REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

40
FARMAKOTERAPI TERAPAN PENATALAKSANAAN OBAT PADA DERMATITIS ATOPIK OLEH : KELOMPOK VII I Putu Krisnantara Wijana Putra (1508515043) Dewa Nyoman Purnama Adhiningrat (1508515044) Made Yunita Dwi Darayanthi (1508515045) Luh De Sri Wedarini (1508515046) Putu Narita Padmidewi Nesa (1508515047) Anak Agung Made Istri Rismayanti (1508515048)

description

Farter

Transcript of REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

Page 1: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

FARMAKOTERAPI TERAPAN

PENATALAKSANAAN OBAT PADA DERMATITIS ATOPIK

OLEH :

KELOMPOK VII

I Putu Krisnantara Wijana Putra (1508515043)

Dewa Nyoman Purnama Adhiningrat (1508515044)

Made Yunita Dwi Darayanthi (1508515045)

Luh De Sri Wedarini (1508515046)

Putu Narita Padmidewi Nesa (1508515047)

Anak Agung Made Istri Rismayanti (1508515048)

PROGRAM PROFESI APOTEKER

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2015

Page 2: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Etiologi

Atopik Dermatitis (AD) merupakan suatu penyakit yang dapat disebabkan oleh berbagai

faktor, antara lain genetik, lingkungan, dan kelainan dalam sistem imunitas. Faktor genetik

merupakan faktor resiko terbesar pada penyakit AD. Orang tua yang memiliki penyakit atau

riwayat penyakit AD maka sebanyak 60-80% kemungkinan anaknya akan menderita AD (Dipiro

et al, 2007). Lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab munculnya penyakit AD. Yang

termasuk ke dalam faktor lingkungan adalah alergen. Alergen dapat berupa alergen yang berada

di udara (aeroallergen) maupun yang berada pada suatu benda atau tempat. Contoh alergen

antara lain: serbuk sari, rumput, debu rumah tangga, dan bulu kucing. Makanan tertentu juga

dapat menjadi sumber alergen. Makanan seperti telur, susu, kacang, kedelai, dan gandum

dilaporkan telah menjadi sumber alergi bagi pasien AD anak-anak.

Kondisi AD dapat diperparah apabila pasien mengalami stres atau depresi. Stres atau

depresi pada pasien AD lebih banyak disebabkan karena kondisi tubuh yang mengalami ruam

maupun lesi di bagian tubuhnya. Pasien yang mengalami stres akan meningkatkan tingkat

kegatalan dan keringat sehingga akan lebih sering menggaruk dan memperparah kondisi AD.

1.2 Patofisiologi

AD muncul akibat dari interaksi kompleks antara kelainan pada fungsi sawar kulit,

kelainan imunitas, agen infeksi dan lingkungan. Kelainan fungsi sawar kulit berhubungan

dengan mutasi pada gen filaggrin, yang mengkode protein struktural penting untuk pembentukan

sawar kulit. Pada kulit pasien AD terjadi kekurangan ceramide (molekul lipid) dan peptida

antimicrobial cathelicidins, yang merupakan lini pertama pertahanan kulit terhadap agen infeksi.

Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5

kali normal, kulit akan makin kering dan merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi

allergen, agen iritasi, bakteri dan virus (Watson and Kapur, 2011).

Bakteri pada pasien AD mensekresi ceramidase yang menyebabkan ceramide menjadi

sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum,

sehingga menyebabkan kulit makin kering. Agen infeksi yang paling sering terlibat dalam AD

adalah Staphylococcus aureus. Salah satu cara S. aureus dapat menyebabkan eksaserbasi atau

Page 3: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal

enterotoxin) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan

makrofag. Superantigen S. aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah

inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut

meningkatkan inflamasi pada AD dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S. aureus. Jenis

toksin atau protein S. aureus yang lain juga dapat menginduksi inflamasi kulit melalui sekresi

TNF-α oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit (Watson and Kapur, 2011).

Penurunan respon imun bawaan juga berkontribusi meningkatkan infeksi bakteri dan

virus pada pasien AD. Faktor tersebut menyebabkan dominan respon sel T di kulit kemudian

terjadi rilis gabungan dari kemokin dan sitokin proinflamasi (misalnya, IL-4,5 dan TNF) yang

mempromosikan produksi IgE dan respon inflamasi sistemik. Hal itulah yang menyebabkan

peradangan gatal pada kulit (Watson and Kapur, 2011).

1.3 Gejala dan Data Klinik (Clinical Presentation)

1.3.1 Gejala

Gejala utama dari AD adalah pruritus (gatal) yang cukup intens, biasanya tanpa demam

atau gejala konstitusional lainnya. AD ditandai dengan munculnya lesi atau ruam pada kulit.

Skoring terhadap tingkat keparahan dari dermatitis atopik dinilai berdasarkan SCORAD index

yang dapat dilihat pada lampiran 3 (Karagiannidou, 2014).

Kondisi kulit pada penderita AD dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

- Akut : Erosi dengan eksudat serosa atau ruam papular yang sangat gatal dan munculnya

vesikel pada daerah eritema.

- Subakut : Lesi yang ditandai dengan plak pada kulit eritema.

- Kronis : Lesi yang ditandai dengan adanya likenifikasi (kondisi kulit yang terjadi sebagai

respons terhadap gatal yang berlebihan atau menggosok kulit sehingga menyebabkan kulit

menjadi tebal dan kasar) dan perubahan pigmen dengan adanya papula dan nodul. Lesi yang

terinfeksi ditandai dengan krusta kuning atau impetigo (infeksi kulit menular oleh bakteri

yang membentuk pustula dan kuning atau luka berkerak) atau eritema dengan adanya selulitis

(radang jaringan ikat subkutan).

(Jamal, 2007)

Page 4: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

1.3.2 Tanda Klinis

Tanda klinis pada pasien AD dapat berbeda menurut umur dan jenis kelamin dari pasien.

Pada pasien bayi, tanda AD yang paling umum adalah munculnya ruam pada usia kurang dari 6

bulan. Hal ini biasanya dilaporkan bahwa kulit bayi telah kering sejak lahir dan ruam muncul

secara bergantian selama beberapa bulan. AD pada bayi ditandai dengan adanya lesi eritematosa

yang umumnya muncul pada pipi. Seiring pasien bayi tersebut tumbuh, lesi menyebar ke daerah

tangan, leher, dan kaki. Semakin bayi tumbuh besar atau pada balita, lesi menyebar lebih banyak

ke daerah belakang lutut, lipatan siku, dan wajah. Pada pasien dewasa, distribusi lesi pada tubuh

menjadi lebih luas, yaitu pada bagian paha dan anggota tubuh bagian atas. Pasien AD

kebanyakan menderita eksim subakut hingga kronis karena seringnya menggaruk bagian lesi

yang gatal sehingga menyebabkan kulit terlikenifikasi, menebal, dan kasar. Pada pasien AD

wanita, lesi atau ruam dapat berkembang ke daerah puting dan periareolar dari payudara (Werfel,

2011).

Pasien AD memiliki kondisi kulit wajah yang khas yaitu terjadinya kondisi Dennie-

Morgan infraorbital folds (lipatan atau garis pada kulit di bawah kelopak mata bawah yang

disebabkan oleh edema). Selain itu, pasien AD dapat mengalami kehilangan beberapa alis terluar

akibat garukan yang konstan baik secara sada maupun tidak sadar, misalnya garukan ketika tidur

(Werfel, 2011).

Data klinis atau laboratorium dapat mendukung dalam penegakan diagnosis dari AD.

Pasien dengan AD umumnya mengalami eosinophilia (peningkatan jumlah eosinophil dalam

darah) dan sekitar 80% pasien AD mengalami peningkatan jumlah IgE pada serum secara

abnormal. Namun sebagian besar peningkatan jumlah IgE pada serum dikarenakan adanya

penyakit lain yang juga berkaitan dengan imunitas sehingga jumlah IgE serum belum dapat

menjadi penanda spesifik dari penyakit AD (Werfel, 2011).

Page 5: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

BAB II TERAPI

2.1 Terapi Non Farmakologi

Pasien DA lebih rentan terhadap iritan dibandingkan dengan individu normal lainnya,

sehingga penting untuk mengidentifikasi faktor pengganggu yang mungkin dapat memicu

terjadinya flare-up. Rekomendasi yang dapat diberikan untuk pasien DA diantaranya adalah

menghindari sabun dan detergen berwarna atau mengandung parfume berlebih, membilas cucian

sebanyak 2x dan menghindari perubahan suhu yang ekstrim (Dipiro et al., 2007). Pasien DA

dianjurkan untuk menggunakan pelembab topikal. Pelembab topikal digunakan untuk mengatasi

xerosis dan hilangnya air pada lapisan transepidermal kulit (Dipiro et al., 2007). Hal-hal yang

perlu diperhatikan saat memilih pelembab topikal adalah aman, efektif, tidak mahal, bebas

pengawet, bebas pewarna dan bebas pengharum. Pelembab topikal diaplikasikan segera setelah

mandi untuk meningkatkan proses hidrasi pada kulit pasien DA (Eichenfield et al., 2014).

Mandi dapat melembabkan kulit serta menghilangkan kulit yang keras dan alergen.

Pasien DA dianjurkan untuk mandi minimal sekali dalam sehari dengan durasi selama 5-10

menit dengan menggunakan air hangat. Jika terdapat bagian kulit yang bengkak, dapat direndam

selama 20 menit dalam air dan diikuti dengan pengaplikasian TCS pada bagian kulit yang

bengkak tanpa dikeringkan terlebih dahulu. Pembersih yang digunakan untuk mandi harus

memiliki pH netral, hipoalergik dan bebas dari pewangi. Seain itu pasien DA dianjurkan untuk

menggunakan surfaktan berbahan dasar non sabun sebab kebanyakan sabun memiliki pH lebih

basa dari pH kulit yang dapat menyebabkan kulit kering dan iritasi (Eichenfield et al., 2014).

Metode Wet-wrap Therapy (WWT) dengan dilakukan cara mengoleskan kortikosteroid

dengan potensi rendah-sedang pada bagian kulit yang terkena DA kemudian dilapisi dengan

lapisan basah pertama (perban/kasa/kapas/pakaian). Selanjutnya dilapisi lagi dengan lapisan luar

yang kering. Balutan ini dapat digunakan selama 24 jam, namun biasanya dianjurkan untuk

menggunakan balutan ini selama beberapa hari atau 2 minggu (Eichenfield et al., 2014). Sinar

UV memiliki manfaat photherapeutic untuk pasien dengan dermatitis atopik parah. Efek

samping yang dihasilkan seperti eritema, pigmentasi, photoaging hingga kanker kulit (Leung et

al., 2013; Dipiro et al., 2007).

Page 6: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

2.2 Terapi Farmakologi

Gambar 2.1. Algoritma terapi untuk mild-moderate dermatitis atopik (Karagiannidou et al., 2014)

Gambar 2.2. Algoritma terapi untuk severe dermatitis Atopik (Karagiannidou et al., 2014)

Page 7: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

2.2.1 Terapi Topikal

a. Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal merupakan terapi utama pada dermatitis atopik yang dapat digunakan

untuk orang dewasa dan anak-anak. Obat ini bekerja pada beberapa sel imun, seperti limfosit T,

monosit, makrofag, dan sel dendritik, serta mengganggu produksi antingen dan menekan

pelepasan sitokin proinflmasi (Eichenfield et al., 2014). Kortikosteroid dengan potensi tertinggi

digunakan untuk penggunaan jangka pendek (umumnya kurang dari 3 minggu) untuk inflamasi

akut pada DA atau pada penebalan luka, tidak boleh digunakan pada wajah, selaput lendir,

kelopak mata atau area lipatan kulit. Steroid dengan potensi sedang sampai kuat digunakan untuk

DA kronis, terutama pada badan dan anggota gerak (tangan dan kaki). Sedangkan, steroid

dengan potensi rendah dapat digunakan pada anak-anak (Dipiro et al., 2007). Secara umum,

kortikosteroid topikal diaplikasikan dua kali sehari. Penggunaan kortikosteroid topikal

dihentikan apabila telah terjadi perubahan gejala dan tanda-tanda, pengobatan dilanjutkan

dengan penggunaan pelembab (Eichenfield et al., 2014).

b. Inhibitor Kalsineurin Topikal

Inhibitor kalsineurin topikal dapat menghambat aktivasi sel-T, menghalangi produksi sitokin

proinflamasi dan mediator inflamasi dermatitis atopik, serta berpengaruh dalam aktivasi sel mast

(Eichenfield et al., 2014). Obat ini dapat digunakan pada seluruh tubuh dengan jangka waktu

yang lama untuk dermatitis atopik derajat sedang hingga berat (Dipiro et al., 2007). Salep

takrolimus 0,03% digunakan untuk anak usia 2-15 tahun sedangkan, krim pimekrolimus 1%

diindikasikan pada pasien di atas usia 2 tahun dan diaplikasikan dua kali sehari atau satu kali

sehari pada orang dewasa, anak-anak dan bayi (Eichenfield et al., 2014; Natalia dkk., 2011).

Efek samping yang paling sering terjadi adalah timbulnya rasa menyengat dan terbakar, namun

efek ini akan berkurang setelah beberapa kali aplikasi (Eichenfield et al., 2014).

c. Preparat Tar

Preparat tar batubara memiliki efek antipruritus dan antiinflamasi, digunakan dalam

kombinasi dengan kortikosteroid topikal, baik sebagai terapi tambahan maupun dalam

mengurangi kekuatan kortikosteroid. Preparat tar tidak boleh digunakan pada lesi akut, karena

dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antara lain folikukitis dan fotosensitivitas (Dipiro et

al., 2007).

Page 8: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

d. Antihistamin

Penggunaan antihistamin pada pengobatan dermatitis atopik dengan pruritus dapat

digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Antihistamin sedasi (hydroxyzine atau dipenhydramine)

paling berperan dalam mengurangi efek gatal (Dipiro et al., 2007). Antihistamin topikal tidak

dapat digunakan pada kulit yang rusak ataupun pada terapi gabungan dengan antihistamin oral

karena dapat menimbulkan efek toksis terutama pada anak-anak (Eichenfield et al., 2014).

2.2.2 Terapi Sistemik

a. Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik digunakan pada flare akut dengan efek cepat dan efektif.

Penggunaannya harus dibatasi, terutama pada anak-anak karena dapat menimbulkan efek yang

merugikan apabila diberikan dalam jangka waktu panjang seperti hipertensi dan abnormalitas

pertumbuhan dan perkembangan. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya digunakan bersamaan

dengan kortikosteroid topikal dan emolien (Leung et al., 2013; Dipiro et al., 2007).

b. Siklosporin

Siklosporin digunakan untuk mengobati flare-up pada dermatitis atopik. Dosis yang

dianjurkan adalah 3-5 mg/kgBB per hari. Efek samping yang ditimbulkan seperti nefrotoksis,

hiperlipidemia, hipertensi, dan hipertrikosis, sehingga penggunaan lebih dari satu tahun tidak

dianjurkan (Dipiro et al., 2007; Leung et al., 2013).

c. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu imunosupresan yang dapat digunakan dalam terapi dermatitis

atopik. Obat ini memiliki onset yang lambat, yaitu 4-6 minggu. Dosis yang dianjurkan berkisar

1-3 mg/kgBB per hari. Efek samping yang ditimbulkan antara lain myelosupresi,

hepatotoksisitas, serta gangguan pencernaan (Dipiro et al., 2007; Leung et al., 2013).

d. Antimetabolit

Mycophenolate mofetil (MMF), dapat digunakan pada terapi dermatitis atopik, harus

digunakan dengan hati-hati dan dihentikan apabila tidak ada respon dari pasien dalam waktu 4-8

minggu. MMF dikontraindikasikan pada kehamilan. Pada dosis 2 g/hari dikatakan efektif, aman

dan dapat ditoleransi (Dipiro et al., 2007; Natalia dkk., 2011). Metrotreksat digunakan untuk

dermatitis atopik rekalsitran. Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 mg per hari dan diberikan 4 kali

dalam seminggu. Efek samping yang ditimbulkan antara lain hepatotoksisitas, toksisitas paru,

dan toksisitas gastrointestinal (Dipiro et al., 2007; Natalia dkk., 2011).

Page 9: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

BAB III

CASE STUDY DAN ANALISA KASUS

A. Kasus

Seorang ibu datang membawa anaknya yang berusia 3 tahun (BB 15,7 kg) ke dokter anak

dengan keluhan kaki anaknya mengalami koreng. Menurut sang ibu anak Itis sejak seminggu

yang lalu anaknya sudah mengalami masalah pada kaki berupa bulat-bulat kemerahan di bagian

dalam bulatan tampak berair sedangkan bagian luar (batas bulatan) seperti brintil-brintil isi air.

Anak Itis sering menggaruk kakinya dan mengaku gatal. Saat ini bekas garukan bernanah dan

terlihat membentuk krusta. Bulat-bulat tersebut sekarang muncul di pipinya juga. Akhir-akhir ini

anak Itis suka sekali makan telur, sehari bisa menghabiskan 3-4 butir telur. Berdasarkan hasil

pemeriksaan dokter kulit pipi menunjukan bintik-bintik berwarna pink cerah, simetris, tidak

terdefinisi jelas. Kaki pada bagian betis tampak luka bernanah, tertutup kulit mati dan krusta,

kaki bagian samping tampak bulatan berbintik dan berair.

Diagosa: Dermatitis atopik

Terapi: R/ Hidrokortison cr ………. 1

Reco cr ………………… 1

S.3.d.d.1.u.e

R/ Cortamin syr …………… 1

S.3.d.d.1

R/ Rivanol ………………… 1 (bersihkan luka)

B. Analisa Kasus

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Anak It is

Ruang : -

Umur : 3 tahun

Jenis Kelamin : -

Diagnosa : Dermatitis atopic

Page 10: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

II. SUBYEKTIF

Keluhan utama : Pasien sejak seminggu lalu sudah mengalami masalah pada kaki

berupa bulat-bulat kemerahan di bagian dalam bulatan tampak

berair sedangkan bagian luar (batas bulatan) seperti brintil-brintil

isi air. Pasien sering menggaruk kaki karena gatal, bekas garukan

bernanah dan terlihat membentuk krusta.

Keluhan tambahan : Bulat-bulat yang sama muncul dibagian pipi

III. OBYEKTIF

Riwayat penyakit terdahulu : Tidak ada

Riwayat pengobatan : Tidak ada

IV. ASSESMENT

4.1 Terapi Pasien

a. Penyebab: makan telur

b. Tingkat keparahan dermatitis atopik bila dinilai menggunakan SCORAD Index

(Lampiran 3):

Skoring = A/5 + 7B/2 + C

Nilai A = 8,5 + 6 + 6 Nilai B = 7

= 20,5 Nilai C = 0

Skoring = 20,5/5 + 7x7/2 + 0

= 28,6

Nilai pada SCORAD index menunjukkan tingkat keparahan dermatitis atopik dengan

scoring 28,6 tergolong moderate.

c. Terapi Pasien:

Nama Obat Dosis

Hidrokortison cr Oleskan 3 x 1 hari

Reco cr Oleskan 3 x 1 hari

Cortamin syr 3 x 1 cth

Page 11: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

4.2 Problem medik dan DRP pasien

PROBLEM

MEDIK

SUBYEKTIF dan

OBYEKTIFTERAPI DRP

Dermatitis

atopic

Subjektif:

Sejak seminggu lalu

mengalami masalah

pada kaki berupa bulat-

bulat kemerahan di

bagian dalam bulatan

tampak berair

sedangkan bagian luar

(batas bulatan) seperti

brintil-brintil isi air.

Merasa gatal dan

menggaruk kaki. Bekas

garukan bernanah dan

membentuk krusta.

Sekarang bulat-bulat

tersebut juga muncul di

pipi

Objektif :

kulit pipi menunjukkan

bintik-bintik berwarna

pink cerah, simetris,

tidak terdefinisi jelas.

Kaki pada bagian betis

tampak luka bernanah,

tertutup kulit mati dan

krusta, kaki bagian

samping tampak

1. Hidrokortison cr

(Tiap 1 gram

krim

mengandung

hidrokortison

asetat 28 mg

setara dengan

hidrokortison 25

mg)

2. Cortamine syr

(Tiap sendok

takar (5mL)

mengandung

betamethasone

0,25 mg dan

dexchlorphenira

mine maleate 2

mg)

3. Reco cr

(kloramfenikol

1%)

4. Rivanol

1. Adverse effect

Cortamin sirup

mengandung

kortikosteroid yang

penggunaannya secara

per oral.

Penggunaan

kortikosteroid oral

terutama pada anak-anak

dapat menimbulkan efek

yang merugikan (Leung

et al., 2013; Dipiro et al.,

2007).

2. Wrong Drug

- Reco merupakan sediaan

salep yang mengandung

kloramfenikol yang

digunakan pada mata.

- Rivanol diresepkan untuk

memberihkan luka

pasien. Namun rivanol

memberikan efek iritasi

dan adstringen untuk

kulit.

- Hidrokortison merupakan

golongan kortikosteroid

ringan sedangkan pada

kasus ini tingkat

Page 12: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

bulatan berbintik dan

berair.

keparahan DA pasien

adalah moderat sehingga

perlu penggunaan

kortikosteroid yang lebih

potensial (golongan

moderat).

4.3 Pertimbangan Pengatasan DRP

1. Cortamin sirup mengandung betametason dan deksklorfeniramin maleat yang merupakan

golongan kortikosteroid dan antihistamin. Penggunaan kortikosteroid oral terutama pada

anak-anak dapat menimbulkan efek yang merugikan (Leung et al., 2013; Dipiro et al.,

2007). Penggunaan antihistamin pada pengobatan dermatitis atopik dengan pruritus dapat

digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Untuk dapat mencapai efek antihistamin,

dipertimbangkan penggunaan obat Cortamin sirup agar dapat digantikan dengan obat

antihistamin golongan sedatif yang cocok untuk anak-anak. Hal tersebut mengingat rasa

gatal yang terjadi pada anak muncul pada saat tidur atau rasa gatal tersebut menurunkan

kenyamanan pasien ketika tidur atau istirahat. Antihistamin sedatif yakni hydroxyzine

atau dipenhidramin dapat digunakan dalam mengurangi efek gatal (Dipiro et al., 2007).

2. Peresepan reco ditulis dalam bentuk sediaan krim dan tidak sesuai dengan bentuk sediaan

yang tersedia di pasaran. Pada umumnya reco tersedia dalam bentuk tetes mata dan salep

mata. Reco mengandung kloramfenikol sebagai antibiotik. Penggunaan Reco sebagai

antibiotik topical dipertimbangkan agar dapat diganti menjadi antibiotik oral. Hal ini

dilakukan berdasarkan kondisi pasien yaitu adanya luka bernanah, tertutup kulit mati dan

krusta pada bagian kaki, dimana luka tersebut berasal dari garukan oleh pasien.

Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah Flucloxacillin, yang merupakan terapi lini

pertama antibiotik oral untuk DA pada anak (Welsh, 2007).

3. Rivanol merupakan cairan antiseptik dengan kandungan etakridin laktat. Rivanol

diresepkan untuk mencuci luka pada kaki pasien. Namun diketahui bahwa rivanol dapat

menyebabkan iritasi pada kulit dan bersifat astringen (Natalia dkk., 2011). Oleh karena

itu, dapat dipertimbangkan penggantian rivanol menjadi cairan pencuci luka lain seperti

Page 13: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

cairan ringer laktat yang bersifat netral dan steril sehingga indikasinya sebagai pencuci

luka dapat lebih baik (Atiyeh et al, 2009).

4. Hidrokortison krim merupakan obat golongan kortikosteroid yang diindikasikan untuk

dermatitis pasien yang diaplikasikan secara topikal. Pasien mengalami dermatitis atopik

dengan tingkat keparahan moderat berdasarkan perhitungan nilai Schorad Index. Pada

pasien DA anak-anak, pemberian terapi kortikosteroid topical disesuaikan dengan derajat

atau tingkat keparahan dari DA yang dialami. Untuk DA dengan tingkat keparahan

moderat, kortikosteroid topikal yang diberikan adalah kortikosteroid dengan kekuatan

moderat (Welsh, 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan penggantian obat hidrokortison

krim dengan obat yang memiliki kekuatan yang lebih potensial. Obat yang dapat

digunakan adalah flutikason propionat.

V. PLAN

5.1 Care plan

1. DRP dapat diatasi dengan melakukan intervensi pada:

a. Penulis resep: perlu dilakukan konsultasi terhadap sediaan yang diberikan oleh penulis

resep untuk mengganti sediaan hidrokostison krim menjadi medicort krim dengan zat aktif

flutikason propionat, cortamin sirup diganti dengan antihistamin oral Bestalin (Hidroksizin

dihiroklorida), dan antibiotik Reco (kloramfenikol) diganti dengan Floxapen

(flucloxacillin).

b. Obat:

- Kortikosteroid Topikal (Topical Coticosteroid (TCS)

Terapi dengan kortikosteroid topikal diperlukan untuk mengobati inflamasi dan pruritus

(gatal) yang diakibatkan oleh dermatitis atopik. TCS dapat diaplikasikan pada daerah

wajah, lipatan paha dan axila untuk meminimalisasi terjadinya efek samping lokal seperti

acne (jerawat), striae, telangiektasia dan atropi (Dipiro et al., 2007). TCS digunakan 1x

atau 2x sehari pada bagian tubuh yang terkena DA selama 7-14 hari (Welsh, 2007).

Pengaplikasian TCS disarankan tidak bersamaan dengan emolien untuk menghindari

penyebaran kortikosteroid ke bagian tubuh lain, sehingga sebaiknya diberikan jeda

pemakaian setelah 30 menit. Penggunaan TCS pada wajah sebaiknya diberikan selama 3-5

hari (Leung et al., 2013).

Page 14: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

- Antibiotik Oral

Antibiotik oral digunakan untuk mengatasi infeksi sekunder pada pasien DA. Antibiotik

oral yang diberikan kepada pasien dengan luka luas atau infeksi yang parah harus aktif

terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan streptococaccus yang diberikan selama 1-2

minggu. Flucloxacillin merupakan antibiotik lini pertama untuk pasien DA. Jika pasien

alergi terhadap flucloxacillin dapat diganti dengan erythromycin atau diganti engan

clarithromycin jika erythromycin tidak ditoleransi (Welsh, 2007; Leung et al., 2013).

- Antihistamin

Untuk anak yang mengalami gangguan tidur akibat gatal, dapat diberikan antihistamin

yang memiliki efek sedatif selama 7-14 hari. Dengan demikian, orang tua pasien akan

memperoleh waktu istirahat. Antihistamin non sedatif biasanya untuk gatal yang dirasakan

pada siang hari selama 1 bulan dan dimonitoring selama 3 bulan bila tidak ada perubahan

gejala (Welsh, 2007; Leung et al., 2013).

- NaCl

Penggunaan antiseptik secara lama tidak dianjurkan pada pasien DA, oleh karena itu

diganti dengan larutan NaCl (Welsh, 2007). NaCl dapat digunakan untuk mencuci atau

membersihkan bagian tubuh yang luka sebab NaCl merupakan larutan steril yang memiliki

pH mendekati 7 sehingga tidak akan menimbulkan iritasi pada kulit. Volume NaCl yang

digunakan harus diperhatikan terutama pada pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid

(Wilson and Thornton, 2015)

d. Pasien/caregiver: Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada anak itis, yaitu

menghindari penggunaan pakaian dan sprei yang terlalu tebal (bahan wol atau bahan lain

yang terlalu kasar) karena dapat mengiritasi kulit anak itis, mengatasi kekeringan kulit

atau memelihara hidrasi kulit anak itis dengan cara mandi 2 kali sehari menggunakan air

hangat dan sabun yang lembut tanpa pewangi dan tidak bersifat alkalis, dilakukan

pengaplikasian pelembab (emolien) setelah mandi seperti lotion, krim, atau salep yang

digunakan hingga 4 kali sehari untuk mencapai efek terapi (Dipiro et al., 2007), kuku

jari tangan anak itis harus selalu dalam keadaan pendek untuk menghindari adanya

kerusakan kulit akibat garukan, anak itis disarankan untuk mengurangi atau menghindari

konsumsi telur secara berlebihan.

Page 15: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

5.2 Implementasi care plan

1. Memberikan edukasi kepada ibu dari anak itis untuk melakukan terapi non farmakologi

untuk menghindarkan bertambah parahnya penyakit dermatitis atopik.

2. Memberitahukan cara penggunaan obat:

a. Medicort digunakan untuk mengobati inflamasi dan pruritus yang terjadi akibat

dermatitis atopik yang ditandai dengan gejala ruam pada bagian pipi, lipatan-lipatan

tangan dan paha. Medicort diaplikasikan tipis sebanyak 1-2 kali sehari pada kulit

yang berupa bulat-bulat kemerahan dan luka bernanah tertutup kulit mati dan krusta.

Penggunaan krim dilakukan setelah pembersihan luka menggunakan larutan NaCl.

Ketika digunakan dalam terapi kombinasi dengan produk topikal lain seperti

pelembab, harus diberikan jeda waktu pemberian yaitu 30 menit. Penggunaan

medicort tidak boleh lebih dari 2 minggu. Jika selama 2 minggu tidak ada perubahan

maka pasien diberikan TCI (Leung et al., 2013).

b. Floxapen (Flucloxacillin 250 mg, 500 mg) merupakan antibakteri turunan penisilin

untuk terapi infeksi staphylococcus. Dosis dewasa 4x 250 mg. Dosis anak 2-10 tahun

1/2 dari dosis dewasa. Sehingga anak itis diberikan floxapen pulveres 4x 1 puyer.

Satu bungkus puyer 125 mg (Sweetman, 2009).

c. Bestalin (Hidroksizin dihiroklorida 10 mg/ 5 mL) merupakan antihistamin sedatif

yang digunakan untuk kondisi alergi yang membutuhkan terapi kortikosteroid.

Antihistamin yang terkandung dalam sirup dapat mengurangi rasa gatal pada kulit

yang mengalami dermatitis sehingga mampu mencegah terjadinya garukan oleh anak

itis yang dapat menyebabkan infeksi dan memperparah luka. Dosis lazim 5-15

mg/sehari dan dosis maksimum 50 mg sehari dalam dosis terbagi. Dosis sekali

minum pasien 15 mg 3-4x sehari. Sehingga dosis bestalin untuk anak itis 3x 1,25

sendok teh (Sweetman, 2009).

d. NaCl: Pembersihan luka dapat dilakukan dengan menggunakan kasa steril yang

diusapkan secara perlahan pada kulit yang mengalami masalah. Setelah daerah luka

benar-benar bersih, selanjutnya dapat diaplikasi obat kortikosteroid topikal.

e. Memberitahukan kepada ibu dari anak itis pada saat mengoleskan obat topikal dengan

menggunakan popsicle stick atau sesuatu yang menyerupai spatula kecil atau cotton

bud yang bersih untuk menghindari kontaminasi langsung terhadap sediaan topikal.

Page 16: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

3. Menginformasikan kepada keluarga pasien tentang cara penyimpanan obat serta BUD

(Beyond Use Date). Obat disimpan dalam wadah aslinya, dalam ruang dengan suhu

kamar, jauhkan dari lembab, panas, dan sinar matahari langsung. Selain itu

diinformasikan kepada keluarga pasien agar menggunakan sediaan tidak lebih dari 30

hari, karena BUD dari sediaan semisolid tidak lebih dari 30 hari dan obat dalam bentuk

sirup cukup aman digunakan dalam waktu dua minggu setelah tutup pada botol sirup

dibuka asalkan penyimpanannya cukup baik.

4. Menyarankan kepada keluarga pasien untuk melakukan kontrol terapi setelah 4 minggu

penggunaan obat.

5.3 Monitoring (Efektivitas Terapi dan Efek samping)

1. Efektivitas Terapi

Monitoring efektivitas terapi meliputi terjadinya normalisasi kulit pada dermatitis atopik

yang dapat diukur dari penurunan lesi dan eritema secara keseluruhan. Penelitian

menunjukkan, keberhasilan terapi memerlukan waktu 1 sampai dengan 4 minggu

(Trookman et al., 2011). Selain itu efektivitas terapi juga dapat diukur menggunakan

SCORAD index (Karagiannidou, 2014) (Lampiran 3).

2. Efek Samping

a. Medicort dapat menyebabkan efek samping antara lain: atrophy kulit setempat

(pemakaian jangka lama dan terus-menerus), hilangnya cairan kolagen kulit,

hipopigmentas serta kemungkinan resiko penurunan terhadap fungsi ginjal dan

hambatan pertumbuhan karena pemakaian kortikosteroid topikal potensi tinggi dalam

jangka panjang (lebih dari 3 minggu) pada anak-anak (IAI, 2011; Berke et al., 2011).

b. Bestalin (Hidroksizin dihiroklorida 25 mg) menyebabkan efek samping kelelahan,

pusing, sakit kepala, penurunan nilai prikomotor, efek antimuskarinik seperti mulut

kering sembelit dan retensi pada kemih (Sweetman, 2009).

c. Floxapen (Flucloxacillin 250 mg, 500 mg) menyebabkan efek samping Gangguan GI,

urtikaria, demam, nyeri sendi (Anonim, 2009).

Page 17: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Anak Itis berusia 3 tahun didiagnosis oleh dokter menderita dermatitis atopik. Terapi

farmakologi yang tepat diberikan pada anak Itis dengan dermatitis atopic tingkat keparahan

moderat adalah kortikoseroid dengan tingkat yang lebih potensial yakni flutikason propionat,

flucoxacillin sebagai antibiotik peroral yang merupakan first line untuk terapi dermatitis atopic

yang sudah terinfeksi bakteri pada anak-anak, hydroxyzine sebagai antihistamin, dan infus NaCl

yang merupakan cairan ringer laktat bersifat netral dan steril sehingga indikasinya sebagai

pencuci luka dapat lebih baik.

Page 18: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

LAMPIRAN

Lampiran 1.

Medicort

Flutikason propionate 0,05%

- Dosis : Krim dioleskan 2 kali dalam sehari

- Efek Samping : Atropi kulit setempat (pemakaian jangka lama dan terus menerus),

hilangnya cairan kolagen kulit, hiperkostikisme, hipopigmentasi, erupsi

yang menyerupai akne.

- KI : Pasien dengan penyakit virus, infeksi jamur dan bakteri pada kulit akne,

dermatitis perioral, neurodermatitis.

(IAI, 2010)

Floxapen

Flukloksasilin 250 mg; 500 mg

- Dosis : 4 x sehari 125 mg

- Efek Samping : Gangguan GI, urtikaria, demam, nyeri sendi

- Interaksi Obat : -

- KI : Hipersensitif

(Anonim, 2009)

Bestaline

Hydroxyzine dihidroklorida 25 mg; 10 mg/5 mL

- Dosis : Anak 6 bulan-6 tahun dosis awal 5-15 mg sehari meningkat jika perlu

sampai 50 mg sehari dalam dosis terbagi; lebih dari 6 tahun dosis awal

15-25 mg harian meningkat jika diperlukan untuk 50-100 mg per hari

dalam dosis terbagi.

- Efek Samping : Kelelahan, pusing, sakit kepala, penurunan nilai prikomotor, efek

antimuskarinik seperti mulut kering sembelit dan retensi pada kemih

- Interaksi Obat : Fenobarbital, fenitoin, rifampisin, NSAID, barbiturate dan depresan

CNS

Page 19: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

- KI : Hipersensitivitas, bayi baru lahir dan premature, infeksi jamur sistemik

(Anonim, 2009; Sweetman, 2009)

Ringer’s Solution

NaCl 8,6 g; KCl 0,3 g; CaCl2 0,33 g, air untuk injeksi as 1000 mL

- Indikasi : Untuk membersihkan luka

- Efek Samping : -

- Interaksi Obat : -

- KI : -

(Atiyeh et al, 2009)

Page 20: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

Lampiran 2. Tabel Potensi Relatif Kortikosteroid Topikal

Konsentrasi dalam sediaan yang umumnya digunakan

Obat

Potensi terendah0,25-2,5% Hydrocortisone0,25 % Methylprednisolone acetate (Medrol)0,1 % Dexamethasone1,0 % Methylprednisolone acetate (Medrol)0,5 % Prednisolon (MetiDerm)0,2 % Betamethasone1 (Celestone)

Potensi rendah0,01 % Fluocinolone acetonide1 (Fluonid, synalar)0,01 % Betamethasone valerate1 (Valisone)0,025 % Fluorometholone1 (Oxylone)0,05 % Alclometasone dipropionate (Aclovate)0,025 % Triamcinolone acetonide (Aristocort, Kenalog, Triacet0,1 % Clocortolone pivalate (Cloderm)0,03 % Flumethasone pivalate (Locorten)

Potensi sedang0,2 % Hydrocortisone valerate (Westcort)0,1 % Momentasone furoate (Elocon)0,1 % Hydrocortisone butyrate (Locoid)0,1 % Hydrocortisone probutate (Pandel)0,025 % Betamethasone benzoate1 (Uticort)0,025 % Flurandrenolid1 (Cordran)0,1 % Betamethasone valerate1 (Valisone)0,1 % Prednicarbate (Dermatop)0,05 % Fluticasone propionate (Cutivate)0,05 % Desonide (Desowen)0,025 % Halcinonide (Halog)0,05 % Desoximetasone1 (Topicort L.P.)0,05 % Flurandrenolide1 (Cordan)0,1 % Triamcinolone acetonide10,025 % Fluocinolone acetonide1

Potensi tinggi0,05 % Fluocinonide1 (Lidex)0,05 % Betamethasone dipropionate1 (Diprosone, Maxivate ) 0,1 % Amicinonide1 (Cyclocort)0,25 % Desoximetasone (Topicort)0,5 % Triaminicolone acetonide1 (Syanalar-HP)0,2 % Fluocinolone acetonide (Syanalar-HP)0,05 % Disflorasone diacetate1 ( Florone, Maxiflor)0,1 % Halcinonide1 (Halog)

Potensi tertingggi

Page 21: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

0,05 % Betamethasone dipropionate dalam vehlikulum yang optimal (Psorcon)

0,05 % Diflorasone diacetate1 dalam vehikulum yang optimal (Psorcon)

0,05 % Halobetasol propionate1 (Ultravate)0,05 % Clobetasol propionate1 (Temovate)

(Katzung et al., 2011)

Page 22: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

Lampiran 3. SCORAD Index

Skoring terhadap tingkat keparahan dari dermatitis atopik untuk anak diatas umur 2 tahun dinilai berdasarkan 3 indikator, yaitu, berdasarkan area atau luas permukaan tubuh bagian depan dan belakang yang mengalami lesi yang diberi skor 0-100 (A), parameter intensitas DA seperti kemerahan, pembengkakan, oozing/krusta, scratch marks, lichenification, dan dryness yang diberikan skor antara 0 sampai dengan 3 (0=absent; 1=mild; 2=moderat; dan 3=severe) dengan nilai maksimum 18 (B), dan untuk gejala yang subyektif seperti adanya gangguan tidur diberikan skor 10 dan apabila tidak adanya gangguan tidur diberi skor 0 dengan nilai maksimum 20(C). Total skor dari semua parameter kemudian dihitung berdasarkan rumus:

Skoring = A/5 + 7B /2 + C

Dermatitis atopik dikategorikan mild jika nilai dari skoring adalah kurang dari 15; moderate jika 15-40; dan severe apabila nilai skoring lebih dari 40.

Skoring rule of nine anak diatas umur 2 tahun

(Karagiannidou, 2014)

Page 23: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

DISKUSI BESAR DERMATITIS ATOPIK

1. PERTANYAAN

NIM NAMA PERTANYAAN

1508515021 Ni Kadek Meta Ariani Apa pertimbangan kelompok anda tetap

menggunakan Reco salep? Kenapa tidak

diberikan antibiotik lain?

1508515049 I Putu Yogi Budi

Indrawan

Tolong dijelaskan kembali mengenai

algoritmanya dan lini lain berdasarkan

tingkat keparahan DA

1508515007 I Made Roni Taradipta Kenapa kelompok anda menggunakan

kortikosteroid double yaitu hidrokortison

Cr dan betametason oral padahal kedua

obat tersebut memimiliki efek yang

sama?

1508515055 Ida Ayu Made Kesuma

Dewi

Menurut jurnal yang saya baca

penggunaan antiseptik pada pasien DA

tidak dianjurkan karena dapat

menyebabkan iritasi, kenapa kelompok

anda tetap menggunakannya?

2. SARAN

NIM NAMA SARAN

1508515036 I Putu Jeffry Setiawan Pada kasus ini, pasien sudah terindikasi

dermatitis atopik yang terinfeksi. Oleh

karena itu, pasien perlu diterapi

Page 24: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

menggunakan antibiotik. Pada

penggunaan antibiotik topikal untuk

dermatitis atopik, rentan terjadi resistensi

sehingga tidak boleh digunakan lebih

dari2 minggu. Ada antibiotik yang umum

digunakan misalnya gentamisin dan

betametason

1508515050 Putu Andre Angga

Agastya

Menurut saya penggunaan salep mata

Reco sebaiknya diganti dengan

kloramfenikol krim atau merk lain sebab

harga salep mata relatif mahal.

1508515010 Komang Yuni

Trisdayanti

Menurut saya penggunaan rivanol

sebaiknya diganti dengan Normalsalin

sebab rivanol bersifat astringen sehingga

dapat menyebabkan kulit menjadi lebih

kering

1508515034 Nyoman Tria Wiriyanti Menurut saya pada pasien yang

menderita DA sebaiknya digunakan

antiseptik hidrofobik sehingga tidak

menyebabkan kulit pasien menjadi kering

1508515032 Ni Made Ayu Wistari Berdasarkan NICE Guideline,

manajemen terapi dari DA menurut

tingkat keparahannya adalah mild,

moderat dan severe. Pada tiga tingkat

keparahan tersebut pasien diberikan

emolien. Menurut saya pasien termasuk

dalam tingkat keparahan severe sehingga

seharusnya diberikan emolien, kemudian

Page 25: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

topikal kortikosteroid, pemberian oral

kortikosteroid diberikan apabila topikal

kortikosteroid selama 2 minggu tidak

menimbulkan perubahan pada pasien dan

pemberian antihistamin.

Page 26: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. British National Formularium 54. London: Pharmaceutical Press.

Eichenfield, L. E. et al., 2014. Guidelines of Care For The Management of Atopic Dermatitis. J. Am. Acad. Dermatol. Vol. 7, No.1: 116-121.

Atiyeh, B.S., Saad A.D., Shady N.H., 2009. Wound Cleansing, Topical Antiseptics and Wound Healing. International Wound Journal. Vol.6 No.6. p.425.

Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke., B. G. Wells and L. M. Posey. 2007. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. Amerika: The McGraw-Hill Companies. Page: 1622.

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). 2010. Informasi Spesialite Obat (ISO). Edisi 46. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. Hal: 374.

Jamal, S. T. 2007. Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and management strategies in general practice. Bulletin Of The Kuwait Institute For Medical Specialization. Vol. 6. p. 55-62.

Karagiannidou, A., et al. 2014. Atopic Dermatitis: Insights on Pathogenesis, Evaluation and Management. J Allergy Ther Volume 5 Issue 6 1000195. P. 4-5.

Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10th. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keragiannidou, A., Botskariova S., Farmaki E., Imvrios G., and Mavroudi A. 2011. Atopic Dermatitis: Insight on Pathogenesis, Evaluation and Management. J Allergy Ther. Vol. 5. Issue 6. P 1-9.

Leung, T. N. H., C. M. Chow, M. P. Y. Chow, D. C. K. Luk, K. M. Ho, K. L. Hon an V. K. Sugunan. 2013. Clinical Guielines on Management of Atopic ermatitis in Children. J. Pediatr. Vol 18: 96-104.

Natalia, Menaldi, S.L., Agustin T., 2011. Perkembangan Terkini Pada Terapi Dermatitis Atopik. J Indon Med Assoc. Vol.61 No.7. Hal 299-304.

National Institute for Health and Care Excellent. 2007. Management of Atopic Eczema in Chlidren From Birth Up To The Age Of 12 years. Nice Clinical Guideline. Sodium chloride irrigation http://www.drugs.com/pro/sodium-chloride-irrigation.html

Page 27: REVISI Farter DA Isi FIX Kurang Halaman

Sweetman, S. C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference. London: Pharmaceutical Press.

Trookman, N.S. and Ronald L.R. 2011. Randomized Controlled Trial of Desonide Hydrogel 0,05% versus Desonide Ointment 0,05% in the Treatment of Mild-to-moderate Atopic Dermatitis. The Journal of Clinical Aesthetic. Vol. 4(11) : 34-38.

Watson, W. and S. Kapur. 2011. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. Vol. 7.

Welsh, Andrew. 2007. Atopic Eczema in Children, Management of Atopic Eczema in Children from Birth Up to the Age of 12 Years. London: RCOG Press.

Werfel, T. 2011. Classification, Clinical Features and Differential Diagnostics of Atopic Dermatitis. Pediatr Adolesc Med. Basel. Vol 15. p. 1.

Wilson, K. and Thornton. 2015. Sodium Chloride Irrigation. (Cite at 04-10-2015) available from: http://www.drugs.com/pro/sodium-chloride-irrigation.html.