REKONSEPTUALISASI DOA BATAS NEGRI...1Soa: adalah sebuah kelompok yang terbangun di dalam sebuah...
Transcript of REKONSEPTUALISASI DOA BATAS NEGRI...1Soa: adalah sebuah kelompok yang terbangun di dalam sebuah...
REKONSEPTUALISASI DOA BATAS NEGRI
JEMAAT GPM KAIRATU
Oleh:
ASTRID MORENA NOIJA
NIM: 712013008
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Ilmu Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi.
Program Studi Ilmu Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
Latar Belakang
Konflik yang terjadi di Maluku pada 19 Januari 1999 menjadi sebuah catatan sejarah
bagi kehidupan masyarakat Maluku. Konteks konflik Maluku melunturkan nilai-nilai
kehidupan yang sudah ditanamkan untuk memiliki dan menikmati hak dan kewajiban yang
sama, seperti berada dalam soa-soa1 yang sama, tinggal pada negri yang sama.
2 Sehingga
sesuatu yang pasti dari konflik ini meninggalkan jejak adanya batasan-batasan negri3 (Islam-
Kristen) bagi daerah yang berada di wilayah Maluku. Dari Soumokil mengatakan masyarakat
yang mendiami satu negri adalah hanya mereka yang memeluk satu agama [Islam atau
Kristen].Mereka yang berbeda agama walaupun berasal dari satu mata rumah dari negeriitu,
harus berpindah mendiami negeri yang ada anggotanya menganut agama lain dari mayoritas
penduduk dan dapat bermukim di negerinya tetapi pada lokasi lain yang ditentukan.4Perilaku
anti sosial, seseorang dengan prasangka akan memandang bahwa kelompok yang
diprasangkainya menganggap kelompoknya adalah outgroup dan menolak melakukan kontak
sosial dengan kelompoknya, 5 sangat berpengaruh pasca konflik Maluku. Tuhana Taufik
melihat perubahan sosial tersebut terwujud dalam segregasi sosial berbasis agama.Bahkan
terus berlanjut pada tingkat satuan wilayah yang lebih kecil, seperti pada tingat desa. Di
tingkat desa dan kelurahan dalam suatu kecamatan yang sama, dapat ditemukan dengan
mudah apa yang disebut dengan “kampong Islam dan kampong Kristen”. Pola pemukiman
ini disebutnya sebagai segregated pluralism, lawan dari Integrated Pluralism.6Warga
cenderung bermukim dalam lingkup sosial sesama umat seagama.
Kairatu sebagai jemaat adatis memiliki sesuatu yang berbeda tentang tradisi berdoa,
sebuah tradisi yang melekat dengan kearifan lokal umat pada saat ini yaitu Doa Batas Negri
(Petuanan).Doa Batas Negri muncul dan berkembang dari sebuah kebiasaan yang
dilaksanakan oleh pendeta maupun perangkat pelayan bahkan tokoh adat yang ada di negri
1Soa : adalah sebuah kelompok yang terbangun di dalam sebuah negri dan merupakan budaya khas orang
Maluku terutama yang hidup di negri-negri Seram Bagian Selatan, Seram Bagian Timur, Seram Bagian Barat, Pulau Buano, Pulau Kelang, Pulau Manipa, Haruku, Nusalaut, Saparua, dan Ambon. Soa memiliki kapasitas yang lebih besar daripada sebuah fam atau marga, karena soa mencakup beberapa fam atau marga. Biasanya soa itu terbangun dan ditentukan sebagai komunitas/lembaga kecil di dalam suatu komunitas besar (negri) berdasarkan hal-hal tertentu yang secara historis ada kaitan antara sesame satu soa tersebut.Entah itu memiliki hubungan/kaitan darah (genelogis) tetapi juga memiliki kaitan-kaitan lainnya. 2 Semuel Waileruny, Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku(Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2011), 6. 3Negri: adalah sebutan untuk desa-desa di Maluku. Orang Maluku lebih mengenal Negri daripada Desa.
4 Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku(Salatiga : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Komunikasi,2011),55. 5 Gerry. Huwae, “Prasangka Sosial dalam Relasi(Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-
2003: Studi Deskripsi di Batu Merah dan Kudamati”(Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), 42. 6Tuhana Taufik A. Konflik Maluku (Yogyakarta: Gama Gloal Media, 2000) 41.
Kairatu pada saat konflik Maluku.Doa dilakukan pada wilayah atau kawasan yang menandai
batas negri Kairatu dengan negri lain. Sikap berlindung kepada Tuhan baik sebagai
pemangku adat maupun tokoh agama agar negri tetap terjaga selama konflik berlangsung.
Konflik Maluku yang terjadi menyebabkan umat khawatir ketika negri mereka akan
mendapatkan serangan, sehingga gereja mengupayakan Doa Batas Negri. Pada saat konflik
berlangsung perbatasan negri Kairatu akan dijaga oleh sekelompok masyarakat asli Kairatu,
dan disitulah peran gereja hadir yang didalamnya perangkat pelayan berdoa diperbatasan
sekaligus melakukan pendampingan bagi masyarakat yang berjaga pada saat itu.
Dhavamony menyebutkan hal ini sebagai satu fenomena religious yang khusus tidaklah harus
dianggap seolah hanya mempunyai satu arti, mungkin saja dan sungguh-sungguh mempunyai
banyak arti bagi partisipan yang berbeda dalam tindak religious. … Seorang fenemolog
mempelajari kejayaan dan vitalitas dari simbolisme religious dengan memikirkan arti
struktural yang berbeda dari simbolisme religious, sementara seorang penganut agama yang
khusus tidak mengetahui berbagai arti dari simbol religious.Jadi, arti religious dari suatu
fenomena tertentu untuk seorang atau kelompok partisipan tak pernah habis dicamkan oleh
studi dari suatu agama tertentu.7
Berdasarkan sejarah, Negri Kairatu terdiri dari dua suku kata yakni Kaiyang artinya
dengan, dan Ratuyang artinya Raja.Jadi Kairatu artinya “Dengan Raja” yang memiliki makna
ketika masyarakat mendiami negri Kairatu berarti sudah dengan rajanya.8 Leluhur orang
Kairatu merupakan masyarakat yang “nomaden” dimana hidup berpindah-pindah tempat
dengan berjalan kaki.Identitas lokal dapat dirumuskan sebagai bentuk pengelompokan sosial
sebagai masyarakat adat yang memiliki nilai (nilai bersama yang mengikat mereka)
menimbulkan hubungan emosional yang kuat baik antara sesama dengan lingkungan fisiknya
(teritori) maupun dengan lingkungan sosial budaya (termasuk nilai-nilai).9Gereja di Maluku
atau “Gereja Suku’ menjadi sebutan bagi kekristenan di Maluku adalah tepat.Gereja itu
merupakan gereja suku tidak hanya dalam pengertian bahwa anggota-anggotanya termasuk
satu kelompok suku saja, bahkan dalam arti bahwa ciri-ciri budaya kelompok suku itu telah
memberi ciri kepada kekristenan dan kehidupan gerejawi mereka.10
Sejalannya waktu dalam praktekknya selain Doa Batas Negri, Kairatu memiliki Doa
Tiga Batu Tungku yang menjadi penggerak pada Pendidikan, Gereja , dan Pemerintah. Tiga
7 Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1995), 43.
8 Hasil Wawancara pra-penelitian melalui saluran telepon dengan seorang tokoh agama (50 th) asal dari
Kairatu (Minggu, 2 Juli 2017, pkl.15.00 WIB). 9 D. Hendropuspito,OC. Sosiologi Agama(Jakarta: Kanisius, 1983),16.
10 Frank L Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1987),275.
batu tungku adalah tiga unsur atau elemen penting dalam sebuah negri.Namun hal ini tidak
dipertahankan akibat kurangnya dukungan dari instansi pemerintah maupun pendidikan yang
ada.Maka Gereja melanjutkan karya dengan menghadirkan Doa Batas Negri.11
Turner
mengatakan dengan memperluas lingkup komunikasi, maka perluasan tersebut menjadikan
batas-batas dan daerah pedalaman sosial lebih menyadari tingkah laku dan adat-istiadat pusat
dan sebaliknya.Orang-orang yang berada dipusat masyarakat pun terdorong untuk
menggiatkan warga lainnya, berupaya menyerap mereka dengan mengakrabkan mereka
dengan kepercayaan praktik ÿang terhormat.12
Doa menjadi bagian yang esensial dalam
kehidupan kekristenan. Doa mengacu pada tindakan seseorang secara spesifik dalam
persekutuan dengan Allah13
. Apabila dilihat dari berbagai macam pengertian, doa merupakan
sebuah harapan, permintaan atau himbauan yang ditujukan kepada Tuhan.14
Doa memegang
peran penting untuk kelangsungan dan perjalanan hidup manusia, untuk itu hampir di setiap
perjalanan hidup orang Kristen ia akan berdoa untuk melakukan segala sesuatu agar
memperoleh selamat dan sejahtera. Penelitian yang terkait dengan doa sering membahas
tentang pentingnya berdoa dan kesakralan tempat berdoa itu sendiri. Sedangkan penelitian
yang mengkaji tentang doa negri khususnya di Maluku lebih berfokus kepada upacara adat
dan menempatkan kedudukan doa itu sendiri. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya yang ingin mengkaji tentang doa batas negri sebagai kearifan lokal
dalam pasca konflik. Hal ini dimungkinkan karena tentunya terjadi perubahan-perubahan
sosial dalam praktik dan pemaknaannya.
Bergulirnya zaman membuat suasana dan keadaan berubah pasca konflik Maluku Doa
Batas Negri masih dipertahankan hingga kini karena dianggap baik oleh jemaat
Kairatu.Masalahnya adalah ketika Doa Batas Negri saat ini telah mengalami pergeseran atau
perubahan makna. Doa batas negri tidak lagi dimaknai tentang peperangan namun
mengharapkan adanya berkat bagi anak cucu, umat bisa terhindar dari sakit penyakit,
kecelakaan, tanah menjadi subur, hewan yang dipelihara bisa memberikan berkat bagi negri
itu sendiri, sebab, pasca konflik Maluku, Jemaat Kairatu melanjutkan pembangunan dalam
sektor Perkebunan, Peternakan, Ekonomi, bahkan Wirausaha. Berdasarkan latar belakang
permasalahan yang dikemukakan diatas, maka masalah pokok dalam penelitian ini adalah
11
Hasil Wawancara Pra-Penelitian melalui saluran telepon bersama seorang Ibu di Kairatu yang merupakan tokoh agama, (42 thn) (Kamis, 20 Juli 2017) . 12
Bryan S. Turner, Sosiologi Agama(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) 235. 13
Simon Chan, Spiritual Theology Studi Sistematis Tentang Kehidupan Kristen (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2002), 11. 14
Philip Yancey, Doa: Bisakah Membuat Perubahan? (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2011),67.
sebagai berikut: Bagaimana rekonseptualisasi Doa Batas Negri Jemaat GPM Kairatu ? Serta
apa makna Doa Batas Negri bagi Jemaat GPM Kairatu. Tujuan diadakannya penelitian ini
adalah menganalisis rekonseptualisasi doa batas negri masa kini, dan mendeskripsikan makna
doa batas negri bagi jemaat GPM Kairatu. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut: Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian yang
telah dilakukan terutama tentang doa, dan negri di Maluku. Secara praktis sebagai salah satu
sumbangan pemikiran bagi jemaat GPM Kairatu dalam memaknai kembali Doa batas negri di
kehidupan berjemaat.
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah Deskritif yang diartikan sebagai
suatu proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan
keadaan atau subjek/ objek penelitian pada masa lalu dan masa sekarang berdasarkan fakta-
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.15
Penulis menggunakan penelitian Deskritif
dalam penulisan guna mendapatkan data-data tentang Rekonseptualisasi Doa Batas Negri
Jemaat GPM Kairatu. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif disebabkan
pendekatan ini menggunakan metode pertemuan secara langsung antara peneliti dengan
responden agar bisa mendapatkan hasil yang lebih nyata karena pendekatan ini dapat
menjelaskan nilai-nilai yang diamati secara mendalam. Teknik Pengumpulan data yang
digunakan penulis adalah pertama Wawancara (Interview). Wawancara (interview) adalah
usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan,
untuk dijawab secara lisan pula serta berfungsi sebagai kontak langsung dengan bertatap
muka (Face to face Relationship), antara si pencari informasi dengan sumber
informasi.Wawancara juga berfungsi untuk mendapatkan data dari informan kunci.16
Wawancara ini akan dilakukan terhadap orang yang paling penting, dan paling banyak tahu
tentang situasi yang ada dilapangan, menyangkut masalah yang menjadi fokus penelitian.
Subjek penelitan penulis diantaranya Majelis Jemaat periode berjalan, dan warga jemaat yang
merupakan mantan majelis jemaat GPM Kairatu, dan Pendeta Jemaat. Sedangkan data
pendukungnya ialah buku-buku, dan dokumen gereja yang berkaitan dengan topik yang
disajikan. Lokasi penelitian penulis bertempat di Kairatu pada 7 November 2017-11
November 2017. Hal ini karena persoalan yang ditemukan berada disana terutama doa negri
yang dilakukan oleh jemaat GPM Kairatu.
15
Hadari H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1990), 63. 16
J. D. Engel, Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen (Salatiga: Widya Sari Press, 2005), 33.
Doa, Sakralitas, dan Perubahan Sosial.
Doa Sebagai Sebuah Fenomena Antropologis
Dhavamony mengatakan doa merupakan suatu hubungan yang asimetris. Dalam bentuk-
bentuk doa yang berbeda, entah seseorang dihubungkan dengan yang ilahi sebagai guru,
Teman, Bapa, atau Mempelai, selalu ada rasa ketergantungan. Hubungan asimetris ini
merupakan suatu komunikasi, karena betapa pun yang kudus dipandang sebagai yang
transenden, suatu komunikasi masih dibuka dalam doa. Inilah pertemuan antara yang ilahi
dengan yang manusiawi, suatu kehadiran yang ilahi yang dirasakan diantara manusia dan
oleh manusia. Dalam doa permohonan untuk berkat dan karunia jasmani maupun rohani, ada
pengakuan bahwa Ia maha kuasa untuk menganugerahkannya, dan bebas untuk
menganugerahkannya atau tidak. Dengan kata lain dalam doa ada kepercayaan yang
mendalam, bahwa alam sendiri merupakan tempat kuasa yang ilahi, bahwa yang ilahi
merupakan sumber rohani setiap fenomena dalam kosmos dan masyarakat. Dalam semua
doa, sikap dasar nya adalah suatu penyerahan kepada dan kepercayaan dalam bimbingan roh
yang menciptakan serta mengatur manusia dan kosmos.17
Fenomenologi memandang
perilaku dan tindakan manusia sebagai sesuatu yang bermakna, karena manusia memberikan
makna pada perilaku dan tindakan tersebut.18
Secara sosiologis, agama sangat penting bagi kehidupan manusia dimana pengetahuan
dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang
dibutuhkan.Kedudukan agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsur-unsur
pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan
yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia.Peran agama memang
sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam bermasyarakat. Agama mampu
mengatur dan mengarahkanmanusia menuju ke kehidupan yang lebih baik, melalui nilai,
norma, dan ajaran-ajaran agama.19
Doa Dalam Ajaran Kristen
Mayfield mengatakan doa adalah usaha mengatasi diri kita sendiri, pemusatan perhatian
kita terhadap sebuah kekuatan yang lebih tinggi. Bagi orang-orang kristiani doa adalah inti
17
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1995), 269. 18
Heddy Shri A. P, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomonologi untuk Memahami Agama”, Walisongo 20, NO. 2 (November 2012): 272, diakses Januari 25, 2017. 19
Didit Rudiansyah, “Dimensi Sosio-Politik Konflik Ambon” Sosiologi Reflektif, Volume 10, NO.1 (Oktober 2015) : 173, diakses 25 Januari, 2017, https://media.neliti.com/media/publications/131431-ID-dimensi-sosio-politik-konflik-ambon.pdf
dari hubungan dengan Allah. Doa adalah suatu bentuk komunikasi garis dan sumber hidup
beriman, sarana untuk mengekspresikan dan mengalami kenyataan adanya Allah didalam
kehidupan kita. 20
Jacobs menyebutkan beberapa paham mengenai teologi doapertama yaitu
Pengalaman Iman. Menurutnya yang paling penting ialah bahwa doa permohonan adalah
doa, artinya hubungan pribadi dengan Allah. Dalam menentukan doa permohonan bukanlah
apakah permohonan itu dikabulkan atau tidak, tetapi hubungan dengan Allah, yakni
hubungan iman. Kedua Dialog, doa kristiani secara hakiki bersifat dialogal, pertemuan antara
Allah dan manusia. Allah menyatakan diri dalam Yesus Kristus, Allah dijumpai secara
manusia sebagai seorang manusia.Kepekaan untuk keallahan tidak terdapat dari perjumpaan
itu sendiri.Manusia hanya dapat mengetahui Allah sebagai Allah dari dirinya sendiri.Dengan
merefleksikan diri dan masuk ke dalam kehidupannya, manusia dapat menemukan
kemakhlukannya. Dari pengalaman itu, ia tahu apa arti Allah sebagai penciptanya. Ketiga
Tetap tersembunyi manusia tahu bahwa dalam doanya ia bertemu Allah hanya karena iman
itu. Doa bukan hanya berdasarkan iman, tetapi sekaligus mengungkapkan dan mengkhayati
iman itu. Maka, doa tidak tertuju kepada Allah yang dibayangkan dan digambarkan dalam
fantasi, namun doa menanggapi pengalaman akan Allah. Keempat Tradisi Masalahnya bukan
tata perayaan liturgy, tetapi hubungan dengan Kristus melalui tradisi.Memang benar bahwa
pertemuan dengan Kristus adalah pertama-tama pengalaman hati, yang dikerjakan oleh Roh
Kudus.Tetapi, agar pengalaman itu sungguh-sungguh kristiani, perlu dikhayati dan dialami
dalam “kerangka”dan budaya kristiani.Justru itulah yang disini dimaksud dengan kata
“tradisi”.21
Tempat-Tempat Kesakralan
Dalam keagamaan tidak terlepas dari pemahaman mengenai “yang sakral dan yang
profan’. Sebelumnya penulis akan membahas secara singkat apa itu “sakral dan profan”. Hal
yang sakral selalu diartikan sebagai yang superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak
tersentuh dan selalu dihormati.Sebaliknya hal yang profan adalah bagian dari keseharian
kehidupan yang bersifat biasa-biasa saja. Menurut Emile Durkheim, masyarakatlah yang
melahirkan kepercayaan. Apabila masyarakat di suatu tempat menganggap bahwa suatu
objek atau tempat adalah sakral maka mereka mempercayai dan meyakini bahwa suatu objek
20
Sue Mayfield, Exploring Prayer Panduan Menjelajahi Doa(Yogyakarta : Kanisius, 2009) 6-7. 21
Jacobs, Teologi Doa (Yogyakarta : Kanisius, 2004) 53-83.
atau tempat tersebut adalah sakral. Kesakralan suatu objek atau tempat tertentu tergantung
dari bagaimana menggunakan dan memfungsikan suatu objek atau tempat tertentu22
.
Cooley menyebutkan bahwa para ilah dan roh disembah dan diupacarakan di tempat-tempat,
yang dipercayai sebagai tempat tinggal mereka, misalnya batu-batu besar, pohon-pohon
beringin, bukit-bukit, mata-mata air dan lain-lain. Khusus kepada arwah-arwah leluhur, di
kuburan mereka atau dirumah tua, rumah para leluhur, dikuburan mereka atau dirumah tua,
rumah para leluhur.Upacara-upacara keagamaan yang megikutsertakan seluruh desa diadakan
di baileu (yang melambangan rumah tua desa) atau rumah ibadat. Dalam beberapa hal rumah
ibadat ini ialah kakehat, yang di Seram Barat dinamakan marel, tutuwo, atau masale, oleh
Valentijn diarikan “kuil setan”23
Agama: Salah Satu Bentuk dari Kebudayaan
Agama atau sistem kepercayaan suatu masyarakat adalah salah satu bentuk dari
kebudayaan, yang diterima tanpa sadar atau tanpa dipikirkan, dan proses pewarisannya
dilakukan melalui komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh
karena itu, untuk memahami agama dengan baik, membutuhkan pembahaman tentang
kebudayaan,baik batasam kebudayaan maupun bentuk-bentuk kebudayaan. 24
Liliweri
mencatat 3 karateristik penting dari sejumlah pengertian kebudayaan yang
diidentifikasi.Pertama kebudayaan merupakan satu unit interpretasi, ingatan dan makna yang
ada di dalam manusia dan bukan sekedar dalam kata-kata.Ia meliputi kepercayaan, nilai-nilai
dan norma. Kedua, kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia, karena setiap orang
menampilkan kebudayaannya tatkala dia bertindak.Ketiga, kebudayaan melibatkan
karateristik suatu kelompok dan bukan sekedar pada individu.25
Untuk memahamai kebudayaan, termasuk sistem kepercayaan, Liliweri
mengemukakan tiga pendekatan yang lazim digunakan. Pertama, pendekatan deskriptif,
yakni memahami kebudayaan melalui proses pendeskripsian rincian pengetahuan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh
sekelompok masyarakat dan kebudayaan tertentu. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa
kebudayaan itu merupakan keseluruhan kompleks yang didalamnya meliputi pengetahuan,
seni, moral, hokum, adat-istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh
seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. Kedua, pendekataan bawaan sosial, yakni
22
Emile Durkheim, Sejarah Agama (Judul Asli: The Elementry Forms Of The Religious Life) (Yogyakarta: IRCiSoD,2003),138. 23
Frank L Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1987), 328. 24
Liliweri Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta : LiiS, 2007) 8. 25
Liliweri Alo,Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya.,10.
memahami kebudayaan melalui usaha mempelajari bawaan sosial dari sekelompok orng
didalam kebudayaan tertentu. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan
merupakan warisan dari orang dewasa kepada anak-anak. Bahwa manusia tidak dilahirkan
dengan kebudayaan, tetapi kebudayaan itu dipelajari oleh manusia sepanjang kehidupannya.
Proses belajar itu merupakan salah satu bentuk “bawaan sosial”, yang dimiliki manusia sejak
dia dilahirkan. Ketiga, pendekatan perseptual, yakni memahami kebudayaan melalui
penelitian terhadap persepsi suatu kelompok masyarakat terhadap dunia, dan persepsi itu
dapat diamati melalui perilaku manusia setiap hari, sebagai wujud nyata dari persepsi mereka.
Hal ini didasari pada pemahaman bahwa kebudayan dibentuk oleh perilaku manusia dan
perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunianya. Perilaku tersebut
merupakan perilaku terpola karena tampilannya berulang-ulang secara konsisten sehingga
diterima sebagai pola-pola budaya.26
Ritual
Geertz mengemukakan konsep kebudayaan dengan melihat bahwa suatu pola makna-
makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, yang dimana
suatu sistem konsep yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis yang
dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan
mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap kehidupan.Konsep itu dipakai untuk objek,
tindakan, peristiwa, kualitas, atau relasi yang berlaku sebagai sebuah wahana untuk sebuah
konsep-konsep itu.27
Hendropuspito memberikan batasan keagamaan yang sangat sesuai dengan pespektif
ini yakni : “suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos
pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai
keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.” Agama dikatakan sebagai satu
jenis sistem sosial oleh karena agama dipahami sebagai suatu fenomena sosial, satu persitiwa
kemasyarakatan, suatu sistem sosial yang dapat dianalisa, dan terdiri dari satu kompleks
kaidah, peraturan yang saling terkait dan terarah pada tujuan tertentu. Agama juga dikatakan
berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris oleh karena agama secara khas berkaitan
dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia lain yang diyakini berasal dari sesuatu yang lebih
tinggi dan melampaui kekuatan manusia. Dengan kekuatan tersebut, agama dimaksudkan
26
Liliweri Alo, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya., 11. 27
Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama(Yogyakarta : Kanisius, 1992), 3-6.
untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencapai keselamatan baik dalam dunia saat ini
maupun dunia setelah kematian manusia.28
Dalam pemahaman yang demikian, dapat disimpulkan bahwa agama untuk menolong
manusia mencapai keselamatan baik didunia kehidupannya saat ini, maupun dunia setelah
kematian. Haviland lebih tegas mengatakan bahwa agama berfungsi untuk “reduces the fears
and anxieties of individuals”. Juga dikatakan bahwa agama adalah to prompt reflection
concering conduct. In this context, religion plays a role in social control, does not rely on
law alone29
. Dengan demikian agama berkaitan dengan nilai-nilai moral sebagai rujukan bagi
fungs kontrol sosial dari agama. Terkait dengan ritual Durkheim merumuskan dalam bukunya
The Elementry Forms of Religious Life
the real function of religion is not to make us think, to enrich our knowledge,
nor to add to the conceptions which we owe to science others of another origin
and another character, but rather, it is to make us act, to aid us to live. The
believer who has communicated with his god is not merely a man who sees
new truths of which the unbeliever is ignorant; he is man who is stronger. He
feels within him more force, either to endure the trials of existence or to
conquer them.30
Dengan demikian agama menjadi sangat fungsional , sebagai sumber kekuatan yang
membantu pemeluknya untuk hidup, yakni bertindak mengatasi kesulitan hidup. Para
pemeluknya akan merasakan kekuatan lebih dalam dirinya, baik untuk bertahan dalam ujian-
ujian kehidupan untuk menaklukkannya. Hendropuspito menguraikan 3 fungsi agama, akni
fungsi edukatif, fungsi penyelamatan dan fungsi pengawasan sosial (social control).Fungsi
Edukatif berkaitan dengan fungsi agama dalam pengajara yang otoritatif.Bahkan dalam hal-
hal yang sakral tidak dapat disalah.Fungsi penyelamatan berkaitan dengan fungsi agama yang
menyelamatkan manusia, baik dalam kehidupannya saat ini maupun kehidupan sesudah
kematian. Sedangkan fungsi control sosial berkaitan dengan fungsi agama untuk mendorong
pengikut-pengikutnya melaksanakan hal-hal yang tidak baik. Baik tidaknya terkait dengan
norma-norma sosial yang berlaku atas masyarakat tersebut.31
Agama, baik pengertian maupun fungsinya sebagaimana diutarakan Hendropuspito
(2008), Haviland (1983), dan Durkheim (1995) bersifat positif, menjadi sumber kekuatan
yang menolong bagi mereka yang percaya dalam mengatasi sumber kekuatan yang menolong
bagi mereka yang percaya dalam mengatasi kesulitan hidup yang mereka percayai. Agama
28
D Hendropuspito, Sosiologi Agama(Yogyakarta : Kanisius, 1983), 34. 29
Wilian Haviland, Dana Harald E.E, and Mcride Bunny, Cultural Anthropology: The Human Challenge. (USA : Edition Thomson Learning, Inc, 2008) , 316. 30
Emile Durkheim, Sejarah Agama (Judul Asli: The Elementry Forms Of The Religious Life) (Yogyakarta: IRCiSoD,2003),419. 31
D Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1983), 38-48.
berfungsi menghilangkan rasa takut bagi pemeluknya dalam menghadapi masa situasi sulit.
Sebaliknya Marx melihat peran dan fungsi agama secara terbalik. Bagi Marx, agama
hanyalah tanda keterasingan. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan
keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas
memaksa manusia untuk melarikan diri. Agama adalah hakikat manusia dalam angan-angan
karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh. Agama adalah
sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang
sungguh-sungguh”.32
Pada bagian lain diungkapkan bahwa Agama menurut Marx adalah
candu rakyat.“Candu itu memberikan kepuasan, tetapi kepuasan semu karena tidak mengubah
situasi buruk si pecandu.Seperti candu, agama memberikan kepuasan semu tanpa mengubah
situasi buruk orang kecil.Agama menjanjikan ganjaran akhirat bagi orang yang dengan tabah
menerima nasib.Dengan demikian rakyat kecil bukannya memperjuangkan perbaikan nasib
mereka, tetapi malah bersedia menerima penghisapan dan penindasan yang dideritanya.
Perubahan Sosial dan Budaya
Masyarakat dan kebudayaan dimanapun selalu berada dalam keadaan berubah.Dalam
setiap masyarakat dan kebudayaan, selalu terjadi perubahan sosial-budaya. Hal ini dapat
timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak
dengan kebudayaan lain. Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti tetap
mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam
maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses adaptasi dan
belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih baik.
Perubahan sosial budaya yang dialami oleh setiap kelompok masyarakat terjadi akibat
adanya reaksi setiap orang dalam merespons berbagai interaksi dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Setiap respon yang diberikan akan melahirkan
konsekuensi dalam kehidupan selanjutnya baik positif maupun negatif.33
Perubahan-
perubahan sosial dan kebudayaan tersebut merupakan perubahan fungsi sosial dan
masyarakat yang menyangkut perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu
lainnya.Perubahan-perubahan dalam pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial,
norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan,
stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan, perpolitikan, bakan berlaku
32
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 73. 33
James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) 120-121.
juga dalam bidang keagamaan.Menurut Usman Pelly,34
perubahan terjadi karena faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain : (1) pengetahuan masyarakat
semakin luas sehingga menggunakan teknolgi maju yang kemudian mengubah kehidupannya,
(2) jumlah penduduk yang semakin banyak sehingga terjadi persaingan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, dan menimbulkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan yang
bersifat individual, (3) pertentangan (konflik) dalam nilai dan norma-norma politik, etnik dan
agama juga dapat menimbulkan perubahan sosial budaya hal ini terjadi karena adanya kontak
langsung antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sehingga menyebabkan saling
mempengaruhi.
Memaknai Kembali Doa Batas Negri.
Rekonseptualisasi Doa Batas Negri Jemaat GPM Kairatu
Sejarah GPM Kairatu
Masuknya Injil di desa Kairatu berawal dari adanya misi Portugis yang melakukan
baptisan di Seram Utara yaitu di daerah Lisabata. Kekristenan yang sudah mulai bertumbuh
di pulau Seram itu menggema di berbagai penjuru negeri, baik mereka yang bermukim di
pantai, di tepian sungai maupun dipegunungan. Kemungkinan besar banyak penduduk
Kairatu saat itu terikat atau bergabung dalam agama suku dan ritus-ritusnya. Mereka lebih
cenderung bergabung dengan persekutuan Kakehan dan hal ini menjadi ancaman bagi
perkembangan kekristenan.
Dugaan ini didukung dengan kenyataan bahwa sejak abad ke-XVII sudah ada
sekelompok orang yang bermukim di tepi pantai, tepatnya di dekat muara sungai Riuapa.
Mereka ini adalah orang-orang yang mewarisi cara hidup nomaden, dan salah satu tempat
pemukiman yang mereka tinggalkan adalah Wai Latuang atau Ai Latuangi. Itulah sebabnya
supaya lebih mengenal identitas mereka, biasanya mereka menamai komunitas mereka ini
dengan istilah Ala Tua yang berarti “berasal dari Wai Latuang”. Dari segi religius, komunitas
Ala Tua atau Ai Latuangi menganut agama suku.Kehidupan mereka diwarnai dengan
kepercayaan kepada ilah-ilah. Mereka mengenal “Sang Penguasa” dengan sebutan Upu
Lanite Kai Tapele (Tuhan Langit dan Bumi) disertai ilah sembahan lainnya seperti matahari
(Ria Matai), bulan (Hulane), dan roh halus (Nitu).Mereka percaya ilah-ilah ini dapat
memberikan rejeki dan kesuburan. Sebaliknya, bila perbuatan penduduk mengecewakan
maka para ilah akan murka dan mendatangkan kemalangan dan bencana berupa banjir,
kekeringan dan badai.
34
Usman Pelly dan Asiah Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya (Jakarta : Depdikbud. 1994) 191-193.
Pada tahun 1667, Pdt. Elder Campius diutus dari Ambon untuk mengunjungi pulau
Seram khususnya Seram Bagian Barat dan orientasi kunjungannya lebih diarahkan kepada
mereka yang bermukim di daerah pesisir. Ketika sang pendeta ini menyinggahi tempat
leluhur negeri Kairatu, ada di antara mereka yang mau menerima kekristenan dan memberi
diri dibaptis, namun ada juga sebagian penduduknya yang menolak dan tetap menganut
agama suku. Namun Pdt. Campius tetap bertahan bersama penduduk yang telah menjadi
Kristen.Secara gotong-royong atau masohi mereka membangun sebuah rumah tempat ibadah
yang beratapkan daun sagu dan berdinding gaba-gaba. Setelah Pdt. Campius tinggal beberapa
saat di tempat itu, ia kemudian mengubah nama tempat tersebut dari Ai Latuangi atau Ala
Tua menjadi Kairatu. Pengubahan nama tempat ini dimaksudkan selain untuk memudahkan
dalam penyebutan nama, juga merupakan salah satu taktik para misionaris Belanda untuk
membuat orang-orang Kristen ditempat itu agar tidak lagi mengingatkan mereka pada nama
tempat pemukiman lama mereka yang diwarnai dengan kepercayaan agama suku
Mengenal Doa Batas Negri
Teori Mayfield tentang Doa dalam ajaran Kristen mengatakan doa adalah usaha
mengatasi diri kita sendiri pusat perhatian kita terhadap sebuah kekuatan yang lebih tinggi
sehingga bagi orang kristiani doa adalah inti dari hubungan dengan Allah.35
Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwaberada dalam sebuah kondisi dimana
konflik terjadi menyebabkan ketakutan yang tidak dapat dihindarkan,doa batas negri
merupakan doa yang melihat situasi dalam negri sehingga didalamnya ada hal-hal yang perlu
didoakkan. Dari hasil penelitian lapangan majelis jemaat GPM Kairatu pada periode
lamamelaksanakan doa batas negri Kairatu setelah melalui kesepakatan bersama agar negri
bisa terlindungi. Kondisi jemaat pada saat itu menjadi berantakan sehingga terpecah-pecah.
Berhadapan dengan situasi yang diluar kendali sebagai manusia dan meminta keselamatan
dari yang maha tinggi, majelis melaksanakan doa batas negri karena pada saat itu Kairatu
merupakan daerah yang strategis untuk mendapatkan serangan.36
Kenyataan untuk tetap
bertahan dan terselamatkan walaupun harta benda telah habis akibat konflik yang terjadi,
menjadi sebuah pengharapan besar bagi majelis jemaat periode lama pada saat itu.Setelah
berakhirnya konflik Maluku, negri Kairatu diselamatkan dandoa batas negritetap dilanjutkan.
Namun mengalami perubahan makna ketika doa batas negri hadir di majelis jemaat GPM
Kairatu pada periode baru saat ini. Hasil penelitian lapangan doa batas negri ialah doa yang
35
Sue Mayfield, Exploring Prayer Panduan Menjelajahi Doa (Yogyakarta : Kanisius, 2009) 6-7. 36
Wawancara dengan Bapak George Talane di Kairatu 8 November 2017 pukul 14.00 WIT, 59 Tahun. Majelis pada tahun 1995-2000, 2000-2005, 2015-sekarang. (Majelis Periode Lama dan sementara menjadi majelis)
dilaksanakan ditapal batas negri untuk mendoakan pergumulan-pergumulan jemaat.37
Doa
batas negri adalah doa yang mengandalkan Tuhan karena IA adalah penjaga, pelindung negri
dari penyakit.38
Inilah yang disebutkan oleh Tom Jacobs dalam paham ketigamengenai Teologi Doa,
dimana manusia tahu bahwa dalam doanya ia bertemu dengan Allah bukan hanya sekedar
mengimani namun mengungkapkan dan mengkhayati iman itu. Sehingga Allah dibayangkan
dan digambarkan dalam fantasi, namun doa menanggapi pengalaman akan Allah.39
Bagi
penulis doa batas negri memiliki pengenalan yang sama walaupun dalam waktu dan tujuan
yang berbeda, namun untuk menggumuli kondisi jemaat sesuai kebutuhan. Perubahan
makna itu dapat dilihat pada pengenalan akan doa batas negri. Doa batas negri tidak lagi
menggumuli tentang konsep penyelamatan dari konflik yang terjadi, namun dimasa kini doa
batas negri menggumuli tentang konsep berkat dan perlindungan terhadap umat.
Cara dan Perihal Tempat Doa Batas Negri
Menurut Emile Dukheim, masyarakatlah yang melahirkan kepercayaan. Apabila
masyarakat disuatu tempat menganggap bahwa suatu objek atau tempat sakral adalah sakral
maka mereka mempercayai dan meyakini bahwa objek atau tempat tersebut sakral. Dari sini
kita dapat melihat “kesakralan”suatu objek atau tempat tertentu berangkat dai keyakinan
seseorang. Kesakralan suatu objek atau tempat tertentu tergantung dari bagaimana
menggunakan dan memfungsikan suatu obyek atau tempat tersebut.”40
Apabila penulis menganalisa hasil penelitian, penulis melihat bahwaselama konflik
Maluku yang terjadi, majelis jemaat GPM Kairatu periode lama melaksanakan doa batas
negri pada malam hari di tempat-tempat yang dicurigai ketika penyerangan terjadi akan
melewati titik tersebut. Sebelumnya penulis akan membahas tentang cara mengikuti doa batas
negri. Doa batas negri dilakukan dengan diawali berkumpul di gereja PNIEL (merupakan
gereja utama jemaat GPM Kairatu) pada malam hari selanjutnya diadakan doa persiapan dan
semua majelis menuju pada tempat berdoa secara terpencar, ketika sampai disana doa batas
negri di laksanakan kemudian kembali ke gereja untuk melaksanakan doa syukur. Ada empat
titik tempat yang digunakan oleh majelis lama untuk melaksanakan doa batas negri yaitu
Bagian Barat di perbatasan Waimital, Bagian Timur Batas dusun Waitasi, Dusun Telaga, dan
37
Wawancara dengan Ibu Vanly Kolly di Kairatu 11 November 2017 pukul 19.00 WIT, 34 tahun.Majelis pada tahun 2015-sekarang. (Majelis Periode Baru) 38
Wawancara dengan Ibu Yolanda M. Noya di Kairatu 9 November 2017 pukul 17.00 WIT, 56 tahun.Majelis pada tahun 2010-sekarang. (Majelis Periode Baru) 39
Jacobs, Teologi Doa (Yogyakarta : Kanisius, 2004) 53-83. 40
Emile Durkheim, Sejarah Agama (Judul Asli: The Elementry Forms Of The Religious Life) (Yogyakarta: IRCiSoD,2003),138.
perumahan BTN.41
Namun tempat untuk melaksanakan doa batas negri itu juga bisa berubah
ketika sudah mendengarkan kabar apabila Kairatu akan mendapatkan serangan atau telah
mendapatkan, sehinggabisa dilakukan di Kuburan dan di pohon Johar. 42
Berbeda dengan majelis jemaat GPM Kairatu pada periode baru, dimana tempat doa
batas negri sudah ditetapkan pada tiga titik. Yaitu pada di Gereja Mahanaim yang merupakan
gereja cabang dari jemaat GPM Kairatu (Pada saat konflik Maluku gereja sudah terbakar, dan
direvonasi sekarang sudah digunakan untuk beribadah), di Jembatan Gemba, dan di
perbatasan jemaat Kairatu dan Uraur.43
Pada majelis periode baru di jemaat GPM Kairatu
cara melaksanakan doa batas negri masih tetap dipertahankan seperti yang lama belum ada
perubahan yang dilakukan oleh gereja. Cooley mengatakan dalam teorinya bahwa para ilah
dan roh disembah dan diupacarakan di tempat-tempat, yang dipercayai sebagai tempat tinggal
mereka. Upacara-upacara keagamaan yang mengikutsertakan seluruh desa diadakan di baileu
(yang melambangkan rumah tua desa) atau rumah ibadat.44
Menurut penulis pilihan mereka, baik majelis lama maupun majelis baru tidaklah salah tetapi
merupakan pilihan yang tepat dimana tempat melaksanakan doa batas negri berada pada
tempat yang menjadi titik batas negri Kairatu dengan negri lain. Hal ini berarti mereka
membangun sebuah harapan bahwa negri harus tetap terlindungi baik dulu maupun sekarang.
Walaupun memiliki perbedaan tempat secara fisik namun jika dikaitkan dengan teori, maka
keduanya sinkron.
Pokok Doa di Batas Negri
Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menemukan perbedaan pokok doa ketika
majelis periode lama dan majelis periode baru jemaat GPM Kairatu. Pada majelis periode
lama, doa batas negri memfokuskan kepada permohonan penyelamatan dan penyertaan.
Sebanyak tujuh kali negri Kairatu mendapatkan serangan ketika konflik Maluku yang
terjadi.Banyak jemaat memilih melarikan diri untuk bersembunyi di hutan pada saat itu.
Mengutip Emile Durkheim dalam bukunya The Elementry Forms Religious Life
“the real function of religion is not to make us think, to enrich our knowledge,
nor to add to the conceptions which we owe to science others of another origin
and another character, but rather, it is to make us act, to aid us to live. The
believer who has communicated with his god is not merely a man who sees
41
Wawancara dengan Bapak Mihel F. M. Simaela di Kairatu 7 November 2017 pukul 21.35 WIT, 55 Tahun. Majelis pada tahun 2000, 2005-2010, 2015-sekarang (Majelis periode Lama dan sementara menjadi majelis) 42
Wawancara dengan Bapak Paulus Lekawael di Kairatu 8 November 2017 pukul 08.00 WIT, 64 tahun. Majelis pada tahun 1995-2005, 2015-sekarang (Majelis Periode Lama dan sementara menjadi Majelis). 43
Wawancara dengan Ibu Yosphina J. Rumahlatu di Kairatu 10 November 2017 pukul 11.00 WIT, 53 Tahun. Majelis pada tahun 2015-sekarang (Majelis Periode Baru). 44
Frank L Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1987), 328.
new truths of which the unbeliever is ignorant; he is man who is stronger . He
feels within him more force, either to endure the trials of existence or to
conquer them.”45
Dengan demikian agama menjadi sangat fungsional , sebagai sumber kekuatan yang
membantu pemeluknya untuk hidup, yakni bertindak mengatasi kesulitan hidup. Para
pemeluknya akan merasakan kekuatan lebih dalam dirinya, baik untuk bertahan dalam ujian-
ujian kehidupan untuk menaklukkannya. Pada majelis periode masa baru doa batas
negrimengimani permohonan kepada Tuhan agar meminta perlindungan menjaga anak-anak
negri yang merupakan anak-anak Tuhan dari bentuk musibah, penyakit, kuasa kegelapan,
berkat yang memadai baik di laut maupun darat, bahkan doa batas negri dilaksanakan ketika
melihat sebuah peristiwa yang terjadi di Kairatu seperti kematian yang tidak wajar.46
Dalam
konteks jemaat Kairatu kekuatan doa memiliki kekuatan untuk tetap bertahan setelah berkali-
kali mendapatkan serangan.
Dalam perkembangannya penulis melihat bahwa Doa Batas Negri sudah mengalami
perubahan dari pokok doa ketika ada pada majelis periode Baru.Persoalan menghadapi
musuh telah berubah menjadi persoalan kebutuhan jemaat dimasa sekarang.Doa batas negri
memahami pergumulan keadaan pada masa tertentu, hingga melihat bagaimana pergumulan
jemaat terhadap dunia melalui perilaku dan peristiwa jemaat setiap suatu, dan sebagai wujud
nyata pergumulan mereka. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa doa batas negri pada
masa tertentu membentuk perilaku dan peristiwa manusia dan perilaku itu merupakan hasil
pergumulan mereka terhadap dunia ini. Inilah fungsi agama yang di jelaskan oleh Durkheim.
Pelaku Doa Batas Negri
Cooley dalam bukunya Mimbar dan Tahta mengatakan bahwa Gereja di Maluku atau
“Gereja Suku’ menjadi sebutan bagi kekristenan di Maluku adalah tepat.Gereja itu
merupakan gereja suku tidak hanya dalam pengertian bahwa anggota-anggotanya termasuk
satu kelompok suku saja, bahkan dalam arti bahwa ciri-ciri budaya kelompok suku itu telah
memberi ciri kepada kekristenan dan kehidupan gerejawi mereka.47
Konflik Maluku pada tahun 1999 tidak luput dari perhatian khusus staff pemerintah
desa yang ada, bahkan doa batas negri juga menjadi bagian penting bagi pemerintahan desa
pada saat itu. “Waktu kerusuhan doa batas negri yang iko tuh, ada bapa Raja antua pung
45
Emile Durkheim, Sejarah Agama (Judul Asli: The Elementry Forms Of The Religious Life) (Yogyakarta: IRCiSoD,2003),419. 46
Wawancara dengan Pdt. J. Lakburlawal di Kairatu 11 November 2017 pukul 21.00 WIT, 49 Tahun. Ketua majelis Jemaat GPM Kairatu 47
Frank L Cooley, Mimbar dan Takhta (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1987),275.
pekerja-pekerja lai deng majelis lai.”48
Bahasa Indonesia menjadi ketika konflik terjadi doa
batas negri diikuti oleh Raja Negri Kairatu dan Majelis Jemaat GPM Kairatu. Terjadi
perubahan ketika sampai di majelis periode baru, doa batas negri diikuti hanya majelis jemaat
GPM Kairatu kadang juga bersama Tuagama yang tugasnya untuk menjaga kendaraan yang
akan berlintas pada tempat yang digunakan untuk berdoa. Walaupun sudah ada upaya
komunikasi yang dibangun untuk hadir dalam doa batas negri namun tidak mendapatkan
tindak lanjut dari staff pemerintah. Sehingga pihak Gereja tetap melanjutkan doa Batas Negri
sebagai bagian dari proses bergereja di Jemaat Kairatu.49
Menurut penulis ciri khas
kekristenan di Maluku tidak dapat dipisahkan dari adatis lingkungan yang ada, walaupun
faktor budaya turut mempengaruhi keberadaan sebuah daerah. Pihak yang mengikuti doa
batas negri tidaklah sama pada saat konflik Maluku. Tidak ada keterlibatan staff pemerintah
Desa dalam Doa Batas Negri, padahal jika di simak pergumulan Negri menjadi bagian dari
gereja juga.Walaupun doa batas negri bukanlah sebuah praktik adat-istiadat namun peran
gereja bersama Staff Desa dalam bersama menjaga keutuhan dan kenyamanan di Negri
Kairatu adalah tingkah laku dalam menyadari proses gereja menjadi bagian dari sebuah
lingkup jemaat yang adatis.
Makna Doa Batas Negri
Dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi Agama, Dhavamony mengatakan
bahwa doa adalah kepercayaan yang mendalam, bahwa alam sendiri merupakan tempat kuasa
yang ilahi merupakan sumber rohani setiap fenomena dalam kosmos dan masyarakat. Dalam
setiap doa, sikap dasarnya adalah suatu penyerahan kepada kepercayaan dan bimbingan roh
yang menciptakan serta mengatur manusia dan kosmos.50
Makna Doa batas negri bagi
Majelis lama adalah bagaimana mengandalkan Tuhan pada saat itu. Situasi yang penuh
dengan ketakutan apabila di serang, tenang, dan gelap serta menggunakan baju kebesaran
(Baju majelis di Gereja Protestan Maluku) menjadi bagian dari mengukur takaran iman kita
pada saat menggumuli sesuatu.51
Usman Pelly mengatakan bahwa perubahan sosial budaya
dapat terjadi karena adanya perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal
dan faktor eksternal.52
Perubahan sosial budaya yang dialami oleh setiap kelompok
masyarakat terjadi akibat adanya reaksi setiap orang dalam merespons berbagai interaksi
48
Wawancara dengan ibu Maria B. Warahuwena di Kairatu 8 November 2017 pukul 11.OO WIT, 70 Tahun.Menjadi majelis pada tahun 1995-2000 (Majelis Periode Lama). 49
Wawancara dengan iby D. Anace Latuihamallo di Kairatu 10 November 2017 pukul 15.00 WIT, 51 tahun. Menjadi majelis pada tahun 2010-2015, dan 2015-sekarang (Majelis periode Baru) 50
Mariasusai Dhavamony, Fenomologi Agama (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1995), 43. 51
Wawancara Bapak Paulus Lekawael. 52
Usman Pelly dan Asiah Menanti, Teori-Teori Sosial Budaya (Jakarta : Depdikbud. 1994) 191-193.
dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Bagi James Spradly
setiap respon yang diberikan akan melahirkan konsekuensi dalam kehidupan selanjutnya baik
positif maupun negative. 53
Sementara bagi majelis baru makna Doa Batas Negri adalah
merasakan kuasa Allah punya peranan besar pada proses kehidupan khususnya pada
pergumulan umat di jemaat GPM Kairatu.
Hasil analisa penulis menyatakan walaupun sudah memiliki makna yang berbeda dari kedua
periode majelis yang ada di jemaat GPM Kairatu, namun Doa Batas Negri memiliki pengaruh
yang cukup besar dalam sejarah perkembangan negri dan gereja di Kairatu. Makna itu di
khayati dalam pergumulan yang sudah berbeda, akan tetapi semangat doa batas negri ini terus
ditindak lanjuti dengan tujuan yang sama. Doa batas negri diadakan karena ada kebutuhan
dari jemaat GPM Kairatu kepada Tuhan.
Dalam menganalisa makna doa batas negri bagi jemaat GPM Kairatu, adapun hal yang bisa
di ambil. Pertama makna sakralitas, mengutip Durkheim yang mengatakan bahwa hal yang
sakral selalu diartikan sebagai superior, berkuasa, dalam kondisi normal tidak tersentuh dan
selalu dihormati.54
Makna Sakralitas bagi jemaat Kairatu ketika pergumulan dilaksanakan
karena doa batas negri hadir untuk mengkhayati keadaan yang telah terjadi dan akan terus
terjadi dalam jemaat Kairatu sekaligus merupakan pengalaman akan Allah. Berdoa di batas
negri jemaat bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam situasi yang tenang, serta bisa
mengkhayati kehadiran Tuhan dalam perjalanan kehidupan mereka. Kedua makna Tradisi.
Geertz mengemukakan konsep kebudayaan dengan melihat suatu pola makna-makna yang
diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, yang dimana suatu sistem
konsep yang diwariskan dan terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya
manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan sikap-sikap kehidupan.55
Makna tradisi dalam batas negri adalah ketika doa
batas negri tetap dipertahankan untuk melanjutkan sejarah tentang Kairatu yang diselamatkan
karena adanya pergumulan doa batas negri yang dilakukan oleh majelis jemaat pada masa-
masa tertentu.
Perubahan doa batas negri yang terjadi dari kedua periode majelis jemaat yang ada,
membuktikan bahwa baik kebudayaan maupun faktor keagamaan bergerak dinamis seiring
dengan perubahan waktu yang ada. Pergerakan itu mempengaruhi cara memaknai sebuah
53
James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997) 120-121. 54
Emile Durkheim, Sejarah Agama (Judul Asli: The Elementry Forms Of The Religious Life) (Yogyakarta: IRCiSoD,2003),138. 55
Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1992), 3-6.
realita kebudayaan dan keagamaan yang hadir mengisi ruang jemaat di Kairatu. Pemaknaan
inipun diungkapkan dalam beragam cara yang sudah di analisis oleh penulis pada bagian
sebelumnya. Sehingga ciri khas kebudayaan dan keagaam jemaat Kairatu tidak berubah
namun dalam bingkai waktu tertentu pemaknaan akan sebuah fakta yang terjadi pun turut
berubah.
Kesimpulan
Suatu praktik dalam masyarakat tidak mungkin terpisah sepenuhnya dari kondisi yang
terjadi pada masyarakat itu sendiri. Kondisi tersebut terkait dengan pelaksanaan praktiknya
yang didapati memori masyarakat tentangnya, serta pemaknaan oleh masyarakat itu sendiri
walaupun praktik dan pemaknaan itu akan berubah beradaptasi dengan situasi pada saat itu.
Praktik itu menjadi fokus kebudayaan yang dihidupi menjadi elemen membentuk masyarakat
itu sendiri. Sehingga setiap pengalaman atau situasi menggambarkan mengenai kompleksitas
masyarakat itu, hingga dinamika perubahan sosial-budaya pun akan tercermin melaluinya.
Dari hasil penelitian dan analisa penulis maka dapat disimpulkan bahwa pertama, Doa Batas
Negri adalah Fenomena keagamaan yang dilaksanakan di jemaat GPM Kairatu sejak masa
konflik Maluku pada tahun 1999 hingga kini masih dipertahankan walaupun sudah
mengalami pergeseran makna. Kedua Doa Batas Negri di Jemaat GPM Kairatu merupakan
praktik pergumulan dalam melihat situasi yang terjadi di dalam kehidupan bergereja maupun
negri Kairatu sendiri. Ketiga Doa Batas Negri Jemaat GPM Kairatu dipertemukan dengan
“masa lampau” dan “masa kini” sehingga praktik ini melibatkan ingatan bersama,
pengetahuan bersama mengenai pemahaman atas pengalaman yang terjadi. Pada akhirnya
penulis dapat menyimpulkan bahwa Doa Batas Negri Jemaat GPM Kairatu merupakan salah
satu sarana mengingat karya Allah dalam sejarah negri Kairatu.
Daftar Pustaka
Buku :
Chan, S. Spiritual Theology Studi Sistematis Tentang Kehidupan Kristen. Yogyakarta:
Yayasan Andi, 2002.
Cooley, F. Mimbar dan Takhta. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Dhavamony, M. Fenomologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Durkheim, E. The Elementry Forms Of Religious Life. Translated and with an introduction
by Karen E. Fields. California: The Free Press Newyork, 1995.
Engel, J. D. Metodologi Penelitian Sosial dan Teologi Kristen. Salatiga: Widya Sari Press,
2005
Franz, S. M. Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka, 2005,
Geertz, C. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992
Haviland, W., Dana, E. E., & Mcride, B. Cultural Anthropology: The Human Challenge.
USA: Edition Thomson Learning, Inc, 2008.
Jacobs, T. Teologi Doa. Yogyakarta: Kanisius, 2004
Mayfield, S. Exploring Prayer Panduan Menjelajahi Doa. Yogyakarta: Kanisius, 2009
Nawawi, H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1990
OC, H. Sosiologi Agama. Jakarta: Kanisius, 1983.
Tauf Tontji, S. Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku. Salatiga: Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Komunikasi, 2000.
Tuhana, A. Konflik Maluku. Yogyakarta: Gama Global Media, 2000.
Turner, B. S. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Waileruny, S. Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2011.
Yancey, P. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku.Jakarta: Pustaka Obor
Indonesia,2011
Jurnal Online :
Rudiansyah, D. “Dimensi Sosio Politik Konflik Ambon”, 171.” Sosiologi Reflektif, Volume
10, NO.1 (Oktober 2015) : 173, diakses Januari 25 , 2017,
https://media.neliti.com/media/publications/131431-ID-dimensi-sosio-politik-konflik
ambon.pd
A.P Heddy Shri, “Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomonologi untuk Memahami
Agama”, Walisongo 20, NO. 2 (November 2012): 272, diakses Januari 25, 2017,
https://www.researchgate.net/publication/304025823_FENOMENOLOGI_AGAMA_
PENDEKATAN_FENOMENOLOGI_UNTUK_MEMAHAMI_AGAMA
Skripsi :
Huwae. Gerry, “Prasangka Sosial dalam Relasi(Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik
Ambon tahun 1999-2003: Studi Deskripsi di Batu Merah dan Kudamati.Universitas
Kristen Satya Wacana, 2015.