Riketsia

42
1 LAPORAN KASUS Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi RICKETS Oleh : dr. Triana Dyah Cahyawati Pembimbing : dr. Hesti Gunarti, Sp.Rad Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2013

description

Ricketsia

Transcript of Riketsia

Page 1: Riketsia

1

LAPORAN KASUS

Diajukan sebagai salah satu persyaratan PPDS 1 Radiologi

RICKETS

Oleh :

dr. Triana Dyah Cahyawati

Pembimbing :

dr. Hesti Gunarti, Sp.Rad

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

2013

Page 2: Riketsia

2

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi 3

B. Anatomi dan fisiologi tulang 3

C. Metabolisme tulang 6

D. Densitas tulang 9

E. Etiologi 9

F. Patofisiologi 10

G. Epidemiologi 11

H. Gejala klinis 11

I. Pemeriksaan radiologi 12

J. Pemeriksaan laboratorium 14

K. Diagnosis banding radiologis 14

L. Terapi 17

BAB III. LAPORAN KASUS 18

BAB IV. PEMBAHASAN 22

BAB V. KESIMPULAN 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 31

Page 3: Riketsia

3

BAB I

PENDAHULUAN

Rickets merupakan suatu sindrom klinis yang menggambarkan spektrum

kelainan metabolik dengan abnormalitas gambaran radiologis dan histopatologis

yang serupa yang disebabkan karena mineralisasi yang inadekuat atau lambat dari

matriks organik tersintesis baru (osteoid) pada tulang yang imatur sebelum fusi

fisis.1

Tulang yang sedang bertumbuh atau imatur rentan terhadap defisiensi

nutrisi dan mencerminkan terjaganya mekanisme homeostatik dalam memelihara

kalsium. Dua kelainan yang sering terjadi pada tulang imatur ini adalah rickets

dan hiperparatiroidisme, yang pada umumnya sekunder akibat adanya kelainan

ginjal kronis.2

Rickets aktif bermanifestasi hanya pada tulang yang mengalami

pertumbuhan sehingga kelainan ini tampak pada periode pertama pertumbuhan

yang berlangsung cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3 tahun. Tipe rickets yang

kurang parah dapat tidak bermanifestasi sampai usia prepubertas. Rickets

dilaporkan semakin banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir

sangat rendah. Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik, nutrisional,

dan pada beberapa kasus karena iatrogenik.3

Rickets dapat terjadi secara kongenital ataupun akuisita. Penyebab yang

biasa dijumpai antara lain yaitu karena defisiensi nutrisi terutama vitamin D,

kalsium dan fosfat, paparan sinar matahari yang kurang, status malabsorpsi yang

melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta hidroksilasi yang abnormal.1,4

Rickets dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai

rickets, dan dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic

resonance imaging (MRI), skintigrafi, bone scan dan ultrasonografi (USG).1,5

Gambaran rickets pada foto polos tampak khas yaitu osifikasi yang abnormal

yang menyebabkan retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran radiografi paling

awal pada rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis longitudinal

Page 4: Riketsia

4

tulang yang diikuti dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis lempeng

epifisis. Seriring dengan perkembangan penyakit, pelebaran lempeng epifisis akan

semakin bertambah dan zona kalsifikasi provisional menjadi ireguler. Selanjutnya

tampak gambaran fraying dan iregularitas pada tulang spongiosa pada metafisis.1

Pemeriksaan CT scan dan magnetic resonance imaging merupakan pemeriksaan

lanjutan yang dapat membantu mengevaluasi adanya fraktur, menilai densitas

tulang, melihat pelebaran epifisis serta Looser’s zone.

Laporan kasus ini dilatarbelakangi adanya kasus seorang anak dengan

gejala yang mengarah rickets dan telah menjalani pemeriksaan radiologi foto

thorax dan CT scan thorax saat diperiksa di rumah sakit sebelumnya, namun

belum didiagnosis sebagai rickets. Diagnosis rickets baru ditegakkan setelah anak

menjalani pemeriksaan klinis, laboratoris dan radiologi di RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta. Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari

gambaran rickets secara lebih mendalam dikarenakan kasusnya yang jarang

terjadi, sedangkan gambaran radiologinya khas. Selain itu penulisan laporan kasus

ini juga bertujuan untuk mempelajari kaitan rickets dengan patofisiologinya,

sehingga diharapkan pemahaman akan rickets dapat lebih mendalam.

Page 5: Riketsia

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Kelainan metabolisme tulang didefinisikan sebagai kelainan pada

sistema skeletal yang terkait dengan abnormalitas semua reaksi biokimiawi

sintetik (anabolik) maupun degradatif (katabolik) di dalam tubuh.3

Rickets merupakan suatu sindrom klinis yang menggambarkan

spektrum kelainan metabolik dengan abnormalitas gambaran radiologis

dan histopatologis yang serupa yang disebabkan karena mineralisasi yang

inadekuat atau lambat dari matriks organik tersintesis baru (osteoid) pada

tulang yang imatur sebelum fusi fisis.1 Bila kelainan ini terjadi pada orang

dewasa dengan tulang yang matur, maka gambaran radiologis, biokimiawi

dan perubahan klinis yang terjadi ini disebut sebagai osteomalasia.

Sehingga dengan definisi ini rickets hanya ditemukan pada anak-anak

yang belum mengalami penutupan lempeng pertumbuhan, sedangkan

osteomalasia terjadi pada orang dewasa.1,6,7,8

Kelainan mineralisasi pada tulang imatur dominan terjadi pada

ujung tulang yang bertumbuh dimana osifikasi enkhondral berperan, yang

memberikan gambaran klasik rickets.8

B. Anatomi dan fisiologi tulang

Tulang merupakan kerangka penunjang tubuh yang ditandai

dengan struktur yang kaku, keras dan kemampuan untuk regenerasi dan

memperbaiki diri. Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung

bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan

kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan

hematopoietik, yang membentuk berbagai sel darah. Tulang juga

merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan

fosfat.9,10

Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-

mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan

Page 6: Riketsia

6

fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroksiapatatit), yang tertimbun

pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang disebut

juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I

yang kaku dan memberikan ketegaran yang tinggi pada tulang. Materi

organik lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam

hialuronat.9

Tulang terdiri dari dua komponen yaitu tulang kortikal atau

kompakta dan tulang trabekular atau spongiosa. Bagian-bagian tulang

panjang terdiri dari epifisis, metafisis dan diafisis. Diafisis atau batang

adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun

dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah

bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini

terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang

mengandung sumsum merah. Sumsum merah terdapat juga di bagian

epifisis dan diafisis tulang. Pada anak-anak, sumsum merah mengisi

sebagian besar bagian dalam dari tulang panjang, tetapi kemudian diganti

oleh sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasanya anak tersebut.

Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas

untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. Lempeng epifisis

adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak. Bagian ini akan

menghilang pada tulang dewasa. Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi

tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan

memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa

yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat

berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang

panjang.9,10

Tulang juga dapat dibedakan berdasarkan pola kolagen dalam

membentuk osteoid yaitu berbentuk anyaman dan lamelar. Tulang yang

berbentuk anyaman terbentuk saat osteoblas memproduksi osteoid secara

cepat, misalnya pada saat perkembangan janin dan penyembuhan fraktur.

Page 7: Riketsia

7

Selanjutnya tulang ini akan diganti melalui proses remodelling untuk

menjadi tulang dewasa dengan bentuk lamelar.9,10

Histologi yang spesifik dari lempeng epifisis atau lempeng

pertumbuhan merupakan faktor yang penting untuk memahami cedera

pada anak-anak. Lapisan sel paling atas yang letaknya dekat epifisis

disebut daerah sel istirahat. Lapisan berikutnya adalah zona proliferasi,

dimana pada zona ini terjadi pembelahan aktif sel dan disinilah mulainya

pertumbuhan tulang panjang. Sel-sel yang aktif ini didorong ke arah

batang tulang, ke dalam daerah hipertrofi, dimana sel-sel ini membengkak

menjadi lemah dan secara metabolik menjadi tidak aktif lagi. Patah tulang

epifisis pada anak-anak sering terjadi di tempat ini, dan cedera dapat

meluas ke daerah kalsifikasi provisional. Di dalam daerah kalsifikasi

provisional inilah sel-sel mulai menjadi keras dan menyerupai tulang

normal. Bila daerah proliferasi mengalami kerusakan, maka pertumbuhan

dapat terhenti dengan retardasi pertumbuhan longitudinal anggota gerak

tersebut, atau terjadi deformitas progresif bila hanya sebagian dari

lempeng tulang yang mengalami kerusakan berat.9,11

Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga jenis

sel yaitu osteoblas, osteosit, dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang

dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang

atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika

sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan

sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam

mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari

fosfatase alkali akan memasuki aliran darah. Osteosit adalah sel-sel tulang

dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi

melalui tulang yang padat. Sedangkan osteoklas adalah sel-sel besar berinti

banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi.

Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel-sel ini

menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan

Page 8: Riketsia

8

beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan

fosfat terlepas ke dalam aliran darah.9,10

Pada keadaan normal tulang mengalami pembentukan dan absorpsi

pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-

kanak dimana lebih banyak terjadi pembentukan daripada aborpsi tulang.9

Seluruh tulang berasal dari mesenkim, tetapi berkembang melalui satu

diantara dua mekanisme. Tulang dapat berkembang secara langsung dari

sel mesenkim primitif, yaitu suatu lembaran yang bertindak sebagai

membran pembentuk tulang (osifikasi intramembran), misalnya pada

cranium dan clavicula. Tetapi tulang juga dapat berkembang secara tidak

langsung yaitu dengan mengubah kartilago menjadi tulang (osifikasi

endokondral). Osifikasi endokondral terjadi pada sebagian besar tulang

manusia. Kedua proses tersebut menghasilkan mikrostruktur tulang yang

identik, dimana tulang kompakta dan tulang spongiosa dapat terbentuk

melalui kedua mekanisme tersebut. Setelah proses osifikasi, tulang imatur

tumbuh dan mengalami remodeling secara terus menerus karena adanya

osteoklas dan osteoblas sampai tulang menjadi matur. Remodeling tulang

terjadi karena adanya keseimbangan antara pembentukan tulang oleh

osteoblas dan resorbsi tulang oleh osteoklas. Proses ini berlangsung secara

terus menerus sepanjang hidup dengan pola homeostatik.10,11

C. Metabolisme tulang

Terdapat beberapa faktor penting yang berperan dalam

metabolisme tulang yaitu terutama kalsium, fosfat, hormon paratiroid, dan

vitamin D.3,9 Fungsi utama sumbu vitamin D-hormon paratiroid-endokrin

adalah mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler pada kadar

yang tepat untuk memungkinkan mineralisasi.4

1. Metabolisme kalsium

Kalsium terdapat dalam plasma dalam 3 bentuk yaitu ; sebagai ion,

terikat dengan proten dan sebagai komplek difusi. Kalsium serum akan

meningkat oleh hormon paratiroid dan vitamin D serta akan berkurang

karena hiperkalsemia akut dan kalsitonin. Sistem organ yang berperan

Page 9: Riketsia

9

dalam metabolisme kalsium ini yaitu traktus gastrointestinalis, ginjal,

dan tulang. Traktus gastrointestinalis berperan dalam metabolisme

kalsium karena kalsium diabsorpsi secara primer pada usus halus

bagian proksimal yang dipengaruhi oleh vitamin D dan hormon

paratiroid.3

Ginjal akan mengontrol ekskresi kalsium dengan filtrasi

glomerulus dan reabsorpsi tubulus. Hormon paratiroid dan vitamin D

mengendalikan proses yang terakhir. Bentukan paling aktif vitamin D

yaitu 1,25 (OH)2 cholecalciferol atau dihydroxycholecalciferol terjadi

melalui hidroksilasi di ginjal.3

Tulang berperan dalam metabolisme kalsium karena hormon

paratiroid dan vitamin D menyebabkan resorpsi kalsium dari matriks

yang mengalami mineralisasi. Kalsitonin dihasilkan oleh sel

parafolikular glandula tiroid dengan kerja yang berlawanan dengan

kerja hormon paratiroid, sehingga akan mengurangi resorpsi kalsium

dari tulang. Kalsitonin disekresikan sebagai respon terhadap

meningkatnya kalsium serum namun tidak berperan penting pada

homeostasis kalsium normal.3

2. Metabolisme fosfat

Fosfat difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorpsi dalam jumlah

besar pada tubulus proksimalis. Hipofostatemia akan meningkatkan

reabsorpsi fosfat pada tubulus sedangkan hiperfosfatemia akan

menurunkan reabsorpsi fosfat pada tubulus. Hormon paratiroid

menghambat reabsorpsi fosfat pada tubulus.3

3. Hormon paratiroid

Suatu peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek

langsung dan segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan

fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Disamping itu,

peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan-lahan

menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga

terjadi demineralisasi.9

Page 10: Riketsia

10

Hormon paratiroid bekerja pada berbagai tingkatan. Hormon ini

berefek pada traktus intestinalis, tulang, dan ginjal dalam memelihara

kadar kalsium serum dengan: menstimulasi absorpsi kalsium intestinal,

meningkatkan reabsorpsi kalsium dari tulang, serta menghambat

reabsorpsi sodium, kalsium, fosfat, dan ion bikarbonat pada nefron

tubulus proksimalis ginjal serta menstimulasi reabsoprsi kalsium pada

tubulus distalis. Hormon paratiroid juga menstimulasi sintesis renal

1,25-dihydroxycholecalciferol dari 25 hydroxycholecalciferol yang

dibentuk di hepar. Hormon paratiroid juga memelihara kadar

magnesium serum. 3

4. Metabolisme vitamin D

Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D

dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti

yang terlihat pada kadar hormin paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada

vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang.

Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang,

antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus

halus.9

Vitamin D mempunyai 2 bentuk yaitu vitamin D2 atau

ergocalciferol dan vitamin D3 atau cholecalciferol. Vitamin D2

diperoleh dari diet (tanaman) sedangkan vitamin D3 dihasilkan di kulit

sebagai respon terhadap paparan sinar ultraviolet ke kulit atau juga

diperoleh dari diet (misalnya ikan laut dalam, kuning telur, hati).13

Kedua bentuk vitamin D tersebut mengalami modifikasi di hepar

menjadi 25-hydroxycholecalciferol dan di ginjal mengalami

hidroksilasi menjadi bentuk yang paling aktif yaitu 1,25

(OH)2cholecalciferol atau dihydroxycholecalciferol.

Dihydroxycholecalciferol ini merupakan suatu hormon, sehingga

vitamin D lebih bersifat sebagai prohormon. Bentukan vitamin D aktif

akan menaikkan kadar kalsium dan fosfat plasma melalui beberapa

aksi, yaitu: memacu absorbsi kalsium oleh usus halus, memacu

Page 11: Riketsia

11

absorbsi fosfat oleh usus halus, meningkatkan resorbsi tulang yang

diinduksi oleh hormon paratiroid, kemungkinan mempunyai efek

langsung dalam mineralisasi tulang, memacu reabsorbsi kalsium oleh

ginjal dan memacu reabsorbsi fosfat oleh ginjal.3,13

D. Densitas tulang.

Pemeliharaan mineral tulang bergantung pada keseimbangan antara

sintesis tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. Densitas

tulang normal terkait keseimbangan antara elaborasi osteoid, mineralisasi

osteoid, dan lisis tulang fisiologis. Fungsi-fungsi ini dikendalikan secara

langsung atau tidak langsung oleh faktor hormonal maupun biokimiawi

di luar maupun di dalam tulang.3

Terdapat tiga tipe berbeda dari generalized diminished bone density

atau osteopenia, yaitu: osteoporosis, osteomalasia dan osteolisis.

Osteoporosis didefinisikan sebagai pengurangan nonfokal massa tulang

per unit volume (sentimeter kubik) tanpa adanya perubahan komposisi

kimiawi tulang. Osteomalasia terjadi bila mineralisasi osteoid tidak

adekuat dan komposisi kimiawi tulang berubah. Sedangkan pada

osteolisis terjadi peningkatan kecepatan resorpsi tulang oleh osteoklas

atau disebabkan oleh kelainan proliferasi sumsum tulang dan atau

marrow packing.3

E. Etiologi Rickets

Rickets dapat terjadi secara kongenital ataupun akuisita. Berbagai

faktor yang turut berperan dalam terjadinya rickets yaitu metabolisme

vitamin D yang meliputi asupan, hidroksilasi pada hepar dan ginjal, dan

resistansi organ terhadap kerja hormon. Penyebab yang biasa dijumpai

antara lain yaitu: malnutrisi, paparan sinar matahari yang kurang, status

malabsorpsi yang melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta

hidroksilasi yang abnormal.1

Penyebab terjadinya rickets pada anak yang berusia kurang dari 6

bulan yaitu antara lain karena hipofosfatasia, dimana hipofosfatasia atau

hipokalsemia ini merupakan penyebab rickets pada osteopetrosis yang

Page 12: Riketsia

12

berat. Rickets juga banyak terjadi pada bayi prematur, dimana gambaran

radiologis rickets ditemui pada sekitar 55% bayi dengan berat lahir kurang

dari 1000 gram. Rickets juga banyak terjadi pada hiperparatiroidisme

primer dan faktor-faktor prenatal lain yaitu hiperparatiroidisme maternal,

defisiensi vitamin D maternal, insufiensi renal maternal. Sedangkan pada

anak yang berusia lebih dari 6 bulan, rickets lebih banyak disebabkan

karena defisiensi nutrisi (nutritional rickets), kelainan pada hepar yang

meliputi penyakit hepar kronis dan terapi antikonvulsan, malabsorbsi,

insufisiensi tubular ginjal serta penyakit ginjal kronis.5

Klasifikasi etiologi rickets dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu:

1)Status defisiensi meliputi defisiensi vitamin D, defisiensi kalsium,

defisiensi fosfat, defisiensi paparan sinar matahari serta rickets of

prematurity; 2)Absorptif, meliputi kelainan pada gastrointestinal,

hepatobilier dan pankreatik; 3)Kelainan tubular renal herediter (renal

rickets) meliputi Vitamin D dependent rickets (VDDR), Vitamin D

refractory rickets (VDRR), Vitamin D refractory rickets dengan

glukosuria, Sindroma Fanconi, asidosis tubular renal (tubular distal);

4)Renal osteodystrophy (uremic osteopathy); 5)Iatrogenik yang terjadi

karena misalnya pemberian terapi antikonvulsan, hiperalimentasi

intravena, antasida yang tak dapat diabsorpsi, dialisis peritoneal,

hemodialisis; 6)Terkait tumor; 7)Lain-lain, yang meliputi diantaranya:

hipofosfatasia, vitamin D refractory rickets tipe II, osteomalasia aksial

yang tidak khas.3

Penyebab rickets yang terbanyak dulu dan hingga saat ini adalah

karena defisiensi vitamin D, meskipun demikian di sebagian besar rumah

sakit penyebab yang lebih sering ditemui adalah karena kelainan absorpsi

dan kelainan ginjal.2 Di beberapa negara tropis dengan paparan sinar

matahari yang cukup, defisiensi kalsium merupakan penyebab yang lebih

penting daripada defisiensi vitamin D.13

F. Patofisiologi rickets

Page 13: Riketsia

13

Rickets dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti yang telah

disebutkan di atas. Pada kasus defisiensi vitamin D (asupan nutrisi,

paparan sinar matahari yang kurang, gangguan pembentukan pada hepar

dan ginjal), akan terjadi gangguan absorbsi kalsium dan fosfat di usus

halus, penurunan reabsorbsi kalsium dan fosfat di ginjal serta gangguan

mineralisasi tulang secara langsung. Sebagai akibatnya terjadi mineralisasi

yang terlambat atau adekuat pada matriks organik tulang yang baru

tersintesis (osteoid) pada tulang yang imatur karena gangguan deposisi

kalsium dan fosfat pada tulang.3

G. Epidemiologi

Vitamin D-deficiency rickets merupakan penyakit yang sering

terjadi pada abad lalu, namun sekarang sangat jarang dijumpai di negara

maju. Penyakit ini kadang-kadang djumpai pada bayi dengan berat badan

rendah sesuai masa kehamilan. Di negara berkembang, vitamin D-

deficiency rickets masih merupakan penyakit yang umum dijumpai.

Adapun di negara maju, vitamin D-resistdant rickets merupakan kelainan

tulang metabolik yang paling sering dijumpai. Kelainan ini merupakan

kelainan yang diturunkan dengan pola pewarisan x-linked dominant pada

dua pertiga kasus, dan lebih banyak diderita anak perempuan daripada

anak laki-laki.14 Sebuah data menyebutkan bahwa rickets di Turki dan di

Afrika banyak disebabkan oleh defisiensi kalsium, sedangkan pada anak

ras Afrika-Amerika terjadinya rickets dapat disebabkan paparan sinar

matahari yang inadekuat.5

Rickets aktif bermanifestasi hanya pada tulang yang mengalami

pertumbuhan sehingga kelainan ini tampak pada periode pertama

pertumbuhan yang berlangsung cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3

tahun terutama dibawah 18 bulan. Tipe rickets yang kurang parah dapat

tidak bermanifestasi sampai usia prepubertas. Rickets dilaporkan semakin

banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah.

Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik, nutrisional, dan pada

beberapa kasus karena iatrogenik.3,12

Page 14: Riketsia

14

H. Gejala klinis

Pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir yang sangat rendah

atau bayi yang membutuhkan alimentasi parenteral, sering dijumpai

osteopenia dan fraktur.4 Pada bayi yang berumur kurang dari setahun,

kejang hipokalsemia dapat merupakan manifestasi awal terjadinya

rickets.5,13Pada bayi yang lebih besar dan pada anak-anak, rickets

bermanifestasi dengan pelebaran metafisis tulang panjang, costochondral

junctions yang prominen (rachitic rosary), flaring dinding thoraks anterior

bawah, frontal bossing, dan kadang-kadang dijumpai craniotabes. Setelah

anak mulai belajar berjalan dan terdapat tumpuan berat badan, dapat

terjadi adanya genu valgum atau genu varum (lebih sering dijumpai). Juga

dapat dijumpai bengkoknya tibia ke arah anterior (saber shin). Anak akan

lebih lambat dalam belajar duduk, berdiri dan berjalan daripada anak

normal. Juga dapat terjadi gambaran coxae varae yang dapat diikuti

dengan terjadinya skoliosis. Pada gigi juga dapat dijumpai erupsi gigi yang

terlambat, hipoplasia enamel dengan karies dentis. Manifestasi sistemik

rickets meliputi kelemahan otot, gangguan pergerakan dan pertumbuhan,

anoreksia, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien

dengan defisiensi vitamin D.1,4,14

I. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai rickets, dan

dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic

resonance imaging (MRI), skintigrafi, bone scan dan ultrasonografi (USG)

a. Pemeriksaan foto polos

Perubahan radiologis pada rickets diilustrasikan dengan baik pada

tulang panjang. Meskipun terjadi perubahan pada tulang secara umum,

namun lokasi pertama dan paling nyata dijumpai dimana pertumbuhan

tulang berlangsung sangat cepat seperti pergelangan tangan, lutut,

costochondral junction, femur distal dan proksimal, tibia proksimal,

humerus proksimal dan radius distal.3,15,16

Page 15: Riketsia

15

Pada rickets, terjadi osifikasi yang abnormal yang menyebabkan

retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran radiografi paling awal pada

rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis longitudinal

tulang yang diikuti dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis

lempeng epifisis. Seriring dengan perkembangan penyakit, pelebaran

lempeng epifisis akan semakin bertambah dan zona kalsifikasi provisional

menjadi ireguler. Selanjutnya tampak gambaran fraying dan iregularitas

pada tulang spongiosa pada metafisis.1,15,16

Pada foto polos dapat dijumpai tampak gambaran yang khas yaitu

sebagai berikut: di kepala dapat tampak gambaran frontal bossing,

wormian bones, maupun craniotabes; pada genu dapat tampak genu varum

maupun genu valgum; pada tibia akan tampak saber shin, pada pelvis

dapat dijumpai gambaran triradiate pelvis serta epifisi caput femur yang

mengalami slipped; pada thorax dapat dijumpai gambaran rachitic rosary

dan pectus carinatum. Selain itu juga dapat dijumpai fraktur greenstick,

skoliosis, keterlambatan erupsi gigi dan hipoplasia enamel gigi.1,15

b. Pemeriksaan radiologi lain

Pemeriksaan CT scan dapat membantu mengevaluasi adanya

fraktur dan menilai densitas tulang. Pemeriksaan MRI merupakan

pemeriksaan yang optimal untuk melihat pelebaran epifisis dengan

meningkatnya sinyal T2, menghilangnya zona kalsifikasi provisional serta

mendeteksi Looser’s zone. Lebar epifisis normal berkisar 0,9-1,9 mm,

sedangkan pada rickets dapat melebar menjadi 2,5-3 mm. Pemeriksaan

skintigrafi dapat memperlihatkan cortical infractions yang kemudian akan

berkembang menjadi Looser’s zones. Pemeriksaan bone scan

menggunakan technetium 99m methylene diphosphonate (MDP) dapat

menunjukkan adanya area peningkatan uptake bilateral dan simetris, yang

akan memperlihatkan inital flare up setelah terapi awal. Pemeriksaan

ultrasonografi dapat membantu mengevaluasi epifisis caput femur yang

mengalami slipped serta berperan dalam mengevaluasi ginjal.1,5

Page 16: Riketsia

16

J. Pemeriksaan laboratorium

Hasil laboratorium pada pasien rickets dapat bervariasi sesuai

dengan derajat defisiensi vitamin D yang terjadi. Sebagian besar pasien

dengan rickets mempunyai kadar kalsium total yang normal atau rendah,

kadar fosfat yang rendah, serta peningkatan fosfatase alkali dan

konsentrasi hormon paratiroid.4,13 Pada kasus defisiensi vitamin D, dapat

terjadi penurunan kadar vitamin D aktif yang sangat rendah, biasanya

kurang dari 5 ng/mL. Meskipun demikian kadarnya tidak turun dengan

ekstrim pada pasien rickets akibat defisiensi kalsium atau yang telah

mendapat terapi vitamin D ataupun mendapat paparan sinar matahari yang

cukup.13

K. Diagnosis banding radiologis

Terdapat beberapa kelainan yang mempunyai kemiripan dengan

rickets berdasarkan gambaran radiologis. Diagnosis banding rickets yang

dibahas berikut ini adalah osteogenesis imperfekta, non accidental injury,

dan skurvi.

1. Osteogenesis imperfekta

Osteogenesis imperfekta merupakan kelainan kongenital yang

relatif jarang, dan bermanifestasi sebagai peningkatan fragilitas tulang

dan osteoporosis, juga dengan kelainan gigi, sendi serta kulit yang

tipis. Kelainan ini terjadi karena abnormalitas kolagen tipe I, sehingga

terdapat kelainan pada sklera, kornea, sendi dan kulit. Terdapat empat

tipe osteogenesis imperfekta yang didasarkan pada gangguan kolagen

spesifik yang terjadi.16,17

Tipe 1 merupakan tipe yang paling sering terjadi, dengan

pewarisan autosomal dominan. Tipe I ditandai dengan fraktur dengan

derajat keparahan yang bervariasi, namun fragilitas tulang cenderung

ringan dan tinggi badan sedikit berkurang. Tipe I ini dibagi menjadi

tipe IA dan IB. Tipe IA mempunyai gambaran gigi yang normal,

dengan perubahan tulang ringan. Pada tipe IB terdapat dentinogenesis

imperfekta dan perubahan tulang yang lebih berat. Osteoporosis terjadi

Page 17: Riketsia

17

dengan penipisan korteks dengan gambaran tulang panjang yang

melengkung, tipis dan langsing. Sebagian besar fraktur terjadi dimasa

kanak-kanak. Terdapat pula gambaran wormian bones pada cranium.

Tipe 1 ini terdiri dari kasus yang dahulu diklasifikasikan sebagai

osteogenesis imperfecta tarda.16,17 Tipe 2 dan 3 ditandai dengan

keterlibatan tulang yang parah serta survival yang rendah. Tipe ini

kemungkinan dahulu diklasifikasikan sebagai osteogenesis kongenita.

Pasien dengan tipe 2 dan 3 ini mempunyai sklera biru dan mengalami

fraktur saat lahir atau dalam kandungan. Pasien dengan tipe 4

mempunyai sklera yang normal dan temuan pada tulang yang

bervariasi.16 Pada keempat tipe osteogenesis imperfekta ini, bowing

pada tulang panjang disebabkan oleh osteoporosis dan fraktur

multipel.16 Sebagian besar fraktur pada tulang panjang melibatkan

diafisis atau regio metadiafisis. Pada kasus yang jarang, dapat dijumpai

fragmen metafisis kecil dengan pola corner fracture.6

2. Non accidental injury (NAI)

Non accidental injury (NAI) disebut juga sebagai Child abuse,

battered child syndrome, shaken baby syndrome dan sebagainya.

Trauma tulang merupakan temuan yang paling sering dijumpai pada

studi pencitraan anak dengan NAI.6,15, Pola trauma skeletal meliputi

subperiosteal new bone formation, fraktur metafisis atau classic

metaphyseal lesion (CML), pemisahan epifisis, dan fraktur pada

diafisis.18

Temuan pada tulang yang paling sering berhubungan dengan

NAI yaitu classic metaphyseal lesion (CML), yang disebut juga

metaphyseal corner fracture dan bucket handle fracture. CML terjadi

pada sekitar 20% kasus fraktur akibat NAI dan biasanya dijumpai

multipel. Faktur ini lebih sering terjadi pada ekstremitas bawah dan

paling sering dijumpai di sekitar lutut.18 Secara patologis fraktur

meluas mendatar melalui spongiosa primer. Fraktur dapat meluas

parsial atau komplit menyeberangi metafisis. Fraktur seperti ini paling

Page 18: Riketsia

18

sering terjadi pada femur distal, tibia dan fibula proksimal dan distal,

humerus proksimal, serta lebih jarang dijumpai pada siku, pergelangan

tangan, femur proksimal. Fraktur terjadi dengan torsi dan traksi

ekstremitas yang terjadi karena bayi direbut di lengan atau kaki.

Fraktur juga dapat terjadi setelah akselerasi dan deselerasi ekstremitas

yang tiba-tiba karena bayi diguncangkan dengan hebat dan direbut di

thorax. Fraktur terjadi pada thorax bayi, terutama pada costa posterior.6

Terdapat temuan-temuan pada NAI yang mempunyai spesifisitas

tinggi, sedang dan rendah, yang dapat membantu menyingkirkan

adanya NAI. Temuan dengan spesifisitas yang tinggi diantaranya

adalah classic metaphyseal lesion, fraktur costa terutama aspek

posterior, fraktur yang tidak biasa, misalnya pada vertebra, acromion.

Temuan dengan spesifisitas sedang diantaranya adalah fraktur multipel

terutama fraktur bilateral, fraktur multipel dengan waktu terbentuknya

yang berbeda-beda, fraktur pada jari terutama pada anak yang belum

bisa berjalan/merangkak, serta fraktur cranium kompleks. Sedangkan

temuan dengan spesifisitas yang rendah diantaranya adalah

subperiosteal new bone formation, fraktur clavicula, fraktur pada

corpus tulang panjang, dan fraktur cranium linear.18

3. Skurvi

Skurvi disebabkan oleh defisiensi vitamin C atau asam askorbat,

biasanya terkait diet. Pada kelainan ini terjadi gangguan jaringan ikat

untuk menghasilkan kolagen sehingga terdapat defek produksi osteoid

oleh osteoblas dan berkurangnya ossifikasi endokhondral tulang.7,8

Kelainan ini banyak diderita secara khas pada bayi berusia 6 bulan

hingga 9 bulan dan jarang diderita pada bayi berusia kurang dari 6

bulan karena masih terdapat cadangan vitamin C pada bayi.7,8,17

Tulang pada kelainan skurvi biasanya tampak osteopenik difus,

dengan batas yang relatif hiperdens (white lines of scurvy) dimana

mineralisasi osteoid berlanjut. Secara radiografis terdapat empat tanda

karakteristik pada skurvi, yaitu: 1) epifisis tampak kecil, dan dibatasi

Page 19: Riketsia

19

dengan tegas oleh rim sklerotik atau Wimberger sign; 2) zona

kalsifikasi provisional pada metafisis yang bertumbuh menjadi tampak

opak, yang memberikan gambaran garis putih atau Frankel’s line;

3)dibawah lesi tersebut terdapat zona lusen yang disebabkan

kekurangan mineralisasi osteoid yang disebut sebagai Trumerfeld

zone; 4)karena kelemahan pada area ini, maka akan cenderung terjadi

fraktur pada batas korteks, yang memberikan gambaran Pelkan’s

spur.17 Terdapat pula perdarahan subperiosteal yang disebabkan

fragilitas kapiler. Akibatnya terjadi gambaran peninggian periosteal

dan pembentukan tulang baru berikutnya.17

L. Terapi

Vitamin D-deficiency rickets dapat dicegah ataupun diterapi

dengan pemberian vitamin D 500 IU setiap hari, serta dipastikan juga

pasien mendapat paparan sinar matahari yang adekuat. Sedangkan pada

vitamin D-resistant rickets diberikan terapi vitamin D dosis tinggi yaitu

antara 50.000-100.000 IU, serta dapat diberikan juga terapi fosfat yang

disesuaikan dengan kadarnya dalam serum. Penatalaksaan ortopedik juga

dapat dilakukan sesuai dengan kondisi klinis pasien.14

Page 20: Riketsia

20

BAB III

LAPORAN KASUS

Dilaporkan seorang pasien anak H, perempuan, umur 2 tahun 9 bulan,

nomor CM 14234xx, dengan alamat di Banjarnegara, yang datang ke rumah sakit

dr. Sardjito pada tanggal 15 Juni 2009. Pasien dirujuk oleh dokter spesialis anak

dengan diagnosis pigeon chest dan masuk ke rumah sakit dr. Sardjito dengan

keluhan utama sesak.

Riwayat penyakit sekarang pasien yaitu sejak usia 18 bulan, anak belum

bisa berjalan, bisa berdiri bila dibantu, kedua tungkai tampak melengkung,

tampak kurus dan pendek dibandingkan teman seusianya. Pada usia 29 bulan,

anak masih belum bisa berjalan dengan kedua tungkai dan lengan bawah tampak

melengkung. Pergelangan tangan dan kaki kiri kanan tampak membesar serta

dada terlihat bertambah cembung. Anak juga sesak, batuk, dan demam. Anak

kemudian dibawa berobat ke dokter spesialis anak, disarankan untuk foto dada

dan tes mantoux. Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut anak didiagnosis

menderita PKTB dan diterapi dengan obat anti tuberkulosis. Pada usia 31 bulan,

anak masih belum bisa berjalan, dada bertambah cembung, pergelangan tangan

melebar dan membengkok ke arah luar. Anak bertambah sesak, sering batuk, dan

demam. Anak kemudian diperiksakan kembali ke rumah sakit swasta dan

didiagnosis sebagai TB paru berat. Anak kemudian disarankan ke RS Sardjito

namun orang tua menolak. Pada usia 33 bulan, keluhan menetap, anak

diperiksakan kembali ke dokter spesialis anak di Yogyakarta dan dirujuk ke RS

dr.Sarjito.

Riwayat penyakit keluarga pada anak, adanya riwayat penyakit serupa

disangkal. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu didapatkan data: selama hamil

ibu kontrol ANC teratur di bidan, mendapat suntikan TT 2x, tablet tambah darah,

masalah selama hamil (-), riwayat muntah berlebihan (-), demam (-), tungkai

bengkak (-), darah tinggi (-). Persalinan ibu ditolong bidan, spontan, cukup bulan,

langsung menangis, gerak aktif, kuning (-), sesak (-), biru (-), ketuban jernih, berat

badan lahir anak 3200 gram dengan panjang badan 49 cm. Setelah kelahiran tidak

Page 21: Riketsia

21

djumpai adanya ikterik dan infeksi tali pusat. Dari riwayat ini didapatkan kesan

riwayat kehamilan, persalinan dan pasca lahir baik.

Riwayat makanan anak didapatkan data anak jarang mengkonsumsi

sumber kalsium dan fosfat (ikan 1 bulan sekali, yang cukup sering bayam dan

telur, tidak mengkonsumsi susu formula hanya ASI saja). Dari riwayat makanan

ini didapatkan kesan yaitu kualitas dan kuantitas makanan kurang baik.

Riwayat perkembangan dan kepandaian anak didapatkan data yaitu:

perkembangan motorik kasar anak, miring pada usia 3 bulan, tengkurap pada usia

4 bulan, duduk pada usia 8 bulan, berdiri pada usia 18 bulan dan berjalan dengan

dibimbing pada usia 2 tahun. Saat ini anak tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa

berjalan sendiri. Perkembangan motorik halus anak yaitu anak menggenggam

benda pada usia 5 bulan, mencorat-coret pada usia 15 bulan. Perkembangan

bahasa anak yaitu anak bersuara pada usia 2 bulan, bicara 1 kata pada usia 12

bulan dan bicara kalimat pada usia 2 tahun. Perkembangan sosial yaitu anak

tersenyum pada usia 2 bulan dan mengenal orang pada usia 6 bulan. Dari riwayat

ini dapat dikesankan bahwa terdapat gangguan perkembangan motorik kasar

sedangkan perkembangan motorik halus, bahasa dan sosial sesuai usia. Dari data

vaksinasi anak didapatkan bahwa vaksinasi dasar anak lengkap menurut PPI.

Pada pemeriksaan umum didapatkan kesan umum anak tampak lemah,

sesak, compos mentis. Tanda utama didapatkan frekuensi nadi 120 x/menit,

teratur, nadi dengan isi dan tegangan cukup pada keempat ekstremitas. Respirasi:

44 x/menit, tipe kostoabdominal teratur. Suhu badan: 370C (aksila). SpO2: 98-

100% (nasal kanul 1L/mnt). Pada status gizi anak didapatkan berat badan 7,4 kg,

lingkar kepala 47 cm, lingkar dada 45 cm, lingkar lengan atas 13 cm, lingkar

perut 46 cm, panjang badan 68 cm. Status gizi anak menurut WHO juga dihitung.

Dari data status gizi anak didapatkan simpulan status gizi kurang.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada kulit tidak terlihat adanya sianosis dan

ptekie. Ukuran kepala anak normosefal dengan bentuk mesocephal dan ubun-ubun

menutup. Pada mata tidak didapatkan adanya konjungtiva anemis, sklera ikterik,

blue sclera (+/+), pupil isokor 3mm/3mm, reflek kornea direk/indirek +/+ , papil

edema (-). Pada hidung dan telinga tidak didapatkan adanya discharge dengan

Page 22: Riketsia

22

letak dan bentuk dalam batas normal. Pada mulut tidak didapatkan adanya

stomatitis. Pada leher, kelenjar limfe servikalis dan supraklavikularis tak teraba

membesar. Pada dada didapati bentuk pigeon chest, simetris, ketinggalan gerak

(-), retraksi (+) subkostal dan interkostal. Pada jantung didapatkan batas jantung

dengan kesan tidak membesar, dengan suara jantung S1 tunggal, S2 split tak

konstan dan bising(-). Pada abdomen didapati abdomen supel, turgor(+) normal,

elastisitas(+) normal, bising usus (+) normal, hepar tak teraba, limpa tak teraba,

anus (+), anogenital : perempuan. Pada ekstremitas didapatkan bentuk lengan

bawah bilateral melengkung seperti busur, tungkai bilateral melengkung seperti

busur (bowlegs).

Pada pemeriksaan laboratorium darah tanggal 16 Juni 2009 didapatkan

hasil: Hb 14 (g/dL), hematokrit 41,9 (%), jumlah eritrosit (5,08x106/uL),

jumlah leukosit (12x103/uL), segmen 27,3(%), limfosit 63,9(%), monosit 4,9%,

eosinofil 3,9%, basofil 0%, jumlah trombosit 356x103/uL, MCV 82,6 fl, MCH

27,6 pg, MCHC 33,4 g/dL, RDW 15,1(%). Dari hasil laboratorium ini

disimpulkan adanya leukositosis. Pemeriksaan urine rutin dan tinja tanggal 16

Juni 2009, didapatkan hasil dengan kesan dalam batas normal. Pemeriksaan kimia

darah didapatkan hasil: kadar natrium 141 mmol/L, kalium 3,90 mmol/L, Cl 105

mmol/L, BUN 10,9 mg/dL, creatinin 0,29 mg/dL, kalsium 1,72 mmol/L fosfat

anorganik 1,60 mg/dL, alkali fosfatase 1549 mg/dL. Pemeriksaan kimia urine

didapatkan hasil natrium urine 54,3 mmol/L, kalium urine 53,01 mmol/L dan Cl

74,8 mmol/L. Pemeriksaan kadar hormon PTH 868 mmol/L (nilai rujukan 12-65).

Dari hasil pemeriksaan kimia darah disimpulkan adanya hipokalsemia,

hipofosfatemia, peningkatan kadar alkali fosfatase dan peningkatan kadar hormon

paratiroid. Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan hasil: pH 7,32; pCO2

44,6; PO2 55,2; so2 86,4%; HCO3 22,5 mmol/L. Dari hasil analisis gas darah ini

dapat disimpulkan adanya asidosis metabolik terkompensasi sebagian,

hipoksemia. Hasil plasma anion gap: 13.2; urine anion gap: 32.2; pH urine > 5,5;

dengan kesan yaitu asidosis tubuler renal distal.

Pemeriksaan radiologi yang dilakukan di RS dr. Sardjito pada pasien ini

yaitu foto polos thoraks, foto genu bilateral, foto antebrachii dan wrist joint

Page 23: Riketsia

23

terbuka (tercantum dalam lampiran). Sedangkan CT scan thoraks dilakukan di RS

di luar RS. Dr. Sardjito pada tanggal 16 Juni 2009. Dari foto radiologi didapatkan

kesimpulan menyokong gambaran rickets.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

pasien didiagnosis dengan rickets et causa defisiensi vitamin D, asidosis tubular

renal, malabsorbsi; pneumonia; tuberculosis dalam pengobatan; dengan gizi

kurang. Pasien diberikan terapi dengan oksigen 2 liter/menit, antibiotik cefspan

2x30 mg, bicarbonat 3x15 mEq, terapi tuberculosis, serta terapi alfacalcidiol.

Setelah dirawat 13 hari dengan kondisi klinis membaik, pasien kemudian

diperbolehkan pulang. Setelah terapi tidak dilakukan pemeriksaan radiologi pada

pasien, sehingga tidak dapat dianalisis gambaran rickets yang mengalami

penyembuhan.

Page 24: Riketsia

24

BAB IV

PEMBAHASAN

Rickets merupakan kelainan pada proses pembentukan tulang pada tulang

rangka yang bertumbuh yang disebabkan kegagalan deposisi mineral pada matriks

organik kartilago dan tulang pada lempeng pertumbuhan. Kegagalan ini dapat

disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya defisiensi pada intake diet kalsium

atau fosfat, kegagalan absorpsi yang adekuat pada dinding usus, maupun faktor-

faktor lain.3 Permasalahan utama terkait penyakit ini pada anak adalah terjadinya

retardasi pertumbuhan dan deformitas tulang.19

Dalam memahami rickets, penting untuk mengetahui tahapan-tahapan

patofisiologi terjadinya rickets. Pada tahap pertama, seiring dengan

berkembangnya defisiensi vitamin D, penurunan absorpsi kalsium di usus halus

akan menyebabkan hipokalsemia yang dapat asimtomatis secara klinis maupun

menyebabkan kejang dan manifestasi lain. Sebagai responnya, terjadi

hiperparatiroidisme yang meresorpsi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan

reabsorbsi kalsium di ginjal dan ekskresi fosfat, dan memacu 25-

hydroxycholecalciferol-1αhydroxylase (1-OHase) untuk meningkatkan vitamin D

aktif (kalsitriol) serta memacu absorpsi kalsium di usus. Perkembangan ini

kemudian mengarah pada tahapan kedua, yang didefinisikan sebagai normalisasi

sirkulasi kalsium. Kadar PTH dan fosfatase alkali meningkat serta terjadi

hipofosfatemia. Kadar kalsitriol dapat meningkat pada tahapan ini. Pada tahapan

ini, manifestasi kelainan pada epifisis secara klinis dan radiologis menjadi tampak

jelas, sesuai dengan keadaan hipofosfatemia yang menjadi penyebab kegagalan

apoptosis kondrosit. Seiring dengan memburuknya defisiensi vitamin D, kadar 25-

hydroxy-vitamin D sangat turun sehingga kadar kalsitriol tidak dapat

dipertahankan walaupun terdapat stimulasi PTH pada 1-OHase. Proses ini

mengarah pada tahapan ketiga, dengan berkurangnya absorpsi kalsium di usus,

hipokalsemia, memburuknya hiperparatiroidisme disertai gambaran klinis dan

radiografis rickets.12

Page 25: Riketsia

25

Gambaran klinis dan radiologis rickets bergantung pada beberapa faktor,

yaitu: usia pasien saat terjadi kelainan, kematangan tulang yang terkena, tingkat

keparahan defisiensi vitamin D. Pada rickets akan terlihat osifikasi yang terlambat

atau abnormal yang mengarah pada retardasi tulang dan osteopenia.1 Trabekula

tulang yang lebih dapat mengalami resorpsi sehingga densitas tulang tampak

menurun dan kasar. Mineralisasi yang tidak adekuat menyebabkan seolah-olah

terlihat gambaran korteks yang menebal, namun terbentuk dari osteoid dengan

penulangan inadekuat yang dapat memperlihatkan garis radiolusen pada korteks.3

Gambaran radiologi rickets paling baik terlihat pada tulang panjang.

Meskipun terjadi perubahan difus pada tulang, namun lokasi yang paling awal dan

paling nyata terlihat dijumpai pada lokasi dimana pertumbuhan tulang

berlangsung sangat cepat dan aktif, misalnya pada costochondral junctions pada

costa media, pergelangan tangan, lutut, femur distal, humerus proksimal, tibia

distal, radius dan ulna distal.1,3

Gambaran awal radiologis rickets pada epifisis dan lempeng epifisis yaitu

berupa pengaburan dan menghilangnya zona kalsifikasi provisional yang disertai

pelebaran lempeng epifisis dengan gambaran iregularitas. Gambaran radiologi

pada metafisis tampak lebih nyata karena pertumbuhan tulang terjadi paling cepat

pada bagian tulang panjang ini. Secara radiografis, matriks kartilago fisis yang

radiolusen diantara pusat epifisis dan metafisis tampak bertambah lebar dan

dalam. Adanya penulangan dari osteoid yang terdeposit ireguler menyebabkan

iregularitas pada daerah metafisis yang tampak pada foto rontgen sebagai

gambaran bulu kuas cat (bristles of a paintbrush) atau dapat digambarkan sebagai

fraying dan splaying pada metafisis.3,5 Pada diafisis akan tampak gambaran

bengkok (bowing) yang disebabkan oleh faktor mekanik yang diperparah oleh

metafisis dengan osteoid yang tidak termineralisasi dengan baik. Sering dijumpai

gambaran fraktur terutama fraktur greenstick, serta dapat terjadi fraktur Salter

Harris tipe I yang terutama lebih sering terjadi pada pelvis.1,3,15 Dapat dijumpai

pula area lokal dengan penurunan densitas dan berbatas tegas (looser zones) yang

terlihat tegak lurus terhadap korteks dan melintang pada batang tulang panjang.

Page 26: Riketsia

26

Gambaran looser zones ini jarang dijumpai pada rickets namun sering dijumpai

pada orang dewasa dengan osteomalasia.3

Gambaran radiologi rickets pada kranium dapat terjadi karena akumulasi

osteoid yang tak terosifikasi di regio frontal dan parietal sehingga os frontale

menjadi prominen, yang disebut sebagai frontal bossing. Pada bayi, kegagalan

mineralisasi pada batas sutura cranium membentuk gambaran pelebaran sutura.

Manifestasi lain dapat berupa wormian bones, pendataran kranium aspek

posterior, invaginasi basilar dan kranium yang menjadi berbentuk persegi.1,3

Pada tulang panjang dapat kelemahan tulang yang meliputi deformitas

pada tulang panjang, baik pada diafisis maupun pada perbatasan dengan kartilago.

Dapat dijumpai gambaran genu varum genu valgum pada penderita rickets yang

baru belajar berjalan. Gambaran bengkoknya tibia ke anterior juga dapat terlihat

(saber shin). Gambaran pada pelvis dan pinggul dapat berupa triradiate pelvis

yang terjadi karena adanya intrusi spinal ke pelvis, tampak sebagai triflanged-

shaped pelvis. Gambaran ini dapat disertai dengan adanya epifisis caput femur

yang mengalami pergeseran. Seiring dengan bertambahnya usia penderita,

deformitas seperti skoliosis dan bending pada tulang panjang dapat menyebabkan

berkurangnya tinggi badan. Pada gigi dapat terlihat erupsi gigi yang terlambat dan

hipoplasia enamel dengan karies dentis.1,5

Gambaran di dada dapat berupa rachitic rosary pada costa (gambaran

menyerupai tasbih pada costochondral junctions) yang disebabkan karena

akumulasi osteoid yang tidak terosifikasi pada costa. Dapat terlihat pula pectus

carinatum pada sternum.1,5

Pada rickets yang mulai menyembuh akan tampak kembali gambaran zona

kalsifikasi provisional, terlihat sebagai bayangan linier transversal dengan

densitas yang meningkat pada metafisis. Metafisis yang radiolusen terletak

diantara zona kalsifikasi dengan kalsifikasi baru dan ujung diafisis yang terlihat

osifikasinya. Seiring dengan penyembuhan, zona kalsifikasi provisional ini akan

menebal menjadi transverse band, metafisis spongiosa akan terkalsifikasi

bertahap dan menempati zona yang sebelumnya radiolusen, yang akhirnya bersatu

dengan zona kalsifikasi provisional. Gambaran cupping, fraying dan splaying

Page 27: Riketsia

27

serta deformitas pada metafisis akan berkurang. Sedangkan penyembuhan pada

tulang kortikal biasanya lebih lambat dan kurang tampak secara radiologis,

meskipun demikian dapat terlihat gambaran reaksi periosteal.1

Bila rickets ini sudah mulai menyembuh maka pengisian zona kalsifikasi

provisional akan tampak dengan mineralisasi yang adekuat dan pertumbuhan

tulang normal. Kemudian metafisis yang radiolusen tampak terisi dengan tulang

yang baru. Pada tahap ini gambaran radiologi kecekungan pada ujung diafisis

tulang panjang paling jelas terlihat. Pusat epifisis tampak berbentuk hemisferik

kembali. Bowing pada tulang panjang penyangga berat badan tampak menetap

setelah terapi, namun kelainan ini akhirnya dapat menghilang karena pertumbuhan

tulang yang normal.3

Pada laporan kasus ini, orang tua pasien mengeluhkan pasien yang sesak

nafas, belum bisa berjalan sampai umur 33 bulan dan postur tubuh kurus dan

pendek, kemudian dibawa berobat ke RS dr. Sardjito. Dari anamnesis

disimpulkan adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada pasien.

Terlihat kedua tungkai dan lengan bawah tampak melengkung, yang

mengindikasikan adanya bowing pada diafisis tulang panjang. Pergelangan kaki

dan pergelangan tangan melebar dan membengkok ke arah luar disebabkan

adanya pelebaran lempeng epifisis. Bentuk dada pasien serupa pectus carinatum

dan terlihat penonjolan costa karena adanya gambaran rachitic rosary.

Berdasarkan riwayat penyakit keluarga didapatkan bahwa tidak ada

penyakit serupa pada keluarga dan tidak ada penyakit yang diturunkan sehingga

kemungkinan tidak terdapat gangguan pertumbuhan akibat rickets yang

diturunkan. Dari analisis laboratorium terdapat gangguan tubular ginjal juga dapat

dipikirkan kelainan tersebut merupakan penyakit yang tidak diturunkan serta tidak

terdapat pola pewarisan tertentu.

Dari anamnesis mengenai nutrisi didapatkan asupan nutrisi yang kurang

dan status gizi kurang. Pada pemeriksaan laboratorium dapat disimpulkan adanya

leukositosis, hipokalsemia, hipofosfatemia, peningkatan fosfatase alkali dan

hormon paratiroid yang tinggi dan asidosis tubular renal distal. Dapat dianalisis

bahwa gangguan mineralisasi yang terjadi terutama disebabkan karena adanya

Page 28: Riketsia

28

gangguan pada tubular ginjal sehingga berakibat asidosis tubular renal. Pada

asidosis tubular ginjal ini dapat terjadi defek enzim 1αhidroksilase yang

menyebabkan gangguan hidroksilasi pro vitamin D menjadi vitamin D yang aktif

sehingga terjadi defisiensi vitamin D aktif. Akibatnya terjadi gangguan absorbsi

kalsium dan fosfat di usus halus yang menyebabkan penurunan kadar kalsium dan

fosfat dalam darah.20 Pada laboratorium kimia darah juga didapatkan kadar alkali

fosfatase yang sangat meningkat, karena adanya proses osifikasi yang berlangsung

dimana osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase.9 Terdapat peningkatan

kadar hormon paratiroid yang sangat melebihi normal yaitu 868 mmol/L,

mengindikasikan terdapat aktivitas hormon paratiroid untuk meresorpsi kalsium

tulang untuk mengkompensasi rendahnya kadar kalsium serum.

Gambaran radiologi gangguan mineralisasi tulang pada pasien khas untuk

gambaran rickets. Terlihat gambaran pelebaran lempeng epifisis disertai

pengaburan zona kalsifikasi provisional dan gambaran cupping, fraying, splaying

pada metafisis dan terlihat gambaran bulu kuas cat pada metafisis. Pada diafisis

terlihat gambaran bowing disertai fraktur kompleta lama multipel yang ditandai

dengan adanya kalus. Pada thorax terlihat adanya bentuk dada pectus

carinatum/pigeon chest, dan dijumpai gambaran rachitic rosary. Terdapat

gambaran pneumonia, hal ini dapat dimengerti karena terdapat resiko infeksi yang

lebih besar pada pasien dengan adanya deformitas pada thorax dan status gizi

kurang.

Terdapat beberapa kelainan pada tulang yang mempunyai kemiripan

dengan rickets, walaupun tidak semua tanda pada rickets tampak pada kelainan

tersebut. Kelainan tersebut diantaranya yaitu non accidental injury (NAI),

osteogenesis imperfekta dan skurvi. Pada osteogenesis imperfekta dan skurvi juga

dijumpai gambaran osteopenia, sedangkan pada NAI tidak ditemui. Pada

osteogenesis imperfekta, bowing secara khas melibatkan seluruh tulang panjang.

Gambaran bowing juga dijumpai pada rickets, namun lebih banyak dijumpai pada

tulang panjang yang merupakan penyangga berat badan.16 Pada rickets dan

osteogenesis imperfekta juga sering dijumpai gambaran fraktur multipel dan

penipisan korteks. Perbedaan yang dapat dijadikan untuk membedakan kedua

Page 29: Riketsia

29

kelainan ini adalah jenis kelainan pada metafisis dan bentuk tulang panjang. Pada

rickets jelas dijumpai gambaran cupping, fraying dan splaying pada metafisis,

serta pelebaran lempeng epifisis yang tidak dijumpai pada osteogenesis

imperfekta.21 Pada osteogenesis imperfekta tulang panjang tampak lebih tipis dan

langsing dibandingkan pada rickets. Pada laporan kasus ini sklera pasien tampak

normal dan tidak terdapat kelainan genetik pada keluarga yang tidak mendukung

diagnosis osteogenesis imperfekta.

Terdapat kemiripan rickets dengan skurvi dalam gambaran osteopenia.

Namun pada skurvi epifisis tampak lebih kecil, terdapat garis sklerotik dan zona

kalsifikasi provisional tampak opak, yang membedakannya dengan rickets.17

Pada NAI juga sering dijumpai gambaran fraktur multipel seperti pada

rickets. Namun pada NAI tidak ditemui gambaran osteopenia berat, tidak terdapat

gambaran bowing, serta terdapat perbedaan predileksi lokasi lesi yang sering

dijumpai bila dibandingkan dengan rickets.

Page 30: Riketsia

30

BAB V

SIMPULAN

Telah dilaporkan pasien anak perempuan, umur 2 tahun 9 bulan dengan

keluhan utama sesak nafas, dada yang membesar disertai gangguan tumbuh

kembang. Gambaran klinis pasien menyokong rickets. Pemeriksaan radiologi

yang dilakukan antara lain foto polos thorax, foto genu bilateral, antebrachii dan

wrist joint bilateral serta CT scan thorax dengan hasil yang khas menyokong

gambaran rickets, yaitu gambaran pectus carinatum dan rachitic rosary,

osteopenia, pelebaran lempeng epifisis, gambaran cupping, splaying dan fraying

pada metafisis, disertai bowing dan fraktur lama pada diafisis. Hasil pemeriksaan

laboratorium kimia darah juga menyokong proses rickets, dengan penyebab

utama terjadinya kelainan adalah asidosis tubular renal distal.

Gambaran rickets ini didiagnosis banding dengan osteogenesis imperfekta,

non accidental injury dan skurvi. Terdapat kemiripan rickets dengan osteogenesis

imperfekta dan skurvi dalam gambaran osteopenia dan penipisan korteks. Namun

terdapat gambaran yang khas untuk rickets yaitu gambaran pelebaran lempeng

epifisis yang disertai pengaburan zona kalsifikasi provisional dan gambaran

cupping, fraying dan splaying pada metafisis dan bowing pada tulang panjang

yang tidak tipis atau langsing. Terdapat kemiripan rickets dan non accidental

injury, namun terdapat perbedaan khas dalam gambaran pada metafisis dan

predileksi lokasi lesi.

Page 31: Riketsia

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Babyn P. Metabolic bone disorders. In: Daldrup HE, Gooding CA, editor.

Essentials of pediatric radiology. Cambridge University Press; 2010. Pp 256-

66.

2. Haller JO, Slovis TL, Joshi A. Pediatric radiology. 3rd ed. Springer-Verlag

Berlin Heidelberg.2005. pp193-4.

3. Bonakdarpour A. Systematic approach to metabolic disease of bone. In:

Bonakdarpour A, editor. Diagnostic imaging of musculoskeletal diseases: a

systematic approach. Springer; 2010.pp 15-50.

4. Rudolph CD, Rudolph AM. Rudolph’s pediatrics. 21st ed. The McGraw-Hill

companies inc. 2003. Pp2156-62.

5. Donelly LF, Jones BV, O’Hara SM, Anton CG, Benton C, Westra SJ, et al.

Diagnostic imaging pediatrics. 1st ed. Amirsys Inc; 2005.

6. Hodler J, Von Schulthess GK, Zollikofer CI, editor. Muskuloskeletal

diseases. Springer Verlag Italia; 2009.

7. Weissleder, Wittenberg, Harisinghani, Chen. Primer of diagnostic imaging.

5th ed. Elsevier Mosby. 2011.pp335-6.

8. Adams JE. Metabolic and endocrine skeletal disease. In: Adam A, Dixon AK.

Grainger & Allison’s Diagnostic radiology; A textbook of medical imaging.

5th ed. Elsevier Churchill Livingstone; 2008.

9. Carter MA. Anatomi dan fisiologi tulang dan sendi. In: Price SA, Wilson LM,

editor. Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Alih bahasa,

Anugerah P; editor, Wijaya C. EGC. 1995. Pp1175-82.

10. Kini U, Nandeesh BN. Physiology of bone formation, remodelling and

metabolism. In: Fogelman I et al, editor. Radionuclide and hybrid bone

imaging. Springer-Verlag Berlin Heidelberg;2012. Pp`29-34.

11. Shore RM, Chesney RW. Rickets: part I. Pediatr Radiol. 2013;43:140-51.

12. Shore RM, Chesney RW. Rickets: part II. Pediatr Radiol. 2013;43:152-72.

13. Thacher TD, Clarke BL. Vitamin D insufficiency. Mayo Clin Proc.

2011;86:50-60.

Page 32: Riketsia

32

14. Hefti F, Brunner R, Hasler CC, Jundt G. Skeletal Dysplasias. In: Hefti F,

Brunner R, Hasler CC, Jundt G, editor. Pediatric orthopedics in practice.

Springer; 2000. pp671-3.

15. Manaster BJ, May DA, Disler DG. Musculoskeletal imaging. 3rd ed. Mosby;

2007.pp 373-82.

16. Cheema JI, Grissom LE, Harcke HT. Radiographic characteristics of lower

extremity bowing in children. Radiographics. 2003;23:871-80.

17. Sutton D, editor. Textbook of radiology and imaging. 7th ed. Vol II. Elsevier

Churchill Livingstone; 2003.

18. Chapman S. Non accidental injury. In: Johnson KJ, Bache E, editors. Imaging

in pediatric skeletal trauma. Springer; 2008. Pp159-171.

19. Jagtap VS, Sarathi V, Lila AR, Bandgar T, Menon P, Shah NS.

Hypophosphatemic rickets. Indian journal of endocrinology and metabolism.

2012;16:177-82.

20. Singh J, Mohgal N, Pearce SHS, Cheetham T. The investigation of

hypocalcemia and rickets. Arch Dis Child. 2003;88:403-7.

21. Jenny C. Evaluating infants and young children with multiple fractures.

Pediatrics. 2006;118:1299-303.

22. Israeli TG, Dranitzki Z, Straus U. Nutritional rickets in infant immigrating to

Israel from Ethiopia. IMAJ. 2003;5:291-2.

Page 33: Riketsia

33

LAMPIRAN

Gambar 1. Foto abdomen, tangan dan kaki pasien.

Gambar 2. Foto thorax.

Expertise:

Foto thorax AP (asimetris, RPO) dan lateral, view, inspirasi kurang, kondisi

cukup, hasil:

- Tampak opasitas inhomogen di kedua pulmo terutama diperihiler danparacardial bilateral, batas tak tegas dengan air bronchogram (+).

- Tampak pemadatan limfonodi hilus bilateral.- Sinus costophrenicus dextra dan sinistra lancip, tak tampak penebalan pleural

space.- Diafragma dextra tampak licin mendatar, diafragma sinistra licin tak

mendatar

Page 34: Riketsia

34

- Cor, konfigurasi cor relatif normal. Retrosternal dan retrocardial spaceterbuka

- Sistema tulang intak. Diameter anteroposterior thorax tampak lebihmembesar.

- Tampak costa bilateral yang prominen dengan gambaran rachitic rosary padacosta aspek media bilateral.

Kesan:

- Gambaran pneumonia bilateral dengan limfadenopati hilus, suspek TB pulmo

primer. Konfigurasi cor dalam batas normal

- Bentuk thorax pectus carinatum, curiga rickets.

Page 35: Riketsia

35

Gambar 3. CT scan thorax

Kesan : pigeon chest dengan pneumonia bilateral.

Gambar 4. Foto genu dextra dan sinistra, AP dan lateral, kondisi cukup, hasil:

- Tampak gambaran porotik pada sistema tulang dengan trabekulasi tulangtampak kasar dan jarang. Tampak cortex tulang menipis.

- Tampak pelebaran lempeng epifisis pada femur dan tibia bilateral. Tampakmetafisis dengan gambaran cupping, fraying dan splaying.

- Tampak fraktur dengan callus (+) di os fibula dextra pars tertia media, cumangulationem.

Kesan :

Mengarah gambaran rickets.

Page 36: Riketsia

36

Gambar 5. Foto antebrachii dan wrist joint dextra dan sinistra.

Foto antebrachii dan wrist joint dextra dan sinistra, AP dan lateral, kondisi cukup,

hasil:

- Tampak gambaran porotik pada sistema tulang dengan trabekulasi tulangtampak kasar dan jarang. Tampak cortex tulang menipis.

- Tampak gambaran epifisis os radius dan os ulna bilateral yang mengabur.Tampak metafisis dengan gambaran cupping, fraying dan splaying terutamapada os ulna bilateral.

- Tampak fraktur dengan callus (+) di os ulna dextra pars tertia media, os ulnasinistra pars tertia proksimal, os metacarpal V manus dextra, os metacarpalIII manus sinistra.

Kesan :

Mengarah gambaran rickets.

Page 37: Riketsia

37

Gambar 6. anatomi tulang10

Gambar 7. Diagram anatomi fungsional lempeng epifisis. R=reserve or resting

chondrocytes.P= proliferative zone, H=hypertrophic zone, C=Cartilage calcification,

M=metaphysis.11

Gambar 8. Metabolisme vitamin D13

Page 38: Riketsia

38

Gambar 9. Gambar foto manus (A) dan genu (B) memperlihatkan perubahan pada rickets

yang meliputi cupping¸fraying, splaying pada metafisis dan pelebaran zona kalsifikasi

provisional dan penurunan densitas tulang difus.1

Gambar 10. Rickets pada anak berusia 2 tahun (A) memperlihatkan gambaran cupping,

fraying pada radius dan ulna aspek distal. Gambar B pada pasien yang sama pada usia 2,5

tahun memperlihatkan kalsifikasi pada lempeng epifisis dan metafisis.21

Page 39: Riketsia

39

Gambar 11. (A) Rickets pada anak berusia 7 bulan memperlihatkan gambaran

coarse¸iregular dan fraying disertai cupping pada radius dan ulna distal, dengan sklerosis

metafisis. (B) setelah 6 bulan, zona kalsifikasi provisional mulai tampak, dengan

remineralisasi pada metafisis yang berkembang ke arah lempeng epifisis. Masih tampak

gambaran cupping pada ulna. (C) pada usia 11 bulan, rickets tampak membaik.21

Gambar 12. Rickets nutrisional. Gambaran genu pada foto AP memperlihatkan

penurunan densitas tulang, pengkabutan kontur epifisis, dan gambaran paint brush pada

metafisis dan penurunan densitas zona kalsifikasi provisional pada kedua sisi femur dan

tibia.3

Gambar 13. Rickets nutrisional. Foto polos dada memperlihatkan gambaran rachitic

rosary terutama pada sisi kiri. 3

Page 40: Riketsia

40

Gambar 14. Kasus rickets yang telah diterapi dengan gambaran sisa deformitas lengkung.

Deformitas ini akan membaik dengan remodelling selama pertumbuhan pasien. 3

Gambar 15. Foto pelvis AP pada pasien rickets nutrisional setelah terapi. Epifisis femur

proksimal memperlihatkan adanya remineralisasi. Fenomena ini tidak berkaitan dengan

pertumbuhan epifisis namun merupakan efek terapi dan rekalsifikasi parsial pada

kartilago epifisis. 3

Gambar 16. Gambaran skurvi3

Page 41: Riketsia

41

Gambar 17. Foto pasien dengan kombinasi rickets dan skurvi. Foto ekstremitas atas (A)

dan ekstremitas bawah (B) memperlihatkan bowing dan fraying pada metafisis sebagai

manifestasi rickets dan ring epiphyses dengan zona kalsifikasi provisional dengan

densitas yang lebih tinggi sebagai manifestasi skurvi.3

Gambar 18. Gambaran osteogenesis imperfekta pada anak berusia 7 tahun. Foto cruris

anteroposterior dan lateral memperlihatkan osteopenia, bowing anterior dan medial,

sklerosis fokal pada pertengahan corpus tibia karena riwayat fraktur. Terdapat juga

gambaran fibula yang tipis, bowing, dan perubahan pada metafisis femur distal post

trauma.16

Page 42: Riketsia

42

Gambar 19. Gambaran non accidental injury. Gambar A dan B memperlihatkan classicmetaphyseal lesions (CML), yang disertai gambaran pembentukan periosteal tulang barudengan derajat maturitas yang berbeda-beda, mencerminkan fraktur multipel denganumur yang berbeda pula. Gambar C memperlihatkan fraktur costa posterior. Garis frakturtidak terlihat, namun bentukan kalus mengindikasikan adanya fraktur. Gambar Dmemperlihatkan fraktur cranium multipel.18