Referat Dimas Wicaksono

download Referat Dimas Wicaksono

of 16

description

baru

Transcript of Referat Dimas Wicaksono

REFERATOFTALMIA SIMPATIKA

Disusun Oleh:Dimas wicaksono406148020

Pembimbing :dr. Saptoyo Argo Morosidi Sp.MKEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARAPERIODE 13 APRIL 16 MEI 2015RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI BOGOR

BAB IPENDAHULUAN

Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Sembilan puluh persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah cidera. Penyebabnya tidak diketahui, namun penyakitnya agaknya berkaitan dengan hypersesitivity terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen dari uvea. Kondisi ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraokuler tanpa komplikasi terhadap katarak atau glaucoma. Oftalmia simpatika terjadi setelah salah satu mata terkena trauma tembus. Pada kasus yang jarang, luka tembus pada mata juga termasuk luka karena pembedahan. Mata yang cidera disebut exciting eye ( mata terangsang ) dan mata yang tidak cidera disebut sympathizing eye (yang simpatik). Patogenesis oftalmia simpatika belum jelas, tetapi diduga adanya keterlibatan dari respon inflamasi autoimun terhadap melanosit yang dimediasi sel T. Gejala klinis kunci adalah gangguan penglihatan dan beberapa gejala inflamasi. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat trauma mata atau pembedahan atau gambaran klinis yang ditemukan. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk lebih mengetahui tentang oftalmia simpatika dan bagaiman penanganannya.

BAB IIANATOMI

Lapisan bola mata, Tunicae Bulbi dibungkus oleh 3 jaringan, yaitu :

II.1. Lapisan mata luar, Tunika fibrosa bulbi Lapisan tanduk, cornea (sangat melengkung, jernih seperti kaca) Jaringan kulit, sklera (sedikit melengkung, tidak tembus pandang, pada anak-anak putih kebiruan, pada orang dewasa putih kekuningan).

Sklera merupakan jaringan ikat kenyal dan memberikan bentuk pada mata, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan aklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.

II.2. Lapisan mata tengah, tunica vasculosa bulbiJaringan uvea merupakan jaringan vaskuler. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki oleh darah bila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakkoroid.

Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid. Pada iris didapatkan pupil yang oleh 3 susunan otot dapat mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam bola mata. Otot dilator dipersarafi oleh parasimpatis, sedang sfingter iris dan otot siliar dipersarafi parasimpatis. Otot siliar yang terletak di badan siliar mengatur bentuk lensa untuk kebutuhan akomodasi.

Badan siliar yang terletak dibelakang iris menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor), yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada pangkal iris di batas kornea dan sklera.

II.3. Lapisan mata dalam (retina), tunica interna bulbiLapisan ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak.

Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarnaa, tembus pandang. Yang terlihat merah pada fundus adalah warna koroid. Retina ini terdiri dari macam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueller, membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia.

Lapisan-lapisannya dari dalam ke luar terdiri dari : Membrana limitans interna Lapisan-lapisan serabut saraf (axon dari sel-sel ganglion) Lapisan sel-sel ganglion Lapisan plexiform dalam Lapisan nuclear dalam (nucleus dari sel bipoler) Lapisan plexiform luar Lapisan nuclear luar (nucleus dari batang dan kerucut) Membrana limitans eksterna Lapisan batang dan kerucut (alat-alat untuk melihat, penerima cahaya) Lapisan epitel pigmen

Membrana limitans interna letaknya bedekatan dengan membrane hialodea dari badan kaca. Bila terjadi robekan di retina, maka cairan badan kaca akan melalui robekan ini, masuk ke dalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina.

Dimana aksis mata memotong retina, terletak macula lutea. Ditengah-tengahnya terdapat lekukan dari fovea centralis. Pada funduskopi, tempat macula lutea tampak lebih merah dari sekitarnya dan pada tempat fovea centralis seolah-olah ada cahaya, yang disebut reflex fovea, yang disebabkan lekukan pada fovea centralis.

Gambar 2. Anatomi mata

BAB IIIOFTALMIA SIMPATIKA

III.1. DefinisiOftalmia simpatika merupakan penyakit mata autoimun dimana didapatkan setelah trauma tembus pada satu mata yang akan menyebabkan inflamasi pada mata yang tidak terluka. Mata yang cidera disebut exciting eyes (terangsang) dan mata yang tidak terluka disebut sympathetic eyes (yang simpatik). Perlukaan mata akan mengenai uvea, terutama pada badan silier, akan menyebabkan pengeluaran pigmen uvea ke dalam peredaran darah. Pemicu formasi antibody yang menyebabkan uveitis pada mata yang cidera secara progresiv menyebabkan hilangnya kemampuan penglihatan. Gejalanya adalah pandangan kabur dan nyeri pada kedua mata.

III.2. EpidemiologiKebanyakan kasus oftalmia simpatika diikuti oleh trauma bola mata pada bagian uvea, terutama badan silier. Trauma karena kecelakaan diperkirakan mencapai 65% kasus, dan 25% karena luka operasi. Liddy dan Stuart melaporkan 0,19% disebabkan oleh trauma tembus dan 0,007% karena pembedahan intraokuler. Oftalmia simpatika lebih banyak terjadi karena trauma. Pada pasien tua juga memiliki risiko yang tinggi terkena karena pembedahan intraokuler lebih banyak dilakukan pada pasien tua. Ras dan jenis kelamin tidak berpengaruh pada penyakit ini. Prosedur pembedahan yang paling sering menyebabkan oftalmia simpatika adalah ekstrasi katarak (bila terjadi komplikasi), pembedahan iris (termasuk iridektomi), perbaikan perlengketan retina, bedah vitreoretinal. Beberapa jenis pembedahan lain yang dapat menyebabkan terjadinya oftalmia simpatika antara lain parasintesis siklodialisis, keratektomi, dan risiko terjadi oftalmia simpatika meningkat apabila pembedahan mata diikuti dengan pembedahan yang lain, terutama pada segmen posterior bola mata. Kejadian ofalmia simpatika postvitrektomi diperkirakan mencapai 0,01%. Hanya sedikit kasus oftalmia simpatika yang disebabkan bukan karena trauma pada mata.

III.3. Gambaran KlinisOftalmia simpatika dimulai setelah periode laten cidera mata. Secara umum, 65% kasus oftalmia simpatika terjadi setelah 2 minggu sampai 2 bulan setelah trauma mata, dan 90% terjadi pada 1 tahun pertama setelah trauma mata. Oftalmia simpatika juga pernah dilaporkan pernah terjadi 5 hari setelah trauma mata. Pencegahan utama oftalmia simpatika adalah dengan melakukan enukleasi bola mata yang terkena trauma (exciting eye), sebaiknya dilakukan secepatnya, paling lama 2 minggu setelah trauma.Pasien mengeluh tentang fotofobia, kemerahan, dan kaburnya penglihatan. Dengan slit-lamp atau kaca pembesar tampak kilauan dalam kedua mata. Mungkin ada nodul iris. Sel-sel vitreus dan eksudat putih kekuningan di lapis dalam retina ((nodul Dalen-Fuchs) tampak di segmen posterior.Diagnosis, terutama diagnosis awal, sangat penting dilakukan agar segera dapat dilakukan pengobatan yang tepat dan agresif karena untuk menyelamatkan penglihatan. Gejala klinis yang timbul pada penyakit ini antara lain: perubahan kemampuan akomodasi fotofobia epifora

Tanda awal yang ditemukan pada pemeriksaan fisik antara lain : derajat rendah, uveitis presisten yang berhubungan dengan granulomatosa (mutton fat, merupakan nodul kecil berpigmen pada lapisan epitel pigmen retina, dan uvea menipis) presipitat keratik putih pada iris terdapat nodul infiltrasi, sinekia anterior perifer, neovaskularisasi iris, oklusi pupil, katarak, ablasi retina eksudatif, dan papilitis penipisan iris difus atau iris noduler, lesi putih kekuningan (Dalen-Fuchs nodul) penipisan dan infiltrasi koroidAdanya Dalen-Fuchs nodul merupakan tanda klasik oftalmia simpatika, nodul tersebut akan muncul di bagian mana saja dari fundus okuli tetapi yang paling sering pada bagian pertengahan perifer. Merupakan lesi putih kekuningan, diameter 60 70 mikron, ditemukan pada ruangan subretinal pada satu dari tiga kasus.

Mutton-fat. Mata dengan oftalmia simpatika memberikan gambaran mutton-fat keratik presipitat ditandai dengan inflamasi intraocular granulomatosa.

inflamasi granulomatosa bilateral menyebabkan kebutaan pada kedua mata.

Oftalmia simpatika dapat dibedakan dari uveitis granulomatosa lain karena riwayat trauma atau bedah okuler dan lesinya bilateral, difus, dan (umumnya) akut, bukannya unilateral, setempat, dan menahun.

III.4. Pathogenesis Walaupun oftalmia simpatika belum diketahui secara pasti, para dokter mempunyai dugaan yang dapat menjelaskan bagaimana trauma pada satu mata dapat menyebabkan inflamasi pada kedua mata. Hipotesis seorang penulis pada abad 19 mengemukakan penyabaran inflamasi melalui saraf optic dan ciasma dari satu mata ke mata yang lain, dugaan lain adanya keterlibatan saraf trigeminal sebagai rute transmisi.Mata yang cidera (terangsang) mula-mula meradang dan mata sebelahnya (yang simpatik) meradang kemudian. Secara patologik, terdapat uveitis granulomatosa difus. Sel-sel epiteloid, bersama sel raksasa dan limfosit, membentuk tuberkel tanpa perkejuan. Dari traktus uvealis, proses radang itu menyebar ke nervus optikus dank e pia dan araknoid sekitar nervus optikus.

Beberapa mekanisme tubuh yang diduga terlibat dalam terjadinya oftalmia simpatika antara lain :

Teori reaksi hipersensitifDikemukakan pertama kali pada tahun 1903, diduga adanya pigmen uveal sebagai antigen pemicu. Gambaran fagositosis melanin terlihat pada pemeriksaan histopatologi yang memperkuat dugaan adanya keterlibatan pigmen, tetapi penelitian ini masih lemah, dan melanin secara umum bersifat nonantigenik.

Oftalmia simpatika berhubungan dengan Human Leukosit Antigen (HLA). Sebagai contoh, HLA-A11 pernah dilaporkan ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pada pasien oftalmia simpatika.

Peranan Antigen BakteriWalaupun berhubungan dengan trauma, paparan jaringan uvea, dan gambaran proses inflamasi granulomatosa diduga merupakan proses yang infeksius, belum pernah dilaporkan adanya organisme penyebab sampai sekarang. Salah satu factor penyebab yang pernah dilaporkan adalah Microbacterium tuberculosis, Bacillus subtilis, Rickettsia dan virus vitreus. Telah lam adiketahui bahawa oftalmia simpatika sangat jarang disebabkan oleh endoftalmitis. Produk biologis bacteria (contoh : dinding sel bakteri) yang ada pada luka, dapat menjadi imunostimulator dan dapat memacu respon imun local. Walaupun jaringan uveal merupakan antigen lemah, antigenitasnya dapat meningkatkan racun stapilokokus.Hal tersebut memperkuat bahwa penyebab yang paling berperan adalah trauma mata. Pertama terjadi drainase dari uvea atau antigen retina, atau keduanya, terjadi melalui limfatik konjungtiva, merupakan suatu mekanisme abnormal. Kedua sejumlah kecil pemicu, seperti dinding sel bakteri atau imunostimulator yang lain yang memasuki mata melalui perforasi. Produk-produk tersebut akan menginduksi respon imun local, yang akan menyebabkan mekanisme supresan tergantung pada status imun masing-masing individu. Fenomena tersebut merupakan respon inflamasi yang akhirnya dikenal secara klinis sebagai oftalmia simpatika.

III.6. PenataksanaanTerapi oftalmia simpatika diberikan berdasarkan penyebab yang diduga. Terapi medikasi yang diberikan terdiri dari agen anti-inflamasi sistemik, termasuk kortikosteroid dan obat-obat-obatan imunomodulasi. Enukleasi Metode klasik pencegahan oftalmia simpatika adalah melakukan enukleasi pada mata yang terluka sebelum penyakit tersebut berkembang ke mata yang satunya. Enukleasi yang dilakukan pada mata yang terluka dalam 2 minggu setelah trauma, merupakan pencegahan perkembangan oftalmia simpatika, tetapi hal tersebut bukan merupakan pencegahan absolute oftalmia simpatika. Oftalmia simpatika kadang berkembang setelah dilakukan pembedahan. Pengambilan isi bola mata (evisceration) bukanlah alternatif enukleasi. Oftalmia simpatika dapat terjadi setelah dilakukan pengambilan isi bola mata, kemungkinan merupakan akibat adanya sisa jaringan uveal pada saluran sclera. Biasanya tidak dianjurkan untuk dialakukan kecuali pada pasien endoftalmitis atau pada pasien yang memiliki keadaan umum yang buruk, yang tidak memungkinkan melakukan enukleasi. Apabila gejala pasti telah ditemukan pada mata yang sehat, dilakukan enukleasi pada mata yang cidera, kecuali apabila didapatkan kebutaan dan nyeri, maka enukleasi hanya memberi sedikit atau tidak berpengaruh sama sekali, bahkan tidak disarankan. Beberapa peneliti menyarankan, enukleasi dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala oftalmia simpatika muncul akan membarikan prognosis visual yang lebih baik. Apabila dilakukan enukleasi lebih dini akan memberikan tajam penglihatan yang lebih baik dari 20/50 dan lebih sedikit terjadi kekambuhan daripada yang dilakukan enukleasi terlambat. Enukleasi disarankan dilakukan pada mata yang sudah tidak memiliki persepsi terhadap cahaya.

Kortikosteroid Apabila oftalmia simpatika telah berkembang, lini pertama terapi sistemik adalah kortikosteroid. Sebelum digunakannya kortikosteroid sebagai pilihan terapi, prognosis visual sangatlah buruk, dan insidensi kebutaan mencapai 70%. Dosis awal sebaiknya diberikan kortikosteroid dosis tinggi dan dilanjutnya sampai 6 bulan setelah adanya perbaikan inflamasi. Pada dewasa, pada minggu pertama diberikan dosis oral 100 200 mg prednisone. Dosis awal dapat diturunkan kira-kira 5 mg/minggu, sampai respon inflamasi dapat dikendalikan, sebagai dosis rumatan dapat diberikan 5-10 mg/hari. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diawasi tekanan darah dan level glukosa darah. Apabila didapatkan infeksi harus ditangani terlebih dahulu sebelum pemberian kortikosteroid. Walaupun terapi kortikosteroid sangat efektif, tetapi kortikosteroid tidak dapat mencegah perkembangan oftalmia simpatika. Dari beberapa penelitian, dilaporkan bahwa oftalmia simpatika tetap berkembang walaupun telah diberikan terapi kortikosteroid sistemik.

Agen imunosupresanPada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid sebagai terapi tunggal tidak efektif. Selain itu, penggunaan kortikosteroid jangka panjang sebaiknya dihindari pada pasien yang memiliki masalah kesehatan dan komplikasi oftalmologi atau sistemik, seperti pada diabetes mellitus, glaucoma tak terkontrol, atau masalah psikologis. Pada pasien seperti ini, terapi alternative dengan agen imunosupresan efektif dalam menekan inflamasi, sehingga dapat dilakukan penurunan dosis kortikosteroid.Preparat yang direkomendasikan antara lain cyclosporine A ( 5 mg/kg/hari ) pada pasien usia muda sampai 40 tahun atau azathioprine ( 2 mg/kg/hari yang dibagi dalam 3 dosis ) pada pasien usia tua. Karena mata dengan oftalmia simpatika biasanya diinfiltrasi banyak sel T teraktivasi, cyclosporine, merupakan inhibitor poten terhadap fungsi sel T, dapat menjadi agen terapi yang sangat efektif. Dosis yang disarankan untuk kombinasi cyclosporine dan kortikosteroid adalah : cyclosporine A ( 3-5 mg/kg/hari) dan prednisone ( 15-20 mg/hari).

III.7. Prognosis Oftalmia simpatika merupakan penyakit serius yang dapat menyebabkan kemampuan visual yang sangat buruk dandapat menyebabkan kebutaan pada dua mata. Apabila diagnosis awal dan terapi tepat, pasien dengan oftalmia simpatika memiliki kesempatan untuk mempertahankan kemampuan visualnya tetap baik. Apabila dilakukan enukleasi awal pada mata yang terangsana dan diberikan terapi kortikosteroid, prognosis pasien oftalmia simpatika lebih baik, kemampuan penglihatan dapat tetap dipertahankan.Quo ad visam: dubia at malamQuo ad vitam: dubia at bonamQuo ad sanam: dubia at malamQuo ad kosmetikam: dubia at malam

BAB IVPENUTUP

Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral yang menghancurkan, yang timbul 10 hari sampai beberapa tahun setelah cidera mata tembus di daerah corpus ciliare, atau setelah kemasukan benda asing. Pada kasus yang jarang, luka tembus pada mata juga termasuk luka karena pembedahan. Mata yang cidera disebut exciting eye ( mata terangsang ) dan mata yang tidak cidera disebut sympathizing eye (yang simpatik). Pathogenesis terjadinya oftalmia simpatika belum diketahui secara jelas, tetapi diduga terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: reaksi hipersensitivitas, adanya reaksi autoimun, adanya hubungan dengan HLA, dan keterlibatan bakteri dalam memicu terjadinya oftalmia simpatika. Gejala utama yang dikeluhkan pasien antara lain: fotofobia, kemerahan, dan kaburnya penglihatan. Adanya nodul Delen-Fuchs merupakan gambaran histopatologi utama oftalmia simpatika. Penatalaksanaan pasien oftalmia simpatika adalah dengan melakukan enukleasi pada mata terangsang, Selain itu terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid dan imunomodulator memberikan hasil yang baik. Apabila mendapat penanganan yang cepat dan tepat, pasien oftalmia simpatika masih memiliki daya penglihatan yang cukup baik, tetapi bila terlambat dapat menyebabkan kebutaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym, 2009, Sympathetic Ophthalmia, Wikipedia, http://www.wikipedia.org

Anonym, Sympathetic Ophthalmia, http://www.google.com

Damico, M, D., Kiss, S., dan Young, L. H.,2005 Sympathetic Ophthalmic, Informaworld. http://www.informaworld.com

Reynard, M., Riffenburg, R.S., dan Maes, E. F., 1983, Effect of corticosteroid treatment and enucleation on the visual prognosis of sympathetic ophthalmia, Am J Ophthalmol, http://www.ncbi.nlm.nih.gov

Ward, T. P., Symphathetic Ophthalmia http://www.google.com

Wijaya, N., 1993, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Jakarta

Vaughan, D., G., Asbury, T., dan Riordan-Eva, P., 1995, Oftalmologi Umum, ed 14th, Jakarta: Widya Medika10