Retret Natal: Menyambut Yesus

14
MENYONGSONG YESUS oleh Martin Suhartono, S.J. Renungan menjelang Natal disampaikan dalam rekoleksi kepada kelompok Katolik awam dari Semarang Bandungan - Jawa Tengah 21-22 Desember 1996

description

In Indonesian language, "To welcome Jesus", notes of a conference given by Martin Suhartono, S.J. to a group of Catholics from Semarang, in preparation for Christmas, Bandungan - Jawa Tengah, 21-22 December 1996.

Transcript of Retret Natal: Menyambut Yesus

Page 1: Retret Natal: Menyambut Yesus

MENYONGSONG

YESUS

oleh

Martin Suhartono, S.J.

Renungan menjelang Natal

disampaikan dalam rekoleksi

kepada kelompok Katolik awam dari Semarang

Bandungan - Jawa Tengah 21-22 Desember 1996

Page 2: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 2

Pengantar: Kita berkumpul di sini karena ada kerinduan bersama. Kita rindu akan suatu pengalaman rohani. Dalam suasana menyambut Natal, tentunya pengalaman rohani yang kita dambakan itu secara lebih khusus berhubungan dengan peringatan kedatangan Allah dalam diri Yesus. Pertanyaan yang dapat kita ajukan pada hati kita adalah: “Apakah fakta bahwa Allah datang dalam diri Yesus itu berarti sesuatu bagi kita?” Saya yakin jawaban kita semua adalah “ya”. Lalu kalau memang demikian, apakah artinya? Secara lebih konkret, kita dapat bertanya: “Apakah arti Natal bagi kita?” Saya ingin mengajak saudara untuk merenungkan peristiwa itu berangkat baik dari pengalaman kita maupun pengalaman umat Israel sebagaimana terungkap dalam Kitab Suci. SESSION I: Pengalaman dasariah: harmoni dan disharmoni Bicara tentang “arti” suatu kejadian bisa membuat kita masuk dalam perputaran pikiran atau arus intelektual yang tidak ada hentinya. Mungkin akan lebih mudah bagi kita kalau mendekati “arti” dari akibatnya pada diri kita, hidup kita, dan perbuatan kita. Misalnya, kalau ada seorang tamu akan datang ke rumah kita. Dan tamu itu sungguh berarti bagi kita, amat sangat penting, maka sudah jauh-jauh hari kita mempersiapkan rumah, kamar tempat ia akan menginap, persediaan makanan kesukaan dia dll. Sebaliknya kalau yang datang itu ya orang yang tak begitu berarti bagi kita, malahan orang yang tidak begitu kita sukai, misalnya “mertua yang cerewet”, maka kita akan berusaha membuat rumah kita tampak seperti neraka, ya biar dia tidak krasan! Jadi kita lihat bahwa berarti tidaknya seseorang atau suatu kejadian itu bagi kita dapat kita lihat dari apakah orang itu atau apakah kejadian itu mengubah hidup kita, diri kita, dan perbuatan kita. Maka pertanyaan yang penting bagi kita adalah: apakah Natal itu mengubah hidup kita? Mungkin orang sudah bisa mulai dari hal-hal kecil dulu. Misalnya, banyak yang sudah sejak beberapa hari yang lalu membeli kartu Natal dan menulisinya serta mengirimkannya ke pelbagai alamat. Bukan hanya orangtua tapi juga para remaja sudah sibuk mencari kartu Natal. Anak-anak sudah mempersiapkan kaset-kaset lagu Natal, sudah mulai minta-minta pada papi mami akan kemana saja selama liburan Natal. Jadi ada suasana kegembiraan, yang tidak ada pada saat-saat yang lain. Dan kegembiraan ini dialami bersama, bukan kegembiraan orang per orang saja. Saat-saat ini, bahkan orang kristen yang sudah lama tak pernah ke gereja akan merasa terdorong untuk datang ke gereja. Maka bisa kita ciptakan istilah Katolik Napas: Katolik Natal Paska, yang harus dibedakan dari Napas Katolik, yang dihirup dan menghidupi orang tiap hari. Maka alangkah sengsaranya kalau pada hari-hari ini orang tinggal sendirian, merana tanpa teman. Kecuali tokoh anak dalam film Home Alone, ia malah menikmati kesadisannya menyiksa dua pencuri yang mencoba masuk ke rumahnya. Tapi meski demikian, ia berhasil juga mendorong seorang ayah untuk berdamai kembali dengan anaknya. Atau dalam episode yang kedua ia menemani seorang wanita gelandangan pencinta burung-burung merpati merayakan Natal dalam rumahnya di atas atap gedung opera di New York. Inilah tema-tema umum Natal: kegembiraan dalam kebersamaan, perdamaian antara pihak-pihak yang berselisih. Namun justru karena itulah, sering kali Natal bukan membawa kegembiraan tapi malah kesedihan. Menurut penyelidikan, di Inggris angka kematian akibat bunuh diri justru melonjak pada saat Natal seperti ini. Justru karena Natal tiba, dan asosiasi Natal dengan kegembiraan dan kebersamaan, maka orang-orang yang hidup sendirian -khususnya orang-orang tua- merasa diri celaka. Entah mungkin anak-anak sudah besar, menikah dan tinggal di tempat yang jauh. Dan orangtua itu sendiri tak punya rumah besar lagi, karena sudah pensiun atau malahan sudah lama menganggur, dan mereka tinggal di apartemen yang sempit dan

Page 3: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 3

kecil cuma dengan kucing mereka yang juga sudah tua dan pikun. Ketika ke luar ke jalan-jalan, lewat di depan toko-toko dengan hiasan Natal yang indah dan meriah, lagu-lagu Natal yang berkumandang terus menerus, mereka malahan tambah merasakan kesepian dan kekosongan hati mereka! Tak ada orang yang perduli lagi kepada nasib mereka. Memang lagu “Silent Night” jadi cocok sekali bagi mereka! Inilah dua kontras pengalaman Natal. Di satu pihak kegembiraan dan kebersamaan sedangkan di lain pihak kesedihan dan kesendirian. Inilah sebenarnya juga pengalaman dasariah kita masing-masing dalam kehidupan kita. Siapakah yang sama sekali tidak pernah merasakan kesendirian? Pada hakekatnya kita masing-masing itu sendiri. Bahkan bila orang sudah punya pasangan hidup. Ada saat-saat ketika kita mungkin cekcok, atau kalau tidak cekcok, paling tidak kita merasa tak dimengerti atau salah dimengerti. Nah ketika itulah kita merasa bahwa “in the last analysis” kita memang sendirian. Semakin kita pernah merasakan kesendirian, semakin kita juga akan menghargai kebersamaan. Kesendirian dan kebersamaan. Itulah sebenarnya juga bayangan orang Israel kuno tentang Tuhan Allah mereka sebagaimana dikisahkan dalam kisah Kejadian. Baru-baru ini seorang anak putri kecil Amerika tanya pada saya lewat email: mengapa Tuhan kok tidak menciptakan semua orang sama, baik-baik, sehingga tak ada permusuhan, perang, pembunuhan dll. Yah, mungkin, saya kenal baik keluarga itu, ia sering mengalami cekcok dengan adik lakinya, atau dengan adik perempuannya, sering ia tanya: “Father Martin, penitensi apa yang baik untuk adik saya yang sering mencubit saya?” Jawaban singkat saya pada anak itu ya demikian: “Tuhan ingin menciptakan manusia, dan bukan robot”. Kalau robot memang mudah diatur, semua sudah diset-up, istilahnya, dan tinggal jalankan perintah manusia. Itu pun kadang imaginasi manusia melayang ke mana-mana sehingga diciptakan novel atau film tentang robot yang berontak melawan manusia, atau robot yang akhirnya bisa punya perasaan dan jatuh cinta. Lalu anak itu tanya lagi, kali ini dia hanya menyuarakan pertanyaan ibunya: “Mami ingin tahu, mengapa Tuhan menciptakan kita? Apakah Tuhan merasa bosan sendirian?” Saya kira ini gambaran yang menarik, kelihatannya sesuai juga dengan gambaran Kisah Kejadian. Digambarkan dalam kitab Kejadian betapa semuanya itu serba gelap dan tanpa bentuk, kacau balau. Dan Allah digambarkan bagai burung melayang-layang di atas permukaan air yang masih tidak karuan juga tempatnya. Dalam kegelapan itu Allah berseru: “Hendaknya ada terang!” Dan terang itu ada. Kegelapan menggambarkan tidak adanya orientasi, orang hanya melayang-layang tanpa arah dan tujuan. Dengan adanya terang, maka orang tahu harus ke mana. Seperti burung yang kebingungan dalam hutan yang gelap akhirnya ketika melihat secercah cahaya di antara daun-daun pepohonan yang rimbun akhirnya terbang ke arah itu untuk bisa ke luar dari kungkungan hutan. Ketiba semuanya serba tak teratur dan tak berbentuk, air mengalir di mana-mana, maka Tuhan membuat cakrawala, horison, hingga ada air yang di atas dan di bawah langit. Ini tentu gambaran kosmologis orang Israel kuno yang sekarang sudah tak berlaku lagi. Kalau orang mengalami betapa hidup serba kacau, maka mungkin penting bagi dia untuk duduk, menyusun strategi dan merencanakan tindakan. Perlu disusun apa tujuan hidupnya dan bagaimana ia mau mencapai hidup itu; sarana-sarana atau langkah-langkah apa yang perlu dilakukannya agar ia bisa hidup bahagia. Ketika semuanya serba kosong, maka Allah mengisi semua itu dengan pepohonan. Ketika pepohonan juga hanya bisa diam tegak berdiri saja, tak bergerak ke mana-mana, maka Allah menciptakan binatang-binatang yang melata dan berkeriapan di atas bumi, burung-burung di udara dan ikan-ikan di dalam laut. Sudah ada isi dan gerak, Allah masih belum puas juga, maka menciptakan manusia. Bukan sembarangan saja, tapi dikatakan bahwa manusia diciptakan seturut gambaran dan citra Allah. Istilah “gambaran dan citra” Allah itu menunjuk pada pengalaman penulis Kitab Kejadian akan hakekat kemanusiaannya. Ia tentu merasa bahwa manusia itu lain daripada

Page 4: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 4

benda, lain daripada tetumbuhan dan bahkan lain daripada binatang. Ada sesuatu yang luhur di dalam dirinya, entah itu kemampuannya untuk berpikir, kemampuannya berbicara dengan jelas dan teratur, selain tentu saja kehendak bebasnya. Ia juga merasakan bahwa semua yang lain itu, benda, tetumbuhan, hewan, semua itu diciptakan dalam rangka untuk menjadikan dia “wakil Allah” bagi semuanya itu. Inilah, boleh dikatakan, puncak karya cipta Allah. Menjadikan sesuatu seperti diriNya sendiri. Mengapa? Banyak orang ingin tahu alasan Allah. Tentu kita tidak tahu dengan tepat. Tapi intuisi orang purba, penulis Kisah Kejadian, menurut saya, menduga dengan tepat: Allah ingin berhubungan secara pribadi dengan manusia. Hal itu digambarkan juga secara tak langsung oleh penulis Kejadian. Digambarkan Allah menciptakan manusia pertama sendirian. Lalu Allah berkata bahwa tidak baik bagi manusia kalau dia tinggal sendirian. Maka diciptakanlah “pendamping yang sepadan”, perhatikan istilah ini. Dibutuhkan pendamping atau partner yang sepadan, bukan yang lebih tinggi dan bukan juga yang lebih rendah dari dia. Secara tidak langsung pula penulis Kitab Kejadian mau mengutarakan bahwa rupanya gagasan Allah tentang perlunya manusia akan seorang partner sepadan itulah yang mendasari pikiran Allah ketika menciptakan manusia. Tidak baiklah bagi Allah kalau ia tinggal sendirian. Maka diciptakanlah juga “pendamping” Allah. Dan bukan sembarang pendamping, tapi pendamping yang berdasarkan “gambar dan citra”Nya sendiri. Pergaulan antara manusia dengan Allah itu juga digambarkan oleh penulis Kejadian dengan gambaran yang indah. Allah berjalan-jalan di Taman Firdaus, makan angin, istilahnya. Dan betapa Allah itu bisa kesepian terbukti ketika ia tidak menemukan manusia dan mulai memanggil-manggil mereka. Kalau orang tidak merasa kehilangan, atau kangen, tentunya ya tidak akan memanggil-manggil. Ibu yang pulang ke rumah atau ayah, dan tidak sadar bahwa anaknya tidak ada di rumah, bahkan ketika hari sudah larut malam, perlulah bertanya: apakah anak-anak mereka ada artinya bagi mereka. Dulu waktu rumah orang masih kecil-kecil, hanya ada satu ruang tidur untuk seluruh keluarga, memang lebih gampang terasa kalau ada anggota keluarga yang kurang. Tapi sekarang, masing-masing punya kamar sendiri, dan tiap kamar dilengkapi dengan TV, Radio, kamar mandi, kulkas sendiri-sendiri, jadi ya ada bahaya orang tidak lagi sadar bahwa ada anggota keluarga yang kurang. Kita tidak tahu persis bagaimana bentuk hubungan manusia dengan Allah. Yang kita miliki memang hanya kisah simbolis yang mengungkapkan kejadian itu. Dalam banyak kebudayaan dapat kita temui kisah sejenis. Mitologi Yunani dan Romawi juga mengisahkan bagaimana dewa/i berhubungan secara erat dengan manusia. Bahkan para dewa/i digambarkan bertingkah laku juga seperti manusia, mereka menikah dan punya anak, perang rebutan pacar, bahkan kadang juga lawan manusia! Dalam kisah-kisah dari Negeri Cina juga demikian. Misalnya “Perjalanan ke Barat” yang populer itu, dengan tokoh Sun Go Kong, si raja kera. Dikisahkan bagaimana ia juga berperang melawan dewa-dewa, dan para dewa kewalahan melawan dia. Dalam cerita wayang sama juga. Para Pendawa dan Kurawa punya pelindung dewa/i yang khusus. Arjuna punya bapa angkat Betara Indra. Bima dilindungi oleh Betara Bayu. Semua kisah menunjukkan betapa harmonis pada dasarnya hubungan antara dunia illahi dan dunia manusiawi. Apakah pengalaman manusia kuno itu persis seperti digambarkan demikian? Kalau mereka pernah mengalami seperti itu, berhubungan langsung dan bicara dengan tokoh-tokoh dunia illahi, mengapa kita tidak? Ada yang menduga bahwa mereka pada jaman dahulu itu punya kemampuan lebih, daya linuwih, yang sudah tak kita miliki lagi. Istilahnya, mata ketiga mereka masih aktif, sehingga bisa melihat kenyataan tertentu yang kita di jaman ini sudah tak mampu melihat lagi. Seperti sekarang juga ada orang-orang tertentu yang sejak lahir sudah bisa melihat atau mendengar hal-hal di dunia gaib, entah berdialog dengan orang yang sudah meninggal atau melihat jin dll, bahkan bisa memperjualbelikannya!

Page 5: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 5

Namun, sayangnya, seperti dilukiskan dalam Kejadian, situasi kerukunan yang serba harmonis itu dengan cepat hilang. Kalau dalam mitologi dewa/i dikisahkan terjadi perebutan tahta, peperangan antara manusia dan dewa, sedangkan dalam Kejadian dikisahkan dengan manusia yang tak puas dengan keadaannya, dan “nglunjak” mau menjadi seperti Allah. Tak penting apakah yang diperbuat. Pendek kata digambarkan secara simbolis bahwa manusia “broke up” dengan Allah. Tidak usah susah-susah atau jauh-jauh mencari contoh. Pengarang Kejadian juga mengambil inspirasi dari kehidupan sehari-hari. Betapa sering harmoni hubungan kita dengan seseorang juga rusak karena hal-hal tertentu yang biasanya berkaitan erat dengan egoisme kita masing-masing. Uraian kali ini akan saya tutup di sini. Sudah kita singgung dua aspek pengalaman dasariah kita: kegembiraan dalam kebersamaan dan kesedihan dalam kesendirian. Saya ingin mengajak anda sekalian nanti untuk merenungkan uraian ini dalam kelompok dan diharapkan dalam kelompok orang dapat membagikan pengalamannya secara bebas sehubungan dengan dua aspek pengalaman kita ini. Cobalah bertanya: Apakah hal-hal yang paling sering menggembirakan hatiku, yang membuat aku merasa dekat dan sungguh menjadi dekat dengan orang lain? Apakah hal-hal yang paling sering menyedihkan hatiku, dan membuat aku merasa jauh dan sungguh menjadi jauh dari orang lain? Tapi supaya jangan ada yang merasa terpaksa, maka tak ada kewajiban untuk ikut dalam kelompok, bebas dan sukarela saja. Kalau ada keluarga yang utuh di sini, silahkan kalau mau bergabung menjadi satu kelompok. Bila ada yang lebih senang merenung sendiri, bisa juga demikian. Cobalah renungkan tiga bab pertama Kejadian dan dilihat pengaruhnya dalam hidup anda. Cobalah gunakan kesempatan yang langka saat ini untuk masuk dalam hati dan pengalaman anda. Saya yakin tak ada yang kemari untuk hanya sekedar piknik, tapi sungguh untuk mencari kedalaman pengalaman.

Page 6: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 6

SESSION II: Usaha manusia mengatasi disharmoni: membangun menara Kita sudah melihat ke kedalaman hati kita. Kita juga sudah melihat pengalaman kita masing-masing dengan orang lain. Yang kita cari pertama-tama adalah pengalaman batin tentang yang menggembirakan dan menyedihkan kita, sekaligus juga yang mendekatkan dan menjauhkan kita dari sesama kita. Sekarang kita lihat apakah yang diusahakan oleh manusia untuk mengatasi ketidakenakan, disharmoni yang dialaminya. Ada seorang imam yang mengalami krisis panggilan dalam hidupnya. Ketika ia menghadap pembesar untuk mengajukan permohonan mengundurkan diri, ia ditanya apa alasannya. Ia terus menjawab: “Saya merasa tidak puas dengan pekerjaan yang diberikan oleh pembesar kepada saya. Saya tak puas dengan pembesar. Saya tak puas dengan komunitas. Saya tak puas dengan umat”. Pembesar lalu berkata: “Kalau begitu, coba tunda dulu keputusanmu untuk keluar, kamu boleh pindah ke tempat kerja yang kamu sukai” Dia tetap tidak mau. Setelah didesak-desak, ternyata ada wanita yang sudah menantikan dia. Ada disharmoni dalam hidupnya, dan ia mencoba mengatasi dengan mempersalahkan orang lain. Hal ini amat sering terjadi dalam hidup kita. Suami yang terlalu sering mengeluh tentang istrinya kepada teman-temannya, padahal ia sendirilah yang sudah lama tidak setia. Istri yang menuduh suaminya berbuat zinah dll, padahal ia sendirilah yang sebenarnya mengalami ketidakpuasan dengan suaminya. Murid-murid yang mempersalahkan guru. Guru yang mempersalahkan murid. Ada problem dalam hidup pribadi, ada disharmoni, dan orang mencari kambing hitam yang bisa dipersalahkan. Hal yang sama kita lihat juga dalam kisah Adam dan Hawa. Adam segera mempersalahkan istrinya. Bahkan ia tampaknya mau mempersalahkan Allah. “Wanita yang kau berikan kepadaku sebagai pendamping ...., ia telah membujuk aku”. Sebetulnya cukup bila ia berkata: “Istriku telah membujuk aku”. Tidak, ia secara tidak langsung ingin menyalahkan Allah juga. Hawa juga demikian, ia mempersalahkan Ular. Orang memang lebih mudah mempersalahkan orang lain daripada mengakui kesalahan sendiri. Bila kecenderungan mempersalahkan orang lain itu sedemikian besar, orang bisa menjadi agresif, bahkan sampai pada kekerasan dan pembunuhan. Seorang wanita mengeluh bahwa suaminya sering main pukul, bahkan juga dalam berhubungan seks. Ketika ditanya sejak kapan itu terjadi. Yah sejak malam pertama. Bulan madu yang tadinya dibayangkan oleh wanita yang malang itu sebagai perwujudan impiannya selama ini ternyata menjadi neraka yang paling mengenaskan. Sejak berhubungan seks yang pertama kali itulah suaminya mulai memukuli wajah istrinya sampai bengap-bengap. Ketika diselidiki lebih dalam lagi, bagaimana realitas hubungan suami istri itu, terbukalah fakta bahwa suami itu inkompeten dalam hal seksual. Istilahnya, sering kalah sebelum bertanding. Ia menderita ejaculatio praecox. Baru sampai pada taraf pegang-pegang saja ia sudah mengeluarkan air mani. Kekecewaan suami terhadap dirinya sendiri itu dilampiaskan dengan memukuli istrinya. Kita lihat bagaimana Kain membunuh Habel. Habel mempersembahkan kepada Allah bagian terbaik dari hewannya: lemak anak sulung kambing domba. Sedang tentang Kain tak disebutkan demikian: hanya dikatakan ia mempersembahkan “sebagian” hasil tanah. Seandainya bagian yang terbaik tentu akan disebut begitu oleh penulis. Untuk menutupi kekurangannya, ia membunuh Habel. Kita bisa melihat hal serupa juga dalam Lamekh, cucu Kain. Bukankah aneh kalau dia sampai membanggakan kekejamannya (membalas tujuh puluh tujuh kali lipat) di muka dua istrinya? Apakah ia secara tidak langsung mengancam mereka juga, agar bersikap baik kepadanya? Reaksi manusia lain berhadapan dengan disharmoni adalah melarikan diri. Seperti Adam dan Hawa yang bersembunyi setelah menyadari bahwa mereka itu bersalah. Seorang anak yang minder, entah karena apa, cenderung menyendiri. Semakin ia diajak turut serta dalam kegiatan, ia akan semakin menarik diri. Orang menarik diri juga karena mengalami depressi. Misal dipersoalkan oleh Kapolri tentang istri Udin yang sakit dan tak bisa ikut

Page 7: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 7

rekonstruksi. Kapolri berkomentar: “Sakit apa sih dia, masak ada sakit sampai orang tak mau menemui orang lain?” Seorang psikolog menulis di koran bahwa komentar itu sungguh menunjukkan bahwa Kapolri tak tahu apa-apa tentang derita orang. Depresi bisa disebabkan oleh macam-macam hal: kehilangan pekerjaan, ditinggalkan sahabat, orangtua, istri, gagal dalam ujian, dll. Pada prinsipnya dikatakan bahwa hal-hal itu membuat orang merasa tak pantas, hilang harga diri, kehilangan pegangan, apalagi untuk tampil di muka umum atau berhubungan dengan orang lain. Orang cenderung masuk ke dalam kamar dan tak keluar-luar lagi. Reaksi ekstrim, orang bisa bunuh diri, menghilangkan diri secara total. Di balik semua itu ada perasaan bahwa ialah satu-satunya yang bersalah, karena itu harus dihukum. Ada reaksi mempersalahkan orang lain, dan menganggap diri sendiri benar, bahkan secara ekstrim terwujud dalam kekerasan dan pembunuhan. Ada reaksi mempersalahkan diri sendiri secara ekstrim, sampai mau menghukum diri sendiri dengan kematian. Ada reaksi lain yang tak langsung kelihatan berkaitan dengan disharmoni, tapi sebenarnya juga merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari disharmoni. Yang saya maksud adalah usaha pengalihan perhatian dari masalah yang sebenarnya. Biasanya orang lari dalam hal materi. Kerap terjadi untuk menutupi kekurangan kasih sayang dari pihak orangtua terhadap anak, orangtua “menyogok” anaknya dengan materi. Yang terjadi kemudian adalah lingkaran setan. Anak sudah terbiasa disogok, terbiasa dengan ungkapan materi orangtua, sehingga ketika suatu saat permintaannya ditolak, ia langsung merasa bahwa ia tidak dikasihi lagi. Sedangkan kalau anak disayangi secara benar, tanpa sogokan macam-macam, anak tak kaget lagi kalau permintaannya ditolak, dan ia tidak akan merasa sengsara, tak disayangi dll. Hal yang sama bisa diamati juga dalam kegiatan masyarakat. Seorang pastor yang terlalu getol memperhatikan sarana material, sarana fisik, umat parokinya seperti gedung pertemuan, gereja yang megah, dll, ada bahaya bahwa ini semua merupakan kamuflase terhadap ketidakmampuannya mengolah kehidupan rohani umat parokinya. Pemerintah yang bersikukuh membangun patung Kristus yang besar dan megah, nomor dua tertinggi di dunia, sebenarnya mau menutupi kekejaman dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Timtim. Juga usaha untuk membangun menara tinggi di kawasan Kemayoran, atau bahkan menara dalam bentuk roket seperti direncanakan seorang Menteri, ada bahaya bahwa semua usaha ini, yang menelan biaya bermilyar-milyar, hanya merupakan usaha mengagungkan diri sendiri (kalau tidak di hadapan orang lain, paling tidak ya di hadapan diri sendiri), untuk menutupi kegagalan di bidang lain, di bidang penyediaan prasarana kesejahteraan rakyat banyak. Proyek-proyek mercusuar yang dulu dikritik sehubungan dengan orde lama, ternyata kini juga mulai mau dilaksanakan oleh orde baru. Dalam lingkup kecil, orangtua juga harus waspada. Tuntutan berlebihan terhadap prestasi anak dalam hal belajar di sekolah, jangan sampai menjadi kriteria keberhasilan tugas orangtua. Seakan orangtua baru berhasil menjadi orangtua kalau anaknya menduduki ranking teratas di sekolah. Lupa bahwa perkembangan pribadi anak bukanlah terbatas pada perkembangan intelektual saja. Para ahli manajemen kini mulai menemukan bahwa selain tingkat kecerdasan otak, diperlukan juga tingkat kecerdasan emosional. Dan banyak orang sukses dalam hidup bukan karena berI(ntelligence)Q tinggi, tapi berE(motion)Q memadai. Banyak masalah dalam hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan tingkat kecerdasan otak belaka. Bahkan kerap terjadi bahwa kematangan emosionallah yang menentukan apakah seseorang itu kemudian sukses atau tidak dalam pekerjaan. Ini baru dalam level kesuksesan pekerjaan, dan belum lagi kalau mau diukur dalam segi kesuksesan pergaulan, atau pun kebahagiaan hidup. Dalam Kisah Kejadian, usaha manusia yang lari dari kekerdilannya, ketidakdewasaannya, dari disharmoni dalam diri dan di antara mereka, digambarkan dalam usaha mereka untuk membangun menara Babel. Semua itu demi “Marilah kita cari nama”. Dan setelah itu? Ternyata menara itu hancur dan mereka semua justru bukan bersatu melainkan terpecah-belah, terceraiberai di seluruh dunia. Penulis menggambarkan

Page 8: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 8

keterceraiberaian itu sebagai hasil perbuatan Allah sendiri. Penulis tentu bicara dari pengalaman pribadi tentang pembangunan dan penghancuran menara itu. Dari peninggalan arkeologis memang dapat diketahui bahwa di Babilonia dulu pernah dibangun menara-menara yang disebut ziggurat. Yang dimaksudkan dengan menara Babel adalah ziggurat yang ada di dekat kuil Dewa Marduk di Babilonia. Bagi orang Yahudi, menara bagi dewa/i itu tentulah merupakan penyembahan berhala. Itulah bila kehidupan kita tidak beres, kita juga tak mau datang kepada Allah yang benar. Kita mendirikan berhala-berhala kita sendiri, yang kita cari dalam pekerjaan kita, sekolah kita, pergaulan kita, dalam kehidupan material maupun rohani kita. Lho, apakah ada berhala dalam kehidupan rohani kita? Oh, banyak sekali. Berhala pada prinsipnya adalah sesuatu yang bukan Allah tapi dianggap sebagai Allah. Apa yang seharusnya nomor dua tapi dinomorsatukan dalam hidup. Bila dalam suatu persekutuan doa, bahasa roh dinomorsatukan, lebih daripada cintakasih, itu juga sudah berarti jatuh dalam berhala. Bila dalam kegiatan kerohanian kita, program kita lebih dipentingkan daripada pribadi-pribadi dengan siapa kita bekerja sama maupun kepada siapa kita melayani, kita juga sudah mempertuhankan program kita. Bila sudah demikian, maka memang hanya kehancuranlah yang menantikan kita. Tak ada akibat lain! Seperti menara Babel yang runtuh dan orang-orangnya terceraiberai ke segala penjuru dunia, dengan bahasa sendiri-sendiri, dan tidak saling mengerti lagi satu sama lain. Dan bila sudah demikian, apakah yang dapat kita perbuat? Dari disharmoni kita bukannya sampai pada harmoni, tapi malah jatuh dalam kehancuran dan kebinasaan. Bisa dikatakan bahwa pengarang kitab Kejadian mau menggambarkan betapa “eksperimen” Allah dengan menciptakan manusia ternyata tak menghasilkan buah seperti yang diharapkan. Dimulai dengan kegagalan pasangan Adam dan Hawa, dilanjutkan dengan kebuasan Kain dan Lamekh. Sampai akhirnya dalam kejahatan umat manusia yang mendatangkan kehancuran akibat air bah. Penulis kuno ini rupanya mengenal kisah-kisah sejenis dalam budaya sekitar Mesopotamia tentang adanya banjir semesta yang menghancurkan umat manusia. Kisah-kisah ini rupanya muncul dari pengalaman konkret manusia purba tentang bencana alam berupa banjir besar. Lepas dari apakah ada intervensi Allah atau tidak, pengenalan kita terhadap umat manusia membuat kita sadar bahwa manusia sendiri mampu mendatangkan kemusnahan dunia; ingat saja bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan bahaya perang nuklir pun tetap mengancam dunia. Marilah kita saling bertanya, apa saja yang biasa kita lakukan berhadapan dengan disharmoni dalam diri kita. Apakah kita terlalu mempersalahkan diri kita sehingga kita cenderung menarik diri dalam depresi tanpa kesudahan? Ataukah kita mempersalahkan orang lain, dan kadang bukan hanya dengan pikiran ataupun perkataan tapi juga dengan perbuatan kekerasan? Ataukah kita mencoba menutupi disharmoni atau kekacauan dalam hidup kita dengan menumpuk materi, membangun tembok-tembok kokoh, membangun menara Babel? Coba dibicarakan juga dalam kelompok anda masing-masing mekanisme apa yang biasa anda ambil menghadapi disharmoni dalam hidup anda!

Page 9: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 9

SESSION 3: Usaha Allah mengatasi disharmoni manusia: perjanjian antar pribadi Penulis kitab Kejadian melalui cerita-cerita itu mencoba menyampaikan pesan bahwa meskipun ulah manusia menimbulkan banyak malapetaka, tapi selalu masih ada harapan untuk kebahagiaan manusia karena Allah turun tangan. Inilah iman penulis purba tentang rahmat dan kasih Allah. Seperti seorang anak yang berbuat salah. Kalau ia memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya, ia tidak akan takut. Ia tahu bahwa apa pun yang diperbuatnya, orangtuanya akan memaafkan dia. Kalaupun ia tahu bahwa biasanya orangtuanya akan menghukum dia, ia rela menerima hukuman itu, karena tahu bahwa hukuman itu diberikan bukan untuk menghancurkan dia, melainkan untuk mendidik dia. Ketika saya Pamong di Loyola, bila ada anak berbuat salah, saya panggil. Pada umumnya, anak itu sendiri yang berkata: “Saya memang yang salah. Saya rela dihukum apa saja!” Tapi ya harus hati-hati. Saya heran ada yang paling senang kalau dihukum mengelapi jendela kaca kelas-kelas. Ternyata ini memberi kesempatan dia untuk “mejeng” dan “ngeceng” cewek yang ditaksirnya. Maka setelah usaha Allah gagal dengan Adam dan Hawa, ada Kain dan Habel. Gagal juga. Ada keturunan lain, eh malah menjadi-jadi. Akhirnya ketika semua punah, masih ada Nuh dan keluarga. Setelah manusia makin banyak, malah mereka membangun menara Babel. Akhirnya mereka tercerai berai. Dan saat itulah Allah memanggil Abraham. Kitab Kejadian tak bicara banyak tentang asal-usul Abraham. Hanya dikatakan mendadak ia disuruh pergi oleh Allah dari tanah-airnya. Namun kitab Yudit memberi sedikit latarbelakang. Diceritakan tentang asal-usul bangsa Yahudi. Nenek moyang mereka tinggal di Mesopotamia tapi menolak menyembah dewa-dewi leluhur mereka dan memilih menyembah Allah. Karena itu mereka diusir pergi dari tanah air mereka (Yud 5:6-8). Penulis Kejadian melihat karya Allah dan penulis Yudit melihat alasan-alasan manusiawi. Yang pokok dan sama adalah bahwa mereka pergi dari tanah air mereka karena iman mereka akan Allah. Dikisahkan bagaimana Abraham pun kadang bersikap seperti tak memiliki iman akan janji Allah. Di negeri asing ia mengakukan Sara istrinya bukan sebagai istri, tapi sebagai adik. Ia kurang percaya pada perlindungan Allah. Tapi meski sikapnya itu membahayakan janji Allah, karena justru karena itu Sara malah diambil menjadi gundik raja setempat, Allah bertindak lagi dengan menghukum raja itu. Dua kali hal ini terjadi. Janji Allah untuk memberi keturunan belum terlaksana, Abraham pun ketakutan kalau-kalau budaknyalah yang akan mewarisi kekayaannya. Ia pun lalu mengambil istri lain yang dapat memberi keturunan: Hagar yang melahirkan Ismael. Akhirnya, setelah beberapa lama, baru Ishak diberikan kepada Abraham. Kita lihat bagaimana Allah tetap setia, meski manusia cenderung tidak setia. Apakah yang dijanjikan Allah? Tanah dan keturunan. Inti sebenarnya adalah penguasaan terhadap ruang dan waktu. Dengan memiliki tanah, orang akan menguasai ruang. Ia tak perlu lagi berpindah-pindah tempat. Bangsa Israel sejak Abraham termasuk bangsa nomade. Orang yang tak memiliki tempat tinggal akan merasakan apa yang dirasakan oleh bangsa Israel saat itu. Dalam keturunan, orang merasa aman, karena meskipun ia mati, namanya akan diteruskan. Penerusan nama ini amat penting bagi orang Israel. Sampai-sampai kalau ada saudara pria yang meninggal tanpa keturunan pria, maka adiknya berwajib menikahi janda kakaknya. Anak lelaki sulung yang lahir akan diberi nama seturut nama kakaknya. Dengan begitu nama kakaknya tidak akan punah dari muka bumi. Bila kita baca kisah Perjanjian Lama, kita akan menemukan bahwa itu adalah kisah tentang kesetiaan Allah dan ketidaksetiaan manusia. Ingat saja saudara-saudara Yusuf, antara lain Yehuda, yang menjual saudaranya ke Mesir. Tapi justru kejahatan itu membawa kebaikan. Ketika ada kelaparan, Yusuflah yang menjadi penolong mereka. Ingat saja Yehuda yang ingkar janji terhadap Tamar menantunya. Dan Tamar dengan tipu muslihat berhasil mendapatkan keturunan dari Yehuda. Ketika mereka tertindas di Mesir, Allah membawa

Page 10: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 10

mereka keluar dengan perantaraan Musa. Ketika ada bahaya tak ada lagi keturunan karena suaminya meninggal, Ruth memperoleh Boaz. Inilah nenek moyang Daud. Dan Daud sendiri? Ia juga tak luput dari kesalahan, mengambil hak orang miskin secara paksa (istri Uriah). Riwayat raja-raja Yehuda dan Israel penuh dengan ketidaksetiaan. Pembuangan ke Babilonia diyakini oleh umat Israel sebagai akibat ketidaksetiaan mereka pada Allah. Tapi meski demikian, Allah tetap menyelamatkan mereka, membawa mereka kembali ke tanah mereka. Kebaikan Allah itu mereka alami bukan karena jasa mereka. Dalam kitab Ulangan dikatakan: “Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati Tuhan terpikat olehmu dan memilih kamu -bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa?- tetapi karena Tuhan mengasihi kamu ...” (Ul 7:7-8). Melalui Nabi Yesaya dikatakan “Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau” (Yes 43:4). Hubungan Allah dan umatnya ini digambarkan secara simbolis sebagai hubungan suami dan istri: “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya” (Hos 2:18). Dan kita semua pernah terpesona oleh Kidung Agung yang mengisahkan hubungan cinta pria dan wanita; mengapa kitab itu dimasukkan dalam kumpulan kitab suci Yahudi? Ya, karena menggambarkan hubungan mereka sendiri dengan Allah. Tapi tentang Israel selalu dikatakan bahwa mereka bertindak bagai “wanita pelacur”, berzinah dengan orang lain, menyembah dewa/i, dan berbalik dari Allah. Jadi seluruh Perjanjian Lama berkisah tentang disharmoni manusia, tapi sekaligus juga usaha Allah menciptakan harmoni. Umat Israel sadar akan itu. Maka mereka sudah sejak berabad-abad menantikan kedatangan Sang Messias, Yang Diurapi Allah, yang menjadi Juruselamat. Messias akan memimpin mereka sebagai wakil Allah, dan memulihkan harmoni mereka. Tapi tentu saja mereka punya bayangan tentang Messias politik, seorang raja seperti Daud, dengan wilayah kerajaan seluruh Palestina. Tanah Israel selalu menjadi medan perebutan. Bangsa-bangsa asing silih berganti menguasai tanah itu dan menjajah dan membuang bangsa Israel. Sampai pada abad pertama, mereka mengalami kekuasaan Kekaisaran Romawi. Harapan mereka, akan datang Sang Messias yang membebaskan mereka dari penjajahan Romawi ini. Banyak juga kaum gerilyawan, revolusioner, seperti kaum Zealot, yang mengangkat senjata melawan Roma. Dalam situasi seperti itulah Yesus muncul. Setelah berabad-abad dinantikan. Penulis surat kepada umat Ibrani berkata: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, ...” (Ibr 1:1-2). Marilah kita merenungkan juga sejarah hidup kita masing-masing. Kita kenangkan pengalaman berbagai dorongan dalam hati kita. Kita alami dorongang yang baik, yang menghasilkan harmoni dalam hubungan kita dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan Allah. Tapi kita juga mengalami dorongan-dorongan dalam diri kita yang mengajak kita menyeleweng dari jalan Allah. Di balik semua itu, marilah kita bertanya: Apakah aku mengalami kehadiran Allah yang menguatkan? Yang menuntun aku kembali kepadaNya? Seperti yang dialami juga oleh umat Israel?

Page 11: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 11

SESSION 4: Pemenuhan perjanjian Allah dan Manusia dalam diri Yesus Kristus Telah dikatakan tadi bahwa pada prinsipnya, janji Allah kepada bangsa Irael adalah janji akan memberi penguasaan ruang (tanah) dan waktu (keturunan). Rupanya ini jugalah yang pertama-tama dilihat oleh para murid dalam diri Yesus. Mereka mengharapkan Messias politik, raja yang membebaskan mereka dari kuasa penjajahan. Kepada Yesus yang bangkit para murid bertanya: “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kis 1:6). Mereka sulit menerima bahwa Yesus punya misi yang berbeda. Sehingga ketika Yesus wafat di salib, para murid lari cerai berai, dan kedua murid dari Emmaus pun pulang ke desanya dengan kecewa, sampai mereka sendiri berjumpa dengan Yesus. Pengalaman perjumpaan dengan Yesus yang bangkit inilah yang membuat para rasul yang tadinya tercerai berai berkumpul kembali. Paulus pun yang tadinya menganiaya umat Kristen, setelah berjumpa dengan Kristus yang bangkit, ia berbalik menjadi rasul Yesus yang paling handal. Paulus mengalami bahwa dalam diri Yesus, umat manusia telah diperdamaikan kembali dengan Allah (2 Kor 5:19). Dalam Yesuslah terpenuhi janji-janji Allah kepada Abraham (Gal 3:14, 16). Maka dalam Yesus orang mengalami pemenuhan janji Allah mengenai ruang dan waktu; Yesus dialami sebagai Bait Allah sendiri (Yoh 2:21) dan sebagai “Alpha dan Omega”, sebagai awal dan akhir waktu (Wahyu 1:8; 21:6; 22:13). Kini akan kita refleksikan Prolog Injil Yohanes (Yoh 1:1-18), di sinilah kita temukan istilah “Dan Sabda telah menjadi daging”. Apakah arti penjelmaan illahi bagi kita? Dari hari ke hari orang merasa makin dihimpit oleh ruang dan waktu. Dunia makin sempit, padahal manusia makin banyak, begitulah komentar umum. Kehendak hati berada di segala tempat, apa daya tubuh terikat, begitulah pengalaman orang per orang. Dari segi usia, memang umur rata-rata manusia meningkat. Tapi makin disadari juga, betapa terbatas waktu hidup manusia, bila dibandingkan dengan cita-cita dan rencana yang ingin diwujudkan dalam hidup. Dapat dikatakan -meski kurang disadari- ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan usaha manusia untuk mengalahkan ruang dan waktu. Orang berlomba untuk dapat hadir di mana-mana dalam seketika. Orang berpacu dengan waktu untuk memperpanjang hidup selama mungkin, bahkan bila dapat, selama-lamanya. Dalam banyak budaya dikenal berbagai cerita yang mengisahkan usaha pencarian cairan mukjizat (elixir) yang dapat membuat orang awet muda tanpa akhir maupun hidup tanpa mati. Keabadian, itulah kerinduan manusia. Kadang tak disadari oleh manusia bahwa keabadian bukanlah hakekat insani, melainkan atribut illahi. Di balik semua usaha itu manusia mendambakan kesatuan dengan Allah, ciptaan ingin kembali ke penciptanya, makhluk ke khaliknya. Tradisi Kejawen menggambarkan tujuan akhir ulah batin manusia itu dengan gambaran keris yang bersatu dengan sarungnya, curiga manjing warangka. Di Eropa terkenal seorang tokoh legendaris Abad Pertengahan yang dianggap prototipe manusia hasil Abad Pencerahan, yaitu Doktor Faust. Goethe menggambarkan Faust sebagai ilmuwan serba bisa yang memiliki obsesi akan hidup abadi, sebagai insan yang berusaha menggapai keillahian dalam wujud kuasa dan pengetahuan yang melewati keterbatasan eksistensi manusiawi. Pikiran dan kerinduan Faust menerawang jauh ke masa lalu, bahkan saat sebelum ia sendiri dan segala sesuatu itu ada. Dari manakah semua ini berasal? Sebagai filsuf, Faust akrab dengan pemikiran Yunani; sebagai teolog ia mendalami kekristenan. Ada istilah Yunani yang merangkum asal mula, dasar, dan tujuan segala sesuatu, yaitu logos. Logos memiliki banyak makna; bisa berarti “kata”, “akal-budi”, dan “rencana”. Bagi para pemikir Yunani, yang berada di balik alam semesta adalah logos, yaitu akal-budi illahi yang mengatur dan memberi kosmos itu bentuk dan makna. Konsep yang didefinisikan oleh istilah itu terdapat pula pada sistem filsafat dan teologi India, Mesir dan Persia; dalam tradisi Yahudi konsep sejenis diwakili oleh istilah hokmah (hikmat). Pada akhir abad pertama Masehi pun, konsep serupa menjadi sentral dalam tulisan dan ajaran Kristiani.

Page 12: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 12

Dalam tradisi Kristiani, logos merujuk pada peranan Yesus Kristus sebagai prinsip illahi, yang aktif dalam penciptaan dan pembentukan terus menerus alam semesta maupun dalam mewujudkan rencana penyelamatan illahi terhadap umat manusia. Namun bagaimana mungkin sesuatu yang illahi dapat hadir dalam yang insani? Tampaknya bukan problem spekulatif inilah yang menjadi keprihatinan pemikiran Kristiani. Yang lebih menjadi pusat perhatian adalah problem praktis, yaitu -sebagaimana dirindukan umat manusia sepanjang masa- bagaimanakah yang insani dapat bersatu dengan yang illahi. Dan dialami seturut terang pewahyuan yang diimani oleh umat Kristiani bahwa yang insani tak mungkin bersatu dengan yang illahi bila tidak lebih dahulu yang illahi menyatukan diri dalam yang insani. Penjelmaan yang illahi, yang dirayakan dalam Natal, diimani oleh umat Kristiani sebagai inisiatif Allah dalam menyatukan manusia dengan diri-Nya sendiri. Masalah penyelamatan manusia (soteriologi) inilah yang berada di balik paham Kristiani tentang inkarnasi yang illahi dalam diri manusia Yesus dari Nazareth. Tanpa gerakan illahi untuk mengubah yang insani, usaha manusia untuk mencapai yang illahi berdasarkan kekuatannya sendiri, tidak akan berhasil. Bagaikan Faust, yang menjual jiwa kepada Setan sebagai ganti kuasa dan pengetahuan tanpa batas, akhirnya menjumpai pula keabadian, namun dalam bentuk kutuk neraka. Paham Kristiani tentang inkarnasi paling jelas dapat dilihat dalam Injil Yohanes, meski tentu saja bukan dalam bentuk pemikiran spekulatif yang penuh dengan argumen teoretis untuk memuaskan minat intelektual manusia, melainkan dalam bentuk narratif yang penuh dengan ungkapan metaforis untuk membangkitkan iman dalam diri para pembaca Injil. Penulis Injil Yohanes berusaha menerobos segala ruang dan waktu dengan mengawali injilnya demikian: “Pada awal mula logos itu ada,” umum diterjemahkan, “Pada awal mula Firman itu ada”. Dalam merenungkan asal-muasal alam semesta, Faust sampai pada kalimat Injil Yohanes tersebut. Ketika ia harus memilih padanan kata untuk logos Yunani yang multi-makna itu, ia kurang puas bila menerjemahkan istilah itu dengan “kata” maupun “makna”. Menurut Faust, “kata” sering hanya kosong belaka. “Makna” kerap tak terwujud. Sebenarnya ia pun tergoda untuk mengalihbahasakan logos dengan “kuasa”. Namun mendasarkan diri pada Yohanes, yang menegaskan bahwa Allah adalah Cinta, Faust memahami kuasa asali itu bukan sebagai sembarang kuasa, melainkan sebagai energi kreatif Cinta Illahi yang selalu bermuara dalam karya nyata. Akhirnya, ia menerjemahkan logos dengan “tindakan”: “Pada awal mula Tindakan itu ada.” Hanya tindakanlah yang ada pada awal mula. Sejak itulah segala sesuatu ikut berada, hidup dan bergerak, tiada berhenti turut serta dalam kegiatan Energi Cinta Illahi itu. Mungkin karena sepercik iman inilah maka meski legenda asli mengisahkan Faust yang jahat masuk dalam kebinasaan abadi, Goethe merehabilitasi Faust menjadi pahlawan suatu tragedi yang akhirnya tak lepas dari kuasa pengampunan dan penebusan illahi juga. Ia dianggap memiliki kenekadan untuk mengembangkan percikan illahi dalam dirinya. Namun orang tak boleh terjebak dalam kebenaran sendiri, seakan dengan menjadi pengikut Yesus, orang sudah pasti memperoleh Allah. Peringatan Yesus kepada orang Farisi berlaku juga di sini. Orang Farisi merasa yakin telah memperoleh Allah, atau bahkan merasa dapat memanipulasi Allah, karena mereka telah menaati hukum Taurat. Paham Injil Yohanes tentang logos justru menolak kesombongan manusia yang berpretensi mau menguasai Allah. Kehadiran Yang Ada selalu mengelak dari tangkapan manusia yang mencoba menguasai-Nya. Allah dihayati sebagai mengungkapkan diri, namun tidak secara langsung, melainkan dalam dan melalui Logos Illahi-Nya. Logos Illahi inilah yang berperan dalam penciptaan. Allah mencipta dengan Logos-Nya; Allah berfirman, maka terjadilah demikian, atau dalam Islam dikenal ungkapan “kun fayyakun”. Logos Illahi tidaklah melayang-layang tanpa bentuk, bagai kata yang terucap secara lisan, yang bisa “ditelan” kembali bila keadaan memaksa. Menurut Nabi Yesaya, firman

Page 13: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 13

yang keluar dari mulut Allah tidak akan kembali dengan sia-sia sebelum berhasil melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya (Yes 55:11). Logos Illahi “dari sononya” bagaikan terdorong untuk mengambil bentuk yang bisa dilihat dan diraba. Maka ungkapan metaforis yang dipakai bagi Logos Illahi bukanlah suara, yang bisa didengar, melainkan cahaya, yang bisa dilihat. Sebab itu Logos Illahi ataupun Nur Illahi itu akhirnya menjelma dalam daging, mengambil bentuk dalam diri manusia konkret, yang menurut iman Kristiani adalah Yesus dari Nazareth. “Nur sejati, yang menerangi setiap insan, datang ke dalam dunia”, “Logos telah menjadi daging dan tinggal di antara kita,” demikian menurut Injil Yohanes. Energi Cinta Illahi, yang terdengar dalam Logos dan terlihat dalam Nur, akhirnya tidak juga dialami secara langsung, melainkan hanya melalui transformasinya dalam daging, dalam materi. Maka bagi umat Kristiani, manusia Yesus bukanlah sekedar manusia dalam segala kemateriannya, melainkan tanda yang memancarkan Kemuliaan Illahi. Atau bila memakai metafor hubungan bapa dan putra, yang dipancarkan Yesus adalah bagaikan kemuliaan seorang putra tunggal yang secara penuh mewujudkan gambaran bapanya (Yoh 1:14). Bapa hadir di dalam putra; barangsiapa melihat putra, ia melihat bapa (Yoh 14:9). Dogma-dogma Gereja tentang Yesus adalah usaha terus menerus untuk menjaga pengertian iman Kristiani tentang keutuhan kehadiran baik yang illahi maupun yang insani dalam diri Yesus. Namun bapa hadir dalam putra justru dalam ketidakhadirannya, karena bapa tidak sama dengan putra; bapa lebih besar daripada putra (Yoh 14:28). Dari dirinya sendiri, putra tidak berarti apa-apa tanpa bapa (Yoh 5:19, 30). Segala sesuatu diterimanya dari tangan bapa (Yoh 17:7). Terputus dari bapa, putra menghilang dalam tiada. Bagaikan kata yang terputus dari sang pembicara, atau cahaya yang terpisah dari sumber cahaya. Maka perlulah putra pergi kepada bapa (Yoh 16:7), kata ke pembicaranya, cahaya ke sumbernya. Maka perjalanan hidup manusia Yesus dari Nazareth tak bisa tidak melewati proses peniadaan diri, yang secara radikal dialami di kayu salib. Tanda dapat menghadirkan yang ditandakan bila tanda itu sendiri meniadakan diri. Namun justru dalam kemusnahan kemateriannya itu, daging terpulang kembali kepada Logos dan Nur, untuk menyatu kembali dengan Energi Primordial Sang Maha Cinta. Bagi Yesus dari Nazareth, kematian bukanlah akhir segalanya karena dari kematianlah lahir kebangkitan dan kenaikan ke sumber asali. Paham Islam tentang Nabi Isa a.s. menolak kematian sebagai nasib terakhir bagi satu-satunya manusia (selain Nabi Adam a.s.) yang diciptakan hanya dari logos (=firman) Allah ini, tanpa perantaraan persatuan badani pria dan wanita. Demikianlah, dari yang illahi ia datang dalam yang insani, dari yang insani ia kembali ke yang illahi. Tanda menjadi tanda bila menunjuk pada yang ditandakan. Tanda sekaligus menghadirkan dan menidakhadirkan yang ditandakan. Berhenti pada tanda belaka, orang akan membeku dalam kekosongan. Maka orang tidak diharapkan hanya berhenti pada penjelmaan Logos dan Nur dalam daging, melainkan agar di dalam serta melalui dia, orang sampai pada Energi Cinta itu sendiri. Dengan memakai metafor pengadilan dan pewarisan, dapat dikatakan bahwa mereka yang mengakui dan menerima kesaksian penjelmaan Logos dan Nur dalam daging itu akan turut ambil bagian pula dalam kuasa dan warisan hak-hak keputraannya, karena pada hakekatnya, setiap insan “dilahirkan bukan dari darah ataupun daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang pria, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Pada akhirnya, setiap insan diharapkan kembali ke asal-usul asalinya dalam haribaan Yang Illahi. Itulah perjalanan Logos dan Nur Illahi, bagaikan putra yang lahir dari pangkuan bapa turun ke dalam palungan ternak, dan dari palungan ternak naik ke kayu salib untuk kemudian kembali ke sisi bapa. Itulah pula pada hakekatnya makna perjalanan setiap insan menurut iman Kristiani: dari Natal ke Paska. Singkatnya, Natal tidak berarti apa-apa tanpa Paska. Tidak mengherankan bahwa sejak semula, jemaat Kristiani selalu merayakan Paska sebagai

Page 14: Retret Natal: Menyambut Yesus

Natalan/Martin/hal. 14

pusat kehidupan iman mereka, sedangkan perayaan Natal baru menjadi populer sejak abad ketiga Masehi. Pada akhirnya, tentang Logos Illahi yang telah “turun” dan “naik” itu tertinggallah kesaksian dalam logoi (kata-kata) tertulis para Injil. Meski demikian, lewat kata-kata tertulis itu diharapkan oleh penulis Injil Yohanes, orang dapat “mengenal kebenaran itu” dan dengan demikian, “kebenaran itu akan memerdekakannya” (Yoh 8:32). Mahatma Gandhi amat kagum kepada tokoh Yesus. Tapi ketika ia ditanya mengapa tidak menjadi Kristen, ia menjawab: “Ia tidak melihat para pengikut Yesus hidup dan bertindak seperti Yesus”. Dan Gandhi sendiri dengan konsekuen mencoba menerapkan ajaran-ajaran Yesus: ajaran tentang kesederhanaan hidup, tentang pola non-kekerasan, tentang pola keadilan dan kebenaran. Bila Gandhi saja berani bertindak demikian, bagaimana dengan kita? Apakah akibatnya bagi kita memilih Yesus? Apakah yang dapat kita petik dari peristiwa Natal ini? Allah yang hadir dalam bayi kecil tak berdaya? Ketika terjadi peristiwa Situbondo, Rm. Mangun berkata bahwa kita tak boleh buru-buru menyalahkan umat Islam. Kita harus refleksi, apakah kita sendiri bukannya yang memicu perbedaan sosial-ekonomi yang mengakibatkan kecemburuan sosial? Para uskup bermawasdiri: Mungkin kita harus merenungkan lagi apa artinya mengikuti Yesus dalam kesederhanaan. Yesus yang kita ikuti itu adalah Yesus yang lahir di palungan kayu dan wafat di atas kayu salib! Akhirnya, selamat Natal sambil menantikan Paska mendatang!