Referat Dehidrasi

download Referat Dehidrasi

of 18

description

refrat dehidrasi forensik

Transcript of Referat Dehidrasi

Referat

KEMATIAN KARENA DEHIDRASI

Disusun Oleh:Akrim PermitasariG99141173Diena HanifaG99141174Haris HermawanG99141175Nabila Exa TalitaG99141176Noviana RahmawatiG99141177Putri Ayu WiniasihG99141178

Pembimbing: dr. Sugiharto, M.Kes. (MMR), S.H

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGALFAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI2015

BAB IPENDAHULUAN

Dehidrasi adalah istilahyang digunakan ketika tubuh kehilangan terlalu banyak air. Tubuh membutuhkan sejumlah air untuk bekerja normal. Tubuh kita terdiri dari sekitar dua pertiga air. Air membentuk dasar untuk semua cairan tubuh, termasuk darah dancairan pencernaan. Ini membantu untuk mengangkut dan menyerap nutrisi. Cairan tubuh yang hilang setiap hari melalui paru-paru kita sebagai uap air, melalui kulit sebagai keringat, dan melalui air mata, urin, dan feses. Setiap hari, tubuh kita kehilangan rata-rata sekitar 10 gelas air. Selama latihan berat dalam cuaca panas, tubuh dapat kehilangan lebih banyak cairan dalam waktu satu jam. Kehilangan air biasanya diganti dengan minum cairan dan makan makanan yang mengandung air. Ketika seseorang sakit atau terpapar suhu panas yang berlebihan, tubuh tidak dapat menahan kehilangan cairan dan terjadilah dehidrasi. Dehidrasi berat adalah keadaan darurat medis dan dapat mengancam jiwa. Kematian akibat dehidrasi dapat terjadi dalam waktu tiga hari atau kurang. Tidak ada manusia yang bisa hidup selama lebih dari 5 sampai 6 hari tanpa air (Whitehead et al, 1996).Kejadian dehidrasi di negara maju merupakan suatu hal yang jarang terjadi namun penting untuk diperhatikan karena sering kali mengakibatkan kematian pada bayi dan anak, serta orang dewasa. Kejadian dehidrasi yang menyebabkan kematian pernah dilaporkan dari serangkaian 37 kasus dehidrasi berat yang diotopsi di rumah sakit anak-anak Adelaide dalam kurun waktu 33 tahun (1961-1993), berbagai faktor penyebab dehidrasi yang dilaporkan ini antara lain gastroenteritis, suhu lingkungan yang tinggi, gangguan tumbuh kembang, abnormalitas kromosom, hyperplasia adrenal kongenital, unsuspected fibrosis kistik (Whitehead et al, 1996).Di Indonesia, kejadian dehidrasi sering merupakan komplikasi akibat diare. Kasus diare yang dapat menimbulkan komplikasi berupa dehidrasi berat cukup banyak terjadi terutama pada balita dan anak-anak. Pada tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta balita meninggal karena diare dimana 8 dari 10 kematian ini terjadi pada anak-anak berusia kurangdari 2 tahun. Selainitu, diperkirakan terdapat 200-400 kejadian diare di antara 1000 penduduk atau sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya dan sebagai penyebab kematian balita nomor 2 setelah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) (Shinta, 2011).Pada tugas referat ini, titik berat permasalahan bukanlah pada kejadian diare akan tetapi pada komplikasi yang dapat berupa dehidrasi di mana kejadian dehidrasi dapat menyebabkan seseorang mengalami kematian apabila tidaktertangani dengan baik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. KematianMati menurut ilmu kedokteran didefinisikan sebagai berhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara permanen (mati klinis). Dengan adanya perkembangan teknologi ada alat yang bisa menggantikan fungsi sirkulasi dan respirasi secara buatan. Oleh karena itu definisi kematian berkembang menjadi kematian batang otak. Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak (Idries, 1997). Agar suatu kehidupan seseorang dapat berlangsung, terdapat tiga sistem yang mempengaruhinya. Ketiga sistem utama tersebut antara lain sistem persarafan, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Ketiga sistem itu sangatmempengaruhi satu sama lainnya, ketika terjadi gangguan pada satu sistem, maka sistem-sistem yang lainnya juga akan ikut berpengaruh (Idries, 1997). Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak). Mati somatis (mati klinis) ialah suatu keadaan dimana oleh karena sesuatu sebab terjadi gangguan pada ketiga sistem utama tersebut yang bersifat menetap (Idries, 1997). Pada kejadian mati somatis ini secara klinis tidak ditemukan adanya refleks, elektro ensefalografi (EEG) mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara napas tidak terdengar saat auskultasi. Mati suri (apparent death) ialah suatu keadaan yang mirip dengan kematian somatis, akan tetapi gangguan yang terdapat pada ketiga sistem bersifat sementara. Kasus seperti ini sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam (Idries, 1997). Mati seluler (mati molekuler) ialah suatu kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan (Budiyanto, 1997). Mati serebral ialah suatu kematian akibat kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat (Budiyanto, 1997). Mati otak (mati batang otak) ialah kematian dimana bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan (Budiyanto, 1997).B. Tanda KematianTanda kematian dibagi menjadi dua, yaitu fase dini dan fase lanjut. Fase dini dimulai setelah berhentinya ketiga sistem vital tubuh, yaitu sistem respirasi, kardiovaskuler dan sistem saraf sampai munculnya lebam mayat. Fase dini berlangsung kurang lebih 15 menit. Fase lanjut terjadi setalah munculnya leban mayat (Wujoso, H, 2009).Pada fase dini terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: Tidak adanya gerakan. Jantung tidak berdenyut (henti jantung). Paru-paru tidak bergerak (henti nafas). Kulit dingin dan turgornya menurun. Mata tidak ada reflek pupil dan tidak bergerak.Sedangkan pada fase lanjut terdapat tanda-tanda seperti penurunan suhu (algor mortis), lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis) dan pembusukan (dekomposisi) (Wujoso, H, 2009).Penurunan suhu mayat atau algor mortis akan terjadi setelah kematian dan berlanjut sampai tercapai keadaan dimana suhu mayat sama dengan suhu lingkungan.Penurunan suhu dapat digunakan untuk memperkirakan waktu kematian korban. Rumus perkiraan saat kematian berdasarkan penurunan suhu mayat pada suhu lingkungan adalah sebagai berikut :Saat Kematian = 98,6 o F Suhu Rektal 1,5AtauSaat Kematian = 37 o C Suhu Rektal + 3Lebam mayat atau livor mortis adalah salah satu tanda postmortem yang cukup jelas. Biasanya disebut juga post mortem hypostasis, post mortem lividity, post mortem staining, sugillations, vibices, dan lain lain. Lebam terjadi sebagai akibat pengumpulan darah dalam pembuluh pembuluh darah kecil, kapiler, dan venula, pada bagian tubuh yang terendah (Wujoso, H, 2009).Dengan adanya penghentian dari sirkulasi darah saat kematian, darah mengikuti hukum gravitasi. Kumpulan darah ini bertahan sesuai pada area terendah pada tubuh, memberi perubahan warna keunguan atau merah keunguan terhadap area tersebut. Timbulnya livor mortis mulai terlihat dalam 30 menit setelah kematian somatis atau segera setelah kematian yang timbul sebagai bercak keunguan. Bercak kecil ini akan semakin bertambah intens dan secara berangsur angsur akan bergabung selama beberapa jam kedepan untuk membentuk area yang lebih besar dengan perubahan warna merah keunguan. Kejadian ini akan lengkap dalam 6 -12 jam. Sehingga setelah melewati waktu tersebut, tidak akan memberikan hilangnya lebam mayat pada penekanan (Wujoso, H, 2009).Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang kadang disertai dengan sedikit pemendekkan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan / relaksasi primer. Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortal dan mencapai puncaknya setelah 10 12 jam post mortal, keadaan ini akan menetap selama 24 jam, dan setelah 24 jam kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot otot wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai (Wujoso, H, 2009).Pembusukan merupakan tahap akhir pemutusan jaringan tubuh mengakibatkan hancurnya komponen tubuh organik kompleks menjadi sederhana. Pembusukan merupakan perubahan lebih lanjut dari mati seluler. Pembusukan terjadi setelah hilangnya kaku mayat. Namun pada suhu dan kelembaban tinggi, pembusukan dapat terjadi sebelum kaku mayat menghilang (Wujoso, H, 2009).

C. Kematian karena DehidrasiKematian karena dehidrasi adalah kematian yang diakibatkan kondisi tubuh yang mengandung volume yang tidak cukup untuk menjalankan fungsi normal dari organ tubuh (VIHA, 2008).Seorang individu mampu bertahan dengan kurangnya nutrisi untuk waktu yang lama, namun jika seseorang kekurangan cairan atau tidak mencukupinya intake air dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang relatif pendek.Meskipun kebutuhan cairan harian tergantung pada suhu lingkungan dan tingkat aktivitas fisik, seseorang membutuhkan minimal 1 2 liter per hari. Rasa haus muncul ketika tubuh mengalami kehilangan cairan sebanyak 0.5 0.3 % dari cairan tubuh. Tubuh membutuhkan air untuk pembuluh darah agar dapat menyalurkan nutrisi dengan baik, menjaga metabolism sel agar berjalan baik, dan mengatur suhu tubuh. Kekurangan minum dapat menyebabkan dehidrasi.Dehidrasi terjadi ketika tidak ada cukup air untuk mengatur metabolisme normal. Kasus dehidrasi yang sering ditemui oleh komunitas penyelidikan kematian, yaitu peningkatan kadar natrium (yang diukur pada cairan vitreous). Dehidrasi dapat menyebabkan hipernatremik, hiponatremik, atau bahkan isonatremik. Dehidrasi dapat menjadi penyebab kematian terutama pada orang-orang yang tergantung pada orang lain terutama mengenai nutrisi dan kesehatan (lansia dan anak-anak), dan pada orang yang pernah mengalami malnutrisi. Dehidrasi dapat terjadi sebagai bagian dari mekanisme akhir kematian, termasuk yang terjadi pada penyakit Alzheimer (Joseph, 2010).Dehidrasi akibat diare terhitung hampir empat juta kematian per tahunnya pada bayi dan anak. Anak < 5 tahun merupakan usia dengan risiko tertinggi untuk terjadinya dehidrasi. Sebagian besar dari kematian tersebut terjadi pada negara berkembang (Huang et al, 2014).Anak dengan dehidrasi berat dan syok hipovolemik memiliki morbiditas dan mortalitas yang signifikan jika tidak mendapatkan pengobatan segera.Mortalitas dan morbiditas umumnya tergantung pada tingkat keparahan dehidrasi dan ketepatan rehidrasi oral atau intravena. Jika pengobatan cepat dan tepat diperoleh, morbiditas dan mortalitas menurun.Penggunaan rutin cairan parenteral hipotonik pada anak-anak dirawat di rumah sakit berhubungan dengan hiponatremia dan komplikasi neurologis serta kematian (Huang et al, 2014).Faktor Risiko Dehidrasi:1. Usia LanjutSemakin tua seseorang, kemampuan untuk menyimpan air di dalam tubuh semakin menurun, rasa haus semakin berkurang serta respon tubuh terhadap perubahan suhu menurun.2. Penyakit Kronik: diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik, penyakit ginjal serta alcoholism3. Atlet, terutama yang menggunakan daya tahan tubuh.Semakin lama seseorang berolahraga, semakin sulit tubuh menjaga untuk tetap dalam keadaan terhidrasi. Orang yang berolahraga rutin setiap harinya, kehilangan cairan akan terakumulasi dan berubah menjadi dehidrasi4. Tempat yang sangat tinggi (terutama > 8.000 kaki)Semakin tinggi suatu tempat, tubuh berusaha menyesuaikan dengan bernafas cepat dan meningkatkan urinasi yang dapat menjadi dehidrasi.(Jjustad, 2014)Saat ini, VSED (voluntary stop eating and drinking) atau berhenti makan dan minum dengan sengaja merupakan pilihan paliatif pada mereka yang memiliki penyakit terminal dan menginginkan mati dengan tenang dimana kematian terjadi dalam beberapa hari hingga tiga minggu sejak pasien mulai berpuasa. Pada keadaan ini, dehidrasi secara sengaja dilakukan dengan harapan pasien dapat mati seperti yang mereka inginkan dan hal ini masih menjadi hal yang pro-kontra (Schwarz, 2011).

D. Mekanisme kematian pada dehidrasiDehidrasi dapat berupa dehidrasi hiponetremi dan dehidrasi hipernatremi.Dehidrasi hiponatremi adalah dehidrasi akibat kelebihan air atau kehilangan natrium Hiponatremi adalah keadaan dimana kadar natrium serum kurang dari 135 mEq/L (kadar natrium serum normal adalah 1405 mEq/L). Hyponatremia menunjukkan bahwa kelebihan air yang relative terhadap zat terlarut total mengencerkan cairan tubuh. Natrium merupakan ion ekstraseluler utam, sehingga hyponatremia umumnya berkaitan dengan hipoosmolalitas plasma. Osmolalitas plasma yang rendah menyebabkan perpindahan air masuk ke dalam sel, termasuk sel otak, sehingga menyebabkan edema otak. Edema otak akan berlanjut ada peningkatan tekanan intracranial yang menyebabkan penurunan aliran darah ke otak. Kemudian sel otak akan kekurangan pasokan nutrisi hingga terjadi hipoksia dan iskemik sel otak dan berakhir pada kematian sel otak (Price dan Wilson, 2006) (Oehmichen et al, 2006).Dehidrasi hipernatremi adalah dehidrasi akibat kehilangan air atau kelebihan natrium. Hipernatremi adalah keadaan dimana kadar natrium serum lebih dari 145 mEq/L. Keadaan ini selalu berkaitan dengan hiperosmolalitas karena garam natrium merupakan penentu utama osmolalitas plasma. Peningkatan osmolalitas serum menyebabkan air berpindah dari intraseluler ke ekstraseluler, sehingga terjadi dehidrasi dan pengerutan sel. Sebagai adaptasi dari pengerutan sel, sel akan menarik bahan-bahan organic dari ekstraseluler masuk ke dalam sel melalui membrane sel serta memproduksi bahan-bahan organic tersebut di intrasel. Koreksi keadaan hipertonitas dari ekstraseluler yang terlalu cepat akan mengakibatkan perpindahan air secara pasif ke dalam ruang intraseluler menyebabkan pembengkakan sel. Bila hal ini berlanjut, sel akan lisis dan mati (Price dan Wilson, 2006).

E. Temuan Pada OtopsiPada otopsi dapat ditemukan turgor kulit berkurang atau bahkan hilang. Selain itu dapat juga ditemukan mata cekung, membrane mukosa, mesotelial, dan serosa kering, turgor kulit tidak ada, terdapat fecal impaction (feses yang terperangkap). Pada uji laboratorium dengan sampel cairan vitreous humour didapatkan kadar natrium >155 mEq/L dan kadar klorida >135 meq/L, serta peningkatan konsentrasi urea nitrogen (>40mg/dL) (Oehmichen et al, 2006).Kecepatan terjadinya kematian yang disebabkan dehidrasi sangat tergantung dengan suhu lingkungan. Dapat terjadi pada satu hari jika berada di sebuah padang pasir, atau dapat terjadi setelah beberapa hari pada kondisi yang sangat dingin (Reinhard et al, 2013).

F. Aspek Medikolegal Tentang Tindakan Pembuktian Penyebab Kematian1. Pengertian Visum et RepertumMenurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut Visum et Repertum. Dengan demikian, menurut KUHAP keterangan ahli yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya disebut Visum et Repertum. Visum Et Repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan di dalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang luka atau terhadap mayat. Jadi merupakan kesaksian tertulis. 2. Syarat Pembuatan Visum et RepertumPembuatan Visum et Repertum haruslah memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil, yaitu menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya. Menurut Instruksi Kepala Polisi Republik Indonesia No. Pol. : INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum, adalah : Permintaan Visum et Repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP) Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat Permintaan Visum et Repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau; Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat; Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat Syarat materiil dalam pembuatan Visum et Repertum adalah berkaitan dengan isi, yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa, pada saat diterimanya Surat Permintaan Visum et Repertum dari Penyidik. 3. Peristiwa pidana yang memerlukan pembuatan Visum et Repertum, seperti ditentukan dalam KUHP adalah :1. Pelaku Tindak Pidana yang diduga menderita kelainan jiwa, yaitu berkaitan dengan berlakunya ketentuan Pasal 44;2. Penentuan umur korban/pelaku Tindak Pidana : Berkaitan dengan korban Tindak Pidana terhadap anak,khususnya di bidang kesusilaan misalnya, ditentukan dalam Pasal 287, 288, 290 sampai dengan 295, 300 dan 301. Berkaitan dengan pelaku Tindak Pidana anak yang ditentukan dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak.3.Kejahatan kesusilaan diatur dalam Pasal 284 sampai dengan 290, dan Pasal 292 sampai dengan 294;4.Kejahatan terhadap nyawa, yaitu Pasal 338 sampai dengan 348;5.Penganiayaan, berkaitan dengan Pasal 351 sampai dengan 355,6. Perbuatan alpa yang mengakibatkan mati atau luka orang lain, yaitu Pasal 359 dan 360. 4. Definisi dan Dasar Pengadaan Visum et RepertumVisum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan.Menurut Budiyanto et al, dasar hukum VeR adalah sebagai berikut:Pasal 133 KUHAP menyebutkan :(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyidik yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena VeR adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta VeR, karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP. Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana :Pasal 216 KUHP:Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara.paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

5. Aspek Medikolegal Visum et RepertumVisum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit tentang tatalaksana pengadaan VeR.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Kematian karena dehidrasi adalah kematian yang diakibatkan kondisi tubuh yang mengandung volume yang tidak cukup untuk menjalankan fungsi normal dari organ tubuh.2. Dehidrasi dapat berupa dahidrasi hiponatremi dan dehidrasi hipenatremi.3. Kematian karena dehidrasi dapat terjadi pada anak-anak, lansia dan orang yang pernah mengalami mal nutrisi.4. Sebagian besar kematian karena dehidrasi pada anak disebabkan oleh diare.5. Pada otopsi dapat ditemukan turgor kulit berkurang atau hilang, mata cekung, membrane mukosa, mesotelial, dan serosa kering, turgor kulit tidak ada, terdapat fecal impaction (feses yang terperangkap).6. Pada uji laboratorium cairan vitreous humour didapatkan kadar natrium >155 mEq/L dan kadar klorida >135 meq/L, serta peningkatan konsentrasi urea nitrogen (>40mg/dL)

DAFTAR PUSTAKA

Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran. 2009;3(2):79-84.Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.Budiyanto, Arif., et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR) kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD). JPMK. 2005;8(3):163-9.Idries, dr.Abdul Munim. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta: Binarupa Aksara.Jjustad (2014). Dehydration. Health and Safety Guidelines, pp: 1-4Joseph AP. 2010. Forensic Pathology for Police, Death Investigators, Attorneys, and Forensic Scientists. London : Springer Science & Business Media. Page 566.Reinhard D, Marcel AV, Harald FS. 2013. Forensic Medicine: Fundamentals and Perspectives. London: Springer Science & Business Media. page 16Schwarz JK (2011). Death by voluntary dehydration: Suicide or the right to refuse a life-prolonging measure?. Widener Law Review, 17: 351-62Shinta K. 2011. Pengaruhprobiotikpadadiareakut :penelitiandengan 3 preparatprobiotik. Skripsi. Semarang :UniversitasDiponegoro.VIHA EOL Symptom Guidelines (2008). Dehydration. http://www.viha.ca/NR/rdonlyres/DFAD3614-B368-4D86-9206-C7C7B3D698F4/0/Dehydration.pdf Diakses Juni 2015Whitehead FJ, Couper RTL, Moore L, Bourne AJ, Byard RW. 1996. The American Journal of Forensic Medicine and Pathology 17(1) : 73-78.

16