reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

20
1 Proteksi Lereng Alam Dengan Menggunakan Vegetasi Dilokasi Perumahan GreenWood Estate Mayaran – Semarang Selatan Daniel Hartanto 1. Pendahuluan I.1 Latar Belakang Menghuni lerengan sebenarnya sangat menguntungkan, karena memiliki lansekap alam yang baik, kualitas udara lebih baik. Sehingga membangun di lereng menjadi salah satu trend pada beberapa tahun belakangan ini. Meskipun demikian tentu saja tidak semua lerengan layak untuk dibangun. Suatu kota membutuhkan tata kota yang berdasarkan pengaturan ruang. Arti dan maknanya adalah suatu kota yang tumbuh secara liar dan tidak teratur akan kehilangan anggota tubuhnya yang vital seperti jantung, paru-paru, hati dan sebagainya. Semarang dari segi topografi sebenarnya adalah sangat beruntung, Bagian paling ujung, Ungaran memiliki pegunungan yang membentuk punggung gunung dan lembah gunung, perbukitan sampai daerah Siranda, dan daerah flat sampai dengan perbatasan laut jawa. Andaikata semua lereng di Semarang dikembangkan menjadi lahan bangunan, maka Semarang tidak akan bisa bernapas, karena kehilangan tanaman (taman dan hutan kota), yang berfungsi seperti jantung. Suatu kota seharusnya mempunyai rencana induk (masterplan) kota yang menyediakan 20% luas tanah yang menjadi taman dan hutan kota. Berdasarkan peta pergerakan tanah sebenarnya semarang memiliki daerah greenbelt yang terbentuk secara alami, hal ini dikarenakan ada beberapa lahan di Semarang yang luasnya kurang lebih sekitar 20-30% dari total luas kota Semarang, adalah daerah pergerakan tanah. Daerah pergerakan tanah adalah suatu daerah yang secara teknik, kurang ekonomis untuk dikembangkan sebagai lahan bangunan. Akhir-akhir ini banyak terjadi bencana longsor pada lerengan di pegunugan dan perbukitan di beberapa tempat di Indonesia, khususnya Semarang. Banyak pertanyaan bermunculan, “Kenapa”, “Bagaimana” dan “Mengapa”, seringkali terdengar. Sebenarnya banyak sekali jawaban dan analisa dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, penelitian dan studi kasus pun sudah banyak dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Satu hal yang kami sayangkan adalah mengapa semua itu baru dilakukan setelah bencana itu terjadi dan setelah memakan korban jiwa. Berdasarkan pemikiran tersebut kami melakukan studi Proteksi Lereng Alam dengan Menggunakan Vegetasi di lokasi perumahan Greenwood Estate Mayaran –

Transcript of reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

Page 1: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

1

Proteksi Lereng Alam Dengan Menggunakan Vegetasi Dilokasi Perumahan

GreenWood Estate Mayaran – Semarang Selatan

Daniel Hartanto

1. Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Menghuni lerengan sebenarnya sangat menguntungkan, karena memiliki

lansekap alam yang baik, kualitas udara lebih baik. Sehingga membangun di lereng

menjadi salah satu trend pada beberapa tahun belakangan ini.

Meskipun demikian tentu saja tidak semua lerengan layak untuk dibangun.

Suatu kota membutuhkan tata kota yang berdasarkan pengaturan ruang. Arti dan

maknanya adalah suatu kota yang tumbuh secara liar dan tidak teratur akan

kehilangan anggota tubuhnya yang vital seperti jantung, paru-paru, hati dan

sebagainya. Semarang dari segi topografi sebenarnya adalah sangat beruntung, Bagian

paling ujung, Ungaran memiliki pegunungan yang membentuk punggung gunung dan

lembah gunung, perbukitan sampai daerah Siranda, dan daerah flat sampai dengan

perbatasan laut jawa. Andaikata semua lereng di Semarang dikembangkan menjadi

lahan bangunan, maka Semarang tidak akan bisa bernapas, karena kehilangan

tanaman (taman dan hutan kota), yang berfungsi seperti jantung.

Suatu kota seharusnya mempunyai rencana induk (masterplan) kota yang

menyediakan 20% luas tanah yang menjadi taman dan hutan kota. Berdasarkan peta

pergerakan tanah sebenarnya semarang memiliki daerah greenbelt yang terbentuk

secara alami, hal ini dikarenakan ada beberapa lahan di Semarang yang luasnya

kurang lebih sekitar 20-30% dari total luas kota Semarang, adalah daerah pergerakan

tanah. Daerah pergerakan tanah adalah suatu daerah yang secara teknik, kurang

ekonomis untuk dikembangkan sebagai lahan bangunan.

Akhir-akhir ini banyak terjadi bencana longsor pada lerengan di pegunugan

dan perbukitan di beberapa tempat di Indonesia, khususnya Semarang. Banyak

pertanyaan bermunculan, “Kenapa”, “Bagaimana” dan “Mengapa”, seringkali

terdengar. Sebenarnya banyak sekali jawaban dan analisa dari pertanyaan-pertanyaan

tersebut, penelitian dan studi kasus pun sudah banyak dilakukan oleh pihak swasta

dan pemerintah. Satu hal yang kami sayangkan adalah mengapa semua itu baru

dilakukan setelah bencana itu terjadi dan setelah memakan korban jiwa.

Berdasarkan pemikiran tersebut kami melakukan studi Proteksi Lereng Alam

dengan Menggunakan Vegetasi di lokasi perumahan Greenwood Estate Mayaran –

Page 2: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

2

Semarang Selatan. Hal yang kita tinjau dan teliti adalah kestabilan tanah dan perilaku

vegetasi pada lereng tersebut.

I.2 Tujuan

Studi kasus ini bertujuan untuk memperkenalkan metode Bioengineering yang

dapat diterapkan di kawasan tersebut

I.3 Manfaat

Hasil dari studi kasus ini kami harapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

bagi pemerintah dan swasta dalam kaitannya dengan pengembangan lahan untuk

keperluan perumahan.

I.4 Ruang Lingkup Permasalahan

Studi kasus ini hanya kami lakukan pada lokasi greenwood eastate,

Kecamatan Gunungpati, Semarang Selatan.

2. Pustaka

2.1 Lereng

Secara umum pengertian lereng adalah suatu kondisi dimana permukaan tanah

memiliki sudut kemiringan terhadap bidang horisontal, dimana dari besar sudut

kemiringannya dapat dikatakan sebagai lereng landai atau lereng terjal. Berdasarkan

terbentuknya, lereng dapat dibedakan atas lereng alam (natural slopes) dan lereng

buatan (man made slopes)

2.1.1 Lereng Alam

Lereng alam merupakan lereng yang terbentuk karena proses alam, misalnya

lereng suatu bukit. Material yang membentuk lereng memiliki kecenderungan

tergelincir akibat dari beratnya sendiri dan gaya-gaya luar yang ditahan oleh kuat

geser tanah dari material tersebut. Gangguan terhadap kestabilan terjadi apabila

tahanan geser tanah tidak dapat lagi mengimbangi gaya-gaya yang menyebabkan

gelincir pada bidang longsor.

Page 3: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

3

2.1.2. Lereng Buatan Lereng buatan dibedakan menjadi dua macam yaitu :

1. Penggalian (Cut slopes) Lereng ini dibuat dari tanah asli dengan memotong tanah tersebut.

Lereng ini diterapkan pada pembuatan jalan atau saluran untuk irigasi. 2. Lereng Timbunan (Embankment)

Lereng ini dibuat dengan cara tanah dipadatkan untuk tanggul tanggul jalan raya atau bendungan urugan tanah

2.2 Longsoran 2.2.1 Klasifikasi lereng

Berdasarkan Cruden dan Varnes (1992), klasifikasi lereng dapat dilihat dari tipe pergerakan tanah dari lereng tersebut. Tipe pergerakan tanah pada lereng dapat berupa :

1. Runtuhan (Falls) Runtuhan merupakan gerakan massa jatuh melalui udara. Massa yang

jatuh ini terlepas dari lereng yang curam dan tidak ditahan oleh geseran dengan material yang berbatasan.

2. Pengelupasan (Topples) Pengelupasan merupakan gerakan yang berupa rotasi keluar dari suatu

unit massa yang berputar terhadap suatu titik akibat gaya gravitasi atau gaya-gaya lain seperti adanya air dalam rekahan.

3. Longsoran (Slides) Longsoran adalah gerakan dari peregangan secara geser dan peralihan

sepanjang suatu bidang atau beberapa bidang gelincir yang dapat nampak secara visual. Gerakan ini dapat bersifat progeresif yang berarti bahwa keruntuhan geser tidak terjadi seketika pada seluruh bidang gelincir melainkan merambat dari suatu titik. Massa yang bergerak menggelincir di atas lapisan batuan/tanah asli dan terjadi pemisahan dari kedudukan semula.

4. Aliran Tanah (Earth Flow) Jenis gerakan tanah ini terjadi pada kondisi tanah yang amat sensitif atau

sebagai akibat dari gaya gempa.

Page 4: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

4

Gambar 2.1: Tipe pergerakan tanah pada lereng (Cruden dan Varnes, 1992)

(1) Runtuhan (2) Penglupasan (3) Kelongsoran (4) Aliran tanah

Berdasarkan bentuk bidang gelincirnya, longsoran dibagi menjadi:

1. Longsoran Rotasi

Longsoran jenis rotasi dapat terjadi pada batuan maupun tanah.

Pada kondisi tanah homogen, longsoran rotasi ini dapat berupa busur

lingkaran, tetapi dalam kenyataan sering dipengaruhi oleh adanya

diskontinuitas oleh adanya sesar, lapisan lembek, dan lain-lain. Analisa

kestabilan lereng yang mengasumsi bidang longsoran berupa busur

lingkaran dapat menyimpang bila tidak memperhatikan hal ini

(Varnes,1958).

4

Page 5: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

5

Gambar 2.2: Skematik longsoran rotasi (Varnes,1958).

2. Longsoran Translasi

Longsoran translasi terjadi pada suatu massa yang bergerak

sepanjang bidang gelincir berbentuk bidang rata. Gerakan dari

longsoran translasi umumnya dikendalikan oleh permukaan yang

lembek. Longsoran translasi ini dapat bersifat menerus dan luas dan

dapt berbentuk blok (TRB,1978 )

Page 6: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

6

Gambar 2.3: Skematik longsoran translasi (TRB,1978).

2.2.2 Faktor-faktor penyebab kelongsoran

Longsoran disebabkan dari beberapa seri kejadian yang dapat berasal dari

alam maupun aktifitas manusia. Secara umum longsor diakibatkan oleh beberapa

faktor yang saling terkombinasi, seperti:

1. Topografi

Topografi memberikan gambaran lereng tentang derajat kemiringan,

ketinggian lereng dan tingkat kelicinan (Rogers, 1989). Semakin terjal

suatu lereng maka semakin besar kemungkinan lereng tersebut longsor

bila kita bandingkan dengan lereng yang lebih landai.

2. Geologi

Secara umum aspek geologi yang terkait pada kestabilan lereng,

meliputi:

a. Soil/rock fabric

Setiap batuan memiliki material penyusun yang berbeda-

beda. Setiap material penyusun mempunyai karakteristik yang

berbeda pula, hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan

kekuatan dan karakteristik perubahan bentuk pada suatu

batuan.

b. Struktur geologi

Page 7: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

7

Struktur geologi pada suatu lereng mempunyai pengaruh

pada prilaku lereng itu sendiri. Pelapisan tanah dan batuan,

ketebalan lapisan, letak lapisan tanah dasar berpengaruh

langsung pada potensial ketidakstabilan pada struktur batuan

lereng.

c. Discontinuitas

Adanya suatu diskontinuitas menggambarkan bahwa

batuan bukan merupakan suatu yang monolite. Adanya suatu

bidang rentang mikroskopis hingga sebesar join dan rekahan

disebut sebagai diskontinuitas. Adanya bidang lemah ini

memberikan pengaruh pada kestabilan lereng.

d. Gempa

Terjadinya gempa dapat menyebabkan naiknya

tegangan pori sehingga menurunkan kuat geser tanah .

f. Pelapukan

Pelapukan terdiri dari dua tipe, pelapukan mekanis dan

pelapukan kimia. Kedua jenis pelapukan tersebut mempunyai

pengaruh yang besar terhadap kestabilan suatu lereng.

Pelapukan dapat menyebabkan perubahan tingkat

permeabilitas pada lereng yang batuannya mengalami

pelapukan.

g. Aktifitas kelongsoran yang terdahulu

Pencirian pada suatu daerah dimana pernah terjadi

aktifitas kelongsoran terdahulu merupakan pertimbangan yang

penting dalam studi mengenai longsor. Hal ini dikarenakan

kondisi material pada daerah tersebut kebanyakan merupakan

material yang telah terurai (remolded material), sehingga kuat

gesernya mencapai titik rendah (residual values).

h. Kandungan mineral dalam material lempung

Secara umum mineral lempung terdiri dari illite,

kaolinite dan montmorillonite. Dari ketiga material pembentuk

lempung ini, montmorillonite mempunyai sifat potensial

Page 8: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

8

swelling yang paling tinggi. Oleh karena itu jenis material ini

merupakan hal yang paling bermasalah pada kestabilan lereng.

3. Air

Yang dimaksud air adalah air hujan dan air tanah.

a. Air hujan

Parameter utama yang membuat hujan menjadi sangat

berpengaruh pada kestabilan lereng adalah intensitas dan

durasi hujan.

Intensitas hujan yang tinggi dan durasi yang relatif lama

dapat menyebabkan runoff. Runoff adalah bagian air hujan

yang mengalir dari catchment area menuju sungai, danau atau

laut. Runoff terdiri dari surface runoff dan ground water

runoff.

Hujan, kaitannya dengan pergerakan tanah berhubungan

dengan kondisi permukaan tanah. Misalnya, hujan yang lebat

menimbulkan surface runoff yang besar pula, dapat memicu

terjadinya longsor pada lapisan tanah lepas.

Ground water runoff, kaitannya dengan hujan adalah

adanya peningkatan tinggi permukaan air tanah sebagai akibat

dari infiltrasi oleh air hujan. Hal ini menyebabkan

terbentuknya positive pore pressures, sehingga tegangan geser

tanah menjadi berkurang, dan kekuatan lereng juga berkurang.

Page 9: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

9

Gambar 2.4: Model pola air tanah (Abramson, 1996)

b. Air tanah

Dalam hal ini yang ditinjau adalah pergerakan dari air

tanah pada suatu lereng. Pergerakan air tanah pada lereng

mempunyai pengaruh penting terhadap kestabilan dari lereng

tersebut. Suatu struktur geologi kecil, baik yang terbentuk

secara alami ataupun buatan, dapat menyebabkan akibat yang

besar pada pola pergerakan air tanah.

Misalnya (lihat gambar 2.5), kegagalan pada lereng

dangkal dapat terjadi pada saat bertenggernya air tanah pada

lapisan tanah sebelumnya pada suatu lapisan yang tidak

tembus air, shales atau lapisan batu kedap air (a). Keruntuhan

terjadi karena dipicu oleh periode hujan yang lama sehingga

permukaan air tanah naik sehingga tekanan air tanah yang

besar sebagai akibat dari terganggunya pergerakan air tanah

(b). Diperlukan sistem horisontal drain untuk menurunkan

tekanan air tanah yang terbendung (c).

Page 10: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

10

Gambar2.5: Pengaruh geologi struktur pada pola pergerakan air tanah (Cedegren, 1977)

4. Aktivitas manusia

Dinamika penduduk yang berupa pembukaan lahan baru untuk

tempat tinggal khususnya pada lereng dapat menyebabkan meningkatnya

surface load. Hal ini akan terus meningkat menjadi overloading bila tidak

dikontrol. Daerah rawan pergerakan tanah memang dapat kita lihat pada

peta pergerakan tanah dengan beberapa parameter warna, merah, kuning,

hijau, biru, yang menunjukkan tingkat keamanan dari daerah yang

ditinjau. Akan tetapi parameter tersebut dapat dengan cepat berubah

karena adanya overloading pada lereng yang ditinjau (Ir. Achmad

Jumarno, 2003). Misalnya, suatu lereng alami, sebelum terjamah oleh

manusia mempunyai parameter warna biru (relatif aman) tanpa disadari

dapat berubah menjadi hijau (bahaya kelongsoran rendah) ataupun kuning

(bahaya kelongsoran cukup rawan) setelah mengalami perubahan

fungsinya menjadi kawasan pemukiman yang tidak terkontrol.

Perubahan jenis vegetasi pada suatu lereng yang dikarenakan

adanya perubahan tata guna lahan dapat berpengaruh terhadap kestabilan

lereng tersebut. Jenis vegetasi sangat berhubungan dengan pengaruh

Page 11: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

11

intensitas hujan yang tinggi, hal ini disebabkan tingkat kemampu-serapan

terhadap air pada tiap vegetasi berbeda beda. Suatu lereng akan stabil,

salah satunya disebabkan karena jenis vegetasi yang tumbuh di atas suatu

lereng dapat berfungsi sebagai pengontrol fluktuasi muka air tanah (Ir.

Achmad Jumarno, 2003). Misal, suatu lereng alami mempunyai vegetasi

alami berupa kapas, karet dan jati, kebutuhan manusia membuat lereng

tersebut berubah fungsi menjadi kawasan tempat tinggal, hal ini diikuti

dengan berubahnya jenis vegetasi alami menjadi jenis vegetasi yang dapat

mendukung perekonomian masyarakat setempat, misalnya cabe, jagung,

tembakau. Kedua jenis vegetasi tersebut mempunyai karakteristik yang

sangat berbeda, perbedaan karakteristik tersebut terletak pada kemampuan

menyerap air dan kemampuan akar tanaman menahan lereng. Vegetasi

baru tersebut tidak mempunyai karakter yang sama dengan vegetasi yang

lama, sehingga tidak mampu menggantikan fungsinya sebagai pengontrol

muka air tanah. Selain itu, berubahnya lereng alami menjadi lahan

pertanian juga menyebabkan surface runoff menjadi besar, yang kemudian

mengakibatkan erosi permukaan pada lereng. Infiltrasi air hujan

menyebabkan naiknya permukaan air tanah yang seiring dengan turunnya

tegangan efektif membuat kekuatan lereng menjadi melemah.

Aktivitas manusia juga dapat berupa pemotongan lereng, cut slopes.

Orang cenderung memotong lereng dengan sudut kemiringan yang relatif

curam, hal ini dikarenakan untuk menghemat lahan. Pemotongan lereng

dengan sudut yang relatif landai dapat dikatakan lebih tidak ekonomis

dikarenakan akan terlalu banyak memakan lahan. Sebuah cut slope yang

memiliki sudut kemiringan yang terlalu curam besar kemungkinannya

untuk tetap stabil untuk jangka waktu pendek saja (Bishop dan Bjerrum,

1960), hal ini dikarenakan pada cut slopes, tegangan geser awalnya adalah

sama dengan tegangan geser pada kondisi tidak teralirkan (undrainaged

shear strength) sesuai dengan asumsi adalah tidak adanya pembuangan air

selama proses pembangunan. Dengan adanya kondisi tersebut tegangan

air pori terus meningkat seiring waktu, peningkatan ini disertai dengan

pembengkakan dari tanah lempung (swelling clay) yang berakibat pada

berkurangnya tegangan geser lereng.

Page 12: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

12

2.3 Kestabilan Lereng Masalah kestabilan lereng merupakan masalah yang sering dijumpai di Indonesia.

Umumnya terjadi pada waktu musim hujan sering terjadi peristiwa pengikisan tanah

yang berlebihan atau yang sering disebut dengan erosi yang mengakibatkan tanah

disekitar lereng menjadi rusak dan erosi yang terjadi terus menerus dapat

mengakibatkan bencana longsor. Kestabilan lereng merupakan syarat mutlak yang

harus diperhatikan kepada para pengembang perumahan yang terletak di kaki lereng

ataupun di lerengan.

Erosi bukan merupakan masalah baru. Selama manusia berinteraksi dan

mengeksploitasi alam, bencana ini akan tetap terus terjadi. Banyak faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya bencana longsor antara lain: curah hujan dengan intensitas

tinggi serta durasi yang lama, gempa bumi, dan lain sebagainya. Selain faktor-faktor

luar yang mempengaruhi kestabilan tanah, bencana longsor juga disebabkan akibat

faktor-faktor yang ada pada tanah itu sendiri seperti: jenis tanah, sifat batuan, corak

topografi dan geologi yang membentuk lapisan tanah tersebut.

Erosi menurut bidang longsornya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: erosi permukaan

(surficial erotion) dan erosi global massa tanah (soil mass stability). Erosi permukaan

berarti erosi atau longsoran yang terjadi hanya pada permukaan tanah saja atau hanya

pada kedalaman tertentu dari permukaan. Sedangkan erosi global massa tanah

merupakan erosi yang terjadi pada keseluruhan massa.

Penanggulangan erosi permukaan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:

mengubah geometri lereng, mengendalikan air permukaan, membangun konstruksi

(rip rap, retaining wall) dan cara lainnya, yang biasanya membutuhkan biaya yang

cukup mahal dan menggangu ekosistem. Cara penanggulangan lain yang dapat

dipertimbangkan adalah soil bioengineering, yaitu teknologi yang menggunakan akar

atau bagian dari vegetasi untuk mencegah erosi. Lereng tanah yang mengandung akar

tanaman dapat meningkatkan kuat geser tanah, sehingga tegangan geser akan lebih

besar, dan secara otomatis akan meningkatkan stabilitas tanahmya.

2.4. Sejarah dan Perkembangan Soil Bioengineering

Soil Bioengineering jika ditinjau kembali ke masa lalu sebenarnya sudah diterapkan

di daratan Asia dan Eropa. Seorang sejarahwan Cina pernah menuliskan tentang

penggunaan teknologi ini di daratan Cina yaitu untuk perbaikan tanggul sungai

dengan cara memasukkan batu-batu kedalam anyaman yang terbuat dari pohon

tertentu atau bambu. Sedangkan di daratan Eropa bisa dijumpai dalam bentuk dinding

Page 13: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

13

penahan yang terbuat dari anyaman ranting dan cabang untuk konstruksi-konstruksi

hidrolika. Pada abad ke 16 teknologi ini mengalami perkembangan yang sangat pesat

di hampir seluruh daratan Eropa, terutama untuk proyek-proyek perbaikan tebing

sungai menggunakan metode yang masih dikenal sampai saat ini, yaitu: live stakes

yang didokumentasikan oleh Woltmann 1791.

Pada tahun 1930 soil bioengineering mengalami perkembangan yang sangat pesat

dimana keterbatasan finansial di awal perang dunia kedua memaksa beberapa negara

di Eropa Tengah terutama Jerman dan Austria untuk lebih banyak menerapkan

teknologi ini pada proyek-proyek pekerjaan publiknya. Bahkan di Jerman pernah

didirikan sebuah institut penelitian oleh Adolf Hitler untuk mengembangkan

teknologi ini, yang kemudian melahirkan beberapa pakar terkemuka antara lain

Arthur Von Kruedener yang dikukuhkan sebagai the father of soil bioengineering.

Sebagai penghargaan atas karyanya maka diterbitkan sebuah buku pertama dalam

bidang ini dengan judul Ingenieurbiologi (Engineering Biologi). Pada kurun waktu

yang kurang lebih sama di Amerika Serikat merupakan awal dari perkembangan

teknologi ini. Seseorang yang telah mengembangkan teknologi soil bioengineering

dengan metoda live fascine adalah Charles Kraebel yang bekerja pada USDA Forest

Service. Kegunaan dari metode ini antara lain untuk stabilisasi lereng pada proyek

jalan raya.

Setelah perang dunia kedua usai para ahli soil bioengineering kembali melanjutkan

upaya penyempurnaan terhadap teknologi yang sudah dikembangkan sebelumnya,

untuk menyusun standarisasi teknologi dan spesifikasi konstruksi. Pada tahun 1951

Arthur Von Kruedener mempublikasikan buku pertamanya mengenai soil

bioengineering. Sementara itu pada tahun 1980 terbit buku pertama dalam edisi

bahasa inggris oleh Hugo Schichtl dengan judul Bioengineering for Land Reclamation

and Conservation, disusul dengan buku kedua pada tahun 1997 dengan judul Ground

Engineering Techniques for Slope Protection yang sering digunakan sebagai buku

acuan bagi para pemerhati bidang soil bioengineering.

Saat ini sudah semakin banyak tersedia buku-buku soil bioengineering dalam bahasa

asing (inggris khususnya), demikian pula informasi penting lainnya data ditelusuri

dengan mudah di situs-situs internet. Namun sayangnya sampai saat ini

sepengetahuan penulis belum terdapat buku yang tertulis dalam bahasa Indonesia. Hal

ini sebagai salah satu penyebab terhambatnya perkembangan soil bioengineering di

Indonesia.

Page 14: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

14

Teknologi ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia.

Dengan belum berakhirnya krisis yang melanda Indonesia maka teknologi ini menjadi

suatu ilmu yang sangat tepat jika dibanding dengan teknologi yang lain jika dilihat

dari segi finansial.

2.5. Soil Bioengineering

Pengertian Soil Bioengineering adalah teknologi yang menggunakan bahan dari

tanaman hidup dan bagian dari tanaman, untuk mengatasi persoalan-persoalan alam

lingkungan antara lain : erosi permukaan tanah perbukitan dan lereng disekitar aliran

sungai. Sistem soil bioengineering adalah memanfaatkan tanaman berperan sebagai

komponen dalam struktur utama, dan sekaligus sebagai bagian dari estetika landscape.

Menurut Design Guide for The Bioengineering Technique, Soil bioengineering harus

memenuhi beberapa factor, parameter dan spesifikasi disain Tabel 2.1 : Design Guide for The Bioengineering Technique ( design manual from WSDOT( Washington State Department of Transportation, 2000 )

No. Faktor Parameter Sepesifikasi disain Tergantung pemilihan tanaman 1. Iklim Aspek musim tanam Metode & komstruksi yang dipilih

Kerapatan dan kepadatan akar

Pemilihan tanaman yang sesuai 2. Kondisi fisik tanah

Permeabilitas Modifikasi sebelum konstruksi Modifikasi sebelum konstruksi Install structure ( drain, ditches, etc )

3. Air tanah Profil muka air tanah

To remove excess water PH 4. Kandungan kimia

Tanah Kesuburan Pemupukan Pengkikisan Tanah Permanent atau temporary untuk

melindungi tanah Curah hujan penyebab erosi

Channel discharge Management Lereng Perlu perkuatan dengan geotexstail

5. Resiko erosi

Air dan angin Kuat geser slope Pemilihan material tanah yang cocok Faktor keamanan Kepadatan dan kadar air tanah

6. Geoteknik

Bila Perlu dikombinasikan perkuatan dengan geotextail

Hal yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan metode soil bioengineering adalah

pemilihan jenis tanaman dan persiapan lahan. Banyak jenis tanaman yang dapat

digunakan dalam metode soil bioengineering, namun tidak semua jenis tanaman

Page 15: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

15

cocok untuk digunakan. Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan adalah jenis

tanaman yang mempunyai karakteristik tumbuh dengan cepat ,berakar cukup dalam (

tipe akar serabut ), banyak dan menyebar. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk

menjaga stabilitas lereng dan erosi permukaan meliputi : jenis rerumputan, jenis

perdu, semak-belukar, dan jenis pepohonan. Masing-masing mempunyai keuntungan

dan kerugian sesuai dengan karakteristiknya

Semak belukar, perdu dan rerumputan mempunyai karakteristik akar yang tidak

terlalu dalam tapi sifatnya menyebar dan dapat membuat jaring – jaring.

Jenis pepohonan, mempunyai akar yang cukup dalam dan menyebar.

Morfologi Akar dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Heartroot Taproot

Plateroot

Gambar2.6: Morfologi Akar (Gray and Leiser,1982)

Kedalaman dan distribusi akar dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut ini :

Page 16: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

16

Gambar2.7: Efek root terhadap keruntuhan lereng ( Tsukamoto & Kusuba, 1984 )

Tipe A , akar vegetasi hanya berada di lapisan tipis ( top soil ) bila tejadi longsor maka vegetasi beserta

akarnya akan terbawa longsor. Jenis ini biasanya : rerumputan dan semak belukar.

Tipe B , akar vegetasi menembus lapisan transisi ( lapisan yang berada antara lapisan top soil dengan

batuan ), sehingga daya cabut akar lebih kuat dibandingkan dengan tipe A.Jenis ini biasanya

merupakan jenis perdu

Tipe C , merupakan posisi akar yang ideal, diamana akar dapat menerobos masuk ke dalam lapisan

batuan, sehingga efek pengangkuran menjadi sangat baik. Jenis ini biasanya pepohanan

Tipe D, hampir mirip tipe A tapi disini kondisi tanah berbeda dapat dilihat pada gambar top soil cukup

tebal

3. Beberapa Usulan Metode Pelaksanaan Bioengineering Yang Dapat

Diterapkan di Kawasan Green Wood Estate

Teknologi bioteknologi (soil bioengineering) ini dibagi menjadi 3 bagian untuk

metode pelaksanaannya yaitu :

1. Menggunakan Vegetasi secara penuh

Brush Layering adalah metode yang menggunakan vegetasi secara penuh.

Page 17: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

17

Gambar 3.1 : Pemasangan brush layering ( Gray and Leiser, 1982 )

2. Kombinasi antara vegetasi hidup dengan vegetasi mati

a. Live Fascine, kombinasi dari 2 jenis vegetasi hidup, sebagai bundle dan

sebagai live stake

Gambar 3.2. :Pemasangan Live Fascine ( Gray et al, 1997 )

Page 18: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

18

b. Brush Mattress, berupa ayaman / jaring – jaring semak belukar

Gambar 3.3:Pemasangan Bursh Mattress ( Gray et al, 1997 )

3. Kombinasi antara vegetasi hidup dengan bangunan struktur

a. Vegetated Rock, metode kombinasi vegetasi dengan susunan batu

Gambar 3.4 : Pemasangan Vegetate Rock ( Gray et al, 1997 )

Page 19: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

19

b. Vegetated Rock Gabion adalah metode yang mengkombinasikan antara

struktur dalam hal ini adalah bronjong.

Gambar 3.5 : Pemasangan Vegetated Rock Gabion,( Robin B Sotir, 1996)

Sejalan dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan,

serta keterbatasan kemampuan finansial akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan,

menjadikan teknologi ini lebih dapat diterima dan sangat kompetitif serta memiliki

potensi yang sangat besar untuk diterapkan di Indonesia.

4. Kesimpulan

1. Sistem Soil Bioengineering adalah system perbaikan alam yang tidak mutlak

membutuhkan peralatan berat serta jumlah pekerja yang relatif minimal

menyebabkan kerusakan lahan yang minimal pula pada saat pelaksanaan.

Dengan demikian soil bioengineering cocok digunakan pada area atau lahan

dimana estetika, kesuburan lahan, dan habitat hewan menjadi prioritas yang

penting.

2. Penerapan soil bioengineering memerlukan media lahan yang baik dan subur.

Oleh sebab itu soil bioengineering tidak dapat diterapkan pada lahan dengan

tanah berbatu, sangat berpasir, tergenang air terus menerus.

Page 20: reset_lereng_alam_di_greenwood_eatate.pdf

20

3. Pelaksanaan soil bioengineering dilakukan pada awal musim hujan (antara

bulan September – Maret)

4. Metode vegetated rock gabion dilaksanakan bila gaya lateral tanah lereng

cukup besar ( gaya lateral yang besar ) sehingga diperlukan penahan struktur

untuk menstabilkan lereng dan mereduksi kecuraman lereng.

5. Metode vegetated rock gabion dan vegetated rock sangat cocok digunakan bila

ruang pelaksanaan yang tersedia terbatas dan lebih banyak dibutuhkan

pembangunan struktur arah vertikal.

6. Metode live fascine dan bursh mattress , cocok untuk lereng curam, bentang

panjang dan cukup berbatu dimana penggalian sulit dilakukan. Cocok bila

ditempatkan pada lereng sungai atau lereng lain yang mempunyai bentang

panjang.

7. Brush layering dan live stakes sangat tepat bila diterapkan pada area cut and

fill dimana tanah yang berada pada daerah tersebut benar-benar terganggu dan

atau tererosi. Brush Layering bisa diandalkan sebagai teknik yang terbaik

untuk memperkuat permukaan lereng untuk mengurangi erosi permukaan dan

secara tidak langsung memperkecil kemungkinan terjadinya sliding.

5. Saran

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan metode Vegetated

Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering dilapangan.

2. Soil Bioengineering di Indonesia masih dianggap sebagai suatu hal yang baru,

sehingga perlu adanya sosiaisasi tentang soil bioengineering di kalangan

masyarakat

Referensi : Jaya, F.S, dan Sagitha, R.A. (2004), “Studi Literatur tentang Soil Bioengineering dengan Metode

Vegetated Rock Gabion, Live Fascine, dan Brush Layering”, Laporan Tugas Akhir, Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Sotir, R,B. (1992), Chapter 18 Soil Bioengineering for Upland Slope Protection and Erosion Reduction, The United States Departement of Agriculture (USDA)

Sotir, R.B. (1996), Chapter 16 Streambank and Shoreline Protection, The United States Departement of Agriculture (USDA)

Sotir, R.B, Gray, D.H. ( 1996 ), Biotechnical And Soil Bioengineering Slope Stabilization, John Wiley & Son Inc, New York