B, 20081), peserta asuransi swasta memiliki probablitas jumlah kunjungan rawat jalan pada fasilitas kesehatan swasta lebih tinggi daripada non-peserta (Hidayat & Pokhrel, 20102). Fakta empiris ini juga ditemuan dari berbagai studi yang dilakukan hampir diseluruh negara di dunia yang melakukan kajian serupa.

Selanjutnya, Budi menyampaikan bahwa JKN berbeda dalam banyak hal dengan asuransi kesehatan komersial/atau asuransi swasta. Pertama, sifat kepesertaan wajib (mandatory) dan diatur UU pada program asuransi sosial dapat meredam kegagalan pasar yang disebabkan oleh ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) antara calon pembeli dengan asuradur. Ini berbeda dengan asuransi swasta yang kepesertaaannya sukarela sehingga pengelola asuransi harus melakukan penilaian risiko (underwriting) sebelum mengabulkan permohonan calon pembeli sebagai pesertanya. Kedua, manfaat (benetifs) asuransi sosial diatur tegas dalam UU, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan “dasar” (misal, mampu memperbaiki status kesehatan). Ini dilakukan untuk memastikan Negara memberikan pelayanan yang betul-betul bermanfaat bagi warganya. Sementara itu, asuradur asuransi komersial diberikan kebebasan seluas-luasnya mendisain paket manfaat. Ribuan paket manfaat dapat dikembangkan asuradur, tergantung apa yang laku, mampu dibeli konsumen dan menguntungkan pebisnis. Bahkan, produk-produk taylor-made dapat dikembangkan. Ketiga, besaran iuran program asuransi sosial dihitung untuk memenuhi kaidah adekuasi, masuk akal, kemampuan membayar dan farines dalam pembayaran. Oleh karena itu, perhitungan iuran (dalam satuan per orang per bulan) yang memenuhi prinsip adekuasi dan masuk akal dikonversi dalam bentuk persentase (%) terhadap pendapatan agar kaidah fairness dalam pembayaran terpenuhi. Iuran program asuransi komersial juga dihitung untuk memenuhi kaidah adekuasi dan masuk akal. Namun demikian, besaran iuran yang memenuhi kedua kaidah tersebut masih dikoreksi lebih lanjut untuk memenuhi kaidah ekuiti, dalam artian bahwa untuk paket manfaat yang sama, pembeli dengan risiko tinggi harus membayar iuran lebih mahal ketimbang pembeli yang berisiko rendah. Meskipun mereka yang beresiko tinggi adalah calon pembeli miskin. Keempat, aspek lain yang membedakaanya terkait dengan pengelolaan dan orientasi pelaksanan program (prifit vs non-profit).

Di Indonesia, program asuransi kesehatan wajib/sosial semula hanya berlaku pada kelompok tertentu, yakni PNS dan Pegawai swasta (catatan, pegawai swasta juga masih bersifat wajib bersyarat). Dengan lahirnya UU SJSN, serta UU BPJS yang berlaku efektif 1 Januari 2014 untuk program Jaminan Kesehatan, maka JKN sudah menjadi hak setiap penduduk. Indonesia memasuki babak baru Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsip asuransi.

2

Page 3: Ringkasan seminar JKN SJSN

Terdapat sejumlah tujuan yang hendak dicapai atas penerapan kebijakan JKN. Tujuan yang dimaksud adalah untuk memperbaiki (i) akses penduduk terhadap layanan kesehatan formal, (ii) status kesehatan penduduk, (iii) ekuitas dalam akses dan ekuitas dalam status kesehatan, (iv) kualitas layanan kesehatan, dan (iv) perlindungan penduduk atas pengeluaran biaya kesehatan katastropik. Ke-lima tujuan ini salalu muncul disetiap Negara yang mengadopsi kebijakan jaminan kesehatan (nasional) atau asuransi kesehatan sosial.

Jelas bahwa JKN, salah satunya, diarahkan untuk memperbaiki akses penduduk terhadap layanan kesehatan. Sejatinya, upaya perbaikan akses sudah lama menjadi agenda pemerintah, baik melalui sisi suplai maupun sisi demand. Intervensi sisi suplai dilakukan melalui berbagai upaya3, (i) pembangunan infrastuktur (lebih 8.000 puskesmas, 22.200 pustu dan 5.800 pusling telah dibangun), (ii) penyediaan tenaga (80.000 bidan, 70.000 dokter dan 15.000 dokter diantaranya spesialis telah tersedia), dan (iii) peluncuran program subsidi. Biaya gaji pegawai, obat, operasional serta biaya pemeliharaan adalah contoh-contoh program subsidi langsung bagi pemberi layanan kesehatan (provider). Tujuannya agar provider mematok harga layanan murah sehingga mampu menghilangkan hambatan keuangan kelompok miskin ketika mengakses layanan kesehatan. Argumentasi ini diambil dari hukum permintaan dalam ilmu ilmu ekonomi, yakni jika harga rurun maka permintaan naik. Program subsidi langsung bagi provider menguntungkan semua komponen penduduk, baik kaya dan miskin. Bahkan penduduk kaya lebih banyak menikmatinya4. Namun, program subsidi jenis ini menimbulkan regresifitas pembayaran, yakni proporsi pembayaran out-of-pocket (OOP) yang dilakukan kelompok kaya secara proporsional terhadap pendapatannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan OOP yang dikeluarkan penduduk miskin.

Pemerintah juga tengah meluncurkan program subsidi versi lain, yakni pembayaran iuran/premi asuransi kesehatan bagi warga miskin-dulu dikenal program Askeskin, dan berubah menjadi Jamkesmas sejak 2008-. Program subsidi iuran bagi warga miskin kini bahkan sudah diamanatkan dalam UU SJSN yang dikenal dengan istilah peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). Dengan asumsi penduduk miskin eligible sebagai peserta PBI pada program JKN mencapai 96.4 juta jiwa, dan kebutuhan iuran kelompok ini Rp 22.200,- per-orang perbulan, dibutuhkan dana subsidi iuran JKN bagi PBI Rp 25.68 triliun setahun.

Berpijak pada amanat UU SJSN bahwa employer harus membayar 50% kebutuhan iuran JKN bagi karyawannya, pemerintah juga masih harus menyediakan dana iuran bagi PNS, Pensiunan, Veteran, PTT dan Keluarganya; TNI/Polri dan keluarganya baik baik untuk pusat maupun daerah. Hasil perhitungan iuran yang dilakukan oleh TNP2K bekerja sama dengan Bappenas dan DJSN menemukan iuran

1 Hidayat B. Are there differences between unconditional and conditional demand estimates? Implications for future research and policy. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2008, 6:15+

2 Hidayat B, Pokhrel S. The Selection of an Appropriate Count Data Model for Modelling Health Insurance and Health Care Demand: Case of Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health 2010; 7(1):9-27

3 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2007

4 Hidayat B, Thabrany H, Dong H, Sauerborn R. The effects of mandatory health insurance on equity in access to outpatient care in Indonesia. Health Policy and Planning 2004 19(5):322-335

3

Page 4: Ringkasan seminar JKN SJSN

PNS/TNI/Polri/Veteran beserta kaluarganya tahun 2014 mencapai 14.54 triliun (skenario tinggi). Dengan demikian, total dana yang disediakan pemerintah agar JKN beroperasi 2014 sesuai amanat UU BPJS menjadi Rp 32.9 triliun (Rp 25.6 triliun untuk PBI, dan Rp 7.27 triliun atau 50% kebutuhan iuran bagi PNS/TNI/Polri/Veteran dan keluarganya).

Selanjutnya disebutkan bahwa “JKN memang bukanlah panaseauntuk memperbaiki kinerje sistem kesehatan”. Upaya perbaikan akses penduduk terhadap layanan kesehatan, dan selanjutnya perbaikan status kesehatan penduduk, bisa ditempuh dengan banyak cara, seperti pembangunan infrastruktur, subsidi sisi suplai, PKH, BOK, dll. Masing-masing strategi dan/atau program ini memiliki keunikan dan kekhususan tersendiri, dan tentunya saling melengkapi. Yang jelas, kebijakan JKN akan turut merubah sistem kesehatan Indonesia.

Khusus untuk JKN, agar misi yang diembannya terealisir dengan optimal, dibutuhkan sejumlah syarat. Apakah sejumlah syarat yang dimaksud sudah tertuang dalam draft sejumlah regulasi turunan UU SJSN dan UU BPJS? Berikut disajikan sejumlah syarat agar implementasi JKN yang tinggal 419 hari lagi dapat terwujud dengan baik.

Pertama, adalah mereformasi sistem pembayaran provider. Dalam program asuransi/jaminan sosial, tidak kurang dari 90% dana yang terkumpul akan digunakan untuk membayari provider. Bahkan pada program asuransi sosial di banyak negara, biaya administrasi tidak melebihi angka 5% dari pendapatan premi. Ini merefleksikan betapa urgensinya reformasi pembayaran provider. Jika sistem pembayaran provider JKN tidak mendukung praktik pelayanan yang efisien, berapapun uang yang disediakan akan kurang. Pada pasar kesehatan, provider berperan sebagai advisor dan supplier pelayanan kesehatan. Kedua peran yang diemban oleh provider ini sangat rentan menimbulkan supply-induced demand.

Cara pembayaran fee-for service memang banyak diminati oleh provider, hampir diseluruh dunia. Namun cara ini mendorong terjadinya overutilisasi dan terkadang unnecessary. Pasal 24, UU SJSN merumuskan tata kelola hubungan BPJS dengan Faskes dan membahas isu kompensasi provider. Penjelasan pasal 24 Ayat (2) disebutkan Kapitasi & Anggaran digunakan sebagai kandidat untuk mengcover jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan obat-obatan. Jelas disini Kapitasi menjadi kandidat. Rancangan PerPres Jaminan Kesehatan juga menyebutkan pembayaran rumah sakit akan dilakukan dengan cara borongan, dikenal dengan INA-CBG (INA-Casemix Based Groups).

Pertanyaan krusial adalah bagaimana rasionalitas tarif (kapitasi dan INA-CBG)? Bagaimana keseimbangan manfaat yang dikapitasikan dengan tarif kapitasi? Bagaimana standarisasi tarif pelayanan kesehatan dibangun? Bagaimana internalisasi kebijakan INA-CBG kedalam praktik pelayanan kesehatan mikro rumah sakit? Respon apa yang harus dilakukan oleh manajemen rumah sakit atas pemberlakuan INA-CBG ? Isu-isu tersebut hingga kini masih menjadi pertanyaan bagi sejumlah orang.

Kedua, adalah menata dan memformulasikan sistem pelayanan kesehatan berjenjang. Probabilitas kejadian sakit yang membutuhkan biaya pengobatan mahal relatif kecil, sementara probabilitas kejadian sakit yang membutuhkan biaya pengobatan murah relatif tinggi. Batuk, pilek, demam sering diderita oleh penduduk. Kasus-kasus seperti ini membutuhkan biaya pengobatan relatif murah, dan pelayanannya cukup ditangani oleh provider primer. Sementara itu, kasus-kasus seperti gagal ginjal,

4

Page 5: Ringkasan seminar JKN SJSN

gagal jantung, lupus, gullian bare syndrom, insidennya kecil, namun membutuhkan biaya pengobatan mahal. Untuk kasus-kasus terakhir ini perlu turun tangan spesialis, atau dilayani di fasilitas kesehatan lanjut.

Apa jadinya jika pasien JKN menderita pilek langsung ke neurologist? Nihilnya kebijakan sistem pelayanan berjenjang dalam implementasi JKN akan memboroskan. Iuran JKN yang terkumpul bisa saja tidak mencukupi. Dampak lainnya adalah fragmentasi praktik pelayanan muncul sehingga manajemen pelayanan kasus penyakit kronis sulit ditegakkan. Untuk itu, (i) harus dikembangkan sistem pelayanan berjenjang; (ii) mengoptimalisasi provider primer sebagai gatekeeper; (iii) pola rujukan dan formulasi standarisasi indikasi pelayanan yang dirujuk. Untuk merealisasikannya, sejumlah langkah (mekanik) dapat dilakukan dengan mudah, seperti: (i) mapping keberadaan provider primer (seperti, PKM, dokter praktik swasta, klinik praktik swasta, bidan), membangun databasenya serta mengontraknya sebagai gatekeeper, (ii) penetapan peserta JKN (integrasi data NIK) ke setiap provider primer gatekeeper tersebut; (iii) membangun indikator (dan standard gold untuk bancmark) sistem rujukan; (iv) mengintegrasikan data utilisasi peserta (misal; kunjungan, rujukan), dengan database provider, serta memanfaatkannya untuk program pemantauan dan kualitas layanan.

Ketiga adalah membangun dan menerapkan program telaah utilisasi (utilization review). Perubahan cara bayar provider dari FFS ke Kapitasi dan/atau DRG akan merubah pola praktik pelayanan kesehatan. Kecenderungan rujukan berlebih semakin ditengarai diantara provider yang dibayar kapitasi. Turunnya rerata lama hari rawat secara drastis telah ditemukan dari studi-studi yang membahas implikasi pembayaran DRGs. Namun, implikasi DRG thd terhadap perbaikan kualitas layanan belum muncul.

Perubahan cara pembayaran (yang akan diadopsi pada JKN SJSN) dapat berimplikasi pada kualitas layanan. Rambu-rambu apa yang harus dikembangkan?. BPJS harus berperan sebagai “polisi” praktik pelayanan kesehatan dengan bijak. Untuk melakukannya dibutuhkan instrumen “program telaah utilisasi” yang memungkinkan BPJS dapat memonitor kualitas layanan, serta mengontrol perilaku provider.

Pertanyaan krusialnya adalah bagaimana instrument telaah utilisasi, termasuk case management untuk kasus-kasus katastropik, dalam skema besar JKN SJSN itu dikembangkan? Bagaimana BPJS menggunakan instrument ini? Kapasitas apa yang dibutuhkan, baik bagi provider maupun BPJS, agar instrument ini diaplikasikan? Para akademisi Departemen AKK FKMUI sangat piawai untuk menyusunnya, dan sanggup menstransfer ilmunya untuk kemaslahatan umat.

Keempat adalah menetapkan paket manfaat, termasuk daftar obat-obatan (formularium) yang dijamin. Berbagai siklus bisnis asuransi mulai dari penetapan iuran, penetapan cara pembayaran provider, penentuan jumlah dan jenis provider, administrasi klaim, sampai penerapan kebijakan telaah utilisasi membutuhkan rincian jelas tentang paket manfaat. Iuran JKN sejatinya dihitung, dan pada proses perhitungannya memperhatikan manfaat yang ditawarkan JKN. Namun, kejesaan tentang rincian manfaat serta batasan-batasannya masih dibutuhkan. Ketidakjelasan rincian manfaat akan menjadi pemicu dispute diantara stakeholders yang terlibat, termasuk BPJS, provider dan peserta.

5

Page 6: Ringkasan seminar JKN SJSN

Terdapat pula aspek krusial yang harus mendapat perhatian dalam mendisain manfaat JKN agar program berdampak terhadap perbaikan ekuitas, baik dalam akses maupun dalam status kesehatan. Jangan sampai, JKN memperlebar jurang akses antara penduduk kaya vs miskin. Fakta ini telah ditemukan dari kajian yang menemukan “asuransi sosial di Indonesia, meskipun efektif dalam meningkatkan akses, namun memperlebar in-ekuitas dalam akses (Hidayat B, dkk, 20044). Kini muncul sinyalemen bahwa kebijakan JKN relative kurang sejalan dengan semangat perbaikan ekuitas, seperti yang amanatkan oleh WHO. Ini tampak pada rancang bangun JKN SJSN yang memberikan perbedaan kelas dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Apakah memang sistem pelayanan kesehatan kita yang berkelas-kelas?

Rincian paket manfaat ini menjadi tugas kementerian terkait (Kemenkes) untuk mendefinisikannya (apa yang masuk serta standar pelayanannya untuk setiap paket manfaat tersebut bagaimana). Hasil inilah yang selanjutnya dituangkan dalam regulasi. Jika tidak mungkin pada tingkat Perpres maka perlu ada pada tataran peraturan Menteri. Ini adalah esensi jaminan sosial. Bagaimana mengembangkannya?

Demikian halnya dengan rincian obat-obatan yang dijamin JKN. Analisis penulis apda laporan manajemen PT Askes 2007-2009 menemukan bahwa share biaya obat terhadap total biaya kesehatan naik dari 12.5% tahun 2007, menjadi 21.5% pada tahun 2008 dan 34.1% di tahun 2009. RPerPres Jamkes tengah menggariskan daftar obat-obatan yang masuk dalam jaminan JKN harus lolos dari hasil kajian teknologi kesehatan (Health Technology Assessments, HTA). Implikasi kebijakan ini tentunya merubah skema besar distrubusi obat-obatan di Indonesia. Harapannya, belanja obat di Indonesia bisa direm, dan akan melebihi penurunan apa yang terjadi di Amerika dimana share belanja obat terhadap total belanja kesehatan turun dari 19% pada tahun 1999 menjadi hanya 3% pada tahun 2008 (Kaiser Family Foundation, 20115). Mungkinkan ini terjadi di Indonesia! Single-payer ‘ala Indonesia memungkinkan untuk dapat merealisasikannya.

Kelima adalah mengintroduksi dan menerapkan kebijakan iur biaya. Iur-biaya tidak perlu diterapkan untuk manfaat yang berkaitan dengan pelayanan preventif. Namun, iur-biaya untuk pemanfaatan jenis-jenis pelayanan kesehatan tertentu yang berpotensi morale hazard dari sisi konsumen perlu diadopsi. Peserta harus dibuat peduli terhadap biaya kesehatan. Jangan sampai “aji mumpung” merasuki peserta JKN. Disini perlu disepakati dan diatur dengan jelas dalam regulasi tentang jenis iur biaya yang digunakan, dan besarannya? Jenis manfaat apa yang dikenakan iur-biaya tersebut?

Keenam adalah mengantisipasi serta meresponse penambahan permintaan kesehatan akibat JKN. Berbagai studi menemukan program asuransi meningkatkan akses penduduk terhadap layanan kesehatan formal. Fakta ini harus disikapi bijak bagi Negara yang mengintroduksi JKN. Tidak sebandingnya fasilitas kesehatan, termasuk SDM, dengan penambahan demand akibat JKN akan menjadi faktor pencapaian misi utama JK SJSN sulit terealisir.

Aspek krusial yang harus dilakukan adalah melakukan estimasi berapa penambahan permintaan (per jenis paket manfaat sesuai dengan paket manfaat JK SJSN) dan mengkaitkannya dengan keberadaan

5 Kaiser Family foundation Calculations using National Health Expenditure historical data from Centers for Medicare and Medicaid Services.

6

Page 7: Ringkasan seminar JKN SJSN

fasilitas kesehatan baik dari sisi jumlah maupun kualitas. Selisih antara existing demand (permintaan sekarang) dengan permintaan yang akan datang akibat JKN mengindikasikan dua implikasi “gap permintaan”; pertama adalah gap permintaan yang memang belum terespon oleh fasilitas (dengan asumsi existing fasilitas kesehatan sudah optimal digunakan penduduk), dan kedua adalah gap permintaan yang akan direspon oleh existing fasilitas yang memang fasilitas tersebut belum optimal dimanfaatkan.

Hasil analisis diatas tentunya akan variatif antar daerah. Ini merupakan perhitungan awal yang selanjutnya hasilnya perlu digunakan sebagai inputs dalam perencanaan (i) penambahan fasilitas jika memang hasil poin pertama yang diperoleh atau (ii) tidak melakukan apa-apa karena memang existing fasilitas jika digunakan dengan optimal akan mampu meresponse kebutuhan demand baru tsb. Analisis ini perlu diterjemahkan kedalam roadmap pengembangan faslitas kesehatan untuk selanjutnya direalisasikan.

Ketujuh mengembangkan rancang bangun sistem monitoring dan evaluasi JK SJSN. Sebaik apapun kebijakan dan aturan main yang dikembangkan, dalam tataran implementasi masih berpeluang munculnya lubang-lubang serta deviasi terhadap aturan main ideal. Apalagi kebijakan nasional, seperti JKN, yang akan merubah landscape sistem kesehatan nasional dan melibatkan sejumlah stakeholders. Tidak semua stakeholders terlibat akan menjalankan tupoksi sesuai apa yang dikehendaki dalam rancang bangun JKN. Untuk ini diperlukan program monitoring agar upaya perbaikan dapat dengan segera dilakukan.

Kebijakan JKN juga mengusung sejumlah misi. Bagaimana misi JK SJSN dapat diketahui dengan objektif dan independen? Berapa persen JKN mampu meningkatkan akses penduduk terhadap layanan kesehatan? Berapa persen JKN memberbaiki status kesehatan (angka kesakitan, angka kematian) penduduk? Berapa persen JKN memperbaiki ekuitas dalam akses? Berapa persen JKN memperbaiki ekuitas dalam status kesehatan? Berapa persen JKN memperbaiki kualitas layanan kesehatan? Jawaban objektif atas sejumlah pertanyaan ini membutuhkan rancang bangun program evaluasi JK SJSN.

Hingga kini rancang bangun Monitoring dan Evaluasi JK SJSN belum tersusun. Padahal 1 Januari 2014 tinggal 419 hari lagi. Mengingat JKN merupakan kebijakan nasional, rancangan studi natural experiment manjadi kandidat utama. Untuk menerapkan rancangan ini policy maker harus segera memutuskan. Apa yang bisa kita lakukan. Lembaga pendidikan seperti FKM UI, bekerjasama dengan Bappenas, DJSN dan sejumlah lembaga independen lain berpotensi untuk terjun payung dalam menyusun rancang bangun MonEv JK SJSN.

Dr. Adang Bachtiar, MPH, ScDDr Adang membahas aspek SDM kesehatan……

7

Page 8: Ringkasan seminar JKN SJSN

Referensi

8