Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat...
Transcript of Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Home ......kebudayaan masyarakat setempat...
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 25 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
BAB II
KERANGKA TEORETIS
Secara keseluruhan, proyek disertasi ini pertama-tama
menyentuh persoalan perlawanan kelompok minoritas terhadap
kebijakan yang diberlakukan negara atas mereka, khususnya
perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di
dalam Gereja Kristus Tuhan terhadap kebijakan asimilasi yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru. Karena kebijakan
asimilasi ini ditujukan kepada orang-orang dengan kebudayaan
tertentu demi membawa mereka ke dalam “conformity with the
customs, attitudes, etc., of a dominant cultural group of national
culture”1 maka teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengeksplorasi perlawanan yang mereka
lakukan terhadap pelaksanaan kebijakan itu. Asumsi-asumsi
teoretis kunci yang melandasi studi ini adalah bahwa perlawanan
merupakan suatu keniscayaan dalam relasi dengan kekuasaan dan
bahwa perlawanan itu beraneka ragam rupanya.2 Berangkat dari
asumsi-asumsi inilah maka studi ini akan fokus kepada cara-cara
yang ditempuh dalam melakukan perlawanan, di mana itu
dilakukan dan apa saja bentuk perlawanannya.
Uraian kerangka teori ini akan dimulai dengan suatu
uraian mengenai hasil-hasil penelitian terdahulu tentang orang
Tionghoa di Indonesia. Dari situ kemudian diuraikan tiga konsep
kunci yang dipakai di sini, yaitu kebijakan asimilasi, identitas
nasional dan perlawanan. Bagian berikutnya akan mengeksplorasi
sejumlah pikiran tentang asimilasi dan perlawanan yang ditujukan
kepadanya. Teori-teori tentang asimilasi akan dikaji secara kritis
1 “Assimilation” dalam Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of
Nationalism: Leaders, Movements, and Concepts (San Diego, CA.: Academic
Press, 2001), 29. 2 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I
(New York: Vintage Books, 1990), 95-96; Stephen Gill, Power and Resistance in
the New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008), xiv.
26 | BAB II KERANGKA TEORETIS
untuk menemukan kontribusinya kepada studi ini. Sejumlah teori
tentang perlawanan juga akan turut dikaji dalam cara yang sama
untuk menyiapkan jalan kepada bangun teori yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini.3 Uraian ini akan mencakup
garis besar pemikiran teori-teori itu dan bagaimana keterbatasan
teori-teori tersebut dalam menjelaskan fenomena sosial yang
diteliti. Bagian berikutnya merupakan inti dari bab ini di mana
teori perlawanan sehari-hari yang digagas James C. Scott akan
diuraikan dan disusun untuk dipergunakan memahami fenomena
sosial yang diteliti di sini.
A. Tinjauan atas Hasil-hasil Studi Tentang Asimilasi Orang
Tionghoa di Indonesia
Studi-studi awal tentang asimilasi orang-orang Tionghoa
di Indonesia memperlihatkan bahwa kegagalan asimilasi itu
disebabkan oleh situasi sosial-politik yang mengitari kehidupan
orang-orang Tionghoa. Unger mencatat bahwa kegagalan itu
disebabkan oleh dua faktor. Pertama adalah pembatasan-
pembatasan yang dikenakan oleh pemerintah kolonial Belanda,
yang memisahkan orang-orang Tionghoa dari non-Tionghoa; dan
yang kedua adalah karena kebangkitan nasionalisme Tiongkok
yang melanda orang-orang Tionghoa sejak mulai awal abad ke-20.
Keduanya membuat orang-orang Tionghoa lebih mengorientasi-
kan hidupnya kepada Tiongkok, negara asalnya, dari pada kepada
negara di mana para perantau ini berdiam.4
3 The Editors of Salem Press, Theories of Social Movement dalam seri
Sociology Reference Guide (Pasadena, CA.: Salem Press, 2011); Per Herngren,
Path of Resistance: The Practice of Civil Disobedience, e-book, (Gabriola Island,
B.C.: New Society Publishers, 2004); Henry David Thoreau, On the Duty of
Civil Disobedience, e-book; Stuart Hall & Tony Jefferson, Resistance through
Rituals: Youth subcultures in post-war Britain (London: Routledge, 2006); Kevin
O’Brien & Lianjiang Li, Rightful Resistance in Rural China (Cambridge, UK.:
Cambridge University Press, 2006); Stephen Gill, Power and Resistance in the
New World Order (New York: Palgrave Macmillan, 2008). 4 Leonard Unger, “The Chinese in Southeast Asia,” Geographical
Review Vol. 34, No. 2 (Apr., 1944): 196-217.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 27 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Skinner menambahkan kesimpulan lain kepada studi
Unger dengan mendiferensiasikan level asimilasi pada dua
kategori. Pada ketegori pertama yang bersifat spasial, level
asimilasi akan berbeda untuk wilayah yang berbeda. Di sejumlah
tempat seperti di Sumatera dan Kalimantan, kebudayaan asli
Tionghoa masih kuat dipertahankan; sementara di daerah-daerah
lain seperti di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali,
pengaruh budaya setempat lebih kuat mempengaruhi mereka.5
Pada kategori kedua yang bersifat sosial-kultural, dan secara
khusus di Jawa, ada dua macam orang Tionghoa dengan dua
macam derajat asimilasi.6 Orang Tionghoa peranakan, oleh karena
sudah lama tinggal di Jawa, telah menyerap kebudayaan setempat
sebagai bagian dari identitas sosialnya sementara orang Tionghoa
totok, yang belum begitu lama menetap, memperlihatkan
karakteristik budaya asli yang lebih kuat. Secara sosial, budaya,
ekonomi dan politik mereka masih berorientasi ke Tiongkok, ke
negeri asalnya.
Setelah Indonesia merdeka, timbul dua kategori lain
tentang orang Tionghoa di Indonesia. Keduanya adalah orang
Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia (Tionghoa WNI)
dan orang Tionghoa yang berkewarganegaraan asing (Tionghoa
WNA). Terhadap asimilasi, Skinner tidak menjelaskan sikap apa
saja yang muncul di kalangan orang Tionghoa WNA. Namun
pada kelompok orang Tionghoa WNI Skinner mendapati dua
sikap berbeda. Kelompok pertama, yang umum disebut kelompok
integrasionis, menentang asimilasi yang dipaksakan meski tetap
ingin menjadi bagian integral dari negara Indonesia sebagai
kelompok etnis yang terpisah. Kelompok kedua, yang sering
disebut kelompok asimilasionis, menerima dan mendukung
asimilasi, bahkan menginginkan supaya hal itu dapat diwujudkan
secepat mungkin.
5 Skinner dalam Mely G. Tan, ed., Golongan Etnis Tionghoa di
Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta: PT Gramedia,
1979), 9. 6 Ibid., 10-12.
28 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Studi Tan Giok Lan pada pertengahan tahun 50-an,7
menemukan bahwa orang Tionghoa WNI dapat dikatakan
ekuivalen dengan orang Tionghoa peranakan sementara orang
Tionghoa WNA dengan orang Tionghoa totok. Namun demikian
apa yang dikatakan tentang orang Tionghoa peranakan sebagai
yang sudah berasimilasi oleh Giok Lan ditemukan baru sampai
pada tahap akulturasi budaya saja. Elemen-elemen tertentu dari
kebudayaan masyarakat setempat diadopsi serta diintegrasikan ke
dalam kebudayaan Tionghoa sehingga melahirkan suatu budaya
jenis baru yang Giok Lan sebut sebagai budaya peranakan.8 Pada
orang-orang Tionghoa totok, ia menemukan hampir tidak ada
keinginan untuk berasimilasi ke dalam masyarakat di mana
mereka berada. Orientasi sosial, budaya dan politiknya adalah
kepada Tiongkok (Tiongkok komunis) atau Taiwan (Tiongkok
nasionalis).
Baik Lea F. Williams maupun Leo Suryadinata sama-
sama sepakat bahwa keengganan itu disebabkan oleh faktor
pendidikan yang diterima di sekolah-sekolah asing Tionghoa.
Dengan guru-guru yang berorientasi kuat kepada Tiongkok atau
Taiwan dan dengan kurikulum pendidikan yang berisi indoktrinasi
nasionalisme Tiongkok maka siswa-siswi tersebut sulit untuk
dibawa ke arah asimilasi.9 Meski demikian, Williams sepakat
dengan Unger bahwa ada faktor-faktor eksternal yang turut
mendesak mereka ke pilihan tersebut. Kondisi sosial dan politik
Indonesia yang kurang bersahabat pada zaman itu telah
menimbulkan perasaan tidak aman pada orang-orang Tionghoa
7 Tan Giok Lan, The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and
Cultural Accomodation (Ithaca, NY.: Cornell University Press, 1963). 8 Ibid., 277. 9 Lea F. Williams, “Nationalistic Indoctrination in the Chinese
Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3
(Feb., 1958): 12-17; Leo Suryadinata, “Indonesian Chinese Education: Past
and Present,” Indonesia, Vol. 14 (Oct., 1972): 49-71.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 29 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
WNA. Hal itu mendorong mereka mencari perlindungan kepada
Tiongkok dan mengidentikkan diri dengannya.10
Dalam studinya atas kehidupan orang Tionghoa pada
dekade 60-an, Charles A. Coppel meneguhkan salah satu
kesimpulan Giok Lan yang mengatakan bahwa jalan yang sedang
ditempuh oleh orang-orang Tionghoa belum bisa dikatakan
sebagai berasimilasi. Namun berbeda dari Giok Lan, dari
perspektif politik Coppel menyimpulkan bahwa yang dilakukan
baru akomodasi. Mereka sekedar mengadaptasikan diri dengan
situasi dan keadaan sosial-politik di Indonesia yang menuntut
kejelasan identitas dan loyalitasnya.11 Karenanya, dalam
pandangannya kategori peranakan dan totok, yang dibangun di
atas pemakaian bahasa Tionghoa, jadi tidak relevan untuk
mendefinisikan orang Tionghoa. Pun nama Tionghoa tidak.12
Sebagai gantinya, ia menawarkan definisi yang bersifat fungsional
di mana seorang adalah orang Tionghoa karena memerankan diri
sebagai bagian dari kelompok orang-orang Tionghoa.13
Bagi Suryadinata kategori totok dan peranakan masih
tetap relevan. Begitu pula dengan gagasan asimilasi. Bahkan,
dalam soal berasimilasi keduanya menampilkan pola perilaku
yang sama.14 Pada generasi tua asimilasi terpaksa dilakukan demi
menyesuaikan diri dan dengan kecepatan yang lambat sekali. Pada
generasi yang lebih muda dengan sikapnya yang lebih responsif,
hasil yang dicapai oleh generasi muda Tionghoa peranakan adalah
makin menyerupai masyarakat pribumi, sementara pada generasi
muda Tionghoa totok hasilnya adalah makin serupa dengan
Tionghoa peranakan, sebelum akhirnya akan menjadi indonesia
sepenuhnya.
10 Williams, Comparative Education Review, Vol. 1, No. 3 (Feb., 1958):
16-17. 11 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994). 12 Ibid., 33. 13 Ibid., 26. 14 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti
Pers,1984), 205-206.
30 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Mely G. Tan dan Thung Ju Lan serta peneliti-peneliti lain
di kemudian hari menindaklanjuti gagasan asimilasi di level
generasi yang berbeda. Seperti Suryadinata didapati bahwa derajat
asimilasi akan berbeda untuk tiap generasi yang berbeda.15 Ju Lan
menerobos jauh lebih ke dalam dengan menganalisis derajat
asimilasi pada generasi yang lahir pada tahun 30-an, 40-an, 50-an,
60-an dan 70-an. Dua generasi pertama cenderung masih tebal
dan kuat identitas Tionghoanya.16 Pada generasi yang ketiga,
ketionghoaannya lebih ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jika
ia lebih banyak bergaul dengan orang Tionghoa totok maka
identitas Tionghoanya akan lebih kuat; sementara bila lebih
banyak bergaul dengan orang Tionghoa peranakan dan pribumi
maka akan lebih dekat ke situ. Untuk dua generasi terakhir,
situasinya benar-benar berbeda. Mereka benar-benar sudah “lepas
dari ikatan tradisi dan adat-istiadat leluhur.”17 Meski demikian
Tan memberi catatan bahwa pada generasi yang terakhir ini tetap
juga ada pengecualian, khususnya pada level relasi antar
kelompok. Ada kecenderungan bahwa anak-anak muda Tionghoa
ini tetap merasa lebih nyaman dan leluasa berhubungan dengan
sesama Tionghoa dari pada dengan orang non-Tionghoa.18
Kesimpulan ini diteguhkan oleh riset Juliette Koning pada
sejumlah pengusaha Tionghoa di kota Yogyakarta.19 Meski merasa
15 Mely G. Tan, “The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of
Identity” dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178; Thung
Ju Lan “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial” dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina
di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), 184-187. 16 Observasi yang dilakukan Abdul Wahid pada sejumlah responden
di Yogyakarta, yang dipublikasikan pada tahun 2003 juga menemukan kesimpulan yang sama. Generasi tua, yang berumur 60-70 tahun, memiliki
“orientasi ke-Tionghoa-an yang kental” sementara pada generasi muda
umumnya “tidak lagi memiliki orientasi ke-Tionghoa-an yang kuat.” Lihat Abdul Wahid, “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori
Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Budi Susanto, SJ., ed. Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 65-102.
17 Ju Lan, dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 184-187. 18 Tan dalam Mely G. Tan, ed., Etnis Tionghoa di Indonesia, 177-178. 19 Juliette Koning, “Chineseness and Chinese Indonesian Business
Practices: A Generational and Discursive Enquiry,” East Asia (2007) 24: 129-
152.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 31 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sudah menjadi orang Indonesia dan tidak lagi berminat kepada
tradisi-tradisi Tionghoa pada umumnya namun dalam soal
berbisnis atau menikah mereka masih merasa ketionghoaan
sebagai unsur yang tetap penting. Mereka lebih suka berbisnis
dengan sesama orang Tionghoa karena dianggap lebih baik, “more
business oriented, more focused on working hard and always have
the success of the business in the forefront.”20 Sementara untuk
menikah mereka merasa bahwa menikah dengan sesama orang
Tionghoa masih jauh lebih baik karena celah perbedaan yang
harus diseberangi sempit saja. Lain halnya bila dengan orang non-
Tionghoa. Celah perbedaannya sangat lebar.
Baik Suryadinata, Greif, Tan, Ju Lan maupun yang lain
sepakat bahwa agama yang dianut, dalam hal ini agama Kristen
dan Hindu Bali, turut berperan besar dalam mengasimilasikan
orang Tionghoa. Kalau Suryadinata menolak peran positif Islam,
Ju Lan malah mengafirmasi bahwa Islam justru mendorong
pengaburan ketionghoaan orang Tionghoa, khususnya pada
mereka yang lahir dari tahun 1960-an sampai 1970-an.21 Coppel
juga menolak tesis Suryadinata tentang Islam. Bagi Coppel akar
masalahnya tampaknya bukan di agama tetapi pada sikap politik
akomodasinya, yang cenderung membangun kesepakatan dengan
penguasa daripada dengan masyarakat di mana ia berada.22
Berangkat dari asumsi bahwa “puncak dari bentuk
asimilasi adalah asimilasi perkawinan”23 penelitian Hariyono
menemukan bahwa faktor-faktor yang mendorong asimilasi
tersebut ialah sistem familiisme, ethnosentrisme, interaksi sosial
seseorang dan kedalaman penghayatan agama.24 Semakin kuat
20 Koning dalam East Asia (2007) 24: 150. 21 Ju Lan dalam I. Wibowo, ed., Harga Yang Harus Dibayar, 187. 22
Lihat Coppel, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, 34-36, 323. 23 P. Hariyono, Kultur Cina dan Jawa: Pemahaman Menuju Asimilasi
Kultural (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 17. 24 Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 105. Sistem familiisme
didefinisikan Hariyono sebagai jaringan nilai-nilai yang mengatur tata
hubungan dalam suatu keluarga. Nilai-nilai ini menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan-kepentingan individu, bangsa dan bahkan
32 | BAB II KERANGKA TEORETIS
sistem familiisme mempengaruhi seorang Tionghoa maka
ethnosentrismenya cenderung akan menguat. Akibatnya, interaksi
sosialnya dengan orang dari kelompok lain akan makin berkurang
dan akhirnya membatasi jumlah perkawinan campur yang dapat
terjadi dengan orang non-Tionghoa.25 Namun ketaatan dalam
menjalankan agama dapat mendorong asimilasi karena rumah
ibadah dan aktivitas ibadah bersama merupakan “agen sosialisasi”
orang Tionghoa dengan orang dari etnis lain. Selain itu, ajaran
agama yang menekankan semangat tanpa diskriminasi turut pula
“memperlancar proses asimilasi”26 yang dapat berujung kepada
perkawinan campur.
Setelah pertama kali diungkap Unger, penelitian
belakangan mulai fokus pada pemerintah yang mengeluarkan
kebijakan itu. Sejumlah peneliti mulai melihat bahwa kegagalan
asimilasi disebabkan oleh kontradiksi yang melekat di dalam
kebijakan itu sendiri. Ariel Heryanto melihat kontradiksi itu
terletak pada cara pemerintah Orde Baru mendefinisikan orang
Indonesia.27 Jika identitas adalah produk relasi resiprokal antara
diri (self) dengan masyarakat (society)28 maka untuk mengkonstruksi
suatu gagasan tentang orang Indonesia diperlukan yang namanya
‘orang lain’ (the other), baik yang itu nyata maupun sekedar
negara. Ethnosentrisme ia definisikan sebagai sikap kelompok yang dibangun di atas landasan etnis tertentu dan memandang kelompok etnis sendiri sebagai
lebih baik daripada kelompok etnis lain. Smentara interaksi sosial adalah hubungan timbal balik yang terjadi di level antar pribadi atau antar kelompok
dari dua atau lebih kelompok yang berbeda. 25 Hariyono, Kultur Cina dan Jawa, 104. 26 Ibid., 195. 27 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese
Indonesians in Public Culture” dalam Southeast Asian Identities: Culture and
Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand. Joel S.
Kahn, ed. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 103. 28 Jan E. Stets & Peter J. Burke, “A Sosiological Approach to Self
and Identity,” Handbook of Self and Identity, eds. Mark Leary & June Tangney
(Ney York, NY.: Guilford Press, 2003), 128. Lihat pula Peter J. Burke & Jan
E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 3-4.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 33 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
imajinasi belaka, sebagai interlokutor (mitra percakapan).29
Bersama-sama dengan yang namanya Barat, Komunisme dan
Islam Fundamentalis, orang Tionghoa ditaruh di dalam kategori
‘orang lain’ tersebut.30 Mereka adalah ‘orang lain’ karena berasal
dari luar batas geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya,
kuat secara ekonomi dan dicurigai terkait erat dengan komunisme.
Kebijakan asimilasi jadinya berkontradiksi di dalam
dirinya sendiri karena membentuk garis pemisah yang
membedakan orang Tionghoa, yang dianggap bukan pribumi, dari
orang-orang non-Tionghoa, yang dianggap pribumi. Perbedaan itu
lantas dimuat ke dalam kesadaran nasional, dibakukan dan
diwujudkan dalam rupa perlakuan yang diskriminatif. Hal itu
membuat identitas ketionghoaan yang coba dihapus justru makin
kentara dan jadi semakin tidak terhapus serta terus-menerus
direproduksi. Di pihak lain, sistem ekonomi yang dibangun Orde
Baru di atas pembagian kerja menurut ras turut pula mengeraskan
perbedaan dan mengkontradiksikan kebijakan itu. Pelaksanaan
asimilasi total jadinya tidak bisa terjadi sebab justru akan
menghapus sistem sosial-ekonomi yang selama ini telah
memberikan keuntungan besar kepada penguasa.31
Senada dengan Heryanto, Christian Chua juga ber-
pendapat bahwa kebijakan asimilasi gagal karena kontradiksi yang
diciptakan oleh pemerintah itu sendiri.32 Chang Yau Hoon
29 Pikiran Charles Horton Cooley seperti diterangkan oleh James A.
Holstein & Jaber Gubrium dalam The Self We Live B: Narrative Identity in A
Postmodern World (New York: Oxford University Press, 2000), 27. 30 Heryanto dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities, 97. 31 Ibid., 104. Sarah Turner menjelaskan bahwa orang-orang
Tionghoa, khususnya sejumlah konglomerat Tionghoa, dalam sistem
ekonomi Orde Baru memang sengaja ditempatkan sebagai pengelola ekonomi negara. Lihat Sarah Turner, “Speaking Out: Chinese Indonesians After
Suharto,” Asian Ethnicity, Volume 4, Number 3, October 2003: 342-343. 32 Christian Chua, “Defining Indonesian Chineseness Under the
New Order,” Journal of Contemporary Asia, Vol. 34 No. 4 (2004): 465-479.
Sebelum Christian Chua, sejumlah artikel yang dimuat dalam jurnal Asian
Ethnicity Volume 4, Number 3, October 2003, juga mempergunakan baik
34 | BAB II KERANGKA TEORETIS
melokalisasi problemnya pada konsep identitas nasional Indonesia
yang coba dipertahankan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam
konsep itu ada dua problem yang melekat. Yang pertama warga
negara dibagi ke dalam dua kategori: pribumi dan non-pribumi.
Warga negara pribumi adalah penduduk asli yang mendiami suatu
wilayah atau tanah. Karena itu, sekalipun sudah berstatus WNI,
orang Tionghoa tetap saja asing sebab bukan penghuni asli suatu
daerah. Masalah yang kedua adalah sifat singularitas dan statis dari
konsep identitas nasional Indonesia. Konsep identitas yang dianut
oleh pemerintah Orde Baru bersifat tunggal dan tetap sementara
Indonesia tersusun atas beraneka etnis, budaya, bahasa dan
agama. Orang Tionghoa sendiripun jauh dari sebuah komunitas
yang homogen. Ketidakpekaan pemerintah kepada keanekaraga-
man ini menyebabkan pilihan yang tersedia bagi orang Tionghoa
adalah “to give up all their ‘Chineseness’.”33 Melepaskan secara
menyeluruh ketionghoaan jelas sebuah ketidakmungkinan karena
baik keindonesiaan maupun ketionghoaan itu sendiri adalah
konsep hibrida, yang tidak pernah merupakan sebuah konsep yang
stabil. Kebijakan asimilasi, dengan demikian, menjadi sebuah
usaha politis yang sia-sia.
Keruntuhan Orde Baru mendorong timbulnya suatu genre
baru dalam studi atas orang-orang Tionghoa. Diilhami oleh teori
Albert Hirschman tentang perilaku konsumen, Ignatius Wibowo
mulai mengarahkan perhatian penelitian bukan lagi kepada situasi
internal atau eksternal orang Tionghoa yang mengitari orang-
orang Tionghoa namun langsung kepada respons-respons mereka
sendiri kepada situasi yang mengelilinginya. Tiga konsep
Hirschman yang ia pakai untuk membaca respons mereka adalah
seluruhnya maupun sebagian argumentasi Heryanto tentang kontradiksi
kebijakan asimilasi. 33 Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:
The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian
Ethnicity, Vol. 7 No. 2, June 2005: 152.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 35 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
exit, voice dan loyalty.34 Pada exit, bentuk responsnya ada tiga. Yang
pertama adalah meninggalkan Indonesia dan pindah ke negara
lain. Yang kedua adalah pindah ke daerah lain, dan yang ketiga
adalah tetap tinggal di tempat semula namun membangun pagar-
pagar pelindung yang tinggi.
Untuk voice, Wibowo menemukan respons ini diperagakan
dengan mendirikan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang memperjuangkan penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap orang Tionghoa. Sementara untuk loyalty, Wibowo
melihat hal itu ditampilkan dalam pilihan melibatkan diri di dalam
dunia politik Indonesia, baik dengan menjadi anggota partai
politik yang sudah ada maupun dengan mendirikan partai yang
berjuang menghapus diskriminasi terhadap orang Tionghoa.
Bentuk lain yang diperagakan dalam kategori ini adalah
mengambil sikap “suffer in silence, confident that things will soon
get better.”35 Wibowo percaya bahwa respons ini merupakan
respons dari mayoritas orang Tionghoa.
Apakah respons-respons ini dapat menggambarkan
respons orang Tionghoa semasa Orde Baru? Tulisan Wibowo
tidak memberi gambaran sampai sejauh itu karena ia menulis
tentang orang Tionghoa pasca jatuhnya Soeharto. Namun tulisan
Van Der Kroef yang terbit pada tahun 1968 memberikan
gambaran yang sedikit mirip dengan apa yang dilukiskan
Wibowo.36 Menyikapi situasi yang mengancam sejumlah besar
orang Tionghoa di berbagai kota berupaya mencari jalan untuk
keluar dari Indonesia.37 Yang lain menyuarakan protesnya kepada
perlakuan buruk yang diterima.38 Namun respons-respons ini tidak
berlangsung lama karena mendapat perlawanan keras dari aparat
34 Ignatius Wibowo, “Exit, Voice and Loyalty: Indonesian Chinese
after the Fall of Suharto,” Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol.
16, No. 1 (April 2001): 125-146. 35 Ibid., 142. 36 Justus M. Van Der Kroef, “The Sino-Indonesian Rupture,” The
China Quaterly, No. 33 (Jan.—Mar., 1968): 17-46. 37 Ibid., 30. 38 Ibid., 32.
36 | BAB II KERANGKA TEORETIS
dan masyarakat. Setelah kekacauan awal peralihan rezim berlalu,
orang-orang Tionghoa, mengikuti analisis Wibowo, tampaknya
lebih memilih diam menanggung derita dalam kesunyian.
Meski diam dalam kesunyian tidak berarti bahwa orang-
orang Tionghoa lantas tidak berbuat apa-apa melawan arus kuat
asimilasi yang dipaksakan kepadanya. Studi Aimee Dawis coba
memasuki ruang-ruang hidup di belakang pengawasan pemerintah
Orde Baru untuk mencari tahu apa yang dilakukan dengan
identitasnya. Ia menemukan bahwa tekanan untuk menjadi sama
dengan orang Indonesia lainnya ternyata tidak diterima begitu saja
oleh orang-orang Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa malah
berusaha mengkonstruksi identitas sosial tersendiri, yang tetap
diwarnai oleh budaya Tionghoanya. Merujuk kepada konsep
Stuart Hall tentang pengalaman diaspora dan hibriditas, Dawis
mendapati bahwa film-film silat Mandarin telah dipergunakan
sebagai medium untuk mengenali dan memahami kebudayaan
Tionghoa serta kehidupan di negeri asal yang tidak bisa ditemukan
lagi di ruang-ruang publik.39 Nilai-nilai budaya Tionghoa yang
dilihat dari film-film itu bersama dengan nilai-nilai budaya
setempat, oleh suatu proses yang dinamis dikonstruksi sedemikian
rupa menjadi suatu identitas pribadi yang bersifat hibrida.
Kebijakan asimilasi adalah kebijakan yang lahir dari
keinginan kelompok dominan untuk menegakkan hegemoninya
atas mereka yang dipersepsi sebagai para pendatang.40 Ia
merupakan bagian dari operasi kekuasaan penguasa Orde Baru
atas orang-orang Tionghoa yang dipersepsi sebagai pendatang,
bukan asli Indonesia, asing dan sebuah masalah yang harus dicari
jalan keluarnya. Studi-studi yang ada sudah lama tiba pada
kesimpulan itu. Meski demikian, respons terhadap kebijakan itu
masih belum banyak digali. Orang-orang Tionghoa masih
39 Aimee Dawis, Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2010). 40 James Forrest & Kevin Dunn, “Core’ culture hegemony and
multiculturalism: Perceptions of the privileged position of Australians with
British backgrounds,” Ethnicities Vol 6 (2), 2003: 203-204.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 37 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
tergambarkan secara monokrom sebagai kelompok orang yang
tunduk dan patuh mengikutinya. Kalau pun akhirnya mereka tidak
berasimilasi maka hal itu terjadi karena ketidakkonsistenan
pemerintah dalam menjalankannya serta kontradiksi yang melekat
di dalamnya.41 Yang lain memahami kegagalan asimilasi terjadi
karena dibangun di atas pandangan yang keliru tentang identitas,
yakni memahami identitas secara esensialis atau primordialis.42
Pandangan ini mereduksi orang ke dalam sebuah ‘esensi’ yang
homogen dan tidak berubah, yang menandainya dalam interaksi
sosial dengan orang lain. Esensi itu dapat berupa rasnya, fisiknya,
budayanya, bahasanya dan lain sebagainya. Sementara dalam
praktiknya identitas seseorang adalah bersifat majemuk dan terus-
menerus mengalami proses rekonstruksi. Di dalam proses ini
selalu terbuka kemungkinan bagi terbentuknya identitas yang tidak
sama persis dengan yang diinginkan penguasa.
Telah ada upaya untuk menunjukkan bahwa respons
orang Tionghoa tidak melulu patuh dan setia tetapi juga melawan.
Hanya saja fokus analisis Wibowo masih sebatas pada masa
sesudah runtuhnya Orde Baru. Studi Aimee Dawis membuka
cakrawala baru karena mengangkat strategi-strategi yang ditempuh
oleh orang Tionghoa di masa Orde Baru untuk dapat terus
berhubungan dengan akar-akar budaya Tionghoa. Studi ini lantas
menjadi penting artinya karena fokusnya kini beralih kepada
aktivitas hidup sehari-hari orang-orang Tionghoa. Berbeda dari
sebagian besar studi sebelumnya yang fokus kepada interaksi
secara umum dengan penguasa, Dawis memperlihatkan bahwa
dalam aktivitas hidup sehari-hari itu ada modus-modus interaksi
41 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 218. 42 Untuk uraian lebih lanjut tentang identitas primordial atau
esensialis lihat Harold R. Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas
Kelompok dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). Ia
memakai istilah “Rumah Muumbi” sebagai metafora untuk identitas
primordial itu. Yang lain lihat Stephen Cornell & Douglas Hartman, Ethnicity
and Race: Making Identities in A Changing World (Thousand Oaks, CA.: Pine
Forge Press, 1998). Ia memberikan uraian panjang lebar tentang pendekatan primordial, sirkumstansional atau situasional dan konstruksional.
38 | BAB II KERANGKA TEORETIS
yang berbeda dari yang selama ini tersingkap. Kalau yang umum
tampak adalah orang Tionghoa tunduk dan kalah kepada
kemauan penguasa; dalam lokasi hidup sehari-hari, di arena yang
tidak teramati oleh penguasa, orang-orang Tionghoa terus
menjalin hubungan dengan kebudayaannya yang terlarang serta
terus diberi makan secara kultural olehnya. Kalau demikian
mungkinkah hal seperti itu juga terjadi, meski dengan cara yang
berbeda, dalam ruang-ruang lain yang jauh dari pengamatan
penguasa? Di sinilah aktivitas orang Tionghoa di dalam lembaga-
lembaga keagamaannya menjadi menarik untuk dicermati.
Selanjutnya, kalau peran agama selama ini digambarkan
secara positif sebagai yang memfasilitasi asimilasi, studi-studi
sosiologi agama sebenarnya memperlihatkan bahwa fungsi agama
tidak melulu begitu. Agama memang dapat berfungsi sebagai alat
apologi dan legitimasi status quo dengan budaya ketidakadilannya
namun di pihak lain agama juga bisa berfungsi sebagai alat protes,
perubahan dan pembebasan.43 Penelitian tentang fungsi agama,
khususnya agama Kristen, pada orang Tionghoa dalam kaitannya
dengan kebijakan asimilasi selama ini terlalu menitikberatkan
fungsi pertama agama. Namun kalau agama punya fungsi lain,
yaitu sebagai alat untuk melawan hegemoni maka tentu saja
mungkin untuk mengharapkan respons lain dari orang-orang
Tionghoa terhadap kebijakan asimilasi. Namun untuk sampai ke
sana dibutuhkan terlebih dulu sebuah kerangka teori yang dapat
memfasilitasi penemuan tersebut. Di bawah ini adalah suatu
upaya untuk mengkonstruksi kerangka teori semacam itu.
43 Dorothee Solle, dikutip oleh Dwight B. Billings, “Religion as
Opposition: A Gramscian Analysis,” The American Journal of Sociology, Vol.
96, No. 1 (Jul., 1990): 2. Kutipannya adalah “religion must be understood in its ‘double function’ that is, ‘as apology and legitimation of the status quo and
its culture of injustice on the one hand, and as a means of protest, change and liberation on the other hand.’”
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 39 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
B. Definisi-definisi Konseptual
Setidaknya ada tiga konsep penting yang menyusun
kerangka teori yang akan dipergunakan di sini. Ketiganya adalah
kebijakan asimilasi, identitas nasional Indonesia dan perlawanan.
Agar tidak timbul kekaburan maka suatu definisi operasional akan
diberikan kepada komponen-komponen konseptual tersebut.
1. Kebijakan Asimilasi
Secara etimologis, asimilasi berasal dari kata Latin
adsimilare yang berarti membuat serupa atau sama.44 Dalam
pengertian umum, asimilasi menunjuk kepada proses yang dijalani
oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk
mengadopsi bahasa, norma-norma kultural dan nilai-nilai dari
kelompok lain.45 Individu-individu atau kelompok-kelompok itu
umumnya dianggap sebagai orang luar (outsider) atau orang asing
(foreigners) oleh masyarakat yang menerima mereka (host society).
Di antara mereka adalah kaum migran, yakni para pendatang dan
perantau dari berbagai negara dan budaya yang menetap di suatu
negara.46
Meski di kemudian hari ditemukan bahwa asimilasi
merupakan sebuah proses dua arah47 namun gagasan yang selama
bertahun-tahun melekat dalam konsep ini adalah sebuah proses
satu arah saja. Dalam proses satu arah itu, para pendatang atau
kelompok minoritas secara perlahan-lahan menyesuaikan dirinya
44 Laura Zanfrini, “Assimilation” Dictionary of Race, Ethnicity &
Culture, eds. Guido Bolaffi, et all (London: SAGE Publications, 2003), 19. 45 David G. Embrick, “Assimilation” International Encyclopedia of the
Social Sciences 2nd Edition, ed. William A. Darity, Jr. (Farminton Hills, MI.:
Macmillan Reference USA, 2008), 188. 46 Larry Ray, “Assimilation,” The Cambridge Dictionary of Sociology,
ed. Bryan S. Turner (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 2006 ),
24; Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Roger Scruton,
The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought (New York: Palgrave
Macmillan, 2007), 42. 47 Lihat Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24;
40 | BAB II KERANGKA TEORETIS
dengan suasana hidup di lingkungan yang baru dengan menyerap
nilai-nilai dari budaya dominan.48
Sasaran akhir yang hendak dicapai dari proses ini adalah
hilangnya batas-batas yang membedakan suatu etnis atau ras
berikut perbedaan-perbedaan sosial dan kultural serta identitas-
identitas yang diasosiasikan dengan etnis atau ras tersebut.49 Ciri-
ciri kultural yang membedakan lenyap bersamaan dengan
terserapnya ke dalam budaya mayoritas atau budaya dominan.50
Pada level kelompok hasilnya bisa berupa terserapnya satu atau
lebih kelompok minoritas ke dalam kelompok mayoritas, atau
penggabungan kelompok-kelompok minoritas; sementara pada
level individual hasilnya adalah terakulturasi, terintegrasi dan
teridentifikasi dengan anggota-anggota kelompok lain.51
Hakikat asimilasi pada dasarnya adalah penciptaan sebuah
masyarakat dengan identitas kultural yang seragam (uniform).52
Pendatang atau orang asing atau kelompok etnis minoritas dengan
karakteristik sosial dan kultural yang berbeda dianggap berbahaya
bagi stabilitas sosial dan politis.53 Asimilasi lantas menjadi strategi
politik yang dipilih oleh penguasa untuk menjaga masyarakat tetap
sehomogen mungkin.54 Implementasinya diwujudkan dalam
bentuk kebijakan yang dipaksakan oleh negara, yang bertujuan
membasmi semua budaya-budaya minoritas.55
48 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19; Embrick
dalam Darity, Jr., ed., International Encyclopedia of the Social Sciences, 188. 49 R.G. Rumbaut, “Assimilation,” International Encyclopedia the Social
and Behavioral Sciences Vol. I, eds. Neil J. Smelser & Paul. B. Baltes (Oxford,
UK.: Elsevier, 2001), 845. 50 Lihat Alexander J. Motyl, ed., Encyclopedia of Nationalism Vol. 2:
Leaders,Movements, and Concepts (San Dieago, CA.: Academic Press, 2001), 29;
Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19. 51 Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral
Sciences Vol. I, 845. 52 Ray dalam The Cambridge Dictionary of Sociology, 24 53 Scruton, The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 42. 54 Zanfrini dalam Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, 19. 55 Rumbaut dalam International Encyclopedia the Social and Behavioral
Sciences Vol. I, 845.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 41 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Pengertian tentang kebijakan asimilasi yang dipergunakan
di sini adalah segala peraturan yang dikenakan oleh pemerintah
Orde Baru kepada orang Tionghoa dengan maksud untuk
mengintegrasikannya ke dalam masyarakat dan kebudayaan
Indonesia. Pada hakikatnya ia berisi tiga hal. Pertama,
penghapusan identitas sosial-kultural etnis Tionghoa, yang
mencakup bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan, dan
kebangsaannya. Kedua, memaksa orang Tionghoa keluar dari
kelompoknya, bertemu dengan orang lain dan membuka
kelompoknya untuk dimasuki oleh orang lain. Ketiga, memaksa
mereka untuk merangkul suatu identitas baru, identitas nasional
Indonesia, dengan bahasa, agama, adat istiadat, kebiasaan,
kebangsaan dan kewarganegaraan yang sama dengan masyarakat
di mana mereka berada.
2. Identitas Nasional Indonesia
Gagasan tentang identitas nasional tidak bisa dilepaskan
dari percakapan tentang nasionalisme dan asal-usul bangsa dan
negara modern.56 Sebagian pendapat mengatakan bahwa bangsa
dan negara merupakan produk industrialisasi dan modernisasi.
Sebelum era modern yang dimulai pada abad ke-18, nasionalisme
dan negara seperti yang dikenal saat ini masih belum ada ada.57
Pendapat yang lain mengatakan bahwa negara tidak sepenuhnya
merupakan fenomena modernitas. Nasionalisme dan negara-
bangsa adalah realitas-realitas modern yang memiliki akar-akar
dari masa lalu.
56 Lihat Craig Calhoun, “Nationalism and Ethnicity,” Annual Review
of Sociology, Volume 19 (1991): 211-239; Anthony D. Smith, The Cultural
Foundations of Nations: Hierarchy, Covenant, and Republic (London: Blackwell
Publishing, 2008); Anthony D. Smith, Myths and Memories of the Nation
(Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999); Ernest Gellner, Nations and
Nationalism (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1983). 57 Menurut Smith, teori dominan melihat bangsa dalam artian
modern muncul bersamaan dengan timbulnya Revolusi Amerika dan
Revolusi Perancis. Lihat Smith, The Cultural Foundations of Nations, xii.
42 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Pada pendapat pertama bangsa lahir sebagai produk dari
arus industrialiasi yang mengubah secara besar-besaran struktur
masyarakat agraris dan membuat banyak orang tercerabut dari
akar-akar hidupnya. Untuk menyatukan masyarakat yang tercerai
berai ini maka sejumlah elit kemudian meluncurkan nasionalisme
sebagai ideologi yang mempersatukan semua orang itu ke dalam
suatu batas-batas politis dan budaya yang sama.58 Pikiran ini
berbeda dari konsep kedua yang memahami kejadian bangsa dari
dalam etnisitas pra-modern. Sebelum suatu bangsa ada, sudah
lebih dulu ada apa yang diistilahkan Smith sebagai ethnie, atau
komunitas etnis. Di kemudian hari, oleh proses-proses sosio-
historis, komunitas ini berubah menjadi ethnie cores, yaitu sebuah
komunitas yang kohesif dan sadar akan keperbedaannya dari yang
lain. Mereka inilah yang nantinya menjadi “kernel and basis of
states and kingdoms.”59
Dalam kaitan ini setidaknya timbul dua bentuk negara.
Yang pertama adalah nation-state dan yang kedua adalah national
state.60 Bentuk yang pertama umum dikenal dengan istilah “negara
bangsa.” Dalam negara ini rakyat memiliki kesamaan bahasa,
agama dan identitas simbolik yang kuat. Yang kedua adalah
58 Pada pokoknya ini adalah argumen Gellner. Lihat Gellner,
Nations and Nationalism, 39-52. Juga lihat Thomas Hylland Eriksen,
Antropologi Sosial dan Budaya: Sebuah Pengantar (Maumere: Penerbit Ledalero,
2009), 468. Berbeda dari Gellner, Ben Anderson mengajukan teori lain tentang munculnya bangsa. Kalau Gellner menaruh sebab timbulnya bangsa
pada industrialisasi, Anderson menaruhnya pada faktor-faktor
berkembangnya pemakaian bahasa setempat (vernacular), teknologi
percetakan, media komunikasi dan perkembangan peta. Untuk ringkasan argumen Anderson lihat Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume
19 (1991): 233-235. Lengkapnya Benedict Anderson, Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, revised edition (New York:
Verso, 1991). 59 Anthony D. Smith, National Identity (London: Penguin Books,
1991), 38-39. 60 Smith memakai istilah yang berbeda untuk kedua macam negara
ini. Untuk national state ia memakai istilah civic state model, yang merupakan
gejala khas Barat (Western) sementara untuk nation-state Smith memakai
istilah ethnic state model, yang ia katakan merupakan khas Eropa Timur, Asia
dan sebagian besar Afrika. Lihat Ibid., 8-15.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 43 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
negara yang berusaha memperluas kekuasaan langsung sampai
kepada seluruh populasi rakyatnya dan di saat yang sama berusaha
mengembangkan kapasitas mereka untuk mengorganisir
rakyatnya.61 Baik negara yang pertama maupun negara yang
kedua, persoalan yang dihadapi tetap sama, yaitu bagaimana
mencapai dan mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa
dan negara. Di titik ini kaum nasionalis kemudian mengintroduksi
isu identitas nasional. Dengan merangkul sebuah identitas kolektif
yang diklaim lebih utama dan kepentingannya mengalahkan
kepentingan identitas-identitas lain, seperti identitas personal atau
kelompok, maka individu-individu yang bermacam-macam dalam
batas-batas teritori negara akan merasa menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari orang lain yang berada dalam batas-batas negara.
Dengan jalan ini tiap-tiap orang dihubungkan secara langsung
dengan bangsa secara keseluruhan.62 Meminjam ucapan Barker,
identitas nasional adalah “a way of unifying cultural diversity.”63
Identitas nasional jadinya menunjuk kepada dua hal. Yang
pertama kepada gambar diri kolektif anggota-anggota suatu
bangsa, dan yang kedua sistem budaya tersendiri yang dianut oleh
mayoritas populasi bangsa.64 Gambar diri itu dibentuk dengan cara
mengidentifikasi diri kepada simbol-simbol bangsa.65 Tentu saja
tiap-tiap bangsa memiliki identitas nasional yang berbeda-beda.
Namun demikian masing-masing memiliki komponen-komponen
61 Calhoun dalam Annual Review of Sociology, Volume 19 (1991): 217. 62 Ibid., 229. 63 Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies (London:
SAGE Publications, 2004), 132. Terjemahan: “suatu cara untuk menyatukan
keanekaragaman budaya.” 64 Liora Lukitz, Iraq: The Search for National Identity (London: Frank
Cass & Co. Ltd., 1995), 2. 65 Dari perspektif psikologi sosial, William Bloom mendefinisikan
identitas nasional sebagai “condition in which a mass of people have made
the same identification with national symbols—have internalised the symbols of the nation—so that they may act as one psychological group when there is
a threat to, or the possibility of enhancement of, these symbols of national
identity.” Lihat William Bloom, Personal Identity, National Identity and
International Relations (Cambridge, UK.: Cambridge University Press, 1993),
52. Bnd. Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 131.
44 | BAB II KERANGKA TEORETIS
umum yang sama. Smith menyebut lima komponen umum
identitas nasional yang ada bisa ditemukan pada semua konsep
identitas nasional mana saja. Kelimanya adalah: [a] sebuah teritori
atau tanah air historis, [b] mitos-mitos dan memori-memori
sejarah yang sama, [c] sebuah kebudayaan publik yang sama, [d]
hak-hak dan kewajiban yang sama untuk semua anggota bangsa,
dan [e] suatu ekonomi yang sama dengan mobilitas teritorial yang
sama untuk semua anggota bangsa.66 Scruton menambahkan
komponen-komponan lain yakni [a] sifat alamiah bangsa, [b]
kepentingan-kepentingan bersama, dan [c] tujuan hidup yang
sama.67
Komponen-komponen tersebut umumnya dapat
ditemukan dalam berbagai konstruksi identitas nasional.68 Dalam
penelitian ini identitas nasional akan dipahami sebagai suatu
bentuk identifikasi dengan bangsa seperti terungkap lewat simbol-
simbolnya. Identitas ini bersifat multidimensional, artinya simbol-
simbol bangsa kepada mana individu-individu mengidentifikasikan
dirinya tidak melulu terdiri atas satu komponen saja. Identitas
nasional merupakan konstruksi kompleks, yang terdiri atas
komponen-komponen etnis, kultural, teritorial, ekonomi, legal dan
politis. Individu-individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan
identitas itu lantas terikat dalam suatu “bonds of solidarity among
members of communities united by shared memories, myths and
traditions.”69
Dengan pengertian semacam itu maka identitas nasional
Indonesia adalah suatu bentuk identifikasi dengan bangsa
Indonesia melalui simbol-simbolnya. Di antara hal-hal yang
dipahami sebagai simbol-simbol bangsa Indonesia adalah bahasa
Indonesia, tanah air Indonesia yang membentang dari Sabang
sampai Merauke, bendera nasional Sang Merah Putih, lagu
kebangsaan Indonesia Raya, burung garuda, semboyan Bhinneka
66 Smith, National Identity, 14. 67 Scruton, Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, 316. 68 Misalnya lihat Eriksen, Antropologi Sosial dan Budaya, 492-493. 69 Smith, National Identity, 15.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 45 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Tunggal Ika, Undang-undang Dasar 1945 dan dasar negara
Pancasila.70 Dari semuanya itu, komponen simbolik yang menjadi
tekanan penting pemerintahan Orde Baru adalah Pancasila.71 Ia
menjadi simbol utama kebudayaan dan kebangsaan Indonesia.
Melekatkan diri kepada Pancasila dapat dikatakan sama artinya
dengan melekatkan diri kepada Indonesia.
Identitas nasional Indonesia yang disimbolkan di dalam
Pancasila diungkapkan oleh Presiden Soeharto dalam berbagai
metafor. Dalam salah satu bagian pidatonya pada upacara
peresmian keanggotaan MPR pada tahun 1972, Presiden Soeharto
mengatakan bahwa “Pancasila adalah jiwa dari Bangsa Indonesia.”72
Ia tidak saja jiwa namun juga kepribadian dan pandangan hidup
bangsa Indonesia, yang memberi bimbingan dan tuntunan dalam
segala kegiatan bangsa, negara, masyarakat dan manusia
Indonesia serta tujuan hidup bangsa Indonesia.73 Ia tidak muncul
mendadak namun “merupakan nilai-nilai luhur yang lahir dan
tumbuh dari sejarah dan kebudayaan kita yang telah berabad-abad
lamanya. Suatu kebudayaan yang menempatkan keselarasan
sebagai kunci kebahagiaan manusia.”74 Dengan merangkul
Pancasila sebagai identitas nasional maka yang akan tercipta
bukan lagi suatu masyarakat yang terpecah belah oleh “faham
golongan dan perseorangan” tetapi sebuah “masyarakat
70 Dikdik Baehaqi Arif, Diktat Pendidikan Kewarganegaraan
(Yogyakarta: FKIP Universitas Ahmad Dahlan, 2011), 3-4; Jakob Oetama,
“Pancasila, Identitas dan Modernitas” Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik
Identitas dan Modernitas, ed. Irfan Nasution & Ronny Agustinus (Bogor:
Brigthen Press, 2006), 120-125; Azyumardi Azra, “Pancasila dan Identitas
Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme” dalam Ibid., 143-161. 71 R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), 373-374. Lihat pula Yau Hoon
dalam Asian Ethnity, Volume 7, Number 2, June 2006:150-151. 72 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila
(Jakarta: CSIS, 1976), 11-12. 73 Ibid., 10, 14, 15. 74 Ibid., 20.
46 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Pancasila” yaitu “masyarakat Indonesia yang bercorak
kepribadian Indonesia sendiri.”75
Selain Pancasila, komponen lain dari identitas nasional
Indonesia yang ditekankan oleh pemerintahan Orde Baru adalah
bahasa Indonesia.76 Bahasa ditekankan karena kesadaran bahwa
masyarakat Indonesia adalah “masyarakat majemuk; masyarakat
ganda” yang terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa dan
kebudayaan, adat-istiadat dan agama yang berbeda. Perbedaan itu
disadari sepenuhnya berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.
Bahasa Indonesia menjadi tekanan karena dengan bahasa yang
satu itu bangsa Indonesia yang beraneka ragam ini dapat diikat
menjadi satu kesatuan.77
Komponen terakhir yang cukup ditekankan adalah
komponen kesatuan teritorial, kultural dan legal-politis. Indonesia
adalah suatu teritori “dari Sabang sampai Merauke” yang “bulat
dan utuh.”78 Di dalam teritori itu hidup suatu masyarakat yang
majemuk, dengan suku, golongan, kepentingan, keyakinan dan
agama yang berbeda-beda. Namun semua itu harus ditundukkan
di bawah nasionalisme Pancasila, yang mengharuskan
dihapuskannya “penonjolan kesukuan, keturunan ataupun
perbedaan warna kulit.”79 Dalam kaitan ini maka suatu gagasan
tentang kewarganegaraan ganda sama sekali tidak bisa diterima.80
Dan senada dengan itu “tata pergaulan yang eksklusif di dalam
75 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, 20,
23. 76 Elson, The Idea of Indonesia, 380. 77 Krissantono, ed., 52-53. Soedjatmoko melihat fungsi bahasa
Indonesia sebagai “wahana integrasi politik dan alat perjuangan kolonial”
pada tataran elit bangsa telah berhasil dijalankan oleh bahasa Indonesia sejak 1928-1978. Sementara dalam periode berikutnya, penggunaan bahasa
Indonesia perlu digalakkan dan ditekankan di berbagai level demi mendorong proses transformasi bangsa sebagai satu kesatuan yang utuh. Lihat Andre
Hero Triman, ed., Menjadi Bangsa Terdidik Menurut Soedjatmoko (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), 119-159. 78 Krissantono, ed., 53. 79 Ibid., 48. 80 Elson, The Idea of Indonesia, 380.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 47 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
lingkungan satu Bangsa”81 atau hidup dengan “perasaan kesukuan
yang sempit”82 tidak bisa diterima pula. Yang kini harus
dihidupkan adalah semangat kebangsaan dan persatuan serta rasa
cinta yang lebih besar kepada Tanah Air Indonesia. Di sini
Pancasila memegang peranan krusial, yakni “sebagai faktor
integrasi.”83 Berkomitmen kepada Pancasila akan menimbulkan
komitmen kepada bangsa dan negara Indonesia.
3. Perlawanan
Istilah ‘perlawanan’ yang dipergunakan di sini merupakan
terjemahan dari kata kerja resist dan kata benda resistance. Dalam
Dictionary of Politics and Government, kata resistance diberi dua
makna.84 Makna pertama adalah suatu aksi yang memperlihatkan
bahwa orang menolak sesuatu; sementara makna kedua menunjuk
kepada sebuah kelompok yang secara diam-diam berjuang
melawan musuh yang menduduki negerinya. Makna ini tidak jauh
berbeda dari kata kerja resist, yang diartikan sebagai berjuang
melawan sesuatu atau tidak mau tunduk kepada sesuatu.85 Dalam
kamus lain kata resist antara lain bermakna bangkit memberikan
perlawanan kepada seseorang atau sesuatu, menahan tekanan
sesuatu dan menolak untuk patuh.86 Melawan, jadinya berisi sikap
dan tindakan. Ia adalah sikap yang tidak mau tunduk dan patuh,
yang terungkap dalam tindakan memberikan perlawanan terhadap
seseorang atau sesuatu, serta dalam tindakan menolak kekuatan
tertentu secara diam-diam. Perlawanan, jadinya, menunjuk kepada
sikap tidak mau menyerah kepada suatu tekanan dan kepada
81 Krissantono, ed., 56. 82 Ibid., 50. 83 Ibid., 51. 84 P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government, 3rd ed. (London:
Bloomsbury Publishing Plc, 2004), 212-213. 85 Collin, Dictionary of Politics and Government, 212. Kalimatnya
adalah “to fight against something or not give in to something.” 86 “resist” dalam WordWeb 6.8. Copyright©Antony Lewis 2012.
Kalimatnya adalah“stand up or offer resistance to somebody or something”,
“withstand the force of something” dan “refuse to comply.”
48 | BAB II KERANGKA TEORETIS
tindakan untuk melawan sesuatu atau seseorang, baik yang
dilakukan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.
Dalam percakapan ilmu-ilmu sosial, konsep perlawanan
secara literal dipahami sebagai bangkit menentang (stand against).87
Konsep ini awalnya dipergunakan untuk aksi-aksi perlawanan
terhadap perubahan-perubahan sosial budaya yang sedang terjadi
di dalam masyarakat. Konsep yang terdengar konservatif ini berisi
upaya untuk mempertahankan dan melestarikan struktur sosial
budaya yang selama ini dikenal masyarakat.88 Pada abad ke-20
konsep ini mulai mengalami perubahan arti seiring dengan
timbulnya perjuangan anti-kolonialisme di berbagai negara di Asia
dan Afrika. Walau maknanya tetap sama namun kini dipakai oleh
gerakan anti-kolonialisme. Kini artinya menjadi penolakan atas
segala bentuk kebudayaan asing yang merasuki masyarakat dan
berbalik melestarikan serta merayakan tradisi-tradisi budaya
pribumi.89 Perlawanan, dalam arti ini, adalah usaha bela diri
melawan kekuatan budaya yang dialami sebagai eksternal dan
lain.90
Berangkat dari kenyataan bahwa kekuasaan beroperasi
begitu luas dalam hidup manusia sampai ke level hidup sehari-
hari, studi-studi budaya (cultural studies) kemudian memberi
pengertian lain pada perlawanan. Kini perlawanan dipahami
sebagai ambivalensi dan negosiasi, di mana dominasi dilawan
dengan praktik-praktik yang bermakna ganda. Jika yang dilawan
adalah suatu budaya dominan maka perlawanan itu tidak lagi
dalam bentuk berhenti mengkonsumsinya melainkan justru
mengkonsumsinya namun dengan memberinya bentuk hibrida
yang aneh (grotesque).91 Di satu sisi praktik itu terlihat aneh, seperti
tampak penampilan anak-anak muda yang berbudaya Punk.
87 Stephen Duncombe, “Resistance,” International Encyclopedia of
Social Science Vol. 7, ed. William A. Darity, Jr. (New York: Macmillan
Reference USA, 2008), 207. 88 Ibid., 208. 89 Ibid. 90 Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 178. 91Ibid.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 49 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Namun di sisi lain keanehan itu sekaligus adalah perlawanan
terhadap budaya dominan yang dipasarkan lewat media dan lain
sebagainya.
Dalam studinya atas ratusan buku dan artikel yang ditulis
tentang perlawanan, duet Hollander dan Einwohner mendapati
bahwa konsep itu tidak dipakai dalam arti yang sama. Ada banyak
makna yang dilekatkan kepadanya.92 Meski demikian di dalamnya
masih dapat ditemukan kesamaan, khususnya yang berkaitan
dengan elemen-elemen inti perlawanan. Elemen-elemen tersebut
adalah aksi dan oposisi.93 Sebagai aksi, perlawanan bukanlah suatu
kualitas dari seorang aktor atau suatu keadaan melainkan suatu
perilaku aktif, entah verbal, kognitif atau fisik di tempat, waktu
dan relasi sosial tertentu.94
Sebagai oposisi, perlawanan adalah membalas (counter),
mengkontradiksikan (contradict), perubahan sosial (social change),
menolak (reject), menantang (challenge), oposisi (opposition),
subversif (subversive), dan merusak atau mengacaukan
(damage/disrupt). Mengutip beberapa penulis yang tulisan-
tulisannya diteliti, perlawanan sebagai oposisi didefinisikan,
misalnya, sebagai mempertanyakan struktur peran-peran sosial
tertentu, atau penolakan secara sengaja terhadap nilai-nilai yang
mengokohkan relasi-relasi kekuasaan yang ada, atau sekedar
secara aktif berkata tidak kepada sesuatu yang salah, atau
berperilaku yang berlawanan dari perilaku-perilaku dominan.95
Dalam penelitian ini definisi perlawanan yang
dipergunakan adalah definisi yang dimodifikasi dari definisi yang
diberikan oleh James C. Scott dan Susan Seymour. Menurut Scott
perlawanan adalah tindakan atau tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh seorang anggota atau anggota-anggota kelompok
92 Jocelyn A. Hollander & Rachel L. Einwohner, “Conceptualizing
Resistance,” Sociological Forum, Vol. 19, No. 4, December 2004: 533-534. 93 Ibid., 538. 94 Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, 178. 95 Hollander & Einwohner, 538.
50 | BAB II KERANGKA TEORETIS
yang didominasi yang bertujuan untuk memitigasi atau
menyangkali klaim-klaim yang dibuat oleh kelompok dominan,
atau untuk memperjuangkan klaim mereka sendiri.96 Meski secara
tidak langsung sudah memperlihatkan hal itu dari istilah kelompok
yang didominasi dan kelompok dominan namun definisi Seymour
makin mempertegasnya dengan menaruh perlawanan dalam
sebuah konteks relasi kekuasaan yang berbeda. Ia mendefinisikan
perlawanan sebagai perbuatan-perbuatan menantang dan
menentang yang disengaja dan disadari, yang dilakukan oleh
seorang individu atau kelompok individu-individu terhadap
seorang individu atau individu-individu superior dalam konteks
relasi kekuasaan yang berbeda.97 Dari sini perlawanan dipahami
sebagai tindakan menolak tunduk sepenuhnya kepada dominasi
negara atas suatu kelompok, yang diwujudkan dalam penolakan
untuk patuh kepada kebijakan-kebijakan yang bermaksud
menghapuskan identitas kelompok tersebut.
C. Asimilasi dan Teori-teori tentang Perlawanan terhadap
Asimilasi
Dalam bagian ini akan disajikan secara ringkas sejumlah
teori tentang respons-respons yang diambil oleh kelompok
minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi. Pertama-tama
akan dikaji dari sudut pandang teori-teori asimilasi itu sendiri
kemudian akan diulas di mana manfaat-manfaatnya sekaligus
keterbatasan-keterbatasannya. Dari situ uraian akan bergerak
kepada teori perlawanan terhadap dominasi yang akan dipakai
dalam penelitian ini.
1. Teori-teori Klasik tentang Asimilasi dan Perlawanan
terhadap Asimilasi
96 James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant
Resistance (New Haven: Yale University Press, 1985), 290. 97 Susan Seymour, “Resistance,” Anthropological Theory, Vol. 6 (3):
305.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 51 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Teori-teori tentang asimilasi berakar di dalam persoalan
imigrasi di Amerika Serikat.98 Orang-orang yang paling awal
berkutat dengan persoalan ini adalah sejumlah peneliti sosial di
Chicago University pada awal abad ke-20. Di antara yang terkenal
adalah Robert Ezra Park, W.I. Thomas, Louis Wirth dan lain-lain.
Definisi paling awal yang mereka berikan tentang asimilasi adalah
sebuah proses interpenetrasi dan fusi, dalam mana orang-orang
dan kelompok-kelompok mengambil memori-memori, sentimen-
sentimen dan sikap-sikap orang-orang dan kelompok-kelompok
lain, dan dengan cara itu membuat dirinya terinkorporasikan ke
dalam sebuah budaya bersama.99 Dalam definisi ini, Park dan
kawan-kawan sama sekali tidak mensyaratkan penghapusan
budaya asal. Namun demikian, kontribusi paling besar yang
disumbangkan Park dan rekan-rekannya dari The Chicago School
adalah suatu pemahaman tentang asimilasi sebagai titik kulminasi
dari pola relasi antar etnis, yang dimulai dari kontak, lalu
kompetisi, akomodasi dan berakhir di asimilasi. Kontribusi lain
ialah sifat progresif dan tidak bisa dibalik dari pola relasi itu.100
Bersama dengan dan sesudah Park teori tentang asimilasi
terus diperkembangkan meski masih dalam genre yang sama.
Asimilasi masih merupakan sasaran akhir yang dituju oleh semua
imigran. Perbedaannya hanya pada soal kecepatan waktu
berasimilasi. Sejak itu belum ada sama sekali konsep yang akan
membantu peneliti sosial untuk dapat lebih dalam mengeksplorasi
konsep asimilasi. Kebuntuan ini baru dipecahkan oleh Milton M.
Gordon pada tahun 1964 lewat bukunya yang berjudul Assimilation
in American Life.101 Dalam buku ini Gordon mengkaji tiga model
teori asimilasi yang selama ini dikenal dan sesudah itu
98 Richard Alba & Victor Nee, Remaking the American Mainstream:
Assimilation and Contemporary Immigration (Cambridge, MA.: Harvard
University Press, 2003), 18. Bnd. Robert E. Park & Ernest W. Burgess,
Introduction to the Science of Sciology (Chicago, IL.: The University of Chicago
Press, 1921), 734. 99 Alba & Nee, 19. 100 Ibid., 20. 101 Ibid., 23.
52 | BAB II KERANGKA TEORETIS
mengajukan teorinya tentang tujuh tahap asimilasi. Tiga model
teori tentang asimilasi itu ia namakan tiga ideologi, untuk
menjelaskan pengaruhnya pada kebijakan-kebijakan pemerintah
untuk para imigran yang masuk ke Amerika.
Model pertama, Anglo-conformity, menuntut kelompok
minoritas untuk secara total membuang semua kebudayaan
leluhurnya dan merangkul perilaku dan nilai-nilai kelompok inti
Anglo-Saxon. Model kedua, the melting pot, mengandaikan
percampuran orang-orang Anglo-Saxon dengan orang-orang dari
kelompok minoritas dan bersamaan dengan itu percampuran
budaya masing-masing menjadi sebuah budaya baru yang khas
Amerika. Model ketiga, cultural pluralism, mengharuskan
pelestarian kehidupan komunal dan bagian-bagian signifikan dari
kebudayaan kelompok-kelompok minoritas dalam konteks
kewarganegaraan Amerika dan integrasi politik dan ekonomi ke
dalam masyarakat Amerika.102
Dari tiga model itu, model pertama dan kedua
mengandaikan hadirnya suatu kelompok dominan dan budaya
dominan. Di sini Gordon memakai konsep Joshua Fishman
tentang masyarakat inti (core society) dan budaya inti (core culture)
sebagai kelompok dan budaya dominan dimaksud. Masyarakat
inti Amerika adalah orang kulit putih Protestan kelas menengah
(middle-class white Protestant Americans) sementara budaya intinya
adalah pola-pola budaya kelas menengah yang secara umum
dibentuk oleh orang kulit putih Protestan yang berasal dari Inggris
(the middle-class cultural patterns of, largely, white Protestant, Anglo-
Saxon origins).103 Dalam proses asimilasi, dua model pertama
menuntut kelompok-kelompok minoritas untuk melepaskan
102 Milton M. Gordon, Assimilation in American Life (New York:
Oxford University Press, 1964), 85. 103 Ibid., 72.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 53 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
identitas etnisnya demi mencapai identitas Amerika yang
sempurna.104 Pada model ketiga hal itu tidak dibutuhkan.
Ketiga model ini dipandang oleh Gordon mengabaikan
apa yang ia sebut “a multitude of subprocess” dari realitas
asimilasi yang kompleks.105 Karena itu, ia kemudian mengajukan
teorinya tentang tujuh tahapan asimilasi. Ketujuhnya adalah
asimilasi budaya atau perilaku (akulturasi), asimilasi struktural,
asimilasi pernikahan, asimilasi identifikasi, asimilasi sikap
resepsional, asimilasi perilaku resepsional dan asimilasi sipil.106
Dari ketujuh tahap ini, tahap yang paling kritis adalah tahap
kedua, yaitu asimilasi struktural. Bila kelompok minoritas dapat
sampai ke tahap ini maka tahapan-tahapan berikutnya akan dapat
dilalui dengan baik. Di tahap ini kelompok minoritas diterima
masuk ke dalam lingkaran dalam kelompok dominan dan terlibat
dalam kegiatan-kegiatan di dalam kelompok itu. Untuk sampai ke
sini tentu saja ada harga yang harus dibayar. Harganya adalah
hilangnya kelompok etnis sebagai entitas yang terpisah dan
menguapnya nilai-nilai khas yang mereka hidupi.107
Namun penerimaan itu tidak serta merta menghapuskan
prasangka dan diskriminasi. Dalam teori tahapan asimilasi
Gordon prasangka dan diskriminasi baru berakhir setelah
tercapainya tahap yang ia sebut asimilasi sipil. Hanya saja sebelum
tiba di situ konflik demi konflik akan terus terjadi di antara
kelompok dominan dan minoritas. Namun asimilasi akan terus
bergerak mencapai tahap terakhir yaitu asimilasi sipil. Ia hanya
bisa dibuat lambat namun tidak bisa dilawan dan dihentikan.
104 Fenggang Yang, Chinese Christians in America: Conversion,
Assimilation and Adhesive Identities (University Park, PA.: The Pennsylvania
State University Press, 1999), 18. 105 Milton M. Gordon, “Assimilation in America: Theory and
Reality.” Majority and Minority: Dynamics of Racial and ethnic Relations, eds.
Michael R. Yetman & C. Hoy Steele (Boston: Allyn & Bacon, Inc., 1971),
279. 106 Gordon, Assimilation in American Life, 71. Juga lihat Yang, Chinese
Christians in America, 19. 107 Gordon, Assimilation in American Life, 81.
54 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Pelambatan disebabkan oleh sikap-sikap (attitudes) kelompok
mayoritas dan minoritas serta cara-cara dengan mana sikap-sikap
ini saling berinteraksi.108
Pada kelompok minoritas pelambatan disebabkan oleh
keinginan untuk mempertahankan komunalitas etnis. Kalau itu
sebuah kelompok berbasis keagamaan maka hambatannya ialah
komitmen kepada pelestarian ideologi keagamaan. Asimilasi
struktural ditolak karena akan berujung kepada perkawinan
campur (asimilasi perkawinan), yang pada gilirannya akan
menghapus eksistensi kelompok. Pada generasi pertama yang
terjadi karena imigrasi, keengganan terhadap asimilasi struktural
muncul karena mereka sama sekali tidak menginginkannya dan
karena mereka memerlukan rasa aman-nyaman yang diperoleh
dari institusi-institusi komunalnya (the comfort of his own communal
institutions) di tengah-tengah lingkungan yang asing.109
Pada generasi kedua pelambatan asimilasi memiliki
dinamika yang berbeda. Kalau generasi pertama sama sekali tidak
menginginkannya, pada generasi kedua keinginan itu ada. Namun
penolakan yang dialami ketika hendak masuk ke dalam struktur-
struktur sosial kelompok dominan membuat mereka pada
akhirnya harus kembali kepada kelompoknya, yang dirasa lebih
dapat diandalkan.110 Di dalamnya mereka bertemu dengan orang-
orang yang segenerasi namun yang tidak pernah pergi jauh dari
kelompoknya karena berbagai alasan. Ada yang karena terlalu
takut untuk meninggalkan kelompok, ada yang karena
komitmennya yang kuat kepada ideologi etnis, ada pula yang tidak
pernah sungguh-sungguh percaya kepada ketulusan kelompok
dominan untuk menerima mereka dan ada pula yang hanya tidak
mau meninggalkan cara-cara hidup yang sudah amat dikenalnya.
108 Gordon dalam Majority and Minority, 281. 109 Ibid., 281. 110 Ibid., 282.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 55 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Bersama-sama dengan generasi pertama mereka membangun
suatu enklave etnis dan semakin memperkuatnya.111
Teori Gordon kemudian menjadi fondasi di atas mana
teori-teori asimilasi selanjutnya dikembangkan. Pengembangan
berikutnya coba mengkaitkan asimilasi dengan isu stratifikasi
sosial. Asimilasi dikaitkan dengan kedudukan sosial-ekonomi
seseorang atau kelompok di dalam suatu masyarakat. Orang
beralih dari isu asimilasi struktural kepada isu asimilasi sosio-
ekonomi. Asumsi teori yang dipegang adalah level asimilasi
berbanding lurus dengan level sosial-ekonomi anggota-anggota
kelompok minoritas. Naiknya mereka ke tangga sosial yang lebih
tinggi menandakan semakin diterimanya mereka oleh kelompok
dominan dan sekaligus menunjukkan perlakuan yang sama yang
diberikan oleh kelompok dominan.112
Teori lain yang dikembangkan dari teori Gordon adalah
mengkaitkan asimilasi dengan konsep spasial dan perpindahan
tempat tinggal. Gordon tidak membahas hal ini namun teori ini
masih terhubung dengan konsep Gordon tentang asimilasi
struktural. Di sini tempat tinggal dipahami sebagai bagian dari
struktur sosial kelompok dominan yang tidak bisa dimasuki begitu
saja oleh kelompok minoritas. Mereka baru bisa masuk kalau
sampai pada level tertentu mereka sudah terakulturasi dan setara
secara sosio-ekonomis dengan kelompok dominan yang tinggal di
suatu wilayah. Di pihak lain, semakin dalam anggota-anggota
kelompok minoritas terakulturasi dan mapan secara sosio-
ekonomis maka umumnya mereka akan meninggalkan anggota-
anggota kelompoknya yang kurang berhasil, mencari wilayah
domisili baru yang bisa memberi keuntungan dan kebaikan yang
lebih besar lagi. Dengan cara ini mereka akan terdorong untuk
masuk ke lokasi domisili kelompok dominan, di mana tersedia
111 Gordon dalam Majority and Minority, 282. 112 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 28.
56 | BAB II KERANGKA TEORETIS
fasilitas publik yang lebih baik. Maka perpindahan tempat tinggal
dipandang memediasi terjadinya asimilasi struktural.113
Teori terakhir yang dikembangkan dari Gordon adalah
teori yang dimajukan oleh Tomatsu Shibutani dan Kian Kwan.
Teori ini melengkapi teori Gordon dengan memberi analisis
makroskopik kepada problema asimilasi. Konsep pokok dari teori
asimilasi mereka adalah jarak sosial (social distance), yang mereka
definisikan sebagai perasaan kedekatan subjektif kepada individu-
individu tertentu. Kalau Gordon berpendapat bahwa asimilasi
struktural dimulai terlebih dulu oleh asimilasi kultural, Shibutani
dan Kwan berpendapat bahwa hal itu dimulai dari perubahan
jarak sosial. Kalau jarak sosial yang terbentang di antara kelompok
minoritas dan kelompok dominan cukup sempit maka berasimilasi
akan sangat mudah. Tetapi bila jarak sosialnya cukup besar maka
berasimilasi menjadi sukar karena orang mempersepsi dan
memperlakukan yang lain sebagai bagian dari suatu kategori yang
berbeda.114
Bagaimana caranya supaya jarak sosial ini bisa berubah?
Shibutani dan Kwan berpendapat bahwa hal itu harus didahului
oleh perubahan makro pada tatanan kelembagaan atau pada level
struktural yang diciptakan oleh kelompok dominan untuk
mempertahankan posisi dan privilesenya.115 Perubahan-perubahan
ini akan membawa orang bertemu dengan ide-ide baru yang
menantang nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan kultural yang
selama ini diterima begitu saja. Dari situ orang akan didorong
untuk menemukan lebih banyak kesamaan-kesamaan dan
mengecilkan jarak sosial sehingga memudahkan asimilasi.
Berangkat dari teori-teori asimilasi yang ada Peter I. Rose
coba mengukur integrasi nasional suatu bangsa dari kualitas relasi
113 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 29. 114 Ibid., 32. 115 Ibid. Keduanya mencatat bahwa inovasi teknologi dan perubahan
sistem ekonomi sebagai dua perubahan makro yang berpengaruh besar pada perubahan jarak sosial.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 57 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
kelompok minoritas dengan kelompok dominan di dalamnya.
Tesisnya ialah sebuah bangsa belum terintegrasi secara
memuaskan jika di dalamnya kelompok-kelompok rasial,
keagamaan dan etnis masih terpisah satu dari yang lain.116
Keterpisahan ini dapat disebabkan oleh tindakan kedua belah
pihak. Kelompok dominan menghalangi integrasi dengan
berprasangka (prejudice) dan mendiskriminasi; sementara
kelompok minoritas melawan integrasi dengan membangun jarak
sosial (social distance) yang lebar dari kelompok dan budaya
dominan.
Prasangka didefinisikan oleh Rose sebagai suatu sistem
kepercayaan, perasaan dan orientasi yang negatif terhadap
sekelompok orang; sementara diskriminasi adalah memberikan
perlakuan yang berbeda terhadap individu-individu yang termasuk
dalam kategori-kategori sosial atau kelompok-kelompok sosial
tertentu.117 Prasangka timbul oleh bermacam faktor, mulai dari
kepentingan ekonomi, reaksi kepada frustrasi sampai kepada
pendidikan yang buruk.118 Diskriminasi juga sama. Ia bisa muncul
karena kebencian mendalam kepada individu-individu dari
kelompok atau kategori sosial tertentu atau semata-mata karena
keengganan untuk mengubah keadaan yang secara ekonomis,
psikologis dan sosial sudah baik.119 Bentuknya beraneka ragam,
dari mulai ucapan-ucapan bernada menghina sampai kepada
kekerasan dan genosida.
Kelompok minoritas melawan asimilasi karena sasaran
akhirnya adalah punahnya eksistensi kelompok minoritas dengan
segala keunikannya. Demi melindungi tradisi-tradisi budaya dan
sistem-sistem kepercayaannya dari kehancuran atau kepunahan
maka jarak sosial dengan kelompok dan budaya dominan lantas
sengaja diperlebar. Aktivitas-aktivitas yang bersifat lintas
116 Peter I. Rose, They And We: Racial and Ethnic Relations in the
United States (New York: Random House, 1967), 62. 117 Rose, They And We, 77, 79. 118 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 73-94. 119 Rose, They and We, 101.
58 | BAB II KERANGKA TEORETIS
kelompok dihindari atau sedikit-dikitnya dibatasi. Hal itu akan
membawa pengaruh budaya kelompok dominan merasuk ke
dalam kehidupan kelompok. Tetapi relasi dan aktivitas dengan
sesama anggota-anggota kelompok diperbanyak.120 Karena hal itu
akan melestarikan ciri khas kelompok.
2. Teori-teori Asimilasi Kontemporer dan Perlawanan terhadap
Asimilasi
Sebagaimana dengan teori-teori asimilasi awal, teori-teori
asimilasi belakangan masih tetap berurusan dengan problema
imigran namun ada sejumlah hal yang membedakannya. Faktor
pembeda utama ialah pada konsep tentang masyarakat inti (core
society) dan budaya inti (core culture) yang dijadikan landasan
berteorinya. Asimilasi berarti masuk ke dalam masyarakat dan
budaya inti. Pada teori-teori awal, dua konsep itu, seperti tampak
dalam model Anglo-conformity dan the melting pot, diasumsikan
bersifat tunggal dan homogen. Asimilasi lalu bermakna raibnya
seluruh kekhasan etnis (ethnic distinctive).121 Teori-teori asimilasi
kontemporer masih tetap berurusan dengan imigran namun
dengan konsep yang sudah berubah mengenai masyarakat inti dan
budaya inti serta perhatian yang serius kepada generasi anak-anak
para imigran. Kini pluralisme atau sebagian lain mengatakan
multikulturalisme menjadi ideologi—memakai konsep Gordon—
yang dominan dari masyarakat inti. Para imigran tidak lagi
diperhadapkan dengan sebuah “core” (inti) yang tunggal
melainkan yang jamak. Berasimilasi lantas menjadi sebuah proses
yang bersifat selektif dari begitu banyak pilihan.122
Di pihak lain, tumbuhnya generasi kedua, yaitu anak-anak
dari para imigran menimbulkan kebutuhan akan perlunya sebuah
teori baru tentang asimilasi. Teori-teori awal yang umumnya
dibangun dari pengalaman generasi pertama para imigran dirasa
120 Rose, They And We, 60-62. 121 Fenggang Yang, Chinese Christians in America, 17. 122 Ibid.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 59 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sudah tidak tepat membaca pengalaman asimilasi generasi kedua.
Apalagi dengan berubahnya ideologi tentang “core society” maka
teori-teori asimilasi awal dirasa perlu sekali untuk dikoreksi.123
Studi yang dilakukan Alejandro Portes dan Min Zhou atas
generasi kedua kaum imigran di AS, mengusulkan sebuah teori
baru tentang asimilasi yang mereka sebut teori segmen asimilasi
(segmented assimilation).124 Teori ini dibangun di atas dua kenyataan
besar yang berbeda, yang dihadapi oleh imigran generasi pertama.
Pertama, anak-anak dari para imigran Eropa di AS pada umumnya
adalah anak-anak berkulit putih. Meski menghadapi persoalan
yang sama dengan anak-anak dari imigran Asia, atau anak-anak
dari imigran hitam dan anak-anak campuran (mestizo), yaitu
persoalan meninggalkan budaya orang tua dan merangkul budaya
Amerika, namun mereka jauh lebih beruntung karena warna
kulitnya yang putih mengurangi besarnya rintangan yang dihadapi
untuk masuk ke dalam arus utama masyarakat dan budaya
Amerika.
Kedua, berbeda dari generasi orang tuanya, struktur-
struktur kesempatan ekonomi kini sudah berubah. Di masa lalu,
kesempatan ekonomi yang tersedia untuk orang tua ialah menjadi
bagian dari kelas pekerja walau terbuka kesempatan untuk
mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik. Akibat
cepatnya perubahan dalam dunia industri nasional dan global,
kesempatan tersebut sudah tidak ada lagi. Hal ini membuat dunia
kerja terbelah dua menjadi kelas: kelas pekerja kasar dengan
bayaran yang kecil dan kelas pekerja profesional berteknologi
tinggi dengan gaji yang besar. Para imigran biasanya ada di kelas
pertama sementara kelas kedua didominasi oleh “native elites.”125
123 Alejandro Portes & Min Zhou, “The New Second Generation:
Segmented Assimilation and Its Variants,” Annals of the American Academy of
Political and Social Science, Vol. 530 (Nov., 1993): 74. 124 Seluruh uraian teori ini diambil dari tulisan Portes dan Min
Zhou. Sumber-sumber lain akan diberi catatan tersendiri. 125 Ibid., 76.
60 | BAB II KERANGKA TEORETIS
Kenyataan lain yang dijadikan landasan teori baru ini
adalah bahwa dibandingkan dengan orang tuanya, generasi kedua
imigran umunya berdwi bahasa, bahasa orang tua dan bahasa
negara setempat. Yang lain, para imigran umumnya tinggal di
daerah perkotaan, khususnya di area tengah kota, dan hidup
berdekatan dengan keluarga besarnya. Di daerah tengah kota itu
mereka bersekolah di sekolah-sekolah yang umumnya dihuni oleh
anak-anak dari kelas sosial yang rendah (umumnya orang Amerika
hitam). Anak-anak lain dari keluarga-keluarga kelas menengah
dan atas (umumnya orang Amerika putih) sudah bergeser ke
sekolah-sekolah di daerah pinggiran kota (suburb). Kenyataan-
kenyataan ini membuat generasi kedua terpapar dengan kondisi
sosial ekonomi dan sifat relasi antar kelas dan kelompok yang
dibawa oleh kawan-kawan mereka dari kelas sosial yang lebih
rendah itu.
Semua kenyataan ini membuat asimilasi tidak lagi
menjadi sebuah proses menyesuaikan diri kepada satu arus utama
yang secara relatif seragam melainkan ke dalam sektor-sektor
tertentu dari masyarakat Amerika.126 Atau dengan kata lain,
asimilasi menjadi soal mengadaptasikan diri ke dalam segmen
atau ruas tertentu dari suatu masyarakat. Sebagian orang, menurut
Portes dan Min Zhou, memilih berasimilasi ke dalam segmen
kelas sosial atas, yaitu kelompok kelas menengah putih; sebagian
ke dalam segmen kelas sosial bawah; dan sebagian lagi kepada
kelompoknya sendiri dengan keyakinan bahwa peningkatan
ekonomi berhubungan erat dengan pelestarian nilai-nilai dan
penguatan solidaritas komunitas.
Di mana letak perlawanan terhadap asimilasi di sini?
Perlawanan tidak lagi ditujukan kepada sebuah “core society”
dengan “core culture”—nya melainkan kepada salah satu segmen
masyarakat. Perlawanan dilakukan dengan cara mengasimilasikan
diri ke dalam segmen yang bertentangan secara diametral dengan
segmen yang dilawan. Portes dan Min Zhou memperlihatkan hal
126 Portes & Min Zhou, 82.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 61 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
ini dalam asimilasi anak-anak imigran Haiti di kota Miami di
mana mereka tidak berasimilasi ke dalam “mainstream culture”
namun ke dalam nilai-nilai dan norma-norma pusat kota yang
bermusuhan terhadap arus utama orang kulit putih.127
Berangkat dari teori-teori asimilasi sebelumnya dan
merujuk kepada tradisi metodologi inividualisme dari analisis
komparatif Weber tentang institusi dan metodologi holisme
Durkheim, Alba dan Nee coba menyusun suatu teori lain tentang
asimilasi, yang mereka namakan teori asimilasi institusional.128 Di
sini institusi didefinisikan sebagai sebuah jaring (web) norma-
norma formal dan informal yang saling berkaitan, yang mengatur
relasi sosial anggota-anggota masyarakat.129 Norma-norma ini
bersifat paksaan (constraint), yang membentuk pertukaran sosial
dan ekonomi di semua level masyarakat sekaligus menjadi sumber
daya (resource) yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan
yang dikejar. Individu-individu dan organisasi-organisasi saling
berkompetisi untuk memperebutkan pengaruh atau kontrol atas
struktur-struktur institusional karena yang memilikinya
mempunyai hak untuk mengubahnya bagi kepentingannya.
Perubahan norma-norma formal dilakukan oleh organisasi-
organisasi formal seperti negara, sementara perubahan norma-
norma informal, seperti adat istiadat, kebiasaan, dan norma-norma
sosial, melibatkan sebuah proses dari bawah ke atas.130
Asimilasi terjadi dalam konteks institusi-institusi formal
dan informal ini. Dalam konteks hidup seperti ini aktor yang
beradaptasi bertindak menurut model-model mental (mental
models) yang dibentuk oleh kepercayaan-kepercayaan kultural
(cultural beliefs), yakni oleh adat-istiadat, norma-norma sosial,
hukum, ideologi dan agama, yang membentuk persepsi seseorang
tentang kepentingan pribadinya dan tentang hal untung-rugi dalam
lingkungan institusional baru di mana ia berada. Bila pilihan
127 Portes & Min Zhou, 81. 128 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 35-36, 63-64. 129 Ibid., 36. 130 Ibid.
62 | BAB II KERANGKA TEORETIS
tindakan yang diambil mendatangkan keuntungan maka hal itu
sangat mungkin untuk diulang kembali. Lalu, bila norma-norma
informal yang berlaku dalam kelompoknya ternyata berkontribusi
mendatangkan hasil yang menguntungkan maka kelompok akan
makin memperkuat lagi (reinforce) pemberlakuan norma itu.131
Pengulangan ini bisa mengarah kepada asimilasi dan bisa pula ke
arah lain yaitu penguatan identitas kelompok dan pemisahan diri
dari yang lain.
Alba dan Nee lebih lanjut mengemukakan sejumlah
mekanisme kausal yang membentuk jalan adaptasi para imigran
dan keturunannya, yang pada gilirannya akan membawa mereka
kepada level asimilasi tertentu ke dalam masyarakatnya.
Mekanisme-mekanisme kausal itu ia kelompokkan menjadi dua,
yaitu sebab-sebab dekat (proximate causes) dan sebab-sebab jauh
(distal causes). Sebab-sebab dekat beroperasi di level pribadi dan
jaringan sosial (kelompok primer dan komunitas) serta
dipengaruhi oleh bentuk-betuk kapital yang dimiliki oleh individu
dan kelompok. Sementara sebab-sebab jauh melekat dalam
struktur-struktur besar seperti susunan-susunan institusional
negara, perusahaan dan pasar kerja.132 Dengan ini Alba dan Nee
memandang asimilasi adalah persoalan yang melibatkan individu,
kelompok dan struktur sosial dalam masyarakat di mana mereka
berada.
Pendekatan tersebut dikatakan hendak mengoreksi dua
kekurangan besar dari teori-teori asimilasi sebelumnya.
Kelemahan pertama adalah etnosentrisme. Dalam teori-teori
asimilasi sebelumnya etnosentrisme implisit ketika asimilasi
dipahami sebagai hampir-hampir sepenuhnya satu arah, di mana
kelompok minoritas mengubah dirinya menjadi seperti kelompok
mayoritas dan peran kelompok mayoritas dibatasi hanya pada
menerima atau menolak petisi kelompok minoritas untuk dapat
131 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream,37-38. 132 Ibid., 38.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 63 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
diizinkan masuk ke dalam arus utama.133 Alba dan Nee menolak
pandangan ini karena mengabaikan fakta bahwa dalam proses
asimilasi ke dalam mayoritas, kelompok mayoritaspun turut serta
mengalami perubahan. Kelemahan lain adalah kecenderungannya
melihat asimilasi sebagai sesuatu yang tidak bisa ditolak
(inevitable). Teori-teori tersebut cenderung abai kepada kenyataan
bahwa asimilasi bukanlah satu-satunya cara bagi para pendatang
untuk menginkorporasikan dirinya ke dalam masyarakat.
Beberapa kelompok berinkorporasi dengan cara menjadi kelompok
ras minoritas sementara yang lain dengan cara mempertahankan
sebuah pola hidup pluralistik dengan masyarakat mayoritas, yang
terus memelihara kekhasan komunitas dan budayanya.134
Teori asimilasi yang dimajukan Alba dan Nee menolak
menerima bahwa asimilasi tidak bisa dihindari dan tidak bisa
dibalik arahnya. Asimilasi bisa dihindari dan bisa dibalik karena
asimilasi bukan soal yang utama bagi para pendatang. Hal yang
lebih utama dan yang dihadapi setiap saat adalah bagaimana
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Karena itu asimilasi
pada dasarnya adalah sebagian saja dari proses adaptasi ke dalam
suatu masyarakat. Ia lebih tepat dipahami sebagai akibat yang
muncul dari timbunan pilihan-pilihan yang diambil oleh individu
dan aksi-aksi kolektif di dalam kelompok-kelompok yang terjalin
rapat; dan terjadi dengan kecepatan berbeda-beda baik itu di dalam
kelompok maupun lintas kelompok.135
Ada sejumlah sebab yang membuat asimilasi dapat terjadi.
Sebab-sebab ini, untuk kelompok yang satu berbeda dari kelompok
lainnya. Pada kelompok yang satu, yakni kelompok imigran
dengan kapital yang diperoleh melalui pendidikan dan
pengalaman kerja (human capital immigrants), asimilasinya
dipengaruhi oleh adaptasi individual melewati pola intergene-
rasional yang rata atau bergelombang. Artinya, asimilasinya
133 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream, 64. 134 Ibid., 65. 135 Ibid., 65-66.
64 | BAB II KERANGKA TEORETIS
tergantung pada individu bersangkutan dan pola hidup yang
diwarisinya dari generasi sebelumnya. Pada kelompok yang lain,
yakni kelompok pekerja migran tradisional dengan kapital
manusia dan finansial yang rendah, asimilasinya mengikuti pola
kolektif dalam mana mekanisme-mekanisme di dalam jaringan
kerja membentuk lintasan adaptasinya. Asimilasinya tergantung
pada kelompok. Pola serupa diperlihatkan pula oleh kelompok-
kelompok minoritas perantara (middlemen minority) yang
mengadaptasi diri lewat ketergantungannya pada solidaritas etnis
demi mendapatkan kemantapan dan kesuksesan ekonomi. Kalau
hal itu sudah tercapai maka melalui tindakan kolktif mereka akan
memakai sumber-sumber daya yang dimilikinya untuk
meruntuhkan penghalang jalan masuk ke dalam institusi-institusi
arus utama. Kelompok lain berasimilasi karena kombinasi yang
beraneka ragam dari adaptasi individualistik dan kolektif serta dari
tindakan yang disengaja dan ketergatungan pada mekanisme-
mekanisme jaringan dari kelompok-kelompok yang berhubungan
erat. Faktor lain yang dapat menyebabkan asimilasi adalah
mekanisme-mekanisme pemantauan dan penguatan institusional
yang mengatur insentif apa saja yang akan diterima oleh individu-
individu dan kelompok dengan tindakan-tindakan yang
diambilnya. Mekanisme-mekanisme itu akan menentukan apakah
tindakan individu-individu dan mekanisme-mekanisme jaringan
menghasilkan perilaku-perilaku yang memadukan atau
mensegregasi kelompok-kelompok mayoritas maupun minoritas.136
Singkatnya, asimilasi dalam pandangan Alba dan Nee
adalah produk pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan individu-
individu atau kelompok pendatang demi memperbaiki
kesejahteraannya.137 Pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan
rasional itu dibatasi oleh mekanisme jaringan kelompok dan
bentuk kapital yang dimiliki serta struktur-struktur institusional
masyarakat luas di mana mereka ada. Asimilasi akan dihindari
136 Alba & Nee, Remaking the American Mainstream,66. 137 Susan K. Wierzbicki, Beyond the Immigration Enclave: Network
Change and Assimilation (New York: LFB Scholarly Publishing LLC, 2004), 7-
8.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 65 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
bila kepentingan individu atau kelompok malah terancam
sementara asimilasi akan dikejar bila dengan itu kesejahteraan
individu atau kelompok semakin meningkat.
Teori-teori klasik tentang asimilasi memahami asimilasi
sebagai proses evolusi progresif yang dijalani oleh kelompok
imigran atau pendatang di suatu tempat. Cepat atau lambat
asimilasi pasti akan terjadi. Bahwa arahnya bisa menuju kepada
kelompok dominan atau kepada seksi tertentu dalam masyarakat
namun hal itu tidak bisa tidak pasti akan terjadi. Meski oleh satu
dan lain alasan proses berasimilasi bisa terhenti di suatu titik namu
teori-teori asimilasi klasik tidak melihat kemungkinan untuk balik
ke belakang. Asimilasi akan terus maju ke depan kepada titik di
mana kelompok pendatang akhirnya akan melebur juga ke dalam
masyarakat setempat.
Melawan arus deterministik di atas teori-teori asimilasi
kontemporer berusaha mengedepankan pilihan individu yang
berasimilasi sebagai faktor penentu yang penting. Pilihan mereka
untuk berasimilasi dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan
ekonomis, mobilitas ke tangga sosial yang lebih tinggi dan
konsekuensinya pada identitas kelompok. Individu-individu atau
kelompok-kelompok akan berasimilasi dan menuju bentuk
asimilasi tertentu sepanjang hal itu dirasa menguntungkan secara
ekonomis, sosial dan budaya. Walau demikian produk akhir yang
dicapai tidak akan selalu sesuai dengan ekspektasi kelompok
dominan.
Sejauh-jauh yang dapat dicapai, teori-teori asimilasi hanya
dapat bicara tentang proses yang terhenti, terhambat atau menuju
arah yang menyimpang. Teori-teori asimilasi tidak menyediakan
ruang kepada percakapan mengenai perlawanan karena dalam
analisisnya teori-teori ini tidak memberi perhatian yang memadai
kepada isu kekuasaan, yang sebenarnya turut bermain dalam relasi
antar individu atau antar kelompok dalam sebuah masyarakat atau
66 | BAB II KERANGKA TEORETIS
negara.138 Karena itu operasi kekuasaan, khususnya operasi
kekuasaan negara, yang bermain dalam proses asimilasi perlu
mendapat perhatian. Namun demikian hasil-hasil yang diperoleh
dari perspektif teori ini tetap berguna dalam menolong menyajikan
suatu gambaran yang utuh tentang proses yang dijalani oleh orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT.
3. Teori-teori tentang Kebijakan Negara terhadap Kelompok
Etnis Minoritas
Salah satu teori yang menjelaskan asal usul lahirnya
negara bangsa (nation state) mengatakan bahwa realitas lahir dari
ikatan-ikatan dan sentimen-sentimen etnis yang sudah ada terlebih
dahulu.139 Menurut Anthony Smith bangsa-bangsa di dunia
umumnya terbentuk dari apa yang ia namakan “ethnic cores”,
yaitu etnis-etnis yang kohesif dan menyadari keunikannya, yang
menjadi benih (kernel) dan basis dari negara-negara dan kerajaan-
kerajaan.140 Kalau hari ini sebagian besar bangsa dan negara
bangsa di dunia telah menjadi polietnis, pada awalnya hal itu
tidaklah demikian. Bangsa-bangsa dan negara-bangsa di dunia
berakar pada fenomena suatu etnis dominan, yang menganeksasi
atau menarik etnis-etnis lain ke dalam negara yang dibangun
dengan namanya dan yang ditandai oleh budayanya.141
Karena bangsa-bangsa modern terjadi dengan cara seperti
itu maka salah satu ciri era modern, menurut Illan Peleg, adalah
munculnya berbagai macam pemerintahan yang paling tepat
138 Joe R. Feagin & Clairence Boober Feagin, “Theoretical
Perspectives in Race and Ethnic Relations,” Rethinking the Color Line: Readings
in Race and Ethnicity, ed. Charles A. Gallagher (New York: McGraw-Hill,
2004), 20. 139 Pikiran ini digagas oleh Anthony D. Smith dan diungkapkan
dalam sejumlah buku dan tulisannya. Lihat misalnya The Cultural Foundations
of Nations (Oxford, UK.: Blackwell Publishing, 2008), Myths and Memories of
the Nation (Oxford, UK.: Oxford University Press, 1999), National Identity
(London: Penguin Books, 1991). 140 Smith, National Identity, 38-39. 141 Ibid., 39.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 67 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
digambarkan sebagai tatanan konstitusional etnis (ethnic
constitutional orders). Negara diwarnai oleh karakter etnis penguasa
dan rezim yang berkuasa akan berkomitmen mempromosikan
kepentingan sebuah kelompok etnis atau kelompok bangsa yang
berada di dalam wilayahnya.142 Tentu saja komitmen tersebut
bukan tanpa risiko. Namun komitmen ini tetap diambil karena
keragaman etnis di dalam negara adalah masalah yang dapat
mengancam stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan. Itu
sebabnya di hampir semua negara di dunia yang memiliki
keanekaragaman etnis, apalagi bila sejarah hubungan antar etnis
diwarnai oleh konflik, lumrah bagi pemerintah yang berkuasa
untuk memberlakukan suatu kebijakan atau sejumlah kebijakan
yang terkait dengan kelompok-kelompok etnis minoritas.143
Ada dua model penyelesaian yang dapat diambil oleh
pemerintah suatu negara. Model pertama adalah model akomodasi
atau model demokratis. Model ini berisi solusi-solusi politis yang
bermaksud mendorong dan memfasilitasi partisipasi yang seluas-
luasnya dari semua individu dan kelompok dalam masyarakat
tanpa memandang identitas nasional dan etnisnya. Semua orang
diperlakukan sama dan setara baik di dalam hukum maupun di
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam model ini negara secara aktif
dan progresif berperan melindungi kelompok-kelompok minoritas
dari tirani kelompok mayoritas.144
Pada model kedua, yakni pemerintahan yang bersendikan
etnis, model akomodasi umumnya tidak disukai. Yang lebih
disukai adalah model eksklusif, yang condong mempertahankan,
memperluas dan mengabadikan dominasi satu kelompok etnis atas
kelompok-kelompok etnis lainnya. Negara dan pemerintahannya
142 Illan Peleg, “Transforming Ethnic Orders to Pluralist Regimes:
Theoretical, Comparative and Historical Analysis,” Democracy and Ethnic
Conflict: Advancing Peace in Deeply Divided Societies, ed. Adrian Guelke (New
York: Palgrave Macmillan, 2004), 7. 143 Terence E. Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation:
Contrasting Ethnic Minority Policies (Westport, CT.: Praeger Publishers, 2003),
x. 144 Peleg dalam Democracy and Ethnic Conflict, 10.
68 | BAB II KERANGKA TEORETIS
adalah alat untuk mengokohkan dan melanggengkan hegemoni
kelompok etnis tertentu atas kelompok-kelompok etnis yang
lain.145
Model eksklusif setidaknya memiliki dua variasi.146 Variasi
yang pertama adalah model hegemoni minoritas, di mana sebuah
kelompok minoritas menguasai negara sepenuhnya dan memakai
negara untuk keuntungannya. Model ini diperlihatkan di Afrika
Selatan pada masa rezim apartheid. Variasi kedua adalah model
hegemoni mayoritas. Dalam model ini, sebuah kelompok etno-
kultural mayoritas, yang menjadi inti bangsa (core nation),
menguasai negara dan mempergunakannya sebagai instrumen
untuk mengokohkan dan mengabadikan kontrol eksklusif atas
ruang publik. Dalam situasi ini, suatu definisi kultural tentang
realitas, yang berasal dari kelompok ini, akan mendominasi
kehidupan masyarakat dan memberi pengaruh yang menentukan
pada lembaga-lembaga negara. Negara dan semua aparatusnya
lantas bertindak atas nama inti bangsa itu.
Model eksklusif pada dasarnya menekankan kontrol
kelompok dominan atas kelompok yang lemah. Apakah kelompok
dominan itu suatu minoritas atau mayoritas yang menjadi inti
bangsa, keduanya sama dalam hal bahwa sebagai kelompok
hegemonik mereka berupaya untuk menguasai, mengatur dan
mengendalikan kelompok-kelompok lain demi mendapatkan dan
mengamankan keuntungan dalam arti yang seluas-luasnya.
Kebijakan asimilasi adalah salah satu strategi yang dipergunakan
untuk mempertahankan kontrol tersebut. Kebijakan asimilasi
dimaksudkan bukan untuk memberikan kesetaraan penuh tetapi
untuk mengontrol kelompok-kelompok minoritas tersebut.
Kebijakan asimilasi yang diterapkan dapat bersifat selektif
atau bersifat kolektif.147 Dengan yang selektif, kelompok dominan
berkeinginan supaya hanya sebagian kecil saja dari kelompok
145 Peleg dalam Democracy and Ethnic Conflict, 10. 146 Ibid., 12-13. 147 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 64, 65-68.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 69 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
minoritas yang mengadopsi budaya kelompok dominan dan
diterima sebagai bagian dari kelompok dominan. Dilihat dari teori
asimilasi Gordon, hanya sebagian kecil saja yang mendapat ruang
untuk berasimilasi secara struktural. Bagian yang lebih besar,
kalaupun bersedia, hanya sampai di level asimilasi kultural saja.
Namun itupun tidak mendapat insentif yang memadai sebab
bersamaan dengan kebijakan asimilasi selektif tersebut turut pula
diberlakukan kebijakan separasi yang memisahkan kelompok
dominan dari kelompok minoritas dan pembedaan perlakuan pada
keduanya. Sasaran akhir yang mau dicapai adalah menjadikan
kelompok kecil yang terkooptasi itu sebagai alat untuk
mengokohkan hegemoni kelompok dominan.
Dalam kebijakan asimilasi kolektif, kelompok dominan
memaksa kelompok minoritas secara keseluruhan untuk menjadi
lebih serupa dengan mereka. Ancaman kelompok minoritas
terhadap hegemoni kelompok dominan dihapuskan bukan dengan
memperdalam perbedaan, seperti yang dilakukan oleh kebijakan
segregasi, namun dengan mengecilkan atau bahkan
menghapuskannya sama sekali. Berangkat dari suatu pemahaman
bahwa budaya dominan adalah superior dan budaya minoritas
adalah inferior, asimilasi ke dalam budaya kelompok dominan
dimaksudkan untuk “menyelamatkan” kelompok minoritas dari
keterbelakangannya atau dari inferioritasnya. Walau bisa terlihat
sangat toleran, seperti mendorong perkawinan campur atau
penghapusan segregasi domisili, namun keengganan untuk
berasimilasi bisa mendatangkan hukuman baik kepada individu
maupun kelompok.148 Dalam bentuknya yang paling ekstrim
kebijakan asimilasi ini dapat menjadi genosida kultural, di mana
148 Cook mengambil contoh terapi korektif yang diusulkan oleh
sebagian orang kepada individu-individu dengan orientasi seksual yang
berbeda. Lihat Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 67. Eriksen
mengambil contoh perlakuan yang berbeda di tempat kerja sebagai salah satu bentuk hukuman yang umum kepada mereka yang tidak mau berasimilasi.
Lihat Eriksen, Ethnicity and Nationalism, 150.
70 | BAB II KERANGKA TEORETIS
suatu kelompok minoritas dengan segala kekayaan budayanya
punah terhisab ke dalam kelompok dan budaya dominan.149
Bagaimana respons kelompok minoritas terhadap upaya
kontrol yang dilakukan oleh negara atau suatu kelompok melalui
kebijakan asimilasi? Menggunakan kerangka konseptual yang
dibangun oleh Albert O. Hirschman, Eriksen menemukan tiga
cara yang dipakai oleh kelompok minoritas untuk merespons.150
Cara yang pertama adalah tunduk (loyalty) kepada kebijakan
asimilasi dan mengasimilasikan diri ke dalam budaya dominan.
Cara yang kedua adalah menolak (voice) berasimilasi dan lebih
suka menjadi etnis tersendiri dengan segala konsekuensinya. Dua
strategi dipergunakan di sini. Yang satu menerima posisinya yang
rendah (subordinant) di hadapan kelompok dominan namun
dengan identitas etnis yang sesuai kemauannya, sementara yang
lain memilih bernegosiasi dengan kelompok dominan untuk
mencapai keadaan koeksistensi damai.
Cara yang terakhir adalah memisahkan diri secara total
dari kelompok dominan (exit). Pemisahan ini berbentuk keluar dari
negara lalu membentuk sebuah negara baru. Cara ini hanya
mungkin ditempuh oleh kelompok minoritas yang disebut proto
nations oleh Eriksen. Mereka adalah kelompok minoritas yang
memiliki pemimpin-pemimpin politis sendiri dan menuntut hak
untuk memiliki negara-bangsa sendiri. Mereka berangkat dari
suatu teritori tertentu yang diklaim sebagai wilayah asli
149 Eriksen, Ethnicity and Nationalism, 149. Tidak seperti Cook,
Eriksen tidak membuat pembedaan kebijakan asimilasi. Namun pengertian
yang ia pakai lebih cocok dengan pengertian Cook mengenai kebijakan
asimilasi kolektif. 150 Ibid., 150. Kerangka konseptual Hirschman adalah exit, voice dan
loyalty. Dalam teori Hirschman, exit menunjuk kepada keputusan konsumen
untuk berhenti membeli produk; voice kepada tindakan konsumen
menyuarkan ketidakpuasannya sementara loyalty kepada kesediaan konsumen
untuk terus membeli atau memakai produk sekalipun barangnya cacat, rusak dan tidak dilayani dengan baik. Untuk bahasan lengkap lihat Albert O.
Hirschman, Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations,
and States (Cambridge, MA.: Harvard University Press, 1970).
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 71 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
kelompoknya, terdiferensiasi dalam kelas-kelas sosial dan tingkat
pendidikan serta jumlahnya besar.151
Berbeda dari Eriksen, Cook melacak respons kelompok
minoritas dari dua level: individu dan kolektif.152 Pada level
individu, asimilasi akan terjadi bila dengan itu terbuka kesempatan
untuk naik ke tangga atas hierarkhi sosial. Strateginya bermacam-
macam. Pendidikan adalah salah satu strategi yang umum. Yang
lain memilih menghindar dari menantang kelompok dominan
karena hal itu akan berdampak pada tertutupnya jalan naik ke
atas. Ketimbang menantang sebagian orang lantas menampilkan
diri sebagai penganut ideologi tulen kelompok dominan,
sementara yang lain melancarkan kritik kepada kelompok asalnya.
Yang lain lagi menempuh cara mengoreksi atau memodifikasi
dirinya agar sedikit-dikitnya tampil serupa dengan orang-orang di
strata sosial atas dari kelompok dominan. Mereka berusaha habis-
habisan meniru sifat-sifat atau tanda-tanda yang diidentifikasi
sebagai ciri dari individu-individu yang berada di strata tersebut.
Individu lain menempuh strategi mengelak atau
menghindar (evasion). Cook mendapati strategi ini sebagai strategi
paling umum yang ditempuh oleh kelompok-kelompok yang
bersumber daya terbatas atau lemah. Ada dua bentuk umum
penghindaran yang biasa dipergunakan. Yang pertama adalah
menyembunyikan keanggotaan dalam kategori-kategori minoritas,
dan yang kedua menyembunyikan perilaku yang sesungguhnya.
Berasimilasi dimaksudkan bukan untuk benar-benar menjadi sama
dengan kelompok dominan melainkan sekedar supaya terlihat
sama saja (appearance).153
Pada level kolektif, Cook menemukan bahwa asimilasi
dapat terjadi tanpa direncanakan sebelumnya atau memang
151 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 19. 152 Ibid., 90-104. Penjelasan selanjutnya berhutang pada Cook. 153 Di sini Cook memahami teori James C. Scott tentang “everyday
forms of resistance” sebagai sama dengan apa yang ia pikirkan sebagai
penghindaran (evasion).
72 | BAB II KERANGKA TEORETIS
sengaja dilakukan. Untuk modus pertama ia menemukan salah
satu contohnya pada anak-anak imigran Jerman dan Skandinavia
di AS, yang tanpa direncanakan sama sekali tidak mau belajar
bahasa orang tuanya dan lebih suka belajar bahasa Inggris. Untuk
modus yang kedua ia temukan salah satu contohnya pada anak-
anak imigran Hispanik, yang dipaksa oleh orang tua untuk belajar
bahasa Inggris dan tidak boleh berbahasa Spanyol.
Motif-motif kolektif untuk berasimilasi bisa karena
mengikuti pilihan pemimpin kelompok, alasan keamanan, alasan
ekonomi, atau alasan kultural. Motif pilihan pemimpin kelihatan
pada konversi massal dari suatu agama ke agama lain karena
mengikuti tindakan pemimpin. Pada motif keamanan, asimilasi
dipilih karena akan menghentikan permusuhan dari kelompok
dominan. Lalu kalau nasib kelompok membaik secara ekonomis
bila makin serupa dengan kelompok dominan maka berasimilasi
jadi pilihan. Motif kultural mengemuka ketika berasimilasi malah
memberi ruang yang lebih leluasa bagi pelestarian tradisi budaya
asalnya. Semboyannya adalah “Assimilate, not be assimilated.”154
Berbeda dari perspektif teori asimilasi per se, studi-studi
mengenai asimilasi yang dibingkai dalam kerangka teori relasi
negara dengan kelompok minoritas menaruh isu asimilasi dalam
dinamika relasi kekuasaan. Berasimilasi bukan lagi melulu proses
alamiah yang terjadi dalam relasi antar individu dan kelompok
namun dapat menjadi sesuatu yang sengaja dipaksakan lewat
suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara. Berasimilasi bukan
lagi sebuah pilihan sukarela melainkan sebuah keharusan dan
dalam kerangka waktu yang lebih cepat.
Meski sebagian teori masih bersifat umum namun teori
yang diajukan Cook sudah jauh lebih maju dengan
mengungkapkan strategi-strategi yang dipergunakan kelompok
minoritas untuk menghindari asimilasi. Cook pun tanpa malu-
malu memperlihatkan pengaruh teori James C. Scott tentang
154 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 103.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 73 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
perlawanan sehari-hari ke dalam konstruksi teorinya.155 Dari sini
menjadi terang bahwa asimilasi tidak harus tak terelakkan seperti
dipikirkan oleh teori-teori klasik tentang asimilasi. Asimilasi
berhenti atau tidak dilakukan pun bukan semata-mata karena
alasan ekonomi seperti terpikirkan dalam teori kontemporer.
Temuan Cook mendapati bahwa ia dapat berhenti karena adanya
perlawanan dari pihak yang dipaksa berasimilasi. Gagasan ini
menghantar penelitian ini untuk menengok pada teori tentang
perlawanan orang-orang lemah atau orang tertindas terhadap
dominasi dan operasi kekuasaan kelompok dominan.
D. Teori Perlawanan Terselubung
Teori James C. Scott tentang perlawanan berangkat dari
kenyataan bahwa deskripsi dan analisis mengenai berbagai konflik
politik selama ini didominasi oleh pemahaman tentang aksi-aksi
politik yang bersifat terbuka dan terang-terangan. Studinya
menemukan bahwa aksi-aksi perlawanan politis tidak selalu
demikian. Ada bentuk-bentuk perlawanan yang ternyata memang
sengaja disembunyikan. Tantangan terbuka dihindari karena dapat
membawa konsekuensi-konsekuensi yang berat, bahkan ekstrim.156
Perlawanan ini awalnya ia namakan “perlawanan sehari-
hari”157 untuk menjelaskan lokasinya sekaligus hakekatnya sebagai
sesuatu yang sudah terjadi jauh sebelum suatu aksi perlawanan
terbuka dan terang-terangan terjadi. Ini adalah aksi politis yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berada di bawah
dominasi kelompok lain (subordinate groups) terhadap kelompok
155 Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation, 95. 156 Menurut Richter-Devroe ketersembunyian ini bukan berarti sama
sekali tidak dilihat tetapi semata-mata tidak dideklarasikan secara publik
sebagai perlawanan. Lihat Sophie Richter-Devroe, “Palestinian Women’s Everyday Resistance: Between Normality and Normalisation,” Journal of
International Women’s Studies, Special Issue Vol. 12 #2: 34. 157 James C. Scott, “Everyday Forms of Resistance,” The Copenhagen
Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989): 36.
74 | BAB II KERANGKA TEORETIS
yang mendominasi mereka (the dominant).158 Dalam tulisannya
yang diterbitkan pada tahun 1987, perlawanan ini Scott definisikan
sebagai:
any act by a peasant (or peasants) that is intended
either to mitigate or deny claims (e.g.rents, taxes,
corvee, deference) made on that class by
superordinate classes (e.g. landlords, the state,
moneylenders) or to advance peasant claims (e.g. to
land, work, land, charity, respect) vis-a-vis those
superordinate classes.159
Dalam definisi ini tindakan apapun dapat menjadi
perlawanan karena dimaksudkan (intended) untuk mengurangi
(mitigate) atau menolak (deny) klaim yang dibuat oleh kelompok
dominan; atau untuk mengedepankan klaim-klaim yang dibuat
oleh kelompok yang didominasi. Dengan definisi itu, Scott
bermaksud memberikan suatu pemahaman yang lebih luas tentang
perlawanan, yang selama ini dirasa terlalu sempit hanya pada
perlawanan terbuka dan terorganisir. Perlawanan dapat mencakup
apapun, baik perlawanan individual maupun kelompok, material
maupun simbolik, dan mencakup baik yang gagal maupun yang
sukses.160 Perlawanan ini hanya membutuhkan sedikit atau bahkan
tiada perencanaan sama sekali, dan sering hanya berupa perbuatan
menolong diri sendiri. Ia biasanya menghindari konflik simbolik
langsung melawan penguasa atau melawan norma-norma kaum
158 Seperti dikutip oleh Deborah Reed-Danahay, “Talking About
Resistance: Ethnography and Theory in Rural France” dalam Anthropological Quaterly Vol. 66 No. 4, Controversy: Hegemony and the Anthropological Encounter
(Oct., 1993): 222. 159 James C. Scott, “Resistance Without Protest and Without
Organization: Peasant Opposition to the Islamic Zakat and the Christian
Tithe,” Comparative Studies in Society and History, Vol. 29, Issue 3 (July 1987):
419. 160 George Holmes, “Protection, Politics and Protest: Understanding
Resistance to Conservation,” Conservation and Society, Vol. 5, No. 2, 2007: 185.
Lihat James C. Scott, Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance
(New Haven: Yale University Press, 1985), 290.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 75 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
elit.161 Dalam praktik sehari-hari ia dapat tampil dalam aksi-aksi
seperti menunda-nunda kerja (foot dragging), berpura-pura
(dissimulation), patuh yang palsu (false compliance), menyerobot
(pilfering), berpura-pura tidak tahu (feigned ignorance), mengumpat
(slander), membuat kebakaran dengan sengaja (arson), mensabotase
(sabotage), dan lain-lain.162
Dalam Domination and the Arts of Resistance, Scott
membawa keluar konsep perlawanannya dari dunia petani dan
lingkungan agraris kepada arena kehidupan politik yang lebih luas.
Mereka yang melawan dan dilawan dikategorikan ke dalam yang
didominasi dan yang mendominasi. Konsep perlawanan sehari-
hari kini diganti dengan konsep transkrip tersembunyi (hidden
transcript), untuk menekankan sifatnya yang tidak terpantau oleh
mata penguasa atau kelompok dominan. Transkrip ini merupakan
lawan dari transkrip publik (public transcript).
Metafor yang berada di balik kedua konsep ini adalah
dunia teater (pementasan drama), yang diperkenalkan pertama kali
oleh Erving Goffman.163 Sebagaimana Goffman, Scott sepakat
bahwa kehidupan orang-orang yang didominasi bak menampilkan
suatu pertunjukan di atas pentas. Penontonnya adalah kelompok
dominan. Namun berbeda dari Goffman yang lebih fokus pada
aksi orang-orang itu di atas pentas (on stage), Scott coba mengamati
aksi mereka di balik pentas (offstage).164 Kalau di atas pentas,
161 Scott dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. 29,
Issue 3 (July 1987): 419-420. 162 Idem, Weapons of the Weak, 29; juga Idem dalam The Copenhagen
Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989): 34. 163 Goffman menamakan pendekatannya sebagai “The
perspective...of the theatrical perfomance....” Lihat Erving Goffman, The
Presentation of Self in Everyday Life (New York: Anchor Books, 1959), xi. 164 Mengomentari pendapat dua anthropolog yang membedah
pikiran-pikirannya, Scott dengan terus terang mengakui bahwa dalam tulisan-
tulisannya ia memang lebih baik dalam mencermati detil-detil perlawanan dari pada detil-detil dominasi. Itu artinya ia lebih tajam melihat aksi-aksi di
panggung belakang dari pada di panggung depan. Lihat James C. Scott, “Afterword to ‘Moral Economies, State Spaces and Categorical Violence”
dalam American Anthropologist, Vol. 107, Issue 3, September 2005: 398.
76 | BAB II KERANGKA TEORETIS
menurut Goffman, orang fokus pada upaya untuk sintas (survived)
di tengah dominasi, Scott memperlihatkan bahwa upayanya tidak
itu saja. Dengan cara-cara yang tidak tampak kelompok yang
didominasi juga melakukan perlawanan.165
Dalam interaksinya dengan pihak yang mendominasi
kelompok yang didominasi mempergunakan dua macam transkrip
atau dua naskah pertunjukan. Naskah pertama disebut transkrip
publik, sementara naskah kedua disebut transkrip tersembunyi.
Transkrip publik adalah naskah yang mengatur peran-peran yang
dimainkan di hadapan kelompok dominan. Di dalamnya ucapan,
sikap dan perilaku dibengkokkan secara sistematis supaya cocok
dengan kemauan dan ekspektasi kelompok dominan. Orang-orang
yang didominasi memperagakan sikap dan perilaku tunduk, patuh
dan kalah; sementara pihak dominan ditampilkan sebagai yang
kuat, berkuasa dan menang.166
Transkrip tersembunyi adalah naskah yang mengatur
peran-peran yang dimainkan di antara sesama kaum yang
didominasi, yang luput dari pengamatan kelompok dominan.
Pertunjukan yang ditampilkan di sini berbeda.167 Perilaku, sikap
dan kata-kata yang diperagakan merupakan kebalikan dari yang
diatur dalam transkrip publik. Kalau transkrip publik bermaksud
menciptakan sebuah budaya dominan dan resmi maka transkrip
tersembunyi bermaksud menciptakan sebuah sub-kultur yang
bertentangan sekaligus melawan budaya yang coba dipaksakan
oleh elit dominan.168 Isinya adalah perkataan-perkataan, isyarat-
isyarat dan praktik-praktik yang menegaskan, menyangkal, atau
165 Goffman sebenarnya juga menulis buku lain yang membahas
hidup orang-orang yang dalam kategori Scott adalah orang lemah, yakni mereka yang memikul stigma-stigma tertentu. Namun lagi, tidak seperti Scott,
di dalam buku itu Goffman kembali fokus meneliti upaya-upaya yang ditempuh orang-orang ini untuk dapat bertahan dalam situasi itu. Lihat
Erving Goffman, Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (New
York: Simon & Schuster, Inc., 1963). 166 James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden
Transcripts (New Haven: Yale University Press, 1999), 4. 167 Ibid. 168 Ibid., 27.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 77 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
mengubah apa yang tampak di dalam transkrip publik.169 Dengan
cara ini mereka melakukan apa yang disebut Scott “a labor of
neutralization and negation”170—sebuah usaha untuk menetralisasi
dan menegasi apa yang terjadi di hadapan kaum dominan.
Perlawanan terhadap dominasi dapat diamati dengan
membandingkan transkrip publik dan transkrip tersembunyi.
Perbedaan yang nyata antara ucapan-ucapan, gerak-gerik dan
praktik-praktik yang diperagakan menurut transkrip publik dan
yang diperagakan menurut transkrip terselubung menjelaskan
hadirnya perlawanan.171 Semakin kuat dominasi dirasakan maka
akan semakin tidak cocok pula kehidupan yang diperagakan oleh
kelompok yang didominasi di hadapan kelompok dominan dengan
yang diperagakan di antara mereka sendiri.
Lewat teori ini Scott bermaksud memperlihatkan bahwa
bahkan dalam suatu situasi paling hegemonik sekalipun kaum
lemah, atau kaum minoritas, atau kaum yang didominasi tidak
pernah betul-betul tunduk atau menyerah begitu saja kepada
kemauan kelompok dominan. Mereka juga melawan.
Scott mengkritik konsep Marxist tentang kesadaran palsu
(false consciousness) dan konsep Gramscian tentang hegemoni yang
dipandang gagal melihat hadirnya perlawanan.172 Dua konsep ini
pada dasarnya menunjuk kepada sikap tinggal diam (quiesence)
terhadap kondisi-kondisi sosial yang membuat orang yang ditindas
menjadi tertindas. Orang yang tertindas tidak melawan karena
kesadaran mereka, oleh operasi cerdik kapitalisme, telah
dipisahkan dari situasi historis-material hidupnya. Akibatnya,
akar-akar persoalan penindasan, kemiskinan dan ketidakadilan
tidak lagi dilihat bersumber dari tatanan sosial kehidupannya.
Konsekuensinya, orang lantas merasa tidak perlu melakukan
169 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 4-5. 170 Ibid., 111. 171 Ibid., 5. 172 Ibid., 77-85
78 | BAB II KERANGKA TEORETIS
perubahan apa-apa pada situasi historis-material tersebut.173 Meski
demikian Marx yakin sekali bahwa ketika beban sudah tidak
tertanggungkan lagi maka kesadaran palsu ini akan sirna. Akan
muncul kesadaran sejati dan sebuah revolusi sosial yang akan
mengubah segalanya. Namun revolusi yang ditunggu-tunggu itu
tak kunjung datang. Gramsci coba memperbaiki konsep Marx
tentang kesadaran palsu dengan menawarkan konsep tentang
hegemoni. Revolusi sosial gagal bukan karena kesadaran palsu
melainkan karena keberhasilan kelompok dominan, melalui
sebuah operasi ideologis-kultural, mempersuasi kelompok yang
didominasi untuk malah memilih dan mendukung kekuasaan atau
hegemoni yang mendominasi mereka.174
Namun dengan tetap timbulnya aksi-aksi atau gerakan-
gerakan perlawanan terbuka di kemudian hari membuat Scott
meragukan penjelasan Gramsci. Kalau semua orang telah setuju
untuk hidup di bawah rezim yang mendominasinya lalu kenapa
pada suatu titik perlawanan masih muncul juga? Kalau
perlawanan terbuka dapat timbul lalu mungkinkah ia bisa muncul
tiba-tiba? Scott percaya bahwa jauh lebih masuk akal untuk
menerima bahwa perlawanan terbuka itu sudah didahului oleh
kehadiran aksi-aksi perlawanan yang luput dari pengamatan
kelompok dominan.175 Jauh di lubuk hatinya orang-orang yang
kelihatannya tunduk sebenarnya tidak mau tunduk. Lalu,
bagaimana bisa terjadi bahwa di satu pihak tampil ketundukan
sementara di waktu lain timbul perlawanan terbuka? Gagasan
Scott tentang perilaku di atas pentas dan di bawah pentas
menyelesaikan masalah ketegangan itu. Apa yang tampil sebagai
ketundukan sesungguhnya hanyalah peragaan di atas pentas (on
stage), di depan mata kelompok dominan saja. Tetapi, di ruang
173 Robert C. Tucker, ed. The Marx-Engels Reader (New York: W.W.
Norton & Company, 1978), 158-159. 174 Lihat Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith, eds., Selections
from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (New York: International
Publishers, 1987), 9-14. Tokoh dan lembaga yang dicatat Gramsci
memainkan peran penting di sini adalah kaum intelektual dan sekolah. 175 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 5-8, khususnya
komentarnya atas ucapan-ucapan Aggy dan Mrs Poyser.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 79 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sosial yang lain, yakni di bawah pentas (off stage), naskah yang
diperagakan berbeda. Di tempat yang tidak terjangkau oleh
pengamatan kelompok dominan itu, diperagakanlah sebuah
“pertunjukan” sosial di mana kekuasaan kelompok dominan
disangkali, ditolak dan dilawan.
Meski transkrip tersembunyi dimaksudkan untuk peragaan
di pentas belakang yang tidak teramati oleh penguasa, hal itu tidak
selalu berarti bahwa transkrip ini tidak pernah satu kalipun
dipertunjukkan di atas pentas di depan penguasa. Dengan bentuk-
bentuk yang diselubungkan transkrip tersembunyi ini juga
diperagakan di depan mereka. Scott mengumpamakan perbuatan
ini seperti perbuatan seorang editor koran oposisi yang bekerja di
bawah peraturan sensor yang ketat. Untuk menyampaikan pesan-
pesan perlawanan dari kelompok oposisi ia memakai cara-cara
yang terlihat sah secara hukum sehingga tidak tampak sebagai
perlawanan terhadap penguasa.176
Ada dua teknik utama yang dipergunakan. Yang pertama
menselubungkan pesan perlawanan; sementara yang kedua
menyembunyikan penyampai pesan. Teknik-teknik dalam kategori
pertama dipergunakan ketika pihak yang melawan dikenali,
sementara pada teknik yang kedua ketika pesan perlawanan secara
sengaja dibuat untuk dikenali. Selain dua teknik utama ini masih
ada lagi sebuah teknik lain, yakni menselubungkan pesan dan
pembawa pesan perlawanannya sekaligus.177
Dalam teknik penyembunyian pesan perlawanan, bentuk-
bentuk yang umum dipakai adalah anonimitas, eufemisme dan
bersungut-sungut.178 Anonimitas timbul dalam situasi di mana
pengungkapan diri dapat membahayakan keselamatan orang yang
melawan. Pesan anonim membuat identitas orang yang melawan
tetap terlindungi. Eufemisme adalah kebalikannya. Di sini orang
yang melawan dikenali. Ia dipergunakan agar pesan penolakan
176 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 138. 177 Ibid., 139 178 Ibid., 140-156.
80 | BAB II KERANGKA TEORETIS
dan perlawanan tidak tampak sebagai perlawanan. Dalam
bersungut-sungut, yang melawan dan dilawan sama-sama
berhadap-hadapan. Sebagai ungkapan ketidakpuasan dan
ketidaksukaan, sungut-sungut sulit dibuktikan sebagai kejadian
perlawanan.
Selain tiga bentuk dasar itu, masih ada lagi bentuk-bentuk
penyelubungan yang lain, yang lebih kompleks (elaborate forms).179
Di sini perlawanan dilakukan secara lebih terbuka di ruang publik
sambil terus berpegang pada prinsip kecerdikan dan kehati-hatian
dalam menantang transkrip publik. Unsur-unsur budaya, dalam
hal ini unsur-unsur dari budaya rakyat dan budaya populer,
menjadi medium untuk menyusupkan pesan-pesan perlawanan di
dalam transkrip publik.180 Medium budaya sengaja dipilih karena
sifatnya yang ambigu (bermakna ganda), multivalen (bersisi
banyak), dan polisemis (bermakna banyak). Sifat-sifat ini
memungkinkan unsur-unsur makna yang bersifat perlawanan
dapat disusupkan ke dalam praktik-praktik budaya yang sudah
dikenal sehingga perlawanan tampil halus dan tidak frontal.
Karnaval adalah medium budaya yang banyak
dipergunakan.181 Karnaval dipilih karena hakikatnya sebagai suatu
peristiwa yang lain dari biasanya. Aturan-aturan normal yang
mengatur interaksi orang satu sama lain, dalam karnaval, tidak
lagi berlaku. Selain itu dengan derajat anonimitas yang tinggi, di
antaranya dengan penggunaan topeng, membuat karnaval
memungkinkan orang untuk melakukan apa saja. Orang diizinkan
tampil beda dan dapat menyampaikan hal-hal yang dalam
kehidupan biasa adalah tabu. Menariknya, perbedaan itu justru
disukai karena membuat karnaval menjadi meriah. Karenanya
karnaval menjadi medium yang disukai untuk menyampaikan
kritik kepada penguasa.
179 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 156-182. 180 Ibid., 157. 181 Ibid., 173-174.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 81 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Selain karnaval, tradisi-tradisi lisan, yakni cerita-cerita
yang disampaikan dari mulut ke mulut, adalah cara lain yang
dipilih untuk menyampaikan pesan perlawanan.182 Ia dipilih
karena menyediakan kemungkinan anonimitas yang amat besar
dan tidak mengenal bentuk permanen. Sebuah kisah di mulut yang
satu bisa menjadi kisah yang berbeda di mulut yang lain. Tidak
ada teks standar untuk mengukur penyimpangannya. Sebuah kisah
senantiasa disesuaikan, direvisi, diringkas atau bahkan dapat
diabaikan.183 Manakala kisah-kisah itu sudah tidak mampu lagi
melayani kepentingan yang mau diperjuangkan kisah-kisah itu
dibiarkan lenyap dengan sendirinya.
Selain tradisi lisan, cerita-cerita rakyat dan dongeng-
dongeng tentang kecerdikan orang atau binatang tertentu, atau
gambar-gambar yang melukiskan dunia yang terbalik turut
menyimpan pesan-pesan perlawanan terhadap dominasi di
baliknya.184
Sebagai sebuah subkultur yang terpisah dari budaya resmi
atau budaya dominan, seluruh budaya kelompok yang didominasi
Scott sarankan supaya dipahami sebagai bayangan dari upaya-
upaya menyusupkan transkrip tersembunyi atau perlawanan ke
dalam transkrip publik. Hal itu harus demikian karena budaya
suatu kelompok masyarakat tidak bisa dipisahkan dari lokasi sosial
kelompok tersebut.185 Lokasi tersebut melahirkan nilai-nilai dan
182 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 160-162. 183 Ibid., 161. 184 Ibid., 182-172. 185 Sudut pandang sosiologis, khususnya dari perspektif konflik,
melihat budaya sebagai produk dari konflik kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan kelompok. Tiap-tiap kelompok memiliki budayanya masing-masing dan terlibat dalam konflik memperebutkan pengaruh dalam
budaya nasional. Lihat William E. Johnson & Joseph V. Hickey, Society in
Focus: An Introduction to Sociology (Boston, MA.: Allyn & Bacon, 2012), 79.
Berbicara dengan cara yang berbeda, Stuart Hall turut menekankan lokasi
sosial dan ekspresi kultural seseorang. Ia mengatakan bahwa orang menulis dan bicara dari “a particular place and time, from a history and a culture
which is specific.” Ia kemudian melanjutkannya dengan memberi contoh dirinya sendiri sebagai orang yang menulis dan bicara dari suatu lokasi sosial
82 | BAB II KERANGKA TEORETIS
pengalaman-pengalaman yang khas, yang kemudian muncul
dalam bentuk atau ekspresi yang khas pula. Sebagai kelompok
yang kurang beruntung atau ditindas situasi semacam ini
kemudian mendorong terciptanya suatu gambaran hidup
tersendiri, yang berlawanan dengan apa yang mereka alami dalam
kehidupan sehari-hari. Gambaran-gambaran itu lalu diekspresikan
di dalam budaya yang diproduksi oleh kelompok tersebut.
Mengapa memilih budaya untuk mengekspresikan
perlawanan? Menurut Scott hal itu disebabkan oleh tidak
efektifnya pengawasan di wilayah budaya. Tidak seperti di
wilayah-wilayah politik dan ekonomi di mana kontrol kekuasaan
amat terasa dan dapat sangat efektif, dalam wilayah budaya
efektivitas kontrol rendah. Orang masih memiliki ruang yang
cukup leluasa untuk memutuskan apa yang harus diterima atau
tidak diterima, dan diteruskan atau dibiarkan sampai di sini saja.
Lalu, untuk membenarkan posisi sosialnya sebagai yang dominan,
kelompok dominan mempergunakan suatu strategi budaya. Untuk
mematahkan dominasi itu, budaya yang menjustifikasi
kekuasaannya harus diserang. Elemen-elemen budaya merupakan
sarana perlawanan yang ampuh karena hakikatnya sebagai sebuah
simbolisme dan metafor yang multivalen. Hal itu membuat pesan
perlawanan dapat diselubungkan, bahkan dalam baju budaya
dominan.186 Tikaman kepada dominasi dapat dilakukan tanpa
harus terlihat sebagai pembunuhan karena kemampuan simbol-
simbol budaya untuk membawakan makna yang majemuk.
Kalau penyelubungan dilakukan untuk membuat
perlawanan tidak kelihatan, pertanyaan yang kemudian muncul
adalah: masihkah ia dapat disebut sebagai sebuah perlawanan?
Dapatkah ia dikategorikan sebagai sebuah perjuangan politis yang
bermaksud untuk mengubah sesuatu? Dari perspektif perjuangan
kelas, dapatkah tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan
tertentu dari mana ia berasal. Lihat Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora,” Identity: Community, Culture, Difference, ed. J. Rutherford, (London:
Lawrence & Wishart, 1990), 222-223. 186 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 157-158.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 83 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
secara individual diterima dan dipahami sebagai cerminan
perjuangan kolektif kelas? Apalagi bila mengingat tiadanya
pemimpin dan ideologi yang mengarahkan dan menjadi basis
perlawanan? Menurut Scott, apa yang dilakukan tidak bisa
dikatakan tidak politis hanya gara-gara tidak diungkapkan secara
terang-terangan dan terbuka. Apa yang dilakukan oleh kelompok
yang didominasi tetap politis karena hal itu ditujukan untuk
mencapai perubahan sifat hubungan di antara kedua belah pihak,
dan kedua belah pihak dengan suatu hal yang diperebutkan.187
Dalam hal ini masalah penyelubungan lebih terkait dengan taktik
perjuangan. Ia tidak ada hubungannya dengan soal sifatnya yang
politis atau tidak.
Di pihak lain, perlawanan ini merupakan bagian dari
sebuah aksi kolektif karena aksi-aksi individu tidak bisa dilakukan
secara terus-menerus tanpa kerja sama diam-diam dengan
individu-individu lain.188 Ada mekanisme-mekanisme tertentu
yang dijalankan di dalam dan oleh kelompok untuk memastikan
bahwa tindakan individu demi individu sejalan dengan
kepentingan dan perjuangan kelompok. Mekanisme-mekanisme
itu pada dasarnya berisi insentif dan sanksi sosial. Di satu pihak
memberi upah kepada yang mengikuti norma-norma kelompok
dan di pihak lain menjatuhkan hukuman pada yang merusak
kepentingan kolektif.189
Teori perlawanan Scott menawarkan sesuatu yang lebih
baik dari tiga perspektif teori sebelumnya. Tiga teori sebelumnya
lebih banyak melihat persoalan asimilasi dari sudut pandang
kelompok dominan. Karenanya, ketiganya tidak memadai dalam
menjelaskan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok minoritas
terhadap berasimilasi. Kuatnya perspektif kelompok dominan,
apakah itu negara dan pemerintah atau masyarakat lokal penerima
para imigran, ditunjukkan secara amat jelas dalam teori-teori
187 Scott dalam The Copenhagen Journal of Asian Studies Vol. 4 (1989):
34. 188 Ibid., 36. 189 Idem, Domination and the Arts of Resistance, 128-135.
84 | BAB II KERANGKA TEORETIS
asimilasi klasik. Teori-teori asimilasi kontemporer coba
melengkapi kekurangan itu dengan perhatian serius kepada pelaku
asimilasi (agency), yang dapat memilih ke mana arah asimilasinya.
Namun demikian dua teori ini tidak memberi kerangka yang
cukup untuk memahami motif relasi kekuasaan di balik pilihan-
pilihan yang diambil. Lebih dari itu, seperti yang dipikirkan Scott,
interaksi kelompok minoritas dan kelompok dominan hanya
diamati dari satu sudut pandang, yaitu interaksi keduanya di atas
pentas. Tidak ada penetrasi ke dalam interioritas kelompok
minoritas untuk melaporkan sejauh mana asimilasi yang tampak
di depan adalah kenyataan yang juga sungguh terjadi di belakang.
Teori Scott lebih baik pertama-tama karena teori ini
memberikan definisi yang cukup luas tentang apa itu kelompok
dominan dan kelompok yang didominasi. Dalam kelompok
dominan ada negara, pemerintah, masyarakat dan orang-orang
yang berkuasa. Sementara dalam kelompok yang didominasi ada
petani, etnis minoritas, kelas sosial tertentu dan lain-lain.
Selanjutnya, teori ini lebih baik karena memberi perhatian besar
kepada cara-cara yang ditempuh oleh orang atau kelompok yang
didominasi dalam mensiasati situasi dan kondisi hidupnya. Titik
berangkatnya adalah dari kelompok yang didominasi dan cara-
cara mereka menghadapi operasi kekuasaan. Teori ini juga lebih
memadai karena menawarkan suatu kerangka yang cukup untuk
memahami pilihan-pilihan respons yang diambil oleh anggota-
anggota kelompok minoritas terhadap tekanan untuk berasimilasi.
Tindakan-tindakan mereka tidak saja dicermati dari posisi
berhadap-hadapan secara langsung dengan kelompok dominan
namun juga dari tempat di mana mereka jauh dari pengawasan
kelompok dominan.
Karena pertimbangan-pertimbangan ini maka perspektif
teori yang ditawarkan Scott akan dipergunakan dalam penelitian
ini. Meski demikian hasil-hasil penelitian tentang orang Tionghoa
Indonesia yang dilakukan dengan perspektif teori yang berbeda
akan diperhatikan dan dipergunakan sejauh dapat menolong
menjelaskan apa yang coba disajikan oleh penelitian ini.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 85 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998