Review Jurnal

22
Review Jurnal : 1. PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING (GUIDED INQUIRY) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HIGH ORDER THINKING SKILL) SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 MALANG PADA POKOK BAHASAN HIDROKARBON Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar dan perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada pokok bahasan hidrokarbon. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental semu. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling dari 8 kelas yang ada di SMA Negeri 1 Malang. Instrumen yang digunakan berupa soal tes pilihan ganda berjumlah 31 soal yang sebelumnya diuji validitas butir soal dan reliabilitasnya. Analisis data yang dilakukan adalah analisis statistik uji normalitas, homogenitas, uji-t dua pihak serta uji-t satu pihak sebagai uji lanjutan yang menggunakan bantuan SPSS 16,0 for windows dengan signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode inkuiri terbimbing lebih baik dalam meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. 2. PERBEDAAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI DAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI HIDROLISIS GARAM SISWA MA NEGERI 2 MALANG PADA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing,

description

review jurnal

Transcript of Review Jurnal

Review Jurnal :

1. PENGARUH METODE PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING (GUIDED INQUIRY) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI (HIGH ORDER THINKING SKILL) SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 MALANG PADA POKOK BAHASAN HIDROKARBONTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran inkuiri terbimbing terhadap hasil belajar dan perbedaan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada pokok bahasan hidrokarbon. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental semu. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling dari 8 kelas yang ada di SMA Negeri 1 Malang. Instrumen yang digunakan berupa soal tes pilihan ganda berjumlah 31 soal yang sebelumnya diuji validitas butir soal dan reliabilitasnya. Analisis data yang dilakukan adalah analisis statistik uji normalitas, homogenitas, uji-t dua pihak serta uji-t satu pihak sebagai uji lanjutan yang menggunakan bantuan SPSS 16,0 for windows dengan signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode inkuiri terbimbing lebih baik dalam meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.2. PERBEDAAN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI DAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI HIDROLISIS GARAM SISWA MA NEGERI 2 MALANG PADA PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBINGPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterlaksanaan pembelajaran inkuiri terbimbing, keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan pemahaman konsep siswa. Penelitian menggunakan rancangan eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan post test (post test only control group design) serta rancangan penelitian deskriptif kuantitatif. Sampel yang digunakan adalah siswa kelas XI IPA 2 dan kelas XI IPA 3 di MA Negeri 2 Malang. Variabel bebas = model pembelajaran, variabel terikat = kemampuan berpikir tingkat tinggi ,variabel yang dikontrol= lamanya waktu pembelajaran. Data yang digunakan untuk menganalisis adalah hasil tes kompetensi sistem penyangga. Data diuji dengan uji prasyarat analisis untuk menentukan jenis uji hipotesis yang akan digunakan. Uji prasyarat analisis meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi dan 20 soal test uji kompetensi. Hasil penelitian diantaranya. Data yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa adalah data siswa yang mampu menjawab dengan benar pada soal yang meliputi tiga aspek, yakni aspek analisa (C4), aspek evaluasi (C5), dan aspek mencipta (C6). (1) pembelajaran inkuiri berjalan dengan baik yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan persentase keterlaksanaan pembelajaran dari 63% menjadi 91%; (2) ada perbedaan persentase tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi antara kelas XI IPA 3 (77%) dengan kelas XI IPA 2 (58,38%); (3) ada perbedaan persentase tingkat pemahaman konsep siswa kelas IPA 3 (74%) dan XI IPA 2 (65%). Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan keterampilan berinkuiri pada tiap tahapan inkuiri selama pembelajaran. Dengan adanya peningkatan keterampilan berinkuiri, kemampuan berpikir siswa juga dapat meningkat3. PENGEMBANGAN SOAL UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI POKOK BAHASAN BARISAN DAN DERET BILANGAN DI KELAS IX AKSELERASI SMP XAVERIUS MARIA PALEMBANGPembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang membiasakan pembelajaran berbasis masalah, mengajak siswa untuk selalu menjelaskan dan mempertahankan proses dan hasil kerjanya dari kritik.Mengajar siswa dengan cepat tidak cukup dengan memberikanmasalah matematika biasa. Kegiatan mengajar untuk siswa belajar cepat(siswa akeslerasi) membawa konsekuensi bagi guru untuk memodifikasi kegiatan belajar dari reguler ke Kegiatan yang perlu keterampilan Higher Order Thinking. Oleh karena itu perlu mengembangkan masalah untuk mengukur keterampilan berpikir yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk(1) menghasilkan masalah prototipe valid dan praktis untuk mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi pada materi deret bilangan pada siswa akselerasi Kelas IX (2) melihat efek/ akibat dari masalah untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi pada prestasi siswa dalam Barisan dan deret bilangan yang diujicobakanuntuk siswa kelas akselerasi kelas IX. Penelitian pengembangan ini terdiri dari menganalisis, merancang, mengevaluasi, dan merevisi.Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes tertulis. Uji ini digunakan untuk melihat prestasi siswa dalam bahasan Jumlah barisan dan deret. Semua data dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa Akselerasi Kelas Kelas IX SMP Xaverius Maria Palembang. Total subjek adalah 22 siswa Hasil analisis adalah: (1) masalah prototipe yang dikembangkan telah valid dan praktis. (2) berdasarkan proses pengembangan dapat diperoleh bahwa instrument yang dikembangkan mengandung efek berpotensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi Pada kelas akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang ditunjukkan oleh hasil tes tertulis skor 35.59. Ini berarti bahwa keterampilan berpikir siswa adalah kategori baik. Kesimpulan akhir adalah instrumentyang dikembangkan dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi Taksonomi Bloom dianggap merupakan dasar bagi berpikir tingkat tinggi Pemikiran ini didasarkan bahwa beberapa jenis pembelajaran memerlukan proses kognisi yang lebih daripada yang lain, tetapi memiliki manfaat- manfaat lebih umum. Dalam Taksonomi Bloom sebagai contoh, kemampuan melibatkan analisis, evaluasi dan mengkreasi dianggap berpikir tingkat tinggi(Pohl, 2000).Menurut Krathwohl (2002) dalam A revision of Bloom's Taxonomy: an overview - Theory Into Practice menyatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi meliputi: (1) Menganalisis Menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya Mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebua skenario yang rumit. Mengidentifikasi/merumuskan pertanyaan (2) Mengevaluasi Memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian Menerima atau menolak suatu pernyataan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (3) Mengkreasi Membuat generalisasi suatu ide atau cara pandang terhadap sesuatu Merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah Mengorganisasikan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya . Stein dan Lane(1996) dikutip oleh Tony Thomson dalam Jurnal International Electronic Journal of Mathematics Education (2008) mendefinisikan berpikir tingkat tinggi adalah the use of complex, nonalgorithmic thinking to solve a task in which there is not a predictable, well-rehearsed approach or pathway explicitly suggested by the task, task instruction, or a worked out example .Menurut Stein berpikir tingkat tinggi menggunakan pemikiran yang kompleks, non algorithmic untuk menyelesaikan suatu tugas, ada yang tidak dapat diprediksi, menggunakan pendekatan yang berbeda dengan tugas yang telah ada dan berbeda dengan contoh .Senk,et al (1997) dikutip oleh Tony Thomson dalam Jurnal International Electronic Journal of Mathematics Education (2008) menjelaskan karakteristik berpikir tingkat tinggi sebagai : solving tasks where no algorithm has been taught, where justification or explanation are required, and where more than one solution may be possible Jadi berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas dimana tidak ada algoritma yang telah diajarkan, yang membutuhkan justifikasi atau penjelasan dan mungkin mempunyai lebih dari satu solusi yang mungkin Menurut Resnick (1987) yang dikutip oleh Laurance J. Splitter (1991) dalam Teaching for Higher Order Thinking Skills menjelaskan karakteristik Berpikir Tingkat Tinggi (higher-order thinking) adalah: non algorithmic.That is, the path of action is not fully specified in advance. tends to be complex. The total path is not visible (mentally speaking) from any single vantage point. Complexity not in terms of degree of difficulty, but in terms of needing to be observed from a number of vantage points or perspectives. Here is a crucial feature of communal inquiry: forging, together, a more objective viewpoint than would normally be gained by any one individual; often yields multiple solutions, each with costs and benefits, rather that unique solutions. involves nuanced judgement and interpretation. involves the application of multiple criteria, which sometimes conflict with one another. often involves uncertainty. Not everything that bears on the task at hand is known involves self-regulation of the thinking process. We do not recognise higher-order thinking in an individual when someone else calls the plays at every step.involves imposing meaning, finding structure in apparent disorder. is effortful. There is considerable mental work involved in the kinds of elaborations and judgements required. Dari definisi-definisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa soal untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini mempunyai indikator sebagai berikut: 1. non algorithmic. 2. cenderung kompleks,3. memiliki solusi yang mungkin lebih dari satu (open ended approach), 4. membutuhkan usaha untuk menemukanstruktur dalam ketidakteraturan.Reformasi pendidikan sains di seluruh dunia yang berasal dari pandangan konstruktivis dalam kegiatan belajar mengajar . Reformasi ini secara eksplisit meminta guru untuk mengubah strategi pengajaran mereka denganpergeseran penekanan dari berbasis buku, belajar menghafal tradisional menuju eksplorasi, pembelajaran berbasis penyelidikan yang ada dalam fenomena dunia nyata (Dewan Riset Nasional,1996). Teori konstruktivis mengakui bahwa siswa harus mengalami sendiri pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk membangun pengetahuan mereka sendiri dan mempromosikan kemampuan / keterampilan pemikiran mereka4. Purposely Teaching for the Promotion of Higher-order Thinking Skills: A Case of Critical ThinkingThis longitudinal case-study aimed at examining whether purposely teaching for the promotion of higher order thinking skills enhances students critical thinking (CT), within the framework of science education. Within a pre-, post-, and postpost experimental design, high school students, were divided into three research groups. The experimental group (n=57) consisted of science students who were exposed to teaching strategies designed for enhancing higher order thinking skills. Two other groups: science (n=41) and non-science majors (n=79), were taught traditionally, and acted as control. By using critical thinking assessment instruments, we have found that the experimental group showed a statistically significant improvement on critical thinking skills components and disposition towards critical thinking subscales, such as truth-seeking, open-mindedness, self-confidence, and maturity, compared with the control groups. Our findings suggest that if teachers purposely and persistently practice higher order thinking strategies for example, dealing in class with real-world problems, encouraging open-ended class discussions, and fostering inquiry-oriented experiments, there is a good chance for a consequent development of critical thinking capabilities.(Cobb, 1994; driver, Asoko, Leach, Mortimer, & Scott, 1994). Selama beberapa dekade, promosi pemikiran siswa telah menjadi fokus studi dan program pendidikan (Boddy, Watson, & Aubusson, 2003; de Bono, 1976; Ennis, 1989; Kuhn, 1999; Watts, Jofili, & Bezerra, 1997). Masing-masing program memiliki definisi sendiri tentang berpikir dan / atau keterampilan. Beberapa menggunakan frase(ungkapan) 'keterampilan kognitif' (Leou et al, 2006;. Zoller, 2001) dan lainya mengacu pada 'keterampilan berpikir' (Resnick, 1987; Zohar & Dori, 2003), tetapi mereka(dari beberapa perbedaan istilah) semua membedakan antara keterampilan berpikir tinggi dan keterampilan berpikir rendah. Resnick (1987) menyatakan bahwa keterampilan berpikir mnentang bentuk yang tepat dari definisi; Namun, kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dikenali. Berpikir tingkat tinggi dapat dikonseptualisasikan sebagai non-algoritmik, modus kompleks berpikir yang sering menghasilkan beberapa solusi. Hal ini melibatkan Pemikiran seperti ketidakpastian, penerapan beberapa kriteria, refleksi, dan pengaturan pribadi (Resnick, 1987). Dibingkai dalamistilah yang lebih tradisional, berpikir tingkat tinggi sesuai dengan taksonomi Bloom,Englehart, Furst, Hill, dan Krathwohl (1956), tingkat tumpang tindih di atas pemahaman. Dengan demikian, mengingat informasi akan menjadi contoh dari kemampuan kognitif rendah., sedangkan analisis, evaluasi, dan sintesis dianggap termasuk kedalam kemampuan berpikir tingkat tinggi.. Memang, pengalaman belajar terfokus di sekitaranalisis, evaluasi, dan sintesis, mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah, menyimpulkan, memperkirakan, memprediksi, generalising dan berpikir kreatif (Wilks, 1995), yang semuanya dianggap sebagai keterampilan berpikir yang lebih tinggi. Contoh lain dari keterampilan tersebut meliputi: mengelola pertanyaan, bertindak, pengambilan keputusan, dan berpikir kritis dan sistemik (Dillon, 2002; Zohar & Dori,2003; Zoller, Dori, & Lubezky, 2002). Meskipun ada berbagai cara untuk memahami pemikiran tingkat tinggi (Boddy et al., 2003; Resnick, 1987), dalam penelitian ini kita digambarkan sebagai sebuah 'payung' yang mencakup berbagai bentuk berpikir seperti berpikir kritis, sistemik, dan kreatif. Sehubungan dengan teori konstruktivis dan implementasinya di sekolah, berpikir tingkat tinggi dapat dilihat sebagai strategi - pengaturan meta-tujuan; sedangkan kritis, sistemik, dan berpikir kreatif adalah taktik - kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan diproklamasikan. Mengingat pertimbangan bahwa menyelidiki segala bentuk kemampuan berpikir tingkat tinggi akan terlalu kompleks, kita fokus, di sini, di berpikir kritis siswa, dalam upaya untuk mengidentifikasi apakah dan sejauh mana kemampuan berpikir ini dapat dipromosikan sementara sengaja mengajar untuk pengembangan berpikir tingkat tinggi. Hal ini juga ditetapkan bahwa pendidikan adalah sarana utama kami mempersiapkan siswa kami warga masa depan - untuk hidup aktif dan bertanggung jawab dalam masyarakat modern kita (Zoller, 1999).5. PENGEMBANGAN SOAL HIGHER ORDER THINKING SKILL DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP/MTsHOTS Berdasarkan Taxonomi Bloom, masuk pada tiga level tertinggi yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Dalam soal-soal pembelajaran IPA keterampilan analisis, sintesis, dan evaluasi dapat dikembangkan misalnya dengan menyajikan stimulus dalam bentuk data percobaan, grafik, gambar suatu fenomena atau deskripsi singkat suatu fenomena yang selanjutnya digunakan siswa untuk menjawab soal. Soal-soal untuk pengujian ini dapat dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda maupun uraian. Teknik penulisan soal HOTS secara umum hampir sama dengan teknik penulisan soal-soal biasa tetapi karena peserta didik diuji pada proses analisis, sintesis atau evaluasi, maka pada soal harus ada komponen yang dapat dianalisis, disintesis atau dievaluasi. Komponen ini di dalam soal dikenal dengan istilah stimulus .Selain itu soal-soal IPA juga harus menguji keterampilan proses IPA, karena pendekatan pembelajaran yang dianjurkan adalah pendekatan keterampilan proses. Oleh karena itu kata kerja yang dipilih pada ranah kognitif diutamakan yang sesuai dengan keterampilan proses.

6. A STUDY ON THE EFFECTS OF GUIDED INQUIRY TEACHING METHOD ON STUDENTS ACHIEVEMENT IN LOGICPenelitian ini diperuntukan untuk menemukan tingkat pencapaian dua kelompok sekolah menengah atas kelas 2 dimana mereka berpikir bahwa konsep matematika itu sulit, menggunakan dua metode yang berbeda; metode pengajaran inkuiri terbimbing dan metode pengajaran konvensional. Instrument tes terdiri dari 25-item (20 pilgan dan 5 esai). materi tes matematika meliputi logika aljabar dalam empat jenis laporan logika diberikan pada 197 sampel siswa sebelum dan sesudah pengajaran. Siswa-siswa ini secara acak diambil dari sekolah menengah atas di Jalingo Pendidikan Zona negara Taraba, Nigeria. Studi yang berlangsung selama dua bulan dihasilkan data yang dianalisis menggunakan rata-rata, standar deviasi dan analisis kovarians (ANCOVA) dengan skor pre-test sebagai kovariat pada (0.05) tingkat probabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan logika menggunakan metode pengajaran inkuiri terbimbing memiliki nilai prestasi lebih baik dari siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode pengajaran konvensional. metode pengajaran inquiry terbimbing menurut Massialas (1991) adalah metode mengajar yang memungkinkan siswa untuk bergerak selangkah demi selangkah untuk identifikasi masalah dari mendefinisikan masalah untuk perumusan hipotesis, pengumpulan data, verifikasi hasil, dan generalisasi ke gambaran kesimpulan. Juga Harbor Peters (2000) menunjukkan bahwa pendekatan pengajaran inkuiri terbimbing adalah pengajaran berorientasi techno-ilmiah. Hal Ini menempatkan kemampuan mental yang konstruktif pembelajar dalam semua proses pembelajaran. Dengan kata lain ipembelajar sebagai pusat belajar. efektivitas metode pengajaran inquiry terbimbing juga telah diteliti dalam beberapa aspek ilmu dan matematika. Misalnya Nwagbo (1997) menyelidiki efektivitas dalam pencapaian dan sikap dalam Biologi. Timotius dan Awodi (1997) menyelidiki efektivitas dari pencapaian berprestasi tinggi dan rendah di Biologi sekolah menengah atas. Dagoli (1999) tentang prestasi siswa dalam geometri yang merupakan aspek matematika dan Karumeh (1999) melakukan penyelidikan nya di atas satu sekolah menengah (SSS1) prestasi dalam Aljabar. Dalam studi masing-masing pendekatan pengajaran inkuiri terbimbing dikatakan cocok dan efektif untuk mengajar ditinjau dari dari aspek-aspek ilmu dan matematika. Juga, Obioma (1992) dan Peter Harbor (1992) dalam penelitiang mereka Teachers Assessment of the difficulty levels of the further mathematics and Aspects of further mathematics that present difficulties to graduating senior secondary school students masing-masing, yang mengidentifikasi logika sebagai salah satu konsep sulit dalam matematika yang juga guru menemukan kesulitan untuk mengajar dalam kurikulum matematika lebih lanjut. Oleh karena itu diselidiki efektivitas metode pengajaran inkuiri terbimbing terhadap prestasi siswa dalam logikaOleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki efek dari metode pengajaran inkuiri terbimbing terhadap prestasi siswa dalam logika. Secara khusus, studi dimaksudkan untuk mengetahui apakah siswa yang diajar menggunakan logika metode pengajaran inquiry Terbimbing terdapat perbedaan yang signifikan. Desain kuasi-eksperimental digunakan untuk penelitian ini. Menurut Ali (1996), desain ini banyak digunakan dalam eksperimen kelas di mana kelompok kontrol eksperimen secara alami dikumpulkan dalam satu kelompok sebagai kelas utuh yang mungkin mirip. Dengan demikian, tidak ada jaminan kesetaraan dari kelompok-kelompok ini. Desain kuasi-eksperimental dipilih untuk penelitian ini karena untuk mengontrol ancaman(peringatan) validitas internal dari kelompok awal kesetaraan dan seleksi peneliti bias, karena tidak ada pengacakan dari subyek dalam kelompok-kelompok. Populasi penelitian terdiri 2.720 siswa meliputi dari 17 sekolah menengah atas di Jalingo Zona Pendidikan, di Taraba Negara Nigeria. Sekolah-sekolah menengah atas dipilih karena logika diajarkan dalam silabus di tingkat itu. Pengambilan sampel secara acak berdasarkan lokasi diterapkan dalam penelitian ini. Para siswa dalam kelompok perlakuan (kelas) yang diajarkan logika menggunakan metode pengajaran inkuiri terbimbing sedangkan pada kelompok kontrol diajarkan logika menggunakan metode pengajaran konvensional.Instrumen yang digunakan untuk penelitian ini adalah Uji Logika Prestasi (LAT). Instrumen terdiri dari dua puluh (20) beberapa pertanyaan pilihan dan lima (5) jenis esai pertanyaan, setelah divalidasi dan pengujian sidang/The pre-test dan post-test skor yang diperoleh dari administrasi instrumen LAT dianalisis menggunakan rata-rata, standar deviasi dan analisis kovarians (ANCOVA) dengan dua faktor dan pre-test sebagai kovariat. Alat statistik ini juga menjabat sebagai teknik untuk mengendalikan variabel asing dan kontaminasi eksperimental mata pelajaran.Data yang diperoleh disajikan dalam presentasi hasil di halaman sebelumnya. Atas dasar hasil dihitung disajikan dalam tabel 2 dan 3, metode mengajar merupakan faktor yang signifikan dalam prestasi kognitif siswa dalam logika. Hal Ini menyiratkan bahwa prestasi siswa dalam logika terkait dengan metode pengajaran yang diterapkan dalam menyajikan konsep. Temuan ini konsisten dengan para peneliti dari Nwagbo (1997), Timothy dan Awodi (1997), Dagoli (1999) dan Kurumeh (1999). Para peneliti menyimpulkan dari investigasi mereka bahwa siswa diajarkan menggunakan metode pengajaran inkuiri terbimbing lebih baik daripada yang diajarkan menggunakan masing-masing (ekspositori / kuliah) metode konvensional dalam hal prestasi kognitif. Keberhasilan kelompok eksperimen (yaitu mereka diajarkan menggunakan metode pengajaran inkuiri terbimbing) lebih baik dari kelompok kontrol (yang diajarkan dengan menggunakan metode konvensional) mungkin karena fakta bahwa pada pembelajaran inkuiri terbimbing sebelumnya disediakan dengan berbagai instruksi dan kegiatan. Ini bisa memberi mereka kesempatan untuk mengerjakan proses investigasi belajar (yaitu berpikir kritis dan kemampuan kreatif) melalui interaksi dengan bahan dan anggota kelas. Ini mungkin telah memfasilitasi pemahaman dan retensi dari apa yang mereka pelajari.Prestasi kognitif siswa dalam logika lebih baik bila diajarkan menggunakan metode pengajaran inkuiri terbimbing daripada ketika diajarkan menggunakan metode pengajaran konvensional. Ini berarti bahwa, metode pengajaran inkuiri terbimbing secara signifikan lebih baik daripada metode pengajaran konvensional dalam meningkatkan prestasi siswa kognitif secara keseluruhan dalam logika.7. Process Oriented Guided Inquiry Learning: An Effective Approach in Enhancing Students Academic Performance

Penelitian ini meneliti tingkat kinerja siswa yang menggunakan metode tradisional dan metode POGIL(pembelajaran berproses inkuiri terbimbing) . Hal Ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah adaperbedaan yang signifikan antara siswa yang menggunakan metode pengajaran tradisional dan siswa menggunakan pembelajaran berproses inkuiri terbimbing (POGIL) dalam hal kinerja akademik mereka pada materi partikulat sifat materi yang diukur dalam post-test. Satu kelas utuh (N = 41) dari Lala National High School SSC - III siswa dimanfaatkan dalam penelitian ini yang dibagi dan didistribusikan secara acak Untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Metode tradisional digunakan untuk kelompok kontrol sedangkan metode POGIL dipergunakan untuk kelompok eksperimen. Instrument penilaian untuk materi ini dibagi menjadi Versi penilaian 2 digunakan dalam pengumpulan data yang dikembangkan oleh Yezierski dan Birk (2006). Data yang dikumpulkan secara statistik diperlakukan menggunakan frekuensi dan persentase distribusi. Uji Homogenitas dan Analisis Kovarian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode POGIL telah meningkatkan tingkat siswa kinerja lebih dari metode pengajaran tradisional. Ada juga perbedaan yang signifikan pada kinerja siswa pada kedua kelompok, F (1,38) = 43,02, p