REFERAT PRAKTIK KEDOKTERAN

download REFERAT PRAKTIK KEDOKTERAN

of 11

Transcript of REFERAT PRAKTIK KEDOKTERAN

REFERAT PRAKTIK ET MALPRAKTIK KEDOKTERAN

Disusun untuk memenuhi nilai midtest mata kuliah Etika Hukum Kedokteran dan HAM

Oleh: Erika Kusumawati I1A010056

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2011

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya. Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil. Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai dengan standar. Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu "sesuai dengan tempat dan waktu", sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciriciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. UU Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus

dibuat adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK / KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Praktik, Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan non medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan lain-lain. Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktek mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat

kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.

Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Praktik Kedokteran juga menyebutkan bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Dan sehubungan dengan profesi kedokteran yang bersifat melayani tersebut, maka terhadap sifat melayani itulah profesi dokter atau tenaga medis harus berhadapan dengan hak-hak masyarakat. Oleh karenanya, jika terjadi dugaan atau indikasi adanya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, dokter harus berhadapan dengan laporan atau pengaduan hukum dari masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan. Terkait hal diatas, maka Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah menjawab kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur mengenai praktik kedokteran. Dan berdasarkan Pasal 51 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran memiliki kewajiban sebagai berikut :

Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia;

Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Sedangkan terhadap pasien sendiri, dalam Pasal 55 juga disebutkan hak-hak pasien dalam sebuah praktik kedokteran, antara lain adalah :

Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; Menolak tindakan medis; dan Mendapatkan isi rekam medis. Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang

persyaratan dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No 29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi tenaga dokter. Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3

tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan, memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta

mengendalikan mutu dan biaya. Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko, komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak tindakan medis. Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu. Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP. Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun sejak Konsil Kedokteran terbentuk.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 juga mengatur mengenai disiplin profesi. Dan Undang-Undang pun mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP (Surat Ijin Praktek), dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu. Undang-Undang Praktik Kedokteran ini pada akhirnya mengancam pidana bagi mereka yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah seorang dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban dokter. Dan pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP. Istilah sebagaimana yang disebutkan diatas dikenal dengan malpraktik, dimana pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan seorang dokter dalam

melakukan profesinya, menimbulkan kerugian bagi oranglain. Berikut dibawah ini, 2 (dua) bentuk malpraktik jika ditinjau dari segi etika profesi dan hukum, yakni : Malapraktik Etika Malapraktik yang dilakukan seorang dokter apabila dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran sebagaimana tercantum di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). Malapraktik Yuridis

Malapraktik perdata, yakni terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi tarapetik oleh dokter atau tenaga medis lainnya. Selain itu, terjadi perbuatan melangar hukum yang menimbulkan kerugian terhadap si pasien.

Malapraktik pidana, yakni terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hatihati atau kurang cermat dalam melakukan upaya medis.

Malapraktik administrasi, yakni terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya, menjalankan praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktik dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktik tanpa membuat catatan medik. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana

kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain. Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian 2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain. 3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu : 1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan "proximate cause". Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

DAFTAR PUSTAKA 1. Willa Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju. 2. Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing 3. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 5. Soesilo R. , 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea 6. Soerodibroto R. Soenarto, S.H, 2003, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad ed. 5, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 7. Hanafiah M. Jusuf dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan ed. 3, Jakarta: EGC .