Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat...

61
BAB II KERANGKA TEORETIS Secara keseluruhan, proyek disertasi ini pertama-tama menyentuh persoalan perlawanan kelompok minoritas terhadap kebijakan yang diberlakukan negara atas mereka, khususnya perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di dalam Gereja Kristus Tuhan terhadap kebijakan asimilasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru. Karena kebijakan asimilasi ini ditujukan kepada orang-orang dengan kebudayaan tertentu demi membawa mereka ke dalam “conformity with the customs, attitudes, etc., of a dominant cultural group of national culture” 1 maka teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi perlawanan yang mereka lakukan terhadap pelaksanaan kebijakan itu. Asumsi-asumsi teoretis kunci yang melandasi studi ini adalah bahwa perlawanan merupakan suatu keniscayaan dalam relasi dengan kekuasaan dan bahwa perlawanan itu beraneka ragam rupanya. 2 Berangkat dari asumsi-asumsi inilah maka studi ini akan fokus kepada cara-cara yang ditempuh dalam melakukan perlawanan, di mana itu dilakukan dan apa saja bentuk perlawanannya. Uraian kerangka teori ini akan dimulai dengan suatu uraian mengenai hasil-hasil penelitian terdahulu tentang orang Tionghoa di Indonesia. Dari situ kemudian diuraikan tiga konsep kunci yang dipakai di sini, yaitu kebijakan asimilasi, identitas nasional dan perlawanan. Bagian berikutnya akan mengeksplorasi sejumlah pikiran tentang asimilasi dan perlawanan yang ditujukan kepadanya. Teori-teori tentang asimilasi akan dikaji secara kritis 1 “Assimilation” dalam Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of Nationalism: Leaders, Movements, and Concepts (San Diego, CA.: Academic Press, 2001), 29. 2 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I (New York: Vintage Books, 1990), 95-96; Stephen Gill, Power and Resistance in the New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008), xiv.

Transcript of Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat...

Page 1: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 25 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

BAB II

KERANGKA TEORETIS

Secara keseluruhan, proyek disertasi ini pertama-tama

menyentuh persoalan perlawanan kelompok minoritas terhadap

kebijakan yang diberlakukan negara atas mereka, khususnya

perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di

dalam Gereja Kristus Tuhan terhadap kebijakan asimilasi yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru. Karena kebijakan

asimilasi ini ditujukan kepada orang-orang dengan kebudayaan

tertentu demi membawa mereka ke dalam “conformity with the

customs, attitudes, etc., of a dominant cultural group of national

culture”1 maka teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini

dimaksudkan untuk mengeksplorasi perlawanan yang mereka

lakukan terhadap pelaksanaan kebijakan itu. Asumsi-asumsi

teoretis kunci yang melandasi studi ini adalah bahwa perlawanan

merupakan suatu keniscayaan dalam relasi dengan kekuasaan dan

bahwa perlawanan itu beraneka ragam rupanya.2 Berangkat dari

asumsi-asumsi inilah maka studi ini akan fokus kepada cara-cara

yang ditempuh dalam melakukan perlawanan, di mana itu

dilakukan dan apa saja bentuk perlawanannya.

Uraian kerangka teori ini akan dimulai dengan suatu

uraian mengenai hasil-hasil penelitian terdahulu tentang orang

Tionghoa di Indonesia. Dari situ kemudian diuraikan tiga konsep

kunci yang dipakai di sini, yaitu kebijakan asimilasi, identitas

nasional dan perlawanan. Bagian berikutnya akan mengeksplorasi

sejumlah pikiran tentang asimilasi dan perlawanan yang ditujukan

kepadanya. Teori-teori tentang asimilasi akan dikaji secara kritis

1 “Assimilation” dalam Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of

Nationalism: Leaders, Movements, and Concepts (San Diego, CA.: Academic

Press, 2001), 29. 2 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I

(New York: Vintage Books, 1990), 95-96; Stephen Gill, Power and Resistance in

the New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008), xiv.

Page 2: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

26 | BAB II KERANGKA TEORETIS

untuk menemukan kontribusinya kepada studi ini. Sejumlah teori

tentang perlawanan juga akan turut dikaji dalam cara yang sama

untuk menyiapkan jalan kepada bangun teori yang akan

dipergunakan dalam penelitian ini.3 Uraian ini akan mencakup

garis besar pemikiran teori-teori itu dan bagaimana keterbatasan

teori-teori tersebut dalam menjelaskan fenomena sosial yang

diteliti. Bagian berikutnya merupakan inti dari bab ini di mana

teori perlawanan sehari-hari yang digagas James C. Scott akan

diuraikan dan disusun untuk dipergunakan memahami fenomena

sosial yang diteliti di sini.

A. Tinjauan atas Hasil-hasil Studi Tentang Asimilasi Orang

Tionghoa di Indonesia

Studi-studi awal tentang asimilasi orang-orang Tionghoa

di Indonesia memperlihatkan bahwa kegagalan asimilasi itu

disebabkan oleh situasi sosial-politik yang mengitari kehidupan

orang-orang Tionghoa. Unger mencatat bahwa kegagalan itu

disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah pembatasan-

pembatasan yang dikenakan oleh pemerintah kolonial Belanda,

yang memisahkan orang-orang Tionghoa dari non-Tionghoa; dan

yang kedua adalah karena kebangkitan nasionalisme Tiongkok

yang melanda orang-orang Tionghoa sejak mulai awal abad ke-20.

Keduanya membuat orang-orang Tionghoa lebih mengorientasi-

kan hidupnya kepada Tiongkok, negara asalnya, dari pada kepada

negara di mana para perantau ini berdiam.4

3 The Editors of Salem Press, Theories of Social Movement dalam seri

Sociology Reference Guide (Pasadena, CA.: Salem Press, 2011); Per Herngren,

Path of Resistance: The Practice of Civil Disobedience, e-book, (Gabriola Island,

B.C.: New Society Publishers, 2004); Henry David Thoreau, On the Duty of

Civil Disobedience, e-book; Stuart Hall & Tony Jefferson, Resistance through

Rituals: Youth subcultures in post-war Britain (London: Routledge, 2006); Kevin

O’Brien & Lianjiang Li, Rightful Resistance in Rural China (Cambridge, UK.:

Cambridge University Press, 2006); Stephen Gill, Power and Resistance in the

New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008). 4 Leonard Unger, “The Chinese in Southeast Asia,” Geographical

Review Vol. 34, No. 2 (Apr., 1944): 196-217.

Page 3: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 27 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Skinner menambahkan kesimpulan lain kepada studi

Unger dengan mendiferensiasikan level asimilasi pada dua

kategori. Pada ketegori pertama yang bersifat spasial, level

asimilasi akan berbeda untuk wilayah yang berbeda. Di sejumlah

tempat seperti di Sumatera dan Kalimantan, kebudayaan asli

Tionghoa masih kuat dipertahankan; sementara di daerah-daerah

lain seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali,

pengaruh budaya setempat lebih kuat mempengaruhi mereka.5

Pada kategori kedua yang bersifat sosial-kultural, dan secara

khusus di Jawa, ada dua macam orang Tionghoa dengan dua

macam derajat asimilasi.6 Orang Tionghoa peranakan, oleh karena

sudah lama tinggal di Jawa, telah menyerap kebudayaan setempat

sebagai bagian dari identitas sosialnya sementara orang Tionghoa

totok, yang belum begitu lama menetap, memperlihatkan

karakteristik budaya asli yang lebih kuat. Secara sosial, budaya,

ekonomi dan politik mereka masih berorientasi ke Tiongkok, ke

negeri asalnya.

Setelah Indonesia merdeka, timbul dua kategori lain

tentang orang Tionghoa di Indonesia. Keduanya adalah orang

Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia (Tionghoa WNI)

dan orang Tionghoa yang berkewarganegaraan asing (Tionghoa

WNA). Terhadap asimilasi, Skinner tidak menjelaskan sikap apa

saja yang muncul di kalangan orang Tionghoa WNA. Namun

pada kelompok orang Tionghoa WNI Skinner mendapati dua

sikap berbeda. Kelompok pertama, yang umum disebut kelompok

integrasionis, menentang asimilasi yang dipaksakan meski tetap

ingin menjadi bagian integral dari negara Indonesia sebagai

kelompok etnis yang terpisah. Kelompok kedua, yang sering

disebut kelompok asimilasionis, menerima dan mendukung

asimilasi, bahkan menginginkan supaya hal itu dapat diwujudkan

secepat mungkin.

5 Skinner dalam Mely G. Tan, ed., Golongan Etnis Tionghoa di

Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: PT Gramedia,

1979), 9. 6 Ibid., 10-12.

Page 4: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

28 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Studi Tan Giok Lan pada pertengahan tahun 50-an,7

menemukan bahwa orang Tionghoa WNI dapat dikatakan

ekuivalen dengan orang Tionghoa peranakan sementara orang

Tionghoa WNA dengan orang Tionghoa totok. Namun demikian

apa yang dikatakan tentang orang Tionghoa peranakan sebagai

yang sudah berasimilasi oleh Giok Lan ditemukan baru sampai

pada tahap akulturasi budaya saja. Elemen-elemen tertentu dari

kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke

dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu budaya

jenis baru yang Giok Lan sebut sebagai budaya peranakan.8 Pada

orang-orang Tionghoa totok, ia menemukan hampir tidak ada

keinginan untuk berasimilasi ke dalam masyarakat di mana

mereka berada. Orientasi sosial, budaya dan politiknya adalah

kepada Tiongkok (Tiongkok komunis) atau Taiwan (Tiongkok

nasionalis).

Baik Lea F. Williams maupun Leo Suryadinata sama-

sama sepakat bahwa keengganan itu disebabkan oleh faktor

pendidikan yang diterima di sekolah-sekolah asing Tionghoa.

Dengan guru-guru yang berorientasi kuat kepada Tiongkok atau

Taiwan dan dengan kurikulum pendidikan yang berisi indoktrinasi

nasionalisme Tiongkok maka siswa-siswi tersebut sulit untuk

dibawa ke arah asimilasi.9 Meski demikian, Williams sepakat

dengan Unger bahwa ada faktor-faktor eksternal yang turut

mendesak mereka ke pilihan tersebut. Kondisi sosial dan politik

Indonesia yang kurang bersahabat pada zaman itu telah

menimbulkan perasaan tidak aman pada orang-orang Tionghoa

7 Tan Giok Lan, The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and

Cultural Accomodation (Ithaca, NY.: Cornell University Press, 1963). 8 Ibid., 277. 9 Lea F. Williams, “Nationalistic Indoctrination in the Chinese

Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3

(Feb., 1958): 12-17; Leo Suryadinata, “Indonesian Chinese Education: Past

and Present,” Indonesia, Vol. 14 (Oct., 1972): 49-71.

Page 5: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 29 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

WNA. Hal itu mendorong mereka mencari perlindungan kepada

Tiongkok dan mengidentikkan diri dengannya.10

Dalam studinya atas kehidupan orang Tionghoa pada

dekade 60-an, Charles A. Coppel meneguhkan salah satu

kesimpulan Giok Lan yang mengatakan bahwa jalan yang sedang

ditempuh oleh orang-orang Tionghoa belum bisa dikatakan

sebagai berasimilasi. Namun berbeda dari Giok Lan, dari

perspektif politik Coppel menyimpulkan bahwa yang dilakukan

baru akomodasi. Mereka sekedar mengadaptasikan diri dengan

situasi dan keadaan sosial-politik di Indonesia yang menuntut

kejelasan identitas dan loyalitasnya.11 Karenanya, dalam

pandangannya kategori peranakan dan totok, yang dibangun di

atas pemakaian bahasa Tionghoa, jadi tidak relevan untuk

mendefinisikan orang Tionghoa. Pun nama Tionghoa tidak.12

Sebagai gantinya, ia menawarkan definisi yang bersifat fungsional

di mana seorang adalah orang Tionghoa karena memerankan diri

sebagai bagian dari kelompok orang-orang Tionghoa.13

Bagi Suryadinata kategori totok dan peranakan masih

tetap relevan. Begitu pula dengan gagasan asimilasi. Bahkan,

dalam soal berasimilasi keduanya menampilkan pola perilaku

yang sama.14 Pada generasi tua asimilasi terpaksa dilakukan demi

menyesuaikan diri dan dengan kecepatan yang lambat sekali. Pada

generasi yang lebih muda dengan sikapnya yang lebih responsif,

hasil yang dicapai oleh generasi muda Tionghoa peranakan adalah

makin menyerupai masyarakat pribumi, sementara pada generasi

muda Tionghoa totok hasilnya adalah makin serupa dengan

Tionghoa peranakan, sebelum akhirnya akan menjadi indonesia

sepenuhnya.

10 Williams, Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958):

16-17. 11 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1994). 12 Ibid., 33. 13 Ibid., 26. 14 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti

Pers,1984), 205-206.

Page 6: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

30 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Mely G. Tan dan Thung Ju Lan serta peneliti-peneliti lain

di kemudian hari menindaklanjuti gagasan asimilasi di level

generasi yang berbeda. Seperti Suryadinata didapati bahwa derajat

asimilasi akan berbeda untuk tiap generasi yang berbeda.15 Ju Lan

menerobos jauh lebih ke dalam dengan menganalisis derajat

asimilasi pada generasi yang lahir pada tahun 30-an, 40-an, 50-an,

60-an dan 70-an. Dua generasi pertama cenderung masih tebal

dan kuat identitas Tionghoanya.16 Pada generasi yang ketiga,

ketionghoaannya lebih ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jika

ia lebih banyak bergaul dengan orang Tionghoa totok maka

identitas Tionghoanya akan lebih kuat; sementara bila lebih

banyak bergaul dengan orang Tionghoa peranakan dan pribumi

maka akan lebih dekat ke situ. Untuk dua generasi terakhir,

situasinya benar-benar berbeda. Mereka benar-benar sudah “lepas

dari ikatan tradisi dan adat-istiadat leluhur.”17 Meski demikian

Tan memberi catatan bahwa pada generasi yang terakhir ini tetap

juga ada pengecualian, khususnya pada level relasi antar

kelompok. Ada kecenderungan bahwa anak-anak muda Tionghoa

ini tetap merasa lebih nyaman dan leluasa berhubungan dengan

sesama Tionghoa dari pada dengan orang non-Tionghoa.18

Kesimpulan ini diteguhkan oleh riset Juliette Koning pada

sejumlah pengusaha Tionghoa di kota Yogyakarta.19 Meski merasa

15 Mely G. Tan, “The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of

Identity” dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178; Thung

Ju Lan “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial” dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina

di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 184-187. 16 Observasi yang dilakukan Abdul Wahid pada sejumlah responden

di Yogyakarta, yang dipublikasikan pada tahun 2003 juga menemukan kesimpulan yang sama. Generasi tua, yang berumur 60-70 tahun, memiliki

“orientasi ke-Tionghoa-an yang kental” sementara pada generasi muda

umumnya “tidak lagi memiliki orientasi ke-Tionghoa-an yang kuat.” Lihat Abdul Wahid, “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori

Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Budi Susanto, SJ., ed. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 65-102.

17 Ju Lan, dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 184-187. 18 Tan dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178. 19 Juliette Koning, “Chineseness and Chinese Indonesian Business

Practices: A Generational and Discursive Enquiry,” East Asia (2007) 24: 129-

152.

Page 7: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 31 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sudah menjadi orang Indonesia dan tidak lagi berminat kepada

tradisi-tradisi Tionghoa pada umumnya namun dalam soal

berbisnis atau menikah mereka masih merasa ketionghoaan

sebagai unsur yang tetap penting. Mereka lebih suka berbisnis

dengan sesama orang Tionghoa karena dianggap lebih baik, “more

business oriented, more focused on working hard and always have

the success of the business in the forefront.”20 Sementara untuk

menikah mereka merasa bahwa menikah dengan sesama orang

Tionghoa masih jauh lebih baik karena celah perbedaan yang

harus diseberangi sempit saja. Lain halnya bila dengan orang non-

Tionghoa. Celah perbedaannya sangat lebar.

Baik Suryadinata, Greif, Tan, Ju Lan maupun yang lain

sepakat bahwa agama yang dianut, dalam hal ini agama Kristen

dan Hindu Bali, turut berperan besar dalam mengasimilasikan

orang Tionghoa. Kalau Suryadinata menolak peran positif Islam,

Ju Lan malah mengafirmasi bahwa Islam justru mendorong

pengaburan ketionghoaan orang Tionghoa, khususnya pada

mereka yang lahir dari tahun 1960-an sampai 1970-an.21 Coppel

juga menolak tesis Suryadinata tentang Islam. Bagi Coppel akar

masalahnya tampaknya bukan di agama tetapi pada sikap politik

akomodasinya, yang cenderung membangun kesepakatan dengan

penguasa daripada dengan masyarakat di mana ia berada.22

Berangkat dari asumsi bahwa “puncak dari bentuk

asimilasi adalah asimilasi perkawinan”23 penelitian Hariyono

menemukan bahwa faktor-faktor yang mendorong asimilasi

tersebut ialah sistem familiisme, ethnosentrisme, interaksi sosial

seseorang dan kedalaman penghayatan agama.24 Semakin kuat

20 Koning dalam East Asia (2007) 24: 150. 21 Ju Lan dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 187. 22

Lihat Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, 34-36, 323. 23 P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi

Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 17. 24 Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 105. Sistem familiisme

didefinisikan Hariyono sebagai jaringan nilai-nilai yang mengatur tata

hubungan dalam suatu keluarga. Nilai-nilai ini menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan-kepentingan individu, bangsa dan bahkan

Page 8: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

32 | BAB II KERANGKA TEORETIS

sistem familiisme mempengaruhi seorang Tionghoa maka

ethnosentrismenya cenderung akan menguat. Akibatnya, interaksi

sosialnya dengan orang dari kelompok lain akan makin berkurang

dan akhirnya membatasi jumlah perkawinan campur yang dapat

terjadi dengan orang non-Tionghoa.25 Namun ketaatan dalam

menjalankan agama dapat mendorong asimilasi karena rumah

ibadah dan aktivitas ibadah bersama merupakan “agen sosialisasi”

orang Tionghoa dengan orang dari etnis lain. Selain itu, ajaran

agama yang menekankan semangat tanpa diskriminasi turut pula

“memperlancar proses asimilasi”26 yang dapat berujung kepada

perkawinan campur.

Setelah pertama kali diungkap Unger, penelitian

belakangan mulai fokus pada pemerintah yang mengeluarkan

kebijakan itu. Sejumlah peneliti mulai melihat bahwa kegagalan

asimilasi disebabkan oleh kontradiksi yang melekat di dalam

kebijakan itu sendiri. Ariel Heryanto melihat kontradiksi itu

terletak pada cara pemerintah Orde Baru mendefinisikan orang

Indonesia.27 Jika identitas adalah produk relasi resiprokal antara

diri (self) dengan masyarakat (society)28 maka untuk mengkonstruksi

suatu gagasan tentang orang Indonesia diperlukan yang namanya

‘orang lain’ (the other), baik yang itu nyata maupun sekedar

negara. Ethnosentrisme ia definisikan sebagai sikap kelompok yang dibangun di atas landasan etnis tertentu dan memandang kelompok etnis sendiri sebagai

lebih baik daripada kelompok etnis lain. Smentara interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang terjadi di level antar pribadi atau antar kelompok

dari dua atau lebih kelompok yang berbeda. 25 Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 104. 26 Ibid., 195. 27 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese

Indonesians in Public Culture” dalam Southeast Asian Identities: Culture and

Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand. Joel S.

Kahn, ed. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 103. 28 Jan E. Stets & Peter J. Burke, “A Sosiological Approach to Self

and Identity,” Handbook of Self and Identity, eds. Mark Leary & June Tangney

(Ney York, NY.: Guilford Press, 2003), 128. Lihat pula Peter J. Burke & Jan

E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 3-4.

Page 9: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 33 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

imajinasi belaka, sebagai interlokutor (mitra percakapan).29

Bersama-sama dengan yang namanya Barat, Komunisme dan

Islam Fundamentalis, orang Tionghoa ditaruh di dalam kategori

‘orang lain’ tersebut.30 Mereka adalah ‘orang lain’ karena berasal

dari luar batas geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya,

kuat secara ekonomi dan dicurigai terkait erat dengan komunisme.

Kebijakan asimilasi jadinya berkontradiksi di dalam

dirinya sendiri karena membentuk garis pemisah yang

membedakan orang Tionghoa, yang dianggap bukan pribumi, dari

orang-orang non-Tionghoa, yang dianggap pribumi. Perbedaan itu

lantas dimuat ke dalam kesadaran nasional, dibakukan dan

diwujudkan dalam rupa perlakuan yang diskriminatif. Hal itu

membuat identitas ketionghoaan yang coba dihapus justru makin

kentara dan jadi semakin tidak terhapus serta terus-menerus

direproduksi. Di pihak lain, sistem ekonomi yang dibangun Orde

Baru di atas pembagian kerja menurut ras turut pula mengeraskan

perbedaan dan mengkontradiksikan kebijakan itu. Pelaksanaan

asimilasi total jadinya tidak bisa terjadi sebab justru akan

menghapus sistem sosial-ekonomi yang selama ini telah

memberikan keuntungan besar kepada penguasa.31

Senada dengan Heryanto, Christian Chua juga ber-

pendapat bahwa kebijakan asimilasi gagal karena kontradiksi yang

diciptakan oleh pemerintah itu sendiri.32 Chang Yau Hoon

29 Pikiran Charles Horton Cooley seperti diterangkan oleh James A.

Holstein & Jaber Gubrium dalam The Self We Live B: Narrative Identity in A

Postmodern World (New York: Oxford University Press, 2000), 27. 30 Heryanto dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities, 97. 31 Ibid., 104. Sarah Turner menjelaskan bahwa orang-orang

Tionghoa, khususnya sejumlah konglomerat Tionghoa, dalam sistem

ekonomi Orde Baru memang sengaja ditempatkan sebagai pengelola ekonomi negara. Lihat Sarah Turner, “Speaking Out: Chinese Indonesians After

Suharto,” Asian Ethnicity, Volume 4, Number 3, October 2003: 342-343. 32 Christian Chua, “Defining Indonesian Chineseness Under the

New Order,” Journal of Contemporary Asia, Vol. 34 No. 4 (2004): 465-479.

Sebelum Christian Chua, sejumlah artikel yang dimuat dalam jurnal Asian

Ethnicity Volume 4, Number 3, October 2003, juga mempergunakan baik

Page 10: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

34 | BAB II KERANGKA TEORETIS

melokalisasi problemnya pada konsep identitas nasional Indonesia

yang coba dipertahankan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam

konsep itu ada dua problem yang melekat. Yang pertama warga

negara dibagi ke dalam dua kategori: pribumi dan non-pribumi.

Warga negara pribumi adalah penduduk asli yang mendiami suatu

wilayah atau tanah. Karena itu, sekalipun sudah berstatus WNI,

orang Tionghoa tetap saja asing sebab bukan penghuni asli suatu

daerah. Masalah yang kedua adalah sifat singularitas dan statis dari

konsep identitas nasional Indonesia. Konsep identitas yang dianut

oleh pemerintah Orde Baru bersifat tunggal dan tetap sementara

Indonesia tersusun atas beraneka etnis, budaya, bahasa dan

agama. Orang Tionghoa sendiripun jauh dari sebuah komunitas

yang homogen. Ketidakpekaan pemerintah kepada keanekaraga-

man ini menyebabkan pilihan yang tersedia bagi orang Tionghoa

adalah “to give up all their ‘Chineseness’.”33 Melepaskan secara

menyeluruh ketionghoaan jelas sebuah ketidakmungkinan karena

baik keindonesiaan maupun ketionghoaan itu sendiri adalah

konsep hibrida, yang tidak pernah merupakan sebuah konsep yang

stabil. Kebijakan asimilasi, dengan demikian, menjadi sebuah

usaha politis yang sia-sia.

Keruntuhan Orde Baru mendorong timbulnya suatu genre

baru dalam studi atas orang-orang Tionghoa. Diilhami oleh teori

Albert Hirschman tentang perilaku konsumen, Ignatius Wibowo

mulai mengarahkan perhatian penelitian bukan lagi kepada situasi

internal atau eksternal orang Tionghoa yang mengitari orang-

orang Tionghoa namun langsung kepada respons-respons mereka

sendiri kepada situasi yang mengelilinginya. Tiga konsep

Hirschman yang ia pakai untuk membaca respons mereka adalah

seluruhnya maupun sebagian argumentasi Heryanto tentang kontradiksi

kebijakan asimilasi. 33 Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:

The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian

Ethnicity, Vol. 7 No. 2, June 2005: 152.

Page 11: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 35 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

exit, voice dan loyalty.34 Pada exit, bentuk responsnya ada tiga. Yang

pertama adalah meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara

lain. Yang kedua adalah pindah ke daerah lain, dan yang ketiga

adalah tetap tinggal di tempat semula namun membangun pagar-

pagar pelindung yang tinggi.

Untuk voice, Wibowo menemukan respons ini diperagakan

dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)

yang memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap orang Tionghoa. Sementara untuk loyalty, Wibowo

melihat hal itu ditampilkan dalam pilihan melibatkan diri di dalam

dunia politik Indonesia, baik dengan menjadi anggota partai

politik yang sudah ada maupun dengan mendirikan partai yang

berjuang menghapus diskriminasi terhadap orang Tionghoa.

Bentuk lain yang diperagakan dalam kategori ini adalah

mengambil sikap “suffer in silence, confident that things will soon

get better.”35 Wibowo percaya bahwa respons ini merupakan

respons dari mayoritas orang Tionghoa.

Apakah respons-respons ini dapat menggambarkan

respons orang Tionghoa semasa Orde Baru? Tulisan Wibowo

tidak memberi gambaran sampai sejauh itu karena ia menulis

tentang orang Tionghoa pasca jatuhnya Soeharto. Namun tulisan

Van Der Kroef yang terbit pada tahun 1968 memberikan

gambaran yang sedikit mirip dengan apa yang dilukiskan

Wibowo.36 Menyikapi situasi yang mengancam sejumlah besar

orang Tionghoa di berbagai kota berupaya mencari jalan untuk

keluar dari Indonesia.37 Yang lain menyuarakan protesnya kepada

perlakuan buruk yang diterima.38 Namun respons-respons ini tidak

berlangsung lama karena mendapat perlawanan keras dari aparat

34 Ignatius Wibowo, “Exit, Voice and Loyalty: Indonesian Chinese

after the Fall of Suharto,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.

16, No. 1 (April 2001): 125-146. 35 Ibid., 142. 36 Justus M. Van Der Kroef, “The Sino-Indonesian Rupture,” The

China Quaterly, No. 33 (Jan.—Mar., 1968): 17-46. 37 Ibid., 30. 38 Ibid., 32.

Page 12: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

36 | BAB II KERANGKA TEORETIS

dan masyarakat. Setelah kekacauan awal peralihan rezim berlalu,

orang-orang Tionghoa, mengikuti analisis Wibowo, tampaknya

lebih memilih diam menanggung derita dalam kesunyian.

Meski diam dalam kesunyian tidak berarti bahwa orang-

orang Tionghoa lantas tidak berbuat apa-apa melawan arus kuat

asimilasi yang dipaksakan kepadanya. Studi Aimee Dawis coba

memasuki ruang-ruang hidup di belakang pengawasan pemerintah

Orde Baru untuk mencari tahu apa yang dilakukan dengan

identitasnya. Ia menemukan bahwa tekanan untuk menjadi sama

dengan orang Indonesia lainnya ternyata tidak diterima begitu saja

oleh orang-orang Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa malah

berusaha mengkonstruksi identitas sosial tersendiri, yang tetap

diwarnai oleh budaya Tionghoanya. Merujuk kepada konsep

Stuart Hall tentang pengalaman diaspora dan hibriditas, Dawis

mendapati bahwa film-film silat Mandarin telah dipergunakan

sebagai medium untuk mengenali dan memahami kebudayaan

Tionghoa serta kehidupan di negeri asal yang tidak bisa ditemukan

lagi di ruang-ruang publik.39 Nilai-nilai budaya Tionghoa yang

dilihat dari film-film itu bersama dengan nilai-nilai budaya

setempat, oleh suatu proses yang dinamis dikonstruksi sedemikian

rupa menjadi suatu identitas pribadi yang bersifat hibrida.

Kebijakan asimilasi adalah kebijakan yang lahir dari

keinginan kelompok dominan untuk menegakkan hegemoninya

atas mereka yang dipersepsi sebagai para pendatang.40 Ia

merupakan bagian dari operasi kekuasaan penguasa Orde Baru

atas orang-orang Tionghoa yang dipersepsi sebagai pendatang,

bukan asli Indonesia, asing dan sebuah masalah yang harus dicari

jalan keluarnya. Studi-studi yang ada sudah lama tiba pada

kesimpulan itu. Meski demikian, respons terhadap kebijakan itu

masih belum banyak digali. Orang-orang Tionghoa masih

39 Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas (Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 2010). 40 James Forrest & Kevin Dunn, “Core’ culture hegemony and

multiculturalism: Perceptions of the privileged position of Australians with

British backgrounds,” Ethnicities Vol 6 (2), 2003: 203-204.

Page 13: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 37 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

tergambarkan secara monokrom sebagai kelompok orang yang

tunduk dan patuh mengikutinya. Kalau pun akhirnya mereka tidak

berasimilasi maka hal itu terjadi karena ketidakkonsistenan

pemerintah dalam menjalankannya serta kontradiksi yang melekat

di dalamnya.41 Yang lain memahami kegagalan asimilasi terjadi

karena dibangun di atas pandangan yang keliru tentang identitas,

yakni memahami identitas secara esensialis atau primordialis.42

Pandangan ini mereduksi orang ke dalam sebuah ‘esensi’ yang

homogen dan tidak berubah, yang menandainya dalam interaksi

sosial dengan orang lain. Esensi itu dapat berupa rasnya, fisiknya,

budayanya, bahasanya dan lain sebagainya. Sementara dalam

praktiknya identitas seseorang adalah bersifat majemuk dan terus-

menerus mengalami proses rekonstruksi. Di dalam proses ini

selalu terbuka kemungkinan bagi terbentuknya identitas yang tidak

sama persis dengan yang diinginkan penguasa.

Telah ada upaya untuk menunjukkan bahwa respons

orang Tionghoa tidak melulu patuh dan setia tetapi juga melawan.

Hanya saja fokus analisis Wibowo masih sebatas pada masa

sesudah runtuhnya Orde Baru. Studi Aimee Dawis membuka

cakrawala baru karena mengangkat strategi-strategi yang ditempuh

oleh orang Tionghoa di masa Orde Baru untuk dapat terus

berhubungan dengan akar-akar budaya Tionghoa. Studi ini lantas

menjadi penting artinya karena fokusnya kini beralih kepada

aktivitas hidup sehari-hari orang-orang Tionghoa. Berbeda dari

sebagian besar studi sebelumnya yang fokus kepada interaksi

secara umum dengan penguasa, Dawis memperlihatkan bahwa

dalam aktivitas hidup sehari-hari itu ada modus-modus interaksi

41 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 218. 42 Untuk uraian lebih lanjut tentang identitas primordial atau

esensialis lihat Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas

Kelompok dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). Ia

memakai istilah “Rumah Muumbi” sebagai metafora untuk identitas

primordial itu. Yang lain lihat Stephen Cornell & Douglas Hartman, Ethnicity

and Race: Making Identities in A Changing World (Thousand Oaks, CA.: Pine

Forge Press, 1998). Ia memberikan uraian panjang lebar tentang pendekatan primordial, sirkumstansional atau situasional dan konstruksional.

Page 14: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

38 | BAB II KERANGKA TEORETIS

yang berbeda dari yang selama ini tersingkap. Kalau yang umum

tampak adalah orang Tionghoa tunduk dan kalah kepada

kemauan penguasa; dalam lokasi hidup sehari-hari, di arena yang

tidak teramati oleh penguasa, orang-orang Tionghoa terus

menjalin hubungan dengan kebudayaannya yang terlarang serta

terus diberi makan secara kultural olehnya. Kalau demikian

mungkinkah hal seperti itu juga terjadi, meski dengan cara yang

berbeda, dalam ruang-ruang lain yang jauh dari pengamatan

penguasa? Di sinilah aktivitas orang Tionghoa di dalam lembaga-

lembaga keagamaannya menjadi menarik untuk dicermati.

Selanjutnya, kalau peran agama selama ini digambarkan

secara positif sebagai yang memfasilitasi asimilasi, studi-studi

sosiologi agama sebenarnya memperlihatkan bahwa fungsi agama

tidak melulu begitu. Agama memang dapat berfungsi sebagai alat

apologi dan legitimasi status quo dengan budaya ketidakadilannya

namun di pihak lain agama juga bisa berfungsi sebagai alat protes,

perubahan dan pembebasan.43 Penelitian tentang fungsi agama,

khususnya agama Kristen, pada orang Tionghoa dalam kaitannya

dengan kebijakan asimilasi selama ini terlalu menitikberatkan

fungsi pertama agama. Namun kalau agama punya fungsi lain,

yaitu sebagai alat untuk melawan hegemoni maka tentu saja

mungkin untuk mengharapkan respons lain dari orang-orang

Tionghoa terhadap kebijakan asimilasi. Namun untuk sampai ke

sana dibutuhkan terlebih dulu sebuah kerangka teori yang dapat

memfasilitasi penemuan tersebut. Di bawah ini adalah suatu

upaya untuk mengkonstruksi kerangka teori semacam itu.

43 Dorothee Solle, dikutip oleh Dwight B. Billings, “Religion as

Opposition: A Gramscian Analysis,” The American Journal of Sociology, Vol.

96, No. 1 (Jul., 1990): 2. Kutipannya adalah “religion must be understood in its ‘double function’ that is, ‘as apology and legitimation of the status quo and

its culture of injustice on the one hand, and as a means of protest, change and liberation on the other hand.’”

Page 15: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 39 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

B. Definisi-definisi Konseptual

Setidaknya ada tiga konsep penting yang menyusun

kerangka teori yang akan dipergunakan di sini. Ketiganya adalah

kebijakan asimilasi, identitas nasional Indonesia dan perlawanan.

Agar tidak timbul kekaburan maka suatu definisi operasional akan

diberikan kepada komponen-komponen konseptual tersebut.

1. Kebijakan Asimilasi

Secara etimologis, asimilasi berasal dari kata Latin

adsimilare yang berarti membuat serupa atau sama.44 Dalam

pengertian umum, asimilasi menunjuk kepada proses yang dijalani

oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk

mengadopsi bahasa, norma-norma kultural dan nilai-nilai dari

kelompok lain.45 Individu-individu atau kelompok-kelompok itu

umumnya dianggap sebagai orang luar (outsider) atau orang asing

(foreigners) oleh masyarakat yang menerima mereka (host society).

Di antara mereka adalah kaum migran, yakni para pendatang dan

perantau dari berbagai negara dan budaya yang menetap di suatu

negara.46

Meski di kemudian hari ditemukan bahwa asimilasi

merupakan sebuah proses dua arah47 namun gagasan yang selama

bertahun-tahun melekat dalam konsep ini adalah sebuah proses

satu arah saja. Dalam proses satu arah itu, para pendatang atau

kelompok minoritas secara perlahan-lahan menyesuaikan dirinya

44 Laura Zanfrini, “Assimilation” Dictionary of Race, Ethnicity &

Culture, eds. Guido Bolaffi, et all (London: SAGE Publications, 2003), 19. 45 David G. Embrick, “Assimilation” International Encyclopedia of the

Social Sciences 2nd Edition, ed. William A. Darity, Jr. (Farminton Hills, MI.:

Macmillan Reference USA, 2008), 188. 46 Larry Ray, “Assimilation,” The Cambridge Dictionary of Sociology,

ed. Bryan S. Turner (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2006 ),

24; Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Roger Scruton,

The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought (New York: Palgrave

Macmillan, 2007), 42. 47 Lihat Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24;

Page 16: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

40 | BAB II KERANGKA TEORETIS

dengan suasana hidup di lingkungan yang baru dengan menyerap

nilai-nilai dari budaya dominan.48

Sasaran akhir yang hendak dicapai dari proses ini adalah

hilangnya batas-batas yang membedakan suatu etnis atau ras

berikut perbedaan-perbedaan sosial dan kultural serta identitas-

identitas yang diasosiasikan dengan etnis atau ras tersebut.49 Ciri-

ciri kultural yang membedakan lenyap bersamaan dengan

terserapnya ke dalam budaya mayoritas atau budaya dominan.50

Pada level kelompok hasilnya bisa berupa terserapnya satu atau

lebih kelompok minoritas ke dalam kelompok mayoritas, atau

penggabungan kelompok-kelompok minoritas; sementara pada

level individual hasilnya adalah terakulturasi, terintegrasi dan

teridentifikasi dengan anggota-anggota kelompok lain.51

Hakikat asimilasi pada dasarnya adalah penciptaan sebuah

masyarakat dengan identitas kultural yang seragam (uniform).52

Pendatang atau orang asing atau kelompok etnis minoritas dengan

karakteristik sosial dan kultural yang berbeda dianggap berbahaya

bagi stabilitas sosial dan politis.53 Asimilasi lantas menjadi strategi

politik yang dipilih oleh penguasa untuk menjaga masyarakat tetap

sehomogen mungkin.54 Implementasinya diwujudkan dalam

bentuk kebijakan yang dipaksakan oleh negara, yang bertujuan

membasmi semua budaya-budaya minoritas.55

48 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Embrick

dalam Darity, Jr., ed., International Encyclopedia of the Social Sciences, 188. 49 R.G. Rumbaut, “Assimilation,” International Encyclopedia the Social

and Behavioral Sciences Vol. I, eds. Neil J. Smelser & Paul. B. Baltes (Oxford,

UK.: Elsevier, 2001), 845. 50 Lihat Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of Nationalism Vol. 2:

Leaders,Movements, and Concepts (San Dieago, CA.: Academic Press, 2001), 29;

Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19. 51 Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral

Sciences Vol. I, 845. 52 Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24 53 Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 42. 54 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19. 55 Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral

Sciences Vol. I, 845.

Page 17: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 41 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Pengertian tentang kebijakan asimilasi yang dipergunakan

di sini adalah segala peraturan yang dikenakan oleh pemerintah

Orde Baru kepada orang Tionghoa dengan maksud untuk

mengintegrasikannya ke dalam masyarakat dan kebudayaan

Indonesia. Pada hakikatnya ia berisi tiga hal. Pertama,

penghapusan identitas sosial-kultural etnis Tionghoa, yang

mencakup bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan, dan

kebangsaannya. Kedua, memaksa orang Tionghoa keluar dari

kelompoknya, bertemu dengan orang lain dan membuka

kelompoknya untuk dimasuki oleh orang lain. Ketiga, memaksa

mereka untuk merangkul suatu identitas baru, identitas nasional

Indonesia, dengan bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan,

kebangsaan dan kewarganegaraan yang sama dengan masyarakat

di mana mereka berada.

2. Identitas Nasional Indonesia

Gagasan tentang identitas nasional tidak bisa dilepaskan

dari percakapan tentang nasionalisme dan asal-usul bangsa dan

negara modern.56 Sebagian pendapat mengatakan bahwa bangsa

dan negara merupakan produk industrialisasi dan modernisasi.

Sebelum era modern yang dimulai pada abad ke-18, nasionalisme

dan negara seperti yang dikenal saat ini masih belum ada ada.57

Pendapat yang lain mengatakan bahwa negara tidak sepenuhnya

merupakan fenomena modernitas. Nasionalisme dan negara-

bangsa adalah realitas-realitas modern yang memiliki akar-akar

dari masa lalu.

56 Lihat Craig Calhoun, “Nationalism and Ethnicity,” Annual Review

of Sociology, Volume 19 (1991): 211-239; Anthony D. Smith, The Cultural

Foundations of Nations: Hierarchy, Covenant, and Republic (London: Blackwell

Publishing, 2008); Anthony D. Smith, Myths and Memories of the Nation

(Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999); Ernest Gellner, Nations and

Nationalism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1983). 57 Menurut Smith, teori dominan melihat bangsa dalam artian

modern muncul bersamaan dengan timbulnya Revolusi Amerika dan

Revolusi Perancis. Lihat Smith, The Cultural Foundations of Nations, xii.

Page 18: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

42 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Pada pendapat pertama bangsa lahir sebagai produk dari

arus industrialiasi yang mengubah secara besar-besaran struktur

masyarakat agraris dan membuat banyak orang tercerabut dari

akar-akar hidupnya. Untuk menyatukan masyarakat yang tercerai

berai ini maka sejumlah elit kemudian meluncurkan nasionalisme

sebagai ideologi yang mempersatukan semua orang itu ke dalam

suatu batas-batas politis dan budaya yang sama.58 Pikiran ini

berbeda dari konsep kedua yang memahami kejadian bangsa dari

dalam etnisitas pra-modern. Sebelum suatu bangsa ada, sudah

lebih dulu ada apa yang diistilahkan Smith sebagai ethnie, atau

komunitas etnis. Di kemudian hari, oleh proses-proses sosio-

historis, komunitas ini berubah menjadi ethnie cores, yaitu sebuah

komunitas yang kohesif dan sadar akan keperbedaannya dari yang

lain. Mereka inilah yang nantinya menjadi “kernel and basis of

states and kingdoms.”59

Dalam kaitan ini setidaknya timbul dua bentuk negara.

Yang pertama adalah nation-state dan yang kedua adalah national

state.60 Bentuk yang pertama umum dikenal dengan istilah “negara

bangsa.” Dalam negara ini rakyat memiliki kesamaan bahasa,

agama dan identitas simbolik yang kuat. Yang kedua adalah

58 Pada pokoknya ini adalah argumen Gellner. Lihat Gellner,

Nations and Nationalism, 39-52. Juga lihat Thomas Hylland Eriksen,

Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar (Maumere: Penerbit Ledalero,

2009), 468. Berbeda dari Gellner, Ben Anderson mengajukan teori lain tentang munculnya bangsa. Kalau Gellner menaruh sebab timbulnya bangsa

pada industrialisasi, Anderson menaruhnya pada faktor-faktor

berkembangnya pemakaian bahasa setempat (vernacular), teknologi

percetakan, media komunikasi dan perkembangan peta. Untuk ringkasan argumen Anderson lihat Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume

19 (1991): 233-235. Lengkapnya Benedict Anderson, Imagined Communities:

Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, revised edition (New York:

Verso, 1991). 59 Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books,

1991), 38-39. 60 Smith memakai istilah yang berbeda untuk kedua macam negara

ini. Untuk national state ia memakai istilah civic state model, yang merupakan

gejala khas Barat (Western) sementara untuk nation-state Smith memakai

istilah ethnic state model, yang ia katakan merupakan khas Eropa Timur, Asia

dan sebagian besar Afrika. Lihat Ibid., 8-15.

Page 19: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 43 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

negara yang berusaha memperluas kekuasaan langsung sampai

kepada seluruh populasi rakyatnya dan di saat yang sama berusaha

mengembangkan kapasitas mereka untuk mengorganisir

rakyatnya.61 Baik negara yang pertama maupun negara yang

kedua, persoalan yang dihadapi tetap sama, yaitu bagaimana

mencapai dan mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa

dan negara. Di titik ini kaum nasionalis kemudian mengintroduksi

isu identitas nasional. Dengan merangkul sebuah identitas kolektif

yang diklaim lebih utama dan kepentingannya mengalahkan

kepentingan identitas-identitas lain, seperti identitas personal atau

kelompok, maka individu-individu yang bermacam-macam dalam

batas-batas teritori negara akan merasa menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari orang lain yang berada dalam batas-batas negara.

Dengan jalan ini tiap-tiap orang dihubungkan secara langsung

dengan bangsa secara keseluruhan.62 Meminjam ucapan Barker,

identitas nasional adalah “a way of unifying cultural diversity.”63

Identitas nasional jadinya menunjuk kepada dua hal. Yang

pertama kepada gambar diri kolektif anggota-anggota suatu

bangsa, dan yang kedua sistem budaya tersendiri yang dianut oleh

mayoritas populasi bangsa.64 Gambar diri itu dibentuk dengan cara

mengidentifikasi diri kepada simbol-simbol bangsa.65 Tentu saja

tiap-tiap bangsa memiliki identitas nasional yang berbeda-beda.

Namun demikian masing-masing memiliki komponen-komponen

61 Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume 19 (1991): 217. 62 Ibid., 229. 63 Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies (London:

SAGE Publications, 2004), 132. Terjemahan: “suatu cara untuk menyatukan

keanekaragaman budaya.” 64 Liora Lukitz, Iraq: The Search for National Identity (London: Frank

Cass & Co. Ltd., 1995), 2. 65 Dari perspektif psikologi sosial, William Bloom mendefinisikan

identitas nasional sebagai “condition in which a mass of people have made

the same identification with national symbols—have internalised the symbols of the nation—so that they may act as one psychological group when there is

a threat to, or the possibility of enhancement of, these symbols of national

identity.” Lihat William Bloom, Personal Identity, National Identity and

International Relations (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 1993),

52. Bnd. Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 131.

Page 20: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

44 | BAB II KERANGKA TEORETIS

umum yang sama. Smith menyebut lima komponen umum

identitas nasional yang ada bisa ditemukan pada semua konsep

identitas nasional mana saja. Kelimanya adalah: [a] sebuah teritori

atau tanah air historis, [b] mitos-mitos dan memori-memori

sejarah yang sama, [c] sebuah kebudayaan publik yang sama, [d]

hak-hak dan kewajiban yang sama untuk semua anggota bangsa,

dan [e] suatu ekonomi yang sama dengan mobilitas teritorial yang

sama untuk semua anggota bangsa.66 Scruton menambahkan

komponen-komponan lain yakni [a] sifat alamiah bangsa, [b]

kepentingan-kepentingan bersama, dan [c] tujuan hidup yang

sama.67

Komponen-komponen tersebut umumnya dapat

ditemukan dalam berbagai konstruksi identitas nasional.68 Dalam

penelitian ini identitas nasional akan dipahami sebagai suatu

bentuk identifikasi dengan bangsa seperti terungkap lewat simbol-

simbolnya. Identitas ini bersifat multidimensional, artinya simbol-

simbol bangsa kepada mana individu-individu mengidentifikasikan

dirinya tidak melulu terdiri atas satu komponen saja. Identitas

nasional merupakan konstruksi kompleks, yang terdiri atas

komponen-komponen etnis, kultural, teritorial, ekonomi, legal dan

politis. Individu-individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan

identitas itu lantas terikat dalam suatu “bonds of solidarity among

members of communities united by shared memories, myths and

traditions.”69

Dengan pengertian semacam itu maka identitas nasional

Indonesia adalah suatu bentuk identifikasi dengan bangsa

Indonesia melalui simbol-simbolnya. Di antara hal-hal yang

dipahami sebagai simbol-simbol bangsa Indonesia adalah bahasa

Indonesia, tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang

sampai Merauke, bendera nasional Sang Merah Putih, lagu

kebangsaan Indonesia Raya, burung garuda, semboyan Bhinneka

66 Smith, National Identity, 14. 67 Scruton, Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 316. 68 Misalnya lihat Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya, 492-493. 69 Smith, National Identity, 15.

Page 21: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 45 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945 dan dasar negara

Pancasila.70 Dari semuanya itu, komponen simbolik yang menjadi

tekanan penting pemerintahan Orde Baru adalah Pancasila.71 Ia

menjadi simbol utama kebudayaan dan kebangsaan Indonesia.

Melekatkan diri kepada Pancasila dapat dikatakan sama artinya

dengan melekatkan diri kepada Indonesia.

Identitas nasional Indonesia yang disimbolkan di dalam

Pancasila diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam berbagai

metafor. Dalam salah satu bagian pidatonya pada upacara

peresmian keanggotaan MPR pada tahun 1972, Presiden Soeharto

mengatakan bahwa “Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.”72

Ia tidak saja jiwa namun juga kepribadian dan pandangan hidup

bangsa Indonesia, yang memberi bimbingan dan tuntunan dalam

segala kegiatan bangsa, negara, masyarakat dan manusia

Indonesia serta tujuan hidup bangsa Indonesia.73 Ia tidak muncul

mendadak namun “merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan

tumbuh dari sejarah dan kebudayaan kita yang telah berabad-abad

lamanya. Suatu kebudayaan yang menempatkan keselarasan

sebagai kunci kebahagiaan manusia.”74 Dengan merangkul

Pancasila sebagai identitas nasional maka yang akan tercipta

bukan lagi suatu masyarakat yang terpecah belah oleh “faham

golongan dan perseorangan” tetapi sebuah “masyarakat

70 Dikdik Baehaqi Arif, Diktat Pendidikan Kewarganegaraan

(Yogyakarta: FKIP Universitas Ahmad Dahlan, 2011), 3-4; Jakob Oetama,

“Pancasila, Identitas dan Modernitas” Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik

Identitas dan Modernitas, ed. Irfan Nasution & Ronny Agustinus (Bogor:

Brigthen Press, 2006), 120-125; Azyumardi Azra, “Pancasila dan Identitas

Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme” dalam Ibid., 143-161. 71 R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan

(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 373-374. Lihat pula Yau Hoon

dalam Asian Ethnity, Volume 7, Number 2, June 2006:150-151. 72 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila

(Jakarta: CSIS, 1976), 11-12. 73 Ibid., 10, 14, 15. 74 Ibid., 20.

Page 22: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

46 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Pancasila” yaitu “masyarakat Indonesia yang bercorak

kepribadian Indonesia sendiri.”75

Selain Pancasila, komponen lain dari identitas nasional

Indonesia yang ditekankan oleh pemerintahan Orde Baru adalah

bahasa Indonesia.76 Bahasa ditekankan karena kesadaran bahwa

masyarakat Indonesia adalah “masyarakat majemuk; masyarakat

ganda” yang terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa dan

kebudayaan, adat-istiadat dan agama yang berbeda. Perbedaan itu

disadari sepenuhnya berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.

Bahasa Indonesia menjadi tekanan karena dengan bahasa yang

satu itu bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini dapat diikat

menjadi satu kesatuan.77

Komponen terakhir yang cukup ditekankan adalah

komponen kesatuan teritorial, kultural dan legal-politis. Indonesia

adalah suatu teritori “dari Sabang sampai Merauke” yang “bulat

dan utuh.”78 Di dalam teritori itu hidup suatu masyarakat yang

majemuk, dengan suku, golongan, kepentingan, keyakinan dan

agama yang berbeda-beda. Namun semua itu harus ditundukkan

di bawah nasionalisme Pancasila, yang mengharuskan

dihapuskannya “penonjolan kesukuan, keturunan ataupun

perbedaan warna kulit.”79 Dalam kaitan ini maka suatu gagasan

tentang kewarganegaraan ganda sama sekali tidak bisa diterima.80

Dan senada dengan itu “tata pergaulan yang eksklusif di dalam

75 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, 20,

23. 76 Elson, The Idea of Indonesia, 380. 77 Krissantono, ed., 52-53. Soedjatmoko melihat fungsi bahasa

Indonesia sebagai “wahana integrasi politik dan alat perjuangan kolonial”

pada tataran elit bangsa telah berhasil dijalankan oleh bahasa Indonesia sejak 1928-1978. Sementara dalam periode berikutnya, penggunaan bahasa

Indonesia perlu digalakkan dan ditekankan di berbagai level demi mendorong proses transformasi bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh. Lihat Andre

Hero Triman, ed., Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (Jakarta:

Penerbit Buku Kompas, 2010), 119-159. 78 Krissantono, ed., 53. 79 Ibid., 48. 80 Elson, The Idea of Indonesia, 380.

Page 23: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 47 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

lingkungan satu Bangsa”81 atau hidup dengan “perasaan kesukuan

yang sempit”82 tidak bisa diterima pula. Yang kini harus

dihidupkan adalah semangat kebangsaan dan persatuan serta rasa

cinta yang lebih besar kepada Tanah Air Indonesia. Di sini

Pancasila memegang peranan krusial, yakni “sebagai faktor

integrasi.”83 Berkomitmen kepada Pancasila akan menimbulkan

komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia.

3. Perlawanan

Istilah ‘perlawanan’ yang dipergunakan di sini merupakan

terjemahan dari kata kerja resist dan kata benda resistance. Dalam

Dictionary of Politics and Government, kata resistance diberi dua

makna.84 Makna pertama adalah suatu aksi yang memperlihatkan

bahwa orang menolak sesuatu; sementara makna kedua menunjuk

kepada sebuah kelompok yang secara diam-diam berjuang

melawan musuh yang menduduki negerinya. Makna ini tidak jauh

berbeda dari kata kerja resist, yang diartikan sebagai berjuang

melawan sesuatu atau tidak mau tunduk kepada sesuatu.85 Dalam

kamus lain kata resist antara lain bermakna bangkit memberikan

perlawanan kepada seseorang atau sesuatu, menahan tekanan

sesuatu dan menolak untuk patuh.86 Melawan, jadinya berisi sikap

dan tindakan. Ia adalah sikap yang tidak mau tunduk dan patuh,

yang terungkap dalam tindakan memberikan perlawanan terhadap

seseorang atau sesuatu, serta dalam tindakan menolak kekuatan

tertentu secara diam-diam. Perlawanan, jadinya, menunjuk kepada

sikap tidak mau menyerah kepada suatu tekanan dan kepada

81 Krissantono, ed., 56. 82 Ibid., 50. 83 Ibid., 51. 84 P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government, 3rd ed. (London:

Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 212-213. 85 Collin, Dictionary of Politics and Government, 212. Kalimatnya

adalah “to fight against something or not give in to something.” 86 “resist” dalam WordWeb 6.8. Copyright©Antony Lewis 2012.

Kalimatnya adalah“stand up or offer resistance to somebody or something”,

“withstand the force of something” dan “refuse to comply.”

Page 24: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

48 | BAB II KERANGKA TEORETIS

tindakan untuk melawan sesuatu atau seseorang, baik yang

dilakukan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.

Dalam percakapan ilmu-ilmu sosial, konsep perlawanan

secara literal dipahami sebagai bangkit menentang (stand against).87

Konsep ini awalnya dipergunakan untuk aksi-aksi perlawanan

terhadap perubahan-perubahan sosial budaya yang sedang terjadi

di dalam masyarakat. Konsep yang terdengar konservatif ini berisi

upaya untuk mempertahankan dan melestarikan struktur sosial

budaya yang selama ini dikenal masyarakat.88 Pada abad ke-20

konsep ini mulai mengalami perubahan arti seiring dengan

timbulnya perjuangan anti-kolonialisme di berbagai negara di Asia

dan Afrika. Walau maknanya tetap sama namun kini dipakai oleh

gerakan anti-kolonialisme. Kini artinya menjadi penolakan atas

segala bentuk kebudayaan asing yang merasuki masyarakat dan

berbalik melestarikan serta merayakan tradisi-tradisi budaya

pribumi.89 Perlawanan, dalam arti ini, adalah usaha bela diri

melawan kekuatan budaya yang dialami sebagai eksternal dan

lain.90

Berangkat dari kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi

begitu luas dalam hidup manusia sampai ke level hidup sehari-

hari, studi-studi budaya (cultural studies) kemudian memberi

pengertian lain pada perlawanan. Kini perlawanan dipahami

sebagai ambivalensi dan negosiasi, di mana dominasi dilawan

dengan praktik-praktik yang bermakna ganda. Jika yang dilawan

adalah suatu budaya dominan maka perlawanan itu tidak lagi

dalam bentuk berhenti mengkonsumsinya melainkan justru

mengkonsumsinya namun dengan memberinya bentuk hibrida

yang aneh (grotesque).91 Di satu sisi praktik itu terlihat aneh, seperti

tampak penampilan anak-anak muda yang berbudaya Punk.

87 Stephen Duncombe, “Resistance,” International Encyclopedia of

Social Science Vol. 7, ed. William A. Darity, Jr. (New York: Macmillan

Reference USA, 2008), 207. 88 Ibid., 208. 89 Ibid. 90 Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 178. 91Ibid.

Page 25: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 49 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Namun di sisi lain keanehan itu sekaligus adalah perlawanan

terhadap budaya dominan yang dipasarkan lewat media dan lain

sebagainya.

Dalam studinya atas ratusan buku dan artikel yang ditulis

tentang perlawanan, duet Hollander dan Einwohner mendapati

bahwa konsep itu tidak dipakai dalam arti yang sama. Ada banyak

makna yang dilekatkan kepadanya.92 Meski demikian di dalamnya

masih dapat ditemukan kesamaan, khususnya yang berkaitan

dengan elemen-elemen inti perlawanan. Elemen-elemen tersebut

adalah aksi dan oposisi.93 Sebagai aksi, perlawanan bukanlah suatu

kualitas dari seorang aktor atau suatu keadaan melainkan suatu

perilaku aktif, entah verbal, kognitif atau fisik di tempat, waktu

dan relasi sosial tertentu.94

Sebagai oposisi, perlawanan adalah membalas (counter),

mengkontradiksikan (contradict), perubahan sosial (social change),

menolak (reject), menantang (challenge), oposisi (opposition),

subversif (subversive), dan merusak atau mengacaukan

(damage/disrupt). Mengutip beberapa penulis yang tulisan-

tulisannya diteliti, perlawanan sebagai oposisi didefinisikan,

misalnya, sebagai mempertanyakan struktur peran-peran sosial

tertentu, atau penolakan secara sengaja terhadap nilai-nilai yang

mengokohkan relasi-relasi kekuasaan yang ada, atau sekedar

secara aktif berkata tidak kepada sesuatu yang salah, atau

berperilaku yang berlawanan dari perilaku-perilaku dominan.95

Dalam penelitian ini definisi perlawanan yang

dipergunakan adalah definisi yang dimodifikasi dari definisi yang

diberikan oleh James C. Scott dan Susan Seymour. Menurut Scott

perlawanan adalah tindakan atau tindakan-tindakan yang

dilakukan oleh seorang anggota atau anggota-anggota kelompok

92 Jocelyn A. Hollander & Rachel L. Einwohner, “Conceptualizing

Resistance,” Sociological Forum, Vol. 19, No. 4, December 2004: 533-534. 93 Ibid., 538. 94 Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 178. 95 Hollander & Einwohner, 538.

Page 26: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

50 | BAB II KERANGKA TEORETIS

yang didominasi yang bertujuan untuk memitigasi atau

menyangkali klaim-klaim yang dibuat oleh kelompok dominan,

atau untuk memperjuangkan klaim mereka sendiri.96 Meski secara

tidak langsung sudah memperlihatkan hal itu dari istilah kelompok

yang didominasi dan kelompok dominan namun definisi Seymour

makin mempertegasnya dengan menaruh perlawanan dalam

sebuah konteks relasi kekuasaan yang berbeda. Ia mendefinisikan

perlawanan sebagai perbuatan-perbuatan menantang dan

menentang yang disengaja dan disadari, yang dilakukan oleh

seorang individu atau kelompok individu-individu terhadap

seorang individu atau individu-individu superior dalam konteks

relasi kekuasaan yang berbeda.97 Dari sini perlawanan dipahami

sebagai tindakan menolak tunduk sepenuhnya kepada dominasi

negara atas suatu kelompok, yang diwujudkan dalam penolakan

untuk patuh kepada kebijakan-kebijakan yang bermaksud

menghapuskan identitas kelompok tersebut.

C. Asimilasi dan Teori-teori tentang Perlawanan terhadap

Asimilasi

Dalam bagian ini akan disajikan secara ringkas sejumlah

teori tentang respons-respons yang diambil oleh kelompok

minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi. Pertama-tama

akan dikaji dari sudut pandang teori-teori asimilasi itu sendiri

kemudian akan diulas di mana manfaat-manfaatnya sekaligus

keterbatasan-keterbatasannya. Dari situ uraian akan bergerak

kepada teori perlawanan terhadap dominasi yang akan dipakai

dalam penelitian ini.

1. Teori-teori Klasik tentang Asimilasi dan Perlawanan

terhadap Asimilasi

96 James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant

Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), 290. 97 Susan Seymour, “Resistance,” Anthropological Theory, Vol. 6 (3):

305.

Page 27: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 51 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Teori-teori tentang asimilasi berakar di dalam persoalan

imigrasi di Amerika Serikat.98 Orang-orang yang paling awal

berkutat dengan persoalan ini adalah sejumlah peneliti sosial di

Chicago University pada awal abad ke-20. Di antara yang terkenal

adalah Robert Ezra Park, W.I. Thomas, Louis Wirth dan lain-lain.

Definisi paling awal yang mereka berikan tentang asimilasi adalah

sebuah proses interpenetrasi dan fusi, dalam mana orang-orang

dan kelompok-kelompok mengambil memori-memori, sentimen-

sentimen dan sikap-sikap orang-orang dan kelompok-kelompok

lain, dan dengan cara itu membuat dirinya terinkorporasikan ke

dalam sebuah budaya bersama.99 Dalam definisi ini, Park dan

kawan-kawan sama sekali tidak mensyaratkan penghapusan

budaya asal. Namun demikian, kontribusi paling besar yang

disumbangkan Park dan rekan-rekannya dari The Chicago School

adalah suatu pemahaman tentang asimilasi sebagai titik kulminasi

dari pola relasi antar etnis, yang dimulai dari kontak, lalu

kompetisi, akomodasi dan berakhir di asimilasi. Kontribusi lain

ialah sifat progresif dan tidak bisa dibalik dari pola relasi itu.100

Bersama dengan dan sesudah Park teori tentang asimilasi

terus diperkembangkan meski masih dalam genre yang sama.

Asimilasi masih merupakan sasaran akhir yang dituju oleh semua

imigran. Perbedaannya hanya pada soal kecepatan waktu

berasimilasi. Sejak itu belum ada sama sekali konsep yang akan

membantu peneliti sosial untuk dapat lebih dalam mengeksplorasi

konsep asimilasi. Kebuntuan ini baru dipecahkan oleh Milton M.

Gordon pada tahun 1964 lewat bukunya yang berjudul Assimilation

in American Life.101 Dalam buku ini Gordon mengkaji tiga model

teori asimilasi yang selama ini dikenal dan sesudah itu

98 Richard Alba & Victor Nee, Remaking the American Mainstream:

Assimilation and Contemporary Immigration (Cambridge, MA.: Harvard

University Press, 2003), 18. Bnd. Robert E. Park & Ernest W. Burgess,

Introduction to the Science of Sciology (Chicago, IL.: The University of Chicago

Press, 1921), 734. 99 Alba & Nee, 19. 100 Ibid., 20. 101 Ibid., 23.

Page 28: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

52 | BAB II KERANGKA TEORETIS

mengajukan teorinya tentang tujuh tahap asimilasi. Tiga model

teori tentang asimilasi itu ia namakan tiga ideologi, untuk

menjelaskan pengaruhnya pada kebijakan-kebijakan pemerintah

untuk para imigran yang masuk ke Amerika.

Model pertama, Anglo-conformity, menuntut kelompok

minoritas untuk secara total membuang semua kebudayaan

leluhurnya dan merangkul perilaku dan nilai-nilai kelompok inti

Anglo-Saxon. Model kedua, the melting pot, mengandaikan

percampuran orang-orang Anglo-Saxon dengan orang-orang dari

kelompok minoritas dan bersamaan dengan itu percampuran

budaya masing-masing menjadi sebuah budaya baru yang khas

Amerika. Model ketiga, cultural pluralism, mengharuskan

pelestarian kehidupan komunal dan bagian-bagian signifikan dari

kebudayaan kelompok-kelompok minoritas dalam konteks

kewarganegaraan Amerika dan integrasi politik dan ekonomi ke

dalam masyarakat Amerika.102

Dari tiga model itu, model pertama dan kedua

mengandaikan hadirnya suatu kelompok dominan dan budaya

dominan. Di sini Gordon memakai konsep Joshua Fishman

tentang masyarakat inti (core society) dan budaya inti (core culture)

sebagai kelompok dan budaya dominan dimaksud. Masyarakat

inti Amerika adalah orang kulit putih Protestan kelas menengah

(middle-class white Protestant Americans) sementara budaya intinya

adalah pola-pola budaya kelas menengah yang secara umum

dibentuk oleh orang kulit putih Protestan yang berasal dari Inggris

(the middle-class cultural patterns of, largely, white Protestant, Anglo-

Saxon origins).103 Dalam proses asimilasi, dua model pertama

menuntut kelompok-kelompok minoritas untuk melepaskan

102 Milton M. Gordon, Assimilation in American Life (New York:

Oxford University Press, 1964), 85. 103 Ibid., 72.

Page 29: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 53 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

identitas etnisnya demi mencapai identitas Amerika yang

sempurna.104 Pada model ketiga hal itu tidak dibutuhkan.

Ketiga model ini dipandang oleh Gordon mengabaikan

apa yang ia sebut “a multitude of subprocess” dari realitas

asimilasi yang kompleks.105 Karena itu, ia kemudian mengajukan

teorinya tentang tujuh tahapan asimilasi. Ketujuhnya adalah

asimilasi budaya atau perilaku (akulturasi), asimilasi struktural,

asimilasi pernikahan, asimilasi identifikasi, asimilasi sikap

resepsional, asimilasi perilaku resepsional dan asimilasi sipil.106

Dari ketujuh tahap ini, tahap yang paling kritis adalah tahap

kedua, yaitu asimilasi struktural. Bila kelompok minoritas dapat

sampai ke tahap ini maka tahapan-tahapan berikutnya akan dapat

dilalui dengan baik. Di tahap ini kelompok minoritas diterima

masuk ke dalam lingkaran dalam kelompok dominan dan terlibat

dalam kegiatan-kegiatan di dalam kelompok itu. Untuk sampai ke

sini tentu saja ada harga yang harus dibayar. Harganya adalah

hilangnya kelompok etnis sebagai entitas yang terpisah dan

menguapnya nilai-nilai khas yang mereka hidupi.107

Namun penerimaan itu tidak serta merta menghapuskan

prasangka dan diskriminasi. Dalam teori tahapan asimilasi

Gordon prasangka dan diskriminasi baru berakhir setelah

tercapainya tahap yang ia sebut asimilasi sipil. Hanya saja sebelum

tiba di situ konflik demi konflik akan terus terjadi di antara

kelompok dominan dan minoritas. Namun asimilasi akan terus

bergerak mencapai tahap terakhir yaitu asimilasi sipil. Ia hanya

bisa dibuat lambat namun tidak bisa dilawan dan dihentikan.

104 Fenggang Yang, Chinese Christians in America: Conversion,

Assimilation and Adhesive Identities (University Park, PA.: The Pennsylvania

State University Press, 1999), 18. 105 Milton M. Gordon, “Assimilation in America: Theory and

Reality.” Majority and Minority: Dynamics of Racial and ethnic Relations, eds.

Michael R. Yetman & C. Hoy Steele (Boston: Allyn & Bacon, Inc., 1971),

279. 106 Gordon, Assimilation in American Life, 71. Juga lihat Yang, Chinese

Christians in America, 19. 107 Gordon, Assimilation in American Life, 81.

Page 30: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

54 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Pelambatan disebabkan oleh sikap-sikap (attitudes) kelompok

mayoritas dan minoritas serta cara-cara dengan mana sikap-sikap

ini saling berinteraksi.108

Pada kelompok minoritas pelambatan disebabkan oleh

keinginan untuk mempertahankan komunalitas etnis. Kalau itu

sebuah kelompok berbasis keagamaan maka hambatannya ialah

komitmen kepada pelestarian ideologi keagamaan. Asimilasi

struktural ditolak karena akan berujung kepada perkawinan

campur (asimilasi perkawinan), yang pada gilirannya akan

menghapus eksistensi kelompok. Pada generasi pertama yang

terjadi karena imigrasi, keengganan terhadap asimilasi struktural

muncul karena mereka sama sekali tidak menginginkannya dan

karena mereka memerlukan rasa aman-nyaman yang diperoleh

dari institusi-institusi komunalnya (the comfort of his own communal

institutions) di tengah-tengah lingkungan yang asing.109

Pada generasi kedua pelambatan asimilasi memiliki

dinamika yang berbeda. Kalau generasi pertama sama sekali tidak

menginginkannya, pada generasi kedua keinginan itu ada. Namun

penolakan yang dialami ketika hendak masuk ke dalam struktur-

struktur sosial kelompok dominan membuat mereka pada

akhirnya harus kembali kepada kelompoknya, yang dirasa lebih

dapat diandalkan.110 Di dalamnya mereka bertemu dengan orang-

orang yang segenerasi namun yang tidak pernah pergi jauh dari

kelompoknya karena berbagai alasan. Ada yang karena terlalu

takut untuk meninggalkan kelompok, ada yang karena

komitmennya yang kuat kepada ideologi etnis, ada pula yang tidak

pernah sungguh-sungguh percaya kepada ketulusan kelompok

dominan untuk menerima mereka dan ada pula yang hanya tidak

mau meninggalkan cara-cara hidup yang sudah amat dikenalnya.

108 Gordon dalam Majority and Minority, 281. 109 Ibid., 281. 110 Ibid., 282.

Page 31: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 55 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Bersama-sama dengan generasi pertama mereka membangun

suatu enklave etnis dan semakin memperkuatnya.111

Teori Gordon kemudian menjadi fondasi di atas mana

teori-teori asimilasi selanjutnya dikembangkan. Pengembangan

berikutnya coba mengkaitkan asimilasi dengan isu stratifikasi

sosial. Asimilasi dikaitkan dengan kedudukan sosial-ekonomi

seseorang atau kelompok di dalam suatu masyarakat. Orang

beralih dari isu asimilasi struktural kepada isu asimilasi sosio-

ekonomi. Asumsi teori yang dipegang adalah level asimilasi

berbanding lurus dengan level sosial-ekonomi anggota-anggota

kelompok minoritas. Naiknya mereka ke tangga sosial yang lebih

tinggi menandakan semakin diterimanya mereka oleh kelompok

dominan dan sekaligus menunjukkan perlakuan yang sama yang

diberikan oleh kelompok dominan.112

Teori lain yang dikembangkan dari teori Gordon adalah

mengkaitkan asimilasi dengan konsep spasial dan perpindahan

tempat tinggal. Gordon tidak membahas hal ini namun teori ini

masih terhubung dengan konsep Gordon tentang asimilasi

struktural. Di sini tempat tinggal dipahami sebagai bagian dari

struktur sosial kelompok dominan yang tidak bisa dimasuki begitu

saja oleh kelompok minoritas. Mereka baru bisa masuk kalau

sampai pada level tertentu mereka sudah terakulturasi dan setara

secara sosio-ekonomis dengan kelompok dominan yang tinggal di

suatu wilayah. Di pihak lain, semakin dalam anggota-anggota

kelompok minoritas terakulturasi dan mapan secara sosio-

ekonomis maka umumnya mereka akan meninggalkan anggota-

anggota kelompoknya yang kurang berhasil, mencari wilayah

domisili baru yang bisa memberi keuntungan dan kebaikan yang

lebih besar lagi. Dengan cara ini mereka akan terdorong untuk

masuk ke lokasi domisili kelompok dominan, di mana tersedia

111 Gordon dalam Majority and Minority, 282. 112 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 28.

Page 32: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

56 | BAB II KERANGKA TEORETIS

fasilitas publik yang lebih baik. Maka perpindahan tempat tinggal

dipandang memediasi terjadinya asimilasi struktural.113

Teori terakhir yang dikembangkan dari Gordon adalah

teori yang dimajukan oleh Tomatsu Shibutani dan Kian Kwan.

Teori ini melengkapi teori Gordon dengan memberi analisis

makroskopik kepada problema asimilasi. Konsep pokok dari teori

asimilasi mereka adalah jarak sosial (social distance), yang mereka

definisikan sebagai perasaan kedekatan subjektif kepada individu-

individu tertentu. Kalau Gordon berpendapat bahwa asimilasi

struktural dimulai terlebih dulu oleh asimilasi kultural, Shibutani

dan Kwan berpendapat bahwa hal itu dimulai dari perubahan

jarak sosial. Kalau jarak sosial yang terbentang di antara kelompok

minoritas dan kelompok dominan cukup sempit maka berasimilasi

akan sangat mudah. Tetapi bila jarak sosialnya cukup besar maka

berasimilasi menjadi sukar karena orang mempersepsi dan

memperlakukan yang lain sebagai bagian dari suatu kategori yang

berbeda.114

Bagaimana caranya supaya jarak sosial ini bisa berubah?

Shibutani dan Kwan berpendapat bahwa hal itu harus didahului

oleh perubahan makro pada tatanan kelembagaan atau pada level

struktural yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk

mempertahankan posisi dan privilesenya.115 Perubahan-perubahan

ini akan membawa orang bertemu dengan ide-ide baru yang

menantang nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kultural yang

selama ini diterima begitu saja. Dari situ orang akan didorong

untuk menemukan lebih banyak kesamaan-kesamaan dan

mengecilkan jarak sosial sehingga memudahkan asimilasi.

Berangkat dari teori-teori asimilasi yang ada Peter I. Rose

coba mengukur integrasi nasional suatu bangsa dari kualitas relasi

113 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 29. 114 Ibid., 32. 115 Ibid. Keduanya mencatat bahwa inovasi teknologi dan perubahan

sistem ekonomi sebagai dua perubahan makro yang berpengaruh besar pada perubahan jarak sosial.

Page 33: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 57 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

kelompok minoritas dengan kelompok dominan di dalamnya.

Tesisnya ialah sebuah bangsa belum terintegrasi secara

memuaskan jika di dalamnya kelompok-kelompok rasial,

keagamaan dan etnis masih terpisah satu dari yang lain.116

Keterpisahan ini dapat disebabkan oleh tindakan kedua belah

pihak. Kelompok dominan menghalangi integrasi dengan

berprasangka (prejudice) dan mendiskriminasi; sementara

kelompok minoritas melawan integrasi dengan membangun jarak

sosial (social distance) yang lebar dari kelompok dan budaya

dominan.

Prasangka didefinisikan oleh Rose sebagai suatu sistem

kepercayaan, perasaan dan orientasi yang negatif terhadap

sekelompok orang; sementara diskriminasi adalah memberikan

perlakuan yang berbeda terhadap individu-individu yang termasuk

dalam kategori-kategori sosial atau kelompok-kelompok sosial

tertentu.117 Prasangka timbul oleh bermacam faktor, mulai dari

kepentingan ekonomi, reaksi kepada frustrasi sampai kepada

pendidikan yang buruk.118 Diskriminasi juga sama. Ia bisa muncul

karena kebencian mendalam kepada individu-individu dari

kelompok atau kategori sosial tertentu atau semata-mata karena

keengganan untuk mengubah keadaan yang secara ekonomis,

psikologis dan sosial sudah baik.119 Bentuknya beraneka ragam,

dari mulai ucapan-ucapan bernada menghina sampai kepada

kekerasan dan genosida.

Kelompok minoritas melawan asimilasi karena sasaran

akhirnya adalah punahnya eksistensi kelompok minoritas dengan

segala keunikannya. Demi melindungi tradisi-tradisi budaya dan

sistem-sistem kepercayaannya dari kehancuran atau kepunahan

maka jarak sosial dengan kelompok dan budaya dominan lantas

sengaja diperlebar. Aktivitas-aktivitas yang bersifat lintas

116 Peter I. Rose, They And We: Racial and Ethnic Relations in the

United States (New York: Random House, 1967), 62. 117 Rose, They And We, 77, 79. 118 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 73-94. 119 Rose, They and We, 101.

Page 34: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

58 | BAB II KERANGKA TEORETIS

kelompok dihindari atau sedikit-dikitnya dibatasi. Hal itu akan

membawa pengaruh budaya kelompok dominan merasuk ke

dalam kehidupan kelompok. Tetapi relasi dan aktivitas dengan

sesama anggota-anggota kelompok diperbanyak.120 Karena hal itu

akan melestarikan ciri khas kelompok.

2. Teori-teori Asimilasi Kontemporer dan Perlawanan terhadap

Asimilasi

Sebagaimana dengan teori-teori asimilasi awal, teori-teori

asimilasi belakangan masih tetap berurusan dengan problema

imigran namun ada sejumlah hal yang membedakannya. Faktor

pembeda utama ialah pada konsep tentang masyarakat inti (core

society) dan budaya inti (core culture) yang dijadikan landasan

berteorinya. Asimilasi berarti masuk ke dalam masyarakat dan

budaya inti. Pada teori-teori awal, dua konsep itu, seperti tampak

dalam model Anglo-conformity dan the melting pot, diasumsikan

bersifat tunggal dan homogen. Asimilasi lalu bermakna raibnya

seluruh kekhasan etnis (ethnic distinctive).121 Teori-teori asimilasi

kontemporer masih tetap berurusan dengan imigran namun

dengan konsep yang sudah berubah mengenai masyarakat inti dan

budaya inti serta perhatian yang serius kepada generasi anak-anak

para imigran. Kini pluralisme atau sebagian lain mengatakan

multikulturalisme menjadi ideologi—memakai konsep Gordon—

yang dominan dari masyarakat inti. Para imigran tidak lagi

diperhadapkan dengan sebuah “core” (inti) yang tunggal

melainkan yang jamak. Berasimilasi lantas menjadi sebuah proses

yang bersifat selektif dari begitu banyak pilihan.122

Di pihak lain, tumbuhnya generasi kedua, yaitu anak-anak

dari para imigran menimbulkan kebutuhan akan perlunya sebuah

teori baru tentang asimilasi. Teori-teori awal yang umumnya

dibangun dari pengalaman generasi pertama para imigran dirasa

120 Rose, They And We, 60-62. 121 Fenggang Yang, Chinese Christians in America, 17. 122 Ibid.

Page 35: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 59 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sudah tidak tepat membaca pengalaman asimilasi generasi kedua.

Apalagi dengan berubahnya ideologi tentang “core society” maka

teori-teori asimilasi awal dirasa perlu sekali untuk dikoreksi.123

Studi yang dilakukan Alejandro Portes dan Min Zhou atas

generasi kedua kaum imigran di AS, mengusulkan sebuah teori

baru tentang asimilasi yang mereka sebut teori segmen asimilasi

(segmented assimilation).124 Teori ini dibangun di atas dua kenyataan

besar yang berbeda, yang dihadapi oleh imigran generasi pertama.

Pertama, anak-anak dari para imigran Eropa di AS pada umumnya

adalah anak-anak berkulit putih. Meski menghadapi persoalan

yang sama dengan anak-anak dari imigran Asia, atau anak-anak

dari imigran hitam dan anak-anak campuran (mestizo), yaitu

persoalan meninggalkan budaya orang tua dan merangkul budaya

Amerika, namun mereka jauh lebih beruntung karena warna

kulitnya yang putih mengurangi besarnya rintangan yang dihadapi

untuk masuk ke dalam arus utama masyarakat dan budaya

Amerika.

Kedua, berbeda dari generasi orang tuanya, struktur-

struktur kesempatan ekonomi kini sudah berubah. Di masa lalu,

kesempatan ekonomi yang tersedia untuk orang tua ialah menjadi

bagian dari kelas pekerja walau terbuka kesempatan untuk

mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik. Akibat

cepatnya perubahan dalam dunia industri nasional dan global,

kesempatan tersebut sudah tidak ada lagi. Hal ini membuat dunia

kerja terbelah dua menjadi kelas: kelas pekerja kasar dengan

bayaran yang kecil dan kelas pekerja profesional berteknologi

tinggi dengan gaji yang besar. Para imigran biasanya ada di kelas

pertama sementara kelas kedua didominasi oleh “native elites.”125

123 Alejandro Portes & Min Zhou, “The New Second Generation:

Segmented Assimilation and Its Variants,” Annals of the American Academy of

Political and Social Science, Vol. 530 (Nov., 1993): 74. 124 Seluruh uraian teori ini diambil dari tulisan Portes dan Min

Zhou. Sumber-sumber lain akan diberi catatan tersendiri. 125 Ibid., 76.

Page 36: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

60 | BAB II KERANGKA TEORETIS

Kenyataan lain yang dijadikan landasan teori baru ini

adalah bahwa dibandingkan dengan orang tuanya, generasi kedua

imigran umunya berdwi bahasa, bahasa orang tua dan bahasa

negara setempat. Yang lain, para imigran umumnya tinggal di

daerah perkotaan, khususnya di area tengah kota, dan hidup

berdekatan dengan keluarga besarnya. Di daerah tengah kota itu

mereka bersekolah di sekolah-sekolah yang umumnya dihuni oleh

anak-anak dari kelas sosial yang rendah (umumnya orang Amerika

hitam). Anak-anak lain dari keluarga-keluarga kelas menengah

dan atas (umumnya orang Amerika putih) sudah bergeser ke

sekolah-sekolah di daerah pinggiran kota (suburb). Kenyataan-

kenyataan ini membuat generasi kedua terpapar dengan kondisi

sosial ekonomi dan sifat relasi antar kelas dan kelompok yang

dibawa oleh kawan-kawan mereka dari kelas sosial yang lebih

rendah itu.

Semua kenyataan ini membuat asimilasi tidak lagi

menjadi sebuah proses menyesuaikan diri kepada satu arus utama

yang secara relatif seragam melainkan ke dalam sektor-sektor

tertentu dari masyarakat Amerika.126 Atau dengan kata lain,

asimilasi menjadi soal mengadaptasikan diri ke dalam segmen

atau ruas tertentu dari suatu masyarakat. Sebagian orang, menurut

Portes dan Min Zhou, memilih berasimilasi ke dalam segmen

kelas sosial atas, yaitu kelompok kelas menengah putih; sebagian

ke dalam segmen kelas sosial bawah; dan sebagian lagi kepada

kelompoknya sendiri dengan keyakinan bahwa peningkatan

ekonomi berhubungan erat dengan pelestarian nilai-nilai dan

penguatan solidaritas komunitas.

Di mana letak perlawanan terhadap asimilasi di sini?

Perlawanan tidak lagi ditujukan kepada sebuah “core society”

dengan “core culture”—nya melainkan kepada salah satu segmen

masyarakat. Perlawanan dilakukan dengan cara mengasimilasikan

diri ke dalam segmen yang bertentangan secara diametral dengan

segmen yang dilawan. Portes dan Min Zhou memperlihatkan hal

126 Portes & Min Zhou, 82.

Page 37: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 61 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

ini dalam asimilasi anak-anak imigran Haiti di kota Miami di

mana mereka tidak berasimilasi ke dalam “mainstream culture”

namun ke dalam nilai-nilai dan norma-norma pusat kota yang

bermusuhan terhadap arus utama orang kulit putih.127

Berangkat dari teori-teori asimilasi sebelumnya dan

merujuk kepada tradisi metodologi inividualisme dari analisis

komparatif Weber tentang institusi dan metodologi holisme

Durkheim, Alba dan Nee coba menyusun suatu teori lain tentang

asimilasi, yang mereka namakan teori asimilasi institusional.128 Di

sini institusi didefinisikan sebagai sebuah jaring (web) norma-

norma formal dan informal yang saling berkaitan, yang mengatur

relasi sosial anggota-anggota masyarakat.129 Norma-norma ini

bersifat paksaan (constraint), yang membentuk pertukaran sosial

dan ekonomi di semua level masyarakat sekaligus menjadi sumber

daya (resource) yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan

yang dikejar. Individu-individu dan organisasi-organisasi saling

berkompetisi untuk memperebutkan pengaruh atau kontrol atas

struktur-struktur institusional karena yang memilikinya

mempunyai hak untuk mengubahnya bagi kepentingannya.

Perubahan norma-norma formal dilakukan oleh organisasi-

organisasi formal seperti negara, sementara perubahan norma-

norma informal, seperti adat istiadat, kebiasaan, dan norma-norma

sosial, melibatkan sebuah proses dari bawah ke atas.130

Asimilasi terjadi dalam konteks institusi-institusi formal

dan informal ini. Dalam konteks hidup seperti ini aktor yang

beradaptasi bertindak menurut model-model mental (mental

models) yang dibentuk oleh kepercayaan-kepercayaan kultural

(cultural beliefs), yakni oleh adat-istiadat, norma-norma sosial,

hukum, ideologi dan agama, yang membentuk persepsi seseorang

tentang kepentingan pribadinya dan tentang hal untung-rugi dalam

lingkungan institusional baru di mana ia berada. Bila pilihan

127 Portes & Min Zhou, 81. 128 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 35-36, 63-64. 129 Ibid., 36. 130 Ibid.

Page 38: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

62 | BAB II KERANGKA TEORETIS

tindakan yang diambil mendatangkan keuntungan maka hal itu

sangat mungkin untuk diulang kembali. Lalu, bila norma-norma

informal yang berlaku dalam kelompoknya ternyata berkontribusi

mendatangkan hasil yang menguntungkan maka kelompok akan

makin memperkuat lagi (reinforce) pemberlakuan norma itu.131

Pengulangan ini bisa mengarah kepada asimilasi dan bisa pula ke

arah lain yaitu penguatan identitas kelompok dan pemisahan diri

dari yang lain.

Alba dan Nee lebih lanjut mengemukakan sejumlah

mekanisme kausal yang membentuk jalan adaptasi para imigran

dan keturunannya, yang pada gilirannya akan membawa mereka

kepada level asimilasi tertentu ke dalam masyarakatnya.

Mekanisme-mekanisme kausal itu ia kelompokkan menjadi dua,

yaitu sebab-sebab dekat (proximate causes) dan sebab-sebab jauh

(distal causes). Sebab-sebab dekat beroperasi di level pribadi dan

jaringan sosial (kelompok primer dan komunitas) serta

dipengaruhi oleh bentuk-betuk kapital yang dimiliki oleh individu

dan kelompok. Sementara sebab-sebab jauh melekat dalam

struktur-struktur besar seperti susunan-susunan institusional

negara, perusahaan dan pasar kerja.132 Dengan ini Alba dan Nee

memandang asimilasi adalah persoalan yang melibatkan individu,

kelompok dan struktur sosial dalam masyarakat di mana mereka

berada.

Pendekatan tersebut dikatakan hendak mengoreksi dua

kekurangan besar dari teori-teori asimilasi sebelumnya.

Kelemahan pertama adalah etnosentrisme. Dalam teori-teori

asimilasi sebelumnya etnosentrisme implisit ketika asimilasi

dipahami sebagai hampir-hampir sepenuhnya satu arah, di mana

kelompok minoritas mengubah dirinya menjadi seperti kelompok

mayoritas dan peran kelompok mayoritas dibatasi hanya pada

menerima atau menolak petisi kelompok minoritas untuk dapat

131 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream,37-38. 132 Ibid., 38.

Page 39: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 63 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

diizinkan masuk ke dalam arus utama.133 Alba dan Nee menolak

pandangan ini karena mengabaikan fakta bahwa dalam proses

asimilasi ke dalam mayoritas, kelompok mayoritaspun turut serta

mengalami perubahan. Kelemahan lain adalah kecenderungannya

melihat asimilasi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolak

(inevitable). Teori-teori tersebut cenderung abai kepada kenyataan

bahwa asimilasi bukanlah satu-satunya cara bagi para pendatang

untuk menginkorporasikan dirinya ke dalam masyarakat.

Beberapa kelompok berinkorporasi dengan cara menjadi kelompok

ras minoritas sementara yang lain dengan cara mempertahankan

sebuah pola hidup pluralistik dengan masyarakat mayoritas, yang

terus memelihara kekhasan komunitas dan budayanya.134

Teori asimilasi yang dimajukan Alba dan Nee menolak

menerima bahwa asimilasi tidak bisa dihindari dan tidak bisa

dibalik arahnya. Asimilasi bisa dihindari dan bisa dibalik karena

asimilasi bukan soal yang utama bagi para pendatang. Hal yang

lebih utama dan yang dihadapi setiap saat adalah bagaimana

beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Karena itu asimilasi

pada dasarnya adalah sebagian saja dari proses adaptasi ke dalam

suatu masyarakat. Ia lebih tepat dipahami sebagai akibat yang

muncul dari timbunan pilihan-pilihan yang diambil oleh individu

dan aksi-aksi kolektif di dalam kelompok-kelompok yang terjalin

rapat; dan terjadi dengan kecepatan berbeda-beda baik itu di dalam

kelompok maupun lintas kelompok.135

Ada sejumlah sebab yang membuat asimilasi dapat terjadi.

Sebab-sebab ini, untuk kelompok yang satu berbeda dari kelompok

lainnya. Pada kelompok yang satu, yakni kelompok imigran

dengan kapital yang diperoleh melalui pendidikan dan

pengalaman kerja (human capital immigrants), asimilasinya

dipengaruhi oleh adaptasi individual melewati pola intergene-

rasional yang rata atau bergelombang. Artinya, asimilasinya

133 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 64. 134 Ibid., 65. 135 Ibid., 65-66.

Page 40: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

64 | BAB II KERANGKA TEORETIS

tergantung pada individu bersangkutan dan pola hidup yang

diwarisinya dari generasi sebelumnya. Pada kelompok yang lain,

yakni kelompok pekerja migran tradisional dengan kapital

manusia dan finansial yang rendah, asimilasinya mengikuti pola

kolektif dalam mana mekanisme-mekanisme di dalam jaringan

kerja membentuk lintasan adaptasinya. Asimilasinya tergantung

pada kelompok. Pola serupa diperlihatkan pula oleh kelompok-

kelompok minoritas perantara (middlemen minority) yang

mengadaptasi diri lewat ketergantungannya pada solidaritas etnis

demi mendapatkan kemantapan dan kesuksesan ekonomi. Kalau

hal itu sudah tercapai maka melalui tindakan kolktif mereka akan

memakai sumber-sumber daya yang dimilikinya untuk

meruntuhkan penghalang jalan masuk ke dalam institusi-institusi

arus utama. Kelompok lain berasimilasi karena kombinasi yang

beraneka ragam dari adaptasi individualistik dan kolektif serta dari

tindakan yang disengaja dan ketergatungan pada mekanisme-

mekanisme jaringan dari kelompok-kelompok yang berhubungan

erat. Faktor lain yang dapat menyebabkan asimilasi adalah

mekanisme-mekanisme pemantauan dan penguatan institusional

yang mengatur insentif apa saja yang akan diterima oleh individu-

individu dan kelompok dengan tindakan-tindakan yang

diambilnya. Mekanisme-mekanisme itu akan menentukan apakah

tindakan individu-individu dan mekanisme-mekanisme jaringan

menghasilkan perilaku-perilaku yang memadukan atau

mensegregasi kelompok-kelompok mayoritas maupun minoritas.136

Singkatnya, asimilasi dalam pandangan Alba dan Nee

adalah produk pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan individu-

individu atau kelompok pendatang demi memperbaiki

kesejahteraannya.137 Pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan

rasional itu dibatasi oleh mekanisme jaringan kelompok dan

bentuk kapital yang dimiliki serta struktur-struktur institusional

masyarakat luas di mana mereka ada. Asimilasi akan dihindari

136 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream,66. 137 Susan K. Wierzbicki, Beyond the Immigration Enclave: Network

Change and Assimilation (New York: LFB Scholarly Publishing LLC, 2004), 7-

8.

Page 41: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 65 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

bila kepentingan individu atau kelompok malah terancam

sementara asimilasi akan dikejar bila dengan itu kesejahteraan

individu atau kelompok semakin meningkat.

Teori-teori klasik tentang asimilasi memahami asimilasi

sebagai proses evolusi progresif yang dijalani oleh kelompok

imigran atau pendatang di suatu tempat. Cepat atau lambat

asimilasi pasti akan terjadi. Bahwa arahnya bisa menuju kepada

kelompok dominan atau kepada seksi tertentu dalam masyarakat

namun hal itu tidak bisa tidak pasti akan terjadi. Meski oleh satu

dan lain alasan proses berasimilasi bisa terhenti di suatu titik namu

teori-teori asimilasi klasik tidak melihat kemungkinan untuk balik

ke belakang. Asimilasi akan terus maju ke depan kepada titik di

mana kelompok pendatang akhirnya akan melebur juga ke dalam

masyarakat setempat.

Melawan arus deterministik di atas teori-teori asimilasi

kontemporer berusaha mengedepankan pilihan individu yang

berasimilasi sebagai faktor penentu yang penting. Pilihan mereka

untuk berasimilasi dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan

ekonomis, mobilitas ke tangga sosial yang lebih tinggi dan

konsekuensinya pada identitas kelompok. Individu-individu atau

kelompok-kelompok akan berasimilasi dan menuju bentuk

asimilasi tertentu sepanjang hal itu dirasa menguntungkan secara

ekonomis, sosial dan budaya. Walau demikian produk akhir yang

dicapai tidak akan selalu sesuai dengan ekspektasi kelompok

dominan.

Sejauh-jauh yang dapat dicapai, teori-teori asimilasi hanya

dapat bicara tentang proses yang terhenti, terhambat atau menuju

arah yang menyimpang. Teori-teori asimilasi tidak menyediakan

ruang kepada percakapan mengenai perlawanan karena dalam

analisisnya teori-teori ini tidak memberi perhatian yang memadai

kepada isu kekuasaan, yang sebenarnya turut bermain dalam relasi

antar individu atau antar kelompok dalam sebuah masyarakat atau

Page 42: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

66 | BAB II KERANGKA TEORETIS

negara.138 Karena itu operasi kekuasaan, khususnya operasi

kekuasaan negara, yang bermain dalam proses asimilasi perlu

mendapat perhatian. Namun demikian hasil-hasil yang diperoleh

dari perspektif teori ini tetap berguna dalam menolong menyajikan

suatu gambaran yang utuh tentang proses yang dijalani oleh orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT.

3. Teori-teori tentang Kebijakan Negara terhadap Kelompok

Etnis Minoritas

Salah satu teori yang menjelaskan asal usul lahirnya

negara bangsa (nation state) mengatakan bahwa realitas lahir dari

ikatan-ikatan dan sentimen-sentimen etnis yang sudah ada terlebih

dahulu.139 Menurut Anthony Smith bangsa-bangsa di dunia

umumnya terbentuk dari apa yang ia namakan “ethnic cores”,

yaitu etnis-etnis yang kohesif dan menyadari keunikannya, yang

menjadi benih (kernel) dan basis dari negara-negara dan kerajaan-

kerajaan.140 Kalau hari ini sebagian besar bangsa dan negara

bangsa di dunia telah menjadi polietnis, pada awalnya hal itu

tidaklah demikian. Bangsa-bangsa dan negara-bangsa di dunia

berakar pada fenomena suatu etnis dominan, yang menganeksasi

atau menarik etnis-etnis lain ke dalam negara yang dibangun

dengan namanya dan yang ditandai oleh budayanya.141

Karena bangsa-bangsa modern terjadi dengan cara seperti

itu maka salah satu ciri era modern, menurut Illan Peleg, adalah

munculnya berbagai macam pemerintahan yang paling tepat

138 Joe R. Feagin & Clairence Boober Feagin, “Theoretical

Perspectives in Race and Ethnic Relations,” Rethinking the Color Line: Readings

in Race and Ethnicity, ed. Charles A. Gallagher (New York: McGraw-Hill,

2004), 20. 139 Pikiran ini digagas oleh Anthony D. Smith dan diungkapkan

dalam sejumlah buku dan tulisannya. Lihat misalnya The Cultural Foundations

of Nations (Oxford, UK.: Blackwell Publishing, 2008), Myths and Memories of

the Nation (Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999), National Identity

(London: Penguin Books, 1991). 140 Smith, National Identity, 38-39. 141 Ibid., 39.

Page 43: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 67 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

digambarkan sebagai tatanan konstitusional etnis (ethnic

constitutional orders). Negara diwarnai oleh karakter etnis penguasa

dan rezim yang berkuasa akan berkomitmen mempromosikan

kepentingan sebuah kelompok etnis atau kelompok bangsa yang

berada di dalam wilayahnya.142 Tentu saja komitmen tersebut

bukan tanpa risiko. Namun komitmen ini tetap diambil karena

keragaman etnis di dalam negara adalah masalah yang dapat

mengancam stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan. Itu

sebabnya di hampir semua negara di dunia yang memiliki

keanekaragaman etnis, apalagi bila sejarah hubungan antar etnis

diwarnai oleh konflik, lumrah bagi pemerintah yang berkuasa

untuk memberlakukan suatu kebijakan atau sejumlah kebijakan

yang terkait dengan kelompok-kelompok etnis minoritas.143

Ada dua model penyelesaian yang dapat diambil oleh

pemerintah suatu negara. Model pertama adalah model akomodasi

atau model demokratis. Model ini berisi solusi-solusi politis yang

bermaksud mendorong dan memfasilitasi partisipasi yang seluas-

luasnya dari semua individu dan kelompok dalam masyarakat

tanpa memandang identitas nasional dan etnisnya. Semua orang

diperlakukan sama dan setara baik di dalam hukum maupun di

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam model ini negara secara aktif

dan progresif berperan melindungi kelompok-kelompok minoritas

dari tirani kelompok mayoritas.144

Pada model kedua, yakni pemerintahan yang bersendikan

etnis, model akomodasi umumnya tidak disukai. Yang lebih

disukai adalah model eksklusif, yang condong mempertahankan,

memperluas dan mengabadikan dominasi satu kelompok etnis atas

kelompok-kelompok etnis lainnya. Negara dan pemerintahannya

142 Illan Peleg, “Transforming Ethnic Orders to Pluralist Regimes:

Theoretical, Comparative and Historical Analysis,” Democracy and Ethnic

Conflict: Advancing Peace in Deeply Divided Societies, ed. Adrian Guelke (New

York: Palgrave Macmillan, 2004), 7. 143 Terence E. Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation:

Contrasting Ethnic Minority Policies (Westport, CT.: Praeger Publishers, 2003),

x. 144 Peleg dalam Democracy and Ethnic Conflict, 10.

Page 44: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

68 | BAB II KERANGKA TEORETIS

adalah alat untuk mengokohkan dan melanggengkan hegemoni

kelompok etnis tertentu atas kelompok-kelompok etnis yang

lain.145

Model eksklusif setidaknya memiliki dua variasi.146 Variasi

yang pertama adalah model hegemoni minoritas, di mana sebuah

kelompok minoritas menguasai negara sepenuhnya dan memakai

negara untuk keuntungannya. Model ini diperlihatkan di Afrika

Selatan pada masa rezim apartheid. Variasi kedua adalah model

hegemoni mayoritas. Dalam model ini, sebuah kelompok etno-

kultural mayoritas, yang menjadi inti bangsa (core nation),

menguasai negara dan mempergunakannya sebagai instrumen

untuk mengokohkan dan mengabadikan kontrol eksklusif atas

ruang publik. Dalam situasi ini, suatu definisi kultural tentang

realitas, yang berasal dari kelompok ini, akan mendominasi

kehidupan masyarakat dan memberi pengaruh yang menentukan

pada lembaga-lembaga negara. Negara dan semua aparatusnya

lantas bertindak atas nama inti bangsa itu.

Model eksklusif pada dasarnya menekankan kontrol

kelompok dominan atas kelompok yang lemah. Apakah kelompok

dominan itu suatu minoritas atau mayoritas yang menjadi inti

bangsa, keduanya sama dalam hal bahwa sebagai kelompok

hegemonik mereka berupaya untuk menguasai, mengatur dan

mengendalikan kelompok-kelompok lain demi mendapatkan dan

mengamankan keuntungan dalam arti yang seluas-luasnya.

Kebijakan asimilasi adalah salah satu strategi yang dipergunakan

untuk mempertahankan kontrol tersebut. Kebijakan asimilasi

dimaksudkan bukan untuk memberikan kesetaraan penuh tetapi

untuk mengontrol kelompok-kelompok minoritas tersebut.

Kebijakan asimilasi yang diterapkan dapat bersifat selektif

atau bersifat kolektif.147 Dengan yang selektif, kelompok dominan

berkeinginan supaya hanya sebagian kecil saja dari kelompok

145 Peleg dalam Democracy and Ethnic Conflict, 10. 146 Ibid., 12-13. 147 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 64, 65-68.

Page 45: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 69 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

minoritas yang mengadopsi budaya kelompok dominan dan

diterima sebagai bagian dari kelompok dominan. Dilihat dari teori

asimilasi Gordon, hanya sebagian kecil saja yang mendapat ruang

untuk berasimilasi secara struktural. Bagian yang lebih besar,

kalaupun bersedia, hanya sampai di level asimilasi kultural saja.

Namun itupun tidak mendapat insentif yang memadai sebab

bersamaan dengan kebijakan asimilasi selektif tersebut turut pula

diberlakukan kebijakan separasi yang memisahkan kelompok

dominan dari kelompok minoritas dan pembedaan perlakuan pada

keduanya. Sasaran akhir yang mau dicapai adalah menjadikan

kelompok kecil yang terkooptasi itu sebagai alat untuk

mengokohkan hegemoni kelompok dominan.

Dalam kebijakan asimilasi kolektif, kelompok dominan

memaksa kelompok minoritas secara keseluruhan untuk menjadi

lebih serupa dengan mereka. Ancaman kelompok minoritas

terhadap hegemoni kelompok dominan dihapuskan bukan dengan

memperdalam perbedaan, seperti yang dilakukan oleh kebijakan

segregasi, namun dengan mengecilkan atau bahkan

menghapuskannya sama sekali. Berangkat dari suatu pemahaman

bahwa budaya dominan adalah superior dan budaya minoritas

adalah inferior, asimilasi ke dalam budaya kelompok dominan

dimaksudkan untuk “menyelamatkan” kelompok minoritas dari

keterbelakangannya atau dari inferioritasnya. Walau bisa terlihat

sangat toleran, seperti mendorong perkawinan campur atau

penghapusan segregasi domisili, namun keengganan untuk

berasimilasi bisa mendatangkan hukuman baik kepada individu

maupun kelompok.148 Dalam bentuknya yang paling ekstrim

kebijakan asimilasi ini dapat menjadi genosida kultural, di mana

148 Cook mengambil contoh terapi korektif yang diusulkan oleh

sebagian orang kepada individu-individu dengan orientasi seksual yang

berbeda. Lihat Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 67. Eriksen

mengambil contoh perlakuan yang berbeda di tempat kerja sebagai salah satu bentuk hukuman yang umum kepada mereka yang tidak mau berasimilasi.

Lihat Eriksen, Ethnicity and Nationalism, 150.

Page 46: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

70 | BAB II KERANGKA TEORETIS

suatu kelompok minoritas dengan segala kekayaan budayanya

punah terhisab ke dalam kelompok dan budaya dominan.149

Bagaimana respons kelompok minoritas terhadap upaya

kontrol yang dilakukan oleh negara atau suatu kelompok melalui

kebijakan asimilasi? Menggunakan kerangka konseptual yang

dibangun oleh Albert O. Hirschman, Eriksen menemukan tiga

cara yang dipakai oleh kelompok minoritas untuk merespons.150

Cara yang pertama adalah tunduk (loyalty) kepada kebijakan

asimilasi dan mengasimilasikan diri ke dalam budaya dominan.

Cara yang kedua adalah menolak (voice) berasimilasi dan lebih

suka menjadi etnis tersendiri dengan segala konsekuensinya. Dua

strategi dipergunakan di sini. Yang satu menerima posisinya yang

rendah (subordinant) di hadapan kelompok dominan namun

dengan identitas etnis yang sesuai kemauannya, sementara yang

lain memilih bernegosiasi dengan kelompok dominan untuk

mencapai keadaan koeksistensi damai.

Cara yang terakhir adalah memisahkan diri secara total

dari kelompok dominan (exit). Pemisahan ini berbentuk keluar dari

negara lalu membentuk sebuah negara baru. Cara ini hanya

mungkin ditempuh oleh kelompok minoritas yang disebut proto

nations oleh Eriksen. Mereka adalah kelompok minoritas yang

memiliki pemimpin-pemimpin politis sendiri dan menuntut hak

untuk memiliki negara-bangsa sendiri. Mereka berangkat dari

suatu teritori tertentu yang diklaim sebagai wilayah asli

149 Eriksen, Ethnicity and Nationalism, 149. Tidak seperti Cook,

Eriksen tidak membuat pembedaan kebijakan asimilasi. Namun pengertian

yang ia pakai lebih cocok dengan pengertian Cook mengenai kebijakan

asimilasi kolektif. 150 Ibid., 150. Kerangka konseptual Hirschman adalah exit, voice dan

loyalty. Dalam teori Hirschman, exit menunjuk kepada keputusan konsumen

untuk berhenti membeli produk; voice kepada tindakan konsumen

menyuarkan ketidakpuasannya sementara loyalty kepada kesediaan konsumen

untuk terus membeli atau memakai produk sekalipun barangnya cacat, rusak dan tidak dilayani dengan baik. Untuk bahasan lengkap lihat Albert O.

Hirschman, Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations,

and States (Cambridge, MA.: Harvard University Press, 1970).

Page 47: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 71 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

kelompoknya, terdiferensiasi dalam kelas-kelas sosial dan tingkat

pendidikan serta jumlahnya besar.151

Berbeda dari Eriksen, Cook melacak respons kelompok

minoritas dari dua level: individu dan kolektif.152 Pada level

individu, asimilasi akan terjadi bila dengan itu terbuka kesempatan

untuk naik ke tangga atas hierarkhi sosial. Strateginya bermacam-

macam. Pendidikan adalah salah satu strategi yang umum. Yang

lain memilih menghindar dari menantang kelompok dominan

karena hal itu akan berdampak pada tertutupnya jalan naik ke

atas. Ketimbang menantang sebagian orang lantas menampilkan

diri sebagai penganut ideologi tulen kelompok dominan,

sementara yang lain melancarkan kritik kepada kelompok asalnya.

Yang lain lagi menempuh cara mengoreksi atau memodifikasi

dirinya agar sedikit-dikitnya tampil serupa dengan orang-orang di

strata sosial atas dari kelompok dominan. Mereka berusaha habis-

habisan meniru sifat-sifat atau tanda-tanda yang diidentifikasi

sebagai ciri dari individu-individu yang berada di strata tersebut.

Individu lain menempuh strategi mengelak atau

menghindar (evasion). Cook mendapati strategi ini sebagai strategi

paling umum yang ditempuh oleh kelompok-kelompok yang

bersumber daya terbatas atau lemah. Ada dua bentuk umum

penghindaran yang biasa dipergunakan. Yang pertama adalah

menyembunyikan keanggotaan dalam kategori-kategori minoritas,

dan yang kedua menyembunyikan perilaku yang sesungguhnya.

Berasimilasi dimaksudkan bukan untuk benar-benar menjadi sama

dengan kelompok dominan melainkan sekedar supaya terlihat

sama saja (appearance).153

Pada level kolektif, Cook menemukan bahwa asimilasi

dapat terjadi tanpa direncanakan sebelumnya atau memang

151 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 19. 152 Ibid., 90-104. Penjelasan selanjutnya berhutang pada Cook. 153 Di sini Cook memahami teori James C. Scott tentang “everyday

forms of resistance” sebagai sama dengan apa yang ia pikirkan sebagai

penghindaran (evasion).

Page 48: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

72 | BAB II KERANGKA TEORETIS

sengaja dilakukan. Untuk modus pertama ia menemukan salah

satu contohnya pada anak-anak imigran Jerman dan Skandinavia

di AS, yang tanpa direncanakan sama sekali tidak mau belajar

bahasa orang tuanya dan lebih suka belajar bahasa Inggris. Untuk

modus yang kedua ia temukan salah satu contohnya pada anak-

anak imigran Hispanik, yang dipaksa oleh orang tua untuk belajar

bahasa Inggris dan tidak boleh berbahasa Spanyol.

Motif-motif kolektif untuk berasimilasi bisa karena

mengikuti pilihan pemimpin kelompok, alasan keamanan, alasan

ekonomi, atau alasan kultural. Motif pilihan pemimpin kelihatan

pada konversi massal dari suatu agama ke agama lain karena

mengikuti tindakan pemimpin. Pada motif keamanan, asimilasi

dipilih karena akan menghentikan permusuhan dari kelompok

dominan. Lalu kalau nasib kelompok membaik secara ekonomis

bila makin serupa dengan kelompok dominan maka berasimilasi

jadi pilihan. Motif kultural mengemuka ketika berasimilasi malah

memberi ruang yang lebih leluasa bagi pelestarian tradisi budaya

asalnya. Semboyannya adalah “Assimilate, not be assimilated.”154

Berbeda dari perspektif teori asimilasi per se, studi-studi

mengenai asimilasi yang dibingkai dalam kerangka teori relasi

negara dengan kelompok minoritas menaruh isu asimilasi dalam

dinamika relasi kekuasaan. Berasimilasi bukan lagi melulu proses

alamiah yang terjadi dalam relasi antar individu dan kelompok

namun dapat menjadi sesuatu yang sengaja dipaksakan lewat

suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Berasimilasi bukan

lagi sebuah pilihan sukarela melainkan sebuah keharusan dan

dalam kerangka waktu yang lebih cepat.

Meski sebagian teori masih bersifat umum namun teori

yang diajukan Cook sudah jauh lebih maju dengan

mengungkapkan strategi-strategi yang dipergunakan kelompok

minoritas untuk menghindari asimilasi. Cook pun tanpa malu-

malu memperlihatkan pengaruh teori James C. Scott tentang

154 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 103.

Page 49: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 73 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

perlawanan sehari-hari ke dalam konstruksi teorinya.155 Dari sini

menjadi terang bahwa asimilasi tidak harus tak terelakkan seperti

dipikirkan oleh teori-teori klasik tentang asimilasi. Asimilasi

berhenti atau tidak dilakukan pun bukan semata-mata karena

alasan ekonomi seperti terpikirkan dalam teori kontemporer.

Temuan Cook mendapati bahwa ia dapat berhenti karena adanya

perlawanan dari pihak yang dipaksa berasimilasi. Gagasan ini

menghantar penelitian ini untuk menengok pada teori tentang

perlawanan orang-orang lemah atau orang tertindas terhadap

dominasi dan operasi kekuasaan kelompok dominan.

D. Teori Perlawanan Terselubung

Teori James C. Scott tentang perlawanan berangkat dari

kenyataan bahwa deskripsi dan analisis mengenai berbagai konflik

politik selama ini didominasi oleh pemahaman tentang aksi-aksi

politik yang bersifat terbuka dan terang-terangan. Studinya

menemukan bahwa aksi-aksi perlawanan politis tidak selalu

demikian. Ada bentuk-bentuk perlawanan yang ternyata memang

sengaja disembunyikan. Tantangan terbuka dihindari karena dapat

membawa konsekuensi-konsekuensi yang berat, bahkan ekstrim.156

Perlawanan ini awalnya ia namakan “perlawanan sehari-

hari”157 untuk menjelaskan lokasinya sekaligus hakekatnya sebagai

sesuatu yang sudah terjadi jauh sebelum suatu aksi perlawanan

terbuka dan terang-terangan terjadi. Ini adalah aksi politis yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada di bawah

dominasi kelompok lain (subordinate groups) terhadap kelompok

155 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 95. 156 Menurut Richter-Devroe ketersembunyian ini bukan berarti sama

sekali tidak dilihat tetapi semata-mata tidak dideklarasikan secara publik

sebagai perlawanan. Lihat Sophie Richter-Devroe, “Palestinian Women’s Everyday Resistance: Between Normality and Normalisation,” Journal of

International Women’s Studies, Special Issue Vol. 12 #2: 34. 157 James C. Scott, “Everyday Forms of Resistance,” The Copenhagen

Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989): 36.

Page 50: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

74 | BAB II KERANGKA TEORETIS

yang mendominasi mereka (the dominant).158 Dalam tulisannya

yang diterbitkan pada tahun 1987, perlawanan ini Scott definisikan

sebagai:

any act by a peasant (or peasants) that is intended

either to mitigate or deny claims (e.g.rents, taxes,

corvee, deference) made on that class by

superordinate classes (e.g. landlords, the state,

moneylenders) or to advance peasant claims (e.g. to

land, work, land, charity, respect) vis-a-vis those

superordinate classes.159

Dalam definisi ini tindakan apapun dapat menjadi

perlawanan karena dimaksudkan (intended) untuk mengurangi

(mitigate) atau menolak (deny) klaim yang dibuat oleh kelompok

dominan; atau untuk mengedepankan klaim-klaim yang dibuat

oleh kelompok yang didominasi. Dengan definisi itu, Scott

bermaksud memberikan suatu pemahaman yang lebih luas tentang

perlawanan, yang selama ini dirasa terlalu sempit hanya pada

perlawanan terbuka dan terorganisir. Perlawanan dapat mencakup

apapun, baik perlawanan individual maupun kelompok, material

maupun simbolik, dan mencakup baik yang gagal maupun yang

sukses.160 Perlawanan ini hanya membutuhkan sedikit atau bahkan

tiada perencanaan sama sekali, dan sering hanya berupa perbuatan

menolong diri sendiri. Ia biasanya menghindari konflik simbolik

langsung melawan penguasa atau melawan norma-norma kaum

158 Seperti dikutip oleh Deborah Reed-Danahay, “Talking About

Resistance: Ethnography and Theory in Rural France” dalam Anthropological Quaterly Vol. 66 No. 4, Controversy: Hegemony and the Anthropological Encounter

(Oct., 1993): 222. 159 James C. Scott, “Resistance Without Protest and Without

Organization: Peasant Opposition to the Islamic Zakat and the Christian

Tithe,” Comparative Studies in Society and History, Vol. 29, Issue 3 (July 1987):

419. 160 George Holmes, “Protection, Politics and Protest: Understanding

Resistance to Conservation,” Conservation and Society, Vol. 5, No. 2, 2007: 185.

Lihat James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance

(New Haven: Yale University Press, 1985), 290.

Page 51: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 75 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

elit.161 Dalam praktik sehari-hari ia dapat tampil dalam aksi-aksi

seperti menunda-nunda kerja (foot dragging), berpura-pura

(dissimulation), patuh yang palsu (false compliance), menyerobot

(pilfering), berpura-pura tidak tahu (feigned ignorance), mengumpat

(slander), membuat kebakaran dengan sengaja (arson), mensabotase

(sabotage), dan lain-lain.162

Dalam Domination and the Arts of Resistance, Scott

membawa keluar konsep perlawanannya dari dunia petani dan

lingkungan agraris kepada arena kehidupan politik yang lebih luas.

Mereka yang melawan dan dilawan dikategorikan ke dalam yang

didominasi dan yang mendominasi. Konsep perlawanan sehari-

hari kini diganti dengan konsep transkrip tersembunyi (hidden

transcript), untuk menekankan sifatnya yang tidak terpantau oleh

mata penguasa atau kelompok dominan. Transkrip ini merupakan

lawan dari transkrip publik (public transcript).

Metafor yang berada di balik kedua konsep ini adalah

dunia teater (pementasan drama), yang diperkenalkan pertama kali

oleh Erving Goffman.163 Sebagaimana Goffman, Scott sepakat

bahwa kehidupan orang-orang yang didominasi bak menampilkan

suatu pertunjukan di atas pentas. Penontonnya adalah kelompok

dominan. Namun berbeda dari Goffman yang lebih fokus pada

aksi orang-orang itu di atas pentas (on stage), Scott coba mengamati

aksi mereka di balik pentas (offstage).164 Kalau di atas pentas,

161 Scott dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 29,

Issue 3 (July 1987): 419-420. 162 Idem, Weapons of the Weak, 29; juga Idem dalam The Copenhagen

Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989): 34. 163 Goffman menamakan pendekatannya sebagai “The

perspective...of the theatrical perfomance....” Lihat Erving Goffman, The

Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books, 1959), xi. 164 Mengomentari pendapat dua anthropolog yang membedah

pikiran-pikirannya, Scott dengan terus terang mengakui bahwa dalam tulisan-

tulisannya ia memang lebih baik dalam mencermati detil-detil perlawanan dari pada detil-detil dominasi. Itu artinya ia lebih tajam melihat aksi-aksi di

panggung belakang dari pada di panggung depan. Lihat James C. Scott, “Afterword to ‘Moral Economies, State Spaces and Categorical Violence”

dalam American Anthropologist, Vol. 107, Issue 3, September 2005: 398.

Page 52: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

76 | BAB II KERANGKA TEORETIS

menurut Goffman, orang fokus pada upaya untuk sintas (survived)

di tengah dominasi, Scott memperlihatkan bahwa upayanya tidak

itu saja. Dengan cara-cara yang tidak tampak kelompok yang

didominasi juga melakukan perlawanan.165

Dalam interaksinya dengan pihak yang mendominasi

kelompok yang didominasi mempergunakan dua macam transkrip

atau dua naskah pertunjukan. Naskah pertama disebut transkrip

publik, sementara naskah kedua disebut transkrip tersembunyi.

Transkrip publik adalah naskah yang mengatur peran-peran yang

dimainkan di hadapan kelompok dominan. Di dalamnya ucapan,

sikap dan perilaku dibengkokkan secara sistematis supaya cocok

dengan kemauan dan ekspektasi kelompok dominan. Orang-orang

yang didominasi memperagakan sikap dan perilaku tunduk, patuh

dan kalah; sementara pihak dominan ditampilkan sebagai yang

kuat, berkuasa dan menang.166

Transkrip tersembunyi adalah naskah yang mengatur

peran-peran yang dimainkan di antara sesama kaum yang

didominasi, yang luput dari pengamatan kelompok dominan.

Pertunjukan yang ditampilkan di sini berbeda.167 Perilaku, sikap

dan kata-kata yang diperagakan merupakan kebalikan dari yang

diatur dalam transkrip publik. Kalau transkrip publik bermaksud

menciptakan sebuah budaya dominan dan resmi maka transkrip

tersembunyi bermaksud menciptakan sebuah sub-kultur yang

bertentangan sekaligus melawan budaya yang coba dipaksakan

oleh elit dominan.168 Isinya adalah perkataan-perkataan, isyarat-

isyarat dan praktik-praktik yang menegaskan, menyangkal, atau

165 Goffman sebenarnya juga menulis buku lain yang membahas

hidup orang-orang yang dalam kategori Scott adalah orang lemah, yakni mereka yang memikul stigma-stigma tertentu. Namun lagi, tidak seperti Scott,

di dalam buku itu Goffman kembali fokus meneliti upaya-upaya yang ditempuh orang-orang ini untuk dapat bertahan dalam situasi itu. Lihat

Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (New

York: Simon & Schuster, Inc., 1963). 166 James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden

Transcripts (New Haven: Yale University Press, 1999), 4. 167 Ibid. 168 Ibid., 27.

Page 53: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 77 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

mengubah apa yang tampak di dalam transkrip publik.169 Dengan

cara ini mereka melakukan apa yang disebut Scott “a labor of

neutralization and negation”170—sebuah usaha untuk menetralisasi

dan menegasi apa yang terjadi di hadapan kaum dominan.

Perlawanan terhadap dominasi dapat diamati dengan

membandingkan transkrip publik dan transkrip tersembunyi.

Perbedaan yang nyata antara ucapan-ucapan, gerak-gerik dan

praktik-praktik yang diperagakan menurut transkrip publik dan

yang diperagakan menurut transkrip terselubung menjelaskan

hadirnya perlawanan.171 Semakin kuat dominasi dirasakan maka

akan semakin tidak cocok pula kehidupan yang diperagakan oleh

kelompok yang didominasi di hadapan kelompok dominan dengan

yang diperagakan di antara mereka sendiri.

Lewat teori ini Scott bermaksud memperlihatkan bahwa

bahkan dalam suatu situasi paling hegemonik sekalipun kaum

lemah, atau kaum minoritas, atau kaum yang didominasi tidak

pernah betul-betul tunduk atau menyerah begitu saja kepada

kemauan kelompok dominan. Mereka juga melawan.

Scott mengkritik konsep Marxist tentang kesadaran palsu

(false consciousness) dan konsep Gramscian tentang hegemoni yang

dipandang gagal melihat hadirnya perlawanan.172 Dua konsep ini

pada dasarnya menunjuk kepada sikap tinggal diam (quiesence)

terhadap kondisi-kondisi sosial yang membuat orang yang ditindas

menjadi tertindas. Orang yang tertindas tidak melawan karena

kesadaran mereka, oleh operasi cerdik kapitalisme, telah

dipisahkan dari situasi historis-material hidupnya. Akibatnya,

akar-akar persoalan penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan

tidak lagi dilihat bersumber dari tatanan sosial kehidupannya.

Konsekuensinya, orang lantas merasa tidak perlu melakukan

169 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 4-5. 170 Ibid., 111. 171 Ibid., 5. 172 Ibid., 77-85

Page 54: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

78 | BAB II KERANGKA TEORETIS

perubahan apa-apa pada situasi historis-material tersebut.173 Meski

demikian Marx yakin sekali bahwa ketika beban sudah tidak

tertanggungkan lagi maka kesadaran palsu ini akan sirna. Akan

muncul kesadaran sejati dan sebuah revolusi sosial yang akan

mengubah segalanya. Namun revolusi yang ditunggu-tunggu itu

tak kunjung datang. Gramsci coba memperbaiki konsep Marx

tentang kesadaran palsu dengan menawarkan konsep tentang

hegemoni. Revolusi sosial gagal bukan karena kesadaran palsu

melainkan karena keberhasilan kelompok dominan, melalui

sebuah operasi ideologis-kultural, mempersuasi kelompok yang

didominasi untuk malah memilih dan mendukung kekuasaan atau

hegemoni yang mendominasi mereka.174

Namun dengan tetap timbulnya aksi-aksi atau gerakan-

gerakan perlawanan terbuka di kemudian hari membuat Scott

meragukan penjelasan Gramsci. Kalau semua orang telah setuju

untuk hidup di bawah rezim yang mendominasinya lalu kenapa

pada suatu titik perlawanan masih muncul juga? Kalau

perlawanan terbuka dapat timbul lalu mungkinkah ia bisa muncul

tiba-tiba? Scott percaya bahwa jauh lebih masuk akal untuk

menerima bahwa perlawanan terbuka itu sudah didahului oleh

kehadiran aksi-aksi perlawanan yang luput dari pengamatan

kelompok dominan.175 Jauh di lubuk hatinya orang-orang yang

kelihatannya tunduk sebenarnya tidak mau tunduk. Lalu,

bagaimana bisa terjadi bahwa di satu pihak tampil ketundukan

sementara di waktu lain timbul perlawanan terbuka? Gagasan

Scott tentang perilaku di atas pentas dan di bawah pentas

menyelesaikan masalah ketegangan itu. Apa yang tampil sebagai

ketundukan sesungguhnya hanyalah peragaan di atas pentas (on

stage), di depan mata kelompok dominan saja. Tetapi, di ruang

173 Robert C. Tucker, ed. The Marx-Engels Reader (New York: W.W.

Norton & Company, 1978), 158-159. 174 Lihat Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith, eds., Selections

from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (New York: International

Publishers, 1987), 9-14. Tokoh dan lembaga yang dicatat Gramsci

memainkan peran penting di sini adalah kaum intelektual dan sekolah. 175 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 5-8, khususnya

komentarnya atas ucapan-ucapan Aggy dan Mrs Poyser.

Page 55: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 79 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sosial yang lain, yakni di bawah pentas (off stage), naskah yang

diperagakan berbeda. Di tempat yang tidak terjangkau oleh

pengamatan kelompok dominan itu, diperagakanlah sebuah

“pertunjukan” sosial di mana kekuasaan kelompok dominan

disangkali, ditolak dan dilawan.

Meski transkrip tersembunyi dimaksudkan untuk peragaan

di pentas belakang yang tidak teramati oleh penguasa, hal itu tidak

selalu berarti bahwa transkrip ini tidak pernah satu kalipun

dipertunjukkan di atas pentas di depan penguasa. Dengan bentuk-

bentuk yang diselubungkan transkrip tersembunyi ini juga

diperagakan di depan mereka. Scott mengumpamakan perbuatan

ini seperti perbuatan seorang editor koran oposisi yang bekerja di

bawah peraturan sensor yang ketat. Untuk menyampaikan pesan-

pesan perlawanan dari kelompok oposisi ia memakai cara-cara

yang terlihat sah secara hukum sehingga tidak tampak sebagai

perlawanan terhadap penguasa.176

Ada dua teknik utama yang dipergunakan. Yang pertama

menselubungkan pesan perlawanan; sementara yang kedua

menyembunyikan penyampai pesan. Teknik-teknik dalam kategori

pertama dipergunakan ketika pihak yang melawan dikenali,

sementara pada teknik yang kedua ketika pesan perlawanan secara

sengaja dibuat untuk dikenali. Selain dua teknik utama ini masih

ada lagi sebuah teknik lain, yakni menselubungkan pesan dan

pembawa pesan perlawanannya sekaligus.177

Dalam teknik penyembunyian pesan perlawanan, bentuk-

bentuk yang umum dipakai adalah anonimitas, eufemisme dan

bersungut-sungut.178 Anonimitas timbul dalam situasi di mana

pengungkapan diri dapat membahayakan keselamatan orang yang

melawan. Pesan anonim membuat identitas orang yang melawan

tetap terlindungi. Eufemisme adalah kebalikannya. Di sini orang

yang melawan dikenali. Ia dipergunakan agar pesan penolakan

176 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 138. 177 Ibid., 139 178 Ibid., 140-156.

Page 56: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

80 | BAB II KERANGKA TEORETIS

dan perlawanan tidak tampak sebagai perlawanan. Dalam

bersungut-sungut, yang melawan dan dilawan sama-sama

berhadap-hadapan. Sebagai ungkapan ketidakpuasan dan

ketidaksukaan, sungut-sungut sulit dibuktikan sebagai kejadian

perlawanan.

Selain tiga bentuk dasar itu, masih ada lagi bentuk-bentuk

penyelubungan yang lain, yang lebih kompleks (elaborate forms).179

Di sini perlawanan dilakukan secara lebih terbuka di ruang publik

sambil terus berpegang pada prinsip kecerdikan dan kehati-hatian

dalam menantang transkrip publik. Unsur-unsur budaya, dalam

hal ini unsur-unsur dari budaya rakyat dan budaya populer,

menjadi medium untuk menyusupkan pesan-pesan perlawanan di

dalam transkrip publik.180 Medium budaya sengaja dipilih karena

sifatnya yang ambigu (bermakna ganda), multivalen (bersisi

banyak), dan polisemis (bermakna banyak). Sifat-sifat ini

memungkinkan unsur-unsur makna yang bersifat perlawanan

dapat disusupkan ke dalam praktik-praktik budaya yang sudah

dikenal sehingga perlawanan tampil halus dan tidak frontal.

Karnaval adalah medium budaya yang banyak

dipergunakan.181 Karnaval dipilih karena hakikatnya sebagai suatu

peristiwa yang lain dari biasanya. Aturan-aturan normal yang

mengatur interaksi orang satu sama lain, dalam karnaval, tidak

lagi berlaku. Selain itu dengan derajat anonimitas yang tinggi, di

antaranya dengan penggunaan topeng, membuat karnaval

memungkinkan orang untuk melakukan apa saja. Orang diizinkan

tampil beda dan dapat menyampaikan hal-hal yang dalam

kehidupan biasa adalah tabu. Menariknya, perbedaan itu justru

disukai karena membuat karnaval menjadi meriah. Karenanya

karnaval menjadi medium yang disukai untuk menyampaikan

kritik kepada penguasa.

179 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 156-182. 180 Ibid., 157. 181 Ibid., 173-174.

Page 57: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 81 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Selain karnaval, tradisi-tradisi lisan, yakni cerita-cerita

yang disampaikan dari mulut ke mulut, adalah cara lain yang

dipilih untuk menyampaikan pesan perlawanan.182 Ia dipilih

karena menyediakan kemungkinan anonimitas yang amat besar

dan tidak mengenal bentuk permanen. Sebuah kisah di mulut yang

satu bisa menjadi kisah yang berbeda di mulut yang lain. Tidak

ada teks standar untuk mengukur penyimpangannya. Sebuah kisah

senantiasa disesuaikan, direvisi, diringkas atau bahkan dapat

diabaikan.183 Manakala kisah-kisah itu sudah tidak mampu lagi

melayani kepentingan yang mau diperjuangkan kisah-kisah itu

dibiarkan lenyap dengan sendirinya.

Selain tradisi lisan, cerita-cerita rakyat dan dongeng-

dongeng tentang kecerdikan orang atau binatang tertentu, atau

gambar-gambar yang melukiskan dunia yang terbalik turut

menyimpan pesan-pesan perlawanan terhadap dominasi di

baliknya.184

Sebagai sebuah subkultur yang terpisah dari budaya resmi

atau budaya dominan, seluruh budaya kelompok yang didominasi

Scott sarankan supaya dipahami sebagai bayangan dari upaya-

upaya menyusupkan transkrip tersembunyi atau perlawanan ke

dalam transkrip publik. Hal itu harus demikian karena budaya

suatu kelompok masyarakat tidak bisa dipisahkan dari lokasi sosial

kelompok tersebut.185 Lokasi tersebut melahirkan nilai-nilai dan

182 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 160-162. 183 Ibid., 161. 184 Ibid., 182-172. 185 Sudut pandang sosiologis, khususnya dari perspektif konflik,

melihat budaya sebagai produk dari konflik kepentingan-kepentingan dan

kebutuhan-kebutuhan kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki budayanya masing-masing dan terlibat dalam konflik memperebutkan pengaruh dalam

budaya nasional. Lihat William E. Johnson & Joseph V. Hickey, Society in

Focus: An Introduction to Sociology (Boston, MA.: Allyn & Bacon, 2012), 79.

Berbicara dengan cara yang berbeda, Stuart Hall turut menekankan lokasi

sosial dan ekspresi kultural seseorang. Ia mengatakan bahwa orang menulis dan bicara dari “a particular place and time, from a history and a culture

which is specific.” Ia kemudian melanjutkannya dengan memberi contoh dirinya sendiri sebagai orang yang menulis dan bicara dari suatu lokasi sosial

Page 58: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

82 | BAB II KERANGKA TEORETIS

pengalaman-pengalaman yang khas, yang kemudian muncul

dalam bentuk atau ekspresi yang khas pula. Sebagai kelompok

yang kurang beruntung atau ditindas situasi semacam ini

kemudian mendorong terciptanya suatu gambaran hidup

tersendiri, yang berlawanan dengan apa yang mereka alami dalam

kehidupan sehari-hari. Gambaran-gambaran itu lalu diekspresikan

di dalam budaya yang diproduksi oleh kelompok tersebut.

Mengapa memilih budaya untuk mengekspresikan

perlawanan? Menurut Scott hal itu disebabkan oleh tidak

efektifnya pengawasan di wilayah budaya. Tidak seperti di

wilayah-wilayah politik dan ekonomi di mana kontrol kekuasaan

amat terasa dan dapat sangat efektif, dalam wilayah budaya

efektivitas kontrol rendah. Orang masih memiliki ruang yang

cukup leluasa untuk memutuskan apa yang harus diterima atau

tidak diterima, dan diteruskan atau dibiarkan sampai di sini saja.

Lalu, untuk membenarkan posisi sosialnya sebagai yang dominan,

kelompok dominan mempergunakan suatu strategi budaya. Untuk

mematahkan dominasi itu, budaya yang menjustifikasi

kekuasaannya harus diserang. Elemen-elemen budaya merupakan

sarana perlawanan yang ampuh karena hakikatnya sebagai sebuah

simbolisme dan metafor yang multivalen. Hal itu membuat pesan

perlawanan dapat diselubungkan, bahkan dalam baju budaya

dominan.186 Tikaman kepada dominasi dapat dilakukan tanpa

harus terlihat sebagai pembunuhan karena kemampuan simbol-

simbol budaya untuk membawakan makna yang majemuk.

Kalau penyelubungan dilakukan untuk membuat

perlawanan tidak kelihatan, pertanyaan yang kemudian muncul

adalah: masihkah ia dapat disebut sebagai sebuah perlawanan?

Dapatkah ia dikategorikan sebagai sebuah perjuangan politis yang

bermaksud untuk mengubah sesuatu? Dari perspektif perjuangan

kelas, dapatkah tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan

tertentu dari mana ia berasal. Lihat Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” Identity: Community, Culture, Difference, ed. J. Rutherford, (London:

Lawrence & Wishart, 1990), 222-223. 186 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 157-158.

Page 59: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 83 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

secara individual diterima dan dipahami sebagai cerminan

perjuangan kolektif kelas? Apalagi bila mengingat tiadanya

pemimpin dan ideologi yang mengarahkan dan menjadi basis

perlawanan? Menurut Scott, apa yang dilakukan tidak bisa

dikatakan tidak politis hanya gara-gara tidak diungkapkan secara

terang-terangan dan terbuka. Apa yang dilakukan oleh kelompok

yang didominasi tetap politis karena hal itu ditujukan untuk

mencapai perubahan sifat hubungan di antara kedua belah pihak,

dan kedua belah pihak dengan suatu hal yang diperebutkan.187

Dalam hal ini masalah penyelubungan lebih terkait dengan taktik

perjuangan. Ia tidak ada hubungannya dengan soal sifatnya yang

politis atau tidak.

Di pihak lain, perlawanan ini merupakan bagian dari

sebuah aksi kolektif karena aksi-aksi individu tidak bisa dilakukan

secara terus-menerus tanpa kerja sama diam-diam dengan

individu-individu lain.188 Ada mekanisme-mekanisme tertentu

yang dijalankan di dalam dan oleh kelompok untuk memastikan

bahwa tindakan individu demi individu sejalan dengan

kepentingan dan perjuangan kelompok. Mekanisme-mekanisme

itu pada dasarnya berisi insentif dan sanksi sosial. Di satu pihak

memberi upah kepada yang mengikuti norma-norma kelompok

dan di pihak lain menjatuhkan hukuman pada yang merusak

kepentingan kolektif.189

Teori perlawanan Scott menawarkan sesuatu yang lebih

baik dari tiga perspektif teori sebelumnya. Tiga teori sebelumnya

lebih banyak melihat persoalan asimilasi dari sudut pandang

kelompok dominan. Karenanya, ketiganya tidak memadai dalam

menjelaskan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok minoritas

terhadap berasimilasi. Kuatnya perspektif kelompok dominan,

apakah itu negara dan pemerintah atau masyarakat lokal penerima

para imigran, ditunjukkan secara amat jelas dalam teori-teori

187 Scott dalam The Copenhagen Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989):

34. 188 Ibid., 36. 189 Idem, Domination and the Arts of Resistance, 128-135.

Page 60: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

84 | BAB II KERANGKA TEORETIS

asimilasi klasik. Teori-teori asimilasi kontemporer coba

melengkapi kekurangan itu dengan perhatian serius kepada pelaku

asimilasi (agency), yang dapat memilih ke mana arah asimilasinya.

Namun demikian dua teori ini tidak memberi kerangka yang

cukup untuk memahami motif relasi kekuasaan di balik pilihan-

pilihan yang diambil. Lebih dari itu, seperti yang dipikirkan Scott,

interaksi kelompok minoritas dan kelompok dominan hanya

diamati dari satu sudut pandang, yaitu interaksi keduanya di atas

pentas. Tidak ada penetrasi ke dalam interioritas kelompok

minoritas untuk melaporkan sejauh mana asimilasi yang tampak

di depan adalah kenyataan yang juga sungguh terjadi di belakang.

Teori Scott lebih baik pertama-tama karena teori ini

memberikan definisi yang cukup luas tentang apa itu kelompok

dominan dan kelompok yang didominasi. Dalam kelompok

dominan ada negara, pemerintah, masyarakat dan orang-orang

yang berkuasa. Sementara dalam kelompok yang didominasi ada

petani, etnis minoritas, kelas sosial tertentu dan lain-lain.

Selanjutnya, teori ini lebih baik karena memberi perhatian besar

kepada cara-cara yang ditempuh oleh orang atau kelompok yang

didominasi dalam mensiasati situasi dan kondisi hidupnya. Titik

berangkatnya adalah dari kelompok yang didominasi dan cara-

cara mereka menghadapi operasi kekuasaan. Teori ini juga lebih

memadai karena menawarkan suatu kerangka yang cukup untuk

memahami pilihan-pilihan respons yang diambil oleh anggota-

anggota kelompok minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi.

Tindakan-tindakan mereka tidak saja dicermati dari posisi

berhadap-hadapan secara langsung dengan kelompok dominan

namun juga dari tempat di mana mereka jauh dari pengawasan

kelompok dominan.

Karena pertimbangan-pertimbangan ini maka perspektif

teori yang ditawarkan Scott akan dipergunakan dalam penelitian

ini. Meski demikian hasil-hasil penelitian tentang orang Tionghoa

Indonesia yang dilakukan dengan perspektif teori yang berbeda

akan diperhatikan dan dipergunakan sejauh dapat menolong

menjelaskan apa yang coba disajikan oleh penelitian ini.

Page 61: Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 85 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998