Referat Anestesi Regional
-
Upload
muhammad-diko-prakoso -
Category
Documents
-
view
162 -
download
1
description
Transcript of Referat Anestesi Regional
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti yang telah diketahui, setiap pasien yang akan menjalani prosedur tindakan
invasif, seperti tindakan bedah akan sebelumnya akan menjalani prosedur anestesi terlebih
dahulu. Anestesi merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Obat yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam dua kategori, yaitu
analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan
secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar.
Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa
nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang
lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total , yaitu hilangnya
kesadaran secara keseluruhan, anestesi lokal -, yaitu hilangnya rasa hanya pada daerah
tertentu yang diinginkan atau pada sebagian kecil daerah tubuh, anestesi regional yaitu
hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan
spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat anestesi jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu pemulihannya setelah operasi.
BAB II
ANESTESI REGIONAL
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh untuk
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh
diblokir untuk sementara atau dapat kembali seperti semula. Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, namun kondisi pasien dalam keadaan sadar.
B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral atau blok neuroaksial, yang meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer atau blok saraf, yang meliputi anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
C. Keuntungan Anestesia Regional
1. Alat yang dibutuhkan tidak banyak dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya
relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (untuk operasi darurat, dalam
keadaan lambung penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak adanya komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak adanya polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan setelah operasi lebih ringan.
D. Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah memilih anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
E. Persiapan Anestesi Regional
Persiapan anestesi regional kurang lebih sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya toksik pada seluruh tubuh yang bisa berakibat fatal, perlu
persiapan resusitasi seperti pada persiapan anestesi umum. Misalnya: obat anestesi
spinal/epidural masuk ke pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya kolaps
kardiovaskular sampai henti jantung atau cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi
terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan anestesi umum.
PEMBAHASAN BLOK SENTRAL
Neuroaksial blok yang meliputi spinal dan epidural anestesi, akan menyebabkan blok
simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume
obat dari anestesi lokal tersebut).
I. Anastesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anesteti lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anesteti lokal ke
dalam rongga subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulit
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang
epidural durameter ruang subarachnoid.
Gambar II.1 Lokasi penusukan jarum pada anestesi spinal
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens yang terdiri dari duramater, lemak dan
pleksus venosus. Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Indikasi dari anestesi spinal :
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan v
dengan anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut dari anestesi spinal :
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat atau syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
8. Terdapat perdarahan intra atau ekstra kranial.
Kontra indikasi relatif dari anestesi spinal:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Prediksi bedah yang berjalan lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali
sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di
bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesi spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, Hematokrit, Protrombin Time, Partial Tromboplastin Time,
Bleeding Time, dan Clothing Time.
Peralatan analgesia spinal
1. Peralatan monitor, yaitu tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dan EKG.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point whitecare)
Gambar II.2 Jenis jarum Spinal
Anastetik lokal untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastesi lokal dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinalis disebut isobarik.
Anastesi lokal dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinalis disebut
hiperbarik. Anastesi lokal dengan berat jenis lebih kecil dari cairan serebrospinalis
disebut hipobarik. Anastesi lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidocaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100
mg (2-5ml)
2. Lidocaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (marcaine) 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20 mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (marcaine) 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3ml)
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara kontinyu
dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.
Gambar II.3 Posisi pasien pada penusukan jarum spinal.
Penyebaran anastetik lokal tergantung:
1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis anestetia lokal
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal
Komplikasi tindakan anestesi spinal :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai
T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. Meningitis
II. Anestesia Epidural
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan
obat di ruang epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan
duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan dibagian posterior kedalaman
maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung pada akar saraf
spinal yang terletak dilateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding
anestesi spinal, sedangkan kualitas blockade sensorik-motorik juga lebih lemah.
Keuntungan epidural dibandingkan spinal :
Bisa segmental
Tidak terjadi headache post op
Hypotensi lambat terjadi
Gambar II.4 Lokasi penyuntikan pada epidural anestesi
Kerugian epidural dibandingkan spinal :
Teknik lebih sulit
Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
Reaksi sistemis lebih tinggi
Komplikasi anestesi epidural :
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual – muntah
Teknik anestesia epidural :
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) Jarum ujung tajam (Crawford)
b) Jarum ujung khusus (Touhy)
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling
populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.
a) Teknik hilangnya resistensi
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah resistensi
yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3ml. Setelah diberikan anestesi
lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian
udara atau NaCl disuntikkan perlahan dan terputus-putus. Sembari mendorong
jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum)
yang disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam
ruang epidural, lakukan uji dosis.
b) Teknik tetes tergantung
Teknik ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan
secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul
oleh tersedotnyatetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin, lakukan uji dosis.
5. Uji dosis
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung
jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinyu)
melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:
200.000.
Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum sudah
benar
Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena
epidural.
6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestesi
lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.
III. Anestesia Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum. Ruang kaudal
berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.
Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula
paraanal.
Teknik
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala lebih
rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena ukuran
20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan kiri dan
spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga tonjolan tersebut
diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setela diyakini masuk kanalis
sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2 cm. Kemudian
suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil meraba apakah ada
pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan masuk dengan benar di
kanalis kaudalis.
Efek Fisiologis Neuroaxial Block
1. Efek Kardiovaskuler:
- Akibat dari blok simpatis , akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi). Efek
simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal , 2-6 dermatom diatas level
blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi block pada level yang sama.
Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk mengurangi
hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi,
Gambar II.5 Teknik dan lokasi penusukan pada anestesi kaudal
dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi dengan pemberian cairan dan
vasopressor seperti efedrin.
- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-
T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai cardiac arrest.
2. Efek Respirasi:
- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan
terjadinya respiratory arrest.
- Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan gangguan
gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
3. Efek Gastrointestinal:
- Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan
hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh
simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena
kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.
BLOK PERIFER
Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian
susunan saraf.
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade kanal
natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf,
jika digunakan pada saraf sentral atau perifer.
Anestesi lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara
spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:
1. Tidak membuat iritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
2. Batas keamanan harus lebar
3. Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada membran
mukosa
4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang
cukup lama
5. Dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap
pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil
dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di Indonesia, yang paling banyak
digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada kanal natrium (sodium channel), mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium sehingga tidak terjadi
depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan
protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa)
menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum alveolar
concentration) dipengaruhi oleh:
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
3. Frekuensi stimulasi saraf
Awal bekerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat
dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika lokal
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
Efek samping terhadap sistem tubuh
Sistem kardiovaskular:
a. Depresi automatisasi miokard
b. Depresi kontraktilitas miokard
c. Dilatasi arteriolar
d. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi
Sistem pernafasan:
Relaksasi otot polos bronkus
Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus
Paralisis interkostal
Depresi langsung pusat pengaturan nafas
Sistem saraf pusat:
Parestesia lidah
Pusing
Tinnitus
Pandangan kabur
Agitasi
Depresi pernafasan
Tidak sadar
Konvulsi
Koma
Imunologi :
Reaksi alergi
Sistem muskuloskeletal :
Miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)
Komplikasi obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk tiap
jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat bersifat lokal
atau sistemik
Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan
antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan arteri buntu.
Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi
miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
A. Infiltrasi Lokal
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi
B. Blok Lapangan (Field Block)
Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)
C. Analgesia Permukaan (Topikal)
Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa
D. Analgesia Regional Intravena
Penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstremitas dieksanguinasi (pengurangan
darah) dan diisolasi bagian proksimalnya dengan torniket dari sirkulasi sistemik.
Beberapa anastetik lokal yang sering digunakan :
1. Kokain dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas. Lama
kerja 2-30 menit.
2. Prokain untuk infiltrasi larutan: 0,25-0,5%, blok saraf: 1-2%, dosis 15mg/kgBB
dan lama kerja 30-60 menit.
3. Lidokain konsentrasi efektf minimal 0,25%, infiltrasi, mula kerja 10 menit,
relaksasi otot cukup baik. Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan.
4. Bupivakain konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat
dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua. 2009.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
2. dr. Muhardi Muhiman, dr. M. Roesli Thaib, dr. S. Sunatrio, dr. Ruswan Dahlan,
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI
3. Boulton TB, Blogg CE, Anestesiologi, Edisi 10. EGC : Jakarta 1994
4. Robyn Gmyrek, MD, Maurice Dahdah, MD, Regional Anaesthesia, Updated: Aug 7, 2009. Accessed on 6th December 2010 at www.emedicine.com
5. Local and Regional Anaesthesia, accessed on 6th December 2010 at http://en.wikipedia.org/wiki/anesthesia
6. Miller RD. Anesthesia, 5th ed. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2000
7. Mulroy MF. Regional Anesthesia, An Illustrated Procedural Guide. 2nd ed. Little, Brown and Company. B oston 1996