Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

44
TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030Disusun Oleh: Kelompok 18 Dio Alfen C 301 12 134 Anugrah Nuari C 301 13 002 Arief Budi Santoso C 301 13 012 Agusalim C 301 13 015 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

description

Perekonomian Indonesia

Transcript of Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

Page 1: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA

“Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030”

Disusun Oleh:

Kelompok 18

Dio Alfen C 301 12 134

Anugrah Nuari C 301 13 002

Arief Budi Santoso C 301 13 012

Agusalim C 301 13 015

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS TADULAKO

2015

Page 2: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat

yang tidak terhingga kepada kami selaku kelompok kami, sehingga dapat

menyelesaikan makalah Perekonomian Indonesia ini.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen

pengampu mata kuliah Perekonomian Indonesia. Selain itu, makalah ini juga

merupakan bahan diskusi bagi mahasiswa agar lebih memahami materi yang

diberikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari pihak pembaca demi

penyempurnaan makalah yang akan datang.

Palu, 28 September 2015

Tim Penyusun

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | ii

Page 3: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

DAFTAR ISI

HALAMAN AWAL ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

1.3. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Arah Kebijakan Industri Nasional .............................................................. 3

2.2. Industri Indonesia di Persimpangan Jalan ................................................... 4

2.3. Reformasi Kebijakan Industri ...................................................................... 5

2.3.1.Mendongkrak Daya Saing ................................................................. 7

2.3.2.Visi Pengembangan Industri Manufaktur .......................................... 10

2.3.2.1. Visi Jangka Panjang Menurut Berbagai Versi ..................... 10

2.3.2.2. Visi Industri Manufaktur Indonesia 2030 ............................ 14

2.4. Perbandingan dengan Negara Lain ................................................................. 17

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ................................................................................................ 20

3.2. Saran ........................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

DAFTAR TABEL ........................................................................................... 23

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | iii

Page 4: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dimasa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, Indonesia masih belum dapat

keluar dari berbagai macam permasalahan ekonomi yang sudah turun temurun

dirasakan oleh pemerintahan sebelum mereka. Berbagai sektor perekonomian

bangsa diserang oleh krisis, mulai dari sektor makro hingga mikro. Ada berbagai

hal yang dapat menjadi gambaran kita mengenai ketidakstabilan ekonomi.

Sebagai contoh, saat ini di Indonesia sedang terjadi Capital Flight (Pelarian

Modal) yaitu keadaan dimana modal yang beredar di Indonesia, terutama di pasar

financial, sebagian besar adalah modal asing. Hal ini membuat nilai Rupiah

sedikit banyak tergantung pada kepercayaan investor asing terhadap prospek

bisnis di Indonesia. Untuk contoh ketidakstabilan yang lebih riil, kita dapat

melihat fluktuasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berkali-kali berubah

bahkan dalam rentan waktu yang terbilang cukup singkat. Terakhir ini,

pemerintah akan kembali menurunkan harga BBM pada tanggal 5 oktober, 2015

Selain itu, banyak industri di Indonesia yang masih terseok-seok, dengan

laju pertumbuhan yang rendah, daya saing yang rendah, dan pangsa pasar yang

menurun. Hingga saat ini (2015), rata-rata pertahun pertumbuhan ekonomi

mencapai US$ 888,5 miliar dengan jumlah penduduk sekitar 254,5 juta jiwa,

inflasi 6,83%, bunga SBI sebesar 7,5%,dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

(KURS) menyentuh angka Rp. 14.645 / US$

Pasar modal pun diwarnai oleh rekor-rekor baru indeks harga saham

gabungan (IHSG) dan surat hutang negara (SUN), yag terus diminati investor

domestik dan pemodal asing. Obligasi Republik Indonesia (ORI) selalu terserap

oleh investor perseorangan dengan nilai yang melebihi target. Cadangan devisa

pun menurun secara signifikan. Pada tahun 2015, jumlah cadangan devisa hingga

bulan September adalah US$105,34 Milliar. Semenjak kebijakan pemerintah tidak

lagi mengandalkan ekspor migas, industri manufaktur telah memainkan peranan

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | iv

Page 5: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

yang penting di Indonesia. sektor industri manufaktur yang semakin berorientasi

ekspor telah menopang ekonomi Indonesia. ekspor industri manufaktur

menyumbang tidak kurang 83-85% terhadap ekspr non migas dan sekitar 64-57%

terhadap total ekspor Indonesia selama 1994-2005.bahkan kontribusi ekspor

industri ini telah melampui ekspor sektor pertanian dan migas sejak awal

dasawara 1990-an. Boleh dikata industri manufaktur telah menopang

pertumbuhan ekonomi Indonesia. sebelum krisis, industri manufaktur mampu

tumbuh 2 digit, yaitu rata-rata sekitar 11% selama (1974-1997). Meski begitu,

sejak krisis, pertumbuhan sektor industri relatif rendah hanya berkisar antara 3,5%

hingga 7,7%.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah

ini, adalah:

1. Bagaimana arah kebijakan industri nasional?

2. Bagaimana reformasi kebijakan industri nasional?

3. Bagaimana visi pengembangan industri manufaktur di Indonesia?

4. Bagaimana visi industri manufaktur Indonesia 2030?

5. Bagaimana visi dan kebijakan industri Indonesia jika dibandingkan

dengan Negara-negara Asia lainnya?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk membantu para pembaca

mengetahui lebih dalam lagi mengenai materi “Reformasi Kebijakan Industri dan

Visi 2030,” sehingga para pembaca tidak hanya sekedar mengetahui tetapi

diharapkan juga untuk dapat lebih memahami tentang apa saja reformasi

kebijakan industri nasional dan visi kita kedepannya. Selain itu, maksud penulisan

makalah ini untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Perekonomian Indonesia.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | v

Page 6: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Arah Kebijakan Industri Nasional

Hingga saat ini Indonesia berada pada kelompok negara berpendapatan

menengah-papan bawah (lower middle income). Proses industriliasasi akan

menjadi katalisator menuju negara maju, yakni Indonesia akan mencapai

pendapatan per kapita sekitar USD18 ribu. Saat ini, dengan jumlah penduduk

mencapai 254,5 juta jiwa Indonesia memiliki Pendapatan Domestik Bruto (PDB)

sebesar US$ 888,5 Milliar. Masalahnya, bagaimana tahapan strategis yang harus

dilakukan agar Indonesia menjadi negara maju.

Arah umum pengembangan industri dengan pendekatan top-down

meghasilkan idustri prioritas nasional. Cabang-cabang industri yang akan

diprioritaskan pengembangannya dipetakan dalam sebuah bangun industri.

Cabang-cabang industri tertentu yang akan diprioritaskan pengembangannya

dipilih dengan seksama dengan tujuan agar ebih terfokus pada sasar tertentu, serta

lebih mudah diukur kriteria keberhasilannya.

Pemerintah menetapkan kebijakan pembangunan industri nasional yang

ditujukan untuk nemberikan arah baru bagi pegembangan indutri nasional dimasa

dating. Dan menyelesaika berbagai permasalahan yang menghambat

perkembangan industri saat ini (Depperin, 2005). Industri prioritas yang

dicanangkan pemerintah dalam kebijakan pembangunan industri nasional (KPIN),

mencakup 32 industri prioritas, yang mencakup agroindustri, industri alat angkut,

telematika, basis industri manufaktur, dan IKM (Industri Kecil dan Menengah)

tertentu.

Bangun industri masa depan tersebut adalah gambaran keadaan sektor

industri yang sudah mapan, disektor ini telah menjadi mesin penggerak utama

(prime-mover) perekonomian nasional, sekaligus tulang punggung pertahanan

ekonomi nasional dengan berbasis sumberdaya nasional yang memiliki struktur

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | vi

Page 7: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

keterkaitan dan kedalaman yang kuat, serta memiliki daya saing yang tangguh

dipasar internasional

2.2. Industri Indonesia di Persimpangan Jalan

Begitu banyak perusahaan garmen atau tekstil tutup bahkan melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya. “Kalau ada yang masih bisa

survive, bertahan hidup, itu Alhamdulillah. Kalau ada yang bisa ekspansi, wah...,

itu ajaib.” Ironis dan getir. Demikian jeritan para pelaku bisnis yang bergerak

dalam industri tekstil dan garmen. Keluhan serupa juga di utarakan pemain bisnis

dalam industri sepatu. Tentu saja keluhan ini perlu mendapat perhatian.

Industri tekstil, garmen, dan sepatu berperan penting dalam menyerap

tenaga kerja dan ekspor nonmigas. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT)

merupakan industri yang tidak bias diabaikan peranannya. Setidaknya ada sekitar

98.000 unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang menekuni industri ini.

Data menunjukkan, UKM-TPT ini mampu menyerap tenaga kerja

sebanyak 15,1% dari total tenaga kerja manufaktur dengan nilai US$17,32 milliar.

Ekspor industri skala besar yang menggeluti bisnis ini umumnya padat karya dan

mengandalkan tenaga kerja yang murah.

Tak berlebihan jika ada yang menyebut industri ini sebagai primadona

ekspor nonmigas dan penyedia lapangan kerja Indonesia.

2.3. Reformasi Kebijakan Industri

Sejarah mencatat, dari dimensi kebijakkan, pemerintah Indonesia agaknya

lebih condong “membantu” industri besar dan menengah (IBM) untuk

mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan industri, yang diformulasikan ke

dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita), selama pemerintahan soeharto

meitikberatkan pada : pertama, industri-industri yang menghasilkan devisa dengan

cara memproduksi barang-barang subtitusi impor. Kedua, industri-industri yang

memproses bahan-bahan mentah (industri dasar) dalam negri dalam jumlah yang

besar. Ketiga, industri-industri padat karya. Keempat, perusahaan-perusahaan

negara untuk tujuan strategis dan politis (prawiro, 1998: 155; soehoed, 1998).

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | vii

Page 8: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

Negara telah terlibat dalam industri-industri manufaktur sebagai investor,

pemilik, pengatur, dan pihak yang membiayai. Di antara negara-negara asia, gaya

development state semacam ini bukanlah cerita yang baru. Kendati demikian,

interpretasi neoliberal tentang Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan industri

dinilai tidak koheren karena dibayangi para pemburu rante (rent seeking) dan

tidak relavan dengan pembangunan serta keberhasilan ekspor Indonesia.

Bahkan, Hal Hill (1997: 18), guru besar Australian National University,

tegas mengatakan bahwa Indonesia menempuh kebijakan intervensi industri yang

salah arah. Alasannya, sektor perusahaan besar milik negara secara tidak efisien

menggunakan sumber daya yang seharusnya dapat dipergunakan dengan lebih

produktif di tempat lain; dan komitmen yang besar terhadap industri berteknolgi

tinggi (walaupun tidak trasparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan).

Sementara perluasan industri-industri dasar dan jasa-jasa pendukung mengalami

kekurangan sumber daya ; system peraturan dan perijinan yang berbelit-belit yang

seolah-olah dirancang untuk mencapai tujuan nasional; dan program

pengembangan perusahaan-perusahaan kecil dan program sub kontrak yag

diwajibkan selama lebih dari 20 tahun telah mengakibatkan dampak yang kecil

dalam efisiensi atau pemerataan.

Secara umum, kebijakan industri dapat diklasifikasikan kedalam upaya

sektoral dan horizontal (cowling, 1999). Upaya sektoral terdiri atas berbagai

macam tindakan yang dirangcang untuk menargetkan industri- industri atau

sektor-sektor tertentu dalam perekonomian. Upaya horizontal dimaksudkan untuk

mengarahkan kinerja perekonomia secara keseluruhan dan kerangka pesaing

dimana perusahaam-perusahaan melaksanakan usahanya.

Di masa pemerintahan Megawati, menteri perindustrian dan perdagangan

menggunakan pendekatan reaktif dalam implemetasi kebijakan pemerintah

dibidang perindustrian dan perdagangan. Simak saja bagaimana reaktifnya Rini

Suwandi dalam masalah imbal beli pesawat sukhoi, impor pakaian bekas, ekspor

pasar lain, impor paha ayam, dan biaya masuk prodk pertanian. Agaknya, dimasa

mendatang kita memerlukan kebijakan industri yang lebih antisipatif atau proaktif

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | viii

Page 9: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

dalam menghaapi banyak perubahan dalam lingkup nasional maupun

internasional.

Dalam konteks ini, perspektif spasial pembangunan industri dengan berbasis

kluster (industrial clusters / districts) , merupakan salah satu factor kunci yang

dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan

industri. Literature mengenai kluster industri mengajarkan bahwa ciri penting dan

utama dari suatu kluster adalah konsentrasi biografis dan spesialisasi sektoral.

Dengan kata lain, kluster merujuk kepada pentingnya spesialisasi dalam suatu

daerah biografis yang berdekatan. Kendati demikian, pengamatan yang lebih rinci

terhadap berbagai studi menggenai kluster industri menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang substansial antar kluster dilihat dari struktur kelembagaan, tingkat

kepemilikan dan koordinasi, asal serta evolusinya.

2.3.1. Mendongkrak Daya Saing

Daya saing bak mantra yang selalu disebut oleh para ekonom, CEO,

manajer, presiden, menteri, gubernur hingga bupati/ wali kota. Namun

benarkah daya saing negara sama dengan daya saing perusahaan?

Paul Krugman pernah memperingatkan, jargon “peningkatan daya

saing” merupakan obsesi yang berbahaya. Begitu tulisnya di Foreign Affairs,

edisi maret-april 1994. Menurut mahaguru dari Massachusetts Institute of

Technology ini, daya saing negara amat berlainan dengan daya saing

perusahaan. Mengapa?

Ada setidaknya 2 alasan. Pertama, dalam realitas, yang bersaing bukan

negara tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogikan

daya saing negara identic dengan daya saing perusahaan. Bila negara

Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri

Indonesia memiliki daya saing dipasar domestic maupun internasional.

Kedua, perusahaan yang bisa bangkrut, tetapi negara tidak memiliki

bottom-line alias tidak akan pernah “keluar dari arena persaingan”. Daya

saing sebuah negara dapat dicapai dari akumulasi daya saing strategis setiap

perusahaan. Proses penciptaan nilai tambah (value added creation) berada

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | ix

Page 10: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

pada ruang lingkup perusahaan. Sementara pada ruang lingkup negara, daya

saing suatu bangsa ditentukan oleh interaksi antara kinerja ekonomi makro,

seberapa kebijakan pemerintah kondusif bagi dunia usaha, kinerja dunia

usaha, dan infrastruktur,

Daya saing Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan

pada tahun 2015, menurut laporan internasional institute for management

development (IMD) menempati urutan ke 37.

World Economic Forum telah merilis Global Competitiveness Report

2015-2016 pada akhir bulan lalu. Dalam laporan tersebut, indeks daya saing

Indonesia tahun ini tercatat berada di peringkat ke-37 dari 140 negara yang

dinilai.

Peringkat Indonesia ini berada di atas negara-negara seperti Portugal

yang berada di peringkat 38, Italia di peringkat 43, Rusia di peringkat 45,

Afrika Selatan di peringkat 49, India di peringkat 55, dan Brazil yang berada

di peringkat 75.

Di level ASEAN sendiri, peringkat Indonesia ini masih berada di bawah

tiga negara tetangga, yaitu Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia di

peringkat 18 dan Thailand yang berada di peringkat 32. Namun demikian,

Indonesia masih mengungguli Filipina yang berada di peringkat 47, Vietnam

di peringkat 56, Laos di peringkat 83, Kamboja di peringkat 90, dan

Myanmar di peringkat 131.

Dari laporan-laporan World Economic Forum terdahulu tercatat, indeks

daya saing global Indonesia sempat berada di peringkat 54 pada tahun 2009,

lalu naik ke peringkat 44 pada tahun 2010.

Peringkat Indonesia kembali turun ke peringkat 46 pada tahun 2011 dan

peringkat 50 pada tahun 2012, untuk selanjutnya kembali naik ke peringkat

38 pada tahun 2013. Tahun lalu, indeks daya saing Indonesia kembali naik ke

peringkat 34, dan turun ke peringkat 37 pada tahun ini.

Sebagai informasi, dengan menggabungkan data kuantitatif dan survei,

penilaian peringkat daya saing global ini didasarkan pada 113 indikator yang

dikelompokkan dalam 12 pilar daya saing.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | x

Page 11: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

Apabila kita ingin berbicara banyak dalam pasar global, mau tidak mau

distorsi yang menghalangi fair competition harus dihilangkan. Sudah saatnya

proteksi bagi industri yang tidak efisien dan “jago kandang” dihilangkan,

setidaknya dikurangi porsinya momentum liberalisasi perdagangan dunia,

disepakati WTO, dan disepakati AEC 2015 agaknya merupakan external

pressures untuk meniadakan berbagai proteksi yang menimbulkan ekonomi

biaya tinggi. Ini perlu dibarengi dengan berbagai persiapan kelembagaan,

infrastruktur, dan suprastruktur dalam upaya meningkatkan daya saing di

pasar global.

Kendati demikian, yang cukup memprihatinkan adalah ada indikasi

mulai melemahnya daya saing Indonesia sejak 1992. Salah satu sebab

utamanya adalah masih terkonsentrasinya produk ekspor nonmigas yang

tergolong hasil dari industri yang padat sumber daya alam (natural resources

intensive/NRI) dan berbasis tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled

labour intensive/ULI).

Struktur ekspor nonmigas Indonesia telah berubah berdasarkan

intensitas input (factor intensity), yang dikelompokkan menjadi lima kategori,

yakni: (a) Natural Resources Intensive (NRI), (b) Unskilled Labour Intensive

(ULI), (c) Physical Capital Intensive (PCI), (d) Human Capital Intensive

(HCI), dan (e) Technological Intensive (TI).

Agaknya Indonesia harus mulai bersiap-siap menyongsong tahapan

keunggulan komparatif yang lebih tinggi, yaitu ke sektor padat teknologi (TI)

dan padat tenaga ahli (HCI). Ini terbukti di kala pertumbuhan ekspor

nonmigas kita mengalami penurunan selama 1993-1995. Produk yang justru

menanjak pertumbuhannya (setidaknya pertumbuhan nilai ekspornya 50%

dan nilai ekspornya minimum US$ 100 juta) adalah produk dari industri TI

dan HCI.

Diantara produk ekspor yang naik daun adalah barang-barang

elektronik, kimia, dan mesin nonelektronik, termasuk peralatan

telekomunikasi, komputer dan komponennya. Menariknya, hampir semua

produk tersebut memiliki rasio impor kurang dari 1, yang menunjukkan

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xi

Page 12: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

betapa produk-produk tersebut tidak memiliki kadar kandungan impro yang

tinggi.

Agar dapat bersaing di pasar global, sudah saatnya iklim persaingan di

dalam negeri dibenahi. Struktur industri Indonesia yang umumnya

oligopolistik dan terkonsentrasi terbukti hanya “jago kandang” (Kuncoro,

2007). Pada gilirannya, ini menghasilkan struktur industri yang bangsal dan

rentan terhadap gejolak eksternal, yang tercermin dari rendahnya kandungan

teknologi, ketergantungan yang tinggi pada barang modal dari input antara

dari luar negeri, serta lemahnya keterkaitan antar – industri.

Inilah pentingnya melakukan reformasi kebijakan industri nasional.

Kebijakan industri “tradisonal” sering dihubungkan dengan penentuan target

sektor-sektor dan industri tanpa menghiraukan dimana sektor-sektor tersebut

berlokasi dalam sebuah Negara. Harus diakui, kebijakan industri kita selama

ini bersifat aspasial (spaceless), mengabaikan dimana lokasi industri berada.

Sebaiknya, perspektif baru kebijakan industri lebih mendukung

tindakan-tindakan horizontal dan menolak target sektoral. Dalam konteks ini,

perspektif spasial pembangunan industri dengan berbasis kluster (industrial

clusters/districts) dan kompetensi inti daerah merupakan salah satu factor

kunci yang dapat membantu pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan

kebijakan industri.

Literatur mengenai kluster industri mengajarkan bahwa cirri penting

dan utama dari suatu kluster adalah konsentrasi geografis dan spesialisasi

sektoral (Kuncoro, 2002). Dengan kata lain, kluster merujuk pentingnya

spesialisasi dalam suatu daerah geografis yang berdekatan. Visi pemerintah

SBY untuk membangun dunia usaha yang adil, sehat, dan berkembang perlu

ditindaklanjuti dengan strategi dan reformasi kebijakan industri.

Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (KPIN) dengan Perpres No.

28/2008 yang sudah dirancang perlu diintegrasikan dengan roadmap

pembangunan infrastruktur (terutama listirik dan akses keuangan), energi

(terutama gas dan batubara), dan reformasi birokrasi.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xii

Page 13: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

2.3.2. Visi Pembangunan Industri Manufaktur

2.3.2.1. Visi Jangka Panjang Menurut Berbagai Versi

Visi jangka panjang industri manufaktur Indonesia terdiri atas

beberapa versi. Berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, visi

pembangunan nasional tahun 2005-2025 adalah:

“Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”

Visi tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan yang disebutkan

dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Undang-Undang tersebut juga mengatakan bahwa visi yang akan

dicapai harus dapat terukur untuk mengetahui pencapaian tingkat

kemandirian, kemajuan, keadilan, dan kemakmuran.

Untuk mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut, pemerintah

menetapkan delapan misi pembangunan. Dalam konteks pembangunan sektor

industri, misi kedua merupakan misi yang relevan adalah untuk mewujudkan

bangsa yang beradaya saing global. Secara lebih terinci, misi tersebut

dijabarkan dalam sasaran-sasaran pokok yang lebih terukur. Sasaran pokok

yang terkait dengan sektor industri dalam UU No. 17/2007 adalah:

“Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah Indonesia. Sektor pertanian, dalam arti luas, dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang dikelolah secara efisien sehingga menghasilkan komoditi berkualitas, industri manufaktur yang berdaya saing global, motor penggerak perekonomian, Serta jasa yang perannya meningkat dengan kualitas pelayanan lebih bermutu dan berdaya saing.”

Departemen Perindustrian (Depperin) RI menetapkan visi jangka

panjang industri nasional sebagai berikut: “Pada tahun 2020 indonesia

menjadi Negara Industri Maju Baru” (Depperin,2005: 10). Visi akan

terwujud apabila:

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xiii

Page 14: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

“Pada tahun tersebut kemampuan industri nasional telah diakui internasional, yang mampu menjadi basis kekuatan ekonomi modern secara struktural di masa depan, sekaligus mampu menjadi wahana tumbuh-suburnya ekonomi yan berciri kerakyatan”.

Kamar dagang dan industri (KADIN) memformulasikan strategi

pengembangan industri nasional melalui perumusan visi industri nasional.

KADIN (2007) mengajukan visi industri nasional 2030 sebagai berikut:

“Negara industri maju dan bangsa niaga tangguh”. Dalam periode 25 tahun

ke depan dapat diciptakan Republik Indonesia sebagai Negara industri maju

dan bangsa niaga tanggu yang makmur dalam keadilan dan adil dalam

kemakmuran. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui pertama, kebangkitan

kekuatan rekayasa, rancang bangunan, manufaktur dan jaringan penjualan

produk industri nasional, terutama dengan menghasilkan barang dan jasa

berkualitas unggul yang menang bersaing dengan produk Negara-negara

dikawasan asia seperti Vietnam, Malaysia dan Cina, baik dipasar domestik

maupun regional. Kedua, kebangkitan kekuatan industri nasional pengolah

hasil sumber daya alam dengan produk olahan bermutu terjamin sehingga

dapat dicapai swasembada pangan secara lestari dan berkemampuan ekspor.

Ketiga, kebangkitan daya cipta dan kreativitas rekayasa dan rancang bangun

putra-putri Indonesia, sehingga industri nasional bebasis tradisi dan budaya

bangsa dapat tumbuh berkembang kembali melaui produkberkualitas tinggi

yang dicintai dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai “life style”

masyarakat Indonesia.

Visi KADIN menitikberatkanpada restrukturisasi, modernisasi dan

pendalaman struktur industri padat modal dan teknologi, tanpa menyinggung

adanya program kemitraan antara Industri besar dan menengah (IBM) dan

Industri kecil dan rumah tangga (IKRT). Dalam prakteknya, realitas

kemitraan masih bersifat retorika karena hanya 4-6% IKRT yangbmengikuti

atau terlibat jalinan kemitraan dengan OBM maupun BUMN (kuncoro,

2005;2007). Selain itu, menurut world bank (1993) salah satu masalah

strukturual industri di Indonesia adalah lemahnya hubungan intra industri,

sebagaimana ditunjukkan mulai minimnya perusahaan ya bersifat spesialis

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xiv

Page 15: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara

efisien.

Tabel 2.1. menjelaskan perbedaan Visi Industri Manufaktur 2030 dari

berbagai lembaga. Perbedaan tersebut mencakup pertama, perbedaan dalam

penetapan tahun yang menjadi target dalam pencapaian visi tersebut. Visi

Indonesia 2030 dirancang oleh PPE FEB UGM, KADIN dan yayasan

Indonesia Forum. Visi dan Depperin hanya sampai 2020, sedang visi

Bappenas sampai 2025.

Hal ini sangat terkait dengan koordinasi antara institute yang terlibat

dalam pembangunan sektor industri. Penetapan target yang sama akan

menimbulkan sinergi dalam langkah-langkah yang akan diambil oleh

institute-instituti tersebut. Setiap elemen seharusnya saling mendukung dalam

pencapaian visi Indonesia 2030, 2025, atau 2020.

Tabel 2.1. Perbandingan Visi Industri Menurut Berbagai Versi

No Lembaga Visi Industri Jangka Panjang

1 BAPPENAS “Indonesia 2025 yang mandiri, maju, adil,

dan makmur”

2 Departemen Perindustrian “Pada tahun 2020 Indonesia menjadi

Negara Industri Maju Baru”

3 KADIN “Negara industri maju dan bangsa niaga

tangguh”

4 PPE FEB UGM &

Yayasan Indonesia Forum

“Industri Manufaktur 2030 yang ditopang

oleh struktur industri yang kokoh dan

perusahaan yang berdaya saing global,

ramah lingkungan, dan berbasis

kompetensi inti daerah”

Perbedaan kedua berkaitan dengan dengan diangkatnya isu

lingkungan pada visi yang diajukan yang tidak disinggung pada visi yang

diajukan oleh BAPPENAS, Depperin dan KADIN. Disis lain, isu lingkungan

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xv

Page 16: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

semakin mengemuka seiring terjadinya kerusakan lingkungan akhir-akhir ini.

Pertemuan Negaran-negara G-8 di jerman pada bulan juni 2007 mengangkat

isu ini menjadi salah satu isu yang mendesak untuk dibahas pentingnya isu

lingkungan juga sangat terkait dengan pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development) karena lingkungan yang baik dan terjada sangat

berperan menompang pembangunan.

Ketiga, visi yang dianjurkan oleh PPE FE UGM dan yayasan

Indonesia Forum lebih spesifik dan memliki indicator yang jelas. Hal ini

berbeda dengan visi yang diajukan oleh Depperin dan KADIN. Spesifik

masukknya adalah focus pada industri manufaktur dan memiliki indicator

yang jelas yaitu struktur industri ang kokoh, berdaya saing global ramah

lingkungan dan berbasis kompetensi inti daerah. Sementara visi yang

dianjurkan oleh Depperin masih sebatas menjadi Negara industri maju namun

tidak mencantumkan indicator yang jelas.

Depprin menyebutkan kemampuan industri nasional kemudian

menjadi basis bagi kekuaatan ekonomi modern. Namun, pada visi tersebut

tidak mencantumkan apa yang menjadi basis bagi perkembangan kemampuan

industri nasional itu sendiri. Pada visi pembangunan industri nasional perlu

berbasis kompetensi dan sumber daya local artinya, dalam membangun sektor

industri di suatu daerah, hendakknya factor-faktor khusus yang terkait dengan

kompetensi inti, sumber daya, lokasi serta nilai dan hubungan (factor

institusional) harus menjadi perhatian.

2.3.2.2. Visi Industri Manufaktur Indonesia 2030

Kajian PPE FE UGM dan Yayasan Indonesia Forum mengaukan visi

Industri Manufaktur Indonesia 2030 sebagai berikut (Kuncoro, et al., 2008):

“Industri Manufaktur 2030 yang ditopang oleh struktur industri yang kokoh

dan perusahaan yang berdaya saing global, ramah lingkungan, dan berbasis

kompetensi inti daerah”

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xvi

Page 17: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

Industri manufaktur yang kokoh mengandung arti memiliki

keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya, nerdaya saing global, dan

memberikan kontribusi besar pada penyerapan tenaga kerja dan pengentasan

kemiskinan. Kata “kokoh” bermakna mengakar, mempunyai kaitan erat

antara industri hulu-menengah-hilir. Kaitan ini meningkatkan nilai tambah

serta menjamin kesinambungan dan kekuatan. Berikut akan dijabarkan secara

rinci makna visi Indonesia 2030.

Struktur Industri yang Kokoh

Aktivitas produktif dalam perekonomian tidak berdiri sendiri, masing-

masing proses produksi bisaanya memerlukan input yang disuplai dari dalam

negeri maupun diperoleh secara langsung dari luar negeri. Dengan

menggunakan produk antara dan barang modal, industri-industri menjadi

saling berkaitan satu sama lain, bahkan terjadi hubungan saling

ketergantungan. Keterkaitan ini bisa berupa: (1) kaitan ke belakang

(backward linkage), yang menunjukkan peranan suatu sektor dalam

menciptakan permintaan turunan; (2) kaitan ke depan (forward linkage), yaitu

untuk melihat derajat pemencaran penggunaan hasil produksi suatu sektor

sebagai input bagi sektor lain. Keterkaitan dengan sektor lain meliputi

pertanian, energi primer dan pertambangan, perbankan, jasa keuangan dan

pasar modal, konstruksi dan properti perdagangan besar, eceran dan

persaingan usaha, perdagangan internasional dan daya saing, jasa transportasi,

pariwisata, serta infrastruktur. Industri manufaktur juga membuka

kesempatan kerja sehingga berperan pula pada penyerapan tenaga kerja

(sekaligus mengurangi jumlah pengangguran), menjadi sumber pendapatan

bagi yang terlibat didalamnya (sekaligus mengurangi jumlah penduduk

miskin).

Berdaya Saing Global

Upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mencapai daya saing yang

tinggi dalam bidang industri difokuskan pada pembangunan struktur

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xvii

Page 18: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

perekonomian yang diperkuat dengan menempatkan sektor industri sebagai

motor penggerak dan didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas.

Secara spesifik, pembangunan industri diarahkan untuk: pertama,

mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun

internasional; kedua, mengaitkan pengembangan industri kecil dan

menengah; ketiga, menciptakan struktur industri yang sehat; keempat,

mendorong perkembangan industri di luar Pulau awa.

Pengembangan industri di masa mendatang tampaknya masih perlu

memprioritaskan strategi pengembangan keterkaitan antarsektor, terutama

keterkaitan antara sektor industri dan pertanian. Pengembangan agroindustri

merupakan langkah strategis dalam memperoleh struktur perekonomian

Indonesia. Agroindustri yang dimaksud dalam penelitian mencakup sluruh

subsektor pertanian ditambah subsektor industri pengolah hasil pertanian dan

industri penyedia input bagi sektor pertanian (Kuncoro, 2007 : 266-267).

Industri Ramah Lingkungan

Majunya sektor industri tidak akan bertahan lama apabila tidak

memiliki daya dukung lingkungan yang kuat dan berkelanjutan. Lingkungan

alam sebagai salah satu daya dukung utama industri perlu mendapat perhatian

dengan cara menciptakan industri ramah lingkungan. Penerapan analisis

dampak lingkungan (AMDAL) harus mendapat kontrol yang ketat.

Penggunaan lahan untuk pengembangan industri juga harus

berdasarkan paradigma sustainable development. Pemilihan lahan sebagai

kawasan industri harus mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan.

Apabila industri yang ada memperhatikan dampak terhadap lingkungan, maka

keberlanjutan sektor industri dapat dijamin. Tentu perlu adanya penegakan

aturan yang ketat sehingga tercipta industri yang ramah lingkungan.

Berbasis Kompetensi Inti Daerah

Berkembangnya industri berbasis sumber daya lokal dan kompetensi

inti daerah merupakan salah satu cita-cita industri Indonesia di masa depan.

Harapannya, agar potensi masing-masing daerah dapat dimanfaatkan secara

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xviii

Page 19: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

optimal. Selain itu, perlu juga dikembangkan industri pendukung secara lokal

sehingga industri manufaktur tidak lagi bergantung pada impor bahan baku

maupun penolong.

Pengembangan industri berbasis kompetensi daerah secara teoritis dan

manajerial bertujuan untuk: pertama, penciptaan kompetensi inti melalui

proses kewirausahaan atau kemampuan inovasi. Kedua, upaya untuk

melindungi kompetensi inti untuk tetap memiliki keunggulan komperatif.

Ketiga, membuat perencanaan yang komprehensif mengenai insentif terutama

mengatasi perilaku masyarakat terhadap insentif organisasi yang berbeda-

beda sesuai dengan kebutuhan dalam mempertahankan kompetensi inti.

Dengan semakin tersebarnya industri diharapkan tidak ada lagi

ketimpangan karena masing-masing daerah mampu mengembangkan

industrinya. Harapannya, industri yang telah kokoh di masing-masing daerah

akan semakin memperkuat struktur industri manufaktur nasional. Hasil dari

proses ini akan merupakan pegangan dalam pembangunan daerah dalam

jangka panjang, dimana seluruh unsur-unsur perencanaan telah disepakati

seluruh pemangku kepentingan (stakeholders).

2.4. Perbandingan dengan Negara Lain

Tiadanya GBHN dan LOI (Letter of Intent) menuntut pemerintah untuk

menjelaskan bagaimana arah perubahan yang akan ditempuh. Kita perlu belajar

dari kebijakan industri negara lain, seperti Jepang (Porter, et al. 2000), Brazil dan

Korea Selatan (Kuncoro, 2007: Bab 2), yang telah sukses melakukan

industrialisasi. Begitu pula halnya dengan China, Taiwan, Singapura, dan India

yang terus melakukan percepatan dalam merealisasikan visi negara, khususnya

dalam konteks kebijakan sektor industri. Tabel meringkas perbandingan visi

negara dan arah kebijakan industri beberapa negara di Asia. Visi dan kebijakan

industri tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi pengembangan

industri di Indonesia.

Tabel 2.2. Visi dan Kebijakan Industri di Beberapa Negara Asia

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xix

Page 20: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

No Negara Visi Kebijakan Industri

1 Malaysia Visi Malaysia

2020 (Second

Industrial Master

Plan)

a. Menekankan pada kemampuan untuk

menangani rancang bangun dan

perekayasaan untuk membangun

pabrik secara utuh

b. Mengembangkan bahan unggul dan

teknologi

2 Korea

Selatan

Menjadi negara

maju tahun 2020

a. Mengembangkan industri besi baja,

dengan bahan baku impor

b. Industri perkapalan

c. Industri elektronika

d. Industri otomotif

e. Promosi ekspor untuk peningkatan

kinerja ekspor yang dijadikan sebagai

barometer kesuksesan industri melalui

government-subsidized organization

f. Menjadikan heavy and chemical

industri sebagai driver dalam

pengembangan industri berbasis

modal dan teknologi

g. Menerapkan capital-and technology-

intensive dan engineering intensive di

sektor industri

h. Pembatasan arus PMA yang ketat

i. Proteksi impor

j. Penyediaan kredit bersubsidi dan

jaminan pembelian oleh pemerintah

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xx

Page 21: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

3 India Menjadi bangsa

maju pada tahun

2020

a. Swasembada pangan secara lestari

(world player dalam produk

karbohidrat, seperti gandum, beras,

dan sumber protein)

b. Penekanan pada peranan UKM

c. Menjadi produsen dunia dalam bidang

material

d. Area space technology

e. Memperkuat industri pertahanan dan

keamanan

4 China Menjadi negara

maju tahun 2050

(mid level

developed

nation)

a. Swasembada pangan secara lestari

b. Mengembangkan teknologi maju,

termasuk bioteknologi

c. Mikro elektronik dan teknologi

komputer

d. Memafaatkan sumber teknologi untuk

sektor pertanian, industri kecil

e. Advanced materials

f. Area space technology

g. Pemanfaatan sumber energi dari luar

China

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxi

Page 22: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

5 Jepang Menjadi negara

yang memiliki

kebangaan dan

membangun

kepercayaan Asia

pada tahun 2050

a. Subsidi langsung yang berpengaruh

besar terhadap proses industrialisasi

b. Tax system and off-budget finance

c. Mempromosikan sektor teknologi

tinggi melalui kebijakan subsidi

dalam aktivitas riset dan

pengembangan teknologi

d. Melakukan kontrol terhadap

perdagangan internasional, impor

teknologi, investasi, dan nilai tukar

valas

e. Memberikan toleransi terhadap

perilaku antikompetisi

6 Singapura Toward a

thriving class city

in the 21st

century

a. Menentukan aktivitas industri dan

kluster industri

b. Kebijakan investasi luar negeri

dengan menciptakan lingkungan

bisnis yang aman dan insentif yang

menarik

c. Keunggulan kompetitif, efisiensi,

investasi

d. Mengurangi hambatan Foreign Direct

Investment dan sistem pajak yang

mudah

e. Kemitraan antara pemerintah dan

MNC

f. Mengembangkan technopreneurship

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxii

Page 23: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxiii

Page 24: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kita mungkin perlu belajar dari pengalaman Jepang dan negara-negara lain

dalam menata industri dan meningkatkan daya saing. Mekanisme pemerintah

jepang mengarahkan perkembangan ekonomi, yang disebut gyosei shido,

merupakan semacam panduan kebijakan yang mencakup insentif perdagangan,

pasar tenaga kerja, persaingan, dan perpajakan.

Di bidang industri, ada setidaknya tiga elemen kebijakan. Pertama,

mengembangkan sektor manufaktur yang memiliki daya saing tinggi. Kedua,

restrukturisasi industri secara terencana menuju industri yng memiliki

produktifitas dan nilai tambah tinggi. Ketiga, strategi bisnis internasional dan

domestik yang agresif.

Dalam konteks inilah sektor rill agaknya membutuhkan reformasi yang

mendasar. Mungkin berupa paket kebijakkan yang lebih menyeluruh dari inpres

no. 6/2007, berupa : pertama, pemerintah perlu menetapkan roadmap kebijakkan

industri nasional sampai 2009, jangka menengah, hingga 2030, dengan sasaran

dan strategi yang rinci. Kedua, setelah roadmap kebijakan ditetapkan, perlu

ditekankan pentingnya implementasi dan efektifitas pemantauan dari kebijakan.

Ketiga, insentif peru di berikan kepada industri yang merupakan “prioritas utama”

dan berbasis “kompetensi inti daerah,” baik berupa fasilitas pajak dan kawasan

khusus maupun kemudahan perizinan. Keempat, perlu rencana aksi yang jelas

bagaimana mengembangkan industri komponen lokal, industri hilir di bidang

agribisnis, dan industri rakyat yang hacur akibat bencana di berbagai daerah.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxiv

Page 25: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

3.2. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok

bahasan dalam makalah ini. Tentu masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah ini, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada

kaitannya dengan judul makalah ini. Kami berharap para pembaca dapat

memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami selaku penulis demi

sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan

berikutnya.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxv

Page 26: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

DAFTAR  PUSTAKA

Kuncoro, Mudrajad (2009). Ekonomika Indonesia. Yogykarta: UPP STIM YKPN

Yogyakarta.

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxvi

Page 27: Reformasi Kebijakan Industri Dan Visi 2030

DAFTAR  GAMBAR

Tabel 2.1. Perbandingan Visi Industri Menurut Berbagai Versi .................... 13

Tabel 2.2. Visi dan Kebijakan Industri di Beberapa Negara .......................... 17

Reformasi Kebijakan Industri dan Visi 2030 | xxvii