Referat Demam

15
1. Definisi Demam Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010). Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005). 2. Etiologi Demam Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis, criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam

description

tes

Transcript of Referat Demam

Page 1: Referat Demam

1. Definisi Demam

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari

yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu

tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan

demam adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau

axillary temperature ≥37,2°C (Kaneshiro & Zieve, 2010). Istilah lain yang

berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu

keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan

infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan

sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).

2. Etiologi Demam

Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.

Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun

parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain

pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis,

bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran

kemih, dan lain-lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya

menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah

dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur

yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,

criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan

demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan helmintiasis (Davis, 2011).

Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara

lain faktor lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu tinggi, keadaan

tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus,

vaskulitis, dll), keganasan (penyakit hodgkin, limfoma non-hodgkin, leukemia, dll),

dan pemakaian obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin). Hal lain

yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan

sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera

hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

Page 2: Referat Demam

3. Tipe Demam

Demam septik : suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada

malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.

Demam hektik : suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada

malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal pada pagi hari

Demam remiten : suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah

mencapai suhu normal

Demam intermiten : suhu badan turun ke tingkat yang normal selama

beberapa jam dalam satu hari.

Demam kontinyu : terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak berbeda

lebih dari satu derajat.

Demam siklik : kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh

periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh

kenaikan suhu seperti semula (Nelwan, 2009).

4. Patofisiologi Demam

Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang paling

sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point

di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen

adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen

eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti

toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk

merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang

diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF),

interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan

oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana

sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi

prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

4.1. Pirogen Eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah

terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit,

untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin

Page 3: Referat Demam

berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja langsung pada

hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT dan racun

kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung terhadap

hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan merangsang

secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai

pada scarlet fever dan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari

mikroba dan non-mikroba.

4.1.1. Pirogen eksogen mikrobial

Bakteri Gram Negatif

Pirogenitas bakteri gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela)

disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen

eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa

lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan

peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila

bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam

darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan

natural killer cell (NK cell). Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil

pemecahan bakteri dan melepaskan interleukin-1, kemudian interleukin-1

tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera menimbulkan demam

(Jawetz, 2003).

Bakteri Gram Positif

Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya stafilokokus) adalah

peptidoglikan dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin,

dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang

berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per unit

berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan

perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri

gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang

disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang

melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram-positif (misalnya difteri,

tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu

tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik atau bakteri gram-negatif

lainnya (Jawetz, 2003).

Page 4: Referat Demam

Virus

Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada

tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci

yang mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus

memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara

langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen

virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh

interferon dan nekrosis sel akibat virus (Jawetz, 2003).

Jamur

Produk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen

eksogen yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya

timbul ketika produk jamur berada dalam peredaran darah. Anak yang

menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai demam yang

berhubungan dengan neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi untuk

terserang infeksi jamur invasif (Jawetz, 2003).

4.1.2. Pirogen eksogen non-mikrobial

Fagositosis

Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab

untuk terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia

hemolitik imun (immune hemolytic anemia).

Kompleks antigen-antibodi

Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai

akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi

(immune fever) atau oleh antigen yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi

limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit dan makrofag untuk

melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh

immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan

reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif

terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks

antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.

Page 5: Referat Demam

Steroid

Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan

metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1

(IL-1). Ethiocholanolon dapat menyebabkan demam hanya bila disuntikan

secara intramuskular (IM), maka diduga demam tersebut disebabkan oleh

pelepasan interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan.

Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada

pasien dengan sindrom adrogenital dan demam yang tidak diketahui

sebabnya atau Fever of Unknown Origin (Brahmer, 2001).

Sistem Monosit-Makrofag

Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1)

dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai

penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena

demam dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear selain

merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar di dalam

organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta, rongga

peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari

granulocyte-monocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang,

kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari

sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi ke jaringan yang akan

berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa

bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk

diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan

mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan

destruksi sel tumor (Brahmer, 2001).

5.2. Pirogen Endogen

5.2.1 Interleukin-1

Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel

sekretori, dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas

melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai

hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran

interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal. Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3

Page 6: Referat Demam

struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2 agonis (IL-1α dan IL-1β) dan

sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis IL-1 ini berkompetisi

dengan IL-1α dan IL-1β untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan

reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi

inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama

produksi IL-1, sel kupfer di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit

juga memproduksi IL-1. Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga

berperan dalam respon imun dalam susunan saraf pusat (SSP) dan demam

sekunder terhadap perdarahan SSP (Peterson, 2002).

Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi

demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk

proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai

lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor (BAF). Interleukin-1

merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti protein fase akut misalnya

fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP, sedangkan sintesis albumin dan

transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat penurunan konsentrasi zat

besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga (Cu). Keadaan

hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan

peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya

tahan tubuh hospes oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan

mengurangi nutrisi esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis,

peningkatan kortisol dan laju endap darah (Peterson, 2002).

5.2.2 Tumor Necrosis Factor

Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain

dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel

kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka

yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang sedikit mempunyai efek biologik yang

menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang mempunyai aktivitas anti tumor yang

rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah

pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi

normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek

untuk merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan

Page 7: Referat Demam

neutrofil serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik. Meskipun TNF mempunyai

efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai efek langsung pada

aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen

oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor necrosis

factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan

menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya hubungan

dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai hubungan

dengan aktivitas atau prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis

bakterialis, leismaniasis, infeksi virus HIV, malaria dan penyakit peradangan usus.

Tumor necrosis factor juga diduga berperan dalam kelainan klinis lain, seperti artritis

reumatoid dan autoimmune disease (Peterson, 2002).

5.2.3 Limfosit yang Teraktivasi

Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2

jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang

mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai sitotoksik,

serta memproduksi respon inflamasi hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1

berperan penting dalam aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit

hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen diproses dan

dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada hipotalamus

(seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T (sebagai LAF)

merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Sebagai jawaban stimulasi IL-1, limfosit-

T akan menghasilkan berbagai zat yang mempengaruhi patogenesis demam.

5.2.4 Interferon

Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di

dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi oleh

limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas

biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon-α (INF alfa), interferon-β (INF

beta) dan interferon-gama (ITNF gama). Interferon alfa dan beta diproduksi oleh

hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas dan makrofag) sebagai respon terhadap

infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski

fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya dengan dewasa, namun

interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai, sehingga diduga

Page 8: Referat Demam

menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir. Interferon gama

dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel-B untuk

meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai pirogen endogen

dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk melepaskan interleukin-1

(macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di

hipotalamus.

Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta

meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian

dari sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus

dan beraksi pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga

memperlihatkan aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara mencegah

pembelahan sel melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara tidak

langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas antivirus dan antitumor

interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4), yang

menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil

atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh interferon gama

dan interferon alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4.

Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat

pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan

berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat interferon

diantaranya demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat,

somnolen dan muntah. Demam dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat

interferon, dan dapat mencapai 40˚C. Efek samping ini dapat diatasi dengan

pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya gagal hati,

gagal jantung, neuropati dan pansitopenia (Bellig, 2005).

5.2.5 Interleukin-2

Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang

dilepas oleh limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2

mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T, Natural killer cell (sel

NK) dan sel-B. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap

melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik dari natural

killer cell (lymphokine-activated killer cell atau LAK), yang memiliki aktivitas

Page 9: Referat Demam

sototoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan

saat ini pada tumor tertentu pada anak. Efek samping IL-2 di antaranya adalah

lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan

parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF dan

INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya

pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem (Peterson, 2002).

5.2.6 Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF)

Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin

lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast juga

mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah

menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi

menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya.

Penggunaan dalam pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan

mielodisplasia, anemia aplastik dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan

serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam,

yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (Non Steriod

Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen (Bellig, 2005).

Page 10: Referat Demam

DAFTAR PUSTAKA

Bellig L.L. 2005. Fever. Viewed at http://www.eMedicine.com.Inc/fever/topic359.htm

Brahmer J., Sande A.M. 2001. Fever of Unknown Origin. In : Walter R.W., Merle

S.A. Current Diagnosis & Treatment in Infectious Disease. 7th edition. San

Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 240-246.

Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A., 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L.,

et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Singapore: The

McGraw-Hill Company, p: 104-108.

Davis, C.P., 2011. Fever in Adults. University of Texas Health Science Center at San

Antonio. Available from http://www.emedicinehealth.com

Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of

Midwestern University. Available from: http://emedicine.medscape.com

Jawetz E. 2003. Toxin Production. In : Warren L., Ernest J. Medical Microbiology &

Immunology. 7th edition. San Francisco. Lange Medical Book Mc Graw Hill. 35-44.

Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington. Available

from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/

Nelwan, R.H., 2009. Demam: Tipe dan Pendekatan. Dalam: Sudoyo, A.W.,

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.

Peterson J.C. 2002. Interleukin-1. Available from http:/www.rndsystem.com/imag