Refleksi Kasus Urtikaria Pigmentosa Adhito Rs Polri
Click here to load reader
-
Upload
ritno-ryadi -
Category
Documents
-
view
262 -
download
10
description
Transcript of Refleksi Kasus Urtikaria Pigmentosa Adhito Rs Polri
0
REFLEKSI KASUS
URTIKARIA PIGMENTOSA
PEMBIMBING:
DR. DONO UTORO,SP.KK
DISUSUN OLEH:
ADHITO KARISTOMO
(1102009008)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
PERIODE 29 JUNI 2015 - 31 JULI 2015
UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT TK.I R.S. SUKANTO RS POLRI
1
BAB I
KASUS
I. IDENTIFIKASI KASUS
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Alamat : ASPOL CIPINANG 12/6 No.27, Jakarta Timur
Suku : Jawa
Tanggal Periksa : 14 Juli 2015
II. ANAMNESIS
Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 14 Juli 2015,
pukul 09:28 WIB
A. Keluhan Utama & Tambahan
KU : Gatal dan Perih sejak 1 hari yang lalu
KT : Kulit dibagian leher terasa panas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit
Kepolisian Polri RS. Sukanto dengan keluhan gatal dan perih di leher dan di
muka sejak 1 hari sebelum datang ke Poliklinik. Awalnya, pasien merasa
gatal di daerah jidad pada hari senin pagi. Pasien mengeluhkan timbul bentol
berwarna merah, gatal, perih, rasa tersengat dan panas. Rasa gatal dirasakan
lebih berat ketika berkeringat/ beraktivitas dan cuaca panas. Pasien mengaku
kesulitan tidur pada malam harinya karena gatal dan mencoba untuk
menggaruk untuk menguranginya. Keesokan harinya, pada pagi hari,
keluhan tersebut mulai melebar ke daerah leher berupa bercak bentol-
bentol berwarna merah berukuran biji jagung menyebat secara berkelompok
dan bersatu. Kemudian, pasien belum memberikan obat atau berobat ke
dokter sebelumnya untuk keluhan tersebut. Pasien menyangkal mempunyai
riwayat alergi makanan maupun obat.
2
Selain itu, pasien juga mengaku adanya beberapa kulit yang
terkelupas pada pipi kanan dan leher bawah kiri akibat digaruk. Pasien
menyangkal keluhan ini didahului demam. Kulit pasien tidak berminyak atau
pun berjerawat.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku adanya riwayat alergi debu
Pasien mengaku pernah mengalami bentol-bentol merah tapi pada daerah lain di badan ke atas, dan sembuh dengan pemberian insidal
Pasien menyangkal mengalami riwayat penyakit seperti ini
sebelumnya. DM (-), HT (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan
yang serupa dengan pasien.
Pasien menyangkal riwayat alergi dan penyakit asma pada
keluarga.
E. Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan bermain didaerah
pepohonan yang terkadang banyak serangga.
Pasien menyangkal kebiasaan memakai perhiasan seperti
kalung di leher.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik.
Kesadaran
Suhu
: Kompos Mentis.
: Afebris.
Berat Badan : 68 kg.
Hasil Pemeriksaan Status Generalisata:
Kepala : Normosefali, deformitas (-).
Wajah : Simetris.
3
Mata : Konjungtiva merah muda, sklera putih, pupil
isokor ø 3mm/3mm.
Hidung : Septum nasi di tengah, sekret -/-, mukosa
hidung lembab.
Mulut : Mukosa oral lembab, gigi-geligi lengkap, oral
hygiene baik.
Telinga : MAE +/+, Serumen -/-.
Leher :
I : Trakea ditengah.
P : Trakea ditengah, KGB tidak teraba membesar.
A : Tidak diperiksa.
Toraks Paru :
I : Simetris pada keadaan statis dan dinamis.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
A : Tidak diperiksa.
Abdomen :
I : Datar, tidak terdapat lesi kulit atau kelainan lain.
A : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
Punggung :
I : Simetris pada keadaan statis dan dinamis.
P : Tidak diperiksa.
P : Tidak diperiksa.
A : Tidak diperiksa.
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik, deformitas -, motorik baik pada 4
ekstremitas, tidak ada gerak involunter, sensorik baik pada 4
ekstremitas.
4
B. Status Dermatologis
Lokasi : Wajah dan leher.
Distribusi : Regional.
Penyebaran : Diskret dan berkelompok.
Bentuk dan Susunan : Teratur dan menyatu, Bulat, polisiklik.
Warna : Kemerahan-kecoklatan
Batas : Sirkumskrip.
Ukuran : Miliar - Lentikular - Numular - Plakat .
Efloresensi : Makula eritematosa (patch), papul-papul eritematosa,
Urtika eritematosa disertai sedikit skuama kasar.
Foto Lesi
Gambar 1. Muka &Jidad.
5
Gambar 2.Leher.
Gambar 3. Leher kanan.
6
Gambar 4. Leher kiri.
Gambar 5. Leher lebih dekat.
6
C. Status Venerologi
Tidak diperiksa.
D. Kelainan Rambut
Tidak ada kelainan.
E. Kelainan Kuku
Tidak ada kelainan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan.
G. Pemeriksaan Anjuran
Tes Titer IgE & hematologi lengkap Rӧ Pemeriksaan total kadar serum tryptase Pemeriksaan kadar N- methylhistamine (NMH) dan N-
methylimi-dazoleacetic acid.
IV. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Kerja :
Urtikaria Pigmentosa
b. Diagnosis Banding :
Fixed ExanthemaUrtikaria Akut/ Kronik.
V. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana umum dermatitis venenata :
i. Edukasi pasien: sebaiknya hindari pajanan matahari berlebih
dan olah raga berlebih.
ii. Kontrol kembali jika tidak mengalami perbaikan.
b. Tatalaksana khusus dermatitis venenata :
i. Metilprednisolon tab 8 mg, 2 dd I (xv)
7
ii. Omeprazole tab 10mg, 2 dd 1 (xv)
iii. Cetirizine HCL tab 10 mg 1 dd 1 (xx)
VI. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : bonam.
b. Quo ad functionam : bonam.
c. Quo ad sanationam : bonam.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.DEFINISI
Urticaria pigmentosa adalah suatu prototype dari penyakit sel mast
yang merupakan bagian dari bentuk klinis mastositosis pada kulit.5 Secara
umum, urticaria pigmentosa adalah suatu bentuk klinis paling umum dari
mastositosis pada kulit yang ditandai dengan macula dan papul berwarna
kuning kecokelatan hingga merah kecokelatan disertai hiperpigmentasi, dan
gatal yang disebabkan akumulasi berlebihan dari sel mast.5,6,7
Mastositosis adalah suatu kelainan hematopoetik lokal dan sistemik
akibat akumulasi dari sel mast atau hyperplasia dari sel mast pada satu atau
lebih organ target yaitu sumsum tulang, hepar, lien, nodus limfatikus, traktus
gastrointestinal, dan kulit.6,7 Mastositosis dibagi berdasarkan klasifikasi dari World
Health Organization (WHO), secara umum mastositosis dibagi menjadi dua
yaitu mastositosis kulit dan sistemik. Secara khusus mastositosis diklasifikasikan
sebagai berikut.7
Tabel 1. Klasifikasi Mastositosis M enurut WHO8
9
2.2.EPIDEMIOLOGI
Urticaria pigmentosa merupakan bentuk mastositosis kulit yang paling
umum dan sering terjadi dibandingkan bentuk mastositosis yang lainnya
dengan jumlah kasus mencapai 70% hingga 90% kasus mastositosis kulit.
Insidensi kasus urticaria pigmentosa belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan berbagai penelitian didapatkan insidensi mencapai sekitar 1 : 1000
hingga 1 : 8000 kasus.6 Urticaria pigmentosa paling sering ditemukan pada
anak – anak. Lebih dari 50%, onset terjadinya adalah sebelum usia 2 tahun.
Biasanya lesi kulit pertama kali muncul pada usia beberapa bulan pasca lahir.
Lesi cenderung bertahan dan meningkat secara bertahap dalam beberapa
bulan bahkan tahun, namun lesi cenderung mengalami regresi secara spontan
saat anak mulai mencapai usia dewasa.5,6 Pada orang dewasa masih memiliki
kemungkinan untuk terjadi suatu mastositosis namun cenderung
mengarah ke mastositosis sistemik yang bersifat persisten.6 Urticaria pigmentosa
dapat dialami oleh laki – laki maupun perempuan, tidak ada kecenderungan
terhadap jenis kelamin. Lokasi lesi kulit dapat terjadi pada dimanapun, namun
biasanya lebih sering mengenai daerah kulit kepala, wajah, badan dan ekstremitas.5
2.3.ETIOLOGI
Penyebab dari urticaria pigmentosa masih belum diketahui dan
dimengerti secara pasti hingga saat ini. Berdasarkan teori yang dikemukakan,
sebagian besar setuju bahwa terdapat suatu perubahan structural dan aktivitas dari
reseptor c-kit yang terletak di sel mast, melanosit, sel punca hematopoetik dan
sel lainnya. Suatu faktor sel punca (SCF / Stem cell factor) merupakan ligan
dari reseptor c-kit dari tirosin kinase transmembran yang berperan penting dalam
perkembangan dan maturasi dari sel mast. Mutasi dari ligan akan menyebabkan
proliferasi yang tidak terkontrol dari sel mast.9. Namun dari hasil penelitian,
sebagian besar kasus pada anak tidak ditemukan adanya mutasi reseptor c-kit
atau suatu kehilangan fungsi akibat mutasi. Sehingga tidak dapat dipastikan
penyakit ini disebabkan oleh suatu reaksi hiperplastik akibat suatu rangsangan
yang tidak diketahui atau merupakan suatu proses keganasan. Namun para peneliti
setuju bahwa peningkatan konsentrasi lokal dari growth factor sel mast akan
10
memicu suatu proliferasi sel mast, melanosit dan produksi pigmen melanin.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa induksi melanosit akan menimbulkan
gambaran hiperpigmentasi pada urticaria pigmentosa.10
11
Selain adanya mutasi genetik, penyakit ini juga memiliki beberapa
faktor pencetus yang akan menginduksi sel mast dan sel lainnya untuk
mengalami proliferasi. Beberapa faktor pencetus tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Faktor Pencetus Urticaria Pigmentosa6
Obat Aspirin
NSAID
Ethyl alcohol
Amphotericin
B Scopolamine
Polymyxin B
Quinine
Thiamine
R
eserpine
Procaine
Stimulus fisik Olahraga berlebihan
Paparan sinar
matahari Kompresi /
tekanan Friksi /
gesekan
Cuaca ekstim (panas / dingin)
Stres emosional
Gigitan serangga
Paparan agen kontras radiologi
Anestesi umum
2.4.PATOGENESIS
Sel mast merupakan derivate dari sel CD34+, suatu sel hemopoetik
progenitor didalam sumsum tulang. Sel mast dapat melakukan regenerasi secara
mandiri dan melakukan diferensiasi menjadi berbagai jenis progenitor.
Diferensiasi sel mast terjadi secara acak tergantung dari mekanisme intrinsic.
Progenitor sel mast, eosinophil, neutrophil, dan eritrosit dapat bertahan hidup,
berdiferensiasi dan proliferasi hanya apabila terdapat suatu growth factors. Sel
12
mast yang matur memiliki kemampuan untuk melakukan proliferasi. Secara
umum, sel mast yang matur secara normal dapat
13
ditemukan di jaringan ikat, dibawah lapisan epitel kulit, system respirasi,
gastrointestinal, traktus urinarius, pembuluh limfatik, sekitar saraf perifer dan
darah kecuali daerah perifer. Terdapat 2 tipe sel mast di jaringan yaitu tipe mukosa
dan tipe jaringan ikat. Dengan sel mast tipe jaringan ikat yang dominan ditemukan
di kulit.11,12
Gambar 1. Anatomi Sel Mast12
Suatu reseptor antigen pada permukaan sel mast yaitu KIT/CD117
merupakan suatu reseptor growth factor sel punca (stem cell growth factor) yang
bersifat proto onkogen. KIT berperan paling penting terhadap sel mast.
Reseptor ini akan diekspresikan terhadap sel mast secara independen sebagai
tahap maturasi sel mast atau aktivasi sel. Sel mast akan bereaksi tergantung
dari ekspresi dari antigen permukaan dari lingkungan dan factor lainnya.
Reseptor KIT juga berperan besar dalam hematopoiesis, melanogenesis dan
fungsi gastrointestinal.13
14
Gambar 2. Struktur KIT13
Dari gambaran diatas, dapat diketahui bahwa KIT terdiri dari 5
unit immunoglobulin pada daerah ekstraselular yang menjadi lokasi ikatan
sel mast dengan SCF. Kemudian terdapat wilayah transmembran, jukstamembran
merupakan wilayah esensial untuk fungsi regulasi fosforilasi tirosin dan wilayah
TK yang terbagi menjadi 2 yaitu TK1 menjadi lokasi ikatan ATP dan
TK2 mengandung fosfotransferase dan lokasi terjadinya aktivasi tirosin
kinase / activation loop. Regulasi yang terjadi didalam KIT yaitu aktivasi
atau inhibisi transduksi sinyal terhadap wilayah jukstamembran, TK1 dan
TK2.11,13
Stem cell factor (SCF) merupakan sebuah sitokin yang diproduksi oleh
sel fibroblast dan mesenkimal dalam bentuk protein transmembran sehingga
bersifat soluble yang menjadi faktor yang berperan dalam migrasi, proliferasi,
maturasi dan pertahanan sel. Molekul SCF yang keluar ke dalam plasma darah
akan menyilang terhadap reseptor KIT saat terikat dengan sel, hasil ikatan
15
tersebut akan mengaktivasi proses enzimatik tirosin kinase melalui proses
transduksi sinyal terhadap KIT. SCF
16
normalnya diekspresikan pada sel mast untuk berkembang. Precursor dari sel
mast memerlukan suatu ekspresi dari proto onkogen c-kit yang memicu reseptor
KIT dan aktivitas tirosin kinase sebagai reaksi normal terhadap SCF.11
Aktivasi dari SCF dan KIT akan memicu sel mast mengeluarkan suatu
respon namun tergantung dari bagian sel yang mengalami aktivasi,
diantaranya proliferasi sel, maturasi, diferensiasi, menekan respon apoptosis,
degranulasi dan perubahan adhesi serta motilitas sel. Namun terdapat suatu
keadaan dimana terjadi mutasi maupun delesi dari wilayah KIT akan
menyebabkan terganggunya transduksi sinyal sehingga proses inhibisi dihambat
yang kemudian mengubah sifat proto onkogen KIT menjadi aktif. KIT yang
onkogenik akan menginduksi proses neoplasmatik dan transformasi dari
reseptor KIT menghasilkan suatu gambaran penyakit spesifik yaitu leukemia myeloid,
mastositosis dan melanoma yang disebabkan proses aktivasi sel
mast secara onkogenik.11
Gambar 3. Lokasi Mutasi KIT11
Sesuai gambar diatas, pada pasien mastositosis telah dilaporkan
mengalami mutasi KIT multipel. 90% pasien dengan mastositosis ditemukan
mengalami mutasi KIT pada D816V. Namun pada beberapa kasus anak tidak
17
menunjukkan adanya mutasi pada D816V, mutasi KIT dapat terjadi pada kodon
509, 533, 815, 816, dan
839. Mutasi yang terjadi adalah pergantian kodon protein pada lapisan terkait. Mutasi
18
KIT yang terjadi merupakan mutasi KIT tipe enzimatik yang secara
langsung mempengaruhi proses enzimatik yang terjadi pada wilayah TK2, proses
ini memicu activation loop secara terus menerus pada KIT yang menginduksi
dan meningkatkan proses proliferasi sel mast serta derivate sel lainnya yang
terkait dengan KIT yang berperan.11 Selain jumlah sel mast yang meningkat
perlu diketahui bahwa sel mast mengandung beberapa zat mediator yaitu
histamine, triptase, chimase, leukotriene,
TNF-α, IL-8 dan zat lainnya yang akan menimbulkan gejala flushing, bula,
pruritus, dyspnoe, hipotensi, diare dan gejala klinis lain yang terkait akibat efek
mediator yang berperan dalam jumlah besar mengikuti jumlah sel mast.7
2.5.MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis urticaria pigmentosa akan ditemukan macula hiperpigmentasi
berbentuk bulat atau oval, papul atau benjolan berwarna kuning kecokelatan
hingga merah kecokelatan dengan ukuran diameter sekitar 2 – 4 mm. Ukuran lesi
cenderung lebih kecil pada pasien dewasa dibandingkan bayi dan anak – anak.
Dapat terjadi suatu pembentukan formasi vesikel terutama pada bayi dan balita.
Berikut adalah beberapa gambar gejala klinis tersebut.6,14
Gambar 4. Be ntuk makula hiperpigmentasi dan papul pada
badan seorang anak6
19
ANAK
Gambar 5. Perbandingan bentuk macula hiperpigmentasi dan
papul pada anak dan dewasa14
Lesi urticaria pigmentosa sering diikuti dengan pruritus yang
derajatnya bervariasi. Oleh karena itu, lesi dapat membengkak dan membesar
membentuk suatu wilayah atau kelompok vesikel akibat adanya manipulasi
terhadap lesi seperti garukan namun dapat terjadi secara spontan. Reaksi lesi ini
disebut sebagai tanda Darier / Darier’s sign. Reaksi ini cenderung terjadi
pada sekitar 50% kasus urticaria pigmentosa dan sering digunakan sebagai
patokan diagnosis urticaria pigmentosa.
Berikut adalah contoh gambar dari tanda Darier.5,6,10,15
Gambar 6. Darier’s Sign10,15
DEWASA
20
Selama beberapa tahun pasien mengalami urticaria pigmentosa, tingkat iritasi
perlahan berkurang bahkan lesi pada kulit cenderung mulai menghilang dan
ketika mencapai usia remaja lesi dapat menghilang secara spontan. Urticaria
pigmentosa memiliki wilayah predileksi untuk ditemukan gambaran klinis yang
ada, yaitu daerah dada, punggung badan, sedangkan telapak tangan, kaki dan
wajah jarang terpengaruh. Karena merupakan suatu bagian dari mastositosis,
meskipun penelitian menunjukkan
90% pasien urticaria pigmentosa tidak terbukti adanya keterlibatan sistetik namun
terkadang pada pasien urticaria pigmentosa dapat ditemukan gejala
mastositosis sistemik yaitu wajah tampak kemerahan / flushing, sakit kepala,
takikardia, dyspnoe, muntah, diare dan penurunan berat badan.5,6
2.6.DIAGNOSIS
Berdasarkan konsensus WHO, terdapat protocol untuk mendiagnosis
suatu urticarial pigmentosa. Pada dasarnya proses diagnosis urticarial
pigmentosa adalah sama seperti proses diagnosis suatu penyakit yaitu melalui
anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik terutama temuan klinis pada kulit,
pemeriksaan laboratorium dan penunjang untuk memastikan apakah pasien
murni mengalami urticaria pigmentosa atau sudah mengarah dan disertai
mastositosis sistemik.11,15
2.6.1. Anamnesis
Pada anamensis pasien dengan urticaria pigmentosa, perlu ditanyakan hal
yang terkait dengan keluhan pasien. Keluhan yang mengarah ke gejala
klinis yaitu adanya benjolan di kulit, ukuran kecil, berwarna coklat,
gatal – gatal dan lainya. Keluhan tersebut harus ditanyakan lebih lanjut
yaitu mengenai onset, durasi, progresifitas lesi, factor pencetus,
keluhan gatal (derajat, kapan, dimana, sifat periodik, kronis), serta
riwayat mastositosis dalam keluarga. Selain anamnesis lengkap
mengenai urticaria pigmentosa, pasien harus dicari tahu lebih lanjut
mengenai gejala mastositosis sistemik yaitu gejala prodromal, mual
muntah, diare, sesak nafas, sakit kepala, hipotensi dan keluhan sistemik
lainnya.11,15 Terdapat suatu indikasi dilakukan screening terhadap mastositosis
21
sistemik apabila ditemukan gejala seperti nyeri perut disertai diare,
nyeri tulang, flushing yang muncul tanpa penyebab yang jelas, terjadi
suatu reaksi anafilaktik dan kombinasi keluhan lainnya.11
22
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terutama pada kulit dapat dilakukan mulai
dari pemeriksaan kulit secara menyeluruh dilanjutkan menilai morfologi
lesi kulit yang terjadi, pada penyakit urticaria pigmentosa
gambaran lesi akan ditemukan adanya macula hiperpigmentasi
berbentuk bulat atau oval, papul atau benjolan berwarna kuning
kecokelatan hingga merah kecokelatan dengan ukuran diameter sekitar 2 –
4 mm.15 Apabila morfologi kulit yang ditemukan mendukung, maka
pemeriksa perlu mencari secara seksama gambaran khas yaitu tanda
Darier yang menjadi patokan diagnosis.11,15
Penegakan diagnosis urticaria pigmentosa dapat ditegakkan apabila lesi kulit
dan tanda darier ditemukan. Namun protocol WHO menganjurkan
pemeriksa untuk melanjutkan pemeriksaan menggunakan sistem skor
yaitu Indeks SCORMA. Sistem skor SCORMA adalah dengan
memasukkan poin skor sesuai gejala dan klinis yang ditemukan. Indeks
SCORMA digunakan sebagai evaluasi mengenai temuan klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik sehingga diagnosis secara pemeriksaan
fisik dapat ditegakkan secara akurat, memastikan apakah sudah ada
gejala sistemik dan hasil penelitian menunjukkan teradapat korelasi
yang baik antara sistem SCORMA dengan tingkat serum triptase yang
ditemukan sehingga dapat mengetahui lebih jelas mengenai perkembangan
dari penyakit.11 Pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan melakukan
pemeriksaan keadaan umum, tanda vital dan pemeriksaan sistemik seperti
organomegali dan apabila ditemukan kecurigaan serta indikasi screening
23
adanya mastositosis sistemik. Berikut terlampir indeks SCORMA sebagai
berikut.11,15
24
Gambar 7. Indeks SCORMA11
2.6.3. Pemeriksaan Laboratorium
2.6.3.1.Pemeriksaan Darah
Dari pemeriksaan laboratorium diperlukan pemeriksaan darah dan
urin dari pasien. Karena urticaria pigmentosa merupakan
bagian dari mastositosis maka diperlukan pemeriksaan darah yaitu
darah lengkap dan kimiawi darah. Pada pemeriksaan darah lengkap
pasien mastositosis cenderung ditemukan adanya anemia, leukositosis,
dan eosinophilia. Pada pemeriksaan kimiawi darah diperlukan suatu
25
pemeriksaan total kadar serum tryptase. Tinggi nya kadar
serum
26
tryptase menunjukkan adanya mastositosis sistemik. Apabila
kadar serum tryptase kurang dari 20 ng/ml maka pasien dapat
dikategorikan urticaria pigmentosa murni tanpa keterlibatan
sistemik, apabila kadar serum lebih dari 20 ng/ml dan
ditemukan adanya tanda – tanda kelainan sistemik maka pasien
mengalami urticaria pigmentosa dengan mastositosis sistemik.
Sedangkan apabila ditemukan kadar lebih dari
100 ng/ml maka tanpa diragukan meskipun tidak memiliki
gejala sistemik, pasien dikategorikan mastositosis sistemik.
Pemeriksaan kadar serum tryptase rutin dilakukan pada pasien
dewasa setiap 6
hingga 12 bulan untuk mengevaluasi perkembangan penyakit.6,11
2.6.3.2.Pemeriksaan Urin
Pada pemeriksaan urin pasien dapat dilakukan pemeriksaan kadar
N- methylhistamine (NMH) dan N-methylimi-dazoleacetic acid.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan spesifik dan sensitive.
Kadar NMH menunjukkan adanya keterlibatan lesi pada
kulit yang menunjang diagnosis mastositosis dengan kadar yang
ditemukan dapat meningkat dari 1,5 hingga 100 kali. Selain
itu dapat dideteksi adanya peningkatan kadar metabolit 9 -α-
hidroksi
11, 20 asam dioic dan 15-diokso-2,3,4,5-tetra-norprostan-1 akibat
produksi dari prostaglandin PGD2 yang berlebihan pada
mastositosis. Namun karena pemeriksaan ini adalah untuk
mendeteksi produk metabolit histamine, maka sebelum
dilakukan pemeriksaan ini pasien dianjurkan untuk menghindari
makanan dengan kadar histamine yang tinggi seperti bayam,
terong, keju,
dan anggur merah.5,7
2.6.4. Pemeriksaan Penunjang
27
2.6.4.1.Pemeriksaan Histopatologi Kulit
Pemeriksaan histopatologi kulit pada mastositosis kulit salah
satunya urticaria pigmentosa dapat ditemukan adanya peningkatan
infiltrasi sel mast di lapisan dermis dan sekitar pembuluh darah. Pada
urticaria pigmentosa memiliki gambaran sel mast dengan distribusi
infiltrasi sel
28
menyebar disekitar pembuluh darah. Dapat dibedakan dengan
mastositosis sistemik memiliki gambaran sel mast dengan
distribusi infiltrasi sel menumpuk, berkumpul disekitar pembuluh
darah dan di jaringan subkutan. Gambaran histopatologi dapat
ditemukan dengan menggunakan berbagai pewarnaan untuk tujuan
tertentu. Infiltrasi sel mast dapat terlihat dengan pewarnaan
hematoksilin dan eosin. Granula metakromatik dari sel mast dapat
terlihat dengan pewarnaan giemsa dan toluidine blue. Sedangkan
gambaran c-kit yaitu CD117 dapat terlihat menggunakan
pemeriksaan histokimiawi dengan kloroaseatat esterase. Gambaran
histopatologi dari pewarnaan hematoksilin eosin, giemsa dan
toluidine blue serta kloroasetat esterase dapat dilhat pada lampiran
sebagai berikut.16
Gambar 8. Histopatologi Kulit Urticaria Pigmentosa16
Keterangan : a. Pewarnaan Hematoksilin-eosin; b. Pewarnaan Toluidine blue;
c. Histokimiawi CD117 dengan klorasetat esterase.
29
2.6.4.2.Pemeriksaan Biopsi Sumsum Tulang
Berdasarkan berbagai penelitian, sekitar 20% pasien
mastositosis sistemik terdiagnosis setelah dilakukan pemeriksaan
biopsi sumsum tulang disebabkan ditemukkannya adanya jumlah
sel darah yang abnormal yaitu leukositosis, trombositopenia
atau trombositosis, dan anemia tanpa penyebab yang jelas pada
pasien. Maka perlu dilakukan suatu pemeriksaan biopsi sumsum
tulang untuk mengetahui diagnosis gangguan sel mast yang terkait
dengan kelainan hematologi yang menyebabkan kelainan jumlah sel
darah. Biopsi ini direkomendasikan untuk mengkonfirmasi apakah
terdapat suatu mastositosis sistemik pada pasien dewasa
dengan lesi kulit, tanpa lesi kulit apabila ditemukan adanya
kerurigaan penyakit sistemik berdasarkan gejala sistemik yang
muncul dan pasien anak urticaria pigmentosa dengan abnormalitas
dari hitung jenis sel darah, organomegali dan
limfadenopati. Gambaran yang akan ditemukan pada biopsi
sumsum tulang adalah ditemukan sel mast dengan bentuk kumparan
(spindle).17
2.7.DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gambaran efloresensi dari urticaria pigmentosa yaitu macula
dan atau papul hiperpigmentasi berbentuk bulat atau oval secara lokal maupun
difus maka dapat dipertimbangan beberapa diagnosis banding yaitu sebagai
berikut.
1. Urtikaria akut / kronik
Gambar 9. Lesi Kulit Urticaria Akut7
30
Urticaria merupakan lesi kulit berupa edema secara lokal dikelilingi oleh
eritema dan disertai dengan pruritus. Penyakit ini dibedakan menjadi akut
dan kronis.
31
Urticaria akut merupakan kelainan kulit disebabkan oleh suatu reaksi alergi terkait
dengan mekanisme imunoglobullin E sedangkan urticaria kronis lebih cenderung
disebabkan oleh autoimun. Penyakit ini dapat menyerang semua usia,
namun dapat dibedakan dengan urticaria pigmentosa. Waktu terjadinya
lesi urticaria pigmentosa adalah sekitar lebih dari 6 minggu sedangkan
urticaria akut kurang dari 6 minggu dan kronis lebih dari 6 minggu. Durasi
lesi individual urticaria akut dan kronis cenderung lebih singkat yaitu kurang
dari 48 jam dibandingkan dengan urticaria pigmentosa yang dapat
berlangsung beberapa bulan. Gejala penyakit ini adalah lesi kulit yaitu edema,
eritema, papul berwarna merah keputihan dengan predileksi dapat muncul dari
semua bagian tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan adanya
jumlah sel mast sedikit meningkat pada dermis, edema dermal dan dilatasi
kapiler.7
2. Eruptive Xanthoma
Gambar 10. Lesi Kulit Eruptive Xanthoma18
Eruptive Xanthoma merupakan kelainan pada kulit akibat deposisi makrofag
yang disebabkan oleh hiperlipidemia dan atau hipertrigliseridemia. Penyakit ini
dapat menyerang segala usia, dengan prevalensi terbanyak adalah usia dibawah
25 tahun dan diatas 50 tahun. Lebih cenderung dialami oleh laki – laki
dibandingkan perempuan. Gejala penyakit ini adalah papul berwarna kuning
kemerahan dengan ukuran diameter 1 hingga 5 mm dapat disertai eritema
dan gejala pruritus. Predileksi paling sering ditemukan pada daerah ekstensor
dari ekstremitas, pantat, dan bahu. Pada pemeriksaan histopatologi dapat
ditemukan kumpulan sel busa
(foam cells).18
32
3. Juvenile Xanthogranuloma
Gambar 11. Lesi Kulit Juvenile Xanthogranuloma7
Juvenile Xanthogranuloma (JXG) merupakan kelainan kulit yang
disebabkan kelainan respons makrofag terhadap kerusakan jaringan
non spesifik menyebabkan munculnya reaksi granulomatosa. JXG sering
menyerang bayi usia kurang dari 6 bulan hingga 1 tahun. Gejala klinis JXG
sering diikuti gejala pada mata yaitu hifema. Pada pemeriksaan kulit akan
ditemukan lesi kulit berupa papul, nodul berwarna jingga, ukuran diameter 1
hingga 20 mm dengan batas tegas. Predileksi paling sering ditemukan di
daerah kepala, wajah, leher dan badan. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan
yaitu histopatologi kulit dengan odema dan
degenerasi dari sel epitelial disertai edema perivaskular.7
4. Langerhans Cell Histiocytosis
Gambar 12. Lesi kulit Langerhans Cell Histiocytosis7
33
34
Langerhans Cell Histiocytosis merupakan kelainan kulit disebabkan
kelainan disfungsi sistem imunitas dengan abnromalitas limfosit dan sitokin
IL-1α dan IL-
10. Penyakit ini sering dialami anak – anak usia 1 hingga 3 tahun dengan jenis
kelamin laki – laki lebih cenderung untuk mengalami penyakit ini
dibandingkan perempuan. Berdasarkan gambar diatas, lesi kulit pada penyakit
ini adalah papul berukuran diameter 1 hingga 2 mm, berwarna kuning
kemerahan, dapat disertai krusta, ulkus, vesikel, pustul, terkadang pada usia
bayi dapat muncul makula hiperpigmentasi dan nodul berwarna merah
kecokelatan. Predileksi paling tersering adalah daerah kulit kepala dan
badan. Pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan sel LCH dengan
ukuran 4 hingga 5 kali lebih besar dari limfosit terkecil, berbentuk seperti
ginjal dan nukleus menyerupai vesikel.7
2.8.KOMPLIKASI
Pada dasarnya lesi kulit urticaria pigmentosa cenderung mengalami
regresi secara spontan saat anak mulai mencapai usia dewasa.5,6 Namun pada
orang dewasa masih memiliki kemungkinan untuk terjadi mastositosis
sistemik yang bersifat persisten. Maka komplikasi yang akan terjadi adalah
gejala sistemik dan kelainan yang ditimbulkan oleh mastositosis sistemik yaitu
terganggunya organ yang menjadi target yaitu sumsum tulang, hepar, lien, nodus
limfatikus, dan traktus gastrointestinal. Munculnya hipotensi, sinkop, diare
disertai nyeri perut, malnutrisi dan anemia.
Komplikasi lanjut akan terjadi penurunan kepadatan tulang sehingga akan memicu
osteoporosis, osteopenia sehingga mempermudah terjadinya fraktur
patologis. Sementara itu sumsum tulang belakang mengalami gangguan
dalam pengaturan hematopoetik menyebabkan pansitopenia dan organomegali.4-
7,9,10
2.9.PENATALAKSANAAN
Dasar dari terapi urticaria pigmentosa adalah edukasi kepada
pasien, pencegahan faktor pencetus, mengatasi gejala akibat mediator sel mast
yang akut dan kronis, pencegahan serta terapi target organ yang telah mengalami
35
gangguan. Seperti penyakit lainnya bahwa penatalaksanaan urticaria pigmentosa
akan ditinjau secara non medikamentosa dan medikamentosa.5
36
2.9.1. Non Medikamentosa
1. Edukasi
1) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien atau
orang tua pada pasien anak – anak mengenai hal sebagai
berikut.
i. Gejala klinis, faktor pencetus, usaha pencegahan
dan kontrol faktor pencetus, diagnosis penyakit,
alur diagnosis, kemungkinan perburukan /
komplikasi, rencana terapi yang akan diberikan
dan tindakan serta rencana yang akan dilakukan
apabila terapi yang diberikan gagal.
ii. Tujuan dari terapi yang diberikan bukan untuk
menyembuhkan total penyakit pasien, tetapi hanya
mengatasi gejala klinis pasien.
2) Pasien harus sadar dan harus mencoba untuk
mengontrol dan menghindari faktor pencetus dari
urticaria pigmentosa.5,7
2.9.2. Medikamentosa
1. Antihistamin oral
Antihistamin sangat diperlukan dalam terapi pasien dengan urticaria
pigmentosa. Pemberian antihistamin secara oral telah
terbukti mengatasi gejala pruritus, urticaria, flushing, takikarida dan
gejala gastrointestinal. Untuk gejala pruritus, urticaria,
takikardia, dan flushing dapat diberikan antihistamin golongan
antagonis reseptor H-1 yaitu difenhidramin, hidroksizin, loratadin,
dan cetirizin. Sedangkan gejala gastrointestinal dapat diberikan
antihistamin golongan antagonis reseptor H-2 yaitu simetidin
dan ranitidin. Apabila gejala gastrointestinal cenderung tidak
membaik maka dapat diganti dengan pemberian PPI. Pada pasien
urticaria pigmentosa dengan mastositosis sistemik dianjurkan
menggunakan terapi kombinasi AH-1 dan AH-2.7
2. Disodium Gromoglycate oral
37
Pemberian secara oral disodium gromoglycate 200 – 800 mg per
hari telah dibuktikan dapat mengatasi gejala pruritus dan
urticaria baik pasien mastositosis kulit maupun sistemik. 7,10
38
3. Kortikosteroid
Untuk mengurangi jumlah sel mast didalam jaringan maka
dapat diberikan kortikosteroid golongan glukokortikoid secara
topikal, seperti salep betamethasone dipropionate 0,05% selama 8
jam setiap hari dalam 8 hingga 12 minggu. Studi menunjukkan
jumlah sel mast yang menurun disertai dengan berkurangnya lesi
kulit pada pasien dengan terapi salep kortikosteroid, lesi
cenderung menghilang setelah terapi dihentikan namun beberapa
mengalami munculnya kembali lesi setelah 1 tahun tanpa terapi
kortikosteroid.5,7,10
4. Terapi Psoralen + Fotokemoterapi UVA (PUVA)
Terapi PUVA dapat diberikan sebanyak 4 kali dalam seminggu. Terapi
PUVA efektif dapat mengurangi kandungan histamin didalam
tubuh tetapi tidak dapat mengeliminasi infiltrasi dari sel mast ke
jaringan kulit secara permanen. Oleh karena itu meskipun dibuktikan
dapat mengurangi dan mengontrol gejala pruritus serta edema
akibat urticaria pada kulit, namun gejala dapat kembali relaps dalam
waktu 3 hingga 6 bulan pasca terapi PUVA.5,7
2.10. PROGNOSIS
Prognosis dari urticaria pigmentosa tergantung dari usia, derajat penyakit,
dan gambaran klinis yang terjadi. Terdapat beberapa data studi pada kelompok
anak – anak. Prognosis kasus urticaria pigmentosa pada anak adalah baik,
ditemukan lebih dari 60% kasus anak mengalami perbaikan dan sembuh secara
spontan saat mencapai usia dewasa, namun 10% dari kasus anak mengalami
perburukan, penyakit berlanjut menjadi mastositosis sistemik dengan prognosis
buruk. Pada dasarnya penyakit urticaria pigmentosa, mastositoma dan
mastositosis kulit yang hanya sebatas mengenai kulit memiliki prognosis yang
baik karena akan mengalami regresi secara spontan saat mencapai usia dewasa.
Berbeda dengan orang dewasa masih memiliki peluang besar untuk terjadi
mastositosis sistemik yang bersifat persisten. Beberapa kasus urticaria
pigmentosa yang dicurigai mengalami perburukan menjadi mastositosis
sistemik diperlukan evaluasi terhadap perkembangan penyakit setiap 6 bulan,
sedangkan pasien mastositosis sistemik harus dikontrol dan dievaluasi setiap 5
tahun.5,9,15
39
BAB III
K
ESIMPULAN
Urticaria pigmentosa adalah suatu bentuk klinis paling umum dari
mastositosis pada kulit yang ditandai dengan macula dan papul berwarna kuning
kecokelatan hingga merah kecokelatan disertai hiperpigmentasi, dan gatal yang
disebabkan akumulasi berlebihan dari sel mast. Etiopatogenesis urticaria
pigmentosa masih belum diketahui dan dimengerti secara pasti hingga saat ini
namun beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat suatu perubahan structural
dan aktivitas dari reseptor c-kit dan ligan SCF yang terletak di sel mast,
melanosit, sel punca hematopoetik dalam perkembangan dan maturasi dari sel
mast. Mutasi dari ligan akan menyebabkan proliferasi yang tidak terkontrol dari
sel mast. Gambaran klinis urticaria pigmentosa akan ditemukan macula
hiperpigmentasi berbentuk bulat atau oval, papul atau benjolan berwarna kuning
kecokelatan hingga merah kecokelatan dengan ukuran diameter sekitar 2 – 4
mm. lesi dapat membengkak dan membesar akibat adanya manipulasi terhadap lesi
membentuk tanda Darier / Darier’s sign yang menjadi tanda khas dan menjadi
kriteria dalam mendiagnosis urticaria pigmentosa.
Untuk dapat mendiagnosis urticaria pigmentosa diperlukan
anamnesis mengenai gejala dan riwayat penyakit baik pasien maupun
keluarga dan harus dipastikan apakah urticaria pigmentosa berdiri sendiri atau
sudah menjadi bagian dari mastositosis sistemik. Oleh karena itu setiap
pasien urticaria pigmentosa diperlukan untuk dilakukan screening terhadap
mastositosis sistemik. Screening mastositosis sistemik dapat dilakukan dengan
menggunakan indeks SCORMA, pemeriksaan darah, kimiawi darah kadar serum
trptase, pemeriksaan urin NMH serta histopatologi kulit yang khas. Apabila
diagnosis urticaria pigmentosa telah jelas maka diperukan penatalaksaan yang
akurat, karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan terapi hanya untuk
mengatasi gejala klinis. Oleh karena itu edukasi dan kerjasama pasien sangat
diperlukan agar terapi dan kekambuhan dapat sukses dijalankan. Secara umum
urticarial pigmentosa memiliki prognosis yang baik apabila penyakit hanya
40
sebatas pada kulit tanpa keterlibatan sistemik karena lesi akan cenderung
mengalami regresi secara spontan dan sembuh sempurna terutama pada anak –
anak.
41
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Penemuan Pada Kasus Teori
Anamnesis:
Perih, gatal, rasa tersengat dan
panas.
Keluhan bentol-bentol merah
pertama kali muncul di jidad lalu
melebar ke leher
Keluhan bertambah parah
terutama ketika beraktivitas dan
cuaca panas
Anamnesis:
Secara umum, urticaria
pigmentosa adalah suatu bentuk
klinis paling umum dari
mastositosis pada kulit yang
ditandai dengan macula dan
papul berwarna kuning
kecokelatan hingga merah
kecokelatan disertai
hiperpigmentasi, dan gatal yang
disebabkan akumulasi
berlebihan dari sel mast.
Urticaria pigmentosa dapat
dialami oleh laki – laki maupun
perempuan, tidak ada
kecenderungan terhadap jenis
kelamin. Lokasi lesi kulit dapat
terjadi pada dimanapun, namun
biasanya lebih sering mengenai
daerah kulit kepala, wajah, badan
dan ekstremitas.
Salah satu fakto pencetus UP
adalah stimulus fisik : paparan
sinar matahari, olahraga
berlebihan, cuaca ekstrim (panas)
20
Pasien sering mengalami
gejala yang mirip dengan
keluhan sekarang namun
lokasinya berbeda ( badan ke
atas) dan sembuh dengan
pemberian insidal
Keluhan meluas setelah pasien
mencoba untuk menggaruk
(Pasien mengaku kesulitan tidur
pada malam harinya karena gatal
dan mencoba untuk menggaruk
untuk menguranginya)
Apabila diagnosis urticaria
pigmentosa telah jelas maka
diperukan penatalaksaan yang
akurat, karena penyakit ini
tidak dapat disembuhkan dan
terapi hanya untuk mengatasi
gejala klinis. Oleh karena itu
edukasi dan kerjasama pasien
sangat diperlukan agar terapi dan
kekambuhan dapat sukses
dijalankan.
Gambaran klinis UP akan
ditemukan macula
hiperpigmentasi berbentuk
bulat / oval, papul / benjolan
berwarna kuning kecokelatan
-- merah kecokelatan dengan
ukuran diameter sekitar 2 – 4
mm. lesi dapat membengkak
dan membesar akibat adanya
manipulasi terhadap lesi
membentuk tanda Darier /
Darier’s sign yang menjadi
tanda khas dan menjadi kriteria
dalam mendiagnosis urticaria
pigmentosa.
21
Status dermatologi:
Lokasi : Wajah dan leher.
Distribusi : Regional. Penyebaran :
Diskret dan berkelompok. Bentuk
dan Susunan : Teratur dan
menyatu, Bulat, polisiklik. Warna :
Kemerahan-kecoklatan Batas :
Sirkumskrip. Ukuran : Miliar -
Lentikular - Numular - Plakat .
Efloresensi : Makula eritematosa
(patch), papul-papul eritematosa,
Urtika eritematosa disertai sedikit
skuama kasar.
Status dermatologi:
Stadium akut kelainan kulit
berupa eritema, edema, vesikel,
atau bula, erosi dan eksudasi,
sehingga tampak basah. Stadium
sub akut, eritema berkurang,
eksudat mengering menjadi
krusta, sedang pada stadium
kronis tampak lesi kronis,
skuama, hiperpigmentasi,
likenifikasi, papul, mungkin juga
terdapat erosi atau ekskoriasi
karena garukan.
Diagnosis Banding Urtikaria Pigmentosa:
Fixed exanthema
Pada anamnesis, terdapat hipersensitivitas terhadap obat yang dimakan.
Makula kehitaman dan lebih lambat hilang.
Urtikaria Akut/Kronik
Urticaria merupakan lesi kulit berupa edema secara lokal
dikelilingi oleh eritema dan disertai dengan pruritus. Penyakit ini dibedakan
menjadi akut dan kronis. Urticaria akut merupakan kelainan kulit disebabkan
oleh suatu reaksi alergi terkait dengan mekanisme imunoglobullin E sedangkan
urticaria kronis lebih cenderung disebabkan oleh autoimun. Penyakit ini dapat
menyerang semua usia, namun dapat dibedakan dengan urticaria
pigmentosa. Waktu terjadinya lesi urticaria pigmentosa adalah sekitar lebih
dari 6 minggu sedangkan urticaria akut kurang dari 6 minggu dan kronis lebih
dari 6 minggu. Durasi lesi individual urticaria akut dan kronis cenderung lebih
singkat yaitu kurang dari 48 jam dibandingkan dengan urticaria pigmentosa
yang dapat berlangsung beberapa bulan. Gejala penyakit ini adalah lesi kulit
yaitu edema, eritema, papul berwarna merah keputihan dengan predileksi dapat
muncul dari semua bagian tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi akan
22
ditemukan adanya jumlah sel mast sedikit meningkat pada dermis, edema
dermal dan dilatasi kapiler.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. Anatomi Kulit. In : Wasitaatmadja
SM, Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI;2011;p.3-6.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. Faal Kulit. In : Wasitaatmadja
SM, Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI;2011;p.7-8.
3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. Pengetahuan Dasar Imunologi.
In : Widowati R, Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI;2011;p.43-53.
4. James WD, Berger TG, Elston DM, et al. Mastocytosis. In : James
WD, Editors. Andrews Disease Of The Skin Clinical Dermatology.
10th ed. Philadelphia : WB Saunders Company;2006;p.615-8.
5. Slavković-Jovanović M, Jovanović D, Petrović A, Mihailović D.
Urticaria pigmentosa. A case report. Acta dermatovenerologica Alpina,
Pannonica, et Adriatica. 2008;17(2):79-82.
6. Kutlubay Z, Yardımcı G, Engin B, Tüzün Y. Cutaneous mastocytosis. J Turk
Acad Dermatol. 2011;5:1153r1.
7. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, et al. Mastocytosis. In : Tharp
MD, Editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed.
USA : The McGraw-Hill Companies;2012;p.1809-18.
8. Georgin-Lavialle S, Lhermitte L, Dubreuil P, Chandesris M-O, Hermine
O, Damaj G. Mast cell leukemia. Blood. 2013;121(8):1285-95.
9. PĂTRAŞCU V, Enache A-O, Ciurea RN, Georgescu CC, Vilcea AM,
Stoica LE, et al. Cutaneous mastocytosis, problems of clinical
diagnosis of four cases. Rom J Morphol Embryol. 2014;55(3):965-71.
10. Bulat V, Lugović Mihić L, Šitum M, Buljan M, Blajić I, Pušić J.
Most common clinical presentations of cutaneous mastocytosis. Acta
Clinica Croatica. 2009;48(1):59-64.
11. Heide R. Clinical Aspects of Pediatric and Adult Onset Mastocytosis in the
Skin: Erasmus MC: University Medical Center Rotterdam;2009;p.8-13.
24
12. Starkl P, Marichal T, Galli SJ. PLA2G3 promotes mast cell maturation
and function. Nature immunology. 2013;14(6):527-9.
25
13. Orfao A, Garcia‐Montero AC, Sanchez L, Escribano L. Recent advances in
the understanding of mastocytosis: the role of KIT mutations*. British journal
of haematology. 2007;138(1):12-30.
14. Horny H-P, Sotlar K, Valent P, Hartmann K. A Disease of the Hematopoietic
Stem Cell. 2008;105(40):686-92.
15. Srinivas S, Dhar S, Parikh D. Mastocytosis in children. Indian Journal of
Paediatric Dermatology. 2015;16(2):57.
16. BİLGİLİ SG, KARADAĞ AS, Takci Z, ÇALKA Ö, KÖSEM M.
Comparison of cutaneous mastocytosis with onset in children and adults.
Turkish journal of medical sciences. 2014;44(3):504-10.
17. Akin C. Molecular diagnosis of mast cell disorders: a paper from the 2005
William Beaumont Hospital Symposium on Molecular Pathology. The
Journal of Molecular Diagnostics. 2006;8(4):412-9.
18. Pickens S, Farber G, Mosadegh M. Eruptive xanthoma: a case report. Cutis.
2012;89(3):141-4.