Ridha Al Qadri - Taman Kota Dari Firdaus Ke Urban

download Ridha Al Qadri - Taman Kota Dari Firdaus Ke Urban

If you can't read please download the document

Transcript of Ridha Al Qadri - Taman Kota Dari Firdaus Ke Urban

Taman Kota: dari Firdaus ke Urban

Ridha al Qadri

Beberapa tahun terakhir, kota-kota di Indonesia sibuk merancang taman kota. Pelbagai konsep pun disodorkan: paru-paru kota, green city, hingga urban forest.

Semua itu adalah upaya menindaklanjuti undang-undang No. 26 tahun 2007, tentang regulasi penataan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan, yang minimal terdiri 30 % dari kawasan kota.

Surabaya mendapat perhatian tersendiri, karena selain memiliki 22 taman kota, taman Bungkul memperoleh penghargaan terbaik se-Asia. Selain itu, kota Solo, misalnya, hingga awal 2013 sudah memiliki tiga wilayah hutan kota (urban forest), yang diklaim sudah mencakup 11, 9 %.

Di sini, saya ingin melihat pergeseran cara berpikir masyarakat, khususnya Pemerintah Kota, terhadap apa itu taman, yang sejarahnya dapat kita lacak dan bandingkan hingga zaman Kerajaan, bahkan hingga dunia Wayang.

Taman Firdaus

Di Jawa zaman kerajaan, menurut Denys Lombard, kata taman dipahami bukan sekedar dibentuk untuk menyenangkan mata dan pikiran (Nusa Jawa III, 2008: 120). Dalam khazanah Jawa, taman sering dimengerti sebagai kebun, pertapaan dan tempat suci. Meski banyak terdapat tanaman, taman zaman itu diciptakan justru untuk menjauhkan diri dari hal-hal duniawi.

Pesanggrahan Langenharjo, misalnya, di sekitar pinggiran sungai Bengawan Solo, dibangun Pakubuwana IX sebagai tempat istirahat, tirakat dan bersemedi. Di sana, segala urusan pemerintahan ditanggalkan. Di sana, tiap manusia benar-benar bersentuhan dengan alam dan keheningan.

Pemahaman orang Jawa seperti itu tak lepas dari konsep mandala sebagai dasar pembangunan kota kerajaan. Di wilayah keraton Surakarta, kota dibangun sebagai maket kosmos. Begitu pula di keraton Sumenep (Madura), terdapat taman Sare (pemandian putera-puteri Raja dan Adipati) dan Taman Lake (pemandian prajurit)

Di keraton-keraton Jawa, sebuah kota kerajaan dibangun menurut tatanan tertentu, sehingga seluruh bagian di dalamnya mencerminkan unsur-unsur keseimbangan alam antara wilayah duniawi dan spiritual.

Salah satu contoh unik adalah pembangunan taman Balekambang (dibangun 1921), yang kini direvitalisasi menjadi salah satu taman kota. Bale, yang berarti rumah, disandingkan dengan kambang atau ngambang yang berari mengapung. Balekambang adalah rumah di atas air.

Taman itu dipersembahkan Mangkunegara VII kepada dua putrinya. Memang di tempat itu terdapat kolam, pohon-pohan dan hewan. Tapi di tempat itu tidak mengesankan adanya aktivitas duniawi yang berlebihan. Di samping berfungsi sebagai resapan dan paru-paru kota, Balekambang menjadi tempat mengasah kepekaan rasa.

Selain itu, Pakubuwana X (1866-1939) membangun Taman Sriwedari di tengah kota, dengan inspirasi cerita pewayangan, di mana terdapat taman surga yang indah bernama Sriwedari. Konon, Sumantri menantang tuannya sendiri, raja Harjuna Sasrabahu.

Karena kalah, Sumantri dihukum harus menurunkan taman Sriwedari dari kahyangan (surga) ke Bumi. Dengan bantuan adiknya, Sukrasana yang buruk rupa, Sumantri sanggup mempersembahkan Taman Sriwedari di kerajaan Maespati.

Sebagaimana Taman Sriwedari, Langenharjo, Balekambang, dan Kareton Sumenep, konsep taman sebagai tiruan surga tampaknya lebih mengedepankan unsur kesucian dan keheningan. Itu hanya sebagian kecil contoh. Selain sebagai resapan, konsep ini tak jauh dari kata asing garden, yang merujuk kata eden (surga). Taman di zaman dulu dipahami sebagai ruang bagi manusia menemukan kembali diri di tengah alam yang suci dan sakral.

Taman Urban

Jika kita cermati beberapa taman kota yang sudah dibangun di Indonesia, kini taman kota menjadi taman tematik: ruang bermain, sarana olah raga, taman buah, taman bunga teratai, aktivitas komunitas, gazebo, dan jalan untuk joging.

Berbeda dengan taman zaman dulu, garden city atau urban forest sekarang dibangun justru untuk menyenangkan mata dan pikiran. Fungsinya lebih ke keindahan dan interaksi warga kota.

Di sana memang mirip taman, tapi lebih menekankan aktivitas olah raga, bersantai, dan waktu luang (leisure time). Taman tak lagi dipahami sebagai miniatur surga atau firdaus. Yang suci dan sakral digeser aktivitas-aktivitas duniawi.

Urban forest memang bukan taman, karena memakai istilah hutan (forest). Tapi istilah ini juga tidak konsisten dalam penerapannya. Hutan kota harusnya menekankan kuantitas unsur tanaman yang dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Fungsi sepenuhnya mirip hutan sebagai paru-paru.

Dengan begitu, konsep urban forest atau garden of city harusnya tidak meliputi sarana bermain dan olah raga. Sarana-sarana yang disediakan di sana pun justru meluaskan persoalan-persoalan perkotaan: kerusakan sarana (banjir) dan tempat nongkrong gank motor.

Tiap kota, harusnya dengan cermat menggarisbawahi latar belakang pentingnya Ruang Terbuka Hijau, yakni penurunan kualitas lingkungan. Maka, solusinya dengan memaksimalkan ruang terbuka dengan menanam tumbuhan-tumbuhan yang menyehatkan lingkungan. Bukan terpaku dengan regulasi akan prosentase wilayah secara konsentris yang harus dijadikan taman. Bukan pula membentuk urban forest dengan banyak sarana supaya dikunjungi warga. Semoga!

Ridha al Qadri

Dosen IAIN Tulungagung