REFERAT ATLS

54
BAB II Tinjauan Pustaka 1. Definisi ATLS Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of Surgeons. Program serupa ada untuk perawat (ATCN) dan paramedis (PTLS). Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar Amerika Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan standar untuk pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu dokter dan satu perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar perawatan untuk penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma. Premis dari program ATLS adalah menatalaksana ancaman terbesar bagi kehidupan. Hal ini juga pendukung bahwa kurangnya diagnosis definitif dan rinci sejarah seharusnya tidak memperlambat penerapan pengobatan diindikasikan untuk luka yang mengancam hidup, dengan waktu yang paling penting dilakukan intervensi awal. Namun, bukti menunjukkan bahwa ATLS meningkatkan prognosis pasien. 2. Sejarah ATLS

description

referat, advance traumatic life support, bedah umum, general surgery, atls

Transcript of REFERAT ATLS

Page 1: REFERAT ATLS

BAB II

Tinjauan Pustaka

1. Definisi ATLS

Advanced Trauma Life Support (ATLS) adalah sebuah program pelatihan bagi dokter

medis dalam pengelolaan akut trauma kasus, yang dikembangkan oleh American College of

Surgeons. Program serupa ada untuk perawat (ATCN) dan paramedis (PTLS).

Program ini telah diadopsi di seluruh dunia di lebih dari 40 negara, namun ada juga

dibawah nama Emergency Management of Severe Trauma (EMST), khususnya di luar Amerika

Utara. Tujuannya adalah untuk mengajarkan pendekatan yang disederhanakan dan standar untuk

pasien trauma. Awalnya dirancang untuk situasi darurat di mana hanya satu dokter dan satu

perawat yang hadir, ATLS sekarang diterima secara luas sebagai standar perawatan untuk

penilaian awal dan pengobatan di pusat-pusat trauma. Premis dari program ATLS adalah

menatalaksana ancaman terbesar bagi kehidupan. Hal ini juga pendukung bahwa kurangnya

diagnosis definitif dan rinci sejarah seharusnya tidak memperlambat penerapan pengobatan

diindikasikan untuk luka yang mengancam hidup, dengan waktu yang paling penting dilakukan

intervensi awal. Namun, bukti menunjukkan bahwa ATLS meningkatkan prognosis pasien.

2. Sejarah ATLS

Pada bulan Februari 1976, sebuah tragedi terjadi yang mengubah sejarah perawatan trauma

bagi pasien cedera di Amerika Serikat dan di banyak bagian dunia. Dr Jim Styner, seorang ahli

bedah ortopedi, menaiki pesawat kecil yang jatuh ke dalam sebuah ladang jagung di Nebraska

pedesaan. Dr Styner menderita luka serius, tiga anak-anaknya menderita luka kritis, dan satu

anak menderita luka ringan. Istrinya tewas seketika. Perawatan yang ia dan keluarganya terima

tidak memadai oleh standar hari ini. Dokter bedah, mengenali bagaimana perlakuan mereka tidak

memadai, menyatakan, "Ketika saya dapat memberikan perawatan yang lebih baik di lapangan

dengan sumber daya yang terbatas dari apa yang anak-anak saya dan saya diterima di fasilitas

perawatan primer, ada sesuatu yang salah dengan sistem, dan sistem harus diubah.”

Pada bulan Januari 1980, American College of Surgeons memperkenalkan Kursus ATLS

di AS dan luar negeri. Kanada bergabung dengan program ATLS tahun berikutnya. Pada tahun

1986, beberapa negara di Amerika Latin bergabung dengan Komite ACS Trauma dan

Page 2: REFERAT ATLS

memperkenalkan program ATLS di wilayah mereka. Sekarang, ATLS tersedia di hampir 60

negara. Di bawah naungan Komite Militer ACS Trauma, program telah dilakukan untuk dokter

militer AS di Amerika Serikat dan di seluruh dunia.

Selama lebih dari seperempat abad, American College of Surgeons Komite Trauma telah

mengajarkan kursus ATLS untuk lebih dari 1 juta dokter di lebih dari 50 negara. ATLS telah

menjadi dasar dari perawatan untuk pasien cedera dengan mengajar bahasa umum dan

pendekatan umum. Hasilnya adalah ATLS yang kontemporer dan bermakna dalam komunitas

global.

3. Klasifikasi ATLS

ATLS membuat klasifikasi pendarahan berdasarkan persentase volume kehilangan darah,

sebagai berikut:

Kelas I, dengan kehilangan volume darah hingga maksimal 15% of blood volume.

Kelas II, dengan kehilangan volume darah antara 15-30% dari total volume.

Kelas III, dengan kehilangan darah antara 30-40% dari volume pada sirkulasi darah.

Kelas IV, dengan kehilangan yang lebih besar daripada 40% volume sirkulasi darah.

Standar World Health Organization

WHO menetapkan skala gradasi ukuran risiko yang dapat diakibatkan oleh pendarahan sebagai

berikut:

Grade 0 tidak terjadi pendarahan

Grade 1 pendarahan petekial

Grade 2 pendarahan sedang dengan gejala klinis yang signifikan

Grade 3 pendarahan gross, yang memerlukan transfusi darah

Grade 4 pendarahan debilitating yang fatal, retinal maupun cerebral

Page 3: REFERAT ATLS

4. Langkah-langkah ATLS

Pada prinsipnya ATLS menganut pedoman ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,

Disabilitydan Exposure) pada setiap kasus emergensi, apapun itu, dan juga prinsip ini menjadi

prosedur tetap dasar yang sama yang dianut oleh seluruh dunia.

Pada ATLS kita mengenal tentang initial assessment (atau penilaian awal) yang mana terdiri

dari:

1. Persiapan Awal: 

Tahapan untuk mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk proses primary survey dan

resusitasi, dan yang lebih penting lagi adalah alat proteksi diri (sarung tangan, masker, kacamata,

dll) untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin dialami oleh penderita trauma yang

nantinya akan ditolong. 

2. Triage:

Adalah pengambilan keputusan oleh tenaga kesehatan untuk menentukkan pasien mana yang

harus diprioritaskan penangannanya terlebih dahulu berdasarkan jumlah sumber daya yang

tersedia. Contoh: jumlah korban yang melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka

korban yang diprioritaskan adalah yang memiliki kemampuan survive (hidup) lebih besar, dan

sebaliknya jika jumlah korban tidak melebihi kemampuan sumberdaya rumah sakit, maka korban

yang diprioritaskan adalah korban yang sangat terancam kehidupannya.

3. Primary Survey (ABCDE)

Merupakan penilaian cepat, untuk menemukan kondisi yang mengancam nyawa dan harus segera

ditangani pada SAAT ITU JUGA. Secara teoritis, ditulis secara berurutan (ABCDE), namun

pada kenyataannya dapat dilakukan secara simultan.

4. Resusitasi

Adalah tindakan cepat restorasi untuk penanganan kondisi yang mengancam nyawa, yang

ditemukan saat dilakukan primary survey 

Page 4: REFERAT ATLS

5. Tambahan Pada Primary Survey

Pemeriksaan penunjang "terbatas" dan pemasangan alat untuk monitor atau evaluasi pasca

resusitasi, contoh pemasangan EKG, Pulse Oxymeter, Rontgen Cervical, Thorak, Pelvis, Kateter

Urine, dan nasogastric tube (NGT).

6. Pertimbangkan Rujukan

Pada fase ini, tenaga kesehatan telah memiliki informasi yang cukup tentang keadaan pasien, dan

telah mampu untuk membuat keputusan untuk merujuk atau hanya dirawat setempat.

7. Secondary Survey

Adalah pemeriksaan lengkap yang dimulai dari anamnesis, riwayat trauma, pemeriksaanhead to

toe, dan pemeriksaan lengkap neurologis.

8. Tambahan Pada Secondary Survey

Pada bagian ini, pemeriksaan penunjang lengkap dapat dikerjakan, contoh Ct Scan, foto polos

kepala, foto abdomen, analisa gas darah dll. Namun, keputusan untuk pemeriksaan - pemeriksaan

ini, sebaiknya tidak sampai menyebabkan penundaan pada proses rujukan pasien.

9. Re-evaluasi

Sangat penting untuk melakukan reevaluasi pasien, karena ada dugaan late onset atau proses on

going yang berlangsung. Contoh pasien cedera kepala + epidural hematom yang mungkin pada

awal masuk RS masih sadar, kemudian menjadi tidak sadar, dll.

10. Terapi Definitif

Adalah pengobatan beradasarkan penyebab perlukaan, contoh jika trauma tersebut disertai

fraktur maka harus dilakukan operasi ORIF atau OREF, atau pada pasien cardiac

tamponadedengan darah yang telah membeku maka dibutuhkan pericardioctomy dll.

Page 5: REFERAT ATLS

Primary Survey - Airway

Primary Survey, merupakan penilaian cepat oleh tenaga kesehatan terhadap keadaan yang

mengancam nyawa. Dari A sampai E.

A: Airway (jalan nafas, yang dimulai dari hidung dan mulut ke arah trachea)

Ada 2 hal yang penting

- Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan airway

- Harus mengetahui teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway

Hal pertama - macam - macam penyebab gangguan airway

Penyebab gangguan airway yang utama adalah obstruction / sumbatan, hal ini dapat sebabkan

baik oleh karena:

1. Posisi kepala (sniffing position)

2. Adanya darah dan gigi yang patah dalam rongga mulut (akan tampak suara gurgling)

3. Lidah yang jatuh ke belakang (akan tampak suara snoring)

4. Fraktur pada laring, atau edema pada laring akibat luka bakar (akan tampak suara snoring)

Page 6: REFERAT ATLS

5. Adanya trauma multiple pada wajah

6. GCS 8 atau kurang - cedera kepala berat (CKB)

* Nilai dengan cara "LOOK, LISTEN, FEEL"

Hal Kedua - teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway

Teknik dasar dan teknik lanjutan untuk menjaga patensi airway dapat dilakukan dengan bantuan

alat, maupun tanpa bantuan alat.

1. Jaw thrust dan Chin lift Manuver 

2. Nasofaring dan orofaringeal airway

3. Intubasi Nasotrakheal dan Orotrakheal 

4. Needle Crycothyroidektomy

5. Surgical Crycothyroidektomy 

Penting: Pada pasien sadar dan bisa "berbicara", dapat kita anggap sementara airway-nyaclear

Head tilt-Chin lift

Page 9: REFERAT ATLS

Diskusi:

1. Pasien dengan posisi kepala sniffing position / posisi bernafas, cenderung memiliki airway

yang sempit. Sehingga perlu kita lakukan manuver chin lift untuk clear airway (tapi tidak boleh

sampai hiperekstensi kepala, karena dapat memperburuk cedera cervical yang mungkin ada) dan

dapat dilanjutkan dengan pemasangan naso atau orofaringeal airway.

2. Pasien dengan darah dan gigi yang patah dalam rongga mulut, maka darahnya di suctionatau

giginya di swap finger, kemudian dilanjutkan dengan manuver chin lift dan pemasangan naso

atau orofaringealairway.

3. Pasien dengan lidah yang jatuh ke belakang, maka setelah dilakukan manuver chin lift, dapat

langsung dilanjutkan dengan pemasangan orofaringeal airway.

4. Pasien dengan fraktur pada laring, atau edema pada laring akibat luka bakar, maka penting

untuk melakukan intubasi endotrakeal lebih dini, untuk menjaga patensi airway dari ancaman

edema laring late onset.

5. Pasien dengan trauma multiple pada wajah, jika tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi

dini maka, lakukan needle crycothyroidektomy dan dilanjutkan dengan surgical

crycothyroidektomy

6. Pada pasien dengan GCS 8 atau kurang - cedera kepala berat (CKB), maka merupakan

indikasi untuk melakukan intubasi endotrakeal dini untuk mempertahankan airway.

Setelah bantuan airway diberikan, lakukan pemberian oksigenasi, baik melalui face mask

breathing / nonrebreathing, nasal canul, maupun simple face mask.

Page 10: REFERAT ATLS

Contoh kasus:

Laki - Laki 39 tahun, mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, dibawa ke UGD oleh petugas

lapangan dengan kondisi sadar, lemah, dapat berbicara ada luka memar di daerah kepala

samping, dengan perdarahan pada kulit kepala yang tidak aktif, TD : 110/80, Nadi, 90x/menit,

RR 24x/menit, GCS 13.

KeyPoint:

Karena dia 'sadar' dan dapat 'berbicara', maka sementara dapat kita anggap airway-nya clear,

sehingga hanya kita lakukan manuver chin lift kemudian proteksi cervical dengan cervical collar,

serta dilanjutkan dengan pemberian oksigen 10 L/m via simple face mask.

1 jam kemudian, pasien mengalami penurunan kesadaran, GCS 8, TD 140/90 ND 90x/m, RR

24x/m dan terdengar suara tambahan snoring dari jalan nafas.

Key Point:

Pasien ini, mungkin mengalami lucid interval akibat epidural hemorage pada perlukaan di

kepalanya. Sehingga pada keadaan ini, menjadi penting untuk kita lakukan intubasi endotrakeal

agar menjamin pasokan oksigen yang adekuat pada pasien tersebut.

Page 11: REFERAT ATLS

Epidural Hemorage

Kesimpulan:

Maka Prinsipnya semua tindakan untuk menjaga patensi airway tergantung dari kondisi pasien

pada saat penilaian dan sangat penting untuk kita lakukan evaluasi untuk menemukan

ancaman airway lanjut (late onset).

Primary Survey – Breathing

Breathing dapat menjadi baik atau buruk ditentukan oleh beberapa hal, yang antara lain adalah

1. Nerve,

2. Pulmo,

3. Diafragma, dan

4. Stabilitas costa.

Page 12: REFERAT ATLS

B: Breathing juga mempunyai 2 keharusan yang penting untuk kita ketahui, yakni:

- Harus mengenal macam - macam penyebab gangguan breathing 

- Harus mengetahui bagaimana penatalaksanaan awal gangguan breathing.

Hal pertama - macam - macam penyebab gangguan breathing (yang biasanya terjadi oleh karena

keadaan traumatik)

1. Tension Pneumothorak

2. Open Pneumothorak

3. Hemothorak Massive

Tension Pneumothorak:

Adalah kondisi dimana adanya tekanan positif didalam paru, akibat trauma tumpul dada yang

pada akhirnya membuat paru disisi yang sakit menjadi kolaps, sehingga muncul gejala sesak

yang nampak pada pasien.

Diagnosis tension pneumothoraks adalah diagnosis klinis, yang ditandai dengan:

- sesak nafas yang hebat pada pasien post trauma

- adanya suara nafas yang hilang pada salah satu hemithorak dan asimetri

- adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat

- adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)

- adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi

Diagnosis bisa dibantu dengan pemeriksaan foto rontgen.

Page 14: REFERAT ATLS

Open Penumothorak

Adalah kondisi yang hampir mirip dengan tension pneumothorak, namun lebih jelas karena

tampak luka tembus yang terbuka pada dinding dada yang disertai dengan gejala :

- sesak nafas

- adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang terluka dan asimetri

- adanya pergeseran trakhea dari midline ke arah yang sehat

- adanya peningkatan tekanan vena leher (dapat juga tidak)

- adanya hiperresonansi pada saat dilakukan perkusi

Open Pneumothorak

Hemothorak Massive

Adalah kondisi perdarahan intra thorak akibat trauma yang dapat teraklumulasi hingga 1,5 liter,

dengan gejala :

- sesak nafas

- adanya suara nafas yang menurun pada hemithorak yang sakit dan asimetri

- adanya suara yang redup pada saat dilakukan perkusi

Page 16: REFERAT ATLS

Hal Kedua, mengetahui bagaimana tatalaksana awal gangguan breathing.

Jangan merujuk pasien yang mengalami gangguan breathing tanpa dilakukan penatalaksanaan

awal, karena akan meningkatakan resiko kematian pada saat pasien dalam rujukan.

1. Tension Pneumothorak.

Keadaan klinis yang mendukung adanya keadaan tension pneumothorak mengharuskan tenaga

kesehatan secara dini untuk melakukan needle thoracosintesis. Needle thoracosintesis adalah

prosedur invasif menggunakan jarum kaliber besar yang di insersi pada sela iga

II midline clavicula hemithorak yang sakit.

Needle Thoracosintesis

Prosedur needle thoracosintesis adalah tindakan emergency yang hanya mengubah keadaan

tension pneumothorak menjadi simple pneumothorak, yang sewaktu - waktu masih berpeluang

untuk kembali lagi menjadi tension pneumothorak. Maka dari itu, perlu dilanjutkan dengan

pemasangan chest tube, untuk drainase (udara / darah) secara komplit. Chest tubemerupakan

prosedur lanjutan yang dikerjakan untuk mengatasi baik keadaan tension pneumothorak, open

pneumothorak, dan hemothorak. Chest tube, dipasang pada midlineaxilaris anterior, pada

intercosta 5 yang sejajar dengan papilla mamae pada pria dan atau lipatan mamae pada wanita.

Page 17: REFERAT ATLS

Setelah pemasangan chest tube pada tension penumothorak, perlu dievaluasi mengenai adanya

undulasi, fogging dan bublling.

Kesimpulan: Assesment for Tension pneumothorak --> Needle thoracosintesis --> Chest Tube.

2. Open Pneumothorak.

Sesak nafas yang disertai luka terbuka pada dinding anterior maupun inferior dapat diketahui

dengan inspeksi yang cepat, tepat dan terukur. Kondisi yang jelas menunjukkan adanya

keadaan open pneumothorak, merujuk pada pemasangan cepat occlusiv dressing (dapat

digunakan plastic wrap) dengan metode three valve yang mana akan menyebabkan keluarnya

udara positif dari thorak pada saat inspirasi dan mencegah masuknya udara positif dari luar ke

dalam thorak pada saat ekspirasi.

Page 18: REFERAT ATLS

Occlusive Dressing dengan three valve

Setelah occlusive dressing terpasang, dilanjutkan dengan pemasangan chest tube sesuai dengan

prosedur yang sama dengan keadaan tension pneumothorak.

3. Hemothorak Massive

Pemeriksaan klinis tepat, dapat membedakan dengan baik keadaan baik hemothorak atautension

penumothorak. Assesment yang telah dibuat untuk kondisi hemothorak maka harus dilanjutkan

dengan pemasangan chest tube untuk drainase darah intrathorak, maupun untuk kebutuhan

autotransfusi. Prosedur pemasangan chest tube sama dengan dua kondisi diatas. Namun pada

keadaan yang berat, dimana kebutuhan pasien dengan hemothorak akan cairan dan transfusi

darah yang besar, maka intervensi bedah untuk prosedur thoracotomy harus segera

dipertimbangkan dan dilaksanakan. 

Page 19: REFERAT ATLS

Thoracotomy

Identifikasi masalah breathing dengan menggunakan pemeriksaan dasar IPPA (Inspeksi, Palpasi,

Perkusi, Auskultasi) kemudian assesment masalah dan dilanjutkan dengan resusitasi segera

sesuai prosedur sebelum merujuk, sehingga yang kita rujuk adalah pasien yang akan membaik,

bukan pasien yang akan memburuk.

Page 20: REFERAT ATLS

Primary Survey – Circulation

Circulation System

C: Circulation atau sirkulasi adalah proses pengaliran darah yang seharusnya baik untuk

menjamin pasokan oksigen ke sel-sel tubuh termasuk sel otak. Keadaan dimana terjadinya

gangguan sirkulasi, khususnya dalam hal trauma, kita sebut sebagai syok.

Syok merupakan keadaan yang dijabarkan secara klinis, yakni adanya: 

- Penurunan tekanan darah, 

- Peningkatan denyut nadi, 

- Penyempitan tekanan nadi, 

- Penurunan jumlah pengeluaran urin, 

- Akral dingin, 

- Gangguan kesadaran.

Page 21: REFERAT ATLS

Secara global syok mempunyai banyak jenis dan macamnya, ada syok hipovolemik, syok

kardiogenik, syok neurogenik, syok septik, dan syok spinal, yang mana tidak semua tanda klinis

yang penulis tulis diatas dapat muncul secara general pada setiap kelas syok tersebut. Namun

perlu diperhatikan, bahwa pembahasan pada bab ATLS ini adalah segala hal yang menyangkut

trauma dan bersifat darurat, sehingga semua keadaan syok yang terjadi pada pasien yang

mengalami trauma, harus dianggap sebagai syok hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.

Syok hipovolemik, berhubungan erat dengan kehilangan sejumlah darah dari tubuh pasien yang

mengalami trauma, baik yang sifatnya perdarahan luar (external bleeding), maupun perdarahan

dalam (internal bleeding), dan jumlah kehilangan darah pasien tersebut sebenarnya dapat kita

perkirakan dengan pendekatan Estimate Blood Loss (EBL) untuk kebutuhan penggantian cairan

nantinya.

Prinsip dasar dari penatalaksanaan circulation adalah hentikan perdarahan dan penggantian

cairan dalam keadaan emergency. Tapi harus tetap kita sadari, bahwa kedua tindakan ini bukan

tindakan definitif, sebab jika ada pasien yang datang dengan perdarahan cukup banyak karena

fraktur femur, maka definitifnya masih tetap operasi, bukan fluid replacment secara terus -

menerus.

Assessment 

Harus dilakukan dengan penuh ketelitian dan ketepatan dengan pendekatan periksa dan lihat.

- Periksa tekanan darah, nadi, laju pernafasan, suhu, keasadaran, akral, pengisian kapiler distal.

- Buka seluruh pakaian pasien dan lihat adanya hematome, external bleeding, deformitas tulang

atau kelemahan dari salah satu atau lebih anggota gerak mulai dari head to toe.

Page 22: REFERAT ATLS

Contoh pemeriksaan

Treatment

Setelah, assessment permasalahannya, maka jadikan stop bleeding dan fluid replacement sebagai

prinsipnya.

- Pasang IV line pada dua jalur vena, menggunakan jarum kaliber besar (ambil sample darah

untuk keperluan pemeriksaan), berikan kristaloid yang telah dihangatkan (untuk mencegah

hipotermi) dengan dosis 1-2 liter dewasa, dan 20ml/kgbb anak-anak. Siapkan darah yang juga

telah dihangatkan jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi.

- Pasang kateter urine untuk melihat jumlah output sebagai monitor sederhana yang akan menilai

adekuat tidaknya fluid replacement yang kita berikan.(sebelum pemasangan, perhatikan

indikasikontra, e.c Ruptur Uretra)

- Adanya jejas atau hematome pada kepala, thorak dan abdomen mungkin memberi informasi

untuk suatu internal bleeding yang mungkin saja membutuhkan intervensi pembedahan secara

dini (konsultasikan).

- Penemuan adanya external bleeding yang aktif, langsung dilakukan balut tekan (direct pressure

on the wound)

Page 23: REFERAT ATLS

- Deformitas atau kelemahan pada salah satu atau lebih anggota gerak yang merujuk pada suatu

keadaan fraktur, maka perlu dilakukan realignment first (luruskan se-anatomis mungkin)

kemudian di bebat bidai.

- Pada fraktur pelvis yang sifatnya open fractur harus segera di pasang sling atau kain (sarung)

untuk mengecilkan volume pelvis.

Sling untuk mengecilkan volume pelvis

Hematome pada Abdomen

Page 24: REFERAT ATLS

Direct Pressure On the Wound

Deformitas pada ekstremitas

Dalam hal keberhasilan resusitasi, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yakni: jumlah total

darah, estimate blood loss (EBL), perbandingan kristaloid dengan volume darah, dan respon

pasien terhadap usaha emergency yang telah kita berikan pada fase awal.

Page 25: REFERAT ATLS

1. Jumlah total darah

Jumlah total darah pada orang dewasa normal adalah 7% dari berat badannya (Rumus), yang

artinya jika berat badannya adalah 70 kg, maka jumlah total darahnya adalah sekitar 4.900ml

atau 4,9 L, atau bisa kita jadikan 5 liter.

Sedangkan anak - anak adalah 8- 9% dari berat badannya (Rumus), yang artinya jika anak

tersebut beratnya 20 kg, maka jumlah darahnya adalah sekitar 1600ml - 1800 ml, atau 1,6 L - 1,8

L.

2. Perbandingan kristaloid dengan volume darah 

Kristaloid dapat digunakan sebagai pengganti volume darah dalam waktu - waktu tertentu

dengan rule 3:1, yang artinya, 300 ml kristaloid = 100 ml darah. Maka, misalkan seorang pasien

dia mengalami kehilangan darah sekitar 3 liter pasca trauma, maka pasien tersebut membutuhkan

9 liter cairan kristaloid untuk mengganti darahnya yang hilang tersebut. 

3. Estimated blood loss

Estimasi kehilangan darah dapat dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan tanda klinis.

Kelas 1: kehilangan darah 15 % dari jumlah total darah

Kelas 2: kehilangan darah antara 15 - 30% dari jumlah total darah

Kelas 3: kehilangan darah 30 - 40 % dari jumlah total darah

Kelas 4: kehilangan darah > 40% dari jumlah total darah. 

Contoh kasus: 

Si A, laki - laki, BB 70 kg, melompat dari lantai tingkat rumahnya karena frustasi akibat kucing

kesayangannya meninggal. Saat di bawa ke rumah sakit pasien tampak somnolen (seperti

mengantuk), TD 90/70, Nadi, 125x/menit, RR, 29x/menit, suhu badan 36,5, akral dingin, dengan

pengisian kapiler yang lambat. Tampak ada deformitas pada paha kiri tanpa adanya perdarahan

eksternal. Dari tanda - tanda klinis tersebut, pasien dimasukkan dalam EBL kelas 3. Bagaimana

kebutuhan cairan pasien tersebut?

Page 26: REFERAT ATLS

Jawab:

Pasien, berat badan 70kg, sehingga jumlah total darahnya sekitar 5 liter. Secara klinis pasien

masuk dalam kategori EBL kelas 3 yang artinya, pasien kehilangan darah sekitar 30-40% dari

jumlah total darahnya atau 30-40% dari 5 liter = 1,5 - 2 liter. 

Selanjutnya rule 3:1. Yang berarti 1,5 -2 liter tersebut di kalikan 3. 

Sehingga hasil akhirnya menjelaskan bahwa kabutuhan cairan kristaloid pada pasien ini adalah

4,5 - 6 liter. 

(ini hanya contoh kasus, karena pada keadaan sebenarnya mungkin saja pasien tersebut sudah

membutuhkan transfusi darah).

4. Respon pasien

Mengenal respon pasien terhadap fluid replacment

Hanya ada tiga pembagian:

1. Immediate respon (respon cepat)

2. Transient respon (respon sementara)

3. No respon (tidak berespon)

Penjelasan:

1. Immediate respon.

Pasien hipovolemik jenis ini, cukup berespon baik dengan dosis cairan awal yang kita berikan

(1-2 liter, dewasa / 20ml/kgbb, anak - anak) dalam keadaan - keadaan awal dan bertahan hingga

kondisi pemulihan pasien. Biasanya perdarahan yang terjadi pada pasien ini tidakmassive dan

secara EBL kurang dari 20%

2. Transient respon

Pasien hipovolemik jenis ini, pada keadaan awal berespon cukup baik dengan dosis cairan awal

yang kita berikan, namun beberapa saat kemudian jatuh kembali dalam keadaan hipovolemik.

Hal ini dapat disebabkan oleh karena perdarahan yang masih berlangsung (on going process),

Page 27: REFERAT ATLS

atau mungkin saja bukan syok hipovolemik melainkan syok neurogenik dan EBL-nya biasanya

antara 30-40 %. Pasien seperti ini mungkin membutuhkan transfusi darah.

3. No respon

Pasien hipovolemik jenis ini, sama sekali tidak berespon dengan resusitasi cairan yang kita

berikan. Perdarahannya cukup massive dengan EBL bisa mencapai > 40%. Pasien seperti ini

membutuhkan intervensi pembedahan se-dini mungkin.

Kesimpulan: Dari semua hal diatas ketepatan dan kecepatan penangananserta reevaluasi yang

sering dan berkesinambungan diharapkan dapat mengurangi hal - hal yang tidak diinginkan.

Primary Survey – Disability

D: Disability.

Pemeriksaan neurologis terbatas yang perlu di periksa pada bab disability ini ada 3, yakni:

1. Derajat kesadaran yang diukur dengan skala GCS.

2. Respon pupil dan diameter pupil. 

3. Tanda - tanda adanya lateralisasi.

Derajat kesadaran dapat memberikan informasi kepada tenaga kesehatan tentang respon pasien

terhadap usaha life saving yang telah dilakukan dari awal serta setidaknya menentukkan

kebutuhan pasien akan tindakan / prosedur lain (seperti pembedahan).

Page 28: REFERAT ATLS

Respon dan diameter pupil serta tanda - tanda lateralisasi akan memberikan informasi mengenai

adanya proses di intra kranial selain adanya luka eksternal pada kepala yang dapat kita lihat

secara langsung.

Page 29: REFERAT ATLS

Primary Survey – Exposure

E: Exposure atau paparan dalam dunia ATLS, tidak hanya tentang bagaimana mencegah

hipotermi, namun secara mendalam, adalah usaha untuk mencari trauma atau jejas lain yang

mengancam nyawa dan pencariannya didasarkan pada mekanisme trauma.

Hipotermi

Hipotermi, atau keadaan suhu tubuh dibawah normal, dapat menjadi penyebab kematian yang

kadang luput dari pantauan tenaga kesehatan.

Hal-hal yang perlu dilakukan:

1. Hindari ruangan dingin atau ber-AC dalam perawatan pasien trauma.

2. Setelah pasien dibuka seluruh pakaiannya untuk kebutuhan pemeriksaan, jangan lupa di beri

selimut tebal untuk penghangatan.

3. Saat melakukan resusitasi yang agresif baik dengan menggunakan cairan kristaloid maupun

darah, maka bahan - bahan tersebut harus dihangatkan terlebih dahulu. 

4. Pada pasien dengan trauma tenggelam, maka dengan cepat pakainnya harus ditanggalkan.

Trauma dan atau Jejas lain

Setiap pasien, yang dibawa ke bangsal perawatan rumah sakit, hampir selalu dalam kondisi

supinasi (terlentang) dan jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah dalam posisi pronasi

(telungkup). Artinya, saat pasien dalam posisi supinasi, terkadang trauma dan jejas di bagian

belakang (back) terlewatkan (tidak diperiksa). Ini harus menjadi perhatian khusus, bahwa pada

pasien multi trauma, seluruh sisi tubuh harus diperiksa. 

Jika pasien dalam kondisi supinasi dan tenaga kesehatan curiga ada cedera spinal, maka untuk

evaluasi sisi bagian belakang pasien, dapat dilakukan log rolling dengan tetap menjaga

kesegarisan anatomis tubuh. 

Page 31: REFERAT ATLS

Additional Examination and Monitoring during Primary Survey

Ada beberapa tindakan monitoring dan pemeriksaan tambahan yang di anjurkan dalam

faseprimary survey, karena dinilai mempunyai manfaat emergency yang cukup besar. Mereka

antara lain terdiri dari pemasangan Elektrokardiografi (EKG), Nasogastric Tube (NGT), Kateter

urine, Pulse Oxymetri, dan pemeriksaan foto rontgen (cervical, thoraks, dan pelvis).

 

Elektrokardiografi (EKG)

Elektrokardiografi atau rekam jantung, sangat dianjurkan pada semua pasien trauma. Aktivitas

kelistrikan yang terbaca dalam kertas EKG, dapat memberikan kecurigaan tentang kemungkinan

adanya, kontusio jantung, cardiac tamponade, atau suatu kondisi hipoperfusi dan hipoksia yang

ditandai dengan adanya bradikardia, konduksi aberrant atau ekstra sistol.

Page 32: REFERAT ATLS

Abberant conduction

Nasogastric Tube (NGT)

Digunakan untuk mengurangi isi lambung sehingga dapat menurunkan distensi abdomen dan

periode muntah. NGT, juga merupakan langkah awal sebelum melakukanDiagnostic Peritoneal

Lavage (DPL) untuk deteksi perdarahan intra abdomen. Pada keadaan dimana terjadi trauma

maksilofasial yang berat, sehingga menyebabkan patahnya lamina cribrosa pada hidung, maka

pemasangan gastric tube dilakukan melalui mulut, untuk menghindari masuknya

selang gastric ke dalam rongga otak.

Page 33: REFERAT ATLS

 

Nasogastric Tube

Kateter Urine

Ditujukan untuk monitoring resusitasi emergency yang telah dilakukan, dengan tetap mengingat

kontraindikasi sebelum pemasangannya. Jika terdapat adanya ruptur uretra,

makaschistostomy harus segera dipertimbangkan.

Output urine yang baik pada orang dewasa adalah 0,5ml/kgbb/jam, sedangkan anak - anak dan

bayi berkisar 1-2ml/kgbb/jam

Page 34: REFERAT ATLS

 

Foley Catheter

Pulse Oxymetri

Pemeriksaan sederhana, dengan alat yang begitu minimalis, namun mempunyai manfaat yang

cukup besar dalam waktu-waktu yang krusial.  Pulse oxymetri, hanya mengukur saturasi oksigen

(O2) dan denyut jantung, artinya tekan parsial oksigen (PaO2) tidak terukur dengan alat ini,

walaupun sebenarnya PaO2 tersebut masih dapat di prediksi berdasarkan kadar saturasi O2 yang

terbaca. Saturasi yang baik adalah 100%, walaupun 98% masih diijinkan. Namun pada kadar

dibawah 98% tersebut menjadi warning.

Page 35: REFERAT ATLS

 

Pulse Oxymetri

Foto Rontgen

Dalam primary survey hanya ada 3 foto yang diijinkan untuk dilakukan dalam upaya untuk

menunjang proses resusitasi, yakni foto rontgen cervical, thoraks, dan pelvis.

- Foto cervical

Terutama berfungsi untuk deteksi adanya fraktur cervical yang bertendensi untuk menyebabkan

gangguan spinal. Namun, tidak ditemukannya fraktur pada pembacaan rontgencervical, tidak

serta merta mengeluarkan kemungkinan adanya gangguan spinal tersebut.

Page 36: REFERAT ATLS

- Foto thoraks

Mempunyai fungsi dan tujuan untuk deteksi keadaan yang mengancam nyawa, yang antara

lainnya adalah hemothorak, flail chest, maupun pneumothorak yang mungkin luput dari ketajam

klinis pemeriksa.

Page 37: REFERAT ATLS

- Foto pelvis

Keadaan hipovolemik yang bertahan dan tidak tertangani dengan resusitasi cairan awal, mungkin

menandakan adanya internal bleeding yang massive dan masih berlangsung.  Status pelvis, harus

dijadikan kemungkinan dalam keadaan ini, meskipun perdarahan intraabdomen juga dapat

mempunyai status yang sama. Penemuan adanya fraktur pelvis pada foto rontgen, maka segera

ditatalaksana secara emergency seperti yang telah disampaikan pada BAB circulation, dan

pemberiah darah harus segera dipertimbangkan.

Page 38: REFERAT ATLS

5. Indikasi tindakan ATLS

Kasus-kasus yang perlu penanganan bantuan hidup dasar seperti :

Tenggelam

Kecelakaan

Serangan jantung

Kesetrum listrik

Kehabisan oksigen dan darah

Pangkal lidah yang menutupi tenggorokan

Tujuan dari bantuan hidup dasar adalah menormalkan kembali sistem tubuh antara lain yaitu :

- Sirkulasi pernapasan

- Sirkulasi peredaran darah

Penanganan bantuan hidup dasar merupakan suatu tindakan untuk mencegah terjadinya

kematian. Dari jenis kematian dibagi 2 yaitu :

Mati klinis : Keadaan tanpa napas dan nadi yang baru terjadi sekitar 4-6 menit (bersifat

reversible) belum terjadi kerusakan sel-sel otak.

Mati biologis : suatu keadaan tanpa napas dan denyut nadi yang terjadi lebih dari 8

menti, atau adanya tanda-tanda mati.

Tanda-tanda kematian berupa :

Adanya kekakuan mayat

Terdapat kebiruan disekitar tubuh

Suhu tubuh dingin

Pupil tidak ada refleks dan melebar

Gangguan Mati dalam

Airway Sumbatan 3-5’

Breathing Henti nafas 3-5’

Page 39: REFERAT ATLS

Circulation Shock berat 1-2 jam

Disability Coma 1-2 minggu

Doktrin pertolongan pasien gawat adalah Time saving is life saving, dimana waktu dan data

dasar untuk bertindak sangat terbatas. Sehingga diperlukan konsep berpikir sederhana, tindakan

sistematik dan ketrampilan yang memadai dalam menolong pasien. Prognosis pasien trauma

paling baik pada jam pertama atau yang disebut ”The Golden Hour”.

Trauma meruupakan salah satu yang membutuhkan tindakan bantuan dasar, trauma di negara

berkembang banyak menghadapi kendala sehingga menyebabkan perbedaan konsep penanganan.

Yang disebabkan oleh berbagai macam kendala berupa sumber dana, sumber fasilitas dan

komunikasi yang terbatas. Karena oleh karena keterbatasan ini maka tetap berarah ke

pertolongan individu, membantu dan mengembangkan sistem dan melihat ke arah prevensi.

Pedoman penanganan Hidup dasar (Basic and Advance Life Therapy Support) adalah A, B, C.

Basic and Advance Life Therapy Support (dulu) :

Airway

Breathing

Circulation

Drugs

ECG

Fibrilation Treatment

Basic and Advance Life Therapy Suppport (Sekarang) :

Airway

Breathing

Circulation

Disabilty

Exposure/ Enviroment

Page 40: REFERAT ATLS

Tujuan:

1. Evaluasi korban dengan cepat dan tepat

2. Resusitasi & stabilisasi korban sesuai prioritas.

3. Menentukan kebutuhan korban cukup/melebihi fasilitas yang ada.

4. Mengatur cara rujukan antar rumah sakit.

5. Menjamin bahwa penanganan korban sudah optimum.

6. Life Support selain Advance Trauma Life Support (ATLS)

Selain ATLS kita juga bisa mengikuti pelatihan BTLS yang Instruktur pelatihan Basic Life

Support – Basic Trauma Life Support (BCLS – BTCLS ) meliputi dokter spesialis, dokter umum

dan perawat/Paramedik yang berpengalaman dalam penanggulangan penderita gawat darurat,

bencana, musibah massal dan kejadian luar biasa.

Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menangani

kegawat daruratan, khususnya dalam upaya mengantisipasi kegawat daruratan akibat

trauma, cardiovaskulermaupun kegawat daruratan akibat bencana. Dengan adanya berbagai

macam potensi bencana sehingga mengakibatkan terjadinya krisis kesehatan, maka

diperlukannya kewaspadaan dan kesiapsiagaan petugas imunisasi dan petugas kesehatan lainnya

dalam berperan aktif dalam upaya penanganan dan memberikan pertolongan terhadap korban

kegawat daruratan akibat bencana maupun akibat krisis kesehatan lainnya.

Kematian biasanya terjadi karena ketidakmampuan petugas kesehatan untuk menangani

korban pada tahap gawat darurat (golden periode) ketidakmampuan biasanya disebabkan oleh

tingkat keparahan, kurang memadainya peralatan, belum adanya sistem yang terpadu dan

pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan dan memberikan pertolongan kegawat

daruratan pada korban akibat bencana, trauma maupun penyakit cardiovaskuler.

Page 41: REFERAT ATLS

Pengetahuan dan keterampilan dalam menangani dan memberikan pertolongan pada

korban gawat darurat memegang porsi yang paling besar dalam menentukan keberhasilan

pertolongan, saat ini kecelakaan/ trauma dan penyakit cardiovaskuler menduduki peringkat lima

besar penyebab kematian di Indonesia.

MATERI PELATIHAN BTLS Introduction & Overview

Intergrated Medical Emergency Response System

Airway and breathing Management

Circulation & Shock Management

Initial Assesment & Management

Head Trauma Defribilator  (AED)

Spinal Trauma

Thoracic Trauma

Abdominal Trauma

Musculosceletal Trauma

Thermal Trauma

Lifting & Moving

Extrication, Stabilization & Transportation

Triage in Emergency Room

Triage in Disaster

Selain mengikuti pelatihan BTLS bisa juga mengikuti GELS. Pelatihan General

Emergency Life Support (GELS) adalah pelatihan penanganan kasus gawat darurat untuk kasus

trauma maupun non trauma.Pelatihan ini dibentuk untuk meningkatkan kompetensi dokter

khususnya di bidang kegawatdaruratan medis.Meningkatnya baik kualitas maupun kuantitas

kegawatan yang terjadi baik kegawatan sehari-hari maupun bencana menuntut dokter harus

selalu aktif dan selalu berusaha meningkatkan kemampuannya.

Page 42: REFERAT ATLS

GELS dirancang dan disusun oleh Brigade Siaga Bencana RSUP dr. Sardjito dengan acuan

standar Departemen Kesehatan RI. Pelatihan dilaksanakan selama 6 hari penuh dan diberikan

dalam bentuk kuliah, diskusi materi dan latihan ketrampilan dalam proporsi yang seimbang. 

Saat ini dalam standar pelayanan gawat darurat yang dibuat oleh Departemen Kesehatan sesuai

Keputusan Menteri Kesehatan No: 106/MENKES/SK/I/2004, GELS sudah ditetapkan sebagai

pelatihan dasar untuk dokter yang bekerja pada unit pelayanan gawat darurat.

Diperlukan usaha yang optimal dan menyeluruh dari seluruh komponen panitia pelatihan ini

sehingga mutu pelatihan ini benar-benar terjaga sehingga cita-cita untuk mengembangkan

kemampuan kedokteran khususnya di bidang gawat darurat di seluruh indonesia  akan dapat

tercapai.

Page 43: REFERAT ATLS

\

Daftar Pustaka

American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam: AdvancedTrauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.

American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States of America: First Impression. American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004. Advanced Trauma Life Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi.

American College of Surgeon. 1997. Advanced Trauma Life Support StudentManual. Trauma Abdomen. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.

Dorland, 2002, Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC6.

Emanuelsen, K.L. & Rosenlicht, J.McQ. (1986). Handbook of critical care nursing. New York: A Wiley

Hudack & Galo (1996), Perawatan Kritis; Pendekatan Holistik, EGC, Jakarta. Purwadianto A. Sampurna B. 2000.

Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara, pp: 47-49.

Scheets, Lynda J.2002. Panduan Belajar Keperawatan Emergency. Jakarta: EGC.Setyono, H. 2011. Kuliah Penatalaksanaan Trauma Kepala. Surakarta: FKUNS.

Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8thed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.

Tabrani (1998), Agenda Gawat Darurat, Pembina Ilmu, Bandung.

Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.