Relasi Gender dalam Rumah Tangga Polisi Wanita: Studi ...
Transcript of Relasi Gender dalam Rumah Tangga Polisi Wanita: Studi ...
1
Universitas Indonesia
Relasi Gender dalam Rumah Tangga Polisi Wanita: Studi Kasus dalam Tiga
Rumah Tangga Polwan King Buana
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini membahas relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai polisi wanita. Melalui metode wawancara mendalam saya berusaha menangkap segala hal yang terjadi di antara istri dan suami di dalam rumah saat mengambil keputusan, sehingga saya dapat mengatakan bahwa relasi gender di dalam rumah tangga para polwan yang menjadi subjek penelitian saya masih timpang. Status atau kedudukan polwan masih berada di bawah sang suami hal ini terlihat dari pemegang kendali power di dalam rumah tangga yang selalu dipegang oleh suami, sehingga tulisan ini akan menunjukkan bahwa relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga ternyata tidak sejajar.
Kata kunci: polwan, relasi gender, status, power, rumah tangga
Gender Relations in the Domestic Police Women : Case Studies in Three Households Policewomen
Abstract
This thesis discusses the gender relations in the household of women who work as police woman. Through in-depth interviews I tried to capture everything that happens in between wife and husband in the house when taking a decision, so I can say that gender relations in the household of the policewoman who is the subject of my research is still lame. Status or position of policewomen still be under the husband holder as seen from the control power in the household is always held by the husband, so that this paper will show that the gender relations in the household was not aligned. Keywords: polwan, gender relation, status, power, household Pendahuluan
Di Indonesia sekarang, negara sangat mendukung kebebasan perempuan untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka dapat turut aktif membangun bangsa di berbagai
bidang. Hal ini nampak dengan adanya aturan negara yang mendukung kesetaraan perempuan di
dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan yang berbunyi:
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
2
Universitas Indonesia
“Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)1 yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.”
Melalui aturan peraturan perundang-undangan tersebut perempuan saat ini bisa bekerja di bidang
apa pun, tidak hanya di dalam rumah saja mengurusi pekerjaan domestik.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 (belum ada data terbaru mengenai
ketenagakerjaan), dari keseluruhan jumlah angkatan kerja di Indonesia yang berjumlah 107,7 juta
jiwa terdapat jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 104,9 juta jiwa yang terdiri dari 66,8 juta
orang laki-laki dan 38,1 juta orang perempuan. Di dalam data BPS tersebut juga tercatat pencari
kerja perempuan yang berjumlah 1,4 juta jiwa. Di dalam angka 38,1 juta tersebut, perempuan
bekerja dengan berbagai macam profesi yang dahulu hanya digeluti oleh laki-laki. Salah satu
profesi yang digeluti oleh perempuan pada jaman emansipasi, yaitu menjadi polisi.
Hingga akhir tahun 2012, tercatat ada sekitar 13.200 polwan2 dari jumlah total 398 ribu
polisi di Indonesia. Hal itu berarti jumlah polwan hanya sekitar 3,6 persen dari jumlah polisi
yang ada di Indonesia3. Jumlah ini masih lebih kecil ketimbang jumlah perempuan yang memilih
pekerjaan sebagai tentara di Indonesia. Saat ini jumlah prajurit perempuan di TNI tercatat
sebanyak 10 hingga 15 persen dari jumlah keseluruhan prajurit TNI. Letkol Adm Yudhiana Dwi
mengatakan:
“dari seluruh angkatan, baik udara, laut ataupun darat, jumlah TNI perempuan di seluruh Indonesia hanya 10-15 persen dari jumlah TNI pria. Di (TNI) Angkatan Udara jumlah personel 34 ribu, (TNI) Angkatan Laut 35 ribu dan di (TNI) Angkatan Darat 35 ribu. Padahal, layaknya jumlah TNI perempuan sebesar 30 persen dari total jumlah TNI”4.
1 Lihat lampiran 1. 2 Selanjutnya saya akan menggunakan istilah ‘polwan’ untuk menyebut perempuan yang bekerja sebagai polisi perempuan. 3 Lihat http://edsus.tempo.co/konten-berita/metro_sudut/2013/08/31/509087/292/Jumlah-Polisi-Wanita-Hanya-36-Persen (Diakses pada 29 Oktober 2013). 4 Lihat http://www.tni.mil.id/view-4932-jumlah+prajurit+wanita+tni+belum+ideal.html (diakses pada 29 Oktober 2013).
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
3
Universitas Indonesia
Melihat data di atas maka kita semua sebaiknya menepis stereotipe yang sering melekat pada diri
perempuan yang biasanya dikaitkan dengan sifat lembut, pemalu, dan cengeng.5 Dalam kasus
perempuan yang memilih profesi sebagai polwan, jelas stereotipe tersebut tidak sesuai. Polwan
jelas memiliki kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya, mirip seperti
stereotipe yang melekat pada diri laki-laki. Di dalam kesatuannya, para polwan mendapatkan
doktrin bahwa mereka bukan perempuan biasa (lembut, pemalu, dan cengeng) yang dimaksudkan
untuk menambah rasa percaya diri setiap anggotanya.
“Doktrin bahwa kita itu bukan perempuan biasa ya. Pasti lebih dari perempuan-perempuan lain, jadi itu sebenernya hanya untuk meningkatkan percaya diri kita aja ya, mungkin gitu aja sih...” (Wawancara dengan Ibu Nia Kusumawati, Bekasi, 22 Desember 2013)
Selain itu latihan yang para anggota polwan dapatkan di Sekolah Polwan itu sama seperti laki-
laki sehingga semakin membuat anggota polwan merasa diri mereka itu setara atau sejajar dengan
laki-laki.
“..Kita sebagai polwan kan waktu dilatih dulu juga sama seperti laki-laki nggak dibeda-bedakan, kita lari-lari juga, merangkak-rangkak di lumpur juga, ya push up juga, jadi dari situ aja udah keliatan kalau kita itu bukan perempuan biasa.” (Wawancara dengan Ibu Nia Kusumawati, Bekasi, 22 Desember 2013)
Bagi polwan yang sudah menikah ia akan memiliki status dan peran ganda. Ia akan
menjalankan statusnya di rumah tangga sebagai seorang istri dan ibu. Sehingga peran yang harus
dijalankan yaitu membina hubungan dengan suami dan membesarkan anak-anak di rumah.
Doktrin dan latihan tersebut jelas akan menambah rasa percaya diri para polwan yang kemudian
akan meresap dan membentuk karakter tertentu di dalam diri mereka. Karakter ini kemungkinan
akan mempengaruhi sikap dan pandangan mereka terhadap laki-laki. Bagi polwan yang sudah
menikah atau yang sudah berumah tangga dapat diperkirakan bahwa karakter yang telah
terbentuk dari doktrin beserta latihan-latihan yang telah mereka dapatkan di dalam kesatuan
kepolisian nantinya akan terbawa ke dalam rumah tangganya, lalu akan mempengaruhi status
atau kedudukan dan peran mereka sebagai perempuan di dalam kehidupan berumah tangga. Hal
ini yang menggelitik saya, apakah doktrin dan latihan yang ditanamkan kedalam diri para
5 http://www.koalisiperempuan.or.id/stereotip-gender/ (Diakses pada 22 April 2014)
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
4
Universitas Indonesia
anggota polwan ini tetap terbawa dan diterapkan oleh para polwan di dalam rumah tangga?
Apakah polwan tetap merasa superior di dalam rumah tangga sama seperti ia merasakannya
ketika berada di dalam kesatuan dan di dunia kerjanya?
Belum banyak kajian tentang polwan yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai bidang.
Sepengetahuan saya, saat ini hanya ada lima penelitian tentang polwan yang dilakukan oleh ahli
atau mahasiswa. Nurkemala (1992) menyoroti strategi yang dilakukan polisi perempuan untuk
menjalankan peran ganda agar harapan-harapannya dapat tercapai. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa bila seorang polisi perempuan sedang ada di dalam rumah tangga, maka ia
akan menggunakan waktunya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di sektor domestik. Apabila
polisi perempuan tersebut tidak dapat mengatasinya, mereka akan minta bantuan dan pengertian
dari suami dan anak-anaknya Hasil penelitian Nurkemala juga menunjukkan bahwa polwan
kadangkala meminta bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.
Orang ketiga ini biasanya adalah orang tua (pihak suami atau istri), kerabat dari pihak suami atau
istri, dan pembantu rumah tangga atau baby sitter. Strategi yang dilakukan oleh polwan dalam
peningkatan karier secara formal adalah dengan melaksanakan semua kewajiban sebaik-baiknya.
Sementara itu, secara informal para polwan melakukan pendekatan kepada atasan dan pihak-
pihak yang bersangkutan untuk melancarkan kenaikan jenjangnya. Berbeda dengan Nurkemala,
peneliti lain yaitu Putri (2013) mengkaji pola asuh anak oleh polwan di Surabaya. Penelitian ini
memberikan gambaran mengenai kehidupan polwan dalam mengasuh dan membesarkan anak di
dalam rumah tangga. Peneliti lainnya yaitu Suryani (2000) menyoroti soal perbandingan
kesejahteraan psikologis di dalam diri Bintara Polisi Perempuan dengan guru perempuan Sekolah
Dasar di daerah DKI Jakarta dan Tangerang. Dalam penelitiannya Suryani menunjukkan bahwa
rata-rata Bintara Polisi Perempuan dan guru SD perempuan memiliki kesejahteraan psikologis
yang memadai dan tidak ada perbedaan profil kesejahteraan psikologis perempuan yang bekerja
sebagai polisi perempuan dan guru SD di daerah sekitar DKI Jakarta dan Tangerang. Peneliti
keempat dan kelima adalah Ruswiyanti (1999) dan Santi (1991) yang memfokuskan penelitian
mereka pada karir seorang polwan di dalam dunia laki-laki. Hasil penelitian keduanya
menunjukkan bahwa polwan yang bekerja di dalam organisasi kepolisian yang mayoritasnya
dikuasai oleh laki-laki, terkadang menemui hambatan dalam mencapai kesuksesan karirnya.
Ruswiyanti (1999) menunjukkan adanya beberapa aturan yang berlaku di dalam kepolisian
seperti pasal 6 PP No.6 tahun 1990 dan turunannya yaitu pasal 16 Permen Hankam No. 1 tahun
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
5
Universitas Indonesia
1993 yang mempertimbangkan pemberian tugas dan jabatan kepada polisi perempuan.
Implementasi dari aturan tersebut adalah menempatkan polisi perempuan di bidang administratif
dan pembinaan yang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan karena secara stereotipe
perempuanlah yang dianggap memiliki sifat demikian. Selain itu, ada pembatasan untuk
memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan bagi polwan yang memiliki anak lebih dari dua
orang, setelah dikeluarkannya Surat Telegram Pangab No. ST/208/1997.
Saya mengamati ada beberapa hal yang kurang dibahas di dalam penelitian-penelitian
terdahulu tentang polwan. Penelitian Nurkemala kurang menyoroti relasi gender yang terjadi di
dalam rumah tangga polwan yang bersangkutan sehingga tidak terlihat pihak yang dominan
dalam mengambil keputusan maupun tindakan di dalam rumah tangga. Peneliti hanya
memberikan gambaran mengenai strategi polwan dalam mengatasi peran ganda. Nurkemala juga
tidak memisahkan peran perempuan dalam rumah tangga menjadi peran seorang ibu dan istri di
dalam kehidupan rumah tangga. Ia cenderung mereduksi peran-peran tersebut menjadi satu buah
peran, yaitu peran wanita di dalam rumah tangga (sektor domestik). Sementara pada Putri (2013)
hal serupa juga nampak, relasi gender kurang begitu tersentuh, karena peneliti hanya membahas
pola asuh polwan terhadap anak. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani,
penelitian hanya berfokus pada kesejahteraan psikologis si polwan dalam menjalankan tugasnya
di lapangan, tidak ada hubungan relasi gender di dalam rumah tangga yang dipaparkan olehnya.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruswiyanti dan Santi yang berfokus kepada
ketidakadilan gender yang diterima oleh polwan di lingkungan kerja, namun mereka tidak
menyoroti permasalahan gender di dalam rumah tangga si polisi perempuan.
Pada kelima penelitian terdahulu hubungan ‘power’ (kuasa) antara suami dan istri dalam
rumah tangga tidak tereksplorasi secara mendalam. Untuk melihat hubungan power yang terjadi
di dalam rumah tangga polwan, saya menganggap perlu melihat peran perempuan dan laki-laki
di dalam rumah tangga. Pada penelitian terdahulu hanya peran perempuan sebagai ibu yang
diamati, peran perempuan sebagai istri tidak terlalu dipaparkan secara mendalam.Padahal peran
perempuan sebagai istri dan ibu tidak dapat disamakan begitu saja. Peran laki-laki bahkan tidak
pernah dikaji sama sekali pada penelitian-penelitian tentang polwan yang ada sebelumnya.
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
6
Universitas Indonesia
Saya menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji relasi gender yang ada di dalam
rumah tangga polisi perempuan karena seperti yang dikatakan oleh Bogdan dan Taylor (1975:5),
pendekatan ini mengkaji sebuah fenomena yang diteliti secara holistik dan utuh. Selain itu tujuan
dari digunakannya metode penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial,
kejadian, peran, kelompok atau interaksi. (Locke, Spirduso, & Silverman,1987 dalam Cresswell,
2003:198). Penelitian ini berlangsung selama enam bulan, dari Juni hingga Desember 2013 di
wilayah Bekasi. Enam bulan penelitian ini termasuk di dalamnya mencari informan yang sesuai
dengan kriteria yang telah saya tentukan. Pada penelitian ini, saya menetapkan tiga pasangan
suami – istri yang berasal dari tiga rumah tangga berbeda sebagai subjek penelitian. Kriteria
informan penelitian ini adalah: (1) pasangan suami – istri yang berprofesi sebagai polisi, namun
pangkat suaminya lebih tinggi daripada istrinya; (2) pasangan suami – istri yang yang berprofesi
sebagai polisi, namun pangkat istrinya dalam kepolisian lebih tinggi dari pangkat suaminya. (3)
pasangan suami – istri dalam rumah tangga yang perempuannya berprofesi sebagai polwan dan
laki-lakinya merupakan warga sipil biasa; Perbandingan ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran menyeluruh atas keadaan status perempuan di dalam rumah tangga saat ini (jaman
ketika perempuan sudah mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki). Miles & Huberman
mengatakan bahwa layaknya proses investigasi di mana peneliti secara gradual menarik
kesimpulan dari fenomena sosial dengan melihat perbedaan, membandingkan, meniru, membuat
daftar serta klasifikasi dari sebuah objek penelitian. (Miles & Huberman dalam Cresswell, 2003 :
198). Melalui wawancara mendalam saya memperoleh data primer langsung dari informan. Saya
menggunakan pedoman wawancara yang berisi garis besar informasi yang ingin diperoleh. Saya
menanyakan para informan berbagai hal terkait dengan: latar belakang dan identitas mereka,
kegiatan yang biasanya dilakukan ketika berada di dalam rumah, serta proses pengambilan
keputusan di dalam rumah tangga.
Seks dan Gender
Seks dan gender adalah konsep yang berbeda. Benokraitis (1996: 80) menyatakan bahwa “Sex is
the group of biological characteristics with which we are born – chromosomal, anatomical,
hormonal, and other physical and physiological attributes – that determine whether we are male
or female.” Seks adalah karakteristik biologis semata yang membedakan manusia menjadi
perempuan dan laki-laki, sedangkan gender adalah ketika manusia menjadi seorang perempuan
atau laki-laki itu ditentukan dari suatu kebudayaan di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
7
Universitas Indonesia
demikian untuk menjadi seorang perempuan dan berkelakuan seperti perempuan manusia harus
belajar dari kebudayaan di mana ia dibesarkan, begitu juga untuk menjadi seorang laki-laki dan
bertindak layaknya laki-laki. Dari sini maka muncul sifat feminim yang menurut banyak
kebudayaan, perempuan yang sebaiknya memiliki sifat tersebut dan sifat maskulin yang
seharusnya ada dan melekat pada seorang laki-laki. Seperti yang diungkapkan Benokraitis (1996:
80) “Refers to learned attitudes and behaviors that characterize people of one sex or the other;
gender is based on social and cultural expectations rather than on physical qualities...We learn
either the masculine or the feminine gender”. Perbedaan konsep tersebut akhirnya memberi
pemahaman mengenai perempuan yang pada umumnya selalu lekat dengan stereotipe keibuan,
sabar, lemah-lembut, pandai memasak. Ada anggapan di masyarakat bahwa semakin feminim
seorang perempuan, semakin baiklah perempuan tersebut. Sementara laki-laki pada umumnya
harus bersifat maskulin, bila tidak mau dianggap seperti perempuan. Sifat maskulin pada
umumnya yaitu laki-laki harus gagah, berani, dan tidak banyak mengeluh. Sifat maskulin dan
feminin bukan merupakan bawaan dari jenis kelamin manusia seperti yang Benokraitis katakan,
melainkan adalah bentukan kultural dan sosial.
Perbedaan gender mengakibatkan adanya peran gender. Peran gender adalah “Distinctive
patterns of attitudes, behaviors, and activities that society prescribes for females and males”
(Benokraitis, 1996: 80). Di dalam peran gender tidak lagi kita jumpai hanya sekedar stereotipe
yang melekat pada perempuan dan laki-laki, namun sudah kita jumpai hal yang lebih konkrit
ketika peran tersebut sudah diatur, perempuan harus menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang
perempuan di dalam suatu masyarakat, demikian juga dengan seorang laki-laki.
Salah satu bentuk peran gender yang sering dijumpai dikebanyakan kebudayaan menurut
Benokraitis (1996) adalah traditional gender roles. Dalam traditional gender roles biasanya
suami atau ayah sering menjadi instrumental role players, ketika ia harus menjadi “real men”. A
“real men” is a procreator, a protector, and provider.” Procreator adalah pemberi keturunan,
protector adalah pelindung anggota keluarga, dan provider adalah penyedia atau pemberi layanan
ekonomi dan berbagai macam layanan lainnya, yang menuntut seorang laki-laki harus multi
talenta sehingga dapat mengerjakan segala hal seorang diri (Benokraitis, 1996: 85). Sementara
istri atau ibu akan menjadi expressive role players ketika ia memiliki kewajiban untuk
memberikan dukungan emosional dan memelihara kualitas yang mempertahankan keutuhan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
8
Universitas Indonesia
keluarga dan memberikan dukungan untuk ayah/suami. “Provide the emotional support and
nuturing qualities that sustain the family unit and support the father/husband”. (Benokraitis,
1996: 86)
Keluarga dan Rumah Tangga
Peran gender tampak nyata di dalam hubungan antara pasangan perempuan dan laki-laki yang
sudah melangsungkan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah pengatur kelakuan manusia
yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya yang berupa kelakuan-kelakuan seksual
terutama persetubuhan (Koentjaraningrat, 1977: 90). Melalui perkawinan antara perempuan dan
laki-laki, maka akan terbentuk sebuah kesatuan sosial yang disebut rumah tangga. Kesatuan ini
mengurus ekonomi rumah tangga sebagai kesatuan. Suatu rumah tangga sering terdiri dari satu
keluarga inti saja, tetapi juga bisa terdiri dari lebih dari satu, misalnya dua sampai tiga keluarga
inti. Pada banyak suku bangsa istilah untuk ‘rumah tangga’ adalah ‘dapur’(Koentjaraningrat,
1977:104). Hal senada juga diungkapkan oleh Bender (1967) perbedaan empiris antara keluarga
dengan rumah tangga adalah bahwa dalam sejumlah masyarakat, keluarga belum tentu
membentuk suatu rumah tangga, dan sebuah rumah tangga juga belum tentu terdiri dari keluarga
(Bender, 1967: 493). Pasangan perempuan dan laki-laki yang telah melaksanakan perkawinan
biasanya juga akan memilih tempat menetap atau tinggal. Ada beberapa adat tinggal yang
dijalankan oleh pasangan setelah menikah, diantaranya: utrolokal, adat yang memberi
kemerdekaan kepada pengantin baru untuk menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat
suami atau di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri; adat virilokal, yang menentukan
pengantin baru harus menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami; adat uxorilokal,
yang menentukan pengantin baru harus menetap di sekitar pusat kediaman kerabat istri; adat
bilokal, yang mewajibkan pengantin baru untuk tinggal bergantian, pada satu masa tertentu
disekitar pusat kediaman kerabat suami, pada waktu lain tinggal di sekitar kediaman kaum
kerabat istri; adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal di tempat yang
baru, tidak mengelompok di sekitar tempat kediaman kaum kerabat istri maupun suami; adat
avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru wajib tinggal di sekitar tempat kediaman
saudara laki-laki ibu dari suami; adat natalokal, yang mengharuskan pengantin baru untuk tinggal
terpisah, suami tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan istri tinggal di
sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula (Koentjaraningrat, 1977:102-103)
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
9
Universitas Indonesia
Perkawinan juga akan menghasilkan suatu kelompok kekerabatan yang disebut keluarga
inti. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak mereka yang
belum kawin (Koentjaraningrat, 1977:105). Pengertian keluarga inti adalah kumpulan dua orang
atau lebih ketika mereka dihubungkan melalui darah, pernikahan, atau adopsi, dan merawat serta
membesarkan anak (Benokraitis, 1996: 3). Adapun para ahli sosial sepakat mendefinisikan
keluarga inti sebagai ekspresi seksual atau hubungan orang tua dan anak di saat: (1) orang hidup
bersama dengan komitmen, dengan intim, memiliki hubungan inter personal; (2) anggotanya
melihat identitas mereka sangat penting dan terikat dengan grup; dan (3) grup memiliki
identitasnya sendiri. (Chilman dkk, 1988:18). Keluarga inti juga memiliki empat fungsi yaitu,
sebagai legitimizing sexual activity, procreation and soacialization of children, emotional
support, social placement and social roles (Benokraitis, 1996: 4-6). Kempat fungsi tersebut
memang banyak dijumpai disetiap keluarga, namun dengan seiring perkembangan jaman ada
keluarga yang tidak menjalankan salah satu dari kempat fungsi di atas.
Rumah tangga dianggap paling baik dalam mengkaji suatu satuan sosial karena konsep ini
amat dinamis saat menghadapi perubahan di lingkungannya, sehingga konsep ini menjadi satuan
analisis sosial yang paling signifikan bagi antropologi (Saifuddin: 1999: 22). Menggunakan
konsep rumah tangga di dalam tulisan ini, sudah mencakup keanggotaan yang di dalamnya
dilandasi oleh hubungan kekerabatan karena perkawinan maupun keturunan, serta ada fungsi dari
keluarga seperti satuan sosial untuk mensosialisasikan nilai-nilai kepada anak sejak dini yang
artinya di dalam konsep rumah tangga sudah ada konsep keluarga. Bahkan di dalam konsep
rumah tangga juga sudah mencakup satuan tempat tinggal anggota di dalamnya.
“hampir semua orang hidup dalam rumah tangga, keanggotaan yang biasanya dilandasi oleh hubungan kekerabatan perkawinan dan keturunan, yang secara simultan merupakan kombinasi satuan tempat tinggal, suatu satuan kerjasama ekonomi (sekurang-kurangnya distribusi dan konsumsi) dengan satuan yang di dalamnya terdapat (sebagian besar) reproduksi dan sosialisasi anak sejak dini.” (Saifuddin: 1999: 22)
Lebih lanjut dengan menggunakan konsep rumah tangga saya juga dapat mengamati peran-peran
gender yang terjadi di dalam suatu satuan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Saifuddin
(1999:22) “rumah tangga adalah satuan sosial yang mendasar; lebih dari sekedar kelompok-
kelompok diadik; merupakan arena primer untuk ekspresi usia dan peran gender”. Melalui
konsep rumah tangga juga saya dapat melihat relasi gender karena dapat mengamati suatu
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
10
Universitas Indonesia
keputusan ditentukan dan diambil dalam suatu satuan sosial yang terkadang dapat menimbulkan
konflik dan tawar-menawar. “keputusan muncul dari rumah tangga melalui negosiasi,
ketidaksepakatan, konflik, dan tawar-menawar” (Saifuddin: 1999: 22).
Status dan Peran
Pasangan perempuan dan laki-laki yang sudah membentuk suatu rumah tangga dengan satu
keluarga inti biasanya akan menjalankan status dan peran mereka masing-masing untuk
mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Status dan peran saling berhubungan karena peran
merupakan perilaku yang diharapkan untuk dilakukan seseorang sesuai dengan statusnya (dalam
konteks ini status sebagai seorang laki-laki dan perempuan) (Horton & Hunt 1993, hal:130). Di
dalam penelitian ini konteksnya adalah peran yang harus dijalankan dengan baik oleh perempuan
dan laki-laki yang sudah berumah tangga yaitu sebagai seorang istri dan ibu untuk perempuan,
lalu sebagai seorang suami dan ayah untuk laki-laki. Sementara status adalah suatu peringkat atau
posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lain (Horton & Hunt 1993, hal:129-130). Terkadang status juga disebut kedudukan.
Pada konteks penelitian mengenai relasi gender di dalam rumah tangga ini, status merupakan
peringkat atau posisi antara perempuan dengan laki-laki di dalam rumah tangga.
Salah satu peran yang harus dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam sebuah
rumah tangga adalah menjadi orang tua untuk anak-anaknya. Menurut Bigner (1979) ada dua
orientasi peran perempuan dan laki-laki sebagai orang tua, yaitu orientasi tradisional dan orientasi
perkembangan (developmental) anak. Dalam orientasi tradisional peran ibu adalah ekspresif.
Pengasuhan didefinisikan secara sempit karena hanya dihubungakan dengan perawatan sehari-
hari terhadap aspek-aspek pengasuhan anak, seperti memberi makan, memandikan, dan
memakaikan baju anak. Orientasi perkembangan (developmental) lebih bersifat luas, yaitu
melatih pengasuhan pada proses psikologis anak yang memberikan pemenuhan kebutuhan
emosional melalui kata-kata, tindakan, dan sentuhan fisik. Lebih jelas dijabarkan peran ibu dalam
orientasi tradisional adalah sebagai berikut: melakukan tugas-tugas rumah tangga (seperti:
memasak, mencuci, membersihkan rumah, dll), memenuhi kebutuhan fisik anak, melakukan
latihan untuk kebiasaan anak agar menyerap, menanamkan pendidikan moral dan melatihnya,
mendisiplinkan anak (Bigner, 1979:47). Peran ibu dalam orientasi developmental bila dijabarkan
adalah sebagai berikut: melatih anak untuk percaya diri dan mandiri, memenuhi kebutuhan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
11
Universitas Indonesia
emosional anak, mendorong perkembangan sosial anak, merangsang pertumbuhan mental anak,
dan memberi disiplin dengan pengertian (Bigner, 1979:47).
Ketika menjalankan peran sebagai orang tua ada tiga pendekatan yang dapat digunakan
dalam pengasuhan anak (Baumrind dalam Benokraitis, 1996: 331). Tiga pendekatan tersebut
dapat digunakan untuk berinteraksi, sekaligus untuk mendisiplinkan anak-anak. Pendekatan
pertama adalah authoritarian approach, orang tua sangat menuntut sekaligus mengontrol
perilaku anak dan memberikan hukuman bila anak melakukan kesalahan. Pendekatan kedua
adalah permissive approach, orang tua bersikap hangat, responsif, dan tidak terlalu banyak
menuntut terhadap anak. Meskipun orang tua permisif, namun tidak menggertak atau menzalimi
anak-anak mereka, orang tua melakukan penanaman tanggung jawab moral dan sosial kepada
anak sehingga tidak memberikan anak-anak kebebasan total. Pendekatan ketiga adalah
authoritative approach, orang tua menuntut dan mengendalikan sikap anak tetapi juga responsif
dan selalu mendukung kegiatan anak.
Power (Kuasa)
Kehidupan di dalam rumah tangga antara istri dan suami menghasilkan suatu interaksi yang
menimbulkan sikap untuk saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kemampuan untuk
mempengaruhi atau memaksakan kehendak seseorang pada orang lain dapat disebut power.
Artinya, seseorang atau kelompok memiliki kekuatan ketika bisa membuat orang lain untuk
melakukan apa yang diinginkannya.“Power as the ability to impose one’s will on others. That is,
a person or group has power when it can get others to do what it wants” (Benokraitis, 1996:
274). Serupa dengan Benokraitis, Wolf juga mengatakan bahwa power dapat terjadi pada tataran
individu dan itu merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang
lain.“...Power inherent in an individual..Power as capacity of ego to impose her or his will on
alter” (Wolf dalam Barrett dkk, 2001: 468-469). Power dalam kehidupan rumah tangga dapat
terjadi di tiga tataran yang berbeda, tiga tataran ini adalah perkawinan, parental, dan keluarga.
“Power within the family is exercised in three different realms, which while they may overlap somewhat, should be considered as “separate” since different roles (requirements, expectations, and enactments) and role relationships are involved. The three realms are the marital, the parental, and the familial.” (Clayton, 1975 : 356)
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
12
Universitas Indonesia
Dalam usaha untuk mengetahui relasi gender antara istri dan suami, kita perlu melihat power
yang ada di dalam tataran keluarga (rumah tangga). Kita perlu tahu dalam tataran ini power itu
ada di bawah kendali siapa, misalnya bila sang suami yang terlalu bayak memegang kendali atas
power maka dapat dikatakan relasi gender yang terjadi tidaklah setara karena perempuan atau si
istri masih mengalami sub-ordinasi. Hal sebaliknya juga berlaku demikian.
Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan relasi power yang terjadi di dalam hubungan
antara istri dengan suami, yang pertama adalah resource theories. Teori ini menjelaskan bahwa
pasangan yang memiliki lebih banyak sumber daya akan mempunyai power yang lebih besar
dalam pengambilan keputusan (Benokraitis, 1996: 274). Contohnya adalah yang diungkapkan
oleh Volger dan Pahl berikut ini “A husband who earns more money than his wife or has more
control over household finances has more power” (dalam Benokritis, 1966: 274). Begitu juga
sebaliknya, Benokraitis (1966) mengungkapkan bila perempuan meningkatkan sumber daya
mereka melalui upah pekerjaannya, mereka menjadi kurang bergantung pada suami dan akan
lebih kuat dalam menuntut pekerjaan keluarga dan perawatan anak untuk dikerjakan secara
bersama.“As women increase their resources through paid work, they become less dependent on
their husbands and more powerful in demanding that household chores and child care be
shared” (Benokraitis, 1996: 274).
Teori kedua adalah exchange theory. Teori ini dapat digabungkan dengan resource
theories untuk menjelaskan pertukaran resource seperti waktu dan uang yang disepakati secara
eksplisit maupun implisit antara suami dan istri melalui cara negosiasi (Benokraitis, 1996: 274).
Ada pula pernyataan dari Pyke (1994) yang dapat dijadikan acuan untuk melihat konstelasi
power yang terjadi di dalam kehidupan berumah tangga. Menurut Pyke (1994:89) “In response,
women may give up their power even though they are the breadwinners: “Sensitive to their
husbands feeling of failure, some wives respond by not resisting their husband’s dominance to
‘balance’ his low self-es-teem”. Pernyataan Pyke di atas memberikan pemahaman kepada kita
bahwa barangkali perempuan akan menyerahkan power mereka terhadap suami walaupun mereka
adalah pencari nafkah di dalam keluarga karena perempuan lebih memilih untuk menghargai
perasaan suaminya dengan cara tetap menjalankan perintah dari suami mereka. Hal ini senada
seperti yang Benokraitis ungkapkan di atas mengenai expressive role players bahwa perempuan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
13
Universitas Indonesia
cenderung lebih ekspresif dan lebih memilih mengalah untuk mempertahankan kelangsungan
rumah tangga.
Relasi power yang terjadi dalam hubungan istri dan suami tidak jarang mengakibatkan
konflik diantara keduanya. Benokraitis (1996) memberikan beberapa cara umum untuk mengatasi
konflik, salah satunya yaitu: submissions: satu orang tunduk kepada yang lain; konflik berakhir
ketika orang pertama setuju dengan atau sejalan dengan yang lain. Cara lainnya adalah
compromise, yaitu partner menemukan jalan tengah diantara pertentangan mereka; masing-
masing harus memberikan sedikit ruang untuk menerima kompromi. Kompromi dapat disarankan
oleh salah satu pasangan atau oleh pihak ketiga. Standoff merupakan cara lain lagi untuk
mengatasi konflik: para pihak yang bersengketa meninggalkan perdebatan tanpa
menyelesaikannya; mereka setuju untuk tidak setuju dan beralih ke kegiatan lain. Tidak ada pihak
yang menang atau kalah, dan konflik berakhir imbang. Withdrawal. Salah satu pihak yang
bersengketa mengundurkan diri, ia menolak untuk melanjutkan perdebatan, baik dengan
"menutup diri" atau dengan meninggalkan ruangan (Benokraitis, 1996: 276).
Peran Perempuan dan Laki-laki Sebagai Pasangan Dalam Rumah Tangga Polwan
Di dalam rumah tangga ketiga polwan yang menjadi subjek penelitian saya, semua perempuan
menjalankan peran expressive role players. Hal ini ditunjukkan dari persepsi mereka yang
menjadi subjek penelitian saya saat mendefinisikan seperti apa seorang istri yang ideal dan
beberapa persepsi tersebut terwujud dari beberapa tindakan yang mencerminkan persepsi mereka.
Persepsi para informan menunjukkan bahwa peran mereka di dalam rumah tangga adalah untuk
memberikan dukungan kepada para suami. Demikian juga halnya, para laki-laki di dalam rumah
tangga menjalankan peran instrumental role players-nya yang dapat tercermin dalam persepsi
para informan yang telah menjadi subjek penelitian saya dalam mendefinisikan seperti apa suami
yang ideal dan sebagian dari persepsi mereka juga nampak melalui tindakan-tindakan mereka
ketika berada di dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dapat dikatakan kedua peran gender
tradisional tersebut dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga polwan yang
menjadi subjek penelitian saya.
Peran Perempuan dan Laki-laki Sebagai Orang Tua Dalam Rumah Tangga Polwan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
14
Universitas Indonesia
Ada dua orientasi peran perempuan dan laki-laki sebagai orang tua, yaitu orientasi tradisional dan
orientasi perkembangan (developmental) anak. Pada ketiga rumah tangga yang menjadi subjek
penelitian saya, para polwan dan suaminya telah menjalankan peran yang berorientasi tradisional
dan berorientasi perkembangan (developmental) sebagai orang tua, walau keseluruhan orientasi
peran ini tidak dapat mereka kerjakan secara penuh sebagai orang tua karena mereka sibuk
bekerja. Namun, bila pasangan polwan dan suaminya memiliki waktu di rumah dan sedang
bersama anak-anaknya, mereka akan menjalankan peran sebagai orang tua tersebut. Orientasi
peran sebagai orang tua yang tidak dapat dijalankan oleh mereka, akan dialihkan ke orang ketiga
yaitu kerabat atau pembantu yang ditugasi untuk mengurusi pekerjaan rumah dan mengasuh
anak-anak mereka. Hal ini nampak dari kegiatan yang para orang tua lakukan ketika berada di
dalam rumah.
Untuk mewujudkan dua orientasi peran sebagai orang tua, para orang tua memerlukan
metode untuk membantunya mewujudkan orientasi perannya tersebut. Menurut Baumrind
metode-metode tersebut ada tiga yang dapat digunakan dalam pengasuhan anak. Metode pertama
adalah authoritarian approach, metode kedua adalah permissive approach, metode ketiga adalah
authoritative approach. Ketiga rumah tangga pasangan orang tua yang saya teliti dua keluarga
dalam membesarkan atau mengasuh anak, mereka menerapkan metode authoritative approach
dan hanya satu rumah tangga saja yang menerapkan metode permissive approach. Hal ini
nampak dalam kebiasaan para orang tua saat mengajarkan anak tentang suatu nilai melalui aturan
yang mereka buat di dalam rumah agar nilai tersebut dapat tertanam di dalam kepribadian anak-
anak mereka.
Relasi Gender Dalam Rumah Tangga Polwan
Relasi gender tercermin di saat pasangan mengambil keputusan di dalam rumah tangga seperti
pemegang kendali keuangan di dalam rumah tangga, penentu pendidikan anak, pengambil
keputusan di saat ada anggota keluarga yang butuh penanganan medis dengan segera, dan
penentu pengguna jasa pembantu atau pengasuh di dalam rumah. Saat pasangan menentukan dan
mengambil keputusan maka dapat menunjukkan siapa pemegang power di dalam rumah tangga.
Sehingga nantinya akan terlihat bentuk relasi gender yang terjadi di dalam suatu rumah tangga.
Selain itu relasi gender di dalam rumah tangga juga dapat tercermin dari cara penyelesaian
konflik yang terjadi di antara pasangan yang sedang berbeda pendapat.
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
15
Universitas Indonesia
Dalam ketiga rumah tangga yang menjadi subjek penelitian saya, para polwan cenderung
menyerahkan pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rumah tangga kepada para
suami (penentu pendidikan anak, pengambil keputusan di saat ada anggota keluarga yang butuh
penanganan medis, dan penentu pengguna jasa pembantu atau pengasuh di dalam rumah), walau
di dalam rumah tangga mereka adalah pemegang kendali keuangan rumah tangga. Hal ini
menunjukkan bahwa para perempuan di dalam rumah tangga tidak memiliki power yang setara
dengan suaminya karena mereka selalu menyerahkan hal yang menyangkut kepentingan rumah
tangga kepada para suami. Selain itu dalam rumah tangga polwan yang memiliki suami warga
sipil, sang suami juga tetap memegang kendali dalam membuat keputusan, begitu juga dengan
rumah tangga polwan yang memiliki suami polisi namun pangkatnya lebih rendah dari istrinya,
sang suami tetap yang pegang kendali dalam menentukan atau membuat suatu keputusan dalam
rumah tangga.
Di dalam penelitian saya terhadap ketiga rumah tangga polwan, konflik biasanya adalah
keadaan yang menunjukkan perbedaan pendapat antara istri dan suami. Dalam ketiga rumah
tangga yang menjadi subjek penelitian saya maka terlihat bentuk relasi gender yang ada di dalam
rumah tangga para polwan. Relasi gender yang ada di dalam rumah tangga para polwan tidak
seimbang, status atau kedudukan mereka di dalam rumah tangga masih berada di bawah kuasa
suaminya. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu mengalah ketika ada perbedaan
pendapat, sehingga cara yang digunakan dalam penyelesaian konflik kebanyakan adalah
submissions. Sehingga memunculkan kesan suami selalu benar dalam membuat dan mengambil
suatu keputusan.
Kesimpulan
Pertama, peran-peran sebagai seorang istri yang dijalankan oleh polwan di dalam rumah tangga
merupakan peran gender yang menurut Benokraitis termasuk ke dalam peran expressive role
players, hal ini ditunjukkan dari persepsi mereka tentang istri yang ideal. Sementara, peran-peran
yang dijalankan oleh laki-laki sebagai suami termasuk ke dalam peran gender yang tergolong ke
dalam peran instrumental role players. Hal ini juga ditunjukkan dari persepsi mereka tentang
suami yang ideal. Oleh karena itu, kedua peran gender tersebut dijalankan oleh perempuan dan
laki-laki di dalam rumah tangga polwan yang menjadi subjek penelitian saya. Kedua, selain
peran-peran di atas yang dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga, mereka
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
16
Universitas Indonesia
juga menjalankan peran sebagai orang tua, yaitu dengan menjadi seorang ibu dan ayah. Peran-
peran sebagai orang tua ini dapat terwujud bila salah satu dari kedua orientasi peran sebagai
orang tua dijalankan. Kedua orientasi peran tersebut menurut Bigner adalah orientasi tradisional
dan orientasi perkembangan (developmental) anak. Semua pasangan dalam rumah tangga polwan
menjalankan semua orientasi peran tersebut. Mereka walau tidak sepenuhnya melakukan kedua
orientasi peran tersebut seorang diri karena mereka bekerja, namun bila memiliki waktu luang
para informan akan menjalankan salah satu atau bahkan kedua orientasi peran bersama anak-
anaknya. Hal ini dapat tercermin dari aktifitas mereka di rumah yang dapat menunjukkan kedua
orientasi peran sebagai orang tua yang mereka jalankan dan persepsi mereka mengenai orang tua
yang ideal. Kedua orientasi peran sebagai orang tua yang tidak sepenuhnya dapat mereka
jalankan akan diambil alih perannya oleh orang ketiga, seperti kerabat atau pembantu (pengasuh).
Ketiga, dalam mewujudkan kedua orientasi peran sebagai orang tua, ibu dan ayah perlu
melakukannya dengan konkret yaitu dengan menggunakan beberapa metode dalam mengasuh
anak-anak. Metode-metode tersebut menurut Baumrind adalah authoritarian approach,
permissive approach, dan authoritative approach. Dua dari tiga pasangan orang tua polwan yang
saya teliti menerapkan metode authoritative approach dan hanya satu rumah tangga saja yang
menerapkan metode permissive approach. Hal ini nampak dalam kebiasaan para orang tua saat
mengajarkan anak tentang suatu nilai melalui aturan yang mereka buat di dalam rumah agar nilai
tersebut dapat tertanam di dalam kepribadian anak-anak mereka. Keempat, dari penelitian ketiga
rumah tangga polwan yang menjadi subjek penelitian saya, pemegang power dalam membuat dan
menentukan suatu keputusan tersebut adalah para suami. Status istri di lingkungan kerja bisa saja
lebih tinggi karena jabatan yang mereka miliki di kantor kepolisian, namun ketika sudah berada
di rumah status mereka tetap berada di bawah suami. Kelima, selain itu relasi gender di dalam
rumah tangga juga dapat tercermin dari cara penyelesaian konflik yang terjadi di antara pasangan
yang sedang berbeda pendapat. Penelitian ini menunjukkan bahwa relasi gender yang ada di
dalam rumah tangga para polwan tidak seimbang, status atau kedudukan mereka di dalam rumah
tangga masih berada di bawah kuasa suaminya. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu
mengalah ketika ada perbedaan pendapat, sehingga cara yang digunakan dalam penyelesaian
konflik kebanyakan adalah submissions, yang memunculkan kesan suami selalu benar dalam
membuat dan mengambil suatu keputusan. Keenam, dari hasil penelitian saya maka terlihat
bahwa pada jaman ketika perempuan sudah memperoleh hak dan kewajiban yang setara dengan
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
17
Universitas Indonesia
laki-laki seperti yang dikatakan dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, nyatanya dalam kehidupan rumah
tangga para perempuan di negara ini status atau kedudukannya masih berada di bawah laki-laki.
Bahkan perempuan yang memiliki pekerjaan dan jabatan yang cukup tinggi ketimbang pekerjaan
yang dimiliki oleh suami juga tidak mempengaruhi kedudukan mereka di dalam rumah, mereka
tetap berada di bawah kuasa para suaminya. Mereka tidak memiliki power padahal mereka sudah
memiliki sumber daya yang dapat dijadikan suatu sumber power untuk mempengaruhi suami
mereka.
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
18
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Barrett, Stanley R., Sean Stokholm, Jeanette Burke.
2001 “The Idea of Power and the Power of Ideas: A Review Essay,” dalam American Anthropologist, New Series, Vol. 103, No. 2, halaman. 468-480. Blackwell
Bender, Donald R. 1967 “A Refinement of the Concept of Household: Families, Co-Residence, and Domestic Functions,” dalam American Anthropologist, Vol. 69, halaman. 493-504.
Benokraitis, Nijole V. 1996 Marriage and Families; Change, Choices, and Contraints. New Jersey: Prentice-Hall.
Bigner, Jerry J. 1979 Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. New York: MacMillan.
Bogdan, Robert & Steven J. Taylor.
1975 Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science. New York: John Willey&Sons.
Chilman, C. S.,E. W. Nunnally, dan F. M. Cox, EDS. 1988 “Variant family forms,” dalam Families in Trouble Series, Vol. 5, halaman.18. Beverly Hills, CA: Sage.
Clayton, Richard R. 1975 The Family, Marriage, and Social Change. Canada: Heath.
Creswell, John W.
2003 Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage.
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt.
1993 Sosiologi Jilid I, (alih bahasa Aminuddin Ram dan Tita Sobari). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Koentjaraningrat. 1977 Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat.
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
19
Universitas Indonesia
Nurkemala.
1992 Kepolisian dan Polwan Kajian Mengenai Peranan polwan yang telah Berumah Tangga dalam Kepolisian Sebagai Aparat Negara di Jakarta dan Strateginya dalam Peran Ganda. Skripsi Sarjana Antropologi. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Putri, Fara Raissa.
2013 ‘Pola Pengasuhan Oleh Polisi Wanita (Studi Deskriptif Mengenai Pola Asuh Anak Oleh Polisi Wanita (Polwan) Di Surabaya),’ dalam AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari, halaman.176-187
Pyke, K. D. 1994 “Women’s Employment as a Gift or Burden? Marital Power across Marriage, Divorce, and Remarriage.” Gender & Society 8, no. 1 (Maret), halaman. 73-91.
Ruswiyanti, Lucia Vivi.
1999 Karir Polisi Wanita di Dunia Laki-laki (Suatu Tinjauan Hukum di Indonesia). Skripsi Sarjana Hukum. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Santi, Endang Sri. 1991 Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Tugas Polisi Wanita Dalam Penegakan Hukum dan Ketertiban. Thesis Magister Hukum. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Saifuddin, Achmad Fedyani.
1999. “Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat”. Dalam ANTROPOLOGI INDONESIA, Vol. 60, halaman. 19-24.
Suryani, Tining Amelia.
2000 Perbandingan Psikologis Kesejahteraan Psikologis = Psychological well – being Bintara Polisi Wanita Dengan Guru Wanita Sekolah Dasar. Skripsi Sarjana Psikologi. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014
20
Universitas Indonesia
Rujukan Internet
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=7&kategori=Ketenagakerjaan (Diakses pada 29 Oktober 2013) http://edsus.tempo.co/konten-berita/metro_sudut/2013/08/31/509087/292/Jumlah-Polisi-Wanita-Hanya-36-Persen (Diakses pada 29 Oktober 2013). http://www.tni.mil.id/view-4932-jumlah+prajurit+wanita+tni+belum+ideal.html (diakses pada 29 Oktober 2013). http://www.koalisiperempuan.or.id/stereotip-gender/ (Diakses pada 22 April 2014).
Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014