Resus 1

14
EFEK KEMOTERAPI PADA SISTEM SARAF Pada Sistem Saraf Pusat Beberapa obat sitostatika dapat berbahaya bagi system saraf pusat setelah pemberiannya secara sistemik (intravena, oral) maupun topical (intratekal, intraventrikular, intraarterial). Otak dapat berada pada resiko tertentu dari efek samping obat yang dapat muncul sebagai akut, subakut dan kronik ensefalopati. Kejang, gejala neurologic fokal seperti afasia, atau hemiparesis, dan kebutaan kortikal dapat muncul sebagai gejala terpisah. Gejala-gejala ini dapat timbul segera setelah pemberian kemoterapi maupun dapat tertunda (delay). Meningitis aseptik merupakan komplikasi tipikal dari terapi intratekal; obat-obat tertentu dapat menyebabkan ataksia serebelar, sering akibat dosis kumulatif tertentu yang berlebihan. Toksisitas terhadap korda spinalis jarang namun cukup berat dan sebagian besar merupakan akibat dari obat-obat yang diberikan secara intratekal. Komplikasi neurotoksikdari kemoterapi seringkali muncul dengan gejala khas dan perlu dibedakan dari gejala akibat lain (metastasis), infeksi ataupun metabolic yang dapat menyebabkan disfugsi SSP pada onkologi. Kesembuhan total maupun partial dapat dicapai, namun kerusakan yang irreversible atau bahkan kematian juga dapat terjadi. Karena terapi yang terukur masih terbatas, pencegahan adalah penting dan memerlukan pengetahuan mengenai efek neurotoksik pada pasien dengan resiko. Penghentian kemoterapi seringkali menjadi cara satu-satunya untuk mencegah

description

efek kemoterapi pada sistem saraf

Transcript of Resus 1

Page 1: Resus 1

EFEK KEMOTERAPI PADA SISTEM SARAF

Pada Sistem Saraf Pusat

Beberapa obat sitostatika dapat berbahaya bagi system saraf pusat setelah

pemberiannya secara sistemik (intravena, oral) maupun topical (intratekal, intraventrikular,

intraarterial). Otak dapat berada pada resiko tertentu dari efek samping obat yang dapat

muncul sebagai akut, subakut dan kronik ensefalopati. Kejang, gejala neurologic fokal seperti

afasia, atau hemiparesis, dan kebutaan kortikal dapat muncul sebagai gejala terpisah. Gejala-

gejala ini dapat timbul segera setelah pemberian kemoterapi maupun dapat tertunda (delay).

Meningitis aseptik merupakan komplikasi tipikal dari terapi intratekal; obat-obat tertentu dapat

menyebabkan ataksia serebelar, sering akibat dosis kumulatif tertentu yang berlebihan.

Toksisitas terhadap korda spinalis jarang namun cukup berat dan sebagian besar merupakan

akibat dari obat-obat yang diberikan secara intratekal.

Komplikasi neurotoksikdari kemoterapi seringkali muncul dengan gejala khas dan perlu

dibedakan dari gejala akibat lain (metastasis), infeksi ataupun metabolic yang dapat

menyebabkan disfugsi SSP pada onkologi. Kesembuhan total maupun partial dapat dicapai,

namun kerusakan yang irreversible atau bahkan kematian juga dapat terjadi. Karena terapi

yang terukur masih terbatas, pencegahan adalah penting dan memerlukan pengetahuan

mengenai efek neurotoksik pada pasien dengan resiko. Penghentian kemoterapi seringkali

menjadi cara satu-satunya untuk mencegah toksisitas SSP yang lebih jauh. Toksisitas SSP

bergantung pada pilihan obat, dosis tunggal atau kumulatif, durasi treatment, dan ada tidaknya

resiko tambahan, seperti morbiditas neurologic sebelumnya. Sitostatik yang umumnya

berhubungan dengan toksisitas SSP adalah metotrexate (MTX), cytarabine (Ara-C) dan

ifosfamide. Tabel 1 menunjukkan komplikasi neurotoksik yang diinduksi kemoterapi dan agen

penyebabnya.

Page 2: Resus 1

1. Ensefalopati Akut

Ensefalopati akut berkembang dalam beberapa jam hingga hari setelah kemoterapi dan

muncul dalam bentuk disorientasi, confusion, agitasi, hingga koma. Bangkitan mioklonik,

kejang, dan gejala halusinasi dapat timbul. Gangguan ini harus dibedakan dari status

epilepsy non-konvulsif, ensefalitis virus, gangguan metabolic, sindroma paraneoplastik,

seperti ensefalitis limbic, dan lain-lain.

Page 3: Resus 1

Methotrexate

Ensefalopati akut seringkali self-limiting, namun dapat juga menjadi fatal.

Leukoensefalopati yang diinduksi MTX dan demyelinasi berhubungan dengan

polimorfisme fungsional pada enzim-enzim yang mempengaruhi jalur metionin-

homosistein sehingga S-adenosilmetionin (SAM), suatu donor methyl-group pada

SSP, berkurang dan level homosistein (toksik) meningkat.

Sejak substitusi SAM oral dapat mengembalikan myelinasi SSP pada pasien

dengan defisiensi SAM, SAM dan derivate folat menjadi kandidat pilihan dalam

terapi komplikasi neurotoksisitas yang diinduksi MTX.

Ifosfamide

Ifosfamid adalah obat sitostatika lain yang diketahui secara potensial dapat

menginduksi ensefalopati akut, yang dapat menjadi berat dan menyebabkan

kematian. Pada 10-15% pasien yang diterapi dengan dosis >1 g/m2, disorientasi,

letargi, dan koma dapat terjadi. Pernah dilaporkan status epilepsy non-konvulsif

yang disebabkan oleh ifosfamide. Patogenesis dari toksisitas ifosfamide belum

sepenuhnya diketahui, bagaimanapun juga ifosfamide dan metabolitnya mungkin

berinteraksi dengan fungsi tiamin dan bentuk terfosforilasinya, TPP dan TTP, dimana

level vitamin B1 sendiri tidak turun. Oleh karenanya, profilaksis dengan tiamin,

100mg intravena tiap 4-6 jam, telah diusulkan sebagai pencegahan dari ensefalopati

yang diinduksi ifosfamide. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

ensefalopati akut yang diinduksi ifosfamid adalah serum albumin yang turun.

2. Ensefalopati Subakut

Ensefalopati subakut jarang terjadi dan berkembang beberapa hari hingga

beberapa minggu setelah pemberian MTX (iv atau intratekal) atau pemberian cis-

platinum, muncul sebagai confusion dengan onset mendadak, kejang, tanda fokal, dan

gejala seperti afasia dan hemiparesis. Anak-anak terutama lebih sering terkena, namun

satu kasus pada dewasa pernah juga dilaporkan. Mekanisme neurotoksisitas belum

Page 4: Resus 1

diketahui dengan baik: sinyal hiperintens yang simetris pada Diffusion-Weighted

Imaging (DWI) dan penurunan Apparent Diffusion Coefficient (ADC) pada Magnetic

Resonance Imaging (MRI), merupakan gejala klinis pada pasien. Dengan tidak

nampaknya pembuluh darah atau perubahan perfusi, temuan MRI tersebut

diinterpretasikan sebagai oedem sitotoksik pada substansia alba namun juga pada

korteks serebral. Gejala-gejalanya dapat sembuh total, walau bagaimanapun resiko

kematian masih diteliti.

3. Ensefalopati Kronik

Ensefalopati kronik biasanya mulai berkembang dengan masa laten beberapa

bulan hingga tahun, sebagian besar irreversible dan beberapa bahkan progresif.

Ensefalopati kronik yang diinduksi MTX telah diketahui dengan baik, bagaimanapun,

obat-obat sitostatika lain atau polikemoterapi seperti CHOP (Cyclophosphamide,

doxorubicin, vincristin, prednisolone) dapat juga menyebabkan komplikasi tersebut

meskipun lebih jarang. Faktor resiko utama perkembangan ensefalopati kronik yang

diinduksi MTX adalah iradiasi (penyinaran) seluruh otak. Spektrum klinis ensefalopati

kronik memiliki rentang dari gangguan memori, disorientasi, kurangnya inisiatif, dan

apati hingga demensia. Terapi yang efisien belum diketahui.

Pada pemeriksaan radiologi menunjukkan penyakit pada substansia alba, seperti

leukoensefalopati dan atrofi otak progresif ( Gambar 1). Sebagai catatan, meskipun

begitu, perubahan substansia alba yng berkepanjangan secara klinis dapat asimtomatik.

Telah dilaporkan kemoterapi dosis tinggi dengan haematopoetic stem cell pada pasien

dengan kanker payudara beberapa diantaranya diikuti dengan gangguan memori.

Page 5: Resus 1

4. Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome(PRES)

PRES secara klinis berupa nyeri kepala, gangguan penglihatan, seperti defisit

lapang pandang dan buta kortikal, confusion, kejang bahkan koma. PRES dihubungkan

dengan hipertensi, eklamsia, namun juga riwayat pemberian imunosupresan, antibody

dan zat lain. PRES pernah dilaporkan setelah pemberian kemoterapi dengan atau tanpa

ketidakseimbangan elektrolit: MRI T2-weight menunjukkan lesi parieto-occipital

hiperintens, melibatkan substansia alba dan grisea. Sinyal abnormalitas sebanding

dengan sindrom klinis, biasanya sembuh dalam hitungan hari setelah penghentian

kemoterapi dan terapi simtomatik kejang dan ketidakseimbangan elektrolit.

5. Disfungsi Serebelar

Disfungsi serebelar dengan disartria, nistagmus, dan ataksia merupakan

komplikasi tipikal dari cytarabin, umumnya pada dosis >36 g/m2, meskipun demikian,

pernah dilaporkan satu kasus mengenai komplikasi ini pada dosis yang lebih rendah.

Faktor resiko dari berkembangnya disfungsi serebelar adalah usia tua, peningkatan

serum creatinin, dan alkalin fosfatase. Penyakit ini jarang disertai dengan akut

Page 6: Resus 1

ensefalopati, yang akan membaik setelah penghentian terapi. Sindrom serebelar yang

serupa mungkin ditemui setelah terapi dengan 5-fluorouracil dosis tinggi, dimana masih

reversible setelah terapi dihentikan, namun akan muncul kembali bila terpapar kembali

dengan obat tersebut.

6. Infark Serebral

Kasus-kasus mengenai iskemia serebral setelah pemberian MTX, derivate

platinum, dan cyclosporine pernah dilaporkan, terutama pada anak-anak yang diberikan

terapi MTX untuk leukemia akut. Pasien yang mendapat dosis tinggi dapat mengalami

mikroangiopati dengan kalsifikasi pada dinding pembuluh darah. Mikroangiopati

trombotik pernah dilaporkan setelah paparan terhadap mitomycine C, gemcitabine dan

cyclosporine.

7. Myelopati

Myelopati akut dengan para atau tetraparesis ascenden jarang namun

merupakan komplikasi yang buruk pada terapi intratekal dengan MTX, Ara-C atau

kombinasinya (“tripeltherapy” dengan MTX, Ara-C dan steroid). Penyakit ini dapat

melibatkan batang otak, seperti terlihat pada Gambar 2, dapat memicu munculnya

syndrome locked-in atau bahkan kematian karena ensefalomyelitis akut. Faktor resiko

yang mungkin antara lain penyakit meningeal, irradiasi pada SSP, anak-anak amupun

orang tua. Temuan patologik berupa necrotizing myelopathy; terapi yang efisien belum

ditemukan. Meskipun demikian, baru-baru ini dilaporkan seorang wanita 54 tahun

dengan myelopati berat yang diinduksi MTX menunjukkan remisi parsial dari gejala

penyakit tersebut 3 hari setelah mendapatkan substitusi secara kontinu dasi S-

adenosymethionine (SAM) 3x200 mg/die, asam folat 4x20 mgdie, cyanocobalamine 100

g/die dan methionine 5 g/die (intravena selama satu minggu, kemudian secara oral).

Page 7: Resus 1

Komplikasi neurotoksik lain mengenai kemoterapi dapat dilihat pada table 2. Buta

kortikal dapat terjadi setelah pemberian cis-platinum atau fludarabin. Kejang dapat timbul

setelah pemberian beberapa obat, terutama pemberian MTX secara sistemik maupun

intratekal. Meningitis aseptic dan nyeri kepala diderita sebanyak 10% pasien yang menerima

kemoterapi intratekal.

Diagnosis Banding

Diagnosis neurotoksisitas yang berhubungan dengan kemoterapi hanya dapat

ditegakkan apabila penyebab neurologic lain karena disfungsi neurologic telah disingkirkan.

Penyakit metastase parenkimatosa dan atau leptomeningeal harus ditegakkan dengan analisa

menggunakan MRI dan CSF. Bangkitan epilepsy dapat muncul sebagai status epilepticus non-

konvulsif dimana hanya dapat didignosis dengan EEG. Hal ini penting apabila terdapat dugaan

ensefalopati akut yang diinduksi ifosfamide, sebagaimana ifosfamide dapat menyebabkan

status non-konvulsif, yang membutuhkan terapi yang sesuai. Pemeriksaan kimia klinis rutin

termasuk elektrolit dan penilaian metabolic penting selama pasien mendapatkan terapi untuk

tumor ganas, komplikasi infeksi, ketidakseimbangan elektrolit, gangguan osmolaritas, kegagalan

hati maupun ginjal, defisiensi thiamin, gangguan endokrin dan sindroma lisis tumor.

Page 8: Resus 1

Pada Sistem Saraf Perifer

Sistem saraf tubuh dibagi menjadi dua ssistem utaam; system saraf pusat dan system

saraf perifer. Sistem saraf perifer dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu system saraf somatic dan

system saraf otonom. Sistem saraf somatic terdiri atas serabut saraf perifer yang

menghantarkan informasi sensorik ke system saraf pusat dan serabut saraf motorik yang

menhantarkan sinyal ke otot skeletal. Sistem saraf otonom mengendalikan otot polos visera

(organ interna) dan kelenjar.

Neuropati perifer diakibatkan dari beberapa tipe kerusakan pada saraf perifef. Obat-

obat kemoterapi tertentu seperti vinca alkaloid (vincristin), cisplatin, paclitaxel, dan

podophyllotoxins (etoposide dan tenoposide). Obat lain yang juga digunakan untuk terapi

kanker seperti talidomid dan interferon juga dapat meneybabkan neuropati perifer.

Resiko terbesar tiap-tiap individu berhubungan dengan kemoterapi adalah orang

dengan riwayat rneuropati perifer sebelumnya, pada kondisi seperti:

Diabetes

Alkoholism

Malnutrisi berat

Riwayat kemoterapi

Gejala neuropati perifer:

Mati rasa, kesemutan pada tanagn maupun kaki

Rasa terbakar/panas pada tangan maupun kaki

Mati rasa di sekitar bibir

Konstipasi

Berkurangnya sensasi terhadap sentuhan

Kehilangan sensai posisional

Kelemahan dank ram pada tungkai atau nyeri pada tangan maupun kaki.

Kesulitan mengambil benda atau mengancingkan baju

Page 9: Resus 1

Area yang terkena:

Jari tangan dan kaki (paling sering)

Bergerak ascenden secara bertahap seperti pada tipe stocking-glove

Organ pencernaan (usus) menyebabkan atau memperburuk konstipasi

Dapat mengarah kepada kondisi seperti ileus

Lain-lain: wajah, punggung, dada

Meskipun beberapa gejala neuropati dapat muncul secara mendadak, perubahan

sensasi umumnya bertahap dan dapat memburuk dengan tambahan dosis dari masing-masing

kemoterapi. Biasanya akan semakin parah segera setelah kemoterapi, namun cenderung

berkurang sebelum terapi selanjutnya. Gejala muncul berkisar 3-5 bulan setelah dosis terakhir

terapi diberikan. Sensasi abnormal dapat benar-benar menghilang, atau berkurang sebagian.

Kalaupun keluhan neuropati dapat berkurang, ini merupakan proses yang bertahap,

yang membutuhkan waktu beberapa bulan. Meski demikian, pada beberapa kasus dapat

menjadi irreversible dan tidak pernah membaik dalam intensitas maupun area tubuh yang

terkena.

Page 10: Resus 1

Referensi

1. http://jbiol.com/content/pdf/jbiol73.pdf 2. http://chemocare.com/chemotherapy/side-effects/numbness-tingling.aspx 3. http://www.cancer.org/treatment/treatmentsandsideeffects/physicalsideeffects/

chemotherapyeffects/chemo-brain4. http://www.kup.at/kup/pdf/9994.pdf 5. http://www.neurologyreviews.com/Article.aspx?ArticleId=JmJRE4xyk68=&FullText=1