referat kesulitan menelan
-
Upload
prisia-anantama -
Category
Documents
-
view
72 -
download
5
description
Transcript of referat kesulitan menelan
BAB I
PENDAHULUAN
Disfagia berasal dari kata Yunani yang berarti gangguan makan. Disfagia biasanya mengacu
pada kesulitan dalam makan sebagai akibat dari gangguan dalam proses menelan. Disfagia
dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko pneumonia aspirasi,
malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan obstruksi jalan napas. Penderita usia tua
adalah yang paling beresiko terhadap disfagia dan komplikasinya, terutama silent
aspiration.Sejumlah etiologi telah dikaitkan dengan disfagia pada populasi dengan kondisi
neurologis dan nonneurologic.
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses menelan pada fase
oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh dan pemeriksaan fisik dengan teliti
sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pemeriksaan leher, mulut, orofaring, dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus
dilakukan.
Pemeriksaan endoskopi serat optik pada proses menelan mungkin diperlukan. Gangguan
menelan mulut dan faring biasanya memerlukan rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan
pelatihan teknik dan manuver menelan. Pembedahan jarang diindikasikan untuk pasien
dengan gangguan menelan. Pada pasien dengan gangguan berat, makanan sulit melewati
rongga mulut dan faring secara keseluruhan dan pemberian nutrisi enteral mungkin
diperlukan. Pilihan meliputi gastrostomy endoskopi perkutan dan kateterisasi intermiten
oroesophageal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Anatomi dan Fisiologi Menelan
Proses menelan merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan
setiap organ yang berperan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Dalam
proses menelan ini diperlukan kerjasama yang baik dari 6 syaraf cranial, 4 syaraf servikal
dan lebih dari 30 pasang otot menelan.
Pada proses menelan terjadi pemindahan bolus makanan dari rongga mulut ke dalam
lambung. Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia yaitu terjadi
kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke lambung.
NEUROFISIOLOGI MENELAN
Proses menelan dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, fase faringeal dan fase
esophageal.
FASE ORAL
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang dilaksanakan oleh
gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk menggiling dan membentuk
bolus dengan konsistensi dan ukuran yang siap untuk ditelan. Proses ini berlangsung secara di
sadari.
Peranan saraf kranial pada pembentukan bolus fase oral.
ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)
Mandibula
Bibir
Mulut & pipi
n. V.2 (maksilaris)
n. V.2 (maksilaris)
n.V.2 (maksilaris)
N.V : m. Temporalis, m. maseter, m.
pterigoid
n. VII : m.orbikularis oris, m.
zigomatikum, m.levator labius oris,
m.depresor labius oris, m. levator
anguli oris, m. depressor anguli oris
n.VII: m. mentalis, m. risorius,
Lidah
n.V.3 (lingualis)
m.businator
n.XII : m. hioglosus, m. mioglosus
Pada fase oral ini perpindahan bolus dari ronggal mulut ke faring segera terjadi,
setelah otot-otot bibir dan pipi berkontraksi meletekkan bolus diatas lidah. Otot intrinsik lidah
berkontraksi menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian
anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.
Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior faring
sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangkat ke atas akibat kontraksi m.
palato faringeus (n. IX, n.X dan n.XII)
Peranan saraf kranial fase oral
ORGAN AFFEREN (sensorik) EFFEREN (motorik)
Bibir
Mulut & pipi
Lidah
Uvula
n. V.2 (mandibularis), n.V.3
(lingualis)
n. V.2 (mandibularis)
n.V.3 (lingualis)
n.V.2 (mandibularis)
n. VII : m.orbikularis oris, m.levator
labius oris, m. depressor labius,
m.mentalis
n.VII: m.zigomatikus,levator anguli
oris, m.depressor anguli oris,
m.risorius. m.businator
n.IX,X,XI : m.palatoglosus
n.IX,X,XI : m.uvulae,m.palatofaring
Jadi pada fase oral ini secara garis besar bekerja saraf karanial n.V2 dan nV.3 sebagai serabut
afferen (sensorik) dan n.V, nVII, n.IX, n.X, n.XI, n.XII sebagai serabut efferen (motorik).
FASE FARINGEAL
Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus
palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini terjadi :
1. m. Tensor veli palatini (n.V) dan m. Levator veli palatini (n.IX, n.X dan n.XI)
berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudian uvula tertarik keatas
dan ke posterior sehingga menutup daerah nasofaring.
2. m.genioglosus (n.XII, servikal 1), m ariepiglotika (n.IX,nX) m.krikoaritenoid lateralis
(n.IX,n.X) berkontraksi menyebabkan aduksi pita suara sehingga laring tertutup.
3. Laring dan tulang hioid terangkat keatas ke arah dasar lidah karena kontraksi
m.stilohioid, (n.VII), m. Geniohioid, m.tirohioid (n.XII dan n.servikal I).
4. Kontraksi m.konstriktor faring superior (n.IX, n.X, n.XI), m. Konstriktor faring
inermedius (n.IX, n.X, n.XI) dan m.konstriktor faring inferior (n.X, n.XI)
menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti oleh relaksasi m. Kriko faring
(n.X)
5. Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus dan dorongan
otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan turun ke bawah dan masuk
ke dalam servikal esofagus. Proses ini hanya berlangsung sekitar satu detik untuk
menelan cairan dan lebih lama bila menelan makanan padat.
Peranan saraf kranial pada fase faringeal
Organ Afferen Efferen
Lidah
Palatum
Hyoid
n.V.3
n.V.2, n.V.3
n.Laringeus superior
cab internus (n.X)
n.V :m.milohyoid, m.digastrikus
n.VII : m.stilohyoid
n.XII,nC1 :m.geniohyoid, m.tirohyoid
n.XII :m.stiloglosus
n.IX, n.X, n.XI :m.levator veli palatini
n.V :m.tensor veli palatini
n.V : m.milohyoid, m. Digastrikus
n.VII : m. Stilohioid
n.XII, n.C.1 :m.geniohioid, m.tirohioid
Nasofaring
Faring
Laring
Esofagus
n.X
n.X
n.rekuren (n.X)
n.X
n.IX, n.X, n.XI : n.salfingofaringeus
n.IX, n.X, n.XI : m. Palatofaring, m.konstriktor
faring sup, m.konstriktor ffaring med.
n.X,n.XI : m.konstriktor faring inf.
n.IX :m.stilofaring
n.X : m.krikofaring
Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf karanial n.V.2, n.V.3 dan n.X sebagai serabut
afferen dan n.V, n.VII, n.IX, n.X, n.XI dan n.XII sebagai serabut efferen.
Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal,
meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu pembukaan sfingter
esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus menyebabkan lebih cepatnya waktu
pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum mole dan pergerakan laring serta pembukaan
sfingter esofagus bagian atas. Waktu Pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur.
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik. Mc.Connel dalam
penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang bekerja yaitu :
1. Oropharyngeal propulsion pomp (OOP) adalah tekanan yang ditimbulkan tenaga lidah
2/3 depan yang mendorong bolus ke orofaring yang disertai tenaga kontraksi dari
m.konstriktor faring.
2. Hypopharyngeal suction pomp (HSP) adalah merupakan tekanan negatif akibat
terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior faring, sehingga bolus terisap
ke arah sfingter esofagus bagian atas. Sfingter esofagus bagian atas dibentuk oleh
m.konstriktor faring inferior, m.krikofaring dan serabut otot longitudinal esofagus
bagian superior.
FASE ESOFAGEAL
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus makanan turun
lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm/ detik.
Fase ini terdiri dari beberapa tahapan :
1. dimulai dengan terjadinya relaksasi m.kriko faring. Gelombang peristaltik primer
terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus bagian
proksimal. Gelombang peristaltik pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik
kedua yang merupakan respons akibat regangan dinding esofagus.
2. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf pleksus
mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot sirkuler dinding esofagus
dan gelombang ini bergerak seterusnya secara teratur menuju ke distal esofagus.
Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena gerak peristaltik dan
berlangsung selama 8-20 detik. Esophagal transit time bertambah pada lansia akibat dari
berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut untuk merangsang gelombang peristaltik primer.
II. 2 Gangguan Menelan
II.2.1 Definisi
Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan
gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke
lambung.
II.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas:
Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus. Penyebab
utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa tumor dan
benda asing. Penyebab lain adalah akibar peradangan mukosa esophagus,
striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen esophagus dari luar,
misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelemjar getah bening di
mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.
Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan
dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf otak n.
V, n. VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah serta gangguan
peristaltic esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab utama dari disfagia
motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan otot faring dan
skleroderma esophagus.
Disfagia oleh gangguan emosi
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa
yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas:
Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring ke
dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal ke
kerongkongan. Pasien mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgitasi nasal, dan
aspirasi trakea diikuti oleh batuk.
Disfagia orofaringeal (Oropharyngeal dysphagia/OPD) terjadi ketika mekanisme
orofaringeal dalam proses menelan yang, dalam keadaan normal menjamin
perjalanan lengkap bolus dari mulut ke kerongkongan dan secara bersamaan
melindungi jalan napas, menjadi terganggu. Aspirasi pneumonia, malnutrisi, dan
kualitas hidup berkurang dapat terjadi akibat OPD. Walaupun terdapat banyak
penyebab OPD, kecelakaan serebrovaskular merupakan penyebab kasus terbanyak,
dan pneumonia aspirasi merupakan penyebab umum kematian pada pasien ini.
Kondisi neurologis lain seperti penyakit Parkinson bertanggung
jawab atas sejumlah kasus OPD, dengan gangguan miopati dan lesi structural yang
menjadi sebagian besar penyebab lainnya. Meskipun segudang penyebab OPD,
hasil akhir patofisiologis jatuh ke salah satu dari dua kategori yang saling terkait:
1) kelainan transfer bolus, dan 2) kelainan perlindungan jalan napas.
Kelainan transfer bolus dapat dikelompokkan lagi ke dalam yang disebabkan oleh:
1) Kegagalan pompa orofaringeal, 2) gangguan koordinasi oral/faring, dan 3)
obstruksi aliran keluar faring.
Gangguan menelan dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ yang berperan
dalam proses menelan. Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan fase oral
antara lain:
1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan
motorik pada lidah, bibir dan wajah.
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan
oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan/atau gangguan motorik lidah.
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan
sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari
saraf kranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus.
6. Gangguan mendorong bolus ke faring.
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena gangguan
motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring sebelum refleks
menelan muncul.
8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring.
Sedangkan dampak ketidaknormalan pada fase faringeal adalah chocking,
coughing dan aspirasi.
Gejala disfagia orofaringeal adalah ketidakmampuan untuk menjaga bolus dalam
rongga mulut, kesulitan mengumpulkan bolus di belakang lidah, ragu-ragu atau
ketidakmampuan untuk memulai menelan, makanan menempel di tenggorokan,
regurgitasi nasal, ketidakmampuan untuk mendorong bolus makanan ke dalam
faring, kesulitan menelan makanan padat, sering menelan berulang-ulang, sering
membersihkan tenggorokan, suara berkumur (gargly voice) setelah makan, suara
serak, suara bindeng (nasal speech) dan disartria, batuk saat menelan: sebelum,
selama, atau setelah menelan, menghindari makan bersama orang lain, berat badan
menurun dan pneumonia berulang.
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase oral dan fase faring
adalah:
Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan rongga mulut,
faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan
barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan
beberapa manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi
optimal dalam proses menelan.
Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES)
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan nasofaringoskop
serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi makanan dari
jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien dalam proses
menelan
Disfagia esophageal
Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal
ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis.
Disfagia esofagus mengacu pada sensasi makanan menempel atau mendapatkan
digantung di pangkal tenggorokan atau dada. Penyebab umum dari disfagia
esofagus meliputi:
1. Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak benar-
benar rileks untuk membiarkan makanan masuk ke lambung. Otototot di
dinding esofagus sering lemah juga. Hal ini dapat menyebabkan regurgitasi
makanan belum tercampur dengan isi perut, kadang-kadang menyebabkan
untuk membawa makanan kembali ke dalam tenggorokan.
2. Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan beberapa
kekuatan otot dan koordinasi yang diperlukan untuk mendorong makanan ke
dalam perut.
3. Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi, kontraksi
kurang terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan. Spasme difus
pada esofagus adalah gangguan langka yang mempengaruhi otot polos di
dinding esofagus bawah secara involunter. Kontraksi sering terjadi sesekali,
dan mungkin menjadi lebih parah selama periode tahun.
4. Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan
potongan besar makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini mungkin
akibat dari pembentukan jaringan parut, sering disebabkan oleh penyakit
gastroesophageal reflux (GERD), atau dari tumor.
5. Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin buruk
ketika terdapat tumor esofagus.
6. Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau objek
lain dapat menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Orang
dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang yang mengalami kesulitan
mengunyah makanan mereka dengan baik mungkin lebih cenderung memiliki
gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan. Anak-anak mungkin akan
menelan benda-benda kecil, seperti peniti, koin atau potongan mainan, yang
dapat menjadi terjebak.
7. Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus bagian
bawah yang dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan padat.
8. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan esophagus dari
asam lambung yang naik (refluks) ke dalam kerongkongan dapat
menyebabkan spasme atau jaringan parut dan penyempitan kerongkongan
bawah membuat sulit menelan.
9. Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi sel
yang disebut eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan kesulitan
menelan. Ini mungkin terkait dengan alergi makanan, tetapi sering tidak ada
penyebab yang ditemukan.
10. Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-seperti
jaringan, menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal ini dapat
melemahkan lower esophageal sphincter, sehingga asam lambung dapat
refluks ke kerongkongan dan menyebabkan gejala dan komplikasi mirip
dengan GERD.
11. Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan peradangan dan
jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan
menelan.
II.2.3 Patogenesis
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang berperan dalam
proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan berkesinambungan. Keberhasilan
mekanisme menelan ini tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
1 Ukuran bolus makanan
2 Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus
3 Kontraksi peristaltik esophagus
4 Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah
5 Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila system neuromuscular mulai dari
susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik dinding faring dan uvula,
persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan intrinsic otot-otot esophagus bekerja
dengan baik, sehingga aktivitas motorik berjalan lancar. Kerusakan pusat menelan
dapat menyebabkan kegagalan aktivitas komponen orofaring, otot lurik esophagus
dan sfingter esophagus bagian atas. Oleh karena otot lurik esophagus dan sfingter
esophagus bagian atas juga mendapat persarafan dari inti motor n. vagus, maka
aktivitas peristaltic esophagus masih tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter
esophagus bagian bawah terjadi akibat perenggangan langsung dinding esophagus.
II.2.4 Diagnosis
Pasien yang memiliki disfagia dapat datang dengan berbagai tanda dan gejala. Mereka
biasanya mengeluhkan batuk atau tersedak atau sensasi abnormal menempel makanan
di belakang tenggorokan atau dada bagian atas ketika mereka mencoba menelan,
namun, beberapa kasus bisa dengan keluhan yang sangat minimal atau bahkan tidak
ada keluhan (misalnya, pada mereka dengan aspirasi diam).
Pemeriksaan fisik untuk disfagia meliputi:
Selama pemeriksaan fisik, mencari mekanisme oral-motor dan laring. Pengujian
n.V tengkorak dan n.VII-XII sangat penting untuk menentukan apakah bukti fisik
disfagia orofaringeal ada
Pengamatan langsung penutupan bibir, penutupan rahang, mengunyah dan
pengunyahan, mobilitas lidah dan kekuatan, elevasi palatal dan laring, air liur, dan
kepekaan oral diperlukan.
Periksa tingkat kewaspadaan dan status kognitif pasien, karena dapat berdampak
pada keselamatan menelan dan kemampuan untuk belajar langkah-langkah
kompensasi.
Disfonia dan disartria adalah tanda-tanda disfungsi motor struktur yang terlibat
dalam mulut dan faring menelan.
Periksa rongga mulut dan faring untuk integritas mukosa dan gigi.
Periksa langit-langit lunak untuk posisi dan kesimetrisan selama fonasi dan
beristirahat.
Evaluasi elevasi faring dengan menempatkan 2 jari di laring dan menilai gerakan
selama menelan volunter. Teknik ini membantu untuk mengidentifikasi ada atau
tidak adanya hambatan mekanisme pelindung laring.
Refleks muntah yang ditimbulkan oleh menyentuh mukosa faring dengan spatula
lidah. Pengujian untuk refleks muntah sangat membantu, tetapi tidak adanya
refleks muntah tidak selalu menunjukkan bahwa pasien tidak mampu menelan
dengan aman. Memang, banyak orang dengan tidak ada refleks muntah memiliki
kemampuan menelan yang normal, dan beberapa pasien dengan disfagia memiliki
refleks muntah yang normal.
Auskultasi servikal menjadi bagian dari evaluasi klinis pasien disfagia.
Menilai kekuatan dan kejelasan suara, waktu episode apneic, dan kecepatan
menelan.
Menilai fungsi pernafasan juga sangat penting. Jika kekuatan pernapasan batuk
atau kliring tenggorokan tidak memadai, risiko aspirasi meningkat.
Langkah terakhir dalam pemeriksaan fisik adalah pengamatan langsung dari
tindakan menelan. Minimal, menonton pasien sementara dia minum air. Jika
memungkinkan, menilai makan pasien berbagai tekstur makanan. Sialorrhea,
inisiasi menelan tertunda, batuk, atau kualitas suara serak basah atau mungkin
menunjukkan masalah. Setelah menelan, mengamati pasien selama 1 menit atau
lebih untuk melihat apakah respon batuk tertunda hadir.
Berbagai tes dapat digunakan untuk disfagia:
Endoskopi atau esophagoscopy, tabung dimasukkan ke kerongkongan untuk
membantu mengevaluasi kondisi kerongkongan, dan mencoba untuk membuka
bagian-bagian yang mungkin tertutup.
Manometry esofagus, tabung dimasukkan ke dalam perut untuk mengukur
perbedaan tekanan di berbagai daerah.
X-ray leher, dada, atau perut dapat diambil.
Barium x-ray, gambar bergerak atau video x-ray diambil dari kerongkongan saat
menelan barium, yang terlihat pada x-ray.
II.2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot facial atau untuk
meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat melibatkan pelatihan
menelan dengan cara khusus. Untuk beberapa orang, namun demikian, mengkonsumsi
makanan dan minuman lewat mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus
menggunakan metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya ini
memerlukan suatu system pemberian makanan, seperti suatu selang makanan (NGT),
yang memotong bagian menelan yang tidak mampu bekerja normal.
Modifikasi diet
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia. Suatu diet
makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien dengan kesulitan pada
fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi faringeal untuk mengunyah
makanan padat. Jika fungsi menelan sudah membaik, diet dapat diubah menjadi
makanan lunak atau semi-padat sampai konsistensi normal.
Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat menyebabkan
malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan
nutrisi. Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan yang
diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan
pemberian parenteral.
Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi pasien
sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat dehidrasi
Pembedahan
Gastrostomy
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan laparotomy
dengan anestesi umum ataupun lokal.
Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan untuk
mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan mengincisi
komponen otot utama dari PES.
II.2.6 Komplikasi
Disfagia menyebabkan penderita mudah mengalami aspirasi, dimana aspirasi
selanjutnya akan menybabkan pneumonia. Beberapa factor yang mempengaruhi
terjadinya aspirasi ini diantaranya adalah jumlah, sifat fisik dan letak kedalaman
aspirasi serta meknisme pembersihan oleh paru. Aspirasi semakin berbahaya pada
aspirasi dalam jumlah yang lebih besar, letak yang semakin distal dan sifat yang lebih
asam. Bila aspirasi diikuti organisme infeksius atau bahkan flora normal mulut
sekalipun, maka akan dapat menbyebabkan pneumonitis.
Malnutrisi dan dehidrasi sendiri merupakan factor resiko untuk terjadinya pneumonia.
Malnutrisi menyebabkan seseorang rentan terhadap perubahan kolonisasi bakteri di
orofaring dan menurunkan pertahankan terhadap infeksi dengan menekan system
imunitas. Malnutrisi juga menyebabkan letargi, kelemahan dan penurunan kesadaran
yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi. Tambahan pula
bahwa manutrisi mengurangi kekuatan batuk dan mekanisme pembersihan paru
sebagai factor pertahanan terhadap aspirasi.
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi karena asupan cairan yang kurang. Sebaliknya,
dehirasi juga merupakan factor resiko terjadinya pneumonia. Hal ini disebabkan
pertama karena berkurangnya aliran air liur yang dapat perubahan kolonisasi di
orofaring, kedua karena letargi dan perubahan status mental yang dapat meningkatkan
aspirasi, dan ketiga karena menurunnya system imunitas.
BAB III
KESIMPULAN
Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan atau
penyakit di orofaring dan esophagus.
Keluhan ini timbul bila terdapat gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan
transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung.
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas: disfagia mekanik, disfagia motorik
dan disfagia oleh gangguan emosi.
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan dalam
proses menelan.
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau tekanan jiwa
yang berat yang dikenal sebagai globus histerikus.
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas: disfagia orofaringeal dan disfagia
esophageal.
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring ke dalam
kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal ke
kerongkongan.
Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke kerongkongan. Hal ini
diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi mekanis.
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase oral dan fase faring
adalah Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS) dan Flexible Endoscopy
Evaluation of Swallowing ( FEES).