Referat Diabetes melitus

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara adekuat. Diabetes melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam 4 . WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6 . Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Berdasarkan data badan pusat statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi Diabetes Mellitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural 7,2% maka diperkirakan pada 3

description

NOVITA AGUSTINA

Transcript of Referat Diabetes melitus

Page 1: Referat Diabetes melitus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa didalam

darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin

secara adekuat. Diabetes melitus suatu kelompok penyakit metabolik dengan

kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali

normal dalam waktu 2 jam 4.

WHO sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang

tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara

umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawai

akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif

dan gangguan fungsi insulin 6.

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

peningkatan angka insiden dan prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di berbagai

penjuru dunia. Berdasarkan data badan pusat statistik Indonesia (2003)

diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun sebesar 133 juta

jiwa. Dengan prevalensi Diabetes Mellitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan

daerah rural 7,2% maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat diabetes sejumlah

8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola

pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta

yang berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi Diabetes Mellitus

pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta diabetes

didaerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar,dan

merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter

spesialis/subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat

bahwa Diabetes Melitus akan memberikan dampak terhadap kualitas sumberdaya

manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak, baik

masyarakat maupun pemerintah sebaiknya ikut serta dalam usaha penaggulangan

Diabetes Mellitus,khususnya dalam upaya pencegahan 6.

3

Page 2: Referat Diabetes melitus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes

melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah

merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam

satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai

suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di

mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin 6.

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di

seluruh dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi.

Insidensnya terus meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030,

angka ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia.

DM terdapat di seluruh dunia, namun lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di

negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar terjadi di Asia dan Afrika,

sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola makan

“Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15

tahun, 10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200

mg/dl setelah puasa selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak

1,5% mengalami Diabetes Melitus yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami

Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM maupun TGT lebih banyak

ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada golongan dengan

tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita DM

paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan

kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%.

Beberapa hal yang dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas

4

Page 3: Referat Diabetes melitus

(sentral), hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang

dari 5 porsi perhari 6 .

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA)

2005, yaitu :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat

kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering

kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar

penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi

pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup 2 .

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar

insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin

untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam

darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM

type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM

setelah usia 30 tahun 2.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi 2 .

4. DM Gestasional

5

Page 4: Referat Diabetes melitus

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :

- Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus

- Umur.Risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan

meningkatnya usia.

- Riwayat pernah menderita Diabetes Mellitus gestasional

- Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir

dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding bayi

yang lahir dengan BB normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :

- Berat badan lebih

- Kurang aktifitas fisik

- Hipertensi

- Dislipidemia

- Diet tak sehat. Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan

meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

- Penderita polycictic ovary syndrome (PCOS)

- Penderita sindroma metabolik 6 .

2.4 Etiologi

Diabetes Tipe 2

Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus

Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel β

dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin

untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi

resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.

Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada

6

Page 5: Referat Diabetes melitus

rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan

perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi

terhadap glukosa 3.

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Diabetes melitus tipe 1

Pada DM tipe I (DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut

diabetes juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien

membutuhkan suplai insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi

padasel beta pankreas karena mekanisme autoimun, yang pada keadaan

tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I terjadi lebih sering pada

pembawaantigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal ini terdapat

disposisi genetik. Diabetes melitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris:

childhood-onsetdiabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes

mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio

insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada

pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak

maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat pada anak-anak 5.

2.5.2 Diabetes Melitus tipe 2

Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),

sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan

diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga

berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak mutlak

bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal atau

bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang berkurang

terhadap insulin.Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan

berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan yang

terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak seimbangan

antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasiasam lemak di

dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di otot

dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk

7

Page 6: Referat Diabetes melitus

meningkatkan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor,

resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang

penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab

yang lebih penting adalah adanya disposisi genetik yang menurunkan

sensitifitas insulin.Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak pernah normal.

Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya

obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor, kelainan genetik pada

protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria membatasi penggunaan

substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi

pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek

insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan pengaruhnya pada metabolisme

lemak dan protein dapat dipertahankan dengan baik. Jadi, diabetes tipe II

cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai gangguan

metabolisme lemak 5.

2.5.3 Diabetes tipe lain

Defisiensi insulin relatif juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat

jarang pada biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan

tanpa ada disposisi genetik, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit

lain, seperti pankreatitis dengan kerusakan sel beta atau karena kerusakan

toksik di selbeta. Diabetes mellitus ditingkatkan oleh peningkatan pelepasan

hormonantagonis, diantaranya somatotropin (pada akromegali), glukokortikoid

(pada penyakitCushingatau stress), epinefrin (pada stress), progestogen dan

kariomamotropin (padakehamilan), ACTH, hormon tiroid dan glukagon.

Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormon yang telah

disebutkan di atas sehingga meningkatkan manifestasi diabetes mellitus.

Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes karena somatostatin yang

diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin 5 .

8

Page 7: Referat Diabetes melitus

2.6 Manifestasi Klinis

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan

mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,

Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,

rasa baal dan gatal di kulit 2 .

2.7 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosadarah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna

penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yangdianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahandarah plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,ataupun kapiler tetap dapat

dipergunakan dengan memperhatikan angka-angkakriteria diagnostik yang

berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan

hasil pengobatan dapat dilakukandengan menggunakan pemeriksaan glukosa

darah kapiler dengan glukometer 6.

2.7.1. Diagnosis diabetes melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah

ini:

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 2.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosaplasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL denganadanya keluhan klasik.

9

Page 8: Referat Diabetes melitus

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO denganbeban 75 gr

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaaninimemiliki keterbatasan tersendiri. TTGO

sulit untuk dilakukanberulang-ulangdandalam praktek sangat jarang

dilakukankarena membutuhkan persiapan khusus.Apabilahasil pemeriksaan

tidak memenuhi kriteria normal atau DM,bergantung pada hasil yang

diperoleh, maka dapat digolongkanke dalam kelompok toleransi glukosa

terganggu (TGT) atauglukosa darah puasa terganggu (GDPT) 2.

Keterangan:

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGOdidapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0

mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaanglukosa plasma

puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan

pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140mg/dL 2.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan

pemeriksaanpenyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka

yang menunjukkangejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan

10

Page 9: Referat Diabetes melitus

penyaring bertujuan untukmengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang

mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan

kemudian pada mereka yang hasilpemeriksaan penyaringnya positif, untuk

memastikan diagnosis definitif 2.

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien

denganDiabetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa

darah puasa terganggu(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.

Pasien dengan TGT danGDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,

merupakan tahapan sementaramenuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut

merupakan faktor risiko untukterjadinya diabetes melitus dan penyakit

kardiovaskular di kemudian hari 2.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti

dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar 2.

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring

dan diagnosis diabetes melitus.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik

untukmenentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan

glukosadarah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan

diagnosisdiabetes melitus, TGT, dan GDPT 2.

11

Page 10: Referat Diabetes melitus

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes.

2.8.1 Tujuan penatalaksanaan

Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,

mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian

glukosa darah.

Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian

glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui

12

Page 11: Referat Diabetes melitus

pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan

mandiri dan perubahan perilaku 2.

Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukanIntervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera

diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan

dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan

yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan 2.

a. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan

perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya

peningkatan motivasi. Berbagai haltentang edukasi dibahas lebih mendalam di

bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah

mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan

kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,

setelah mendapat pelatihan khusus 2.

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan

diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

13

Page 12: Referat Diabetes melitus

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang

lain serta pasien dan keluarganya).

Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan

dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada

mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin 2.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama

dengan makanan keluarga yang lain

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam

sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau

makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari 2.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebih 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal.

14

Page 13: Referat Diabetes melitus

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung

lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh

(whole milk).

Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari 2.

Protein

Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang) 2.

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

E. DPP-IV inhibitor 2 .

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan

berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada

berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi

serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja

panjang 2.

15

Page 14: Referat Diabetes melitus

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini

terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara

oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial 2.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator

Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel

lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien

dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan

dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion

perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala 2.

*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin

>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin

dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat

diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa

pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan

dokter untuk memantau efek samping obat tersebut 2.

16

Page 15: Referat Diabetes melitus

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang

paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens 2.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl

peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk

meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM

tipe2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan

hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang

masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga

GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu

merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon 2.

17

Page 16: Referat Diabetes melitus

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan

Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan

Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan 2.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum

makan.

2. Suntikan

18

Page 17: Referat Diabetes melitus

1. Insulin

2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali

dengan

perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO 2.

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin :

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang

dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin 2.

Dasar pemikiran terapi insulin:

19

Page 18: Referat Diabetes melitus

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.

Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang

fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial

atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya

hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial

akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi

terhadap defisiensi yang terjadi.

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah

basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral

maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran

glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau

panjang).

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan

dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum

tercapai.

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan

A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah

prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai

sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting)

atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan

insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali

insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali

prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).

Insulin basal juga dapat dikombinasikan denga OHO untuk menurunkan

glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin

kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat

dari lumen usus (acarbose).

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan

pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar

glukosa darah harian 2.

20

Page 19: Referat Diabetes melitus

Cara Penyuntikan Insulin :

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan),

dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus

atau drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja

pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu.

Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan

perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara

kedua jenis insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku

panduan tentang insulin.

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus

dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit

insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang

diabetes yang sama.

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah

unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit).

Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya

U100 (artinya 100 unit/mL) 2.

2. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru

untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang

penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan

berat badan yang biasanya terjadi pada

pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin

menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat

penglepasan

21

Page 20: Referat Diabetes melitus

glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan

binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping

yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah 2.

2.8 Komplikasi

a. Penyulit akut

1. Ketoasidosis Diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau

relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol

dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati

meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir

hiperglikemia. Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle

menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang

tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan

energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat

sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk berupa

benda keton yang bersifat asam. Disamping itu glukoneogenesis dari protein

dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD.

Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala klinis dan diperkuat dengan

pemeriksaan laboratorium 2.

A. Gejala Klinis :

Polidipsia, poliuria, dan kelemahan merupakan gejala tersering

yang ditemukan, dimana beratnya gejala tersebut tergantung dari

beratnya hiperglikemia dan lamanya penyakit.

Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering pada anak-

anak) dapat dijumpai dan ini mirip dengan kegawatan abdomen.

Ketonemia diperkirakan sebagai penyebab dari sebagian besar

gejala ini. Beberapa penderita diabetes bahkan sangat peka dengan

adanya keton dan menyebabkan mual dan muntah yang

berlangsung dalam beberapa jam sampai terjadi KAD.

22

Page 21: Referat Diabetes melitus

Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis osmotik)

dan dilatasi lambung dapat terjadi dan ini sebagai predisposisi

terjadinya aspirasi.

Pernapasan kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) sebagai

kompensasi terhadap asidosis metabolik dan terjadi bila pH < 7,2.

Secara neurologis, 20% penderita tanpa perubahan sensoris,

sebagian penderita lain dengan penurunan kesadaran dan 10%

penderita bahkan sampai koma 1.

B. Pemeriksaan Laboratorium :

1. Glukosa

Glukosa serum biasanya > 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan

derajat kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat

menyebabkan aliran darah ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa.

Diuresis osmotik akibat hiperglikemia menyebabkan hilangnya cairan dan

elektrolit, dehidrasi, dan hiperosmolaritas (umumnya sampai 340 mOsm/kg) 2.

2. Keton

Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan

aseton. Kadar keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat

sampai 30 mM/L (nilai normal adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum

meningkat 3-4 kali dari kadar asetoasetat, namun berbeda dengan keton lainnya

aseton tidak berperan dalam terjadinya asidosis. Betahidroksibutirat dan

asetoasetat menumpuk dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD ringan)

sampai 15:1 (KAD berat) 2.

3. Asidosis.

Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15

mEq/l dan pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama disebabkan oleh

penumpukan betahidroksibutirat dan asetoasetat di dalam serum 2.

4. Elektrolit.

23

Page 22: Referat Diabetes melitus

Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi. Hiperglikemia

menyebabkan masuknya cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini

menyebabkan hiponatremia walaupun terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas.

Hipertrigliseridemia dapat juga menyebabkan menurunnya kadar natrium serum.

Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi. Kadar kalium

mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat asidosis dan derajat kontraksi

intravaskuler. Karena hal di atas dan hal lain, kadar kalium yang normal atau

tinggi tidak mencerminkan defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi

sekunder akibat diuresis osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang rendah

pada awal pemeriksaan harus dikelola dengan cepat.

Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah sakit. Seperti

halnya kadar kalium kadar fosfat tidak mencerminkan defisit tubuh yang

sesungguhnya, walaupun terjadi perpindahan fosfat intraseluler ke ruang

ekstraseluler, sebagai bagian dari keadaan katabolik. Fosfat kemudian hilang

melalui urin akibat diuresis osmotik 2.

Lain-lain

Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl. Lekosit

sering meningkat setinggi 15.000-20.000/ml pada KAD, maka dari itu tidak dapat

dipakai sebagai satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat

meningkat. Penyebabnya tidak diketahui, mungkin berasal dari pankreas (namun

tidak terbukti ada pankreatitis) atau kelenjar ludah. Transaminase juga meningkat 2.

KRITERIA DIAGNOSIS

Penderita dapat didiagnosis sebagai KAD bila terdapat tanda dan gejala

seperti pada kriteria berikut ini :

Klinis : riwayat diabetes melitus sebelumnya, kesadaran menurun, napas

cepat dan dalam (kussmaul), dan tanda-tanda dehidrasi.

Faktor pencetus yang biasa menyertai, misalnya : infeksi akut, infark

miokard akut, stroke, dan sebagainya.

Laboratorium :

- hiperglikemia (glukosa darah > 250 mg/dl).

- asodosis (pH < 7,3, bikarbonat < 15 mEq/l).

24

Page 23: Referat Diabetes melitus

- ketosis (ketonuria dan ketonemia) 6.

Penatalaksanaan :

Prinsip pengobatan KAD dan KHH meliputi :

- Koreksi terhadap :

o Dehidrasi

o Hiperglikemi

o Gangguan keseimbangan elektrolit

- Pengenalan dan pengobatan terhadap faktor pencetus

- Follow up yang ketat

Terapi cairan :

Pasien dewasa :

Terapi cairan initial/ awal dimaksudkan untuk memperbaiki volume cairan

intra dan ekstravaskuler serta memperbaiki perfusi ginjal. Bila tidak ada kelainan /

gangguan fungsi jantung, diberikan cairan isotonis NaCl 0,9 % dengan kecepatan

15 sampai 20 ml/kgBB/jam. Pada 1 jam pertama tetesan cairan dipercepat (1-1,5

liter). Pada jam berikutnya, terapi cairan tergantung derajat dehidrasi, kadar

elektrolit serum dan diuresis (jumlah urin). Secara umum, infus 0,45% NaCl

dengan dosis 4-14 ml/kgBB/jam dapat diberikan bila kadar Na serum normal atau

meningkat. Bila kadar Na rendah, diberikan 0,9% NaCl dengan kecepatan yang

sama. Setelah fungsi ginjal membaik, terlihat dengan adanya diuresis, segera

diberikan infus Kalium sebanyak 20-30 mEq/l sampai kondisi pasien stabil dan

dapat menerima suplemen Kalium oral 8.

Terapi Insulin :

Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan

merupakan terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>).

Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1

UI/kg/jam.

Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma sebesar 50-75

mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen insulin dgn dosis yang lebih

25

Page 24: Referat Diabetes melitus

tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun sebesar 50 mg/dl dari kadar awal,

periksa keadaan hidrasi pasien. Infus insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap

jam sampai kadar glukosa plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila

kadar glukosa plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH,

dosis insulin diturunkan menjadi 0,05-0,1 UI/kgBB/jam (3-6 UI/jam) dan

pemberian Dextrose (5-10%). Selanjutnya kecepatan insulin atau konsentrasi

Dextrose disesuaikan untuk mempertahankan kadar glukosa plasma normal

sampai asidosis pada KAD atau gangguan mental dan keadaan hiperosmolar pada

KHH dapat diatasi. Ketonemia memerlukan perawatan yang lebih lama daripada

hiperglikemi.

Pengukuran langsung terhadap b hydroxy butirate dalam darah merupakan

cara yang lebih baik untuk memantau KAD. Metoda nitroprusside hanya dapat

mengukur asam asetoasetat dan aseton. Beta-OHB, yang merupakan asam kuat

dan paling sering ditemukan pada KAD, tidak dapat diukur dengan metoda

nitroprusside. Selama pengobatan, b-OHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang

dapat memberi kesan keliru bahwa ketosis memburuk. Selama pengobatan KAD

atau KHH, darah sebaiknya diperiksa setiap 2 – 4 jam untuk menentukan kadar

elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena.

Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah

arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH arteri)

dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya asidosis pada KAD.

Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun

intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena pada KAD

yang berat.

Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar 0,4 –

0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus intravena dan

separuhnya secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2 berikutnya dapat diberikan

0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau intramuskuler 8.

Kriteria terjadinya perbaikan pada KAD meliputi :

- Penurunan kadar glukosa plasma

26

Page 25: Referat Diabetes melitus

- Bicarbonat serum ≥ 18 mEq/l

- pH darah vena > 7,3

Setelah KAD dapat diatasi, pemberian RI subkutan dan terapi cairan

sebaiknya diteruskan sesuai kebutuhan. Pada pasien dewasa, dosis insulin dapat

dinaikkan sebesar 5 UI untuk setiap kenaikan kadar glukosa darah diatas 150

mg/dl sampai 20 UI bila kadar glukosa darah³ 300 mg/dl. Bila pasien sudah bisa

makan, mulai diberlakukan jadwal dosis multiple menggunakan kombinasi insulin

kerja cepat dan kerja sedang / kerja panjang sesuai kebutuhan untuk mengontrol

kadar glukosa plasma 8.

Kalium :

Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat

menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan

kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l

dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak

20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup

untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 – 5 mEq/l).

Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan

dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l, untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernafasan 8.

Bikarbonat :

Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0,

pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis tanpa

perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak menunjukkan

perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita KAD dengan pH

darah antara 6.9 – 7.1, yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak ada studi yang

menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH

darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana pH darah

menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100 mmol natrium

bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan dengan

kecepatan 200 ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 – 7,0 diberikan

27

Page 26: Referat Diabetes melitus

50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest, diberikan

dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan pemberian

bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat menurunkan

kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi kalium dalam cairan

infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya, pH darah

vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0. Bila perlu

pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH darah

masih < style=""> 155 mEq/l 8.

Fosfat :

Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun

beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat

pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung

dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan

suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi

jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan kadar fosfat

serum 8.

5. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari

600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.

Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin

dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD,

sedangkan pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk

mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga

tidak timbul hiperketonemia 2.

Kriteria diagnosis Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah :

·         Hiperglikemia > 600 mg%

·         Osmolalitas serum > 350 mOsm/ kg

·         pH > 7,3

·         Bikarbonat serum > 15 mEq/L

28

Page 27: Referat Diabetes melitus

·         Anioan gap normal

Pemeriksaan Penunjang Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :

Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

sangat membantu untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetic. Kadar

glukosa darah > 600 mg%, aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu

diperhatikan : adanya hipertermia, hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea

nitrogen (BUN): kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1), bikarbonat serum > 17,4 mEq/l.

(Wahyu, 2012) Bila pemeriksaan osmolalitas serum belum dapat dilakukan, maka

dapat dipergunakan formula :

Tabel 1 : Kriteria diagnosis Ketoasidosis dan Keadaan Hiperosmolar

Hiperglikemik

Ketoasidosis Diabetik Keadaan

Hiperosmolar

Hiperglikemik

Glukosa Plasma

(mg/dl)

> 250 > 250 > 250 > 600

pH arteri 7,25-7,30 7,00-

<7,24

<> > 7,30

Bikarbonat Serum

(mEq/l)

15-18 10-<15 <> > 15

Keton urin Positif Positif Positif Sedikit/negatif

Keton Serum Positif Positif Positif Sedikit/negatif

Osmolalitas serum

efektif (mOsm/kg)

Bervarias

i

Bervariasi Bervariasi > 320

Anion gap > 10 > 12 >12 <12

Sensorium Sadar Apatis Stupor/Coma Stupor/Coma

Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala

klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium

parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan :

29

Page 28: Referat Diabetes melitus

lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala

adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-

debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah,

penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang 8.

TERAPI

Stadium permulaan ( sadar )

•Berikan gula murni 30 gram ( 2 sendok makan ) atau sirop /permen atau

gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diit /gula diabetes )

dan makanan yang mengandung karbohidrat

• Hentikan obat hipoglikemik sementara

• Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam

• Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)

• Cari penyebab

Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia );

1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena ,

2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf

3) Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;

• Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV

• Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV

4) periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%

• bila GDs < 50 mg/dL -- + bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV

• bila GDs <100 mg/dL -- +bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV

• bila GDs 100 – 200 mg /dL -- tanpa bolus dekstrosa 40 %

• bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangan menurunkan kecepatam drip

dekstrosa 10 %

5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2

jam ,dengan protocol sesuai diatas ,bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan

mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %

30

Page 29: Referat Diabetes melitus

6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut ,pemantauan GDs setiap

4 jam ,dengan protocol sesuai diatas .bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan

mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 %

7) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut ,slinding scale setiap 6

jam :

GD ---- RI

( mg/dL ) (unit, subkutan )

<200 0

200-250 5

250-300 10

300-350 15

>350 20

8) bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin

seperti ; adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila

penyebabnya insulin )

9) bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4

jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6

jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan

kesadaran 8.

a. Penyulit menahun

1. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan

inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti

titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.

Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar

retina darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan

dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang

membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik proliferatif terjadi iskemia

31

Page 30: Referat Diabetes melitus

retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan

kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang

rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan

meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat

penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes

memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun

bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama

adalah gula darah yang terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina 3.

Nefropati Diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200

ig/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi

proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat

glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product

yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear

serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan

intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang

reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan

berkembang menjadi chronic kidney disease 3.

Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa

hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.

Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih

terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien

perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan

pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan

sedikitnya setiap tahun 2 .

2. Makroangiopati

Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

32

Page 31: Referat Diabetes melitus

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan

terutama untuk merekayangmempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga

PJK atau DM

Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya

terjadi dengangejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa

gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul 2.

DAFTAR PUSTAKA

33

Page 32: Referat Diabetes melitus

1. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu

penyakit dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000;

2196.

2. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 :

PERKENI 2011.

3. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi

KonsepKlinis Proses-proses PenyakitEdisi 6. Jakarta: EGC. 2005.

4. Rani Aziz. A, dkk. Panduan Pelayanan Medik,edisi II,Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2006. Hal 9-14.

5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks &

Atlas BerwarnaPatofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

6. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar

IlmuPenyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: IPD FKUI. 2006.

7. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. JilidIII, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas

Indonesia.

8. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya,

Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920.

34