Referat HS
-
Upload
liuk-irawati -
Category
Documents
-
view
119 -
download
3
description
Transcript of Referat HS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dermatitis okupasional ialah suatu penyakit kulit di mana paparan terhadap
bahaya fisik, kimia, ataupun biologi di tempat kerja menjadi penyebab atau faktor
kontribusi utama dalam perkembangan penyakitnya. Diagnosisnya memerlukan
index kecurigaan yang tinggi dan pengetahuan mengenai lingkungan pekerja.
Dermatitis kontak berkontribusi sebesar 60% dari semua dermatitis
okupasional dan 40-70% dari penyakit yang didapat oleh karena pekerjaan.
Sedangkan sisanya dapat berupa Urtikaria Kontak, Infeksi Okupasional,
Dermatitis Oleh Karena Penyebab Fisik, dan Bermacam – Macam dermatitis
Terkait Pekerjaan lainnya.
Dermatitis kontak dapat berupa iritan, alergi ataupun keduanya. Dermatitis
kontak dapat terjadi bersamaan dengan dermatitis endogen seperti dermatitis
atopik. Secara umum, morfologi dermatitis kontak tidak dapat dibedakan dengan
dermatitis endogen. Sebagai contoh, likenifikasi merupakan suatu fenomena
atopik, dan blister (kecuali pada telapak tangan dan telapak kaki) lebih cenderung
terjadi pada dermatitis kontak. Dermatitis interdigital biasanya berhubungan
dengan pekerjaan yang banyak kontak dengan air.
Jenis pekerjaan yang paling sering menyebabkan dermatitis okupasional
yaitu: Juru masak/koki, Penata rambut/ahli kecantikan, Dokter/dokter
gigi/perawat/dokter hewan, Petani/tukang kebun, Tukang sapu/tukang cuci,
Pelukis, Mekanik/montir, Tukang cetak, dan Konstruksi
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, etiologi, fisiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan penyakit dermatitis
okupasional
1.3. Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk:
1. Memahami definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis penyakit dermatitis okuasional.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
1
3. Memenuhi salah satu persayaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Malang RSUD Kanjuruhan Kepanjen Malang.
1.4. Manfaat
1.4.1. Menambah wawasan mengenai penyakit dermatitis okupasional.
1.4.2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang
mengikuti kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis akibat kerja adalah proses patologis kulit yang timbul pada
waktu melakukan pekerjaan dan pengaruh – pengaruh yang terdapat di dalam
lingkungan kerja.
Dari batasan ini terlihat bahwa penyakit kulit akibat kerja ini boleh disebut
sebagai gejala sampingan usaha manusia atau sebagai buatan manusia. Oleh
karena itu manusia dituntut untuk mencegah atau memperkecil kemungkinan
terjadinya dengan menerapkan tekonologi pengendalian.
2.2 EPIDEMOLOGI
Penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatoses) merupakan suatu
peradangan kulit yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang. Dermatitis
kontak merupakan 50% dari semua Penyakit Akibat Kerja terbanyak yang bersifat
nonalergi atau iritan (Kosasih, 2004).
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau
substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu
dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis
kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya
dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2007 ). Penyakit ini ditandai dengan
peradangan kulit polimorfik yang mempunyai ciri – ciri yang luas, meliputi : rasa
gatal, eritema (kemerahan), endema (bengkak), papul (tonjolan padat diameter
kurang dari 55mm), vesikel (tonjolan berisi cairan diameter lebih dari 55mm),
crust dan skuama (Freedberg, 2003).
Di Indonesia prevalensi dermatitis kontak sangat bervariasi. Menurut
Perdoski (2009) Sekitar 90% penyakit kulit akibat kerja merupakan dermatitis
kontak, baik iritan maupun alergik. Penyakit kulit akibat kerja yang merupakan
dermatitis kontak sebesar 92,5%, sekitar 5,4% karena infeksi kulit dan 2,1%
penyakit kulit karena sebab lain. Pada studi epidemiologi, Indonesia
memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana
3
66,3% diantaranya adalah dermatitis kontak iritan dan 33,7% adalah dermatitis
kontak alergi (Hudyono, 2002).
Pada sub bagian alergi imunologi Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta, insiden dermatitis kontak akibat kerja
sebesar 50 kasus per tahun atau 11,9% dari seluruh dermatitis kontak. Di Jawa
Tengah, Prevalensi dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) pada pekerja mebel
sebesar 4,62% dengan proporsi DKI akibat kerja sebesar 23,53% (Perdoski,
2009). Diagnosis dermatitis kontak ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan tes kulit berupa patch test (Orton dan Wilkinson, 2004).
Beberapa penelitian menunjukan bahwa penyakit dermatitis kontak
merupakan penyakit yang lazim terjadi pada pekerja-pekerja yang berhubungan
dengan bahan kimia dan panas, serta faktor mekanik sebagai gesekan, tekanan dan
trauma. Beberapa jenis dermatitis kontak seperti dermatitis kontak iritan
disebabkan oleh bahan iritan absolute seperti asam basa, basa kuat, logam berat
dan konsentrasi kuat dan bahan relatif iritan, misalnya sabun, deterjen dan pelarut
organik, sedangkan jenis dermatitis lain adalah dermatitis kontak alergi biasanya
disebabkan oleh paparan bahan-bahan kimia atau lainnya yang meninggalkan
sensitifitas kulit (Erliana, 2008).
2.3 ETIOLOGI
Penyakit kulit akibat kerja dapat disebabkan oleh 4 faktor :
1. Faktor kimiawi; dapat berupa iritasi primer, allergen, atau karninogen.
2. Faktor merkanik / fisik; seperti getaran, gesekan, tekanan, trauma, panas,
dingin, kelembaban udara, sinar radioaktif.
3. Faktor biologis; seperti jasad renik ( mikroorganisme ) hewan dan
produknya, jamur, parasit, dan virus.
4. Faktor psikologis ( kejiwaan ); ketidakcocokan pengelolaan perusahaan
sering membuat konflik di antara pegawai dan dapat menimbulkan
gangguan pada kulit seperti neurodermatitis.
Sebenarnya kulit mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari
serangan/ rangsangan luar. Epidermis berfungsi menghambat penguapan air yang
berlebihan dari tubuh, menghambat penyerapan berlebihan dari luar. Pigmen di
dalam kulit melindungi tubuh dari pengaruh sinar matahri. Selain itu kulit
4
mengandung kelenjar keringat dan pembuluh darah yang berfungsi sebagai alat
penjaga keseimbangan cairan tubuh.
2.4 DERMATITIS KONTAK
2.4.1 Definisi Dermatitis Kontak
Dermatitis yang terjadi pada pekerja adalah dermatitis kontak akibat kerja.
Dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana
pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor
kontributor. Selain itu menurut American Medical Association, dermatitis
seringkali cukup digambarkan sebagai peradangan kulit, timbul sebagai turunan
untuk eksim, kontak (infeksi dan alergi) (HSE UK, 2004).
Menurut Michael dermatitis kontak merupakan suatu respon inflamasi dari
kulit terhadap antigen atau iritan yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan
rasa malu dan merupakan kelainan kulit yang paling sering pada para pekerja
(Michael, 2005). Menurut Hayakawa dermatitis kontak merupakan inflamasi non-
alergi pada kulit yang diakibatkan senyawa yang kontak dengan kulit tersebut
(Hayakawa, 2000) dan menurut Hudyono dermatitis kontak adalah kelainan kulit
yang disebabkan oleh bahan yang mengenai kulit, baik melalui mekanisme
imunologik (melalui reaksi alergi), maupun non-imunologik (dermatitis kontak
iritan) (Hudyono, 2002).
Salah satu penyebab dari dermatitis kontak akibat kerja yaitu bahan kimia
yang kontak dengan kulit saat melakukan pekerjaan. Bahan kimia (kontaktan)
untuk dapat menyebabkan dermatitis kontak akibat kerja, pertama harus mengenai
kulit kemudian melewati lapisan permukaan kulit dan kemudian menimbulkan
reaksi yang memudahkan lapisan bawahnya terkena. Lapisan permukaan kulit ini
ketebalannya menyerupai kertas tissue, mempunyai ketahanan luar biasa untuk
dapat ditembus sehingga disebut lapisan barrier. Lapisan barrier menahan air dan
mengandung air kurang dari 10 % untuk dapat berfungsi secara baik. Celah
diantara lapisan barrier ada kelenjar minyak dan akar rambut yang terbuka dan
merupakan tempat yang mudah ditembus (HSE UK, 2004).
2.4.2 Jenis Dermatitis Kontak
Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Perbedaan prinsip antar keduanya adalah dermatitis
5
kontak iritan terjadi karena adanya penurunan kemampuan kulit dalam melakukan
regenerasi sehingga mudah teriritasi oleh bahan-bahan tertentu. Penurunan
kemampuan ini dipengaruhi oleh selaput tanduk dan kandungan air pada sel
tanduk tersebut. Sementara pada dermatitis kontak alergi, paparan bahan kimia
menimbulkan rangsangan tertentu pada imunitas tubuh. Rangsangan ini akan
menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan peradangan kulit disini hanya terjadi
pada seseorang yang mempunyai sifat hipersensitif (mudah terkena alergi). Kedua
bentuk dermatitis ini sulit dibedakan satu sama lain, sehingga memerlukan
pemeriksaan medis yang spesifik untuk membedakan keduanya.
1. Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi lokal pada kulit yang
bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya eritema (kemeraham), edema
(bengkak) ringan dan pecah-pecah setelah terjadi pajanan bahan kontaktan dari
luar. Bahan kontaktan ini dapat berupa bahan fisika atau kimia yang dapat
menimbulkan reaksi secara langsung pada kulit (Firdaus, 2002). Dermatitis
kontak iritan merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia
langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar
berasal dari sel epidermis (Michael, 2005).
Penyebab munculnya Dermatitis kontak iritan adalah bahan yang bersifat
iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk
kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat
molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang terjadi selain
ditentukan oleh molekul, daya larut dan konsentrasi bahan tersebut, dan lama
kontak. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan (Djuanda, 2007).
Faktor individu juga ikut berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya usia
(anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam
lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak iritan
lebih banyak pada wanita), penyakit kulit yang sedang atau dialami (ambang
rangsang terhadap bahan iritan menutun) misalnya dermatitis atopic (Djuanda,
2007).
6
2. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis Kontak Alergi merupakan salah satu tipe penyakit kulit akibat
sensitivitas yang tinggi terhadap suatu zat kimia. Zat kimia dalam kadar rendah
yang biasanya tidak menyebabkan iritasi kulit, akan menimbulkan kerusakan pada
kulit akibat sensitivitas. Gejala dari dermatitis kontak alergi antara lain ruam kulit,
bengkak, gatal-gatal dan melepuh. Gejala tersebut biasanya akan lenyap begitu
kontak dengan zat kimia penyebab dihentikan, tetapi akan muncul lagi ketika kulit
kembali terpapar (Widyastuti, 2006) Penyebab terjadinya Dermatitis Kontak
Alergika diantaranya kosmetik (cat kuku, penghapus cat kuku, deodoran,
pelembab, losyen sehabis bercukur, parfum, tabir surya, senyawa kimia (nikel),
tanaman (racun ivy (tanaman merambat), racun pohon, sejenis rumput liar,
primros), obat-obat yang terkandung dalam krim kulit dan zat kimia yang
digunakan dalam pengolahan pakaian.
2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Dermatitis Kontak
Menurut Djuanda (2007) faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
dermatitis diantaranya molekul, daya larut dan konsentrasi bahan dan faktor lain
yaitu lama kontak. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan. Faktor
individu juga ikut berpengaruh pada Dermatitis Kontak, misalnya usia (anak
dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi), ras (kulit hitam lebih
tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi Dermatitis Kontak Iritan lebih
banyak pada wanita), penyakit kulit yang sedang atau dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun) misalnya Dermatitis Atopik.
Menurut Gilles L, Evan R, Farmer dan Atoniette F (1990) faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap timbulnya penyakit kulit akibat kerja atara lain ras,
keringat, terdapat penyakit kulit lain, personal hygiene dan tindakan mengunakan
APD.
2.5.1 Faktor Langsung
Bahan Kimia (ukuran molekul, daya larut dan konsentrasi)
Bahan kimia merupakan penyebab utama dari penyakit kulit dan gangguan
pekerjaan. Kontak dengan bahan kimia merupakan penyebab terbesar dermatitis
kontak akibat kerja (Cohen, 1999). Bahan kimia untuk dapat menyebabkan
kelainan pada kulit ditentukan dari ukuran molekul, daya larut dan konsentrasi.
7
Melalui kontak yang cukup lama dan konsentrasi yang memadai, bahan kimia
dapat menyebabkan kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritan atau dermatitis
kontak alergi. Seorang pekerja dapat terkena bahan kimia berbahaya melalui
kontak langsung dengan permukaan yang terkontaminasi, pengendapan aerosol,
dan perendaman, atau percikan. Besarnya bahaya tergantung oleh besaran kontak
bahan kimia yang terjadi, sehingga mengakibatkan tingginya resiko yang
menentukan besarnya pengaruh pada kesehatan manusia. Hal inilah yang disebut
exposurerespons relationship. Paparan ditentukan oleh banyak faktor termasuk
lama kontak (durasi), frekuensi kontak, konsentrasi bahan dan lain-lain (Agius R,
2006). Agen kimia dibagi menjadi dua jenis, yaitu primer dan sensitizers iritasi.
1. Iritan Primer
Kebanyakan dermatitis kerja disebabkan oleh kontak dengan iritan primer.
Iritan primer ini mengubah kimia kulit dan menghancurkan perlindungan kulit
sehingga kulit menjadi rusak, dan dermatitis kontak iritan primer dapat terjadi.
Iritasi primer menyebabkan reaksi kulit langsung pada kulit saat pemaparan
pertama.
2. Sensitizers
Sensitizers tidak dapat menyebabkan reaksi kulit langsung, tetapi
pemaparan berulang bisa menyebabkan reaksi alergi. Bahan kimia yang
menyebabkan sensitisasi kulit jauh lebih sedikit dari pada yang menyebabkan
iritasi primer. Contohnya logan dan garam-garamnya (kromium,kobalt dan lain -
lain), bahan-bahan kimia karet, obat-obatan dan antibiotik, kosmetik dan lainlain.
Bahaya bahan kimia adalah korosif (iritan) dan racun. Bahan kimia dapat
menyebabkan langsung jaringan kulit iritasi sampai cedera atau korosi pada
8
permukaan logam, namun yang sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak
jaringan lunak baik kulit maupun mata. Iritasi kulit merupakan derajat cedera
korosif dengan derajat ringan. Bahan kimia korosif cairan basa dapat merusak
jaringan lunak lebih kuat daripada asam anorganik. Bahan ini merusak lebih
dalam pada jaringan lunak kulit dengan menimbulkan proses perlemakan dalam
hitungan minggu, rasa nyeri yang hebat dan melemahkan lapisan endermis
sehingga kulit menjadi lebih rentan terhadap bahan kimia lain. Namun pada saat
permulaan terpapar justru tidak timbul rasa sakit.
Bahan cair asam berbeda cara kerjanya dengan basa, yang mana asam
menimbulkan luka bakar luas dengan efek panas dan proses perusakan jaringan
lunak. Asam bereaksi sangat cepat dengan lapisan pelindung. Cairan korosif
memerlukan pH yang sangat rendah atau sangat tinggi untuk menyebabkan cedera
korosi. Sedangkan pelarut organik dapat menyebabkan iritasi berat pada kulit dan
membran mukosa dengan merusak jaringan lunak yang menyebabkan jalan masuk
untuk terjadinya infeksi sekunder. Selain menyebabkan iritasi, kontak dengan
bahan kimia dapat menyebabkan reaksi alergi pada kulit yang merugikan dengan
sensitisasi sistem kekebalan tubuh yang dihasilkan dari kontak bahan kimia atau
struktur bahan kimia yang serupa sebelumnya. Satu kejadian sensitisasi dapat
menyebabkan reaksi alergi walaupun kontak bahan kimia dengan dosis sangat
rendah. Reaksi alergi dapat terjadi tipe lambat maupun sedang. Contoh bahan
yang dapat menyebabkan reaksi alergi yaitu fromaldehid, kromium, nikel,
fenoliat.
Bahan kimia dalam kosmetik yang dapat menyebabkan dermatitis kontak
diantaranya paraben, formaldehid, quarternium, imidazodinyl urea, diazolidilnyl
urea, bronopol, dimethyloldimethyl hydantion, methylisothiazolinone (MCI/MI),
iodopropylnyl buthylcarbamate (IPBC), methyldibromoglutaronitrile/
phenoxyethanol, p-phenylenediamine (PPD), p-toluenediamine, petrolatum,
paraffin, cetyl alcohol, propylene glycol, isopropyl alcohol, sodium hydroxine dan
sodium lauryl ether sulfate.
Lama Kontak
Lama kontak merupakan jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan
kimia dalam hitungan jam/hari. Lama kontak antar pekerja berbeda-beda, sesuai
9
dengan proses pekerjaannya. Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak akibat kerja. Lama kontak dengan bahan kimia akan meningkatkan
terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan bahan
kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan
kelainan kulit (Fatma, 2007). Menurut Hudyono (2002), kontak kulit dengan
bahan kimia yang bersifat iritan atau alergen secara terus menerus dengan durasi
yang lama, akan menyebabkan kerentanan pada pekerja mulai dari tahap ringan
sampai tahap berat. Pekerja yang berkontak dengan bahan kimia menyebabkan
kerusakan sel kulit lapisan luar, semakin lama berkontak maka semakin merusak
sel kulit lapisan yang lebih dalam dan memudahkan untuk terjadinya penyakit
dermatitis.
2.5.2 Faktor Tidak Langsung
Suhu dan Kelembaban
Bila bahaya di lingkungan kerja tidak di antisipasi dengan baik akan
terjadi beban tambahan bagi pekerja. Lingkungan kerja terdapat beberapa
potensial bahaya yang perlu diperhatikan seperti kelembaban udara dan suhu
udara. Kelembaban udara dan suhu udara yang tidak stabil dapat mempengaruhi
terjadinya dermatitis kontak. Kelembaban rendah menyebabkan pengeringan pada
epidermis.
Semua bahan penyebab dermatitis kontak iritan seperti basa kuat dan asam
kuat, sabun, detergen dan bahan kimia organik lainnya jika diperberat dengan
turunnya kelembaban dan naiknya suhu lingkungan kerja dapat mempermudah
terjadinya dermatitis kontak iritan bila berkontak dengan kulit. Bila kelembaban
udara turun dan suhu lingkungan naik dapat menyebabkan kekeringan pada kulit
sehingga memudahkan bahan kimia untuk mengiritasi kulit dan kulit menjadi
lebih mudah terkena dermatitis.
Berdasarkan pada rekomendasi NIOSH (1999) tentang kriteria untuk
nyaman, suhu udara di dalam ruangan yang dapat diterima adalah berkisar antara
20-24 oC untuk musim dingin dan 23-28 oC untuk musim panas dengan
kelembaban 35-65 oC. Sebagai bahan pertimbangan, dimana Indonesia
merupakan daerah tropis yang mempunyai suhu yang lebih panas dan kelembaban
yang lebih tinggi, rekomendasi NIOSH (1999) perlu dikoreksi apabila diterapkan
10
di daerah tropis. Maka berdasarkan penelitian untuk ruangan ber-AC dianjurkan
suhu antara 24-26 oC atau perbedaan antara suhu di dalam dan diluar ruangan
tidak lebih dari 5 oC (NIOSH, 1999).
Masa Kerja
Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah
terpajan dengan bahan kimia. Masa kerja merupakan jangka waktu pekerja mulai
terpajan dengan bahan kimia sampai waktu penelitian. Menurut Handoko (1992)
lama bekerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja di
suatu tempat, sedangkan menurut Tim penyusun KBBI (1992) lama bekerja
adalah lama waktu untuk melakukan suatu kegiatan atau lama waktu seseorang
sudah bekerja. Masa kerja mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja.
Semakin lama masa kerja seseorang, semakin sering pekerja terpajan dan
berkontak dengan bahan kimia. Lamanya pajanan dan kontak dengan bahan kimia
akan meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Suma’mur (1996)
menyatakan bahwa semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak
dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.
Pekerja yang lebih lama terpajan dan berkontak dengan bahan kimia
menyebabkan kerusakan sel kulit bagian luar, semakin lama terpajan maka
semakin merusak sel kulit hingga bagian dalam dan memudahkan untuk
terjadinya penyakit dermatitis (Fatma, 2007).
Usia
Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
individu. Selain itu usia juga merupakan salah satu faktor yang dapat
memperparah terjadinya dermatitis kontak. Pada beberapa literatur menyatakan
bahwa kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga
kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan
pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit
menjadi lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Kondisi kulit mengalami
proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada usia tersebut, sel kulit lebih sulit
menjaga kelembapannya karena menipisnya lapisan basal. Produksi sebum
menurun tajam, hingga banyak sel mati yang menumpuk karena pergantian sel
menurun (HSE, 2000). Pada dunia industri usia pekerja yang lebih tua menjadi
11
lebih rentan terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan
dalam pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik (Cronin,
1980). Dapat dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah menyerang
pada pekerja dengan usia yang lebih tua. Menurut Djuanda (2007) anak dibawah 8
tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi. Namun pada beberapa penelitian
terdahulu pekerja dengan usia yang lebih muda justru lebih banyak yang terkena
dermatitis kontak.
Pekerja yang lebih muda biasanya ditempatkan pada area yang langsung
berhubungan dengan bahan kimia dibandingkan pekerja yang tua. Pekerja muda
juga memiliki kecenderungan untuk tidak menghargai keselamatan dan
kebersihan, sehingga berpotensi terkena kontak dengan bahan kimia. Selain itu
pekerja yang lebih tua biasanya lebih banyak memilki pengalaman. Hal ini
berbanding terbalik dengan kondisi kulit mereka (HSE, 2000).
Menurut NIOSH (2006) dari sisi usia, umur 15-24 tahun merupakan usia
dengan insiden penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Hal tersebut disebabkan
pengalaman yang masih sedikit dan kurangnya pemahaman mengenai kegunaan
alat pelindung diri. Sedangkan menurut Erliana (2008) dalam konteks determinan
kejadian dermatitis kontak berdasarkan usia dapat menyerang semua kelompok
usia, artinya usia bukan merupakan faktor resiko utama terhadap paparan bahan-
bahan penyebab dermatitis kontak, sedangkan dari perbandingan penelitian
cenderung didominasi oleh usia pekerja dalam suatu perusahaan bukan dari aspek
makin lama usia hidupnya menyebabkan resiko terhadap terjadinya dermatitis
kontak.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (Webster’s New World
Dictionary). Dalam hal penyakit kulit perempuan dikatakan lebih berisiko
mendapat penyakit kulit dibandingkan dengan pria. Berdasarkan Aesthetic
Surgery Journal terdapat perbedaan antara kulit pria dengan wanita, perbedaan
tersebut terlihat dari jumlah folikel rambut, kelenjar sebaceous atau kelenjar
keringat dan hormon. Kulit pria mempunyai hormon yang dominan yaitu
androgen yang dapat menyebabkan kulit pria lebih banyak berkeringat dan
12
ditumbuhi lebih banyak bulu, sedangkan kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria
sehingga lebih rentan terhadap kerusakan kulit. Kulit pria juga memiliki kelenjar
aprokin yang tugasnya meminyaki bulu tubuh dan rambut, kelenjar ini bekerja
aktif saat remaja, sedangkan pada wanita seiring bertambahnya usia, kulit akan
semakin kering. Dibandingkan dengan pria, kulit wanita memproduksi lebih
sedikit minyak untuk melindungi dan menjaga kelembapan kulit, selain itu juga
kulit wanita lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan untuk menderita
penyakit dermatitis.
Ras
Faktor individu yang meliputi jenis kelamin, ras dan keturunan merupakan
pendukung terjadinya dermatitis kerja (HSE, 2000). Ras Manusia adalah
karakteristik luar yang diturunkan secara genetik dan membedakan satu kelompok
dari kelompok lainnya. Bila dikaitkan dengan penyakit dermatitis, ras merupakan
salah satu faktor yang ikut berperan untuk terjadinya dermatitis (Djuanda, 2007).
Ras dalam hubungannya dengan dermatitis terlihat dari warna kulit. Setiap
individu mempunyai warna kulit yang berbeda berdasarkan ras-nya masing-
masing.
Menurut Djuanda kulit putih lebih rentan terkena dermatitis dibandingkan
dengan kulit hitam. Orang berkulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri
karena kulitnya kaya akan melanin. Melanin merupakan pigmen kulit yang
berfungsi sebagai proteksi atau perlindungan kulit (Djuanda, 2007). Sel
pembentukan pigmen (melanosit), terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari
rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah
melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan
warna kulit ras maupun individu. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit
dari pengaruh sinar matahari maupun gangguan fisis, mekanis dan kimiawi seperti
zat kimia (Djuanda, 2007).
Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya
Dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk
riwayat keluarga, aspek pekerjaan atau tempat kerja, sejarah alergi (misalnya
alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat penyakit sebelumnya (Putra,
13
2008). Pekerja yang sebelumnya atau sedang menderita penyakit kulit akibat kerja
lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi perlindungan dari
kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit yang diderita sebelumnya. Fungsi
perlindungan yang dapat menurun antara lain hilangnya lapisan-lapisan kulit,
rusaknya saluran kelenjar keringat dan kelenjar minyak serta perubahan pH kulit
(Djuanda, 2007). Umumnya pekerja di Indonesia telah bekerja pada lebih dari satu
tempat kerja. Hal ini memungkinkan ada pekerja yang telah menderita penyakit
dermatitis pada pekerjaan sebelumnya dan terbawa ke tempat kerja yang baru.
Para pekerja yang pernah menderita dermatitis merupakan kandidat utama terkena
dermatitis. Hal ini karena kulit pekerja tersebut sensitif terhadap bahan kimia. Jika
terjadi inflamasi terhadap bahan kimia, maka kulit akan lebih mudah teriritasi
sehingga akan lebih mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999)..
Personel Hygiene
Kebersihan Perorangan adalah konsep dasar dari pembersihan, kerapihan
dan perawatan badan kita. Sangatlah penting untuk pekerja menjadi sehat dan
selamat ditempat kerja. Kebersihan perorangan pekerja dapat mencegah
penyebaran kuman dan penyakit, mengurangi paparan pada bahan kimia dan
kontaminasi, dan melakukan pencegahan alergi kulit, kondisi kulit dan sensitifitas
terhadap bahan kimia. Kebersihan perorangan yang dapat mencegah terjadinya
dermatitis kontak antara lain:
1. Mencuci tangan
Personal hygiene dapat digambarkan melalui kebiasaan mencuci tangan,
karena tangan adalah anggota tubuh yang paling sering kontak dengan bahan
kimia. Kebiasaan mencuci tangan yang buruk justru dapat memperparah kondisi
kulit yang rusak. Kebersihan pribadi merupakan salah satu usaha pencegahan dari
penyakit kulit tapi hal ini juga tergantung fasilitas kebersihan yang memadai,
kualitas dari pembersih tangan dan kesadaran dari pekerja untuk memanfaatkan
segala fasilitas yang ada (Cohen, 1999).
Mencuci tangan bukan hanya sekedar megunakan sabun dan membilasnya
dengan air, tetapi mencuci tangan memiliki prosedur juga agar tangan kita benar
benar dikatakan bersih. Kesalahan dalam mencuci tangan ternyata dapat menjadi
salah satu penyebab dermatitis, misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan dan
14
kesalahan dalam pemilihan jenis sabun yang dapat menyebabkan masih
terdapatnya sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan kulit, dan
kebiasaan tidak mengeringkan tangan setelah selesai mencuci tangan yang dapat
menyebabkan tangan menjadi lembab. Oleh karena itu World Health
Organization (2005) merekomendasikan cara mencuci tangan yang baik, yaitu
minimal menggunakan air dan sabun. Cara mencuci tangan yang baik dapat
terlihat dalam gambar berikut ini.
Mencuci tangan yang baik dan benar dapat mencegah terjadinya dermatitis
kontak karena dapat menghilangkan zat-zat kimia yang menempel pada kulit
ketika selesai melakukan pekerjaan yang berkontak dengan zat.
2. Mencuci Pakaian
Kebersihan pakaian kerja juga perlu diperhatikan. Sisa bahan kimia yang
menempel di baju dapat menginfeksi tubuh bila dilakukan pemakaian berulang
kali. Baju kerja yang telah terkena bahan kimia akan menjadi masalah baru bila
dicuci di rumah. Karena apabila pencucian baju dicampur dengan baju anggota
keluarga lainnya maka keluarga pekerja juga akan terkena dermatitis. Sebaiknya
baju pekerja dicuci setelah satu kali pakai atau minimal dicuci sebelum dipakai
kembali (Hipp, 1985).
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) adalah peralatan keselamatan yang harus
digunakan oleh pekerja apabila berada pada suatu tempat kerja yang berbahaya.
Semua tempat yang dipergunakan untuk menyimpan, memproses dan membuang
bahan kimia dapat dikategorikan sebagai tempat kerja yang berbahaya.
15
Perusahaan wajib menyediakan APD sesuai dengan potensi bahaya yang ada
(Cahyono AB, 2004). Penggunaan APD salah satu cara untuk mencegah
terjadinya dermatitis kontak, karena dengan mengunakan APD dapat terhindar
dari cipratan bahan kimia dan menghindari kontak langsung dengan bahan kimia.
Berikut merupakan jenis alat pelindung diri yang perlu digunakan pada pekerjaan
yang berhubungan dengan bahan kimia, yaitu:
1. Alat Pelindung Pernafasan
Merupakan alat yang berfungsi untuk melindungi pernafasan terhadap gas,
uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang bersifat racun,
korosi maupun rangsangan. Alat pelindung pernafasan dapat berupa masker yang
berguna mengurangi debu atau partikel-partikel yang lebih besar yang masuk
kedalam pernafasan.
2. Alat Pelindung Tangan
Alat ini berguna untuk melindungi tangan dari bahan-bahan kimia, benda-
benda tajam, benda panas atau dingin dan kontak arus listrik. Alat pelindung ini
dapat terbuat dari karet, kulit, dan kain katun. Sarung tangan untuk kontak dengan
bahan kimia terbuat dari vinyl dan neoprene dan bentuknya menutupi lengan.
3. Alat Pelindung Kaki
Alat ini berguna untuk melindungi kaki dari benda-benda tajam, larutan
kimia, benda panas dan kontak listrik.
16
4. Pakaian Pelindung
Alat ini berguna untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari
percikan api, panas, dingin, cairan kimia dan oli, Bahan dapat terbuat dari kain
drill, kulit, plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting untuk melindungi
tubuh dari bahaya pekerjaan yang dapat mengakibatkan penyakit atau kecelakaan
kerja. Agar terhindar dari cipratan bahan kimia dan menghindari kontak langsung
dengan bahan kimia perlu menggunakan APD seperti pakaian pelindung, sarung
tangan, masker dan safety shoes. Penggunaan APD salah satu cara untuk
mencegah terjadinya dermatitis kontak.
2.6 PATOGENESIS
Mekanisme terjadinya dermatitis kontak pada kulit akan dibahas dibawah
ini (Djuanda, 2007) :
1. Dermatitis Kontak Iritan
Pada dermatitis kontak iritan, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel
melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi
keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,
17
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria
atau komponen inti. Ketika terjadi kerusakan sel maka akan timbul gejala
peradangan klasik di tempat terjadinya kontak berupa eritema, endema, panas,
nyeri bila iritan kuat. Bila iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga
mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.
2. Dermatitis Kontak Alergi
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
mengikuti respon imun yang diperantai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV.
Reaksi ini timbul melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Fase
sensitisasi terhadap sistem kekebalan tubuh berlangsung selama 2-3 minggu. Pada
fase ini, hapten (zat kimia atau antigen yang belum di proses) masuk ke dalam
epidermis melalui stratum korneum dan ditangkap oleh sel langerhans yang
kemudian akan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta di
konjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Sel langerhans
melewati membran basal bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui
kelenjar limfe. Di dalam kelenjar tersebut sel langerhans mempresentasikan
kompleks HLA-DR-antigen kepada sel T spesifik untuk di proses (di kenali).
Setelah di proses, turunan sel ini yaitu sel-T memori akan meninggalkan kelenjar
getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi
tersensitisasi. Jika individu sudah tersensitisasi, maka saat kontak dengan zat yang
sama dapat menyebabkan reaksi alergi walaupun kontak bahan kimia dengan
dosis sangat rendah, proses ini disebut fase elisitasi. Fase elisitasi umumnya
berlangsung antara 24-48 jam.
18
2.7 GAMBARAN KLINIS
Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan bergantung pada keparahan
dermatitis. Dermatitis kontak alergi umumnya mempunyai gambaran klinis
dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang bersifat polimorf dan berbatas
tegas. Dermatitis kontak iritan umumnya mempunyai ruam kulit yang lebih
bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis kontak alergi.
1. Fase Akut
Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi
iritan. eadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam ataupun oleh
detergen. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam
waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi
ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang
cukup tinggi.
Pada dermatitis kontak alergi akut, kelainan kulit umumnya muncul 24-48
jam setelah melalui proses sensitisasi. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya
berupa eritema (kemerahan) dan edema (bengkak), sedangkan pada yang berat
selain eritema (kemeraham) dan edema (bengkak) yang lebih hebat disertai pula
vesikel atau bula (tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan terjadi erosi dan
eksudasi (cairan). Lesi cederung menyebar dan batasnya kurang jelas. Dalam fase
ini keluhan subyektif berupa gatal (Djuanda, 2007).
2. Fase Kronis
Pada dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan
lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama
berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis kontak iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain
baru mampu untuk menyebabkan menyebabkan dermatitis kontak iritan. Kelainan
baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor
paling penting.
19
Pada dermatitis kontak alergi kronik merupakan kelanjutan dari fase akut
yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung
simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi, krusta serta eritema
ringan. Walaupan bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini
sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain
yang tidak dikenal (Djuanda, 2007).
Selain berdasarkan fase respon peradangannya, gambaran klinis dermatitis
kontak dapat juga dilihat menurut prediksi regionalnya. Hal ini akan memudahkan
untuk mencari bahan penyebabnya (Trihapsoro, 2003).
1. Dermatitis pada tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering
terdapat pada bagian tangan. Demikian pula dermatitis kontak akibat kerja paling
banyak ditemukan di tangan. Hal tersebut dikarenakan tangan merupakan bagian
tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan kegiatan, sehingga sering
berkontak langsung dengan bahan kimia.
2. Dermatitis pada wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, obat
topikal, alergen yang ada di udara, nikel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau
sekitarnya mungiun disebabkan oleh lipstik, pasta gigi dan getah buah – buahan.
Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona
mata dan obat mata.
20
3. Dermatitis pada lengan
Lengan juga merupakan tempat yang cukup sering dijumpai terkena
dermatitis karena barang – barang seperti jam tangan (mengandung bahan nikel),
debu semen, dan tanaman tertentu secara langsung mengenai lengan. Selain itu di
ketiak juga bisa terkena karena penggunaan deodorant. Pada pekerja walaupun
lengan bukan bagian tubuh yang sering berkontak dengan bahan kimia, tetapi
tidak menutup kemungkinan untuk terciprat bahan kimia saat melakukan
pekerjaan.
4. Dermatitis pada kaki
Dermatitis pada kaki biasanya terjadi pada paha dan tungkai
bawah.nDermatitis pada bagian ini disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci
(nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (anestesi lokal, neomisin,
etilendiamin), semen,sandal dan sepatu. Pada pekerja kemungkinan terjadinya
dermatitis pada kaki akibat tumpahan atau cipratan bahan kimia saat melakukan
pekerjaan.
21
5. Dermatitis pada badan
Terjadi karena tekstil, zat warna, kancing logam, detergen, bahan pelembut
dan pewangi pakaian.
6. Dermatitis pada leher
Sering disebabkan kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, dan zat
pewarna pakaian.
2.8 DIANOSIS KLINIS
Diagnosis dapat ditentukan berdasarkan wawancara yang jelas, cermat dan
teliti, dan bentuk gejala klinis yang terjadi. diagnosa yang dilakukan dalam
mengidentifikasi jenis dermatitis kontak. Metode - metode tersebut yaitu dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis dan juga pemeriksaan penunjang
(Firdaus, 2002).
22
a. Anamnesis
Yang perlu ditanyakan antara lain ialah :
Apakah sudah ada penyakit kulit sebelum masuk kerja di
perusahaan uang sekarang
Jenis pekerjaan penderita
Pengaruh libur/istiraht terhadap penyakitnya
Apakah ada karyawan lain menderita penyakit yang sama
Riwayat alergi penderita atau keluarganya
Prosedur produksi di tempat kerja dan bahan-bahan yang
digunakan ditempat pekerjaan.
Apakah kelainan terjadi ditempat-tempat yang terpajan
Bahan yang dipakai untuk membersihkan kulit dan alat proteksi
yang dipakai
Lingkungan pekerjaan, tempat kerja terutama mengenai kebersihan
dan temperature
Kebiasaan atau hobi penderita yang mendorong timbulnya
penyakit
b. Pemeriksaan Klinis
Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan
kontak bahan yang dicurigai; yang tersering ialah daerah yang terpajan,
misalnya : tangan, lengan, muka, atau anggota gerak.
Kemudian tentukan ruam kulit yang ada, kelainan kulit yang akut
dapat terlihat berupa eritem, vesikel, edema, bula, dan eksudasi. Kelainan
kulit yang kronis berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, kering dan
skuamasi. Bila ada infeksi terlihat pustulasi. Bila ada penumbuhan tampak
tumor, eksudasi, lesi verukosa atau ulkus.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah, urine, tinja hendaknya dilakukan secara lngkap. Bila
ada infeksi bakteri hendaknya pus atau nanah dibiak dan selanjutnya
dilakukan tes resistensi. Bila ada jamur perlu diperiksa kerokan kulit
dengan KOH 10% dan selanjutnya dibiak.
d. Percobaan tempel/ uji tempel
23
Karena dermatitis akibat kerja sebagian besar berbentuk dermatitis kontak
alergis (80%) maka uji temple perlu dikerjakan untuk memastikan
penyebab alegennya.
Bahan tersangka dilarutkan dalam pelarut tertentu dengan konsentrasi
tertentu. Sekarang sudah ada bahan tes temple yang sudah standard an
sisebut unit uji temple; unit ini terdiri dari atas Filter paper disc, yang
dapat mengabsorbsi bahan yang akan diuji.
Bahan yang akan diuji ditetskan di atas unit uji temple, kemudian ditutup
dengan bahan impermeable, selanjutnya ditutup lagi dengan plester yang
hipoalergis. Pembacaan dilakukan setelah 48, 72 dan 96 jam. Setelah
penutup dibuka, ditunggu dahulu 15-30 menit untuk menghilangkan efek
plester.
Hasil 0 : bila tidak ada reaksi
+ : bila hanya ada eritema
++ : bila ada eritema, papul dan vesikel
+++ : bila ada edema, vesikel
2.9 DIAGNOSA BANDING
Tabel dibawah ini adalah perbedaan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan
Dermatitis Kontak Alergi (DKA).
DKA DKI Serangan Mendadak dalam 1-2 hari
pada orang tersesitisasi. Lambat, minggu, bulan, tahun
Keluhan Gatal. Perih. Pemeriksaan Predominan efloresensi akut
dan sub akut. Eritema, edem, vesikel, eksudasi
Predominan efloresensi khronis : kering. Selanjutnya eritem likhenifikasi, ekskoriasi
Penyebab Nikel, khrom, getah tumbuhan, karet, plastik, cat, kosmetik, obat
Air, sabun, deterjen, pelarut
Batas Tidak Jelas Jelas Bentuk Klinis
Gejala hebat; eritema, Bula, dan batas tegas, Polimorf
Gejala ringan; eritema, erosi, dan batas tidak tegas, Monomorf
Perjalanan penyakit
Sensitifitas bertahan lama, dapat terjadi toleransi
Condong khronis
Tes tempel + - Target Pada orang yang sensitif Semua orang Bentuk Lesi Tidak sesuai sesuai
2.10 PENGENDALIAN RESIKO
24
Usaha pencegahan merupakan tindakan yang paling efektif dalam
menganggulangi penyakit dermatitis kontak. Pihak managemen harus
mengidentifikasi potensial bahaya, termasuk masalah bahan kimia yang
digunakan dan pengaruhnya terhadap pekerja untuk mengurangi pekerja untuk
mengurangi resiko yang mungkin timbul dikemudian hari (SHARP, 1999).
Usaha pencegahan dilaksanankan dengan cara pengendalian teknis,
administrative maupun perubahan perilaku pekerja melalui program perduli kulit
(skin care program), yaitu dengan cara sebagai berikut (SHARP, 1999) :
1. Membuat lingkungan mempunyai suhu, kelembaban yang sesuai
melalui penerapan ventilasi udara yang memenuhi standar.
2. Memperbaiki teknik proses analisis sesuai prosedur yang lebih efisien
dan efektif, misalnya substitusi bahan kimia.
3. Menerapkan alat exhaust atau inhaust udara di beberapa titik lokasi
kerja.
4. Memonitor secara berkala suhu, kelembaban dan sirkulasi udara di
dalam lingkungan kerja.
5. Memakai alat pelindung diri berupa sarung tangan, pakaian
laboratoruim yang tertutup atau berlengan panjang, sepatu boots dan
masker.
6. Rekrutmen pekerja secara selektif untuk mengetahui riwayat atopi
pekerja atau keluarga pekerja.
7. Penyuluhan kesehatan bagi pekerja sehingga mampu menjaga
kebersihan pribadi dan melakukan upaya pencegahan pribadi.
2.11 PENATALAKSANAAN
Tindakan pertama ialah memutus mata rantai kontak dengan penderita,
selanjutnya dapat diberikan pengobatan yang sesuai dengan jenis penyakitnya.
Bila kelainan kulit akut dapat diberi obat kompres, sampai eksudasi kering.
Sesudah itu dapat dilanjutkan dengan diberi salep yang mengandung
kortikosteroid. Bila ada infeksi sekunder dapat diberi antibiotika seperti tetrasiklin
atau eritromisin. Bila ada infeksi jamur diberi obat anti jamur.
Pengobatan medikamentosa terdiri dari :
Pengobatan sistemik :
25
o Kortikosterid, hanya untuk kasus yang berat dan digunakan
dalam waktu yang singkat.
Prednisone 5-10 mg/dosis, 2-3x/24 jam, dosis anak : 1
mg/kgBB/hari
Deksametason 0,5-1 mg/dosis, 2-3x/24 jam, dosis anak
: 0,1 mg/kgBB/hari
Triamsinolon 4-8 mg/dosis, 2-3x/24 jam, dosis anak : 1
mg/kgBB/hari
o Antihistamin
Klorfeneramin maleat 3-4 ing/dosis, 2-3x/24 jam, dosis
anak : 0,09 mg/kg/dosis 3x/24 jam
Difenhidramin 10-20 mg/dosis im 1-2x/24 jam, dosis
anak: 0,5 mg/kg/dosis 1-2x/24 jam
Loratadin 1 tablet/hari
Pengobatan topikal :
o Bentuk akut dan eksudatif diberi kompres larutan garam
faali (NaCl 0,9%)
o Bentuk kronik dan kering diberi krim hidrokortison 1%
atau Diflukortolon valerat 0,1% atau krim betametason
valerat 0,005-0,1%
2.12 PROGNOSIS
Prognosis dermatitis kontak umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dan
atau faktor pencetus dapat dihindari serta patuh menggunakan obat sesuai dosis
yang dianjurkan.
Bila bahan iritan dan alergen penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik, keadaan ini
sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifactor.
Sedangkan pada DKA prognosisnya Kurang baik dan menjadi kronis bila
bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (Dermatitis atpik, dermatitis
numularis, psoriasis) atau terpajan alergen yang tidak mungkin dihindari.
BAB III
26
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dengan kemajuan industri sekarang ini, penyakit akibat kerja diperkirakan
akan semakin banyak dan salah satunya adalah dermatitis akbat kerja. Umumnya
dermatitis akibat kerja dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
kimiawi, fisik atau mekanis, dan biologis. Dermatitis kontak merupakan kelainan
kulit yang terbanyak diantara dermatitis akibat kerja.
Dalam referat ini telah diterangkan bahwa dermatitis kontak dapat dibagi
menjadi dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi yang mempunyai
penyebab, patogenesis dan gejala klinis yang berbeda. Untuk membedakan DKA
dan DKI dibutuhkan penegakkan diagnosis yang tepat, sehingga dapat
memberikan terapi yang sesuai.
Prevalensi dermatitis akibat kerja dapat diturunkan dengan pencegahan
yang sempurna, seperti ; pemberian edukasi, penggunaan alat pelindung diri,
pelaksanaan uji tempel, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan kesehatan
secara sukarela dan pengembangan teknologi di tempat kerja, sehingga prognosis
menjadi lebih baik.
3.2 SARAN
Dengan selesainya referat ini pembaca dapat mengambil manfaat dan
pengetahuan dari makalah ini serta dapat menjaga kesehatan akibat kerja sebaik
mungkin dengan melakukan pengendalian resiko terjadinya dermatitis akibat
kerja.
DAFTAR PUSTAKA
27
Agius R. 2006. Occupational Exposure and its Limit, Practical Occupational
Medicine. www.agius.com. Diakses 01 November 2012.
Cahyono A. 2004. Keselamatan Kerja Bahan Kimia di Industri, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Cohen. DE. 1999. Occupational Dermatosis, Handbook of Occupational Safety and
Health, second edition, Canada.
Cronin E. 1980. Contact Dermatitis. Ediburgh London dan New York: Churchill
Livingstone.
Djuanda Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 5 Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Erliana. 2008. Hubungan Karakteristik Individu dan Penggunaan Alat Pelindung Diri
dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Paving Block CV. F.
Lhoksumawe. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Firdaus U. 2003. Dermatitis Kontak Akibat Kerja: Penyakit Kulit Akibat Kerja
Terbanyak di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no.5.
Fredberg I.M, et all. 2003. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 6th Ed,
McGraw-Hill Professional, New York.
Gilles L, Evan R, Farmer and Antoinette F H. 1990. The Pathophysiology of Irritant
Contact Dermatitis. In : Jacksin EM, Goldner R, editors Irritant Contact
Dermatitis, Clinical Dermatology, New York : Marcel Dekker.
Hudyono J. 2002. Dermatosis akibat kerja. Majalah Kedokteran Indonesia,
November 2002.
HSE. 2000. The Prevalence of Occupational Dermatitis among Work in The Printing
Industry and Your Skin dalam hsebooks.co.uk.
HSE UK. 2004. Medical Aspect Of Occupational Skin Disease. Guidance Note MS
24, Second Edition. Norwich, England.
Hayakawa, R. 2000. Contact Dermatitis. Med.Sci. Nagoya.
Hipp, LL. 1985. Industrial Dermatoses. Chicago, USA: National Safety Council.
Indonesian Science Forum, Dermatitis Kontak Iritan, www.indonesiaindonesia.com,
Diakses tanggal 2 November 2012.
Kosasih A. 2004. Dermatitis Akibat Kerja. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta.
28
Lestari, Fatma. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis Kontak
Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Skripsi Universitas Indonesia.
Michael, J. A. 2005. Dermatitis, Contact, Emedicine; www.emedicine.com, Diakses
tanggal 01 november 2012.
NIOSH. 2006. Occupational and Environment Exposureof Skin to Chemic, dala,
http://www.mines.edu/outreach/oeesc.
Orton D.I, Wilkinson J.D. 2004. Cosmetic Allergy : Incidence, Diagnosis and
Managemen. Am J Clin Dermatol.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI), 2009,
Kategori Galeri Kesehatan; Dermatitis Kontak, www.perdoski.org, Diakses 01
November 2012
Putra, B. I. 2008. Penyakit Kulit Akibat Kerja Karena Kosmetik. Universitas
Sumatera Utara.
SHARP. 1999. Preventing Occupational Dermatitsis. Washington State Departement
of Labour and Industries.
Suma’mur PK. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT Gunung
Agung.
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik,Medan. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Widyastuti, P. 2006. Dermatitis Akibat Kerja . Bumi Aksara. Jakarta.
World Health Organization (WHO). 2005. WHO Guidelines on Hand Hygiene in
Health Care (Advance Draft): A Summary. Switzerland: WHO Press.
29