REFLEKSI KASUS Alergi Susu Sapi Pada Anak-Ribka Elda Patandianan

download REFLEKSI KASUS Alergi Susu Sapi Pada Anak-Ribka Elda Patandianan

of 24

description

alergi susu

Transcript of REFLEKSI KASUS Alergi Susu Sapi Pada Anak-Ribka Elda Patandianan

REFLEKSI KASUS JULI 2015

ALERGI SUSU SAPI

Nama: Ribka Elda PatandiananNo. Stambuk: N 111 14 048Pembimbing: dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKORUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATAPALU2015

ALERGI SUSU SAPI

I. PENDAHULUANHippocrates pertama kali melaporkan adanya reaksi terhadap susu sapi sekitar tahun 370 SM. Dalam dekade belakangan ini prevalensi dan perhatian terhadap alergi susu sapi semakin meningkat. Susu sapi sering dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak-anak yang paling sering. Beberapa penelitian pada beberapa negara di seluruh dunia menunjukan prevalensi alergi susu sapi pada anak-anak pada tahun pertama kehidupan sekitar 2%. Sekitar 1-7% bayi pada umumnya menderita alergi terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi. Sedangkan sekitar 80% susu formula bayi di pasar menggunakan bahan dasar susu sapi.Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula. Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi susu sapi pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat. Alergi susu sapi (ASS) merupakan salah satu dari reaksi simpang (adverse reaction) susu sapi. Kondisi ini sering disalahartikan dengan intoleransi susu sapi, yang juga merupakan salah satu kondisi akibat reaksi simpang susu sapi. Kedua kelainan kondisi tersebut harus dapat dibedakan dengan baik, oleh karena memerlukan tatalaksana yang berbeda. 1Susu sapi merupakan salah satu alergen penyebab tersering alergi makanan yang disebut sebagai the big 8 food alergens bersama dengan telur, kedelai, gandum, kacang tanah, kenari, ikan dan kerang. Insidensi ASS bervariasi di berbagai usia dan angka kejadian ASS paling sering terjadi pada bayi. Angka kejadian ASS di usia muda berkisar 2-6% dan angkanya menurun seiring bertambahnya usia (0,1-0,5% pada usia dewasa).1-3Prevalens alergi susu sapi sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan prevalens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.

II. KASUSIdentitas Pasien:Nama: An. ATanggal Pemeriksaan : 28 Juli 2015Jenis Kelamin: Laki-lakiAlamat : OweikuliTanggal lahir: 8 Bulan

Keluhan Utama:BAB cair

Riwayat perjalanan penyakit:Pasien bayi laki-laki datang ke poli dengan keluhan BAB cair sejak 2 hari sebelum datang ke poli. Konsistensi feses cair, berwarna kuning, darah (-), ampas (-), lendir (+), bau asam, dan frekuensi BAB 2 kali sehari. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya dan menurut dokter pasien mengalami alergi susu. Sehingga ibu pasien menggantinya dengan susu Soya. Selama 3 hari pasien mengkonsumsi susu tersebut, hari kedua kemudian muncul ruam-ruam kemerahan di tubuh pasien, ruam ini mucul diseluruh tubuh kepala, badan, dan ekstremitas. pasien juga mengalami mual (+), muntah (+) kurang lebih sejak 2 hari yang lalu, muntah sebanyak 4 kali berisi susu. Setiap makan pasien selalu muntah. Nafsu makan menurun kurang lebih sejak beberapa hari belakangan ini. Batuk (-), beringus (-), sesak (-), rewel (-). BAK lancar dan biasa.

Riwayat penyakit sebelumnya:Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Ruam yang di alami pasien baru kali ini dan pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.Riwayat penyakit dalam keluarga:Di dalam rumah pasien tidak ada yang merokok. Pasien tinggal di dalam kompleks perumahan dan tidak ada yang mengalami keluhan yang sama di keluarga. Tidak ada yang memiliki riwayat alergi dalam keluarga.

Riwayat sosial dan ekonomi:Menengah.

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan:Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya di daerah yang bersih jauh dari jalan besar/jalan raya, Ayah pasien tidak merokok, pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pasien mendapatkan ASI hanya 3 hari setelah lahir.

Riwayat kehamilan dan persalinan:Pasein adalah anak pertama, lahir spontan di RS Al-khairat dan di bantu oleh bidan, lahir langsung menangis dengan PBL: 48, BBL: 2.8 cm. Ibu sering memeriksakan diri ke bidan selama masa kehamilan, tidak pernah mengalami kelainan selama masa kehamilan.

Riwayat makananPasien mendapatkan ASI usia 0-3 hari. Susu formula 0-3 hari dan bubur milna sejak 6 bulan sampai sekarang, nasi (-).

Riwayat tumbuh kembangPasien mulai tengkurap 4 bulan,Duduk (dilupakan)Berjalan (-)

Riwayat imunisasiImunisasi dasar lengkap.

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Sakit sedangKesadaran: KomposmentisBerat Badan: 7 kgTinggi Badan: 70 cmStatus Gizi: (Z score )Tanda VitalSuhu: 36,8 CDenyut Nadi: 105 x/menitRespirasi : 58 x/menitKulit : Ruam Kemerahan (+), kering (-)Kepala : Normocephal Mata: Konjungtiva Anemis -/-Sklera ikterik -/-Edema palpebra (-)Mulut: moniliasis (-)Faring: hiperemis (-)Tonsil: T1/T1Telinga: Sekret (-/-), Nyeri tekan (-/-)Hidung: Rhinorrhea -/-Leher:Kelenjar getah bening: Pembesaran Kelenjar Limfe (-)Kelenjar tiroid: Pembesaran Kelenjar Tiroid (-)ThoraxParuInspeksi: Ekspansi paru simetris, Retraksi interkostal -/-Palpasi: Fokal fremitus simetris kiri=kanan, massa (-)Perkusi: Sonor +/+Auskultasi: Bronkovesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-JantungInspeksi: Denyut iktus kordis tidak tampak Palpasi: Denyut iktus kordis teraba pada SIC IV-V linea midclavicularis sinistra Perkusi : Batas Jantung normal Auskultasi : Bunyi Jantung I&II murni regular, gallop (-) murmur (-).Abdomen:Inspeksi: Kesan cembungAuskultasi: Peristaltik (+) Kesan NormalPerkusi: TimpaniPalpasi: Nyeri tekan (-), tidak ada teraba hepar, lien, atau massa Punggung: deformitas (-)Genitalia: Tidak ada kelainan.Ekstremitas Atas : Akral hangat +/+, Edema -/-. Deformitas -/-Ekstermitas Bawah : Akral hangat +/+, Edema -/-, Defomitas -/-

Resume Pasien anak laki-laki (8 bulan) dibawa ke poli karena mengalami BAB cair 2 hari sebelum datang ke poli. Konsistensi feses cair, darah (-), ampas (-), lendir (-), bau asam, dan frekuensi BAB 2 kali sehari. Pasien sudah pernah berobat sebelumnya dan menurut dokter pasien mengalami alergi susu. Sehingga ibu pasien menggantinya dengan susu Zoya. Selama 3 hari pasien mengkonsumsi susu tersebut, 2 hari kemudian muncul ruam-ruam kemerahan di tubuh pasien, ruam ini mucul diseluruh tubuh kepala, badan, dan ekstremitas. Pasien juga mengalami mual (+), muntah (+) kurang lebih sejak 2 hari yang lalu, muntah sebanyak 4 kali berisi susu. Setiap makan pasien selalu muntah. Nafsu makan menurun kurang lebih sejak beberapa hari belakangan ini.

Diagnosis: Alergi susu sapiAnjuran: Pemeriksaan LabTerapi: Cetirizine syrup 50mg/5ml

III. DISKUSIBerdasarkan hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien didiagnosis Alergi susu sapi.Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan akibat protein susu sapi, yang diperantarai oleh reaksi imunologi melalui IgE mediated dan non IgE mediated.10 Reaksi pada ASS ini bisa terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I atau IV.1, 6ASS harus dibedakan dari intoleransi susu sapi, yang juga merupakan reaksi simpang terhadap susu sapi. Intoleransi susu sapi disebabkan karena sesuatu komponen spesifik dari susu sapi atau karena karakteristik pejamu (seperti intoleransi laktosa, defisiensi laktase). Sedangkan alergi susu sapi merupakan respons imun yang abnormal terhadap susu sapi yang hanya terjadi pada pejamu yang sensitif. Respons imun dapat diperantarai oleh antibodi (IgE) atau diperantarai sel (cell mediated/non IgE mediated) atau gabungan keduanya (mixed IgE mediated-cell mediated) (Gambar 1).1

Gambar 1 Alergi Susu Sapi & Intoleransi Susu Sapi termasuk dalam Reaksi Simpang terhadap Susu Sapi. Sumber: Critenden, 2005.1Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan antara intoleransi susu sapi, alergi susu sapi yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE.

Tabel 1. Perbedaan Reaksi Simpang Susu SapiIntoleransi laktaseASS yang diperantarai IgEASS yang tidak diperantarai IgE

PrevalensiTinggiRendahRendah

Variasi rasTinggiRendahTidak diketahui

Usia rata-rataRemaja/dewasaBayiBayi dan dewasa

Yang berperanLaktosaProtein susuProtein susu, atau komponen lain (?)

MekanismeGangguan metabolikDefisiensi laktase ususImunologi diperantarai IgEImunologi: Cell mediated Kompleks imun

GejalaGastrointestinalSatu atau lebih gejala pada GI, kulit, pernafasan, anafilaksisTerutama GI &/ pernafasan

Onset 0,5-2 jam1 jam beberapa hari

DiagnostikLactose tolerance test; breath test; stool acidity testSkin prick testRASTTidak ada tes yang sederhanaDBPCFC

Pencegahan Primer

Sekunder-

Menghindari laktosaASIMenghindari protein susu pada usia 0-6 bulanMenghindari protein susu intakTidak diketahui

Menghindari protein susu intak

Pilihan susuHidrolisis laktosa atau chromatographic lactose removalMenghilangkan epitop alergenikHidrolisis protein susuMenghilangkan epitop alergenik

Sumber: Critenden, 2005.1

PATOFISIOLOGIAlergi susu sapi merupakan respons imun spesifik alergen susu sapi yang secara predominan diperantarai IgE (IgE mediated immune response) dan/atau tidak diperantarai IgE atau seluler (cellular immune response).2, 6Protein susu dibagi 2 fraksi utama yaitu fraksi kasein dan whey dengan rasio 80:20. Penelitian yang dilakukan oleh Shek dkk, melaporkan bahwa kasein merupakan alergen predominan yang menyebabkan ASS.9Komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI), selain mempunyai beberapa persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe protein dan homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian besar protein susu untuk dikenali sebagai asing oleh sistem imun manusia. Pada sebagian besar individu, sistem imun dapat mengenali dan bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun, pada individu yang mempunyai bakat alergi, sistem imun akan tersensitisasi dan bereaksi terhadap protein susu sehingga menyebabkan respons imun yang merugikan.1Tabel di bawah ini memperlihatkan perbedaan komposisi protein susu sapi dan ASI.Tabel 2 Komposisi Protein Utama ASI dan Susu SapiProteinASI (mg/mL)Susu sapi (mg/mL)

laktalbumin2.21,2

s1 kasein011,6

s2 kasein03,0

kasein2,29,6

- kasein 0,43,6

kasein01,6

Imunoglobulin0,80,6

Laktoferin1,40,3

laktoglobulin03,0

Lisozim0,5Trace

Serum albumin0,40,4

Lain-lain0,80,6

Sumber: Crittenden, 2005.1Protein susu dipinositosis oleh antigen presenting cell (APC) dan epitop peptida dipresentasikan kepada sel T. Pada alergi yang diperantarai IgE, sel Th2 efektor berinteraksi dengan sel B melalui IL-4 untuk alih produksi kelas IgE yang spesifik untuk protein susu yang kemudian berikatan pada permukaan mastosit (sensitisasi). Pada kontak berikutnya, protein susu yang berikatan silang dengan IgE pada permukaan mastosit menyebabkan sel tersebut berdegranulasi dan terjadi pelepasan mediator dengan segera (aktivasi). Pengetahuan tentang mekanisme yang diperantarai non IgE masih kurang. Mungkin melibatkan aktivasi sel inflamator melalui interferon-gamma (IFN-). Toleransi oral dicapai melalui anergi sel T atau aktivasi sel T regulator (T-reg) yang menekan kerja sel T efektor (Th1 dan Th2) melalui interleukin-10 (IL-10), transforming growth factor-beta (TGF-) atau kontak antar sel.1

Gambar 2. Mekanisme Reaksi Alergi Susu Sapi Sumber: Crittenden, 2005.1Manifestasi gastrointestinal pada alergi susu sapi terutama disebabkan oleh mekanisme reaksi alergi yang tidak diperantarai IgE. Pada beberapa kasus juga dapat disebabkan oleh gabungan reaksi alergi yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE (mixed IgE and non IgE-mediated allergy).6

MANIFESTASI KLINISAlergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi setelah meminum susu. Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE akibat alergi susu ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. Gejala yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. Gejala pada kulit merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.

DIAGNOSISEvaluasi penderita dengan kemungkinan ASS dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap dengan mempertimbangkan berbagai diagnosis banding antara ASS dengan penyakit lain pada saluran pencernaan termasuk intoleransi susu sapi (efek toksik atau kelainan metabolik), infeksi (virus, bakteri dan parasit), penyakit seliak, inflammatory bowel diseases, iskemia usus, gangguan pada kandung kencing, insufisiensi pankreas atau keganasan pada saluran cerna. Anamnesis dapat menentukan kemungkinan penyebab alergi, jumlah yang dimakan/minum, waktu munculnya reaksi, faktor lain (aspirin, latihan, alkohol) dan karakteristik reaksi yang muncul. Pada beberapa kasus, ASS memerlukan tes invasif untuk penegakan diagnosis, namun sebagian besar kasus, diagnosis ditegakkan berdasar pada determinasi IgE spesifik, hasil dari diet eliminasi dan respons terhadap uji provokasi makanan.10Double-blind placebo controlled food challenge (DBPCFC) telah menjadi gold standar untuk penegakan diagnosis ASS. Tetapi, oleh karena risiko yang dapat terjadi ketika dilakukan uji provokasi, pemeriksaan penunjang lain dengan efikasi yang sama lebih disukai, yaitu diantaranya adalah skin prick test (SPT), pengukuran kadar IgE terhadap antigen spesifik dan patch test. Penelitian yang dilakukan oleh Garcia dkk menyatakan bahwa hasil pemeriksaan SPT dan IgE serum spesifik mempunyai nilai duga positif sekitar 95%.3 Skin prick test dan kadar IgE spesifik tidak dapat digunakan untuk mediagnosis ASS yang tidak diperantarai IgE, namun patch test dapat dilakukan. 4 Mauro dkk menyatakan bahwa bila SPT positif terhadap 3 komponen protein susu (kasein, -laktoglobulin dan -laktalbumin) maka penderita kemungkinan besar memberikan respons positif terhadap uji provokasi (oral food challenge), dengan nilai duga positif yang tinggi (92,3%).5Ketika mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami hipersensitivitas terhadap susu sapi, beberapa pemeriksaan laboratorium standar dapat digunakan. Penderita dengan eosinophilic esophagitis dan eosinophilic gastritis memperlihatkan eosinofilia pada darah perifer. Penderita dengan allergic eosinophilic gastritis berat dapat ditemukan anemia, darah pada feses, penurunan kadar protein serum, albumin. Endoskopi dan biopsi dilakukan untuk penegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan endoskopi dapat menunjukkan adanya inflamasi mukosa gastrointestinal dan menyingkirkan etiologi lain, seperti inflammatory bowel disease, neoplasma, atau penyakit infeksi. Gambaran histologi bervariasi sesuai dengan sindrom klinis. Pada eosinophilic oesophagitis, pemeriksaan endoskopi memberikan berbagai macam gambaran, mulai dari normal, daerah pucat dan kemerahan. 6 Biopsi biasanya jarang dilakukan, namun pemeriksaan ini mungkin diperlukan pada kasus food protein-induced colitis yang berat.4, 10a. SKIN PRICT TEST (SPT)SPT merupakan tes yang cepat dan tidak mahal untuk mendeteksi sensitisasi mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai prediksi negatif adalah baik (>95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksi mediasi IgE. Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa makanan merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan sensitivitas terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi).SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitive terhadap makanan daripada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi mediasi non IgE, seperti Food protein-induced enterocolitis atau colitis akibat susu menghasilkan hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam mengeluarkan diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi yang disebabkan mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana SPT dapat membantu mengetahui penyebab dari alergennya.

b. ATOPY PATCH TESTPada tes ini, makanan diberikan selama 48 jam pada kulit menggunakan patch yang tertutup. Tes positif menunjukan terjadinya eritema, indurasi dan/atau lesi vesikulus yang muncul 24 -48 jam kemudian pada lokasi patch. Secara teoritis mekanismenya sama dengan mekanisme limfosit sel T yang serupa dengan terjadinya mekanisme enteropati. Meskipun begitu, sel T dari lokasi yang berbeda mengekspresikan marker awal yang berbeda, seperti CLA (Cutaneus Lymphocyte Antigen) untuk kulit dan 47-integrin untuk usus, yang mana dapat merubah sensitivitas dan spesifisitas dari tes. Tes ini telah diteliti pada kasus dermatitis yang parah dimana sensitivitasnya sekitar 65%. Telah ditunjukkan bahwa tes ini membantu untuk mengetahui penyebab makanan pada esofagitis pada anak-anak tetapi seringkali hasilnya negatif pada pasien dewasa.

c. Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food Challenge)Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challenge merupakan standar emas. Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protocol standar telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical Immunology pada tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dan dapat menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun pemeriksaan ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yang tidak jelas.Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy ialah respon terhadap diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan makanan atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi harus dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan tantangan makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan seringkali berat dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang "oligo-antigen".TATA LAKSANAA. NutrisiPrinsip utama tatalaksana ASS adalah menghindari alergen (diet eliminasi protein susu sapi) dan pada saat yang sama mempertahankan keseimbangan nutrisi bagi ibu dan bayi.1, 6 Pemberian ASI tetap dilanjutkan dan ibu menghindari makanan yang mengandung susu sapi dan protein dari sapi (termasuk daging sapi). Pada beberapa kasus, protein kedelai pun harus direstriksi.3Pemberian formula yang dihidrolisis secara menyeluruh (extensively hydrolyzed formulas, eHF) terbukti efektif sehingga sering dipakai sebagai pengganti formula susu sapi pada penderita ASS. Formula ini mengandung campuran asam amino dan peptida yang diproduksi dari kasein atau whey sapi yang telah dicerna sebelumnya (predigested) dan dapat di toleransi oleh 95% anak-anak yang menderita ASS.3Apabila anak yang menolak minum eHF (dikarenakan rasanya yang pahit atau tidak enak) atau bila gejala tidak membaik setelah pemberian eHF selama 2-4 minggu, maka sebagai alternatif dapat digunakan penggunaan formula asam amino (AAF). Namun kendala penggunaan AAF adalah harga yang lebih mahal dibanding eHF. Pemberian AAF mempunyai efikasi sekitar 99%, dipertimbangkan sebagai alternatif sekunder setelah eHF.4Pada tahun 2000, Committee on Nutrition of the American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa susu kedelai (soy formula) merupakan pilihan yang tepat bagi bayi ASS. Pada April 2006, Committee on Nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition (ESPGHAN) menyatakan bahwa soy formula tidak direkomendasikan untuk bayi ASS yang berusia kurang dari 6 bulan. Hal ini dikarenakan reaksi alergi yang timbul terhadap protein kedelai ini lebih sering terjadi pada bayi tersebut. Bila soy formula akan diberikan pada bayi berusia > 6 bulan, maka harus dilakukan uji provokasi terlebih dahulu.7Penelitian yang dilakukan oleh Aanpreung dan Atisook12 menyatakan penderita ASS mengalami perbaikan dengan penggantian susu sapi dengan soy formula. Penelitian yang dilakukan oleh Harikul dkk juga memperlihatkan bayi dengan ASS mengalami perbaikan dengan pemberian soy formula. Oleh karena itu, di Negara berkembang, apabila eHF tidak dapat diberikan karena masalah biaya, soy formula masih dapat diberikan.12 a. Untuk bayi dengan ASI eksklusif, diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama 2-4 minggu. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka diagnosis ASS dapat ditegakkan. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain. Tatalaksana ASS pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat diteruskan dan ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.4b. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula, diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan cara mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan eHF (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau AAF (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4 minggu. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka diagnosis ASS dapat ditegakkan. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.Tatalaksana ASS pada kelompok ini adalah pemberian eHF (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau AAF (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali. Bila gejala tidak timbul kembali, berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya. Pada bayi yang sudah mendapat makanan padat, maka perlu penghindaran susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi. 4B. MedikasiBerbagai medikasi dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh reaksi simpang akibat susu sapi. Antihistamin dapat mengurangi gejala alergi di mulut dan gejala yang diperantarai IgE di kulit, namun tidak dapat menghentikan reaksi sistemik. Kortikosteroid sistemik efektif untuk mengontrol penyakit pada kasus alergi makanan multipel atau bila antigen penyebab tidak dapat diidentifikasi, dan terutama untuk eosinophilic oesophagitis kronis. Epinefrin digunakan apabila terjadi reaksi anafilaksis. Terapi terbaru lainnya, seperti anti IL-5 (mepolizumab) juga berguna sebagai terapi tambahan untuk eosinophilic gastroenteropathies refrakter yang berat dan kelainan hipereosinofilia lainnya.6Beberapa penelitian melaporkan bahwa imunoterapi oral merupakan pengobatan yang menjanjikan, terutama pada kasus alergi makanan berat dan persisten. Pada penelitian baru-baru ini, imunoterapi oral telah berhasil dilakukan sebagai alternatif terapi bagi ASS persisten pada anak >4 tahun.16

PENCEGAHANStrategi pencegahan ASS terdiri dari 3 tingkat, yaitu (1) pencegahan primer terhadap sensitisasi awal; (2) pencegahan sekunder terhadap pencetus reaksi alergi; (3) pencegahan tersier dengan induksi toleransi pada individu yang telah tersensitisasi.1

a. Pencegahan Primer terhadap SensitisasiRiwayat atopi pada keluarga merupakan faktor risiko terjadinya ASS. Pemberian ASI selama 4-6 bulan merupakan strategi perlindungan yang sangat penting untuk mencegah ASS, terutama pada bayi dengan risiko. Sejumlah kecil protein susu sapi yang diminum oleh ibu dapat ditansfer kepada bayinya melalui ASI, sehingga ASI eksklusif tidak menjamin bayi tersebut terbebas dari ASS. Pada bayi yang berisiko timbul ASS, ibu dianjurkan untuk menghindari makanan yang mengandung protein susu sapi selama masa menyusui.1 Pada bayi yang tidak dapat ASI karena berbagai alasan, maka diberikan susu formula. Dari beberapa penelitian prospektif, pemberian susu formula yang terhidrolisis (baik partially hydrolyzed formulas maupun eHF) pada awal masa bayi, memberikan perlindungan yang lebih baik dibanding formula yang mengandung protein susu sapi intak, khususnya pada bayi yang berisiko (riwayat atopi pada keluarga).1, 17

b. Pencegahan Sekunder: Pemberian Protein Susu Sapi yang HipoalergenikBagi individu yang sudah tersensitisasi susu sapi, pencegahan ASS dilakukan dengan menghindari protein susu sapi intak. Pembuatan susu formula hipoalergenik dilakukan dengan cara menghancurkan epitop alergenik melalui proses hidrolisis protein susu sapi yang menyeluruh menjadi peptida-peptida yang berukuran lebih kecil, yaitu < 1500 kDa.7 Formula ini telah berhasil mencegah timbulnya gejala alergi pada sebagian besar bayi dan terbukti efektif baik untuk reaksi alergi IgE mediated maupun non IgE mediated.1Pada sebagian kecil kasus ASS, eHF masih dapat menimbulkan gejala alergi pada bayi yang sangat sensitif, sehingga untuk mengatasinya diperlukan AAF.1

c. Pencegahan Tersier dengan Induksi Toleransi pada Individu yang telah Tersensitisasi (Imunoterapi Spesifik)Pencegahan tersier dilakukan untuk menyembuhkan gejala dan tanda alergi, antara lain dengan imunoterapi. Spesific immunotherapy (SIT) bertujuan untuk menginduksi pengaturan sistem imun pada individu yang tersensitisasi, dengan cara mengontrol paparan terhadap alergen dan sering dimodifikasi untuk mencegah timbulnya reaksi simpang.1Selain SIT, pencegahan tersier dilakukan dengan oral desensitisasi. Meglio dkk membuat protokol desensitisasi oral pada anak ASS IgE mediated yang berat. Menurut protokol tersebut peningkatan dosis protein susu sapi secara bertahap selama beberapa bulan meningkatkan toleransi terhadap susu sapi pada sebagian besar penderita. Namun hasilnya masih perlu dikonfirmasi denngan penelitian lebih lanjut.1PROGNOSISPrognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga. Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal serta alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas.

KESIMPULAN Alergi susu sapi adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi iumnologis yang timbul akibat pemberian susu sapi atau makanaan yang mengadung susu sapi, dan reaksi ini dapat terjadi cepat atau lambat. Alergi susu sapi dapat muncul pada bayi dengan asi dan susu formula Manifestasinya tidak jelas dan biasanya terjadi pada bayi dengan riwayat atopi dalam keluarga Pemeriksaan dengan SPT, serum spesifik IgE atau tes patch, kurang spesifik Baku emas pemeriksaan alergi susu sapi adalah double blind placebo controlled challenge ASI tetap di anjurkan pada bayi dengan alergi susu sapi bila tidak memungkinkan memberi ASI dapat diganti dengan susu formula terhidrolisat Tatalaksana ASS yang paling efektif sampai saat ini adalah dengan melakukan diet eliminasi dari susu sapi dan berbagai makanan yang mengandung protein susu sapi serta pemberian eHF (untuk kasus yang ringan dan sedang) atau AAF (untuk kasus yang berat).

DAFTAR PUSTAKA1. Crittenden RG, Bennett LE. Cows milk allergy: a complex disorder. J Am Coll Nutr. 2005;24:582s-91s.2. Host A. Frequency of cow's milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:33-7.3. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician. 2008;54:1258-64.4. andenplas Y, Brueton M, Dupont C. Guidelines for the diagnosis and management of cows milk protein allergy in infants. Arch Dis Child. 2007;92:902-8.5. Kneepkens CM, Meijer Y. Clinical practice. Diagnosis and treatment of cows milk allergy.2009. Eur J Pediatr. 2009;168:891-6.6. Benhamou AH, Michela G, Dominique C, Eigenmann PA. An overview of cows milk allergy in children. Pediatr in rev. 2009;139:300-7.7. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K. Guidelines for the use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. . MJA. 2008;188:109-12.8. Dias A, Santos A, Pinheiro JA. Persistence of cows milk allergy beyond two years of age. J allergy. 2009;7:5-9.9. Shek LPC, Bardina L, Castro R, Sampson HA, Beyer K. Humoral and cellular responses to cow milk proteins in patients with milk-induced IgE mediated and non-IgE mediated disorders. Original Art Allergy. 2005;60:912-9.10. Mansueto P, Montalto G, Pacor ML, Pellitteri ME, Ditta V, Bianco CL, dkk. Food allergy in