Resume Aspek Hukum Konstruksi Bab I, II, III-Ricky Aristio-1206239415

download Resume Aspek Hukum Konstruksi Bab I, II, III-Ricky Aristio-1206239415

of 3

description

resume

Transcript of Resume Aspek Hukum Konstruksi Bab I, II, III-Ricky Aristio-1206239415

Resume Aspek Hukum Konstruksi Bab I, II, IIINama: Ricky AristioNPM: 1206239415

PENDAHULUAN

Latar belakang pentingnya hukum konstruksi timbul ketika kita melihat bahwa ternyata hubungan antara penyedia jasa dan pengguna jasa dalam konstruksi menunjukkan hubungan ketidakadilan. Untuk mengatasi hal itu perlu dibuat kontrak konstruksi, yakni bentuk perikatan mengenai kegiatan industri jasa konstruksi.Hal yang dibahas dari aspek hukum konstruksi dimulai dari perkembangan industri jasa di Indonesia, gambaran kontrak konstruksi di Indonesia, bentuk-bentuk kontrak konstruksi, aspek-aspek dalam kontrak konstruksi, sistem kontrak konstruksi internasional, cara menyusun kontrak konstruksi, pengeloaan kontrak konstruksi, strategi negosiasi kontrak, dan peranan konsultan hukum dalam kontrak konstruksi.

PERKEMBANGAN INDUSTRI JASA KONSTRUKSI DI INDONESIA

Perkembangan kontrak konstruksi (dipengaruhi oleh proyek konstruksi, tingkat kecanggihan teknologi, dukungan dana, pengguna jasa, penyedia jasa dan tingkat persaingan) dapat dibagi menjadi 5 periode besar.Periode 1945-1950 merupakan periode awal kemerdekaan Indonesia dimana pada periode ini kegiatan konstruksi belum dilakukan. Negara masih disibukkan dengan usaha mempertahankan kedaulatan dari Belanda hingga Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Perusahaan jasa konstruksi masih merupakan peninggalan Belanda.Periode 1951-1959 merupakan periode pemerintahan dengan sistem parlementer dimana pada periode ini ketidakstabilan terjadi. Perubahan kabinet hingga 7 kali dan konstituante yang gagal membentuk Undang-Undang Dasar baru menyebabkan kondisi jasa konstruksi belum bangkit. Skala pembangunan masih bersifat kecil dan hanya mengacu pada kontrak AV41 warisan Belanda.Periode 1960-1966 merupakan periode pemerintahan demokrasi terpimpin dimana proyek-proyek ambisius (Mandataris) dari Presiden Soekarno mulai dibuat. Proyek-proyek Mandataris tersebut antara lain MONAS, Hotel, Gelora Senayan dll. Kecanggihan teknologi saat itu masih belum terlalu tinggi dan kontrak konstruksinya masih sangat sederhana. Penyedia jasa pada masa ini umumnya adalah hasil dari nasionalisasi perusahaan Belanda. Bentuk kontraknya adalah Cost Plus Fee dimana pekerjaan langsung ditunjuk oleh pemerintah kepada penyedia jasa yang kemampuannya sesuai sehingga tidak ada proses tender. Proyek-proyek yang dibangun pun hanya bersifat prestisius bukan fungsional. Sektor swasta juga belum berkembang pada masa ini. Periode 1967-1996 merupakan periode pemerintahan orde lama dimana pembangunan sangat banyak dilakukan di Indonesia. Pemerintah membuah program Pembangunan Jangka Panjang yang terdiri dari Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai dari REPELITA I (1969-1974) hingga REPELITA V (1989-1994). Melalui program inilah awal kebangkitan industri jasa konstruksi dimulai. Perusahaan hasil nasionalisasi diubah statusnya menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dituntut untuk bersaing secara professional baik dengan antar-sesama BUMN maupun perusahaan swasta. Dari data statistik sumbangan industri jasa konstruksi dalam Pendapatan Domestik Bruto (PDB) naik dari waktu ke waktu. Akan tetapi keberhasilan tersebut tidak dibarengi oleh kontrak konstruksi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang baku. Masalah mulai terjadi ketika krisis moneter menerpa di tahun 1997.Periode 1997-2002 merupakan periode ketika Indonesia berusaha bangkit dari krisis moneter. Industri konstruksi mengalami goncangan yang sangat hebat yang tidak pernah terjadi dalam 30 tahun. Pembangunan berhenti bahkan pertumbuhan PDB menjadi negatif. Situasi pembangunan stagnan pada periode ini. Dampaknya adalah mulai muncul klaim konstruksi, kondisi sulit karena banyak kontrak yang cacat hukum sehingga perlu diselesaikan melalui Arbitrase (BANI/Ad Hoc). Maka pemeritah membuat UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi diikuti dengan tiga Peraturan Pemerintah yaitu P.P. No. 28, 29, 30/2000. Harapannya peraturan ini akan dapat memenuhi kebutuhan industri konstruksi terutama dalam pembuatan kontrak konstruksi.

GAMBARAN KONTRAK KONSTRUKSI SAMPAI SAAT INI

Secara umum posisi penyedia jasa lebih lemah daripada posisi pengguna jasa. Penyedia jasa dituntut untuk memenuhi keinginan oleh pengguna jasa. Posisi penyedia jasa dalam kondisi terjepit, jika memenuhi keinginan pengguna jasa maka timbul penyimpangan, tetapi jika menolak keinginan pengguna jasa maka risiko kehilangan nama mungkin terjadi. Sebelum ada UU No.18/1999, acuan hukum konstruksi diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1320 yang memberatkan penyedia jasa apalagi jumlah pengguna jasa lebih sedikit daripada penyedia jasa. Kondisi lebih buruk terjadi pada masa pemilu dimana muncul proyek-proyek dengan anggaran yang tidak jelas.Kontrak konstruksi sebelum ada UU No.18/1999 terdiri dari tiga model. Pertama adalah versi pemerintah dimana tiap departemen memiliki standar sendiri-sendiri. Kedua adalah versi swasta nasional dimana versi ini beraneka ragam sesuai dengan selera pengguna jasa. Ketiga adalah versi swasta asing dimana pengguna jasa menggunakan kontrak dengan sistem FIDIC atau JCT.Kontrak konstruksi sering mengandung hal-hal rancu, salah pengertian, benturan pengertian, dan sebagainya. Hal-hal yang rancu seperti kontrak dengan sistem pembayaran pra pendanaan penuh dari kontraktor dianggap kontrak Rancang Bangun, kemudian penyelesaian sengketa tidak jelas apakah melalui arbitase atau pengadilan padahal sudah ditulis dengan jelas. Salah pengertian contohnya pada jenis kontrak Fixed Lump Sum Price, salah pengertian terjadi pada kata Fixed. Kesetaraan kontrak juga menjadi masalah antara penyedia jasa dengan pengguna jasa yang sering memberatkan penyedia jasa apabila penyedia jasa melakukan kelalaian.Seringkali pula isi kontrak konstruksi kurang jelas. Contohnya adalah jumlah hari pelaksanaan kontrak, tak jelas saat mulai, kelengkapan dokumen, dan pengawasan tidak jalan. Jumlah hari harus jelas dinyatakan dalam hari kerja atau hari kalender karena pengertian keduanya sangat jauh berbeda. Waktu mulai sangat berpengaruh apabila terjadi keterlambatan pekerjaan. Dokumen yang tidak lengkap akan menyulitkan pelaksanaan. Pengawasan tidak optimal ketika pengguna jasa terus mencampuri secara langsung pelaksanaan di lapangan.Masalah kepedulian pada kontrak juga sangat penting. Kenyataannya kepedulian baik penyedia jasa maupun pengguna jasa terhadap kontrak masih sangat rendah. Kontrak seringkali tidak dibaca dan baru dibuka ketika ada masalah, padahal perlu waktu lama untuk mencari penyelesaian masalah.Pengelolaan administrasi kontrak tidak berjaan dengan baik. Biasanya petugas pembuat kontrak tidak memiliki keahlian khusus dalam mengelola kontrak karena banyak yang merangkap tugas.Klaim konstruksi di Indonesia baru sering muncul setelah krisis moneter tahun 1997. Hal ini disebabkan penyedia jasa takut mengajukan klaim. Klaim dianggap tabu. Biasanya hanya perusahaan asing yang sering melakukan klaim bahkan ada perusahaan spesialis klaim yang menggunakan klaim hanya sebagai alat pencari keuntungan.

DAFTAR PUSTAKA

Yasin, H. Nazarkhan, 2006, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama