Review Jurnal

download Review Jurnal

of 27

description

review jurnal

Transcript of Review Jurnal

  • 1 | R i v i e w J u r n a l

    REVIEW JURNAL : MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN & KELAUTAN

    Pengelolaan Pencemaran Perairan Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup Perairan dalam Pendekatan

    Biomonitoring Pemanfaatan Enzim Metalotionin

    Moh. Awaludin Adam NIM. 157080100111002

    1. Pendahuluan

    Potensi industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian

    Indonesia melalui barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi

    lain pertumbuhan industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang

    cukup serius. Buangan air limbah industri mengakibatkan timbulnya

    pencemaran daerah aliran sungai (DAS) yang dapat merugikan

    masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai, seperti berkurangnya

    hasil produksi pertanian, menurunnya hasil tambak, maupun

    berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk.

    Perkembangan pembangunan dengan berbagai teknologi yang

    digunakan berdampak pada kualitas lingkungan hidup yang semakin

    menurun dan mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan

    makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan

    pengelolaan lingkungan hidup yang serius dan konsisten oleh semua

    pemangku kepentingan.

    Perairan sering tercemar oleh berbagai komponen anorganik

    diantaranya berbagai jenis logam berat berbahaya yang banyak dihasilkan

    dari proses industri. Ada 4 jenis logam yang berbahaya bagi manusia

    yaitu: arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), dan merkuri (Hg). Logam-

    logam tersebut diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu

    organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama

    sebagai racun. Jika kandungan logam dalam perairan naik sedikit demi

    sedikit, maka logam tersebut dapat diserap dalam jaringan tubuh

    organisme dari yang terkecil yang berperan sebagai produsen hingga

  • 2 | R i v i e w J u r n a l

    organisme terbesar yang berperan sebagai konsumen akhir rantai

    makanan seperti ikan, udang, kerang dan akhirnya tertimbun dalam

    jaringan hewan tersebut (Novianto, dkk, 2012).

    Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran mengenai

    pentingnya lingkungan hidup secara langsung maupun tidak langsung,

    akan mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di sekitar mereka. Dalam

    lingkup isu tersebut, semua kalangan masyarakat pelaku usaha harus

    semakin memperhatikan seluruh aspek strategi, operasional serta

    produksi barang dan jasa mereka agar tidak mempengaruhi pelestarian

    fungsi lingkungan hidup. Apabila tidak, tujuan pelaku bisnis untuk

    memperoleh pendapatan (dan tentunya laba) akan terancam oleh

    berbagai sanksi dari konsumen masyarakat hingga pemerintah tempat

    pelaku bisnis berlokasi atau produk dan jasa pelaku bisnis dipasarkan.

    Bahkan cukup dengan anggapan adanya kerusakan lingkungan yang

    diakibatkan kegiatan pelaku bisnis saja sudah dapat mengakibatkan

    jatuhnya sanksi tersebut oleh berbagai pihak.

    Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini

    ternyata membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang

    bersifat positif maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang

    bersifat positif memang diharapkan oleh manusia dalam rangka

    meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup. Namun dampak yang

    bersifat negatif yang memang tidak diharapkan karena dapat menurunkan

    kualitas dan kenyamanan hidup, harus dapat diatasi dengan sebaik-

    baiknya. Semua orang yang ingin memperoleh dan meningkatkan kualitas

    dan kenyamanan hidup harus terlibat dalam usaha mengatasi dampak

    yang bersifat negatif, baik bagi kalangan ilmuwan, kalangan industriawan,

    kalangan pemerintahan maupun dari kalangan masyarakat biasa.

    Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai

    dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha

    maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah

    industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga

    mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian

  • 3 | R i v i e w J u r n a l

    pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi

    pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan

    memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah

    agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka

    beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti

    harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang

    mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri

    akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela

    mengingat banyaknya perusahaan industri yang dibangun di sepanjang

    aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap

    perusahaan yang hanya berorientasi Profit motive dan lemahnya

    penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat

    timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industri dan tuntutan-tuntutan

    masyarakat sekitar industri hingga perusahaan harus mengganti kerugian

    kepada masyarakat yang terkena dampak (Subhi, 2012).

    Bagi para industriawan, pemahaman mengenai masalah

    lingkungan hidup sangat penting artinya di dalam menangani masalah

    limbah atau buangan yang berasal dari industri, sehingga lingkungan yang

    bersih dan nyaman akan dapat terwujud. Sedangkan bagi pejabat

    pemerintah dan pemerintah daerah, diperlukan adanya perencanaan dan

    pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan secara terpadu,

    sehingga kualitas dan kenyamanan hidup benar-benar dapat dicapai.

    Masyarakat umum juga diharapkan partisipasinya terutama berkaitan

    dengan kesadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan

    agar daya dukung alam bagi kelangsungan hidup manusia tetap terjamin

    sampai akhir zaman. Pada akhirnya semua lapisan masyarakat memang

    harus terlibat dan ikut menjaga serta melestarikan fungsi lingkungan

    hidup. Beberapa zat beracun yang telah mencemari perairan pantai

    sebagai akibat aktivitas antropogenik salah satunya adalah dari logam

    berat (Damin, dkk. 2013).

    Kasus terbaru terkait pencemaran sungai adalah aliran sungan

    wangi di Desa Beji Kabupaten Pasuruan. Pencemaran aliran sungai

  • 4 | R i v i e w J u r n a l

    diduga dari pembuangan limbah pabrik yang berlokasi disekitaran sungai

    wangi. Diperkirakan ada 7 pabrik/industri yang memiliki titik terdekat

    dengan aliran sungai tersebut.

    Pencemaran kali dan sungai terus berlangsung, ketidakefektifan

    dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

    (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

    Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

    1984 tentang Perindustrian serta peraturan pelaksanaan lainnya

    menimbulkan dampak, yaitu bahwa para industriawan tetap berani

    melakukan tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, atau

    setidak-tidaknya mereka membuang limbah tanpa dilakukan pengelolaan

    demi untuk keuntungan yang akan didapatnya.

    Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai

    suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi

    (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan

    unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar

    pada sungai utama ke laut atau danau. Berdasarkan UU RI No 7 Tahun

    2004 tentang sumber daya air DAS adalah suatu wilayah daratan yang

    merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anaknya yang

    berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari

    curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat

    merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah

    perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan.

    Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan

    ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur

    kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat

    keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Dalam

    mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu,

    tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi,

    DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu

    mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air,

  • 5 | R i v i e w J u r n a l

    karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan

    dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan

    transport sedimen serta material terlarut dalam system aliran airnya.

    Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi

    perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari

    segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali

    menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan

    hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.

    Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi literatur tentang logam

    berat timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada perairan yang tercemar dengan

    pemanfaatan enzim metalotionin sebagai biomonitoring dalam langkah

    awal untuk mencari referensi yang tepat. Baik dalam perencanaan lokasi,

    pengambilan sampel, metode yang akan dilakukan serta kajian apa saja

    yang terkait dalam pelaksanaan penelitian yang sesungguhnya.

    Harapannya adalah review jurnal ini mampu memberikan gambaran untuk

    mengambil tema/topik pada pelaksanaan penelitian disertasi nanti.

    2. Metode Penulisan

    Metode pemulisan dalam hal ini adalah review jurnal dan beberapa

    sumber terkait. Review jurnal dilakukan untuk mendapatkan gambaran

    topik penelitian disertasi yang akan diambil. Adapun jurnal yang

    digunakan adalah jurnal nasional maupun internasional dalam

    mendapatkan variasi pada referensi. Harapannya tidak lain sebagai

    latihan dalam menulis.

    3. Pokok dan Sub-Sub Pokok Bahasan

    3.1 Daerah Aliran Sungai

    Daerah aliran sungai dapat dipandang sebagai sistem alami

    yang menjadi tempat berlangsungnya proses-proses biofisik

    hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi dan budaya

    masyarakat yang kompleks. Proses-proses biofisik hidrologis DAS

    merupakan proses alami sebagai bagian dari suatu daur hidrologi

  • 6 | R i v i e w J u r n a l

    atau yang dikenal sebagai siklus air. Kegiatan sosial-ekonomi dan

    budaya masyarakat merupakan bentuk intervensi manusia

    terhadap sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan

    budidaya. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya tuntutan

    atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang disebabkan

    meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat

    pada perubahan kondisi tata air DAS.

    Ekosistem perairan sangat kaya akan beragam jenis biota,

    namun potensi ini kian terdegradasi oleh limbah antropogenik yang

    semakin mencemari perairan. Berbagai aktivitas industri dan

    pembangunan membuang limbah cair ke sungai yang akhirnya

    bermuara di laut, sehingga menimbulkan pencemaran di perairan

    laut (Prihatini, 2013).

    3.2 Pencemaran Limbah

    Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang

    tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan-tindakan manusia

    yang disebabkan oleh perubahan pola pembentukan energi dan

    materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika, kimia dan jumlah

    organisme. Perubahan ini dapat mempengaruhi manusia secara

    langsung atau tidak langsung melalui hasil pertanian, peternakan,

    benda-benda, perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas

    (Fardiaz. 1992).

    Menurut Hidayat (1981), pada dasarnya pencemaran

    lingkungan dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu : (1) gangguan,

    merupakan bentuk pencemaran yang paling ringan, (2)

    pencemaran temporer, berjangka pendek karena alam mampu

    mencernakannya sehingga lingkungan dapat kembali seperti

    semula, dan (3) pencemaran permanen, bersifat tetap karena alam

    tidak mampu kembali mencernakannya (dikenal sebagai perubahan

    sumberdaya alam).

  • 7 | R i v i e w J u r n a l

    Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang

    Nomor 32 Tahun 2009 (Kementerian Negara Lingkungan Hidup,

    2009) adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi

    dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan

    manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang

    telah ditetapkan.

    a. Pencemaran Air

    Pencemaran adalah suatu penyimpangan dari keadaan

    normalnya. Jadi pencemaran air adalah suatu keadaan air tersebut

    telah mengalami penyimpangan dari keadaan normalnya. Keadaan

    normal air masih tergantung pada faktor penentu, yaitu kegunaan

    air itu sendiri dan asal sumber air (Wardhana, 2004). Cottam (1969)

    mengemukakan bahwa pencemaran air adalah bertambahnya

    suatu material atau bahan dan setiap tindakan manusia yang

    mempengaruhi kondisi perairan sehingga mengurangi atau

    merusak daya guna perairan. Industri pertambangan dan energi

    mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan lingkungan

    karena mengubah sumber daya alam menjadi produk baru dan

    menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan (Darsono, 1992).

    Kumar (1977) berpendapat bahwa air dapat tercemar jika

    kualitas atau komposisinya baik secara langsung atau tidak

    langsung berubah oleh aktivitas manusia sehingga tidak lagi

    berfungsi sebagai air minum, keperluan rumah tangga, pertanian,

    rekreasi atau maksud lain seperti sebelum terkena pencemaran.

    Polusi air merupakan penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan

    normal. Ciri-ciri yang mengalami polusi sangat bervariasi

    tergantung dari jenis dan polutannya atau komponen yang

    mengakibatkan polusi (Sumengen, 1987).

    b. Penyebab Pencemaran di dalam Perairan.

    Perkembangan penduduk dan kegiatan manusia telah

    meningkatkan pencemaran sungai-sungai, terutama sungai

    sungai yang melintasi daerah perkotaan dimana sebagian air bekas

  • 8 | R i v i e w J u r n a l

    kegiatan manusia dibuang ke sistem perairan yang sedikit atau

    tanpa pengolahan sama sekali terlebih dahulu. Hal ini

    menyebabkan penurunan kualitas air sungai (Darsono, 1992).

    Penyebab pencemaran air berdasarkan sumbernya secara umum

    dapat dikategorikan sebagai sumber kontaminan langsung dan

    tidak langsung. Sumber langsung meliputi effluent yang keluar dari

    industri, TPA (Tempat Pemrosesan Akhir Sampah), dan

    sebagainya. Sumber tidak langsung yaitu kontaminan yang

    memasuki badan air dari tanah, air tanah, atau atmosfer berupa

    hujan. Tanah dan air tanah mengandung mengandung sisa dari

    aktivitas pertanian seperti pupuk dan pestisida. Kontaminan dari

    atmosfer juga berasal dari aktivitas manusia yaitu pencemaran

    udara yang menghasilkan hujan asam. Penyebab pencemaran air

    dapat juga digolongkan berdasarkan aktivitas manusia dalam

    memenuhikebutuhan hidupnya, yaitu limbah yang berasal dari

    industri, rumah tangga, dan pertanian (Suriawiria, 1996).

    Beberapa jenis pencemar dan sumber pencemar yang

    dikemukakan oleh Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi (2003),

    secara ringkas seperti terlihat pada Tabel berikut :

    Tabel : Beberapa Jenis Pencemar dan Sumbernya

  • 9 | R i v i e w J u r n a l

    3.3 Pencemaran Logam Berat dan Penanganan Dini

    Logam berat terdapat di seluruh lapisan alam, namun

    dalam konsentrasi yang sangat rendah. Dalam air laut

    konsentrasinya berkisar antara 10-510-3ppm. Pada tingkat

    kadar yang rendah, beberapa logam berat umumnya

    dibutuhkan oleh organisme hidup untuk pertumbuhan dan

    perkembangan hidupnya. Namun sebaliknya bila kadarnya

    meningkat, logam berat berubah sifat menjadi racun.

    Peningkatan kadar logam berat dalam air laut terjadi karena

    masuknya limbah yang mengandung logam berat ke lingkungan

    laut. Limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya

    berasal dari kegiatan industri, pertambangan, pemukiman dan

    pertanian.

    Logam berat pada umumnya mempunyai sifat toksik dan

    berbahaya bagi organisme hidup, walaupun beberapa diantaranya

    diperlukan dalam jumlah kecil. Beberapa logam berat banyak

    digunakan dalam berbagai kehidupan sehari-hari. Secara langsung

    maupun tidak langsung toksisitas dari polutan itulah yang

    kemudian menjadi pemicu terjadinya pencemaran pada lingkungan

    sekitarnya. Apabila kadar logam berat sudah melebihi ambang

    batas yang ditentukan dapat membahayakan bagi kehidupan.

    Logam berat dalam konsentrasi yang tinggi dapat

    mengakibatkan kematian beberapa jenis biota perairan. Disamping

    itu, dalam konsentrasi yang rendah logam berat dapat membunuh

    organisme hidup dan proses ini diawali dengan penumpukan logam

    berat da-lam tubuh biota. Lama kelamaan, penumpukan yang

    terjadi pada organ target dari logam berat akan melebihi daya

    toleransi dari biotanya dan hal ini menjadi penyebab dari kematian

    biota terkait. Peningkatan kadar logam berat dalam air akan

    menga-kibatkan logam berat yang semula dibutuhkan untuk

    berbagai proses metabolisme akan berubah menjadi racun bagi

  • 10 | R i v i e w J u r n a l

    organisme. Selain bersifat racun logam berat juga akan

    terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi,

    biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi oleh biota air.

    Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengendalian

    dan pemantauan dampak lingkungan adalah melakukan analisis

    unsur-unsur logam berat seperti Pb dan Cd dalam biota air tawar.

    Kemampuan biota air menga-kumulasi logam esensial dan non

    esensial secara biologis sudah terbentuk dengan baik.

    Biokonsentrasi dan bioakumulasi beberapa logam di dalam

    tumbuhan dan hewan. Faktor kepekatan (perbandingan kepekatan

    logam pada hewan, g/kg, terhadap air sekeliling, g/L) untuk

    beragam jenis makhluk air berkisar antara 102 dan 106.

    Bioakumulasi merupakan proses yang menentukan keberadaan

    logam tertentu di dalam biota. Beberapa jenis logam yang dapat

    terlibst dalam proses bioakumulasi adalah As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg,

    dan Zn.

    Salah satu bioindikator pencemaran di lingkungan perairan

    adalah analisis kandungan logam berat yang terakumulasi di

    dalam biota air di perairan tersebut. Ikan dan kerang adalah biota

    air yang dapat digunakan sebagai bioindikator tingkat pencemaran

    air sungai. Kerang dapat digunakan sebagai indikator yang baik

    dalam memonitor suatu pencemaran lingkungan disebabkan oleh

    sifatnya menetap dalam suatu habitat tertentu. Jika di dalam ikan

    dan kerang telah terkandung kadar logam yang tinggi dan melebihi

    batas normal yang telah ditentukandapat dijadikan indikator

    terjadinya suatu pencemaran dalam lingkungan. Banyaknya logam

    berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan bergantung pada

    bentuk senyawa dan konsentrasi polutan (Darmono, 1995).

    Analisis kadar logam Pb dan Cd dilakukan dengan metoda

    spektrofotometer serapan atom dengan teknik preparasi destruksi

    basah. Pemilihan metode spektrofotometer serapan atom karena

    mempunyai sensitifitas tinggi, mudah, murah, sederhana, cepat,

  • 11 | R i v i e w J u r n a l

    dan cuplikan yang diperlukan sedikit serta tidak memerlukan

    pemisahan pendahuluan.

    3.4 Baku Mutu Lingkungan Hidup Perairan

    Pencemaran kali dan sungai terus berlangsung,

    ketidakefektifan dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan

    Lingkungan Hidup (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang

    kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

    tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian serta

    peraturan pelaksanaan lainnya menimbulkan dampak, yaitu bahwa

    para industriawan tetap berani melakukan tindakan pencemaran

    dan/atau perusakan lingkungan, atau setidak-tidaknya mereka

    membuang limbah tanpa dilakukan penge lolaan demi untuk

    keuntungan yang akan didapatnya (Subhi, 2009).

    Kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan

    pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan

    pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan

    menetapkan baku mutu limbah cair. Pemerintah melalui Menteri

    Negara Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Nomor: KEP-

    51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan

    Industri. Dalam Pasal 6 Keputusan Menteri tersebut dinyatkan

    bahwa setiap penanggung jawab kegiatan industri wajib:

    1. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah

    cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui baku mutu

    limbah cair yang telah ditetapkan.

    2. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air

    sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan.

    3. Memasang alat ukur atau laju air limbah cair dari melakukan

    pencatatan debit harian limbah cair tersebut.

  • 12 | R i v i e w J u r n a l

    4. Tidak melakukan pengenceran limbah cair, termasuk

    mencampurkan buangan air bekas pendingin ke dalam aliran

    pembuangan limbah cair.

    5. Memeriksakan kadar parameter baku mutu limbah cair

    secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan.

    6. Memisahakan saluran pembuangan limbah cair dengan

    saluran limpahan air hujan.

    7. Melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya

    8. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar

    parameter baku mutu limbah cair, produksi bulanan

    senyatanya, sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada

    kepala Bapeda, Gubernur, instansi teknis yang membidangi

    industri, dan isntansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan

    peraturan perundang-undang yang berlaku.

    Mengingat air merupakan sumber daya alam yang

    diperlukan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, maka

    Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi

    keberadaan sumber-sumber air disertai dengan upaya melakukan

    pencegahan terhadap pencemaran air melalui pengaturan perijinan

    pembuangan limbah cair. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah

    antara lain berupa penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 20

    tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, di mana di

    dalam pasal 26 ayat 1 disebutkan bahwa pembuangan limbah cair

    ke dalam air dapat dilakukan dengan ijin yang diberikan oleh

    Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

    Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, ditandai dengan

    berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

    (kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) yang

    memberikan titik berat otonomi pada Kabupaten/Kota, maka PP No.

    20 Tahun 1990 diganti dengan PP No. 82 Tahun 2001 tentang

    Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang

    isinya antara lain mengalihkan wewenang pe ngaturan perijinan

  • 13 | R i v i e w J u r n a l

    pembuangan limbah cair dari Gubernur kepada Bupati/Walikota.

    Untuk itu, sampai dengan saat ini belum ada pengaturan mengenai

    perizinan pembuangan limbah cair yang dilakukan oleh pemerintah

    daerah.

    3.5 Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan

    Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang

    disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya

    air untuk berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia

    dan biologi (Effendi, 2003). Indikator atau tanda bahwa air

    lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda

    yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :

    - Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air

    berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan

    suhu, warna dan adanya perubahan warna, bau dan rasa.

    - Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air

    berdasarkan zat kimia yang terlarut dan perubahan pH.

    - Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air

    berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada

    tidaknya bakteri patogen.

    Indikator yangumum digunakan pada pemeriksaan

    pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen

    terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia

    (Biochemical Oxygen Demand, BOD)serta kebutuhan oksigen

    kimiawi (Chemical Oxygen Demand, COD.

    Pemantauan kualitas air pada sungai perlu disertai dengan

    pengukuran dan pencatatan debit air agar analisis hubungan

    parameter pencemaran air dan debit badan air sungai dapat dikaji

    untuk keperluan pengendalian pencemarannya (Irianto dan

    Machbub, 2003).

  • 14 | R i v i e w J u r n a l

    3.6 Bioindikator dan Biomonitoring Enzim Metalotionin

    Biomarker pada ikan dapat berfungsi sebagai alat yang

    berguna untuk mengevaluasi beban pencemaran di lingkungan

    perairan dan menerima sinyal peringatan dini yang berhubungan

    dengan ancaman lingkungan yang ditimbulkan. Biomarker

    didefinisikan sebagai pengukuran spesifik yang merefleksikan

    adanya interaksi biologis dengan agen lingkungan misalnya Cd.

    Biomarker juga biasa digunakan untuk analisis resiko di bidang

    kesehatan lingkungan. Kadmium (Cd) dapat menyebabkan

    gangguan pada biosintesis heme, karena adanya interaksi antara

    Cd dengan enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis tersebut.

    Penggunaan biomarker untuk monitoring lingkungan merupakan

    sebuah metode yang memanfaatkan analisis kimia. Biomarker

    adalah respon-respon yang diukur pada tingkat individu, yang

    berkisar dari pengukuran enzim dan metabolisme xenobiotik pada

    indek organ dan kondisi keseluruhan. Monitoring lingkungan

    perairan dengan biomarker dapat dilakukan dengan berbagai

    kelompok organisme, tetapi yang paling umum adalah remis dan

    ikan (Viarenggo dkk, 2007, Hanson 2008, Tugiyono dkk, 2009,

    Filipic dkk, 2006). Ikan mas merupakan ikan standar internasional

    uji toksisitas, sedangkan ikan nila satu kelas dengan ikan mas,

    sehingga diduga enzim-enzim tertentu dari kedua jenis ikan

    tersebut dapat digunakan sebagai biomarker pencemaran logam

    berat Cd.

    Dengan kajian biomarker; pencemaran dapat dikendalikan

    secara preventif, sehingga pencemaran yang terjadi di tingkat

    ekosistem dapat dicegah. Hal ini dikarenakan pada tingkat seluler

    sudah ada sinyal peringatan dini terjadinya pencemaran. Dengan

    demikian pencemaran sudah bisa ditanggulangi sejak tingkat sub

    seluler, sehingga tidak menimbulkan pencemaran pada tingkat

    ekositem seperti yang terjadi saat ini. Biomarker merupakan respon

    dini tingkat molekuler, reaksi awal sebelum respon terjadi pada

  • 15 | R i v i e w J u r n a l

    tingkatan organisasi (spektrum) biologi yang lebih tinggi

    (Wardhana, 2004; Hanson, 2008). Penemuan biomarker sebagai

    alat detektor pencemaran dini, diharapkan dapat menjadi

    sumbangan bioteknologi bagi pemerintah dalam menentukan

    kebijakkan pengelolaan dan pengendalian pencemaran perairan.

    Kajian tentang biomarker pada ikan, dapat digunakan

    sebagai biomonitoring pencemaran tingkat dini, dan diharapkan

    dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi

    sumbangan ilmu pengetahuan apabila akan mengkaji efek toksik

    Cd tingkat molekuler (Viarenggo dkk, 2007). Biomarker yang

    ditemukan/ muncul diharapkan dapat dijadikan alat deteksi

    pencemaran dini yang dapat diaplikasikan dilapangan untuk

    mendeteksi secara dini adanya pencemaran Cd pada ikan maupun

    di perairan; sebagai upaya pengendalian pencemaran secara

    preventif. Teknologi ini diharapkan menjadi masukan bagi

    pemerintah terkait sebagai salah satu alternatif model monitoring

    lingkungan perairan.

    Penemuan ini merupakan respon dini tingkat molekuler

    terhadap kualitas lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai

    alat deteksi dini tingkat biomolekuler terhadap pencemaran logam

    berat Cd di perairan. Sebagaimana dikatakan oleh Bebianno dkk.

    (2003), bahwa metallothioeindapat digunakan sebagai biomarker

    pencemaran karena kepekaan dan keakuratannya. Hal ini

    didasarkan pada suatu fenomena alam di mana logam-logam dapat

    tersekap di dalam jaringan tubuh organisme yang dimungkinkan

    karena adanya protein tersebut. Metallothionein merupakan protein

    pengikat logam (metal-binding protein) yang berperan dalam proses

    pengikatan ataupun penyekapan logam di dalam jaringan setiap

    mahkluk hidup. Biomarker merupakan akhir dari uji ekotoksikologi

    yang menunjukkan efek pada organisme hidup. Salah satu kunci

    fungsi dari biomarker adalah sebagai tanda peringatan dini, dari

    suatu pengaruh senyawa toksik secara biologi; dan biomarker

  • 16 | R i v i e w J u r n a l

    dipercaya sebagai respon pada sub organisme (molekuler, biokimia

    dan phisiologi) reaksi awal sebelum respon terjadi pada tingkatan

    organisasi (spektrum) biologi yang lebih tinggi (Hanson 2008).

    4. Pembahasan

    a. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

    Bioakumulasi logam berat pada organisme dipengaruhi antara lain

    oleh jenis logam, dan biovailibilitas logam.Logam berat di perairan

    umumnya dijumpai dalam bentuk ion-ion terlarut yang mudah masuk ke

    tubuh organisme karena memiliki bioavailabilitas tinggi. Logam Hg bersifat

    lebih toksik dibandingkan Pb dan Cd, karena memiliki bioavailabilitas lebih

    tinggi.Logam yang terakumulasi di tubuh kemudian mengalami

    biomagnifikasi pada tingkat trofik lebih tinggi, sesuai dengan rantai

    makanan di ekosistem. Logam Pb, Cd, dan Hg dapat masuk langsung ke

    tubuhkeranglewat insang, atau secara tidak langsung yaitu melalui pakan.

    Mekanisme makansecara filter feeding pada A.antiquata menyebabkan

    terjadinya bioakumulasi logam-logam berat, sehinggakeberadaan dan

    kandungan logam berat di tubuh kerang lebih akurat mengindikasikan

    konsentrasilogam berat di ekosistem perairan(Prihatini, 2013).

    Eksploitasi Sungai Berdasarkan PP No 35/1991, yang dimaksud

    dengan eksploitasi sungai adalah usaha pengaturan dan pengalokasian

    sumber daya air dan sumber daya alam lainnya yang berada di sungai

    untuk tujuan penggunaan secara optimum. Sumber daya yang terdapat di

    sungai mencakup; air sungai, wadahnya atau alur dan bantaran serta

    daerah retensi, dan sedimen yang terdapat di alur sungai. Ruang lingkup

    kegiatan eksploitasi sungai meliputi :

    1. Eksploitasi air sungai :

    a. Pengambilan dan penggunaan air sungai

    b. Pengaturan / pengendalian muka air tinggi dan muka air rendah

    c. Pengendalian kualitas air sungai

  • 17 | R i v i e w J u r n a l

    2. Eksploitasi air sungai, bantaran dan daerah retensi

    a. Pemakaian alur dan bantaran sungai untuk keperluan: drainase,

    prasarana transportasi, rekreasi, pertanian dan perikanan

    b. Pengaturan penggunaan alur dan bantaran sungai

    c. Pengaturan alur untuk menjaga kelestarian fungsi sungai

    sebagai penyalur banjir

    3. Eksploitasi sedimen di sungai Pengambilan bahan galian golongan

    C di sungai

    Dampak Pengolahan Sungai pada pemanfaatan dari suatu sungai

    dapat menimbulkan perubahan bentuk sungai, baik perubah arah vertikal

    maupun horizontal, sebagai akibatnya adalah :

    a. Perubahan parameter hidrograft (Q, h:fl)

    b. Perubahan gejala dan parameter aliran hidrolika

    c. Perubahan gejala dan parameter angkutan sedimen

    Eksploitasi di daerah Hulu dan dampaknya Adanya perubahan

    peruntukan lahan di daerah hulu akibat perluasan daerah perkebunan,

    perluasan daerah pemukiman dan juga pembalakan hutan/ilegal logging

    mengakibatkan :

    a. Surface Run-off yang tinggi

    b. Daerah tangkapan / resapan semakin sedikit

    c. Fluktuasi debit yang besar

    d. Semakin tinggi tingkat erosi

    e. Sedimen semakin banyak

    f. Perubahan morfologi sungai Dampak dari kondisi tersebut maka

    pada musim kemarau terjadi kekeringan dan pada saat musim hujan

    mengakibatkan banjir.

    Eksploitasi di daerah transisi dan daerah hilir serta dampaknya

    Eksploitasi yang terjadi didaerah transisi dan hilir dapat berupa :

    a. Perluasan daerah pemukiman

    b. Perluasan daerah industri

    c. Pengambilan bahan galian C

    d. Perluasan daerah irigasi

  • 18 | R i v i e w J u r n a l

    e. Peningkatan kebutuhan air baku untuk air minum

    f. Pemanfaatan daerah bantaran sungai sebagai pemukiman

    g. Sistem drainase pemukiman

    h. Perilaku pembuangan sampah

    Akibat adanya perluasan daerah industry dari kegiatan-kegiatan

    tersebut mengakibatkan :

    a. Daerah resapan semakin sedikit

    b. Masuknya limbah industri kedalam sungai

    c. Perubahan morfologi sungai

    d. Penyempitan badan sungai Meningkatnya wilayah pertanian,

    pengambilan air sebagai bahan baku, dan pembangunan PLTA

    menambah alokasi air pada daerah tersebut tetapi berarti mengurangi

    ketersediaan air di daerah hilir.

    Penyempitan daerah sungai, penambahan sedimen sungai dan

    penambahan drainase daerah sekitar sungai serta reklamasi

    menyebabkan terlambatnya laju pembuangan air menuju laut. Sehingga

    pada saat musim hujan dapat menyebabkan bahaya banjir. Secara umum

    dampak negatif dari suatu perubahan sungai adalah pembawa banjir dan

    pembawa polusi. Banjir dengan tingkat bahaya yang tinggi biasanya

    terjadi pada daerah hilir. Sedangkan dampak kekeringan lebih disebabkan

    oleh rusaknya ekosistem DAS di hulu sehingga mempengaruhi kuantitas

    air, dimana pada saat musim kering seharusnya dapat mengeluarkan air

    tetapi tidak keluar, karena DAS tersebut tidak berfungsi sebagaimana

    mestinya.

    Pengelolaan Sungai Terpadu dengan prinsip pengelolaan sungai

    terpadu adalah dengan mempertimbangkan wilayah hidrologis sebagai

    satu kesatuan wilayah pengelolaan dan pembinaan sesuai dengan prinsip

    satu DAS, satu plan, dan satu pengelolaan terintegrasi. Tujuan dari satu

    pengelolaan terpadu agar pemanfaatan sungai di hulu tidak memberikan

    dampak negatif dihilir maupun sebaliknya. Adapun ruang lingkup

    pengelolaan mencakup kegiatan: 1. Pengusahaan air dan sumber air 2.

    Operasi dan pemeliharaan bangunan sungai 3. Konservasi,

  • 19 | R i v i e w J u r n a l

    pengembangan, alokasi air, water quality control Selain itu juga diperlukan

    koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait, seperti - Panitia Tata

    Pengaturan Air (PTPA) - BAPEDA ( Pemda) - Litbang - Perum Perhutani.

    Pengoperasian dan pengelolaan sungai ada enam hal penting yang

    mempengaruhi kelanjutan operasi dan pengelolaan sungai:

    1. Peta daerah pengaliran; Peta pengaliran ini harus lengkap, yang

    dapat dianalisa sesuai kebutuhan. Pada peta tersebut dapat

    dibagi menjadi beberapa penggalan.

    2. Alokasi Air Pemanfaatan air pada sungai tergantung pada lokasi

    pengambilan dan jumlah pengambilan.

    3. Sepadan Sungai

    4. Badan Sungai.

    5. Kualitas Air

    6. Daerah Pengaliran Sungai Dengan adanya model ini , setiap

    penggunaan air dan lahan di DPS harus mengetahui

    peruntukannya jika pemanfaatannya tidak sesuai akan

    mendapat sangsi (Perlu dipertimbangkan dengan Pakar

    Hukum).

    Untuk kerjasama antar sektor dapat digunakan model seperti

    dibawah ini, dalam diagram tersebut digambarkan keterkaitan antara

    berbagai komponen yang dalam analisis kuantitatif akan digunakan

    sebagai variabel untuk mengukur kinerja DAS secara keseluruhan

    Dalam rangka mewujudkan pengelolaan lingkungan hidup perairan

    yang berkesinambungan, maka perlu adanya kebersamaan antara

    pemerintah dengan masyarakat. Salah satu langkah pengembangan

    secara berkesinambungan dengan harapan tercapainya :

    1. Peningkatan kerjasama yang serasi dan seimbang antara

    pemerintah dan masyarakat;

    2. Pelaksanaan pembangunan industri yang terpadu dan terkait

    secara luas;

    3. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah melalui organisasi

    yang bersifat integratif antara fungsional dan vertikal;

  • 20 | R i v i e w J u r n a l

    b. Manajemen Bioindikator Enzim Metalotionin

    Respon dini pada tingkat molekuler terhadap kualitas lingkungan,

    sudah saatnya dipakai untuk monitoring lingkungan,sehingga secara dini

    pencemaran lingkungan dapat dicegah/dimonitor. Langkah preventif

    dalam upaya pengendalian pencemaran jauh lebih baik dari pada secara

    kuratif. Sebagaimana pendapat Hanson (2008) dan Tugiyono dkk (2011)

    bahwa salah satu kunci fungsi dari biomarker adalah sebagai tanda

    peringatan dini dari pengaruh xenobiotik secara biologis. Respon dini

    tingkat molekuler terhadap kualitas lingkungan memberikan peluang untuk

    melakukan langkah preventif sebagai upaya pencegahan akan

    pencemaran lingkungan.

    Kualitas lingkungan perairan dapat diketahui berdasarkan

    perubahan dalam sistem atau parameter biologi yang terpilih, pendekatan

    ini dikenal dengan istilah biomonitoring. Biomonitoring adalah cabang dari

    monitoring lingkungan yang mengacu pada penggunaan organisme hidup,

    yang digunakan sebagai pendugaan residu bahan pencemar dalam

    jaringan organisme sampai pendugaan akhir pengaruh biologi spesifik.

    Bentuk atau tipe biomonitoring dapat dikembangkan berdasarkan

    perubahan karakteristik secara biokimia, phisiologi, morphologi atau

    tingkah laku organisme, disamping berdasarkan cara konvensional seperti

    struktur komunitas yang meliputi kemelimpahan dan indeks

    keanekaragaman (Viarenggo dkk, 2007; Wardhana 2004).

    Penelitian Sanusi (2002) menunjukkan bahwa akumulasi Cd pada

    hati dan ginjal ikan lebih besar dari pada yang terakumulasipada ototnya.

    Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh sejenis metallotioneinyang

    dijumpai lebih besar terdapat pada hati dan ginjal dari pada ototnya.

    Menurut Soemirat (2005), Plaa (2007) dan Klaassen (2001) efek racun di

    dalam tubuh suatu jenis organisme oleh pengaruh suatu zat tergantung

    pada jumlah adanya zat tersebut pada bagian yang rentan di dalam tubuh.

    Dikatakan pula bahwa logam berat dapat terakumulasi dalam jaringan

    tubuh ikan terutama pada insang, hati dan ginjal, daging atau otot serta

    tulang. Metallothionein bersifat spesifik, metallothioneinpengikat Cd,

  • 21 | R i v i e w J u r n a l

    berbeda dengan metallothionein pengikat Hg, berbeda pula dengan

    metallothionein pengikat Pb, Zn, ataupun logam berat yang lain.

    Metallothionein selain bersifat spesifik, juga bersifat sensitif sebagai

    biomarker. Fakta paparan logam berat Cd, Pb dan Hg yang kadarnya

    masih di bawah nilai baku mutu sudah dapat menginduksi sintesis

    metallothioneindalam jaringan hati sehingga muncul metallothionein.

    Metallothionein yang terbentuk berfungsi sebagai detoksifikasi terhadap

    logam berat. Dengan kata lain apabila terjadi paparan logam berat yang

    memiliki afinitas tinggi terhadap thioeninmaka logam tersebut memiliki

    kemampuan yang tinggi dalam menginduksi metallothioenin, sehingga

    akan segera membentuk metalothionein dan logam tersebut akan segera

    terdetoksifikasi. Akibatnya tidak terjadi akumulasi logam pada tubuh yang

    berpotensi melebihi ambang batas.

    Metallothionein merupakan biomarker yang bersifat universal.

    Metallothionein tidak hanya dapat digunakan sebagai biomarker pada

    penelitian skala laboratorium, tetapijuga dapat digunakan di perairan

    bebas seperti laut , danau, teluk maupun sungai Disamping itu dapat

    digunakan untuk deteksi logam berat yang terakumulasi pada organ tubuh

    ikan maupun yang terpapar diperairan. Metallothionein juga merupakan

    biomarker (penanda biologis) untuk peringatan dini (early warning)

    terhadap paparan logam berat (Cd, Pb dan Hg) sejak tingkat sub seluler,

    reaksi awal sebelum respon terjadi pada tingkatan organisasi (spektrum)

    biologi yang lebih tinggi. Dengan demikian terjadinya pencemaran di

    tingkat sub seluler sudah dapat diketahui, sehingga pencemaran di tingkat

    ekosistem dapat dicegah atau tidak akan terjadi.

    Prosedur pengukuran tingkat pencemaran di perairan, khususnya

    untuk perairan Indonesia telah banyak dibuat, namun sedikit saja yang

    dapat dikategorikan sebagai prosedur yang peka, akurat dan dapat

    diandalkan. Apalagi pencemaran yang dimaksud adalah pencemaran

    yang disebabkan oleh logam berat yang berdampak luas sampai pada

    manusia. Salah satu alternatif prosedur pengukuran yang masuk dalam

    kategori peka, akurat dan dapat diandalkan serta dapat diaplikasikan di

  • 22 | R i v i e w J u r n a l

    perairan Indonesia adalah pengukuran dengan menggunakan indikator

    metallothionein.

    Metallothionein merupakan protein yang sangat peka dan akurat

    sebagai indikator pencemaran. Hal ini didasarkan pada suatu fenomena

    alam di mana logam-logam dapat tersekap di dalam jaringan tubuh

    organisma yang dimungkinkan karena adanya protein tersebut. Dengan

    demikian, metallothionein merupakan protein pengikat logam (metal-

    binding protein) yang berfungsi dan berperan dalam proses

    pengikatan/penyekapan logam di dalam jaringan setiap mahluk hidup

    (Nol-Lambot dkk. 1978; Langston & Zhou 1986; Bebianno dkk. 1993).

    Metallothionein terdiri dari protein (polipeptida) yang mempunyai massa

    molekul yang kecil (6-7 kDa), dan sifat utamanya adalah mengandung 26-

    33% 'cysteine' serta tidak mempunyai asam amino aromatik atau histidin

    (Frankenne dkk. 1980; Engel & Brouwer 1984; Bayne dkk. 1985; Rand &

    Petrocelli 1985; Fowler dkk. 1987; Le Gal 1988; Manahan 1991, 1992;

    Roesijadi 1992; Carpene 1993). Sebagai konsekuensi dari banyaknya

    kandungan asam amino 'cysteine' maka protein ini mengandung kelompok

    'thiol' (sulfhydryl, -SH) dalam jumlah yang besar. Kelompok ini mengikat

    logam-logam berat sangat kuat, khususnya merkuri (Hg), kadmium (Cd),

    perak (Ag), seng (Zn) dan tin. Redisu sulfhydryl dari 'cysterine' mampu

    mengikat logam, di mana 1 atom logam (misalnya: Cd, Zn atau Hg) untuk

    3 residu -SH, atau 1 atom logam 2 residu -SH (Nol-Lambot &

    Bouquegneau 1977; Nol-Lambot dkk. 1978; Edwards & Hassall 1980; Le

    Gal 1988; Engel & Brouwer 1989; Bebiano & Langston 1992a & b;

    Manahan 1991; 1992; Lacaze 1993).

    Pada kenyataannya sistem hayati mempunyai peluang untuk

    menyekap/ mengkonsentrasi unsur logam (termasuk juga logam berat

    yang bersifat toksik) dalam tubuhnya; biasanya disebut sebagai fungsi

    'detoksifikasi', artinya dapat mengikat logam-logam tersebut dalam

    lingkaran metabolisme tanpa mengeliminasinya. Hal ini merupakan suatu

    solusi sementara, di mana kemampuan sistem penyekapan bukan tidak

    terbatas (Bebiano & Langston 1992a & b). Fungsi fisiologis dari penyekap

  • 23 | R i v i e w J u r n a l

    logam tersebut berhubungan dengan peran mereka dalam seluruh proses

    metabolisme. Protein ini dapat mengatur formasi logam yang lewat dari

    sel-sel mukosal ke dalam circulatory fluid. Logam-logam biasanya

    bertindak sebagai kofaktor atau sebagai modulator reaksi-reaksi tertentu.

    Sel-sel perlu menyimpanan cadangan logam tetapi tidak berlebihan atau

    pada konsentrasi toksik. Logam-logam tersebut selanjutnya dibebaskan

    perlahan sebagai fungsi keperluan sel (Tabbot & Magee 1978; Bayne

    dkk. 1985; Le Gal 1988; Carpene 1993).

    Metallothionein dapat terinduksi ditemukan di semua golongan

    mahluk hidup (misalnya mamalia, ikan, moluska/kerang-kerangan,

    zooplankton dan fitoplankton) dan di berbagai tingkat jaringan/organ

    (misalnya hati, ginjal, insang, testis, usus, otot, plasma, eritrosit, sel-sel

    epitelial dan urine). Demikian pula, protein ini tersebar pada semua

    organisma laut, baik pada tumbuhan maupun organisma vertebrata dan

    invertebrata; pada organisma terutama terdapat dalam hati atau

    hepatopankreas, insang, ginjal. atermasuk pula jenis alga Cynophyceae.

    Konsentrasinya dalam jaringan (hati, insang, kelenjar penceranaan)

    meningkat ketika organisma terkontaminasi pada unsur-unsur logam

    (Engel & Brouwer 1993; Engel & Brouwer 1991; Nol-Lambot dkk. 1978;

    Le Gal 1988; Bebianno & Langston 1995).

    5. Penutup

    Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk

    pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu

    unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir mempunyai

    keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu

    perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan

    dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air

    dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

    Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang

    berdimensi biofisik (seperti pengendalian erosi, pencegahan dan

    penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan pertanian

  • 24 | R i v i e w J u r n a l

    konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan

    peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan

    berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya

    setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan

    DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi

    pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan

    yang berkelanjutan.

    Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit

    perencanaan dalam pembangunan selama ini masih terbatas pada

    upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan

    organisasi masih bersifat ad hoc, dan kelembagaan yang utuh

    tentang pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS

    dapat dilakukan secara optimal, maka perlu dilibatkan seluruh

    pemangku kepentingan dan direncanakan secara terpadu,

    menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan

    DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

    Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak

    dapat dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, melainkan perlu

    adanya keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub

    DAS, dari sub-DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus

    perhatian dengan berpegang pada prinsip one river one

    management. Keterkaitan antar sektor meliputi perencanaan

    APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga pada tingkat

    koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam pengelolaan

    DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan

    sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana

    pemanfaatan di daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya.

    Sebaliknya perbaikan di daerah hulu manfaatnya akan diterima di

    hilirnya. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu perencanaan

    terpadu dalam pengelolaan DAS dengan melibatkan semua sektor

    terkait, seluruh stakeholder dan daerah yang ada dalam lingkup

    wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.

  • 25 | R i v i e w J u r n a l

    Biomarker/penanda biologis yang ditemukan diharapkan dapat

    dijadikan alat deteksi pencemaran dini yang dapat diaplikasikan

    dilapangan untuk mendeteksi secara dini adanya pencemaran

    logam berat pada ikan maupun di perairan; sebagai upaya

    pengendalian pencemaran secara preventif. Teknologi ini

    diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah terkait sebagai

    salah satu alternatif model monitoring lingkungan perairan.

    6. Lampiran

    -

    7. Daftar Pustaka

    Anwar, 2011. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Dan Berkelanjutan TAPAK Vol. 1 No. 1 Nopember 2011

    Argawala, S.P., 2006. Environmental Studies. Narosa Publishing House, New Delhi.

    Bebianno, M.J., Cravo, A., Miguel, C., dan Morais, S., 2003. Metallothionein Concentrations in A Population of Patella aspersa: Variation with Size. Sci. Total Environ., 301:151161.

    Choirudin dan Indrajid, 2007. Eceng Gondok Penyerap Logam Berat Cd di Sungai Kaligarang Semarang. Majalah Tempo Edisi 19/XXXIIIIII/02-8 Juli 2007.

    Connell, D.W. 2005. Bioakumulasi Senyawaan Xenabiotic. UI Press, Jakarta. Hal 5-75, 146-211.

    Damin, H, Syarifuddin L, Abd. Hayat Kasim. (2013). Analisis Logam Berat Timbal (Pb) Dan Kadmium (Cd) Dalam Kerang Yang Beredar Di Pasar Tradisional Kotamadya Makassar. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan 90245

    Dewi N.K, Purwanto dan Henna Rya Sunoko. 2014. Metallothionein Pada Hati Ikan Sebagai Biomarker Pencemaran Kadmium (Cd) Di Perairan Kaligarang Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.3, November 2014: 304-309

    Engel, D. W. & M. Brouwer. 1993. Crustaceans as models for metal metabolism: I. effects of the molt cycle on blue crab metal metabolism and metallothionein. Marine environmental research 35: 1-5.

    Filipic, M., Fathur, T., dan Vuldrag, M., 2006. Molecular Mechanisms of Cadmium Induced Mutagenecity. J. Human & Exp. Toxicol.. 25(2): 67-77.

    Fowler, B. A., C. E. Hildebrand, Y. Kojima & M. Webb. 1987. Nomenclature of metallothionein. Hal. 19-22 dalam J. H. R. Kagi & Y. Kojima (ed.). Metallothionein II. Birkhauser-Verlag, Basel.

  • 26 | R i v i e w J u r n a l

    Frankenne, F., F. Nol-Lambot & A. Disteche. 1980. Isolation and characterization of metallothioneins from cadmium-loaded mussel Mytilus edulis. Comaprative Biochemistry & Physiology 66C: 179-182.

    Hadi, S.P., 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

    Hanson, N., 2008. Does Fish Health Matter ? The Utility of Biomarkers in Fish for Environmental Assessment.Ph.D. Thesis Department of Plant and Environmental Sciences University of Gothenburg.

    Katzung, B.G., 2007. Basic & Clinical Pharmacology. 10thEd, Mc Graw Hill, New York. p. 1-10.

    Klaassen, C.D., 2001. Csarett and DoullsToxicology:The Basic Science of Poisons. 6thEd. Mc. Graw Hill, New York.

    Kosnett M.J. 2007. Heavy Metal Intoxication & Chelator, In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacolocy, 10thEd, Mc Graw Hill. Boston. p. 970-981.

    Lacaze, J.-C. 1993. La degradation de lenvironnement cotier: consequences ecologiques. Ouvrage publie avec El concours du Centre national des lettres (CNL). Masson. 149 hal.

    Langston, W. J. & M. Zhou. 1986. Evaluation of the significance of metal-binding proteins in the gastropod Littorina littorea. Marine Biology 92: 505-515.

    Le Gal, Y. 1988. Biochime Marine. Hal. 223-274, Chapitre 9. Pollutions. Masson. Paris.

    Manahan, S. E. 1991. Toxicological chemistry: A guide to toxic substances in chemistry. Lewis Publishers, Inc. 317 hal.

    Manahan, S. E. 1992. Toxicological chemistry. Second edition. Lewis Publishers. Boca Raton. 449 hal.

    Maslukah, Lilik, 2007. Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cd, Cu, Zn) Terlarut, Dalam Seston, Dan Dalam Sedimen Di Estuari Banjir Kanal Barat, Semarang. Akuatik-Jurnal Sumberdaya Perairan 1 Volume 2 . Agustus 2007 . Edisi 1 ISSN 1978 1652

    Miller, T.G,Jr. 2007. Living in The Environment : Principle, Connection and Solutions. Thompson Brooks/Cole. Singapore.

    Nol-Lambot, F. & J. M. Bouquegneau. 1977. Comparative study of toxicity, uptake and distribution of cadmium and mercury in the sea water adapted eel Anguilla anguilla. - Bulletin of Environmental Contamination & Toxicology 18(4): 418-424.

    Novianto, Rio T.W.D., Fida Rachmadiarti dan Raharjo., (2012). Analisis Kadar Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Udang Putih (Penaeus marguiensis) di Pantai Gesek Sedati Sidoarjo. Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Surabaya. LenteraBioVol. 1 No. 2 Mei 2012: 6366

    Plaa, G.L., 2007. Introduction to Toxicology: Occupational & Enviromental. In Katzung B.G. (ed): Basic & Clinical Pharmacology, 10thEd, Mc. Graw Hill, New Yorks. p. 958-970.

    Prihatini, Wahyu. 2013. Ekobiologi Kerang Bulu Anadara Antiquata Di Perairan Tercemar Logam Berat. Jurnal Teknologi Pengelolaan

  • 27 | R i v i e w J u r n a l

    Limbah, ISSN 1410-9565 Volume 16 Edisi Suplemen 2013. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)

    Santosa, B., Hertanto, W.S, Lisyani, S. Henna, R.S. (2013). Zinc Supplementation Dosage Variations to Metallothionein Protein Level of Rattus norvegicus. International Journal of Science and Engineering, 5(2),9-14. Doi: http://dx.doi.org/10.12777/ijse.5.2.15-17.

    Sanusi, H.S., 2002, Akumulasi Logam Berat Hg dan Cd pada Tubuh Ikan Bandeng (Chanos chanos Forskal)Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor.

    Soemarwoto, O., 2002. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan.Jambatan, Bandung. p. 145-148.

    Soemirat, J., 2005. Toksikologi Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Subhi, Muhammad. (2012). Perizinan Pembuangan Limbah Cair Kegiatan Industri Dalam Hubungannya Dengan Pengendalian Pencemaran Air (Studi Di Kabupaten Ketapang)

    Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. P.T. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Jakarta.

    Supriatno dan Lelifajri, 2009. Analisis Logam Berat Pb dan Cd dalam Sampel Ikan dan Kerang secara Spektrofotometri Serapan Atom. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol. 7 No. 1. ISSN 1412-5064

    Trimartuti, N.K. 2001. Bioakumulasi Logam Berat Cd Pada Ikan Lunjar (Rasbora argyrotaenia), Wader (Barbodes balleroides) dan Nilem (Osteochillus hasseltii) di Kaligarang Semarang, Thesis ,Gadjah Mada University, Yogyakarta.

    Tugiyono, Nurcahyani, N., Supriyanto, R., dan Hadi, S., 2011. Biomonitoring of effects Following Exposure of Fish to Sugar Refinery Effluent. J. Modern Applied Science, 5:39-44.

    Tugiyono, Nurcahyani, N., Supriyanto, R., dan Kurniati, M., 2009. Biomonitoring Pengolahan Air Limbah Pabrik Gula PT Gunung Madu Plantation Lampung Dengan Analisis Biomarker: Indeks Fisiologi Dan Perubahan Histologi Hati Ikan Nila (Oreochromis niloticus Linn) J.Sains MIPA, 15:42-50.

    Viarenggo, A., Lowe, D., Bolognesi, C., Fabbri, E., dan Koehler, A., 2007. The Use of Biomarkers in Biomonitoring : A 2-tier Approach Assessing The Level of Pollutant-Induced Stress Syndrome in Sentinel Organisms. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology and Pharmacology,146(3):281-300.

    Wardhana, W.A., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta.

    Watts, R.J., 1998. Hazardous Wastest: Surces, Pathways, Receptors. John Wiley and Sons.Inc. New York.

    Withgott, J., dan Brennan, S., 2007. Environment : The Science Behind the Stories. Pearson Benjamin Cummings. San Fransisco.