Reffrat Spondilitis TB - Atrya Iga Amanda 03011049
-
Upload
iga-amanda -
Category
Documents
-
view
31 -
download
12
description
Transcript of Reffrat Spondilitis TB - Atrya Iga Amanda 03011049
REFERAT
SPONDILITIS TUBERKULOSA
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Program Profesi Kedokteran Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi
Pembimbing :
Dr . Rudy Yunanto, Sp. BS.
Penyusun :
Atrya Iga Amanda (030.11.049)
KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 25 MEI – 1 AGUSTUS 2015
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul:
“SPONDILITIS TUBERKULOSA”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan KlinikIlmu Bedah RSUD Kota Bekasi
Periode 25 Mei – 1 Agustus 2015
Disusun oleh:
Atrya Iga Amanda
030.11.049
Bekasi, 07 Juli 2015
Mengetahui
Pembimbing
dr. Rudy Yunanto, Sp. BS.
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan referat berjudul “Spondilitis Tuberkulosa” ini tepat pada waktunya.
Tugas referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Bedah RSUD Kota Bekasi. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Rudy Yunanto, Sp.BS sebagai dokter pembimbing dan rekan-rekan
sejawat yang ikut membantu memberikan kontribusi dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan dan
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang
Ilmu Bedah khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.
Bekasi, 07 Juli 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 22.1. Anatomi 2
2.1.1 Vertebra 2
2.1.2 Medula spinalis 5
2.2. Spondilitis Tuberkulosa 9
2.2.1 Definisi 9
2.2.2 Epidemiologi 9
2.2.3 Etiologi 10
2.2.4 Patogenesis 10
2.2.5 Pott’s Paraplegia 16
2.2.6 Manifestasi klinis 18
2.2.7 Diagnosis 19
2.2.8 Pemeriksaan penunjang 22
2.2.9 Diagnosis diferensial 25
2.2.10 Klasifikasi 26
2.2.11 Komplikasi 28
2.2.12 Penatalaksanaan 28
2.2.13 Prognosis 32
DAFTAR PUSTAKA 33
4
BAB 1
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang dan
sangat berpotensi menyebabkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat berupa defisit
neurologis termasuk paraplegia dan deformitas tulang belakang yang permanen.(1)
Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang
menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang
belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil Mycobacterium tuberculosis
hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch pada tahun 1882 sehingga etiologi untuk kejadian
tersebut menjadi jelas.(2)
Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui
infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen.(3) Secara
epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95%
kasus berada di negara berkembang. Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan
China sebagai negara dengan populasi penderita TB terbanyak.(4) Setidaknya hingga 20 persen
penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB ekstrapulmonar berupa otak, gastrointestinal,
ginjal, genital, kulit, limfe, osteoartikular dan endometrial. Vertebra area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan predileksi dari
spondilitis TB. (5)
Tatalaksana spondilitis TB secara umum adalah terapi medikamentosa dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) sebagai pilihan pengobatan awal yang terbaik pada fase awal dan intervensi
pembedahan oleh bedah ortopedi atau bedah saraf pada spondilitis TB dilakukan hanya pada
kasus lanjut, dengan variasi teknik yang beragam, bergantung pada jenis kasus yang didapatkan.(3)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI.(1,2,3,6)
2.1.1 VertebraTulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral dan 4 tulang koksigeus. Tulang servikal,
torakal dan lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan koksigeus.
Diskus intervertebrale merupkan penghubung antara dua korpus vertebra berfungsi sebagai
bentalan atau “shock absorbers” bila vertebra bergerak. Sistem otot ligamentum membentuk
jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebra. Tulang
belakang mempunyai tiga lengkungan fisiologis yaitu lordosis servikalis, kifosis torakalis
dan lordosis lumbalis. Bila dilihat dari samping dalam posisi tegak ketiga lengkungan
fisiologis ini disebut posture atau sikap. Fungsi kolumna vertebralis adalah menopang tubuh
manusia dalam posisi tegak, yang secara mekanik sebenarnya melawan pengaruh gaya
gravitasi agar tubuh secara seimbang tetap tegak. Vertebra servikal, torakal, lumbal bila
diperhatikan satu dengan yang lainnya ada perbedaan dalam ukuran dan bentuk.
Gambar 1. Anatomi vetrebra
6
Korpus vertebrae merupakan struktur yang terbesar karena mengingat fungsinya
sebagai penyangga berat badan. Prosesus transverses terletak pada ke dua sisi korpus
vertebra, merupakan tempat melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah
dari prosesus transverses terdapat fasies artikularis vertebrae dengan vertebrae yang lainnya.
Pada daerah lumbal facet terletak pada bidang vertikal sagital memungkinkan gerakan fleksi
dan ekstensi ke arah anterior dan posterior. Pada sikap lordosis lumbalis (hiperekstensi
lumbal) kedua facet saling mendekat sehingga gerakan ke lateral, obique dan berputar
terhambat, tetapi pada posisi sedikit fleksi ke depan (lordosis dikurangi) kedua facet saling
menjauh sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar
Bagian lain dari vertebrae, adalah lamina dan pedikel yang membentuk arkus tulang
vertebra, yang berfungsi melindungi foramen spinalis. Prosesus spinosus merupakan bagian
posterior dan vertebra yang bila diraba terasa sebagai tonjolan, berfungsi tempat melekatnya
otot-otot punggung. Ligament dan otot punggung berfungsi sebagai koordinator pergerakan
tubuh. Ligament-ligament di vertebra terdiri dari ligament flavum, ligament intertransverse,
ligament facet capsulary, ligament interspinosus, ligament supraspinosus, ligament anterior
longitudinal tepat di bagian anterior vertebra dan ligament posterior longitudinal tepat di
bagian posterior vertebra.
7
Gambar 2. Ligament pada vertebra.
Vertebrae mendapat suplai darah dari arteri segementalis yang memberi percabangan
kepada :
1. Cabang equatorial
2. Cabang periosteal
3. Cabang spinalis
Arteri utama yang memberi percabangan kepada cabang-cabang di atas tedapat pada
semua tingkat kolumna vertebralis dan terletak dekat dengan cabang-cabang tersebut. Arteri
utama yang terlibat adalah :
1. Arteri vetebralis dan arteri servikalis ascendens di leher
2. Arteri segmentalis di trunkus
3. Arteri interkostalis posterior di daerah thorakal
4. Arteris lumbalis dan arteri subkostalis di abdomen
5. Arteri iliolumbalis dan arteri sakralis medianus dan lateralis di pelvis ·
Arteri di atas meberi percabangan kepada cabang periosteal dan equatorial ketika
melewati permukaan eksternal (anterolateral) dari vertebra. Cabang spinalis masuk malalui
foramen IV ke kanalis vetebralis dan membentuk percabangan :
1. Cabang kanalis vetebralis anterior ke corpus vertebra
2. Cabang kanalis vetebralis posterior ke arcus vertebrae
3. Arteri medularis segmentalis / arteri radikularis memperdarahi jaringan saraf ·
Cabang kanalis vetebralis anterior mempercabangkan arteri nutrien yang berjalan ke
anterior dan memperdarahi medulla spinalis yang terdapat pada bagian tengah corpus
vetebra. Arteri medularis segmentalis atau arteri radikularis memperdarahi: 1). Radiks
anterior dan radix posterior dari nervus spinalis 2). Meningens 3). Medula spinalis
Vena spinalis membentuk pleksus venosus di sepanjang kolumnar vertebra di bagian
dalam atau luar dari kanalis vetebralis :
1. Pleksus venosus vertebralis internal
2. Pleksus venosus vertebralis eksternal
Pleksus ini berhubung melalui foramen IV. Pleksus ini paling padat di bagian
anterior dan posterior, dan lebih jarang di bagian lateral. Vena basivetebralis terbentuk di
dalam corpus vertebra keluar melalui foramen yang terdapat pada permukaan corpus vetebra
8
ke pleksus venosus anterior external dan internal. Vena intervetebralis menerima vena dari
medula spinalis dan pleksus venosus vetebralis berjalan mengikuti nervi spinalis keluar
melalui foramen IV ke vena vetebralis di leher dan vena segmentalis (interkostal, lumbal dan
sacral ) di trunkus.
Gambar 3. Vaskularisasi vertebra.
2.1.2 Medula Spinalis
Medula spinalis terletak didalam foramen vertebra dan dilindungi oleh vertebra.
Radik saraf keluar melalui kanalis spinalis, menyilang diskus intervertebralis di atas foramen
intervertebralis. Ketika keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua
yaitu ramus anterior (berisi serat eferen) dan ramus posterior (berisi serat aferen). Akibat
berdekatnya struktur tulang vertebra dengan radik saraf cenderung rentan terjadinya gesekan
dan tekanan radik saraf tersebut. Semua ligamen, otot, tulang dan sendi faset adalah struktur
tubuh yang sensitif terhadap rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris.
9
Medula spinalis mempunyai bagian dalam yang bentuknya tak beraturan, daerah
kecil berwarna abu disebut substansia grisea (berisi badan sel neuron, dan dendrite-
dendritnya, dan sel glia) tampak pada potongan melintang seperti dalam bentuk H atau
berbentuk kupu-kupu. Daerah yang lebih besar yang berwana putih disebut substansia alba
yang tersusun membentuk banyak jaras (berkas serat saraf) yang mengelilingi substansia
grisea ini. Pada potongan melintang menunjukkan bahwa substansia alba disusun berkas-
berkas berkelompok menjadi kolom di sepanjang medulla spinalis, pada bagian dorsal
(columna dorsalis), satu pada setiap sisinya, dan kolom lainnya ditemukan di daerah ventral
(columna ventralis). Jaras-jaras dalam substansia alba ada yang berjalan ke atas/traktus
asenden (medulla spinalis ke otak) yang menyalurkan sinyal dari masukan afern ke otak, dan
berjalan ke bawah/traktus desendens (otak ke medulla spinalis) yang menyampaikan pesan
dari otak ke neuron eferen. Substansia grisea yang terletak di sentral juga terbagi menjadi
kornu dorsal , kornu ventral(anterior) dan kornu lateral. Kornu dorsal mengandung badan sel
antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen, kornu ventral mengandung badan sel motorik
eferen yang menyarafi otot rangka, dan kornu lateral terdapat badan sel saraf otonom yang
menyarafi oto jantung dan otot polos serta kenejar eksokrin.
Gambar 4. Anatomi medulla spinalis.
Fungsi medula spinalis dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Aktifitas refleks, yang melibatkan integrasi dan transfer pesan-pesan yang memasuki
10
medula spinalis, sehingga memungkinkan impuls sensorik (aferent) masuk dan pesan
motorik (eferen) meninggalkan medula spinalis tanpa melibatkan otak disebut refleks spinal.
2. Konduksi impuls sensorik dari saraf aferen ke atas melalui tractus asendens menuju otak.
3. Konduksi impuls motorik (eferent) dari otak turun melalui tractus desendens ke saraf-saraf
yang menginervasi otot atau kelenjar. Jalur reflek melalui medula spinalis biasanya dikenal
dengan lengkung refleks, yang mencangkup lima komponen dasar yatu reseptor
beresponterhadap rangsangan , lalu menghasilkan potensial aksi yang dipancarkan oleh jalur
aferen ke pusat integrasi untuk di olah. Pusat integrasi biasanya di SSP. Medula spinalis dan
batang otak mengintegrasikan refleks-refleks dasar, sementara pusat yang lebih tinggi di otak
memproses refleks yang didapat. Instruksi dari pusat integrasi disalurkan melalui jalur eferen
ke eketor otot atau kelenjar yang akan melaksanakan respon. Refleks spinal dasar adalah
refleks yang di integrasikan oleh medulla spinalis yaitu semua komponen yang diperlukan
untuk menghubungkan masukan aferen ke respon eferen terdapat di dalam medulla spinalis
contoh refleks lucut/withdrawl.
Refleks lucut/withdrawl terjadi karena meskipunsemua informasi dikirim ke SSP
melalui potensial aksi, anmun SSP dapat membedakan berbagai rangsangan karena
perbedaan resproe dan perbedaan jalur yang diaktifkan oleh rangsangan berbeda. Semakin
kuat rangsangan maka semakin tinggi frekuensi potensial aksi di neuron sensorik yang
dihasilkan dan dikirim ke SSP. Pada refleks lucut/withdrawl rangsangan yang diterima
membentuk potensial aksi di jalur aferen yang menyalurkan sinyal listrik ke SSP setelah
masuk medulla spinalis neuron aferen menyebar dan berakhir di tiga jenis antarneuron :
1.Antarneuron eksitatorik, 2.Antarneuron inhibitorik dan 3.Antarneuron yang membawa
sinyal naik ke otak untuk menyadari rangsangan dan disimpan sebagai memori.
11
Meninges adalah tiga lapis jaringan ikat yang mengitari otak dan medula spinalis
guna membentuk pembungkusan yang lengkap. Duramater adalah meninges yang paling
luar, tebal dan kasar. Lapisan meninges bagian tengah ialah arachnoid gampang melekat pada
meninges yang paling dalam serat yang menyerupai jaringan yang memungkinkan ruangan
bagi gerakan cairan cerebrospinal (CSF) di antara dua membran. Lapisan yang paling dalam
di sekitar otak yaitu piamater dilekatkan pada jaringan saraf otak dan medula spinalis di
dalamnya banyak terdapat pembuluh darah. CSF ialah cairan bening yang dibentuk dalam
ventrikel otak, sebagian besar oleh jaringan vascular yang disebut dengan choroid plexuses.
Fungsi CSF adalah untuk bantalan saat ada goncangan yang akan melukai bangunan
lunak sistem saraf sentral (SSS) dan membawa zat makanan pada sel dan memindahkan
limbah dari sel. Normalnya CSF mengalir secara bebas dari satu ventrikel ke ventrikel
lainnya dan pada akhirnya keluar ke dalam ruangan sub-rachnoid yang mengitari otak dan
medulla spinalis. Sebagian besar cairan ini dikembalikan pada darah di dalam venous sinuses
melaui arachnoid villi.
Gambar 5. Lapisan menigens pada medulla spinalis.
12
2.2 SPONDILITIS TUBERKULOSA
2.2.1 DEFINISI.(1,2)
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah infeksi
tuberkulosis ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih vertebra berupa peradangan
granulomatosa yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Vertebra
torakal bawah merupakan daerah paling banyak terlibat selanjutnya lumbal dan yang paling
jarang adalah servikal. Dan dapat mengakibatkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia.
2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun.
Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan
penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka
kematian 140.000 orang pertahun.(4)
Jumlah kasus TB diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) oleh infeksi
human immunodeficiency virus (HIV). Satu hingga lima persen penderita TB, mengalami TB
osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis TB.(1,6) Di Amerika , Eropa
dan Saudi Arabia (negara maju) spondilitis TB ini terutama muncul pada usia tua , dengan
usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika (negara berkembang) sebagian besar
usia muda lebih rentan terhadap spondilitis TB (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun).(7)
Kasus TB kurang lebih 10% melibatkan osteoartikular, walaupun setiap tulang
atau sendi dapat terkena ,akan tetapi tulang belakanglah yang paling sering terkena TB tulang
,di ikuti oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang lengan
dan tangan jarang terkena. Pada tulang belakang area torako-lumbal terutama torakal bagian
bawah (umumnya T10) dan lumbal bagian atas merupakan predileksi dari spondilitis TB
karena di area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu di
ikuti area servikal dan sakral namun jarang terjadi.(2,8) Defisit neurologis muncul pada 10-47
% kasus spondilitis TB. Di negara berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling
sering untuk kondisi paraplegia non traumatik.(7)
13
2.2.3 ETIOLOGI.(9)
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili
Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit
untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat
asam, sehingga disebut sebagai bakteri/basil tahan asam (BTA). Hal ini disebabkan oleh
karena bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak
(asam lemak mikolat) sehingga untuk pewarnaannya digunakan teknik Ziehl-Nielson.
Bakteri ini tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki
panjang sekitar 2-4 µm.
Gambar 6. Mycobacterium tuberculosis dalam pewarnaan teknik Ziehl-Nielson.
2.2.4 PATOGENESIS.(4,7,10,11 )
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran
bakteri sangat kecil, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag
14
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembangbiak, akhirnya akan menyebabkan
makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon. Kuman kemudian
akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) local dan di kelenjar limfe (limfadenitis) regional. Gabungan dari fokus primer,
limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem
imun penderita tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/limfogen dan
bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah
bening, osteoartikular, hingga endometrial.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.
Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal
tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya
tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi,
disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan pada
penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
15
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama
apeks paru atau lobus atas paru.
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus Tb di luar tulang belakang yang sebelumnya
sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru, sedangkan
pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil
TB dapat terjadi melalui arteri intercostalis atau lumbal yang memberikan suplai darah ke
dua vertebra yang berdekatan yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian
atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus vena Batson’s yang mengelilingi vertebralis
yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Maka pada kurang lebih 70% kasus,
penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara 20% kasus
melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis
korpus vertebra sepanjang ligament longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebra
yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara
langsung melalui diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel
yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga menyebar ke vertebra
yang jauh melalui abses paravertebra. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah
pembentukan pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang
menjadi avaskular sehingga menimbulkan sequestra tuberkulosis terutama di region torakal.
Diskus intervertebralis yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap
infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal
ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subkondral disertai dengan kolapsnya korpus
vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena
perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu
dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis. Destruksi
progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan
16
hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan kemudian akan terjadi kolaps
vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung saraf posterior tetap intak jadi akan timbul
deformitas bentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari jumlah
vertebra yang terlibat, banyaknya ketinggian vertebra yang hilang dan segmen vertebra yang
terlibat. Deformitas kifosis sering disebut sebagai gibbus. Vertebra torakal kifosis tampak
nyata karena kurvatura dorsal yang normal, di vertebra servikal dan lumbal transmisi berat
badan lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra jika terinfeksi maka
bentuk lordosis fisiologis dari vertebra servikal dan lumbal perlahan akan menghilang dan
mulai menjadi kifosis.
Gambar 7. Gibbus. Tampak penonjolan bagian posteriortulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifosis
vertebra.
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas atau
jaringan sekitarnya, ini dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses
infeksi. Abses ini sebagian dibentuk dari leukosit, materi kaseosa,debris tulang dan tuberkel
basil. Cold abscess ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gravitasi sepanjang bidang
fasial. Di regio servikal, abses terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke
lateral di belakang muskulus sternokloidemastoideus dan dapat mengalami protrusi ke depan
dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke
mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura.Di regio torakal ligamentum
longitudinal menghambat jalannya abses tampak pada radiologi sebagai gambaran bayangan
fusiform radioopak sedikit dibawah level vertebra yang terkena. Di regio lumbal abses
17
berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha di bawah ligamentum
inguinal dan akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk
traktus sinus/fistel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.
Lima stadium perjalanan penyakit spondilitis TB, antara lain:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan
ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah
sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah
stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sequestra serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau
gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh
tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis TB. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga
gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis,
maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:
a. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah
berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
b. Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
18
c. Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas atau
penderita serta hipestesia/anestesia.
d. Derajat III
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan gangguan
defekasi dan miksi. Tuberkulosis praplegia atau Pott’s paraplegia dapat terjadi secara
dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari
abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan
fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi
secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler
vertebra. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau
gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis :
1. Peridiskal/paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
liamentum longitudinal anterior/ area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa.
Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak di region lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, sering terjadi pada anak-anak. Keadaan
ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi vertebra spontan
atau akibat trauma. Terbanyak di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologis terdapat scalloped karena erosi di bagian anterior vertebra
(berbentuk baji), disebabkan adanya pulasasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
19
paravertebra dibawah ligamentum longitudinal anterior.
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu:
1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral
2) subluksasio sendi faset patologis
3) jaringan granulasi
4) vaskulitis, trombosis arteri/ vena spinalis
5) kolaps vertebra
6) abses epidural
7) invasi duramater secara langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi
secara intradural melalui meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupying lesion.
Defisit neurologis dan deformitas kifosis lebih jarang ditemukan apabila
lesi terdapat pada vertebra lumbalis. Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain:
1) Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis
segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri. Obliterasi
arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia.
2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen vertebrale
di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen vertebralenya lebih besar dan
lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior.
2.2.5 POTT’S PARAPLEGIA.(3,4,7,8)
Defisit neurologis yang paling sering terjadi pada sondilitis TB adalah paraplegia
yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Klasifikasi Sorrel-Dejerine Pott’s paraplegia
terbagi menjadi :
1. Early onset.
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit. Paraplegia onset cepat disebabkan
oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi.
2. Late onset
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit. Paraplegia onset lambat
terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda reaktifasi spondilitis,
20
biasanya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang
akibat destruksi tulang sebelumnya.
Sementara Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe :
a. Tipe I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
b. Tipe II
Onset dini juga, dihubungkan dengan penyakit yang aktif bersifat permanen bahkan
walaupun infeksi TB menjadi tenang. Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan
II dapat disebabkan oleh :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan durameter.
Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya
abses, materi perkijuan, sequestra tulang dan diskus atau subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan
kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas tetapi tidak tampak adanya
spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.
Secara klimis pasien tampak mempunyai spastisitas berat dengan spasme otot
involunter dan reflek withdrawal. Progosis untuk tipe ini buruk dan bervariasi
sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi
inkontinensia urin dan fases, gangguan sensoris dan paraplegia.
c. Tipe III/berjalan kronis.
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Bisa terjadi karena tekanan korda spinalis
oleh granuloma epidural, fibrosis meningan dan adanya granulasi, deformitas kifosis
ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (thrombosis pembuluh darah
yang mensuplai korda spinalis)
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia dijabarkan oleh Hodgson menjadi :
I. Penyebab ekstrinsik:
1. Pada penyakit yang aktif
a. Abses (cairan atau perkijuan)
21
b. Jaringan granulasi
c. Sequestra tulang dan diskus
d. Sublukasi patologi
e. Dislokasi vertebra
2. Pada penyakit yang sedang proses penyembuhan
a. Transverse ridge dari tulang anterior ke korda spinalis
b. Fibrosis duramater
II. Penyebab instrinsik :
Penyebaran peradangan TB melalui duramater melibatkan meningen dan korda
spinalis.
III.Penyebab yang jarang :
Trombosis korda spinalis
2.2.6 MANIFESTASI KLINIS.(3,4,6)
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan
sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas,
demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit,
batuk lama lebih dari 30 hari kadang berdarah, terjadi diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare disertai keringat pada malam hari.
Manifestasi klinis pada spondilitis TB relatif indolen (tanpa nyeri). Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri lokal tidak spesifik pada daerah vertebra atau adanya benjolan
pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan
enggan menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Nyeri tersebut akan
berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kiposis) terjadi
pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan
membentuk sudut bila sudah di temukan gejala ini maka pathogenesis penyakit ini sudah
berjalan kurang lebih tiga hingga empat bulan.
Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun
tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga
dada bagian bawah atau ke bawah ligament inguinal. Defisit neurologis yang mungkin
antara lain : paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikuler dan sindrom kauda equina. Nyeri
22
radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB servikal
jarang terjadi namum manifestasinya lebih berbahaya karena jika telah terdapat absess dapat
menekan trakea ke arah sternal notch sehingga dapat disfagia dan stridor, torticollis terjadi
karena kakunya leher, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu
pernapasan terganggu dan timbul sesak napas. Bila telah terjadi kompresi medulla spinalis
bisa terjadi tetraparesis. Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah nyeri dan kaku
leher tidak spesifik.
2.2.7 DIAGNOSIS.(2,3,4,7,8,11)
Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering dianggap sebagai
neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya. Ironisnya, diagnosis biasanya baru dapat
ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas tullang belakang dan defisit
neurologis. Penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,diikuti pemeriksaan
penunjang. Keberhasilan diagnosis dini menjanjikan prognosis yang lebih baik.
Anamnesis
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik dan
membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Nyeri hilang dengan beristirahat. Selain itu, dari
anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru atau gejala-gejala klasik TB paru
(demam lama, diaphoresis nocturnal, batuk lama dengan dahak atau darah, dan penurunan
berat badan tanpa sebab). Jika terdapat pembengkakan maka tidak disertai rasa panas.
Paraparesis adalah gejala penyakit telah lanjut yang biasanya menjadi keluhan utama yang
membawa pasien datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin
adalah rasa kebas, baal, gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan Fisik
1.Inspeksi
a. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di tulang belakang.
b. Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru oleh
tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB.
c. Infeksi di area servikal maka pasien sulit atau tidak dapat menolehkan kepalanya,
rigiditas pada leher bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis
23
torticollis. Jika ada abses maka tampak pembengkakan di kedua leher.
d. Infeksi di region torakal akan menyebabkan punggung tampak kaku. Saat mengambil
sesuatu dari lantai pasien akan menekukan lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku. Jika ada abses maka akan berjalan di bagian kiri atau kanan
mengeliligi rongga dada dan tampak pembengkakan lunak dinding dada.
e. Infeksi di region lumbar tampak berjalan dengan lutut dan panggul dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakang dengan menaruh tangan di paha. Jika ada abses
maka tampak pembengkakan lunak di atas atau di bawah lipat paha. Dan diperiksa
secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah
inguinal (trigonum femoral).
f. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus diperiksa secara seksama. Tampak
adanya deformitas berupa kifosis (gibbus)
g. Gejala defisit neurologis seperti paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah, pola jalan spastik , kelemahan motorik yang bervariasi.
2. Palpasi
a. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
teraba sediki hangat (Cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang
teraba panas).Lokasi palpasi dapat di daerah retrofaring, di sisi leher (belakang otot
sternokleidomastoideus), sekitar dinding dada, lipat paha,dan fossa ilika.
b. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
3. Perkusi
a. Perkusi secara halus diatas prosesus spinosus vertebra yang terkena sering tampak
tenderness.
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut, meski
masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa didapatkan
gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa kelumpuhan upper
motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flasid baru
muncul spastisitas, peningkatan tonus otot dan refleks patologis yang positif. Kelumpuhan
lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi jika radiks spinalis anterior
ikut terkompresi gejalanya hipotoni, kelumpuhan sudah lama, otot akan atrofi, yang biasanya
24
bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk protopatis (raba, nyeri,
suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk proprioseptif (gerak, arah, rasa getar,
diskriminasi 2 titik).Evaluasi sekresi keringat rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf
autonom.
Pemeriksaan neurologis
1. Kekuatan ektremitas.
Kekuatan ekstremitas diperiksa untuk mengetahui derajat keparahan, perbaikan klinis
dan prognosis cedera medulla spinalis pada spondilitis TB sesuai dengan klasifikasi
American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale.
Terbagi atas beberapa derajat kekuatan otot :
a. 0 jika tidak ada kontraksi otot.
b. 1 jika terdapat sedikit kontraksi otot.
c. 2 jika tidak dapat melawan gravitasi.
d. 3 jika dapat melawan gravitasi tanpa penahanan.
e. 4 jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan sedang.
f. 5 jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan penuh.
2. Refleks fisiologis.
Dapat berupa refleks bisep, trisep, patella, achiles. Pada spondilitis TB terjadi lesi
UMN pada reflex fisologis ditandai adanya hiperrefleksia.
3. Klonus lutut dan kaki.
Pada spondilitis TB selain hiperrefleksia pada reflex fisiologis. Hiperrefleksia
seringkali diiringi dengan klonus yaitu kontraksi otot yang berulang-ulang setelah
dilakukan perangsangan tertentu. Klonus positif pada lesi UMN.
4. Refleks patologis
Refleks yang hanya ada pada bayi kurang dari 1 tahun karena myelinisasi di traktus
piramidalin belum sempurna, bila refleks patologis pada orang dewasa positif terjadi
lesi UMN. Refleks patologis berupa refleks Babinski, Chaddoks, Opoenheim,
Schaefer dan Gordon.
5. Sensorik
Pemeriksaan berupa rasa raba, tekan, dan suhu sesuai dermatom tubuh.
25
2.2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG.(4,12)
Laboratorium :
1. Darah Lengkap dan Anti HIV : Laju endap darah meningkat dari 20 sampai lebih 100
mm/jam, leukositosis, HIV kadang positif.
2. Uji tuberkulin (Mantoux tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi
adanya infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena
anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk
menentukan adanya TB aktif. Dikatakan positif jika tampak area berindurasi kemerahan
dengan diameter 10 mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam.
3. Biopsi dan Mikrobiologi. Untuk memastikan diagnosis secara pasti, perlu dilakukan biopsi
tulang belakang atau aspirasi abses. Biopsi tulang dapat dilakukansecara perkutan dan
dipandu dengan CT scan atau fluoroskopi. Spesimen kemudian pemeriksaan histologist,
kultur, pewarnaan basil tahan asam (BTA), gram, dan tumor. Kultur BTA positif pada 60–
89 persen kasus.
Radiologis :
1. Foto Rontgen
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. Bila sebelumnya
tidak ada riwayat TB maka dilakukan foto rontgen dada untuk mencari adanya TB di paru.
Lalu selanjutnya foto rontgen vertebra proyeksi yang diambil AP dan lateral. Pada fase awal,
akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra dan osteoporosis regional.
Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan terjadi kerusakan diskus.
Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan gambaran fusiformis. Pada fase lanjut,
kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk angulasi kifosis (gibbus) dan
dapat menilai angulasi kifosis dengan metode Konstam. Cold abscess dapat terlihat berupa
bayangan opak yang memanjang paravertebral.
26
Gambar 8. Foto rontgen vertebra proyeksi yang diambil AP pada pasien spondilitis TB.
Terdapat iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertevra T9 ( tanda bintang), serta
juga dapat terlihat massa parevertebra yang samar, yang merupakan cold abscess (panah putih).
Gambar 9. Pengukuran angulasi kifosis metode Konstam. Pertamatarik garis khayal sejajar end
plate superior badan vertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut
diperpanjang keanteriorsehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam
sedangkan sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada
gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30º.
27
2. CT-scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas keterlibatan lengkus saraf posterior dan pedikel
yang sulit dinilai oleh foto rontgen, dapat pula melihat sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis. Selain hal
yang disebutkan diatas CT;scan bermanfaat untuk memandu tindakan biopsy perkutan dan
mementukan luas kerusakan jaringan tulang.
Gambar 10. Pada potongan aksial setinggi T 12, terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah
hitam), edema jarimgan paravertebra (kepala panah putih), kompresi medulla spinalis (panah putih
kecil) dan abses psoas (putih besar).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak, kondisi badan vertebra,
diskus intervertebralis, perubahan medulla spinalis, termasuk abses paraspinal dapat dinilai
dengan baik. MRI juga bermanfaat besar untuk membedakan kompilaki yang bersifat
kompresif maupun non-kompresif pada spondilitis TB, membantu memutuskan pilihan
tatalaksana konservatif atau operatif, dan menilai respon terapi.
28
Gambar 11. MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula spinalis.
2.2.9 DIAGNOSIS DIFERENSIAL.(2,4,13)
1. Spondilitis piogenik
Adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB dan
umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus.Secara
epidemiologi,spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50
tahun. Infeksi ini disebabkan karena penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasive spinal dan
pembedahan spinal.Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang
menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala
bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih
singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang spesifik tidak
ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik secara klinis. Pada foto
rontgen adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru menunjukan infeksi piogenik, bila
keterlibatan dua atau lebih korpus vertebra berdekatan lebih menunjukan adanya infeksi TB
dari pada bakteri lain. Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui
biopsi perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis.
2. Tumor/keganasan.
Tumor dapat berupa metastase dari organ sekitarnya yang dapat mengakibatkan kompresi
medula spinalis. Urutan yang sering terlibat yaitu torakal, lumbal dan servikal. Neoplasma
dengan kecendrungan bermetastasis ke medulla spinalis berupa tumor payudara, prostat ,
paru ,limfoma dan myeloma multiple. Metastasis keganasan di saluran cerna dan rongga
pelvis relative ke vertebra lumbosakral, keganasan paru dan mamae sering ke vertebra
torakal. Secara radiologis kelainan infeksi mempunyai bentuk lebih difus sementara tumor
29
Stadium Gambaran Klinis
I. Tidak terdeteksi/ terabaikan(negligible)
Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonuspada ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
II. Ringan Pasien menyadari adanya gangguan neurologis, tetapi masih mampu berjalandengan bantuan.
III. Moderat Tidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik) karena kelumpuhan (dalamposisi ekstensi) dan defisit sensorik di bawah 50 persen.
IV. Berat Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fleksi, defisit sensorik di atas 50 persen,dan gangguan sfingter.
tapak lesi berbatas jelas. Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering
menyebabkan kompresi medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan
hemangioma. Formasiabses dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat
membedakan spondilitis TB dari neoplasma.
2.2.10 KLASIFIKASI.(12,14)
Klasifikasi spondilitis TB telah dilakukan beberapa pihak dengan tujuan untuk
menentukan deskripsi keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.
1.Tabel Klasifikasi Pott’s paraplegia.
Klasifikasi Pott’s paraplegia digunakan untuk deskripsi keparahan gejala klinis pasien
spondilitis TB
30
2. Tabel Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.
Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB dibuat berdasarkan
kriteria klinis dan radiologis, antara lain : formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra,
kifosis, angulasi sagital , instabilitas vertebra dan gejala neurologis. Klasifikasi ini digunakan
untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang bersangkutan.
31
Stadium Gambaran neurologisA. Complete Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-5B. Incomplete Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen lesi
neurologis dan segmen S4-5C. Incomplete Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, dan lebih dari
separuh otot kunci* di bawahD. Incomplete Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di atas 3E. Normal Fungsi motorik dan sensorik normalSindrom Klinis Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom Medula anterior,
Sindrom Medula Sentral,Sindrom Konus Medularis.
3. Tabel ASIA Impairment Scale
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5), ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8), abduksi kelingking (T1), fleksi tungkai (L2), ekstensi lutut (L3), dorsofleksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantarfleksi kaki (S1). Pemeriksaan segmen S4 – 5 adalah dengan menilai kontraksi sfinger ani volunter dan dan sensasi perianal.
Klasifikasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment Scale digunakan untuk
melihat derajat keparahan,perbaikan klinis dan memprediksi prognosis pasien spondilitis TB
dengan cedera medulla spinalis. Hasil penelitian tentang prognosis pasien dengan cedera
medulla spinalis ASIA A, hanya memiliki paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi
ASIA D, 20 – 50 persen pada ASIA B untuk menjadi ASIA D untuk menjadi dalam 1 tahun, 60
– 75 persen pada ASIA C untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun.
2.2.11 KOMPLIKASI.(8,13)
1. Cedera korda spinalis. Terjadi karena adanya tekanan ekstradural karena abses
tuberkulosa, squestra tulang dari diskus intervertebralis (Pott’s paraplegia) atau dapat
langsung keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(meningomyelitis). MRI dan mielografi dapat membedakan paraplegi akibat invasi dura
atu tekanan korda spinalis.
2. Empiema tuberkulosa karena rupturnnya abses paravertebra torakal ke dalam pleura.
2.2.12 TATALAKSANA.(6,8,14)
Tujuan penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB
atau menahan progresifitas penyakit,mencegah dan mengobati defisit neurologis serta
32
memperbaiki deformitas kifosis.
1. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika
diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih minimal.Seperti
pada terapi TB pada umumnya, terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy. WHO
menyarankan OAT diberikan setidaknya 6 bulan. British Medical Research Council
menyarankan pada spondilitis TB torakolumbal diberikan OAT selama 6-9 bulan dan bila
terdapat defisit neurologis diberikan 9-12 bulan. TB pada bayi dan anak setidaknya harus 12
bulan
Perhimpuna Dokter Paru Indonesia telah merumuskan regimen terapi OAT untuk
pasien TB. Untuk kategori I, yaitu kasus baru.TB paru kasus baru dengan TB ekstraparu,
termasuk spondilitis TB diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan 4HR fase lanjutan
artinya selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari
(tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin, atau
2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan atau 2RHZE(HRZS) fase inisial
dilanjutkan 6HE fase lanjutan. Pemberian regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons
klinis penderita.
Sedangkan untuk kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out,
diberikan 2RHZES fase inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial
dilanjutkan 5H3R3E3 fase lanjutan.
Tabel. Dosis rekomendasi OAT pada anak (kurang 12 tahun ) dan dewasa.
2. Operatif
Indikasi operatif pada spondilitis TB secara umum :
Defisit neurologis akut, paraparesis, atau paraplegia dan spastisitas yang tidak dapat
33
dikontrol.
Deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau disertai nyeri, dalam hal ini kifosis
progresif (30º untuk dewasa, 15º untuk anak- anak).
Tidak responsif kemoterapi selama 4 minggu.
Nyeri berat karena kompresi abses
Jika mengikuti klasifikasi GATA yang telah dijelaskan disebelumnya, maka
intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan GATA IB hingga GATA III. Sementara itu,
satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB adalah kegagalan
jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan paru harus ditangani terlebih
dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami
paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.
Pendekatan bisa dilakukan secara anterior, anterolateral maupun posterior. Pendekatan
secara anterior lebih sering digunakan karena dapat mencapai abses yang umumnya berada di
anterior vertebra dan selain itu tidak perlu untuk memotong atau membuang vertebra
posterior. Pendekatan anterior efektif untuk kasus dengan defisit neurologis, lesi multi-level,
atau abses yang luas. Pendekatan posterior lebih menguntungkan dari segi koreksi kifosis dan
pemasangan implan, namun sering tidak adekuat dalam melakukan dekompresi medula
spinalis, debridemen, dan atau evakuasi abses. Pendekatan anterolateral memberikan paparan
lapangan kerja yang baik secara anterior maupun posterior, memungkinkan dekompresi
secara anterior dan penyisipan tandur tulang secara anterior/ posterior. Namun teknik ini memiliki
tingkat kesulitan yang tinggi karena disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman ahli
bedah, ketersediaan instrumen, dan personel anestesi. Secara garis besar tindakan operatif
dibagi menjadi :
a. Pembedahan drainase abses
Setelah terjadi pembentukan abses (cold abscess) dan degenerasi setidaknya dua
diskus, maka drainase harus dilakukan. Abses dapat menekan medula spinalis sehingga
terjadi gangguan neurologis. Tindakan Abses dapat terbentuk di tingkat manapun sesuai
fokus infeksi TB pada vertebra. Pada tingkat servikal, abses dapat terjadi pada rongga
retrofaringeal dan segitiga posterior leher. Untuk abses retrofaringeal dapat dilakukan
pendekatan transoral, sedangkan pada segitiga posterior insisi dilakukan pada mergo
34
posterior m.sternokleidomastoideus. Pada tingkat torakal, abses dapat dievakuasi secara
kostotransversektomi. Drainase abses lumbal/paravertebral dilakukan lewat insisi
longitudinal dorsolateral. Drainase abses psoas/pelvis dapat dilakukan melalui segitiga
Petit atau insisi Ludloff
b. Pembedahan debridemen dan koreksi kifosis
Karena lesi TB spinal biasanya di bagian anterior badan vertebra, dekompresi
anterior sangat direkomendasikan banyak ahli. Instrumentasi kemudian dilakukan untuk
stabilisasi tulang belakang, untuk melindungi tandur anterior yang disisipkan, khusus
untuk operasi daerah torakal, tandur iga otogenik juga dapat digunakan. Tandur fibula,
tibia dan humerus digunakan pada keadaan dimana defek debridemen terlalu luas untuk
ditutup oleh krista iliaka, atau iga tidak cukup panjang dan sekaligus untuk menjaga
koreksi kifosis. Berikut akan dijelaskan berbagai macam teknik pada pembedahan
spondilitis TB
Debridemen anterior dan fusi tanpa instrumentasi
Tindakan ini meliputi debridemen radikal pendekatan anterior, di ikuti penyisipan
tandur tulang iga otogenik untuk koreksi deformitas kifosis tanpa fiksasi internal.
Debridemen anterior dengan instrumentasi anterior atau posterior
Tindakan ini dilakukan debridemen anterior radikal, dekompresi dan fusi dengan
menggunakan instrumentasi anterior, tandur alogenik tibia. Sebanyak 80 persen pasien
mengalami remisi neurologis secara lengkap Dengan tambahan instrumentasi anterior,
kemungkinan koreksi kifosis meningkat hingga 80 persen dan dapat membantu menjaga
hasil koreksi tersebut.
Osteotomi dan reseksi kolumna vertebra
Jika telah terjadi deformitas kifotik yang sangat kaku dan tajam, harus dilakukan
osteotomi untuk meningkatkan fleksibilitas vertebra. Osteotomi dekanselasi
transpedikular dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga 20–30 persen pada satu
tingkat. Namun tindakan ini memiliki angka komplikasi yang tinggi termasuk perdarahan
dan gangguan neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari anterior dan posterior.
3. Imobilisasi
Imobilisasi yang singkat akan mengurangi morbiditas pasien. Dengan
instrumentasi, kebutuhan imobilisasi semakin berkurang .Jenis imobilisasi spinal tergantung
35
pada tingkat lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva, pada daerah
vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal bagian atas dapat di imobilisasi menggunakan
body cast jacket. Sedangkan pada lumbal bawah,lumbalsakral, dan sacral dilakukan
imobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu
sisi panggul. Imobilisasi umumnya selama 6 bulan.
2.2.13 PROGNOSIS.(4)
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh:
1) Usia.
Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik
2) Deformitas kifotik
Kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsive terhadap pengobatan
3) Letak lesi,
4) Defisit neurologis,
5) Diagnosis dini.
Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi
dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua
kasus.
6) Kemoterapi
Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB
7) Fusi spinal
8) Komorbid
Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk
9) Tingkat edukasi dan sosioekonomi.
Tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk dating berobat. Pasien
dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat sebelum muncul
gejala yang lebih berat seperti paraplegia.
36
DAFTAR PUSAKA
1. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative
Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A, editor.
Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and management. London : Springer-Verlag.
2009.
3. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Available from http://
www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Accesed on 15 June 2015.
4. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-
UNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin, FK-UI/RSUPN dr Ciptomangunkususumo. 2002.
5. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis.
Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77
6. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral
Junction and Spine 2010, 1: 14.
7. Currier B.L, Eismont F.J. Infection of The Spine. In : The Spine. 3rd ed. Rothman Simoene
editor. Philadelphia :W.B. Sauders, 1992: 1352-64.
8. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology and
Neurosurgery Illustrated 2nded. Edinburgh : Crunchill Livingstone, 1991 : 388.
9. Utji R, Harun H. Kuman tahan asam. Dalam: Syarurahman A, Chatim A, Soebandrio
AWK. penyunting. Buku ajar mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1994. h. 191-9
10. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS. Pedoman nasional TB anak. Edisi ke 1. Jakarta:
UKK Pulmunologi PP IDAI; 2005. h. 17-28.
11. Tachdjian, M.O. tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics. 2nd ed Philadelphia ;
W.B Saunders, 2000; 1449-54.
12. Teo EL, Peh WC. Imaging of tuberculosis of the spine. Singapore Med J 2004. Vol 45(9);
37
439.
13. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical Tuberculosis. 2
nd ed.London : Macmillan Education ltd, 199 :62-6.
14. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, Solakoglu C, ett all. A new
classification and guidance for surgical treatment of spinal tuberculosis. International
Orthopaedics (SICOT) ; 2008; 32: 127-33.
38