Reklamasi

42
BAB VIII TEORI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG BATUBARA 8.1. Dampak Pertambangan Batubara Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan nasional dengan memperhatikan kelestariannya. Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah satu sektor penyumbang devisa negara yang terbesar. Menurut Soemarno (2006) bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor yang sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar. Dampak lingkungan kegiatan pertambangan antara lain : penurunan produktivitas tanah, pemadatan

description

teknik tambang reklamasi

Transcript of Reklamasi

Page 1: Reklamasi

BAB VIII

TEORI REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG

BATUBARA

8.1. Dampak Pertambangan Batubara

Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi vegetasi, tanah, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu modal

dasar dalam pembangunan Nasional oleh karena itu harus dimanfaatkan

sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan kepentingan pembangunan

nasional dengan memperhatikan kelestariannya.

Salah satu kegiatan dalam memanfaatkan sumberdaya alam adalah

kegiatan pertambangan bahan galian yang hingga saat ini merupakan salah

satu sektor  penyumbang devisa negara yang terbesar.  Menurut Soemarno

(2006) bahwa keberadaan pertambangan secara signifikan menjadi sektor

yang sangat strategis dan sentral dalam kerangka pembangunan

nasional. Namun demikian kegiatan pertambangan apabila tidak dilaksanakan

secara tepat dapat menimbulkan dampak negatif  terhadap lingkungan

terutama gangguan keseimbangan permukaan tanah yang cukup besar.

Dampak lingkungan kegiatan pertambangan antara lain : penurunan

produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi,

terjadinya gerakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna,

terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk, serta perubahan iklim

mikro.

 Dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan tersebut

perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan di luar batas kewajaran. Salah

satu upaya meminimalisir kerusakan tersebut adalah dengan melakukan

reklamasi.  Prinsip kegiatan Reklamasi adalah :

(1) kegiatan Reklamasi harus dianggap sebagai kesatuan yang utuh dari

kegiatan penambangan

Page 2: Reklamasi

(2) kegiatan Reklamasi harus dilakukan sedini mungkin dan tidak harus

menunggu proses penambangan secara keseluruhan selesai dilakukan

(Latifah, 2003).

Perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi serta tumbuhnya

industri yang begitu pesat, tentunya dirasakan pengaruhnya baik itu yang

menyangkut dampak positif  maupun dampak negatifnya.   Dampak

positifnya tentunya terjadinya peningkatan mutu dan kualitas hidup yang

lebih komplek dengan ditandai dengan adanya kesenangan dan impian

manusia yang menjadi lebih mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan

mereka sehari-hari sebagai contoh, pertambangan batubara di Kalimantan

Selatan,  perusahaan skala besar yang mengelola tambang batu bara di

Kalimantan Selatan  berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pengembangan

Pertambangan Batu Bara (PKP2B) ada beberapa buah diantaranya PT. Adaro

Indonesia, PT. Arutmin Indonesia, PT. Bantala Coal Mining, dan beberapa

lagi. Sementara perusahaan kecil melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP)

yang diberikan oleh kabupaten/kota menyusul adanya era otonomi daerah

yang jumlah perizinnanya ratusan buah,  belum termasuk ratusan perusahaan

penambangan tanpa ijin (Peti) yang dilakukan secara kelompok atau

perorangan yang sangat menyemarakkan usaha pertambangan batu bara di

Kalimantan Selatan  tersebut. Merebaknya tambang batu bara di “bumi

Pangeran Antasari” tersebut menimbulkan gairah di bidang ekonomi, dimana

devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang itu dengan tujuan

berbagai negara di dunia.

Catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)

Kalimantan Selatan tahun 2007,  sekitar 60 persen nilai ekspor non migas

asal propinsi ini atau sekitar 1,5 miliar Dolar AS per tahun berasal dari ekspor

tambang batubara, bukan saja untuk ekspor, ternyata hasil tambang batubara

tersebut kini diperebutkan pula untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)

milik PT. PLN (Persero) seperti PLTU Suryalaya Jawa Barat, PLTU Paiton

Jawa Timur, dan PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan  sendiri, disamping

untuk kebutuhan industri lainnya di tanah air. Oleh sebab itu, banyak

Page 3: Reklamasi

kalangan yang telah mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan hidup

mereka secara meteriil setelah memperoleh porsi dari mengelola tambang

batu bara tersebut.  Tak heran apabila dalam suatu wilayah yang tadinya

termasuk wilayahrelatif miskin berubah menjadi kawasan yang kaya raya,

sebagai contoh ;  kawasan Kecamatan Satui dan Batulicin, Kabupaten Tanah

Bumbu, Kecamatan Pegaron Kabupaten Banjar,Kecamatan Jorong Kabupaten

Tanah Laut, dan beberapa wilayah di Kabupaten Tapin, Kotabaru,

Balangan, serta Kabupaten Tabalong.  Banyak warga yang tadinya hanya

sebagai petani atau buruh atau pedagang kecilan serta pegawai negeri sipil

(PNS) rendahan sekarang berubah menjadi “saudagar kaya”. Tadinya hanya

memanggul cangkul sekarang sudah bergaya, memakai mobil mewah, bahkan

sebagian rakyat yang selama ini miskin juga terkena imbasnya dengan

meningkatkan perekonomian masyarakat tersebut (Hasan,

2007). Sedangkan  dampak negatif dari adanya pertambangan batubara

terjadi suatu kerusakan dalam tatanan lingkungan yang ada baik itu

lingkungan hidup, maupun lingkungan sosial.  Dalam perkembangannya,

tatanan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial hendaknya senantiasa

diperhatikan agar tidak mendatangkan berbagai jenis bencana,  Bagaimana

tidak, di kawasan daratan Kalimantan Selatan yang dikenal dengan bentuk

Rumah Bubungan Tinggi itu telah hancur, selain hutan gundul karena

penebangan kayu secara membabi buta, sekarang

ditambang oleh pertambangan batu bara yang tak terkendali.  Bahkan fakta

memperlihatkan,ternyata wilayah resapan air berupa hutan tropis basah di

Pegunungan Meratus kini telah tercabik-cabik oleh pertambangan batu bara

baik legal maupun ilegal yang dikelola pihak preman-preman.

Page 4: Reklamasi

Gambar 8.1.1 Dampak Pertambangan

Di kawasan pertambangan PT. Adaro Indonesia (kabupaten Balangan

dan Tanjung),terdapat beberapa buah tandon raksasa atau kawah besar bekas

tambang yang menyebabkan bumi menganga tak mungkin bisa direklamasi,

akhirnya dibiarkan begitu saja.  Begitu juga di kawasan Satui dimana PT.

Arutmin Indonesia  beroperasi terdapat lubang-lubang pula namun agak

sedikit baik karena perusahaan ini berhasil mereklamasinya sebab tambang di

sini tak dalam, tetapi telah menyebabkan alam berganti menjadi hutan buatan

hasil revegetasiperusahaan tetapi telah menghilangkan hutan alam penjaga

lingkungan. Kondisi paling parah terlihat pada ratusan bahkan ribuan hektare

lahan bekas tambang Peti yang dikelola masyarakat baik perusahaan kecil

atau individu. Lahan-lahan mereka tersebut digali, kemudian diambil batu

baranya lalu bekas tambang itu dibiarkan rusak parah begitu saja tanpa

adanya reklamasi seperti terlihat di berbagai wilayah. Dampak yang terasa

dari lahan yang rusak demikian adalah bila hujan sedikit saja maka air di atas

gunung begitu deras turun tanpa bisa ditahan, dan air yang turun bukan lagi

air hujan jernih melainkan telah bercampur dengan lumpur dan debu batu

bara.  Bahkan sekarang ini Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan

Meratus yang dulunya biru telah berubah tingkat warna dan kekeruhan akibat

Page 5: Reklamasi

pertikel lumpur dan material lainnya. Sampai-sampai alat pengukur

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bandarmasih, Kota Banjarmasin

yang mengambil air sungai tersebut sebagai bahan baku tak bisa lagi

mengukurnya, lantaran tingginya tingkat kekeruhan dan warna itu.Hasil

sebuah penelitian begitu tingginya tingkat kekeruhan dan warna air Sungai

Martapura tersebut ternyata air itu telah mengandung sejenis kaolin yakni

bahan kimia yang berasal dari tambang batu bara. Bukan hanya itu tambang

batu bara di Kalsel telah mengubah tingkat polusi udara dan debu di berbagai

wilayah Kalsel.

Untuk itu diperlukan tanggung jawab dari semua elemen masyarakat

dalam menjaga tatanan lingkungan hidup dan lingkungan sosial sehingga

diharapkan akan tercipta suatu cara perspektif  yang lebih baik dalam

mengelola lingkungan.

Menurut Ahyar [dkk], (2010), bahwa kerusakan akibat pertambangan

dapat terjadi selama kegiatan pertambangan maupun pasca

pertambangan.  Dampak lingkungan sangat terkait dengan teknologi dan

teknik pertambangan yang digunakan. Sementara teknologi dan teknik

pertambangan tergantung pada jenis mineral yang ditambang dan kedalaman

bahan tambang, misalnya pada penambangan batubara yang dilakukan

dengan sistem tambang terbuka (open pit) yakni sistem dumping (cara

penambangan batubara dengan mengupas permukaan tanah).  Dampak dari

pertambangan batubara  sistem terbuka ini adalah penurunan sifat sifat-sifat

fisik dan kimia, perubahan tofografi lahan, hilangnya vegetasi alami,

berkurangnya satwa liar, selain itu juga dampak dari adanya pertambangan

menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem yang besar, padahal gangguan

logam berat pada lahan-lahan dapat mengubah secara mendasar masyarakat

tumbuhan, sifat fisik, kimia, serta biologi tanah. Sisa-sisa bekas galian

tambang menjadi lahan yang  sangat tidak subur, bahkan mengandung unsur

logam (mercury) yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman (Subowo,

2010).     

Page 6: Reklamasi

Meningkatnya kegiatan pengusahaan batubara resmi juga berdampak

pada meningkatnya kegiatan Pertambangan Tanpa lzin (PETI) batubara di

Provinsi Kalimantan Selatan. Kegiatan PETI batubara di Kabupaten Banjar

sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan berkembang

cepat seiring dengan perubahan situasi dan kondisi ekonomi politik di tanah

air.  Pada tahun 1997, terdapat 157 pengusaha/perorangan yang melakukan

kegiatan PETI batubara, yang meningkat menjadi 445 pengusaha/perorangan

pada tahun 2000 dan tersebar di seluruh kabupaten yang ada di Provinsi

Kalimantan Selatan (Qomariah 2003).

Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan

lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu lingkungan, berupa

kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan

kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kegiatan seperti pembukaan hutan,

penambangan, pembukaan lahan pertanian dan pemukiman, bertanggung

jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi.  Akibat yang ditimbulkan

antara lain kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti

contohnya lapisan tanah tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan),

kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-

logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba

tanah. Untuk itu diperlukan adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelestarian

lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya tersebut dapat

ditempuh dengan cara merehabilitasi ekosistem yang rusak. Dengan

rehabilitasi tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang

rusak sehingga dapat pulih, mendekati atau bahkan lebih baik dibandingkan

kondisi semula (Rahmawaty, 2002).

Secara garis besar, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan

daya dukung alam, diantaranya adalah kerusakan dalam (internal) dan

kerusakan luar (external). Kerusakan dalam adalah kerusakan yang

disebabkan oleh alam itu sendiri. Kerusakan jenis ini sangat sulit untuk

dicegah karena merupakan suatu proses alami yang sangat sulit untuk diduga,

seperti letusan gunung berapi yang dapat merusak lingkungan, gempa bumi

Page 7: Reklamasi

yang berakibat runtuhnya lapisan tanah yang dapat mengancam organisme

hayati maupun non hayati dan lain sebagainya. Kerusakan yang bersifat dari

dalam ini biasanya berlangsung sangat cepat dan pengaruh yang ditimbulkan

dari adanya kerusakan ini adalah sangat lama. Kerusakan luar (external) adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pengelolaan

alam dalam usaha peningkatan kualitas hidup. Kerusakan luar ini pada

umumnya disebabkan oleh aktivitas pabrik yang mengeluarkan limbah,

ataupun membuka sumber daya alam tanpa memperhatikan lingkungan hidup

serta tidak mempelajari segi efektivitasnya dan dampaknya terhadap

lingkungan disekitarnya. Beberapa contoh penyebab kerusakan daya dukung

alam yang berasal dari luar adalah pencemaran udara dari pabrik

dankendaraan bermotor, pembuangan limbah pabrik yang belum diolah dulu

menjadi pembuangan limbah yang bersahabat dengan alam. Karena

kerusakan faktor luar ini disebabkan oleh ulah manusia, maka manusia

hendaknya lebih bertanggungjawab terhadap adanya upaya untuk merusak

lingkungan hidup,  Hal ini tercermin dari akibat pengelolaan lingkungan

hidup yang tidak benar dan akibat pencemaran lingkungan yang ada sampai

sekarang ini.

Menurut Rensi (2012) diperkirakan dalam masa 300 (tiga ratus) tahun

belakangan ini telah banyak spesies yang sudah punah dari muka bumi ini,

dan semakin lama akan semakin bertambah sehingga dikhawatirkan suatu

saat manusia juga, akan dapat menjadi korban kepunahan. Menurut fakta ini,

perlu adanya upaya penyelematan lingkungan.  Usaha seperti ini tentunya

dimulai dari diri sendiri.  Setiap individu harus memberikan suatu sumbangan

dan penyelamatan lingkungan demi kelestarian lingkungan.  Dengan

demikian, setiap individu harus mengingatkan minimal dirinya sendiri bahwa

setiap tindakan yang mencemari lingkungan, dengan menggunakan zat kimia

berbahaya perlu diperhatikan terhadap pengelolaan lingkungan hidup untuk

lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah diketahui bersama,

adanya kerusakan lingkungan lebih banyak dikarenakan adanya ulah manusia

dan adanya faktor alam yang ada selama ini.

Page 8: Reklamasi

 

8.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara

a.   Pengertian Reklamasi Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur

dalam Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga

negara /masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang

dilakukan di Negara bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara

mengamankan sumberdaya lahan agar tidak rusak pada aktifitas

eksploitasi tambang batubara terbuka.  Supervisi reklamasi lahan

dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung dengan Undang-Undang

tentang perlindungan sumberdaya lahan dengan perangkat aturan

pelaksanaannya (Arnold.2001).  Demikian pula di Indonesia,  pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup diikuti tindakan berupa

pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesejahteraan

umum seperti tercantum dalam UUD 1945. Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup sebagaimana telah diubah dan diperbarui oleh Undang- Undang

Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah

payung dibidang pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar

penyesuaian terhadap perubahan atas peraturan yang telah ada

sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang bulat dan

utuh didalam suatu sistem (Rensi, 2012).

Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah

upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi

kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,

pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Page 9: Reklamasi

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas

tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan

untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa

Menurut Sitorus (2003)  alat strategis untuk memperbaiki

kerusakan akibat penambangan sistem terbuka adalah  dengan

mengembalikan sisa hasil penambangan kedalam lubang-lubang tambang,

dan menanam kembali vegetasi dengan memperhatikan sisa galian

(tailing) yang mengandung bahan beracun. Pada lahan pasca tambang

batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya menciptakan agar

permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara

keberlanjutan (self-sustaining) dan dapat digunakan untuk berproduksi,

dimulai dari hubungan antara tanah dan vegetasi, sebagai titik awal

membangun ekosistem baru. Reklamasi lahan pasca tambang batubara

yang dikaitkan dengan revegetasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi

berlanjutnya kerusakan lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur

hara melalui pelapukan serasah daun yang jatuh. Aktifitas tersebut

diharapkan dapat secara berkelanjutan dan dapat membentuk ekosistem

baru.  

Page 10: Reklamasi

Gambar 8.2.1 Reklamasi Lahan Bekas Tambang

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau

menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha

pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai

peruntukannya.  Reklamasi lahan bekas tambang selain merupakan upaya

untuk memperbaiki kondisi lingkungan pasca tambang, agar menghasilkan

lingkungan ekosistem yang baik dan juga diupayakan menjadi lebih baik

dibandingkan rona awalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan potensi

bahan galian yang masih tertinggal.

Kegiatan reklamasi merupakan akhir dari kegiatan pertambangan

yang diharapkan dapat mengembalikan lahan kepada keadaan semula,

bahkan jika memungkinkan dapat lebih baik dari kondisi sebelum

penambangan. Kegiatan reklamasi meliputi pemulihan lahan bekas

tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan

mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya

untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk

memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak

mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali.

Page 11: Reklamasi

Secara teknis usaha reklamasi lahan tambang terdiri

dari recontouring/ regrading/resloping lubang bekas tambang dan

pembuatan saluran-saluran drainase untuk memperoleh bentuk wilayah

dengan kemiringan stabil, top soil spreading agar memenuhi syarat

sebagai media pertumbuhan tanaman,  untuk memperbaiki tanah sebagai

media tanam, revegetasi dengan tanaman cepat tumbuh, tanaman asli lokal

dan tanaman kehutanan introduksi. Perlu juga direncanakan

pengembangan tanaman pangan, tanaman perkebunan dan atau tanaman

hutan industri, jika perencanaan penggunaan lahan memungkinkan untuk

itu (Djati, 2011).

b. Teknologi dan langkah-langkah reklamasi

Menurut Dariah [dkk], (2010), bahwa Reklamasi lahan perlu

dilakukan diantaranya untuk meningkatkan daya dukung dan daya guna

bagi produksi biomassa. Penentuan jenis pemanfaatan lahan antara lain

perlu didasarkan atas status kepemilikan dan kondisi bio-fisik lahan, serta

kebutuhan masyarakat atau Pemda setempat. Ke depan, persyaratan

pengelolaan lahan tambang tidak cukup hanya dengan study kelayakan

pembukaan usaha penambangan saja, namun perlu dilengkapi juga dengan

perencanaan penutupannya (planning of closure), yang mencakup

perlindungan lingkungan dan penanggulangan masalah sosial-ekonomi.

Hal ini perlu dijadikan salah satu persyaratan dalam pemberian izin

penambangan.  Reklamasi lahan bekas tambang memerlukan pendekatan

dan teknologi yang berbeda tergantung atas sifat gangguan yang terjadi

dan juga peruntukannya (penggunaan setelah proses reklamasi). Namun

secara umum, garis besar tahapan reklamasi adalah sebagai berikut:

1.  Konservasi Top Soil

Lapisan tanah paling atas atau tanah pucuk, merupakan lapisan

tanah yang perlu dikonservasi, karena paling memenuhi syarat untuk

dijadikan media tumbuh tanaman.  Hal ini mencerminkan bahwa proses

reklamasi harus sudah mulai berjalan sejak proses penambangan

Page 12: Reklamasi

dilakukan, karena konservasi tanah pucuk harus dilakukan pada awal

penggalian.  Namun banyak perusahaan tambang yang tidak mematuhi

hal ini, akibatnya harus mengangkut tanah pucuk dari luar dengan biaya

tinggi, dan menimbulkan permasalahan di lokasi tanah pucuk berada.

Beberapa hal yang harus diperhatikan, adalah:

(a) menghindari tercampurnya subsoil yang mengandung unsur atau

senyawa beracun, seperti pirit, dengan tanah pucuk, dengan cara

mengenali sifat-sifat lapisan tanah sebelum penggalian dilakukan,

(b) menggali tanah pucuk sampai lapisan yang memenuhi persyaratan

untuk tumbuh tanaman,

(c) menempatkan galian tanah pucuk pada areal yang aman dari erosi

dan penimbunan bahan galian lainnya,

(d) menanam legum yang cepat tumbuh pada tumpukan tanah pucuk

untuk mencegah erosi dan menjaga kesuburan tanah.

2.  Penataan Lahan

Penataan lahan dilakukan untuk memperbaiki kondisi bentang

alam, antara lain dengan cara:

(a) menutup lubang galian (kolong) dengan menggunakan

limbah tailing (overburden). Lubang kolong yang sangat dalam

dibiarkan terbuka, untuk penampung air;

(b) membuat saluran drainase untuk mengendalikan kelebihan air,

(c) menata lahan agar revegetasi lebih mudah dan erosi terkendali,

diantaranya dilakukan dengan cara meratakan permukaan tanah,

jika tanah sangat bergelombang penataan lahan dilakukan

bersamaan dengan penerapan suatu teknik konservasi, misalnya

dengan pembuatan teras,

Page 13: Reklamasi

(d) menempatkan tanah pucuk agar dapat digunakan secara lebih

efisien. Karena umumnya jumlah tanah pucuk terbatas, maka tanah

pucuk diletakan pada areal atau jalur tanaman. Tanah pucuk dapat

pula diletakkan pada lubang tanam.

3. Pengelolaan Sedimen dan Pengendalian Erosi

Pengelolaan sedimen dilakukan dengan membuat bangunan

penangkap sedimen, seperti rorak, dan di dekat outlet dibuat bangunan

penangkap yang relatif besar. Cara vegetative juga merupakan metode

pencegahan erosi yang dapat diterapkan pada areal bekas

tambang.  Tala’ohu et al. (1995) menggunakan strip vetiver untuk

pencegahan erosi pada areal bekas tambang batu bara. Vetiver

merupakan pilihan yang terbukti tepat, karena selain efektif menahan

erosi, tanaman ini juga relatif mudah tumbuh pada kondisi lahan buruk

sehingga bertindak sebagai tanaman pioner.

4.  Penanaman Cover Crop

Penanaman cover crop (tanaman penutup) merupakan usaha

untuk memulihkan kualitas tanah dan mengendalikan erosi. Oleh karena

itu keberhasilan penanaman penutup tanah sangat menentukan

keberhasilan reklamasi lahan pasca penambangan. Karakteristikcover crop yang dibutuhkan, sebagai berikut: mudah ditanam, cepat tumbuh

dan rapat, bersimbiosis dengan bakteri atau fungi yang menguntungkan

(rhizobium, frankia, azospirilum, dan mikoriza), menghasilkan

biomassa yang melimpah dan mudah terdekomposisi, tidak

berkompetisi dengan tanaman pokok dan tidak melilit. Pada areal bekas

tambang nikel PT Inco (Ambodo, 2008) menggunakan dua jenis rumput

(Echinocloa sp. dan Cynodon dactylon) serta dua jenis legum

Page 14: Reklamasi

(Macroptilium bracteatum dan Chamaecrista sp.)

sebagai cover crop. Selain itu juga dicampurkan tanaman legum

lokal seperti Clotalaria sp., Theprosia sp., Calindra sp.,

dan Sesbania rostata. Dengan campuran jenis tersebut dalam waktu

dua bulan setelah penanaman didapatkan penutupan lebih dari 80%.

Kemampuan tanaman penutup untuk mendukung pemulihan kualitas

tanah sangat tergantung pada tingkat kerusakan tanah. Santoso

[dkk], (2008).  menyatakan bahwa sebaiknya cover crop ditanam

pada tahun pertama dan kedua proses reklamasi.

5.  Penanaman Tanaman Pionir

Untuk mengurangi kerentanan terhadap serangan hama dan

penyakit, serta untuk lebih banyak menarik binatang penyebar benih,

khususnya burung, lebih baik jika digunakan lebih dari satu jenis

tanaman pionir/multikultur (Ambodo, 2008). Beberapa jenis tanaman

pionir adalah : sengon buto (Enterrolobium cylocarpum), Sengon

(Paraserianthes falcataria), johar (Casia siamea), Cemara

(Casuarina sp.), dan Eukaliptus pelita. Dalam waktu dua tahun

kerapatan tajuk yang dibentuk tanaman-tanaman tersebut mampu

mencapai 50-60% sehingga kondusif untuk melakukan restorasi jenis-

jenis lokal, yang umumnya bersifat semitoleran. Tanaman pioner

ditanam dengan sistem pot pada lubang berukuran lebar x panjang x

dalam sekitar 60 x 60 x 60 cm, yang diisi dengan tanah pucuk dan

pupuk organik. Di beberapa lokasi, tanaman pioneer ditanam langsung

setelah penataan lahan, padahal tingkat keberhasilannya relatif rendah

(Puslittanak, 1995). Pada areal bekas timah, meskipun sudah ditanam

dengan sistem pot, tanaman tumbuh baik hanya pada awal

pertumbuhan, selanjutnya pertumbuhannya lambat dan beberapa

diantaranya mati, karena media tanam dalam pot sudah tidak dapat

memenuhi kebutuhan tanaman. Santoso [dkk],(2008) menyatakan

Page 15: Reklamasi

bahwa penanaman tanaman pioner sebaiknya dilakukan pada tahun ke

3-5, setelah penanaman tanaman penutup tanah.

6. Penanggulangan Logam Berat

Pada areal yang mengandung logam berat dengan kadar di atas

ambang batas diperlukan perlakuan tertentu untuk mengurangi kadar

logam berat tersebut. Vegetasi penutup tanah yang digunakan untuk

memantapkan timbunan buangan tambang dan membangun kandungan

bahan organik, bermanfaat pula untuk mengurangi kadungan logam

berat dengan menyerapnya ke dalam jaringan (Notohadiprawiro,

2006).  Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa bahan organik

berkorelasi negatif dengan kelarutan logam berat di dalam tanah, karena

keberadaan bahan organik tanah meningkatkan kapasitas tukar kation

(KTK) tanah (Salam [dkk]. dalam Haryono dan Soemono, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan organik

dikombinasikan dengan pencucian dapat menurunkan kandungan logam

mercuri (Hg) dalam tanah sampai 84%. Pada areal dengan kandungan

logam berat tinggi sebaiknya jangan dulu dilakukan penanaman

komoditas yang dikonsumsi. Perlu dipilih jenis tanaman yang toleran

terhadap logam berat, misalnya di Ameria Serikat ditemukan jenis

tanaman pohon hutan, diantaranya Betula spp. dan Salix spp. yang

dapat bertahan hidup di areal bekas tambang yang mengandung Pb

sampai 30.000 mg/kg dan Zn sampai 100.000 mg/kg. Kemampuan ini

ternyata dibangkitkan oleh asosiasi pohon dengan mikoriza

(Notohadiprawiro, 2006).  Perlu diidentifikasi tanaman-tanaman lain

yang toleran terhadap logam berat yang dapat tumbuh baik di wilayah

tropis seperti Indonesia. Selain dalam tanah penanggulangan

pencemaran logam berat dalam air juga harus dilakukan, tanaman eceng

gondok dapat digunakan untuk membersihkan badan air dari logam

berat (Notohadiprawiro, 2006). Penanganan logam berat dengan

mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah biologi disebut dengan

Page 16: Reklamasi

bioakumulsi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang

dapat dilakukan untuk mengurangi keracuan elemen logam berat di

lingkungan perairan (Mursyidin, 2006).

            Menurut Latifah (2003) mengatakan bahwa Penambangan dapat mengubah lingkungan fisik, kimia dan biologi seperti : bentuk lahan dan kondisi tanah, kualitas dan aliran air, debu, getaran, pola vegetasi dan habitat fauna, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini harus dikelola untuk menghindari dampak lingkungan yang merugikan seperti erosi, sedimentasi, drainase yang buruk, masuknya gulma/hama/penyakit tanaman, pencemaran air permukaan/air tanah oleh bahan beracun dan lain-lain.

Sasaran Reklamasi Dalam kegiatan reklamasi terdiri dari dua

Kegiatan yaitu :

1.      Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang

terganggu ekologinya.

2.      Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki

ekologinya untuk pemanfaatannya selanjutnya.

Untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang diperlukan

perencanaan yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai

sasaran sesuai yang dikehendaki.

Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi

adalah sebagai berikut :

1. Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan

penambangan

2. Luas areal yang direklamasikan sama dengan luas areal

penambangan.

3. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat

tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi.

Page 17: Reklamasi

4. Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak

5. Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun

sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat

pembuangan.

6.    Mengembalikan lahan seperti keadaan semula atau sesuai dengan

tujuan penggunaannya.

7.      Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi.

8.      Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam

aktifitas penambangan.

9.  Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak

memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya

mampu menembus tanah yang keras.

10.  Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang

diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman

kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana

rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL yang dibuat.

11.   Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.

12.  Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi

yang diharapkan.

Setiap lokasi pertambangan mempunyai kondisi tertentu yang

mempengaruhi pelaksanaan reklamasi.  Pelaksanaan reklamasi

umumnya merupakan gabungan dari pekerjaan teknik sipil dan teknik

re vegetasi.  Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut :

1.   Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang,

pengaturan bentuk lahan (“landscaping”), pengaturan/penempatan

bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum

dimanfaatkan.

2.      Pengendalian erosi dan sidementasi

3.      Pengelolaan tanah pucuk (“top soil”).

Page 18: Reklamasi

4.      Revegetasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan

bekas tambang untuk tujuan lainnya.

8.3. Kendala Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu BaraLahan pasca tambang batubara terbuka pada umumnya mengalami

perubahan karakteristik dari aslinya. Apabila tidak dikelola dengan baik akan

menjadi lahan kritis.

Ditinjau dari faktor penyebabnya lahan pasca tambang batubara yang

termasuk kategori lahan kritis secara fisik, kimia dan secara hidro-orologis,

dapat diuraikan sebagai berikut : secara fisik, lahan telah mengalami

kerusakan, ciri yang menonjol dan dapat dilihat di lapangan, adalah

kedalaman efektip tanah sangat dangkal.  Terdapat berbagai lapisan

penghambat pertumbuhan tanaman seperti pasir, kerikil, lapisan sisa-

sisa tailing dan pada kondisi yang parah dapat pula terlihat lapisan cadas.

Bentuk permukaan tanah biasanya secara topografis sangat ekstrem, yaitu

antara permukaan tanah yang berkontur dengan nilai rendah dan berkontur

dengan nilai tinggi pada jarak pendek bedanya sangat menonjol, Dengan kata

lain terdapat perbedaan kemiringan tanah yang sangat mencolok pada jarak

pendek. Secara kimia, lahan tidak dapat lagi memberikan dukungan positif

terhadap penyediaan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Secara hidro-

orologis, lahan pasca tambang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya

sebagai pengatur tata air. Hal ini terjadi karena terganggunya kemampuan

lahan untuk menahan, menyerap air dan menyimpan air, karena tidak ada

vegetasi atau tanaman penutup lahan. (Sitorus,2003).

Aktifitas eksploitasi batubara yang dilakukan oleh penambang yang

tidak resmi (illegal mining) tidak pernah melakukan rehabilitasi lahan.

Permasalahan rehabilitasi lahan pasca penambangan, menurut  Lubis (1997)

adalah hal yang paling rumit, karena disamping menyangkut masalah biaya,

waktu juga diperlukan keahlian khusus. Hal ini terkait dengan bagaimana

Page 19: Reklamasi

melakukan reklamasi lahan sekaligus sebagai media tumbuh vegetasi agar

tercipta kelestarian lingkungan alam tetap terjaga.

Menurut David (2013) Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi

awal lahan yang telah digunakan sektor pertambangan belum satu

suara.  Kementerian Kehutanan meminta agar pengembalian fungsi lahan

yang telah digunakan sektor pertambangan harus dihijaukan dengan cara

menanam pepohonan. Namun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) menilai upaya reklamasi bisa dialihkan dengan membuat danau

pasca eksplorasi tambang. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian

Energi Sumberdaya Mineral (ESDM), proses reklamasi yang diharapkan

Kementrian Kehutanan selama ini mengharuskan lahan tambang perlu

dihijaukan dengan ditumbuhi pepohonan setelah eksploitasi,  padahal  aspek

tersebut bisa dialihkan dengan membuat aksi lain sehingga lahan bekas

tambang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Kajian ini dapat didiskusikan bersama antara Kementrian ESDM

dengan Kemenhut. Pihaknya ingin kegiatan sektor tambang tetap meningkat

seiring implementasi proses hilirisasi karena itu upaya yang justru menambah

beban biaya di sektor ini perlu diperhatikan. "Mereka itu kan ingin tetap ada

profitnya. Kalau mereka tidak ada penerimaan negara juga nihil. Setidaknya

kita harus sama-sama untung," .

Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen)

Kehutanan dan Perkebunan Nomor 146 tahun 1999; reklamasi bekas tambang

perlu dilakukan guna memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan

vegetasi dalarn kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha

pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan

peruntukannya.

Sementara itu, Ketua Umum Forum Rehabilitasi Hutan pada Lahan

Bekas Tambang, menyebutkan bahwa  reklamasi lahan bekas tambang tidak

hanya sekedar dihijaukan namun harus memiliki nilai tambah dan

memberikan manfaat kepada berbagai stokeholder di lingkungan bekas

Page 20: Reklamasi

tambang tersebut. "Usaha pertambangan memiliki peranan yang sangat

penting untuk mendukung perekonomian nasional, serta dapat memberikan

kontribusi yang signifikan kepada masyarakat”, Maka dari itu,  pertambangan

harus dilakukan sesuai dengan prosedur dan diawasi oleh orang yang ahli

lingkungan yang menyangkut pertambangan. Hal ini dilakukan agar

lingkungan juga bisa dinikmati oleh anak cucu di masa mendatang.

Deputi Bidang Pengendalian Lingkungan Kementerian Lingkungan

Hidup mengatakan bahwa , program reklamasi lahan bekas tambang tidak

lagi harus mengembalikan fungsi lahan sebagai hutan. "Bekas tambang itu

dapat dijadikan kawasan hutan, terutama kalau memang asalnya hutan. Tapi

seiring dengan perkembangan kawasan itu, bekas tambang dapat juga

dijadikan perkebunan, kolam budidaya ikan, pertanian palawija, irigasi, air

baku, atau taman wisata air," paparnya.

Berdasarkan definisi Peraturan Menteri ESDM, reklamasi adalah

kegiatan perusahaan yang bertujuan memperbaiki atau menata lahan yang

terganggu agar dapat berfungsi dan berguna kembali sesuai

peruntukannya.  Secara umum kegiatan pertambangan seperti tambang

batubara dapat memberikan keuntungan ekonomis namun juga dapat

menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem tanah.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan dengan pertambangan

terbuka, akan menimbulkan tumpukan bahan non-batubara. Tanah sisa galian

pertambangan batubara terdiri dari sisa batubara (batubara muda) dan batuan-

batuan seperti batu liat (clay stone), batu lanau (silt stone), batu pasir

(sand stone) atau tufa vulkan (Tala’ohu [dkk], 1995).

Tanah galian batubara umumnya tersusun terbalik dari susunan

awalnya. Tanah lapisan atas (top soil) berada di bawah tanah lapisan bawah

(sub soil). Umumnya bahan-bahan ini ditumpuk diatas tanah-tanah yang

produktif sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan

menurunkan produktivitas tanah.

Umumnya areal bekas timbunan batubara ini dalam beberapa tahun pertama

sulit ditumbuhi vegetasi karena berbagai macam kendala.

Page 21: Reklamasi

Beberapa kendala fisik yang dihadapi dalam upaya reklamasi tanah

bekas penambangan batubara yakni: tanah terlalu padat, struktur tanah tidak

mantap, aerasi dan drainase tanah jelek, serta lambat meresapkan air. Selain

itu kendala kimia seperti pH sangat masam, tingginya kadar garam, dan

rendahnya tingkat kesuburan tanah merupakan pembatas utama dalam

mereklamasi area tanah timbunan. Konsekuensinya diperlukan input yang

relatif besar (seperti: pupuk buatan dan pupuk organik, berbagai senyawa

senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan

prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman) untuk memperbaiki

kualitas atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung

pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Kegiatan pascapenambangan berupa kegiatan reklamasi yang

terencana sejak

sebelum penambangan dapat memiliki banyak kendala yaitu (1) curah hujan

tinggi yang mengakibatkan hambatan daerah penyiapan untuk reklamasi, (2)

potensi terjadinya erosi permukaan yang mempengaruhi kestabilan daerah

timbunan, (3) kondisi lapisan tanah yang masam dan tingkat hara yang rendah

(umumnya di Kalimantan) dan (4) keterbatasan materialoverburden NAF

(Non Acid Forming). penggunaan alat berat dalam kegiatan penambangan

dapat mengakibatkan pemadatan tanah, sehingga menurunkan porositas,

permeabilitas dan kapasitas penahan air tanah. masalah yang dijumpai dalam

mereklamasi lahan bekas tambang adalah masalah fisik, kimia (berupa nutrisi

maupun keracuanan hara) dan biologi. Kegiatan pertambangan

mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah, mempengaruhi

stabilitas tanah dan bentuk lahan.

Kegiatan pertambangan dan kegiatan reklamasi harus terencana

dengan baik agar dalam pelaksanaanya tercapai sasaran yang diinginkan atau

sesuai tata ruang yang telah direncanakan. Pada proses akhir penambangan

batasan tanah secara alamiah sudah tidak jelas lagi karena dalam proses

penimbunan kembali tidak dapat dibedakan hubungan genetis antara bahan

induk, overburden dan top soil. Lahan bekas penambangan umumnya

Page 22: Reklamasi

mengalami dampak penurunan kesuburan tanah, khususnya kandungan bahan

organik tanah. 

8.4. Alternatif Solusi yang Ditawarkan.

Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor

pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara untuk

memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian (bahan

mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar diberbagai

daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk dapat

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara. Hal ini

penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah dengan

zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai barat,

pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki erupsi

indeks  99% (Munir, 1996). Laju pasokan mineral berlangsung intensif,

sehingga Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain

pihak laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila

tidak segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit

bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila

dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemari lingkungan

(Subowo, 2012).

Kegiatan pertambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah

berlangsung sejak lama.  Selama kurun waktu 50 tahun, konsep dasar

pengolahan relative  tidak berubah, yang berubah adalah skala

kegiatannya.  Mekanisasi peralatan pertambangan telah menyebabkan skala

pertambangan semakin membesar.   Perkembangan teknologi pengolahan

menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga

semakin luas dan semakin dalam mencapai lapisan bumi jauh di bawah

permukaan (Sabtanto, 2010).

Simarmata (2005) menyebutkan salah satu strategi dan upaya yang

ramah lingkungan untuk mengembalikan vitalitas (kualitas dan kesehatan)

Page 23: Reklamasi

tanah adalah dengan sistem pertanian ekologis terpadu. Pengembangan

pertanian ekologis ini didukung dengan kemajuan dalam bidang bioteknologi

tanah yang ramah lingkungan, yaitu pemanfaatan pupuk hayati

(biofertilizers). Pupuk hayati memberikan alternatif yang tepat untuk

memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah dan mempertahankan kualitas

tersebut sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan menaikkan hasil

maupun kualitas dari berbagai tanaman secara signifikan.

Pupuk hayati yang sering digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas

pertambangan adalah mikoriza. Mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis

mutualisme antara jamur dan akar tanaman tingkat tinggi. Dimana jamur

mendapatkan keuntungan dari suplai karbon (C) dan zat-zat essensial dari

tanaman inang dan tanaman inang mendapatkan berbagai nutrisi, air, dan

proteksi biologis (Turjaman [dkk], 2005).

Penggunaan mikoriza telah terbukti mampu meningkatkan

pertumbuhan tanaman kehutanan (revegetasi) pada lahan bekas pertambangan

maupun lahan kritis secara signifikan. Selain itu mikoriza juga memiliki

peranan yang sangat penting untuk melindungi tanaman dari serangan

patogen, dan kondisi tanah dan lingkungan yang kurang kondusif seperti: pH

rendah, stress air, temperatur ekstrim, salinitas yang tinggi, dan tercemar

logam berat (Setiadi, 2004).

Hasil berbagai penelitian pada lahan marjinal di Indonesia

menunjukkan bahwa aplikasi pupuk biologis seperti mikoriza dapat

meningkatkan pertumbuhan berbagai tanaman (Jagung, Kedelai, Kacang

Tanah, Tomat, Padi, dan tanaman lainnya) dan ketersediaan hara bagi

tanaman antara 20 hingga 100% (Simarmata dan Herdiani, 2004). Tanaman

jagung sendiri merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dijadikan

objek dalam penelitian mengenai mikoriza.  Berdasarkan hasil penelitian

Margaretha (2010)  diperoleh hasil Pemberian mikoriza dapat mempengaruhi

kolonisasi mikoriza pada rhizosfer, derajat infeksi akar, C-organik, P tersedia

dan tinggi tanaman , namun belum berpengaruh terhadap pH tanah, N-total

tanah, dan berat kering tanaman.  Pemberian mikoriza pada takaran 200 g

Page 24: Reklamasi

pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap derajat infeksi akar, dan

perlakuan 100 g pot-1 memberikan pengaruh tertinggi terhadap kolonisasi

mikoriza di rhizosfer tanaman jagung manis.

Menurut Mursyidin (2009) menyimpulkan bahwa Upaya perbaikan

lahan bekas tambang merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan. Hal ini

karena sistem perbaikan (reklamasi) lahan yang sudah ada masih

dilaksanakan secara konvensional, yaitu dengan menanami areal bekas

tambang tersebut dengan tumbuhan. Upaya perbaikan dengan cara ini

dirasakan kurang efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa

beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, termasuk bekas lahan tambang.

Teknologi alternatif perbaikan lahan bekas tambang menggunakan

mikroorganisme terutama jamur (fungi) merupakan hal yang sangat menarik

dan penting dilakukan. Hal ini karena jamur memiliki keistimewaan, selain

adaptif terhadap berbagai kondisi tanah juga kemampuannya dalam

menguraikan bahan organik dan membantu proses mineralisasi di dalam

tanah.

  

DAFTAR PUSTAKA

Agus Subandrio, Sukarman, dan Ronny, P. Tambunan. 2012 Pelaksanaan Reklamasi di PT Adaro Indonesia . Environmental Department PT Adaro Indonesia. Environmental Department PT Adaro Indonesia.

Page 25: Reklamasi

email : agussubandrio @ptadaro. com, [email protected], [email protected]

Ahyar Gunawan1*, I Nengah Surati Jaya2, dan Muhammad Buce Saleh2. Teknik Cepat

Identifikasi Lahan Terbuka Melalui Citra Multi Temporal dan Multi

Spasial Quick Tecniques in Indentifying Open Area by the Use of Multi Spatial and Multidate Imageries. JMHT Vol. XVI, (2): 63–72,

Agustus 2010 Artikel Ilmiah ISSN: 2087-0469.

Ambodo, A.P. 2004. Aplikasi Mikoriza untuk Peningkatan Pertumbuhan Tanaman dan

efisiensi Biaya pada Lahan Pasca Tambang di PT. International Nickel Indonesia.

Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Rapat Koordinasi serta Fasilitasi

Nasional, Penerapan Bioremediasi untuk Reklamasi dan Rehabilitasi lahan Bekas

Tambang di Kawasan Timur Indonesia, 5 April 2004, Jakarta.

Arif, I., 2007. Perencanaan Tambang Total Sebagai Upaya Penyelesaian Persoalan Lingkungan Dunia Pertambangan, Universitas Sam

Ratulangi, Manado.

Arnold,B.H.2001. The Evaluation of Reclamation Derelict Land and Ecosistems.

            Journal Land Rehabilitation and Restoration Ecology.7(2):35-54,

Massachusetts. USA.

Bramas. 2012. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) Di Lahan

Reklamasi Pasca Tambang Batubara Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan.

Dariah.,A1, A. Abdurachman1, dan D. Subardja2. 2010. Reklamasi Lahan Eks-Penambangan untuk Perluasan Areal Pertanian. Reclamation of Ex-Mining Land for Agricultural Extensification. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1, Juli 2010. ISSN 1907-0799.

Page 26: Reklamasi

David.,D (2013). Reklamasi Tambang. Neraca.  www.ima-api.com/index.

php.723%3Thursday, 07 February 2013 08:19 David Dwiarto. E-mail Print

PDF. JAKARTA. Masalah reklamasi atau pengembalian fungsi

awal lahan yang telah digunakan. Thursday, 07 February 2013 08:19.

Djati Murjanto. 2011. Karekterisasi dan Perkembangan Tanah Pada Lahan Reklamasi

Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal. Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Haryono dan S. Soemono. 2009. Rehabilitasi tanah tercemar mercuri (Hg) akibat

penambangan emas dengan pencucian dan bahan organik di rumah kaca. Jurnal

Tanah dan Iklim.

Hasan Zainuddin.2007. Tambang Batubara Sembahkan Surga Atau

Neraka.hasanzainuddin.wordpress.com/2007/11/03/43/3 Nov 2007 –,

25/1 (ANTARA).

Karwan, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta

Latifah.,S. 2003. Kegiatan Reklamasi Lahan Pada Bekas Tambang Program Ilmu

Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan. Universitas Sumatera Utara.

Lubis, M.1997. The Development of Indonesia’s Coal Supply Industry Trade and

Investment Issues. Paper Presented at APEC Coal Trade and Investment

Liberalization and Facilitation Workshop, August 5, Jakarta.

Margarettha. 2010. Pemanfaatan Tanah Bekas Tambang Batubara Dengan Pupuk Hayati Mikoriza Sebagai Media Tanam Jagung Manis The Used of Ex-Coal Mining Soil With Mycorrhiza Biofertilizers To Growth Sweet Corn. J. Hidrolitan., Vol 1 : 3 : 1 – 10, 2010. ISSN 2086 – 4825

Matthew L. Carlson1, Lindsey A. Flagstad1, Franc¸ ois Gillet2,3 and Edward A. D.

Mitchell3,4,5*Community development along a proglacial chronosequence: are

Page 27: Reklamasi

above-ground and below-ground community structure controlled more by biotic

than abiotic factors. Journal of Ecology 2010, 98, 1084–1095.  British Ecological

Society.

Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah. Pustaka Jaya, Jakarta.

Mursyidin, D.H. 2006. Menanggulangi Pencemaran Logam Berat. Biologi

FMIPA

Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.

_____________. 2009.Memperbaiki Lahan Bekas Tambang dengan

Mikroorganisme. Biologi FMIPA Unlam, Banjar Baru. Yayasan Cakrawala Hijau

Indonesia.

Notohadiprawiro,T.1999.Tanah dan Lingkungan. Diterbitkan oleh Dit-Jen Dikti,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,Jakarta.