Religion Sociology

24
 A. TERJEMAHAN Agama merupakan hal yang penting. Seperti halnya, agama memberikan serangkaian makna, nilai, dan mewarnai kehidupan. Beberapa hal, agama merupakan hasil pencarian atas kesalahan dan kegelisahan. Hal yang lainnya, agama merupakan penopang doa dalam berbagai kebutuhan dan ketidakmampuan dan telah mengindahkan waktu. Kajian sosiologi lembaga keagamaan dan  perilakau beragama disebabkan karena agama berada diantara lembaga-lembaga yanng utama d an berbagai kekuatan utama yang sendang mempengaruh i perilaku sosial. Sosiologi Agama Untuk mengetahui bahwa “agama” dapat menimbulkan berbagai  persoalan. Salah satu pengertian mengungkapkan “agama memiliki fokus  perhatian pada tujuan akhir manusia” (Yinger, 1963: 19). Definisi ini terlah termasuk kedalam definisi yang umum dan hal tersebut lebih mendekati ketidakbermaknaan. Definisi ini telah termasuk sistem-sistem kepercayaan sekuler yang sesungguhnya seperti nasionalism atau komunisme. Dibawah ini agar termasuk kategori sarang agama dan kajian agama mengenai berbagai batasan dan menjadikan hal tersebut makna berbagai kepercayaan yang terdapat di dalam masyarakat. Kita lebih suka menganjurkan definisi Johnstone (1975: 20) yang mana: “agama telah menemukan mengenai hal sistem kepercayaan dan mempraktekan seperti hal nya kelompok masyarakat ahli tafsir dan menanggapi terhadap apa yang mereka rasakan merupakan hal-hal yang gaib dan suci. “definisi ini sangat berguna untuk melakukan analisis sisiologi, semenjak hal itu

Transcript of Religion Sociology

A. TERJEMAHAN Agama merupakan hal yang penting. Seperti halnya, agama memberikan serangkaian makna, nilai, dan mewarnai kehidupan. Beberapa hal, agama

merupakan hasil pencarian atas kesalahan dan kegelisahan. Hal yang lainnya, agama merupakan penopang doa dalam berbagai kebutuhan dan ketidakmampuan dan telah mengindahkan waktu. Kajian sosiologi lembaga keagamaan dan perilakau beragama disebabkan karena agama berada diantara lembaga-lembaga yanng utama dan berbagai kekuatan utama yang sendang mempengaruhi perilaku sosial. Sosiologi Agama Untuk mengetahui bahwa agama dapat menimbulkan berbagai persoalan. Salah satu pengertian mengungkapkan agama memiliki fokus perhatian pada tujuan akhir manusia (Yinger, 1963: 19). Definisi ini terlah termasuk kedalam definisi yang umum dan hal tersebut lebih mendekati ketidakbermaknaan. Definisi ini telah termasuk sistem-sistem kepercayaan sekuler yang sesungguhnya seperti nasionalism atau komunisme. Dibawah ini agar termasuk kategori sarang agama dan kajian agama mengenai berbagai batasan dan menjadikan hal tersebut makna berbagai kepercayaan yang terdapat di dalam masyarakat. Kita lebih suka menganjurkan definisi Johnstone (1975: 20) yang mana: agama telah menemukan mengenai hal sistem kepercayaan dan mempraktekan seperti hal nya kelompok masyarakat ahli tafsir dan menanggapi terhadap apa yang mereka rasakan merupakan hal-hal yang gaib dan suci. definisi ini sangat berguna untuk melakukan analisis sisiologi, semenjak hal itu

menegaskan bahwa masyarakat, sifat dasar lembaga agama dan membedakan agama dari gerakan sekuler. Populasi pemeluk agama di dunia Agama Total Kriskten 951.058.100 Katolik Roma 542.531.000 Ortodok 84.803.200 Protestan 323.724.500 Yahudi 14.532.895 Islam 537.713.400 Zoroastrian 228.480 Shinto 61.156.000 Tao 29.284.100 Konfusian 175.688.850 Budha 244.800.300 Hindu 518.794.150 Sikh 12.000.000 Sumber: Buku Encyclopedia Britanika, 1977. Sosiologi memiliki kajian mengenai interaksi antara agama dan masyarakat. Seperti halnya pada semua kasus mengenai interaksi, hal ini dikemukakan dua cara dan kadang-kadang menjadi sulit untuk menentukan batasan antara agama dan bukan agama. Demikian pula, keadilan bangsa kita dan bentuk kehidupan keluarga kita telah dipengaruhi oleh ajaran agama Yahudi dan Kristen. Sementara ditangan orang lain, agama kita telah di pengaruhi oleh politik dan kehidupan ekonomi yang terjadi di masyarakat. (seperti gelar kenegarawanan, keterkaitan antar lembaga) Sosiologi tidak mencoba untuk menghakimi kebenaran akan kepercayaan setiap agama; namun sosiologi mencoba untuk mencari dampak sosial dari pelbagai keyakinan, dan untuk menemukan kecenderungan terhadap tipe-tipe keyakina agama tertentu dan kebiasaan untuk beberapa kondisi sosial yang mengalami penurunan perkembangaannya.

Pemujaan, Mazhab, Golongan dan Isi Perjanjian Lama Banyak kesederhanaan pada masyarakat agama yang menjadi adat istiadat. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat telah membuat pelembagaan agama menjadi sistem kepercayaan dan tatacara yang telah dibakukan, formal, dan memandang dengan segala kebenaran anggota masyarakat atas kebutuhan dan sesuatu yang dianggap penting. Namun yang paling sederhana, masyarkat pada umumnya tidak memiliki organisasi-organisasi keagamaan. Organisasi-organisasi keagamaan memiliki beberapa bentuk, yang mana sebagian besarnya merupakan hal yang lumrah. Pertama ialah surah dalam perjanjian lama, suatu gereja negara dengan memperoleh dukungan negara dan persetujuan dari tradisi budaya dasar masyarakat. Gereja Inggris di Britania dan gereja Lutheran di negara Scandinavia merupakan suatu bentuk-bentuk suasana gereja negara atau seperti yang tertuan dalam surat perjanjian lama. Dari berbagai bentuk semangat lebih bisa dilihat di Katolik Roma Spanyol dan Itali, dan paham Islam di Saudi Arabia, dan Budha di Tibet sebelum di kuasai oleh rezim komunis. Mazhab dan cara pemujaan merupakan dua kutub yang berlawanan dikarenakan surah dalam perjanjian lama. Kedua hal ini memungkinkan menjadi hal yang luar biasa dalam suatu konflik pada masyarakat luas dan keanggotaan masyarakat merupakan sesuatu yang lazim. Keduanya memiliki keinginan untuk meninggalkan pengawasan terhadap aktifitas saling mempengaruhi dari lembaga masyarakat lain. Pemujaan merupakan bagian kecil dari pemerintah, pendidikan, atau aktifitas ekonomi.

Kategori keempat, golongan agama, merupakan kelompok besar akan tetapi tidak melebihi suatu mayoritas bangsa. Seperti halnya mazhab, yang memiliki perhatian pada semua aspek kehidupan dan perilaku. Penyokong kebiasaan ini lebih didasari oleh kehidupan peribadi anak yang berbakat ketimbang dukungan dari pemerintah. Hal tersebut sampai pada saat sekaran ini masih terkategori minoritas, akan tetapi tidak akan banyak mendapatkan tekanan terhadap semua norma-norma masyarakat yang terdapat pada kitab perjanjian lama. Salah satu dampak ialah prinsip pencarian gereja untuk mengadaptasi perubahan pada kesadaran budaya. Beberapa proses adaptasi ini merupakan sangat dangkal, seperti kelelahan untuk lebih memperbaiki oleh kaum gereja, pendeta dan semua musik populer (suara rakyat, gitar, peradaban barat atau musik country).

B. RESENSI Sosiology agam merupakan kajian mengenai dampak dari proses beragama terhadap kehidupan masyarakt, baik itu dampak yang bersifat positif maupun negatif dan seberapa besar agama memiliki kemampuan untuk mempenaruhi budaya, melembagakan masyarakat agama. Proses pelembagaan keagamaan terajadi pada masyarakat agama yang sudah memiliki kadar kopleksitas yang tinggi bukan pada kehidupan beragama yang masih terkategori sederhana. Hal yang masih mempengaruhi dalam hal kehidupan beragama ialah mengenai aliran yang terdapat pada masyarakat agama atau orang sering menyebutnya dengan mazhab, kelompok keagamaan, isi dari perjanjian lama atau kitab suci pada masing-masing agama, dan kegerezaan. Sosioogi agama tidak meinlai benar atau salah suatu ajaran agama, melainkan menggambarkan bagaimana kehidupan adat istiadat yang dipengaruhi oleh agama.

C. HASIL PEMBAHASAN-ANALISIS Peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan akan membawa dampak psikologis di dalam kehidupan masyarakat. Munandar (1987) membagi beberapa dampak psikologis tersebut dalam 4 kategori, yaitu; cultural lag, cultural survival, cultural conflict dan cultural shock. 1. Cultural lag Cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda itu. secara singkat cultural lag dapat diartikan sebagai ketertinggalan kebudayaan. Selain itu, lag terjadi jika irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh yang lainnya. 2. Cultural Survival Istilah ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, pengertian lag dapat diperguanakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu: 1. Suatu jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan diterimannya penemuan tersebut. 2. adanya perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pikiran modern. Terjadinya cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi ada pula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.

3. Cultural Conflict Pertentangan kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya

kebudayaan. Hal ini terjadi akibat konflik langsung antar kebudayaan. Faktorfaktor yang menimbulkan konflik adalah keyakinan-keyakinan yang berbeda sehubungan dengan berbagai masalah aktivitas berbudaya. Konflik ini dapat terjadi di antara anggota-anggota kebudayaan yang satu dengan anggota-anggota kebudayaan yang lain. 4. Cultural Shock (goncangan Kebudayaan) Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Kalervo Oberg (1958) untuk menyatakan apa yang disebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang-orang yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tak disadari oleh korbannya. Hal ini akibat kecemasan karena orang itu kehilangan atau tak melihat lagi semua tanda dan lambang pergaulan sosial yang sudah dikenalnya dengan baik. Ada empat tahap yang membentuk siklus culture shock: 1. tahap inkubasi; kadang-kadang disebut tahap bulan madu, sebagai suatu pengalaman baru yang menarik. 2. tahap kritis; ditandai dengan suatu perasaan dendam, pada saat inilah terjadi korban culture shock. 3. tahap kesembuhan; korban mampu melampaui tahap kedua, hidup dengan damai. 4. tahap penyesuaian diri; sekarang orang tersebut sudah membanggakan sesuatu yang dilihatnya dan dirasakannya dalam kondisi yang baru itu; rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu. Penyesuaian diri antar budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern menurut Brislin, ialah faktor watak (traits) dan kecakapan (skill). Watak adalah segala tabiat yang membentuk keseluruhan kepribadian seseorang, yang dalam bahasa sehari-hari biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan, orang macam apa dia?

jawabannya: emosional, pemberani, bertanggung jawab, senang bergaul dan lainlain. Orang senang bergaul biasanya lebih mudah menyesuaikan diri. Kecakapan atau skill menyangkut segala sesuatu yang dapat dipelajari mengenai lingkungan budaya yang akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata krama, keadaan geografi, keadaan ekonomi, situasi politik dan sebagainya. Selain kedua faktor itu, juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya. Menurut Allport, yang dimaksud dengan sikap disini adalah kesiagaan mental atau saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh terhadap bagaimana seseorang

menanggapi segala macam obyek atau situasi yang dihadapinya. Contoh, sikap terusterang, berprasangka baik atau buruk, curiga, optimis, pesimis, skeptis, ekstrim, moderat, toleran, tepasliro dan sebagainya. Orang yang bersikap terus terang dan terbuka atau berprasangka baik akan lebih berhasil dalam menyesuaikan diri. Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antar budaya adalah: 1. besar-kecilnya perbedaan antara kebudayaan tempat asalnya dengan kebudayaan lingkungan yang dimasukinya. 2. pekerjaan yang dilakukannya, yaitu apakah pekerjaan yang dilakukannya itu dapat ditolerir dengan latar belakang pendidikannya atau pekerjaan sebelumnya. 3. suasana lingkungan tempat ia bekerja. Suasana lingkungan yang terbuka akan mempermudah seseorang untuk menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan suasana lingkungan yang tertutup. Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di luat negeri, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya banyak orang asing di sekitarnya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka, .ketika

seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi. Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki. Smith dan Bond juga menawarkan penjelasan yang lebih spesifik mengenai masalah yang timbul karena perpindahan tempat a/l: terpisah dari jaringan sebelumnya yang mendukung, perbedaan iklim, meningkatnya masalah kesehatan, perubahan sumber daya secara material dan teknis, kekurangan informasi tentang rutinitas sehari-hari, dan hal-hal lainnya. Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/ kejutan budaya/ culture shock. Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambing-lambang dalam pergaulan social. Misalnya kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaankebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber

tuduhan-tuduhan emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif. Misalnya, Orang-orang Amerika Latin yang malas Orang Indonesia yang anarkis, dsb. Pernah ada seorang Belanda dan beberapa orang Jepang yang mengalami kasus serupa ketika berkunjung ke Indonesia, mereka sama-sama mengalami diare akibat memakan masakan Indonesia. Mereka hanya bisa menerima makanan dari restorant-restorant berlisensi barat seperti Hartz, Pizza Huts, dll, atau restorant Jepang. Orang Belanda tersebut langsung melakukan stereotip bahwa makanan di Indonesia kurang higenis. Definisi Culture Shock Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologi bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan symbol yang familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon. Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilainilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. Contohnya ada seorang Australia yang mengunjungi sahabat penanya di Malaysia dan tinggal di rumah sahabatnya itu untuk sementara waktu, dia terkejut seputar kamar mandi dan toilet. Kmar mandi yang berupa ruangan sempit dengan makuk besar berisi air dingin dan sebuah gayung sementara toiletnya hanya berupa ruang

kecil dimana dipojokannya ada lubang kecil di dasar lantainya. Orang tersebut mengalami kesulitan karena dirinya terbiasa dengan kamar mandi modern, dengan bathtub dan shower serta air hangat. Ada orang Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Dia tidak terbiasa dengan pasangan homogen di Indonesia karena komunitas marginal tersebut lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak dianggap suatu perbuatan memalukan. Reaksi pada culture shock Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Rwekasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain: 1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah 3. rasa penolakan 4. gangguan lambung dan sakit kepala 5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama 6. rindu pada teman dan keluarga 7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik diri 9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka Tingkat-tingkat Culture shock (u-curve) Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, sebagian besar literatur menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve.

1. Fase optimistic, merupakan fase yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru 2. Masalah cultural, merupakan fase di mana maslah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten. 3. Fase recovery, merupakan fase dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan. 4. Fase penyesuaian, merupakan fase yang berada pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dan lain-lain). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U kurva. Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum, makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain, tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke kampung halaman.

Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan sebelumnya. Tahapan-tahapan tersebut adalah; 1. Tahap bulan madu berlangsung dalam beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru. Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa. 2. Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya, ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orangorangnya. 3. Pada tahap ini, pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitankesulitan yang dialami sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai menanggulanginya, ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya. 4. Pada tahap, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan dirindukan.

Budaya Mestizo adalah percampuran budaya, atau orang Indonesia lebih familiar dengan sebutan Indo, sebagai contoh dan keterangan sebagai berikut: Ada sementara pendapat mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan non-Melayu dan non-Jawa adalah kebudayaan yang dimiliki oleh ras lain, seperti China (ras Mongol), Eropa (ras Kaukasia), Afrika (ras Negro), dan sebagainya. Meskipun demikian di antara bangsa Indonesia sendiri ada beberapa sukubangsa yang tidak termasuk dalam wilayah kebudayaan Melayu dan wilayah kebudayaan Jawa, karena tidak memiliki ciri-ciri kedua tipe kebudayaan tersebut seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Orang Sunda dapat dijadikan salah satu contoh sukubangsa yang tidak dapat digolongkan dalam kebudayaan Melayu atau kebudayaan Jawa. Walaupun orang Sunda beragama Islam, yang merupakan salah satu ciri kebudayaan Melayu, namun mereka memiliki corak kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan Melayu atau Jawa. Demikian pula halnya dengan orang Lampung, mereka juga beragam Islam namun memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri. Beberapa pihak membedakan sukubangsa Lampung menjadi dua sub-sukubangsa, yakni orang Lampung yang beradat pepadun (Lampung Pepadun) dan orang Lampung yang beradat Saibatin atau Peminggir (Lampung Peminggir). Orang Lampung memiliki bahasa sendiri yang disebut behasou Lampung atau umung Lampung atau cewo Lampung. Bahasa ini masih dapat dibagi menjadi dua logat atau dialek, yaitu dialek Lampung Belalau dan dialek Lampung Abung; yang masing-masing dibedakan atas dasar pengucapan a dan o, sehingga biasanya juga disebut dialek a dan dialek o. Orang Lampung juga mempunyai aksara sendiri, yang biasa disebut surat Lampung. Selain itu di Indonesia terdapat kelompok sosial lain yang tidak secara langsung mengidentifikasi diri sebagai orang Melayu, akan tetapi menggunakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Sebagai contoh, di tanah Minahasa ada sejumlah sub-sukubangsa Minahasa yang masing-masing menggunakan dialek tersendiri. Sedangkan sebagai sarana komunikasi antar anggota sub-sukubangsa itu digunakan bahasa lain, yaitu bahasa Melayu Manado.

Ketiga bentuk kebudayaan yang ada di Indonesia, yaitu kebudayaan Melayu, Jawa, serta non-Melayu dan non-Jawa, sesungguhnya telah saling berinteraksi sejak dahulu kala, yaitu sejak adanya kontak antara kebudayaankebudayaan tersebut. Kepentingan-kepentingan hidup sosial, ekonomi, dan politik, telah menjadikan interaksi itu bervariasi, mulai dari sifatnya yang positif berupa kerjasama atau tolong-menolong sampai yang negatif berupa perselisihan dan peperangan. Masyarakat pendukung ketiga kebudayaan tersebut beriteraksi untuk kepentingan hidup yang paling azasi, bergaul untuk memenuhi hasrat sosial dan kebutuhan hidup mereka. Pergaulan antara individu-individu yang berlainan jenis biasanya berakhir dengan perkawinan. Dari perkawinan itu diperoleh keturunan yang disebut peranakan, misalnya peranakan China, peranakan India, peranakan Belanda (Indo), dan sebagainya. Tidak semua interaksi antara anggota-anggota ketiga kebudayaan tersebut menghasilkan pembauran. Akan tetapi adanya pembauran memang berawal dari adanya interaksi. Interaksi yang relatif banyak menghasilkan pembauran ialah dengan bangsa India dan Arab yang beragama Islam. Interaksi sosial yang berawal dari aktivitas perdagangan dan penyebaran agama, banyak menyebabkan perkawinan antara masyarakat setempat dengan para pendatang. Dari perkawinan itu menghasilkan keturunan yang menyatu dengan masyarakat pendukung ketiga kebudayaan tersebut. Interaksi sudah barang tentu membawa pengaruh kepada kebudayaan setempat yang telah ada sebelumnya, dalam hal ini kebudayaan Melayu dan kebudayaan Jawa. Perubahan kebudayaan asing yang dibawa ke Indonesia oleh bangsa asing, telah dapat diterima dan diserap oleh kebudayaan setempat (pribumi). Sejak dahulu kala sampai saat ini banyak bangsa asing yang datang ke Indonesia, dengan demikian telah terjadi kontak kebudayaan sejak berabad-abad lamanya. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia misalnya, lebih mudah bergaul dengan penduduk pribumi Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya persamaan latar belakang keagamaan, yaitu agama Islam, yang dibawa para pedagang bangsa

Gujarat dari India pada sekitar abad ke-15. Ajaran agama Islam menjadi efektif di Indonesia setelah melalui proses penyesuaian dengan budaya lokal Pengaruh kebudayaan Arab yang sangat menonjol di Indonesia dapat dilihat dari bentuk bangunan mesjid, penggunaan kata-kata dari bahasa Arab, serta dalam berbagai tradisi atau upacara adat yang bernafaskan agama Islam. Kontak kebudayaan dengan bangsa India yang secara luas dapat dirasakan ialah berkembangnya kebudayaan Hindu dan Buddka di Indonesia. Bukti adanya kontak dengan kebudayaan India adalah adanya peninggalan sejarah purbakala, antara lain candi Prambanan dan Borobudur yang terkenal itu. Sastra suci Ramayana dan Mahabharata yang didasarkan pada agama Hindu mengilhami seniman-seniman Indonesia menciptakan kreasi wayang purwa yang tumbuh dan berkembang tidak hanya di Jawa, tapi dikenal hampir di seluruh Nusantara. Demikian pula dalam kehidupan kemasyarakatan, sistem kasta di India diterapkan dalam kebudayaan Bali, terutama untuk mengatur pembagian kerja, serta sistem pewarisan kedudukan dan peranan sosial secara geneologis. Keberadaan bangsa-bangsa asing di Indonesia menambah keanekaragaman kebudayaan yang ada. Pada umumnya mereka berupaya untuk membaur dengan orang Indonesia melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengadakan perkawinan campur. Hasil perkawinan campur inilah menurunkan bangsa atau suku-bangsa campuran, seperti orang Mestizo di propinsi Timor Timur, orang China peranakan, atau orang Indo. Meskipun demikian mereka tetap merasa sebagai bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan di bawah semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Studi kasus Paket BOM buku yang sedang marak dewasa ini, membuat ketakutan yang berlebihan di kalangan masyarakat. Hal ini dapat di saksikan dalam pemberitaan di media massa yang paling kini ialah kedatangan paket jamu pelangsing yang di kira masyarakat sebagai paket BOM. Perasaan aman yang harus dimiliki oleh masyarakat merupakan kebutuhan dasar yang harus di penuhi oleh alat

kelengkapan negara baik itu POLRI yang berwenang untuk melaksanakan keamanan dan ketertiban masyarakat maupun TNI yang berwenang untuk menjaga kedaulatan negara terhadap ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar negeri. Kewenangan untuk menanggulangi aksi teror yang terjadi di Indonesia sering kali terjadi tumpang tindih, apakah di tanggulangi POLRI ataukah TNI. Hal tersebut akan mudah teridentifikasi dari pengklasifikasian kondisi darurat, sebagai berikut; pertama, ada yang disebut dengan tertib sipil; yang mana kondisi masyarakat Indonesia mentaati segala ketentuan yang berlaku dalam negara., kedua, darurat sipil; manakala terjadinya kerusuhan antara masyarakat dengan masyarakat atau masyarakat dengan pemerintah baik terkait antara kebijakan pemerintah maupun keinginan dari masyarakat namun kerusuhan ini tidak menggunakan senjata api., ketiga, darurat militer; ialah suatu gerakan yang sudah bersenjata dan mengancam keutuhan dan kedaulatan negara., keempat, Perang; yang sudah jelas mengumandangkan peperangan di antara kedua belah pihak, baik yang datangnya dari negara lain atau bangsa sendiri yang ingin melakukan revolusi atau kudeta. Pada pengklasifikasian dan perubahan dari tertib sipil ke darurat sipil masing tanggung jawab nya POLRI sebagai fungsi penjaga keamanan dan ketertiban, sedangkan pada kondisi peralihan dari darurat sipil ke darurat militer haruslah ada kerjasama diantara kedua belah pihak baik dari POLRI yang di tugaskan pada densus 88 maupun pasukan TNI anti teror. Sehingga terjadinya

sinergi kedua belah pihak dan dapat mempercepat penanggulangan teror BOM yang marak di negeri ini. Akasi terorisme yang terjadi dewasa ini jelas pada kondisi diantara darurat sipil dan darurat militer. Hal tersebut dapat dilihat dari indikasi aktor yang berperan, antara lain: pertama, terorganisir; yang mana jaringan terorisme yang ada di Indonesia di indikasikan memiliki keterkaitan dengan terorisme antar negara atau dikenal dengan istilah trans nasional actor., kedua, terstruktur; memiliki struktur organisasi dari piminan wilayah, pengrekrut anggota, pelatihan aksi bom, dan eksekutor bom., Ketiga, bersenjata; dapat di buktikan dengan perlengkapan mereka selain bom juga dipersenjatai oleh senjata laras pendek dan panjang dalam rangka mengamankan kelompok dari aksi penangkapan oleh aparat., Keempat: menguasai wilayah; yang terbagi dalam daerah-daerah kekuasaan antar negara, regional, dan internasional. Pola perubahan aksi yang dilakukan oleh teroris sekarang ini beda halnya dengan apa yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sejak awal kejadian aksi Imam Samudra dengan Bom Bali, selalu ada pengantin untuk melakukan bom bunuh diri yang memiliki daya ledak cukup tinggi dan target sasarannya masyarakat yang berada pada objek sasaran. Aksi tersebut bisa menimbulkan korban siapa saja yang dengan sengaja atau tidak sengaja mendatangi tempat yang sudah ditargetkan oleh sang pelaku teror, sedangkan pada saat sekarang aksi teror dengan menggunakan Bom Buku yang mana tidak terdapatnya korban jiwa dari si pelaku bom buku. namun, target sasaran sekarang ini lebih di titik tekankan pada aktor-aktor yang dapat mempengaruhi kebijakan atau perilaku masyarakat.

Dengan melihat berbagai fenomena diatas maka pemerintah sebagai pamangku kebijakan, harus melakukan langkah-langkah strategis baik prepentif, represif, dan kuratif dalam penanggulangan aksi tertor. Antara lain: pertama, pendidikan nilai dan pendidikan agama harus mendapatkan perhatian serius dalam Ujian Nasional hal ini akan berdampak pada pemahaman generasi muda mengenai pemaknaan jihad dalam konteks mengangkat senjata dan jihad dalam konteks bukan mengangkat senjata, karena perilaku siswa akan mempelajari berbagai materi pelajaran manakala diujikan dalam ujian nasional., kedua, kerjasama yang lebih intensif antara BIN, POLRI, dan TNI dalam menangani aksi terorisme., Ketiga, langkah penanggulangan traumatik dari pasca aksi terorisme. Sehingga kesan bangsa Indonesia sebagai negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam tidak di identikkan dengan aksi kekerasan, melainkan identik dengan pemahan dan sikap yang islami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kewajiban sebagai setiap warga negara tidak hanya dituntut untuk membela terhadap negara apa yang termuat dalam pasal 27 ayat (3), pasal 30 ayat (1), melainkan sekaligus menjaga nilainilai keagamaan yang direfresentatifkan dengan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu setiap warga negara memiliki kewajiban untuk mentaati kedaulatan negara dan memiliki sikap mental yang tunduk pada kedaulatan Tuhan sebagai refresentatif kehidupan beragama. Wallohualam bissawab.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1. Pendektan dari pelaku bom, pesan yang ingin disampaikan kalau dilihat dari target sasarannya menginginkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang lebih mengutamakan nilai-nilai keislaman yang baik, sehingga ajaran agama dijadikan sebagai panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun mereka melakukan apresiasi yang kurang tepat. 2. Pendekatan dari target bom, yang harus dilakukan selain melaporkan kepada pihak berwajib sebagiknya melakukan introspeksi internal, atas berbagai karya yang telah dihasilkan selama ini yang memiliki ketersinggungan dengan nilai-nilai keagamaan. Rekomendasi 1. Agama sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, anggapan bahwa nasionalisme jauh dari nilai-nilai keagamaan harus dikikis sehingga tidak menimbulkan reaksi radikalisasi. 2. Deradikalisasi ajaran agama bisa dilakukan dengan penanaman nilai-nilai keagamaan yang holistik oleh pemerintah terhadap generasi muda, sehingga tida menjadi korban-korban aksi kekerasan.

DAFTAR BACAAN

Berger, P. 1978. Halting the Trend Toward Secularism, Intellect. Gook, C, and Robert N (eds). 1976. The new Religious Consciousness,. Berkley: University of California Press. Kelley, Dean M. 1979. Why Conservative Churches are growing, Journal for the Scientific Study of Religion. Horton, Paul B dan Hunt, Chester I. 2011. Sociology. Western Michigan University Lampe, Philip E. 1975. The Acculturation of Mexican Americans in Public adan Parichial Schools, Sociological Analysis. Mexican-Americans Malihah, E. 2011. Studi Masyarakat Indonesia. Bandung. Mayrl, William W. 1978. The Christian-Marxian Encounter: From Dialogue to Detente, Sociological Analysis.

Newman, William. 1974. The Social Meaning of Religion, Rand McNally & Company. Chicago.

UUD 45

PENGANTAR

ABSTRAK Agama mengkaji mengenai kehidupan akhir manusia dan mencoba menjauhkan dari ajaran-ajaran yang dapat menjauhkan seseorang dari nilai-nilai keagamaan seperti paham nasionalisme dan komunisme. Paham komunisme lebih bisa diterima sebagai suatu konsepsi yang sekuler, akan tetapi berbeda halnya

dengan paham nasionalisme khusus mengenai kasus Indonesia. Munculnya nasionalisme di Indonesia melebihi kemunculan kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Karena bangsa Indonesia bisa merdeka karena adanya semangat ingin menjadi bangsa yang merdeka seperti yang tertuan pada naskah pembukaan UUD 45. Semangan kebangsaan sebagai bangsa Indonesia pada masa pergerakan revolusi banyak di pengaruhi oleh tokoh-tokoh agama, terutama agama Islam dengan di tandai kemunculan Sarekan Islam (SI) walaupun pada masa pergerakan mengalami perpecahan antara SI merah dan SI hijau. Nasionalisme di Indonesia ialah nasionalisme yang syarat dengan nilainilai ketuhanan bukan nasionalisme yang sekuler atau semangat kebangsaan yang jauh dari nilai nilai agama. Karena terdapatnya pehaman yang menggambarkan bahwa nilai nilai nasionalisme jauh dari nilai agama memicu gerakan-gerakan garis keras dari kalangan agama. Seperti halnya gerakan NII dan aksi terorisme.

SOSIOLOGI AGAMA

Oleh: MAFTUHIN

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2011