Referat kekerasan

download Referat kekerasan

of 23

description

Referat kekerasan

Transcript of Referat kekerasan

Kekerasan pada Pasien dengan Gangguan Jiwa

BAB IPENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANGSudah tidak asing bagi kita melihat bagaimana masyarakat umum memandang dan memperlakukan orang-orang dengan gangguan mental. Masyarakat seringkali memiliki persepsi negatif terhadap gangguan mental, hal ini merupakan salah satu stigma yang terdapat di seluruh dunia, dimana orang-orang dengan gangguan mental dianggap berbeda dari yang lain dalam suatu masyarakat.Berdasarkan survey opini publik nasional di Amerika, sebanyak 60% masyarakat berpendapat bahwa penderita skizofrenia cenderung untuk melakukan tindak kekerasan, sedangkan 32% masyarakat berpendapat bahwa penderita depresi mayor lebih mungkin untuk melakukan kekerasan.(1)Faktanya, para peneliti mengemukakan bahwa persepsi masyarakat tentang penderita gangguan jiwa yang dianggap cenderung melakukan kekerasan ternyata tidak sesuai dengan realita yang ada. Berdasarkan penelitian terbaru Dr.Paul Mullen (2006), sebagian besar penderita gangguan jiwa tidak membahayakan. Dari 100 penderita skizofrenia, hanya sekitar 0,1% yang cenderung melakukan kekerasan. Beberapa studi telah dilakukan untuk mencari hubungan antara penderita gangguan jiwa dengan tindak kekerasan, namun studi tersebut tidak mengendalikan beberapa variabel yang dianggap berpengaruh terhadap kecenderungan penderita gangguan jiwa untuk melakukan tindak kekerasan, seperti penggunaan obat terlarang, adanya gangguan kepribadian, stres sosial, stres pribadi, dan gejala alamiah penyakit gangguan jiwa itu sendiri. (1)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II.1 Perilaku Kekerasan yang dilakukan pada Pasien dengan Gangguan JiwaII.1.1 DefinisiPerilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan. Seseorang yang mengalami masalah ini harus diberikan rencana dan tindakan yang sesuai sehingga pola ekspresi kemarahannya dapat diubah menjadi bentuk yang bisa diterima yaitu perilaku yang sesuai, yaitu ekspresi kemarahan langsung kepada sumber kemarahan dengan tetap menghargai orang yang menjadi sumber kemarahan tersebut. (2)Umumnya pasien dengan gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak pasien dengan gangguan jiwa diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. (2)Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga, dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan oleh keluarga belum memadai, keluarga seharusnya mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat pasien dengan gangguan jiwa (manajemen perilaku kekerasan).(2)

II.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Sindrom otak organik Pada gangguan otak organik terjadi gangguan kognitif (memori, orientasi, persepsi) pada pasien sehingga akan mempengaruhi kemampuan berpikir dan gangguan perilaku. Pada gangguan otak organik : Serotonin dan aktivitas dopaminergik meningkat, penurunan GABA (Gamma-Aminobutyric Acid), serta transmisi kolinergik (asetilkolin) terganggu. Hal ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala positif. Gangguan lobus frontal : hilangnya rasa sosial dan moral Gangguan lobus temporal : amnesia dan demensia Gangguan lobus parietal dan occipital : akan terjadi disorientasi Gangguan pada sistem limbik : Gangguan daya ingat, memori dan disorientasi Secara keseluruhan, pada pasien ini terjadi gangguan atensi, gangguan memori, disorientasi, agitasi, apatis, emosi yang labil, gangguan persepsi (halusinasi). (3)

1. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan seperti amfetamin Berkaitan dengan fungsi dopamin di mesolimbik pathway di otak. Terjadi pelepasan neurotransmitter dopamin yang dapat menyebabkan aktivasi reseptor D2 (gejala positif). Terjadi penurunan GABA pada susunan saraf pusat.(4)

2. Skizofren Berkaitan dengan fungsi dopamin di mesolimbik pathway di otak. Terjadi pelepasan neurotransmitter dopamin yang dapat menyebabkan aktivasi reseptor D2 (gejala positif).(5)

3. Retardasi mental Sindrom Jacobs, kariotipe (22AA+XYY), trisomik pada kromosom gonosom. Penderita sindrom ini umumnya berwajah kriminal, suka menusuk-nusuk mata dengan benda tajam, seperti pensil dan juga sering berbuat kriminal. Penelitian di luar negeri mengatakan bahwa sebagian besar orang-orang yang masuk penjara adalah orang-orang yang menderita sindrom Jacobs. (6)

4. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitasGangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas sering terjadi pada anak yang ADHD (Attention Deficit hyperactivity Disorder) dimana terjadi kerusakan pada dopamin dan kerusakan pada lobus frontalis dan ganglia basalis. Seluruh kerusakan tersebut memicu gagalnya menekan respon yang tidak tepat, sehingga kemampuan kognitif (seperti memori, self-directed dan self-regulation menjadi berkurang. Jika kemampuan kognitif mengalami kemunduran, maka anak akan mengalami inattention (sulit memusatkan perhatian pada sesuatu), hiperaktif (susah diam) dan impulsif (mengambil suatu tingkah laku tanpa dipikirkan terlebih dahulu).

II.1.3 Tanda dan GejalaMenurut Boyd dan Nihard (1998), klien dengan perilaku kekerasaan sering menunjukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut :a. Data obyektif Muka merah Pandangan tajam Otot tegang Nada suara tinggi Berdebat Memaksakan kehendak Memukul bila tidak senang

b. Data subyektif Mengeluh perasaan terancam Mengungkapkan perasaan tidak berguna Mengungkapkan perasaan jengkelMengungkapkan adanya keluhan fisik seperti berdebar-debar, merasa tercekik, dada sesak, dan kebingungan. (7)II.1.4 Pola yang tampak dari Perilaku Kekerasan pada Pasien dengan Gangguan JiwaBeberapa pola yang tampak dari perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa:1. Gaya hidup yang selalu ingin meningkatkan diri dengan segala cara (self-aggrandizing) agresif yang kronis. Terlihat dengan gangguan kepribadian antisosial dan karenanya berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, onset muda, kenakalan remaja dan kriminalitas, membolos, gagal di sekolah. Gangguan afektif yang cenderung serius merupakan hal yang umum ditemukan pada populasi ini.2. Kekerasan episodik berupa kemarahan yang meledak hanya dengan sedikit provokasi, selama beberapa hari hingga setiap hari dalam setahun, kadang-kadang terdapat amnesia singkat tentang kejadian tersebut dan disertai dengan penyesalan yang dalam.(8)

II.1.5 Insidens Perbandingan Ratio Terjadinya Tindak Kekerasan

Gambar 1. Persentase Penderita Skizofrenia Yang Melakukan Tindak Kekerasan, tahun 1973 2006Source: Fazel S, et al. Journal of the American Medical Association. May 20, 2009

Gambar 2. Persentase Penderita Gangguan Bipolar Yang Melakukan Tindak Kekerasan, tahun 1973 2004 Source: Fazel S, et al. Archives of General Psychiatry. September 2010. (9)II.1.6 Gangguan Psikiatri yang terkait dengan kekerasan Menurut DSM IV-TR, beberapa kelainan perilaku kekerasan :1. Retardasi mental2. ADHD 3. Kelainan perilaku4. Kelainan kognitif seperti delirium dan dementia5. Kelainan psikotik; schizophrenia dan kelainan psikotik yang tidak spesifik6. Gangguan mood7. Gangguan kepribadian (paranoid, antisosial, narsisistik). (8)II.1.7 Faktor resiko yang menyebabkan perilaku kekerasan pada pasien jiwa1. Gangguan kepribadian ( borderline personality disorder, antisosial personality disorder, conduct disorder, and other personality disorder). gangguan kepribadian disertai kelainan psikiatri meningkatkan resiko perilaku kekerasan.2. Gejala psikotik pasien dengan delusi paranoid, halusinasi perintah, dan gejala psikotik lainnya.3. Umur & jenis kelamin orang yang lebih muda cenderung lebih sering melakukan kekerasan dibangdingkan orang tua, laki-laki lebih sering daripada perempuan. 4. Stress sosial orang dengan status ekonomi rendah atau tidak memiliki tempat tinggal lebih cenderung untuk melakukan perilaku kekerasan.5. Stress personal, krisis, kehilangan orang yang tidak mempunyai pekerjaan, bercerai, atau yang menjadi korban kekerasan di masa lalu, juga dapat meningkatkan resiko perilaku kekerasan.(10)

II.1.8 Rentang Respons Perasaan marah merupakan suatu hal yang normal pada setiap individu, namun perilaku yang dimanifestasikan sebagai perasaan marah dapat berfungsi sepanjang rentang adaptif dan maladaptif. Rentang respons tersebut antara lain :a. AsertifKemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain dan tidak menimbulkan masalah.b. FrustasiKegagalan dalam menggapai tujuan karena tidak realistis atau terhambat dan individu tidak menemukan alternatif lain.c. PasifRespon lanjut, individu tidak bisa mengungkapkan perasaan.d. AgresifPerilaku dekstruktif ( memperlihatkan permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain dengan ancaman, memberikan kata ancaman) tapi masih terkontrol.e. KekerasanDapat juga disebut amuk yaitu perasaan marah dan permusuhan yang kuat disertai dengan kehilangan kontrol diri individu yang dapat merusak diri sendiri, orang lain, lingkungan atau dapat juga disebut juga perilaku dekstruktif tak terkontrol. (2)

Gambar 3. Rentang Respons MarahII.1.9. Neuroimaging Pasien Gangguan Jiwa dengan Profil KekerasanOtak pelaku kekerasan sangat berbeda dengan bukan pelaku kekerasan. Perbedaan ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga temuan utama: penurunan aktivitas pada korteks prefrontal, peningkatan aktivitas singulat, dan penurunan atau peningkatan aktivitas lobus temporal kiri. Temuan penting lainnya termasuk penurunan aktivitas terpusat pada ganglia basalis kiri dan pada sisi kiri sistem limbik. Profil SPECT pasien agresif atau pelaku kekerasan yang ditunjukkan temuan ini : Penurunan aktivitas pada korteks prefrontal (kesulitan berpikir) Peningkatan aktivitas singulat (terbelenggu dalam pikiran tertentu) Peningkatan atau penurunan terpusat aktivitas pada lobus temporal kiri (mudah marah) Peningkatan terpusat aktivitas pada ganglia basal dan/atau sistem limbik (cemas dan suasana hati yang mudah berubah)

II.1.10 Disabilitas mental mempengaruhi kehidupan pasien gangguan jiwaGangguan jiwa berat menimbulkan penderitaan luar biasa bagi penderita dan keluarganya. Akibat gangguan jiwa yang dialaminya, orang dengan masalah kejiwaan (Orang Dengan Masalah Kejiwaan/ODMK), cenderung tergantung pada orang lain/keluarga, bahkan kadang-kadangkeluarga juga tidak mungkin untuk produktif lebih, karena harus berfungsi sebagai pelaku rawat.Selain itu gangguan jiwa mengakibatkan sulitnya ODMK untuk mendapatkan pekerjaan akibat stigma dan diskriminasi.

II.2 STIGMA MASYARAKAT TERHADAP PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWAII.2.1 Klasifikasi Stigma masyarakat terhadap pasien dengan gangguan Jiwa Dibagi menjadi 2 kategori:1. Stigma sosial /social stigma adalah pandangan serta perlakuan masyarakat pada umumnya terhadap orang-orang dengan gangguan mental.2. Stigma personal /self stigma adalah penilaian negatif seorang penderita gangguan mental terhadap dirinya sendiri.Kedua stigma tersebut biasanya mengandung 3 sifat, yaitu :1. Stereotipik : pandangan suatu masyarakat luas yang berlebihan (biasanya negatif) terhadap seseorang atau sesuatu hal.2. Prejudice : pendapat/penilaian yang dianggap benar namun tidak beralasan.3. Diskriminasi : perlakuan yang berbeda/tidak adil pada sekelompok orang atau sesuatu, biasanya mengenai ras, gender atau kelainan tertentu. (9)Orang-orang dengan gangguan mental seringkali memilki kesulitan dalam hal-hal seperti mencari pekerjaan, menjalani suatu hubungan, mendapatkan tempat tinggal yang layak, dan diterima oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat umum terhadap penderita gangguan mental yang bersifat stereotipik.Banyak orang yang beranggapan bahwa penderita gangguan mental cenderung berbahaya dan bersikap kasar, walaupun sebetulnya mereka lebih beresiko mendapat perlakuan kasar oleh masyarakat. Stigma ini juga dapat memperburuk kondisi penderita gangguan mental, menunda penanganan yang seharusnya diberikan, dan memperlambat proses penyembuhan mereka. Isolasi sosial, tempat tinggal yang tidak layak, penolakkan kerja, serta kemiskinan berhubungan erat dengan proses penyembuhan, sehingga hal tersebut dapat membuat seseorang dengan gangguan mental makin terhambat proses penyembuhannya.Situasi seperti ini juga diperburuk oleh media. Media seringkali menghubung-hubungkan gangguan mental dengan tindak kekerasan, atau membuat seolah-olah seseorang dengan gangguan mental sebagai seseorang yang berbahaya, criminal, jahat, dan tidak dapat hidup seperti orang normal. II.2.2 Perlakuan Salah Terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) di IndonesiaPenderita gangguan jiwa di Indonesia seringkali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena. Fakta menunjukkan bahwa perlakuan salah, khususnya tindak kekerasan , penelantaran, dan diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa masih sering ditemukan di masyarakat.

Jenis kekerasan yg sering dialami penderita psikosis antara lain : Kekerasan Fisik: dipukul, dilempari batu, diikat, disiram air, dikurung, digunduli, dijemur paksa, dirawat paksa, direndam,dipasung, dibunuh ,dan sebagainya. Kekerasan Emosional: diejek, diajak bicara dengan cara merendahkan, dihina, dicaci maki, diusir, dipermalukan di depan umum. Kekerasan Ekonomi: dipecat dari pekerjaan, ditolak bekerja, tidak diijinkan memegang uang.

Hasil evaluasi tim Pusat Kajian Bencana & Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI RSCM terhadap pasien gangguan jiwa yang menjalani perawatan di RS.Cipto Mangunkusumo, RS. Suharto Herdjan, dan RS. Marzoeki Mahdi dengan metoda Focus Group Discussion,Indepth Interview, dan pengisian kuesioner yang memperlihatkan bahwa sebagian besar dari mereka pernah mengalami tindak kekerasan fisik (dipukul, diikat, disiram air, dikurung,rawat paksa, dan sebagainya), kekerasan emosional (dicaci maki, dihina, diejek, dipermalukan di depan umum).

II.2.3 Bentuk Tindakan Kekerasan terhadapa Pasien dengan Gangguan Jiwa Tindak Kekerasan ada 3 bentuk yang biasa dilakukan kepada pasien dengan gangguan Jiwa:1. Kekerasan seksual:Pelecehan seksual, penyerangan seksual, dan perkosaan.2. Penelantaran:Diusir dari rumah dan kampung, dibiarkan menggelandang, tidak diberi makan dan minum, tidak diberikan perawatan, kondisi hidup dalam tempat penampungan yang tidak higienis dan tidak manusiawi.3. Diskriminasi:Tidak diberikan kesempatan kerja, tidak boleh sekolah, tidak mendapat pengakuan secara hukum, tidak diperbolehkan tinggal di kampungnya, tidak mendapat hak waris.

Orang dengan masalah gangguan jiwa yang tinggal di fasilitas kesehatan atau pantirehabilitasi juga dapat mengalami kekerasan dan pelecehan oleh para profesional kesehatan dan pekerja sosial yang seharusnya sangat bertanggung jawab untuk memberikan dukungan pengobatan, perawatan dan rehabilitasi.Selain itu, di masyarakat, penganiayaan terhadap penderita gangguan jiwa (yang tersering pada penderita psikosis) dengan dalih upaya mengamankan atau merupakan bagian dari ritual penyembuhan gangguan jiwa (pemasungan, rendam dalam air, dan lain-lain) masih banyak terjadi. Bentuk lain dari pelecehan yang umum adalah kondisi hidup yang tidak higienis dan tidak manusiawi, praktik pengobatan berbahaya dan merendahkan. Orang dengan mudah dibatasi secara sewenang-wenang hak dan kewajibanya serta bertentangan dengan keinginan mereka selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Mereka sering dibatasi dalam kamar sel pengasingan atau pemasungan.

II.2.4 Stigma Dan Diskriminasi terhadap Pasien dengan Gangguan Jiwa dalam Pembatasan Terhadap Hak Sipil Dan Politik

ODMK seringkali mengalami pembatasan dalam menjalankan hak- hak sipil dan politik. Terutama orang dengan masalah kesehatan jiwa tidak memiliki kapasitas untuk memikul tanggungjawab, mengatur urusan mereka dan membuat keputusan tentanghidup mereka Selain itu juga, ditemukan bahwa panti-panti mental dan Rumah Sakit Jiwa yangdisurvey tidak menyediakan kesempatan memilih bagi penghuninya.

II.2.5 Stigma dan Diskrimasi terhadap Pasien dengan Gangguan Jiwa dalam Kedudukan Hukum yang LemahKedudukan dalam hukum yang lemah dan penyalahgunaan peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap penderita gangguan jiwa menyebabkan mereka sangat rentan kehilangan hak hukum, misalnya: pengampuan, hak pengasuhan anak, hak waris, dan sebagainya.ODMK sering kali kurang mendapatkan akses terhadap mekanisme peradilan yang tepat. Kejahatan yang dilakukan terhadap mereka tidak terdokumentasi karena kekhawatirantak berdasar oleh polisi atau jaksa tentang kehandalan atau kredibilitasnya sebagai saksi.

II.2.6 Stigma dan Diskrimasi terhadap Pasien dengan Gangguan Jiwa yang mengalami Keterbatasan Dalam Partisipasi SosialSesuai UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, untuk mendapatkan hak pengembangan diri. Partisipasi berarti secara efektif dan berpartisipasi penuh dalam penyelenggaraan kehidupan sosial. Setiap individu tak peduli betapa miskin dan terpinggirkannya memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik. Partisipasi memungkinkan terciptanya masyarakat sipil aktif yang dapat memberikan suara untuk semua orang, termasuk kelompok rentan. Di negara kita, ODMK sering gagal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan proses pengambilan keputusan.

II.2.7 Stigma dan Diskriminasi terhadap Pasien dengan Gangguan Jiwa dalam Akses Pelayanan Kesehatan dan SosialHanya 3,5% penderita gangguan jiwa berat yang mendapat terapi oleh petugas kesehatan, artinya 96,5% diantaranya tidak mendapat pengobatan medis (Hasil Penelitian WHO dan Depkes, 2005 di Kec. Leuwileang Bogor).

II.2.8 Stigma dan Diskirimasi dalam Mendapatkan Kesempatan Kerja pada Pasien dengan Gangguan JiwaODMK juga menghadapi hambatan dalam mengakses sumber-sumber penerimaan lainnya. Banyak orang dengan masalah kesehatan jiwa tidak mendapatkan bantuan sosial atau santunan biaya hidup. Dalam kasus lain, orang dengan masalah kesehatan jiwa sering dikecualikan dari programyang menghasilkan pendapatan (seperti kredit usaha, dll).ODMK Berat yang gejala psikotiknya sudah terkontrol akan bisa bekerja, walaupun sebagian diantaranya mempunyai keterbatasan dalam pilihan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya. ODMK Berat yang sudah mampu bekerja seringkali sulit untuk mendapat pekerjaan karena stigma dan diskriminasi. Kebanyakan ODMK yang bekerja harus menyembunyikan rapat-rapat tentang masalah jiwa yang dialaminya. Begitu kondisi penyakitnya bocor ke lingkungan kerja, berbagai stigma, diskriminasi dan pemecatan, menjadi konsekwensi yang dihadapi. Pemerintah diharapkan membantu ODMK dengan memberi latihan kerja, modal kerja dan kesempatan kerja. Selain itu juga, pemerintah harus melindungi ODMK dari diskriminasi di tempat kerja.Selain itu sebagian ODMK memiliki tingkat toleransi terhadap stress yang rendah yang menjadi kendala bagi mereka untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Obat-obatan yang harus mereka gunapun seringkali mempunyai efek samping yang menyulitkan, seperti mengantuk, kesulitan bangun pagi, masalah konsentrasi dll. Tempat dimana ODMK bekerja harus mampu memahami keadaan ini dan membantu memfasilitasi ODMK . Oleh karena itu, ODMK juga perlu diberikan kesempatan seluasnya untuk membangun unit-unit usaha.

II.2. 9 PemasunganODMK yang telah mengalami tindak kekerasan, stigma, dan diskriminasi akhirnya akan berakhir di pemasungan. Penderita gangguan jiwa yang sudah berobat dan tidak berlanjut sehingga menimbulkan kekambuhan umumnya membuat keluarga jenuh untuk memasukkannya ke fasilitas kesehatan jiwa dan akhirnya memasungnya. Disamping itu berbagai alasan termasuk ekonomi, keamanan lingkungan, rasa malu, beban keluarga, tingkat pengetahuan tentang penyakit dan ketersediaan akses pelayanan kesehatan menyebabkan orang dengan masalah kejiwaan mengalami pemasungan.III. PENATALAKSANAANIII.1 Penanganan Perilaku Kekerasan pada Pasien Gangguan JiwaIII.1.1 Keamanan dan Intervensi LingkunganModifikasi lingkungan pasien untuk mencegah atau mengurangi agresi sangat penting untuk bagi pasien. Studi menunjukkan insidens kekerasan kebanyakan terjadi di pagi hari dan malam hari terutama saat pasien sedang berkumpul bersama di area yang kecil. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan antara lain : Menempatkan sejumlah staff kesehatan yang terlatih untuk mengenali tanda-tanda agresi pasien penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan. Mereka harus memiliki kemampuan untuk dapat menenangkan pasien, memberikan rasa nyaman. Pengalihan verbal Observasi pendekatan Mengalihkan perhatian pasien dari hal-hal yang memicu terjadinya agresi Mengasingkan pasien ke tempat yang tenang untuk mengurangi stimuli Bersikap positif dan bersahabat terhadap pasien Hindari kontak mata yang sifatnya mengintimidasi Jauhkan barang-barang yang berbahaya di sekitar lingkungan pasien Body language yang memberikan rasa nyaman bagi pasien seperti memperlihatkan tangan kosong, tidak melipat tangan di depan dada. Untuk pasien yang berbahaya sebaiknya diisolasi di dalam ruangan tersendiri

III.3 Intervensi Psikoterapi Penanganan stigma tersebut memerlukan pendidikan dan kemauan yang keras dari individu-individu dimasyarakat dan memerlukan keberanian yang besar untuk ikut serta dalam penanganan tersebut.Tempat terbaik bagi penderita gangguan jiwa bukan di panti rehabilitasi mental atau di rumah sakit jiwa, apalagi ditelantarkan di jalanan, tapi berada di tengah-tengah keluarganya, diantara orang-orang yang dicintai dan mencintainya.Yang mereka butuhkan selain pengobatan medis adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses pemulihan kondisi jiwanyaBeberapa kegiatan atau program yang dapat dilakukan untuk mengurangi stigma gangguan jiwa antara lain:1.Masyarakat ikut berperan aktif dalam kampanye tentang kesehatan jiwa. Kampanye tersebut dapat dimasukkan dalam kegiatan masyarakat melalui program desa siaga, FKD(Forum Kesehatan Desa) pertemuan ditingkat RT maupun RW, perlu keaktifan masyarakat untuk mendapatkan akses/kesempatan seluas-luasnya secara akurat dan terbaru tentang kesehatan jiwa.2.Perlunya adanya pengetahuan tentang kesehatan jiwa sejak dini melalui sekolah-sekolah. Pendidikan tersebut dapat dilakukan atau dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah atau melalui kegiatan kurikuler. 3.Keluarga ataupun masyarakat ikut terlibat dalam pelaksanaan tindakan terhadap pasien gangguan jiwa sehingga kesadaran keluarga dan masyarakat tentang cara pandang pada pasien gangguan jiwa dapat berubah dan dapat membantu menanganinya.4.Kepada individu tenaga kesehatan harus menunjukkan atau memberi contoh kepada masyarakat bahwa kita tidak melakukan stigma tersebut, harus menentang kesalahpahaman tentang gangguan jiwa dan menunjukkan fakta-fakta bahwa penyakit mental sangatlah umum dan dapat disembuhkan dengan management tindakan yang tepat5.Pemerintah ataupun lembaga swasta perlu memberikan kesempatan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya kepada orang-orang yang mengalami gangguan jiwa ataupun orang-orang yang telah sembuh dari gangguan jiwa. (10)

III.4 Intervensi FarmakologiIII.4.1. Acute violent behaviorHigh-potency first-generation neuroleptics merupakan pilihan pertama untuk terapi agresi akut, terutama apabila perilaku agresif tersebut diperburuk oleh gejala psikotiknya. Obat-obatan ini, seperti haloperidol dan fluphenazine, biasanya digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan benzodiazepine kerja cepat, seperti lorazepam sebagai tambahan sedasi. Dosis yang dianjurkan adalah 5 mg untuk neuroleptics dan 2 3 mg untuk benzodiazepine, dapat diberikan secara oral atau intramuskular dan diulang setiap 1 2 jam sampai gejala agresi pasien hilang. Di berbagai literatur disebutkan bahwa haloperidol aman untuk pasien. Haloperidol memilik efek samping minimal terhadap status kardiak dan ambang kejang. Neuroleptic dosis tinggi dapat memicu perilaku agresi yang lebih buruk, akibat efek sampingnya terutama akitisia dan distonia. Apabila dibutuhkan efek sedasi seperti antipsikotik, chlorpromazine oral dengan dosis 100 200 mg dapat diberikan untuk menghentikan agresifitas pasien secara cepat, dengan observasi terhadap efek samping antikolinergik dan ortostatik.Monoterapi dengan benzodiazepines dapat berguna untuk menekan perilaku agresi, terutama karena obat ini memiliki onset kerja yang cepat.Di berbagai data disebutkan bahwa beberapa antipsikotik generasi dua , seperti risperidone, olanzepine, dan ziprasidone memiliki efikasi yang sebanding dengan haloperidol dalam penanganan agresi akut. Walaupun di berbagai data disebutkan bahwa golongan obat ini memiliki lebih banyak efek samping yang menguntungkan dibandingkan dengan antipskotik generasi pertama, namun beberapa hal tetap harus diperhatikan seperti dapat terjadi pemajangan QT pada pemberian ziprasidone, sedasi berlebihan dan depresi kardiovaskular pada pemberian kombinasi olanzepine dengan benzodiazepine intramuskular.III.4.2 Chronic AggressionAntipsikotik generasi kedua sebagai pilihan terapi untuk pengobatan agresi kronik, karena memiliki efek dan toleransi yang baik untuk pemakaian jangka lama. Clozapine direkomendasikan untuk pasien dengan perilaku kekerasan yang persisten dan psikotik, terutama untuk kondisi yang sulit disembuhkan. Antipsikotik generasi dua lainnya antara lain risperidone, olanzepine, dan quetiapine, menunjukkan efek yang sebanding dengan neuroleptics tradisional dalam penanganan perilaku kekerasan kronik. Golongan obat ini juga bermanfaat untuk pasien agresi dengan autism atau demensia.Lithium terbukti efektif untuk pengobatan agresi pada populasi retardasi mental, dengan konsentrasi serum 0.6 1.4 mEq/L dapat mengurangi insiden kekerasan 50 73%. Lithium juga dapat mengurangi iritabilitas dan agresi pada pasien dengan gangguan bipolar. Valproat secara signifikan dapat mengurangi agresi pada beberapa diagnosis, termasuk sindrom organik, demensia, retardasi mental, dan gangguan bipolar. Carbamazepine dapat menurunkan agitasi pada pasien dengan trauma otak. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) memiliki efek menurunkan agresi pada beberapa diagnosis psikiatri, termasuk Alzheimers disease, autismem retardasi mental, psikosis, posttraumatic stress disorders, dan gangguan kepribadian.B-blocker telah dicobakan sebagai terapi untuk mengontrol perilaku kekerasan pada pasien dengan berbagai gejala. Pada pasien yang dirawat akibat trauma otak, pemberian propanolol (420 mg/hari) lebih efektif untuk mengurangi agitasi dibandingkan plasebo pada 21 subjek penelitian. Ratey, et al, memeriksa 41 pasien psikotik kronis yang dirawat dan mereka menemukan bahwa pemberian nadolol (40 120 mg/hari) dikombinasikan dengan psikotropik jenis lain dapat menurunkan agresi.

BAB IIIPEMBAHASANKASUS 1- KOMPAS.COMPENGHUNI PANTI LARAS MENINGGAL DUNIASelama enam bulan terakhir, terhitung Oktober 2008 hingga April 2009 terdapat 181 penghuni empat panti laras milik Pemerintah Provinsi DKI dan 57 pasien yang dirujuk panti tersebut ke Rumah Sakit (RS) Duren Sawit, Jakarta Timur, meninggal dunia.Mereka meninggal setelah mengalami berbagai penyakit, di antaranya diare, gizi memburuk, anemia, dan kombinasi dari ketiga penyakit tersebut. Dalam laporan hasil monitoring keempat panti laras, panti sosial yang merawat penderita gangguan jiwa yang diperoleh Kompas, Senin (18/5),menyebutkan, di Panti Laras Cipayung terdapat 38 orang meninggal dunia. Di Panti Laras Ceger satu orang meninggal dunia, Bina Laras Daan Mogot (2 orang), dan Panti Laras Cengkareng (140 orang). Masih dari laporan itu termuat, penghuni panti laras meninggal dunia, disinyalir karena distribusi obat umum dan kejiwaan ke panti-panti tersebut kurang.

Kasus 2Mark, seorang karyawan berusia tiga puluh empat tahun, dirujuk oleh konselornya setelah dia berhenti terlalu dini dari program terapi obat untuk pikiran psikotik. Mark menjalani pengobatan tersebut dengan sukarela, berusaha menghentikan kecanduan amfetamin setelah 10 tahun. Awalnya, Mark tampak mengalami psikosis amfetamin, tetapi setelah empat bulan terbebas dari setiap jenis obat, sikap paranoid dan perilaku agresifnya bertambah. Pada tiga kesempatan terpisah, dia tiba-tiba keluar dari ruang praktik dokter sambil memaki-maki sang dokter. Dia mulai memperlihatkan perilaku berbahaya, mengungkapkan pikiran untuk membunuh dan bunuh diri, serta pikiran-pikiran muluk ( grandiose delusions ). Dia pernah beberapa kali mengalami kondisi ini di masa lalu. Dia menolak pengobatan, mencurigai sang dokter berusaha mengendalikan atau meracuninya. Akhirnya, Mark setuju menjalani SPECT setelah mendapat dukungan besar dari pihak keluarganya. Pada kali pertama penelitian SPECT, Mark mencabut jarum intravena dari lengannya dan lari dari klinik. Dia menelepon sang dokter sejam kemudian dan mengeluarkan sumpah serapah dan menuduh bahwa sang dokter akan meracuninya. Dokter kemudian menelepon ibunya yang kemudian menenangkan Mark serta duduk menemaninya selama tes. Hasil SPECT Mark memperlihatkan penurunan yang nyata dari pengambilan gambar di lobus temporal kirinya. Dengan gambaran klinis serta informasi SPECT, Mark mulai menjalani terapi dengan antikonvulsan pada dosis terapi. Dalam sepuluh hari, dia merasa lebih tenang, dan tidak terlalu paranoid. Setelah sebulan, dia kembali bekerja dan merasa lebih dapat mengendalikan dirinya bahkan dibandingkan dengan sebelum mengonsumsi obat-obatan. Mark merasa lega mengetahui mengenai disfungsi lobus temporalnya dan akhirnya memahami penyebab banyak masalah di masa silamnya. Dia meneruskan pengobatan tanpa masalah.Kasus 3 : Penelitian Ayah dan AnakPhilip, berusia sembilan tahun, ketakutan ketika polisi datang ke sekolahnya untuk berbicara dengannya. Gurunya, yang melihat ada lebam di lengan dan kaki Philip, kemudian memanggil Layanan Perlindungan Anak. Philip ragu apakah harus mengatakan yang sebenarnya bahwa ayahnya memukulinya atau dia sebaiknya mengaku jatuh dari tangga atau semacam itu. Philip tidak ingin menyulitkan ayahnya, dan dia merasa pukulan itu pantas ia terima. Bagaimanapun, pikirnya, ayahnya sudah sepuluh kali menyuruh dia merapikan kamar, tetapi entah karena alasan apa Philip tidak melakukannya. Philip dan ayahnya sering bertengkar. Philip memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya, berharap bahwa dengan demikian keluarganya bisa ditolong. Tentu, keluarga Philip mendapat pertolongan. Pengadilan menyarankan konseling bagi keluarga itu dan evaluasi psikiater bagi pihak ayah. Ayah ternyata bersifat impulsif dan mengamuk di sebagian besar situasi. Dia mulai agresif setelah mengalami cedera kepala akibat kecelakaan mobil enam tahun sebelumnya. Ibu Philip mengatakan bahwa ketika Philip lahir, ayahnya adalah sosok yang penyayang, sabar, dan penuh perhatian. Setelah kecelakaan itu, dia menjadi mudah tersinggung, menjauh, dan pemarah.Setiap kali konseling, Philip sangat menyusahkan, gelisah, terlalu aktif, impulsif, dan pembangkang. Dia mengabaikan permintaan orang tuanya untuk berperilaku lebih sopan. Interaksi antara Philip dan ayahnya adalah sumber masalah mereka, dan konseling saja tidak cukup. Supaya lebih memahami masalah biologis dalam keluarga tersebut, maka dilakukan pemeriksaan SPECT untuk Philip dan ayahnya.Hasil SPECT keduanya tidak normal. Hasil SPECT ayah menunjukkan area dengan peningkatan aktivitas pada lobus temporal kiri, barangkali akibat kecelakaan mobil itu. Hasil SPECT Philip mengungkap penurunan aktivitas di bagian depan otaknya ketika dia berusaha berkonsentrasi. Temuan ini sangat umum pada penyandang ADD yang impulsif dan sangat aktif. Setelah menuliskan riwayat, mengamati interaksi keluarga itu, dan mengkaji hail pemeriksaan SPECT, maka disimpulkan bahwa sebagian masalah Philip dan ayahnya bersifat biologis. Ayah menerima antikonvulsan untuk menenangkan lobus temporal kirinya, dan Philip menerima stimulan untuk meningkatkan aktivitas di bagian depan otaknya.Setelah masalah biologis berhasil ditangani, keluarga tersebut mulai mengambil manfaat dari psikoterapi dan perlahan memulihkan luka karena kekerasan. Dalam sesi konseling, Philip lebih tenang dan lebih memperhatikan, dan ayahnya lebih memahami cara menghadapi perilaku Philip yang sulit dengan cara yang baik.Profil KekerasanTemuan-temuan ini merujuk pada profil SPECT pasien agresif yang melibatkan sejumlah bagian khusus di otak, khususnya hemisfer kiri. Apabila temuan-temuan ini dipadukan, akan tampak bahwa agresi adalah proses rumit yang dimediasi oleh sejumlah bagian di otak.Penurunan aktivitas di korteks prefrontal kerap dialami oleh mereka yang memiliki kesulitan kognitif, seperti pada kasus skizofrenia atau depresi mayor. Korteks prefrontal terlibat dalam konsentrasi, pengendalian diri, dan berpikir kritis. Orang agresif sering salah menafsirkan situasi dan bereaksi secara impulsif.Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, peningkatan aktivitas pada singulat umum terjadi pada orang yang terbelenggu dalam pikiran atau perilaku tertentu. Orang yang agresif terbelenggu dalam ketidakadilan yang nyata maupun tidak nyata dan terus memikirkannya. Sebagai contoh, pada sejumlah riwayat kasus, lelaki umumnya lebih mudah kesal saat mengemudi. Mereka mengaku bahwa apabila seseorang secara kebetulan menyalip mereka di jalan, mereka akan terus memikirkannya hingga titik yang membuat mereka ingin melakukan sesuatu, seperti mengklakson, melakukan gerakan tertentu, atau bahkan mengejar pengemudi lain untuk menyingkirkan pikiran tersebut. Penelitian membuktikan bahwa obat-obatan peningkat kadar serotonin otak (seperti Prozac atau Anafranil) dapat menormalkan aktivitas singulat.Peningkatan aktivitas di ganglia basal umum terjadi pada pasien yang mengalami gangguan cemas atau panik. Orang yang agresif seringkali melaporkan suatu tingkat dasar ketengangan atau kecemasan, dan banyak pakar klinis menyadari sebuah pola pada para pasien ini: mereka semakin cemas sebelum melancarkan serangan. Abnormalitas pada sistem limbik dikaitkan keagresifan. Sebagian peneliti yakin bahwa para pasien tersebut mengalami kejang limbik. Penelitian selalu menunjukkan bahwa rangsangan terhadap amigdala, yakni sebuah struktur di bagian dalam lobus temporal yang sering dianggap sebagai bagian dari sistem limbik, membuat seseorang akan lebih gelisah dan agresif. Sistem limbik sering kali dianggap sebagai bagian otak yang mengatur suasana hati, dan aktivitas abnormal di bagian ini berkaitan dengan suasana hati yang gampang berubah. Penyerangan dan abnormalitas di lobus temporal telah sering dibahas dalam laporan penelitian. Obat-obatan seperti Neurontin, Tegretol, dan depakote ternyata dapat membantu menurunkan aktivitas abnormal di bagian otak ini.Setelah beberapa kali melakukan pencitraan SPECT otak, abnormalitas sisi kiri otak umum terjadi pada pasien yang lebih mudah marah dan agresif. Sementara abnormalitas di sisi kanan otak dialami pasien yang lebih mampu menahan diri, sadar secara sosial, ketakutan, dan tidak terlalu agresif.

BAB IVKESIMPULANPerilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya. Dalam kehidupan sosial, gangguan jiwa, dan kekerasan sering dianggap memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini menimbulkan stigma yang buruk di masyarakat tentang orang-orang dengan gangguan jiwa dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi para psikiatri. Banyak orang yang beranggapan bahwa penderita gangguan mental cenderung berbahaya dan bersikap kasar, walaupun sebetulnya mereka lebih beresiko mendapat perlakuan kasar oleh masyarakat. Stigma ini juga dapat memperburuk kondisi penderita gangguan mental, menunda penanganan yang seharusnya diberikan, dan memperlambat proses penyembuhan mereka. Isolasi sosial, tempat tinggal yang tidak layak, penolakkan kerja, serta kemiskinan berhubungan erat dengan proses penyembuhan, sehingga hal tersebut dapat membuat seseorang dengan gangguan mental makin terhambat proses penyembuhannya.Situasi seperti ini juga diperburuk oleh media. Media seringkali menghubung-hubungkan gangguan mental dengan tindak kekerasan, atau membuat seolah-olah seseorang dengan gangguan mental sebagai seseorang yang berbahaya, criminal, jahat, dan tidak dapat hidup seperti orang normal.Oleh karena itu diperlukan penatalaksanan yang harus dilakukan terhadap pasien dengan gangguan jiwa berupa intervensi terhadap lingkungan, psikoterapi , dan psikofarmaka yang ketiga saling berkaitan untuk mengurangi perilaku kekerasan yang dilakukan pada pasien dengan gangguan jiwa serta diperlukan dukungan dan partisipasi masyarakat dengan mengubah pandangan masyarakat yang salah terhadap pasien dengan gangguan jiwa.

BAB VDAFTAR PUSTAKA

1. Rueve ME, Welton RS. (May 2008 last update). Violence and Mental Illness, Available from : http://www.innovationscns.com/violence-and-mental-illness/ (Accessed: 2012, March 18th)2. Putra, Dwi Yoedhas Putra (16 April 2010). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan,Available from : http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/02/asuhan-keperawatan-jiwa-dengan-perilaku.html3. Elvira, D Sylvia. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 20104. http://razimaulana.wordpress.com/2009/11/13/gangguuan -mental-organik/5. http://news-medical.net/health/schizophrenia-mechanism.aspx 6. http://id.m.wikipedia.org/wiki/mutasi7. Putra, Dwi Yoedhas Putra (16 April 2010). Asuhan Keperawatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan, Available from : http://yoedhasflyingdutchman.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan_5109.html8. Kaplan, Saddock. Synopsis Of Psychiatry. Edisi Sepuluh. 9. Harvard Mental Health Letter. (January 2011 last update). Mental Illness and Violence, Available from:http://www.health.harvard.edu/newsletters/Harvard_Mental_Health_Letter/2011/January/mental-illness-and-violence (Accessed: 2012, March 18th)10. http://mantrinews.blogspot.com/2012/06/upaya-merubah-anggapan-yang-salah.html

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan JiwaFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 30 Juli 2012 -1 September 2012Page 16