Reklamasi
description
Transcript of Reklamasi
BAB VIII
TEORI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
BATUBARA
8.1. Dampak Pertambangan Batubara
Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal
dasar dalam pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan
nasional dengan memperhatikan kelestariannya.
Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah
kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah
satu sektor penyumbang devisa negara yang terbesar. Menurut Soemarno
(2006) bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor
yang sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan
nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan
secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar.
Dampak lingkungan kegiatan pertambangan antara lain : penurunan
produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi,
terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna,
terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim
mikro.
Dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tersebut
perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Salah
satu upaya meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan
reklamasi. Prinsip kegiatan Reklamasi adalah :
(1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh dari
kegiatan penambangan
(2) kegiatan Reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus
menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan
(Latifah, 2003).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tumbuhnya
industri yang begitu pesat, tentunya dirasakan pengaruhnya baik itu yang
menyangkut dampak positif maupun dampak negatifnya. Dampak
positifnya tentunya terjadinya peningkatan mutu dan kualitas hidup yang
lebih komplek dengan ditandai dengan adanya kesenangan dan impian
manusia yang menjadi lebih mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan
mereka sehari-hari sebagai contoh, pertambangan batubara di Kalimantan
Selatan, perusahaan skala besar yang mengelola tambang batu bara di
Kalimantan Selatan berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengembangan
Pertambangan Batu Bara (PKP2B) ada beberapa buah diantaranya PT. Adaro
Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, PT. Bantala Coal Mining, dan beberapa
lagi. Sementara perusahaan kecil melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP)
yang diberikan oleh kabupaten/kota menyusul adanya era otonomi daerah
yang jumlah perizinnanya ratusan buah, belum termasuk ratusan perusahaan
penambangan tanpa ijin (Peti) yang dilakukan secara kelompok atau
perorangan yang sangat menyemarakkan usaha pertambangan batu bara di
Kalimantan Selatan tersebut. Merebaknya tambang batu bara di “bumi
Pangeran Antasari” tersebut menimbulkan gairah di bidang ekonomi, dimana
devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang itu dengan tujuan
berbagai negara di dunia.
Catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)
Kalimantan Selatan tahun 2007, sekitar 60 persen nilai ekspor non migas
asal propinsi ini atau sekitar 1,5 miliar Dolar AS per tahun berasal dari ekspor
tambang batubara, bukan saja untuk ekspor, ternyata hasil tambang batubara
tersebut kini diperebutkan pula untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
milik PT. PLN (Persero) seperti PLTU Suryalaya Jawa Barat, PLTU Paiton
Jawa Timur, dan PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan sendiri, disamping
untuk kebutuhan industri lainnya di tanah air. Oleh sebab itu, banyak
kalangan yang telah mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup
mereka secara meteriil setelah memperoleh porsi dari mengelola tambang
batu bara tersebut. Tak heran apabila dalam suatu wilayah yang tadinya
termasuk wilayahrelatif miskin berubah menjadi kawasan yang kaya raya,
sebagai contoh ; kawasan Kecamatan Satui dan Batulicin, Kabupaten Tanah
Bumbu, Kecamatan Pegaron Kabupaten Banjar,Kecamatan Jorong Kabupaten
Tanah Laut, dan beberapa wilayah di Kabupaten Tapin, Kotabaru,
Balangan, serta Kabupaten Tabalong. Banyak warga yang tadinya hanya
sebagai petani atau buruh atau pedagang kecilan serta pegawai negeri sipil
(PNS) rendahan sekarang berubah menjadi “saudagar kaya”. Tadinya hanya
memanggul cangkul sekarang sudah bergaya, memakai mobil mewah, bahkan
sebagian rakyat yang selama ini miskin juga terkena imbasnya dengan
meningkatkan perekonomian masyarakat tersebut (Hasan,
2007). Sedangkan dampak negatif dari adanya pertambangan batubara
terjadi suatu kerusakan dalam tatanan lingkungan yang ada baik itu
lingkungan hidup, maupun lingkungan sosial. Dalam perkembangannya,
tatanan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial hendaknya senantiasa
diperhatikan agar tidak mendatangkan berbagai jenis bencana, Bagaimana
tidak, di kawasan daratan Kalimantan Selatan yang dikenal dengan bentuk
Rumah Bubungan Tinggi itu telah hancur, selain hutan gundul karena
penebangan kayu secara membabi buta, sekarang
ditambang oleh pertambangan batu bara yang tak terkendali. Bahkan fakta
memperlihatkan,ternyata wilayah resapan air berupa hutan tropis basah di
Pegunungan Meratus kini telah tercabik-cabik oleh pertambangan batu bara
baik legal maupun ilegal yang dikelola pihak preman-preman.
Gambar 8.1.1 Dampak Pertambangan
Di kawasan pertambangan PT. Adaro Indonesia (kabupaten Balangan
dan Tanjung),terdapat beberapa buah tandon raksasa atau kawah besar bekas
tambang yang menyebabkan bumi menganga tak mungkin bisa direklamasi,
akhirnya dibiarkan begitu saja. Begitu juga di kawasan Satui dimana PT.
Arutmin Indonesia beroperasi terdapat lubang-lubang pula namun agak
sedikit baik karena perusahaan ini berhasil mereklamasinya sebab tambang di
sini tak dalam, tetapi telah menyebabkan alam berganti menjadi hutan buatan
hasil revegetasiperusahaan tetapi telah menghilangkan hutan alam penjaga
lingkungan. Kondisi paling parah terlihat pada ratusan bahkan ribuan hektare
lahan bekas tambang Peti yang dikelola masyarakat baik perusahaan kecil
atau individu. Lahan-lahan mereka tersebut digali, kemudian diambil batu
baranya lalu bekas tambang itu dibiarkan rusak parah begitu saja tanpa
adanya reklamasi seperti terlihat di berbagai wilayah. Dampak yang terasa
dari lahan yang rusak demikian adalah bila hujan sedikit saja maka air di atas
gunung begitu deras turun tanpa bisa ditahan, dan air yang turun bukan lagi
air hujan jernih melainkan telah bercampur dengan lumpur dan debu batu
bara. Bahkan sekarang ini Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan
Meratus yang dulunya biru telah berubah tingkat warna dan kekeruhan akibat
pertikel lumpur dan material lainnya. Sampai-sampai alat pengukur
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin
yang mengambil air sungai tersebut sebagai bahan baku tak bisa lagi
mengukurnya, lantaran tingginya tingkat kekeruhan dan warna itu.Hasil
sebuah penelitian begitu tingginya tingkat kekeruhan dan warna air Sungai
Martapura tersebut ternyata air itu telah mengandung sejenis kaolin yakni
bahan kimia yang berasal dari tambang batu bara. Bukan hanya itu tambang
batu bara di Kalsel telah mengubah tingkat polusi udara dan debu di berbagai
wilayah Kalsel.
Untuk itu diperlukan tanggung jawab dari semua elemen masyarakat
dalam menjaga tatanan lingkungan hidup dan lingkungan sosial sehingga
diharapkan akan tercipta suatu cara perspektif yang lebih baik dalam
mengelola lingkungan.
Menurut Ahyar [dkk], (2010), bahwa kerusakan akibat pertambangan
dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca
pertambangan. Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan
teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik
pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman
bahan tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan
dengan sistem tambang terbuka (open pit) yakni sistem dumping (cara
penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah). Dampak dari
pertambangan batubara sistem terbuka ini adalah penurunan sifat sifat-sifat
fisik dan kimia, perubahan tofografi lahan, hilangnya vegetasi alami,
berkurangnya satwa liar, selain itu juga dampak dari adanya pertambangan
menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem yang besar, padahal gangguan
logam berat pada lahan-lahan dapat mengubah secara mendasar masyarakat
tumbuhan, sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Sisa-sisa bekas galian
tambang menjadi lahan yang sangat tidak subur, bahkan mengandung unsur
logam (mercury) yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman (Subowo,
2010).
Meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara resmi juga berdampak
pada meningkatnya kegiatan Pertambangan Tanpa lzin (PETI) batubara di
Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan PETI batubara di Kabupaten Banjar
sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan berkembang
cepat seiring dengan perubahan situasi dan kondisi ekonomi politik di tanah
air. Pada tahun 1997, terdapat 157 pengusaha/perorangan yang melakukan
kegiatan PETI batubara, yang meningkat menjadi 445 pengusaha/perorangan
pada tahun 2000 dan tersebar di seluruh kabupaten yang ada di Provinsi
Kalimantan Selatan (Qomariah 2003).
Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan
lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa
kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan,
penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung
jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Akibat yang ditimbulkan
antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti
contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan),
kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-
logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba
tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian
lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat
ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan
rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang
rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan
kondisi semula (Rahmawaty, 2002).
Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan
daya dukung alam, diantaranya adalah kerusakan dalam (internal) dan
kerusakan luar (external). Kerusakan dalam adalah kerusakan yang
disebabkan oleh alam itu sendiri. Kerusakan jenis ini sangat sulit untuk
dicegah karena merupakan suatu proses alami yang sangat sulit untuk diduga,
seperti letusan gunung berapi yang dapat merusak lingkungan, gempa bumi
yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang dapat mengancam organisme
hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan yang bersifat dari
dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh yang ditimbulkan
dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama. Kerusakan luar (external) adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan
alam dalam usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada
umumnya disebabkan oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah,
ataupun membuka sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup
serta tidak mempelajari segi efektivitasnya dan dampaknya terhadap
lingkungan disekitarnya. Beberapa contoh penyebab kerusakan daya dukung
alam yang berasal dari luar adalah pencemaran udara dari pabrik
dankendaraan bermotor, pembuangan limbah pabrik yang belum diolah dulu
menjadi pembuangan limbah yang bersahabat dengan alam. Karena
kerusakan faktor luar ini disebabkan oleh ulah manusia, maka manusia
hendaknya lebih bertanggungjawab terhadap adanya upaya untuk merusak
lingkungan hidup, Hal ini tercermin dari akibat pengelolaan lingkungan
hidup yang tidak benar dan akibat pencemaran lingkungan yang ada sampai
sekarang ini.
Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga ratus) tahun
belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka bumi ini,
dan semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu
saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Menurut fakta ini,
perlu adanya upaya penyelematan lingkungan. Usaha seperti ini tentunya
dimulai dari diri sendiri. Setiap individu harus memberikan suatu sumbangan
dan penyelamatan lingkungan demi kelestarian lingkungan. Dengan
demikian, setiap individu harus mengingatkan minimal dirinya sendiri bahwa
setiap tindakan yang mencemari lingkungan, dengan menggunakan zat kimia
berbahaya perlu diperhatikan terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk
lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah diketahui bersama,
adanya kerusakan lingkungan lebih banyak dikarenakan adanya ulah manusia
dan adanya faktor alam yang ada selama ini.
8.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara
a. Pengertian Reklamasi Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur
dalam Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga
negara /masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang
dilakukan di Negara bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara
mengamankan sumberdaya lahan agar tidak rusak pada aktifitas
eksploitasi tambang batubara terbuka. Supervisi reklamasi lahan
dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung dengan Undang-Undang
tentang perlindungan sumberdaya lahan dengan perangkat aturan
pelaksanaannya (Arnold.2001). Demikian pula di Indonesia, pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup diikuti tindakan berupa
pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan
umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
payung dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar
penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada
sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat dan
utuh didalam suatu sistem (Rensi, 2012).
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas
tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
Menurut Sitorus (2003) alat strategis untuk memperbaiki
kerusakan akibat penambangan sistem terbuka adalah dengan
mengembalikan sisa hasil penambangan kedalam lubang-lubang tambang,
dan menanam kembali vegetasi dengan memperhatikan sisa galian
(tailing) yang mengandung bahan beracun. Pada lahan pasca tambang
batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya menciptakan agar
permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara
keberlanjutan (self-sustaining) dan dapat digunakan untuk berproduksi,
dimulai dari hubungan antara tanah dan vegetasi, sebagai titik awal
membangun ekosistem baru. Reklamasi lahan pasca tambang batubara
yang dikaitkan dengan revegetasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi
berlanjutnya kerusakan lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur
hara melalui pelapukan serasah daun yang jatuh. Aktifitas tersebut
diharapkan dapat secara berkelanjutan dan dapat membentuk ekosistem
baru.
Gambar 8.2.1 Reklamasi Lahan Bekas Tambang
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau
menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya. Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya
untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan
lingkungan ekosistem yang baik dan juga diupayakan menjadi lebih baik
dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi
bahan galian yang masih tertinggal.
Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan pertambangan
yang diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada keadaan semula,
bahkan jika memungkinkan dapat lebih baik dari kondisi sebelum
penambangan. Kegiatan reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas
tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan
mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya
untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk
memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak
mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.
Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri
dari recontouring/ regrading/resloping lubang bekas tambang dan
pembuatan saluran-saluran drainase untuk memperoleh bentuk wilayah
dengan kemiringan stabil, top soil spreading agar memenuhi syarat
sebagai media pertumbuhan tanaman, untuk memperbaiki tanah sebagai
media tanam, revegetasi dengan tanaman cepat tumbuh, tanaman asli lokal
dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu juga direncanakan
pengembangan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan atau tanaman
hutan industri, jika perencanaan penggunaan lahan memungkinkan untuk
itu (Djati, 2011).
b. Teknologi dan langkah-langkah reklamasi
Menurut Dariah [dkk], (2010), bahwa Reklamasi lahan perlu
dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna
bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain
perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta
kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan
pengelolaan lahan tambang tidak cukup hanya dengan study kelayakan
pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan
perencanaan penutupannya (planning of closure), yang mencakup
perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi.
Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin
penambangan. Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan
dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi
dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi). Namun
secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut:
1. Konservasi Top Soil
Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk, merupakan lapisan
tanah yang perlu dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk
dijadikan media tumbuh tanaman. Hal ini mencerminkan bahwa proses
reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan
dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal
penggalian. Namun banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi
hal ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya
tinggi, dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada.
Beberapa hal yang harus diperhatikan, adalah:
(a) menghindari tercampurnya subsoil yang mengandung unsur atau
senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara
mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan,
(b) menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan
untuk tumbuh tanaman,
(c) menempatkan galian tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi
dan penimbunan bahan galian lainnya,
(d) menanam legum yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk
untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.
2. Penataan Lahan
Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang
alam, antara lain dengan cara:
(a) menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan
limbah tailing (overburden). Lubang kolong yang sangat dalam
dibiarkan terbuka, untuk penampung air;
(b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air,
(c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali,
diantaranya dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah,
jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan
bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi, misalnya
dengan pembuatan teras,
(d) menempatkan tanah pucuk agar dapat digunakan secara lebih
efisien. Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah
pucuk diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat
pula diletakkan pada lubang tanam.
3. Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi
Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan
penangkap sedimen, seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan
penangkap yang relatif besar. Cara vegetative juga merupakan metode
pencegahan erosi yang dapat diterapkan pada areal bekas
tambang. Tala’ohu et al. (1995) menggunakan strip vetiver untuk
pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver
merupakan pilihan yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan
erosi, tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk
sehingga bertindak sebagai tanaman pioner.
4. Penanaman Cover Crop
Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha
untuk memulihkan kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena
itu keberhasilan penanaman penutup tanah sangat menentukan
keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan. Karakteristikcover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah ditanam, cepat tumbuh
dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang menguntungkan
(rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan
biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak
berkompetisi dengan tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas
tambang nikel PT Inco (Ambodo, 2008) menggunakan dua jenis rumput
(Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta dua jenis legum
(Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.)
sebagai cover crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum
lokal seperti Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp.,
dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut dalam waktu
dua bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%.
Kemampuan tanaman penutup untuk mendukung pemulihan kualitas
tanah sangat tergantung pada tingkat kerusakan tanah. Santoso
[dkk], (2008). menyatakan bahwa sebaiknya cover crop ditanam
pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi.
5. Penanaman Tanaman Pionir
Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan
penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar benih,
khususnya burung, lebih baik jika digunakan lebih dari satu jenis
tanaman pionir/multikultur (Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman
pionir adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum), Sengon
(Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), Cemara
(Casuarina sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun
kerapatan tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu
mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk melakukan restorasi jenis-
jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran. Tanaman pioner
ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang x
dalam sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan
pupuk organik. Di beberapa lokasi, tanaman pioneer ditanam langsung
setelah penataan lahan, padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah
(Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah, meskipun sudah ditanam
dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya pada awal
pertumbuhan, selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa
diantaranya mati, karena media tanam dalam pot sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso [dkk],(2008) menyatakan
bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke
3-5, setelah penanaman tanaman penutup tanah.
6. Penanggulangan Logam Berat
Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di atas
ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar
logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk
memantapkan timbunan buangan tambang dan membangun kandungan
bahan organik, bermanfaat pula untuk mengurangi kadungan logam
berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan (Notohadiprawiro,
2006). Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa bahan organik
berkorelasi negatif dengan kelarutan logam berat di dalam tanah, karena
keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tukar kation
(KTK) tanah (Salam [dkk]. dalam Haryono dan Soemono, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik
dikombinasikan dengan pencucian dapat menurunkan kandungan logam
mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%. Pada areal dengan kandungan
logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman
komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran
terhadap logam berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis
tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang
dapat bertahan hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb
sampai 30.000 mg/kg dan Zn sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini
ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon dengan mikoriza
(Notohadiprawiro, 2006). Perlu diidentifikasi tanaman-tanaman lain
yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di wilayah
tropis seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan
pencemaran logam berat dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng
gondok dapat digunakan untuk membersihkan badan air dari logam
berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan logam berat dengan
mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut dengan
bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang
dapat dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di
lingkungan perairan (Mursyidin, 2006).
Menurut Latifah (2003) mengatakan bahwa Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia dan biologi seperti : bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk menghindari dampak lingkungan yang merugikan seperti erosi, sedimentasi, drainase yang buruk, masuknya gulma/hama/penyakit tanaman, pencemaran air permukaan/air tanah oleh bahan beracun dan lain-lain.
Sasaran Reklamasi Dalam kegiatan reklamasi terdiri dari dua
Kegiatan yaitu :
1. Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang
terganggu ekologinya.
2. Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki
ekologinya untuk pemanfaatannya selanjutnya.
Untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang diperlukan
perencanaan yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai
sasaran sesuai yang dikehendaki.
Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi
adalah sebagai berikut :
1. Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan
penambangan
2. Luas areal yang direklamasikan sama dengan luas areal
penambangan.
3. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat
tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi.
4. Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak
5. Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun
sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat
pembuangan.
6. Mengembalikan lahan seperti keadaan semula atau sesuai dengan
tujuan penggunaannya.
7. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.
8. Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam
aktifitas penambangan.
9. Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak
memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya
mampu menembus tanah yang keras.
10. Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang
diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman
kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana
rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL yang dibuat.
11. Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.
12. Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi
yang diharapkan.
Setiap lokasi pertambangan mempunyai kondisi tertentu yang
mempengaruhi pelaksanaan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi
umumnya merupakan gabungan dari pekerjaan teknik sipil dan teknik
re vegetasi. Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang,
pengaturan bentuk lahan (“landscaping”), pengaturan/penempatan
bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum
dimanfaatkan.
2. Pengendalian erosi dan sidementasi
3. Pengelolaan tanah pucuk (“top soil”).
4. Revegetasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan
bekas tambang untuk tujuan lainnya.
8.3. Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu BaraLahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami
perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan
menjadi lahan kritis.
Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang
termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis,
dapat diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah mengalami
kerusakan, ciri yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah
kedalaman efektip tanah sangat dangkal. Terdapat berbagai lapisan
penghambat pertumbuhan tanaman seperti pasir, kerikil, lapisan sisa-
sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat lapisan cadas.
Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem, yaitu
antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur
dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan kata
lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok pada jarak
pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif
terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-
orologis, lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya
sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan
lahan untuk menahan, menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada
vegetasi atau tanaman penutup lahan. (Sitorus,2003).
Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh penambang yang
tidak resmi (illegal mining) tidak pernah melakukan rehabilitasi lahan.
Permasalahan rehabilitasi lahan pasca penambangan, menurut Lubis (1997)
adalah hal yang paling rumit, karena disamping menyangkut masalah biaya,
waktu juga diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan bagaimana
melakukan reklamasi lahan sekaligus sebagai media tumbuh vegetasi agar
tercipta kelestarian lingkungan alam tetap terjaga.
Menurut David (2013) Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi
awal lahan yang telah digunakan sektor pertambangan belum satu
suara. Kementerian Kehutanan meminta agar pengembalian fungsi lahan
yang telah digunakan sektor pertambangan harus dihijaukan dengan cara
menanam pepohonan. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) menilai upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat danau
pasca eksplorasi tambang. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian
Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), proses reklamasi yang diharapkan
Kementrian Kehutanan selama ini mengharuskan lahan tambang perlu
dihijaukan dengan ditumbuhi pepohonan setelah eksploitasi, padahal aspek
tersebut bisa dialihkan dengan membuat aksi lain sehingga lahan bekas
tambang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Kajian ini dapat didiskusikan bersama antara Kementrian ESDM
dengan Kemenhut. Pihaknya ingin kegiatan sektor tambang tetap meningkat
seiring implementasi proses hilirisasi karena itu upaya yang justru menambah
beban biaya di sektor ini perlu diperhatikan. "Mereka itu kan ingin tetap ada
profitnya. Kalau mereka tidak ada penerimaan negara juga nihil. Setidaknya
kita harus sama-sama untung," .
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen)
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas tambang
perlu dilakukan guna memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi dalarn kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya.
Sementara itu, Ketua Umum Forum Rehabilitasi Hutan pada Lahan
Bekas Tambang, menyebutkan bahwa reklamasi lahan bekas tambang tidak
hanya sekedar dihijaukan namun harus memiliki nilai tambah dan
memberikan manfaat kepada berbagai stokeholder di lingkungan bekas
tambang tersebut. "Usaha pertambangan memiliki peranan yang sangat
penting untuk mendukung perekonomian nasional, serta dapat memberikan
kontribusi yang signifikan kepada masyarakat”, Maka dari itu, pertambangan
harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan diawasi oleh orang yang ahli
lingkungan yang menyangkut pertambangan. Hal ini dilakukan agar
lingkungan juga bisa dinikmati oleh anak cucu di masa mendatang.
Deputi Bidang Pengendalian Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup mengatakan bahwa , program reklamasi lahan bekas tambang tidak
lagi harus mengembalikan fungsi lahan sebagai hutan. "Bekas tambang itu
dapat dijadikan kawasan hutan, terutama kalau memang asalnya hutan. Tapi
seiring dengan perkembangan kawasan itu, bekas tambang dapat juga
dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian palawija, irigasi, air
baku, atau taman wisata air," paparnya.
Berdasarkan definisi Peraturan Menteri ESDM, reklamasi adalah
kegiatan perusahaan yang bertujuan memperbaiki atau menata lahan yang
terganggu agar dapat berfungsi dan berguna kembali sesuai
peruntukannya. Secara umum kegiatan pertambangan seperti tambang
batubara dapat memberikan keuntungan ekonomis namun juga dapat
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem tanah.
Kegiatan pertambangan yang dilakukan dengan pertambangan
terbuka, akan menimbulkan tumpukan bahan non-batubara. Tanah sisa galian
pertambangan batubara terdiri dari sisa batubara (batubara muda) dan batuan-
batuan seperti batu liat (clay stone), batu lanau (silt stone), batu pasir
(sand stone) atau tufa vulkan (Tala’ohu [dkk], 1995).
Tanah galian batubara umumnya tersusun terbalik dari susunan
awalnya. Tanah lapisan atas (top soil) berada di bawah tanah lapisan bawah
(sub soil). Umumnya bahan-bahan ini ditumpuk diatas tanah-tanah yang
produktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan
menurunkan produktivitas tanah.
Umumnya areal bekas timbunan batubara ini dalam beberapa tahun pertama
sulit ditumbuhi vegetasi karena berbagai macam kendala.
Beberapa kendala fisik yang dihadapi dalam upaya reklamasi tanah
bekas penambangan batubara yakni: tanah terlalu padat, struktur tanah tidak
mantap, aerasi dan drainase tanah jelek, serta lambat meresapkan air. Selain
itu kendala kimia seperti pH sangat masam, tingginya kadar garam, dan
rendahnya tingkat kesuburan tanah merupakan pembatas utama dalam
mereklamasi area tanah timbunan. Konsekuensinya diperlukan input yang
relatif besar (seperti: pupuk buatan dan pupuk organik, berbagai senyawa
senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan
prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki
kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Kegiatan pascapenambangan berupa kegiatan reklamasi yang
terencana sejak
sebelum penambangan dapat memiliki banyak kendala yaitu (1) curah hujan
tinggi yang mengakibatkan hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi, (2)
potensi terjadinya erosi permukaan yang mempengaruhi kestabilan daerah
timbunan, (3) kondisi lapisan tanah yang masam dan tingkat hara yang rendah
(umumnya di Kalimantan) dan (4) keterbatasan materialoverburden NAF
(Non Acid Forming). penggunaan alat berat dalam kegiatan penambangan
dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga menurunkan porositas,
permeabilitas dan kapasitas penahan air tanah. masalah yang dijumpai dalam
mereklamasi lahan bekas tambang adalah masalah fisik, kimia (berupa nutrisi
maupun keracuanan hara) dan biologi. Kegiatan pertambangan
mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah, mempengaruhi
stabilitas tanah dan bentuk lahan.
Kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi harus terencana
dengan baik agar dalam pelaksanaanya tercapai sasaran yang diinginkan atau
sesuai tata ruang yang telah direncanakan. Pada proses akhir penambangan
batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam proses
penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis antara bahan
induk, overburden dan top soil. Lahan bekas penambangan umumnya
mengalami dampak penurunan kesuburan tanah, khususnya kandungan bahan
organik tanah.
8.4. Alternatif Solusi yang Ditawarkan.
Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor
pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara untuk
memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian (bahan
mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar diberbagai
daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini
penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan
zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai barat,
pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki erupsi
indeks 99% (Munir, 1996). Laju pasokan mineral berlangsung intensif,
sehingga Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain
pihak laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila
tidak segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit
bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila
dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemari lingkungan
(Subowo, 2012).
Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah
berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar
pengolahan relative tidak berubah, yang berubah adalah skala
kegiatannya. Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan skala
pertambangan semakin membesar. Perkembangan teknologi pengolahan
menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga
semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah
permukaan (Sabtanto, 2010).
Simarmata (2005) menyebutkan salah satu strategi dan upaya yang
ramah lingkungan untuk mengembalikan vitalitas (kualitas dan kesehatan)
tanah adalah dengan sistem pertanian ekologis terpadu. Pengembangan
pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam bidang bioteknologi
tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati
(biofertilizers). Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah dan mempertahankan kualitas
tersebut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil
maupun kualitas dari berbagai tanaman secara signifikan.
Pupuk hayati yang sering digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas
pertambangan adalah mikoriza. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis
mutualisme antara jamur dan akar tanaman tingkat tinggi. Dimana jamur
mendapatkan keuntungan dari suplai karbon (C) dan zat-zat essensial dari
tanaman inang dan tanaman inang mendapatkan berbagai nutrisi, air, dan
proteksi biologis (Turjaman [dkk], 2005).
Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas pertambangan
maupun lahan kritis secara signifikan. Selain itu mikoriza juga memiliki
peranan yang sangat penting untuk melindungi tanaman dari serangan
patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan yang kurang kondusif seperti: pH
rendah, stress air, temperatur ekstrim, salinitas yang tinggi, dan tercemar
logam berat (Setiadi, 2004).
Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti mikoriza dapat
meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman (Jagung, Kedelai, Kacang
Tanah, Tomat, Padi, dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi
tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Tanaman
jagung sendiri merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dijadikan
objek dalam penelitian mengenai mikoriza. Berdasarkan hasil penelitian
Margaretha (2010) diperoleh hasil Pemberian mikoriza dapat mempengaruhi
kolonisasi mikoriza pada rhizosfer, derajat infeksi akar, C-organik, P tersedia
dan tinggi tanaman , namun belum berpengaruh terhadap pH tanah, N-total
tanah, dan berat kering tanaman. Pemberian mikoriza pada takaran 200 g
pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap derajat infeksi akar, dan
perlakuan 100 g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap kolonisasi
mikoriza di rhizosfer tanaman jagung manis.
Menurut Mursyidin (2009) menyimpulkan bahwa Upaya perbaikan
lahan bekas tambang merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan. Hal ini
karena sistem perbaikan (reklamasi) lahan yang sudah ada masih
dilaksanakan secara konvensional, yaitu dengan menanami areal bekas
tambang tersebut dengan tumbuhan. Upaya perbaikan dengan cara ini
dirasakan kurang efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa
beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, termasuk bekas lahan tambang.
Teknologi alternatif perbaikan lahan bekas tambang menggunakan
mikroorganisme terutama jamur (fungi) merupakan hal yang sangat menarik
dan penting dilakukan. Hal ini karena jamur memiliki keistimewaan, selain
adaptif terhadap berbagai kondisi tanah juga kemampuannya dalam
menguraikan bahan organik dan membantu proses mineralisasi di dalam
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Subandrio, Sukarman, dan Ronny, P. Tambunan. 2012 Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro Indonesia . Environmental Department PT Adaro Indonesia. Environmental Department PT Adaro Indonesia.
email : agussubandrio @ptadaro. com, [email protected], [email protected]
Ahyar Gunawan1*, I Nengah Surati Jaya2, dan Muhammad Buce Saleh2. Teknik Cepat
Identifikasi Lahan Terbuka Melalui Citra Multi Temporal dan Multi
Spasial Quick Tecniques in Indentifying Open Area by the Use of Multi Spatial and Multidate Imageries. JMHT Vol. XVI, (2): 63–72,
Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-0469.
Ambodo, A.P. 2004. Aplikasi Mikoriza untuk Peningkatan Pertumbuhan Tanaman dan
efisiensi Biaya pada Lahan Pasca Tambang di PT. International Nickel Indonesia.
Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Rapat Koordinasi serta Fasilitasi
Nasional, Penerapan Bioremediasi untuk Reklamasi dan Rehabilitasi lahan Bekas
Tambang di Kawasan Timur Indonesia, 5 April 2004, Jakarta.
Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam
Ratulangi, Manado.
Arnold,B.H.2001. The Evaluation of Reclamation Derelict Land and Ecosistems.
Journal Land Rehabilitation and Restoration Ecology.7(2):35-54,
Massachusetts. USA.
Bramas. 2012. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Di Lahan
Reklamasi Pasca Tambang Batubara Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan.
Dariah.,A1, A. Abdurachman1, dan D. Subardja2. 2010. Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian. Reclamation of Ex-Mining Land for Agricultural Extensification. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010. ISSN 1907-0799.
David.,D (2013). Reklamasi Tambang. Neraca. www.ima-api.com/index.
php.723%3Thursday, 07 February 2013 08:19 David Dwiarto. E-mail Print
PDF. JAKARTA. Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi
awal lahan yang telah digunakan. Thursday, 07 February 2013 08:19.
Djati Murjanto. 2011. Karekterisasi dan Perkembangan Tanah Pada Lahan Reklamasi
Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi tanah tercemar mercuri (Hg) akibat
penambangan emas dengan pencucian dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal
Tanah dan Iklim.
Hasan Zainuddin.2007. Tambang Batubara Sembahkan Surga Atau
Neraka.hasanzainuddin.wordpress.com/2007/11/03/43/3 Nov 2007 –,
25/1 (ANTARA).
Karwan, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta
Latifah.,S. 2003. Kegiatan Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang Program Ilmu
Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Sumatera Utara.
Lubis, M.1997. The Development of Indonesia’s Coal Supply Industry Trade and
Investment Issues. Paper Presented at APEC Coal Trade and Investment
Liberalization and Facilitation Workshop, August 5, Jakarta.
Margarettha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara Dengan Pupuk Hayati Mikoriza Sebagai Media Tanam Jagung Manis The Used of Ex-Coal Mining Soil With Mycorrhiza Biofertilizers To Growth Sweet Corn. J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 1 – 10, 2010. ISSN 2086 – 4825
Matthew L. Carlson1, Lindsey A. Flagstad1, Franc¸ ois Gillet2,3 and Edward A. D.
Mitchell3,4,5*Community development along a proglacial chronosequence: are
above-ground and below-ground community structure controlled more by biotic
than abiotic factors. Journal of Ecology 2010, 98, 1084–1095. British Ecological
Society.
Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.
Mursyidin, D.H. 2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Biologi
FMIPA
Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.
_____________. 2009.Memperbaiki Lahan Bekas Tambang dengan
Mikroorganisme. Biologi FMIPA Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau
Indonesia.
Notohadiprawiro,T.1999.Tanah dan Lingkungan. Diterbitkan oleh Dit-Jen Dikti,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,Jakarta.