Refer At
-
Upload
lalu-zulhirsan -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
Transcript of Refer At
BAB I
PENDAHULUAN
Laringomalasi atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari
kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini
merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa
aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan
gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara
bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam
pemberian makanan1.
Laringomalasi merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula
terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur
12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga
membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti Laringomalasi masih belum diketahui.
Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel
selama respirasi spontan 1.
Laringomalasi diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942.
Laringomalasi adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi.
Anak laki-laki dilaporkan mengalami Laringomalasi 2 kali lebih sering daripada
anak perempuan. Laringomalasi secara umum merupakan kondisi self-limiting , akan tetapi
dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,
laringomalasi juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan
pada anak. Laringomalasi dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital tersering
pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus, bayi,dan anak yang sering menyebabkan
stridor2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya
struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas
yang menimbulkan gejala utama berupa stridor1.
Gambar laringomalasi
2.2 Anatomi dan fisiologi
Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median
yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur
laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah
kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan
kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari
tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat
dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika
vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang
tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan
perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari
aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat
didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung1,2.
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea
dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan
penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme
sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.
Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri
dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan
ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,
konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus2.
Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di
sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal
dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi
oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi
laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi3.
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,
krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago
aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh
jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana
kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan
dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah
konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana
kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi3.
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi
membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima
glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea)
pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika
berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis,
sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter3.
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh
aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli
dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang
ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan
melanjutkan diri menjadi kavum trakealis3.
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa.
Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas.
Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6.
Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah
lateral3.
Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.
Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.
krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda
asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai
katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam
menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh
jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh
cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis3.
2.3 Etiologi dan Patogenesis
Penyebab Laringomalasi masih belum diketahui, namun banyak teori yang
menjelaskan patofisiologi Laringomalasi. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan model
embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada
Laringomalasi terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang
keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.
Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasi, yaitu teori anatomi dan
teori neurogenik.
Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan
tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori
anatomi pertama kali, disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari 18
kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan
kelainan kongenital disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. Pada
kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal dominan1,2.
Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40 pasien dengan
Laringomalasi.Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek. Dan
sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi
berat yang membutuhkan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan
Laringomalasi didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis
melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal. Pada teori
neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan
kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi.Thompson dan Turner melaporkan
terjadinya prolap struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada
percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan tentang pasien yang
menderita Laringomalasi setelah mengalami luka neurologi. Peron, dkk melaporkan 7
pasien mengalami flasiditas plika ariepliglotika setelah mengalami kerusakan otak berat.
Keadaan ini digolongkan sebagai“Laringomalasi didapat”. Dua dari 7 pasien ini mengalami
perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring.
Dilaporkan pula terjadinya Laringomalasi pada pasien yang mengalami paresis serebral
(cerebral palsy), overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi
21.Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik
lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 8 0 % d a r i 30 anak dengan Laringomalasi
mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10%
mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau imaturitas dari
control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut. Pada
kepustakaan lain disebutkan PRGE ditemukan pada 35-68% bayi dengan Laringomalasi dan
dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotik sehingga terjadi peningkatan
hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat
pula terjadi sebaliknya dimana Laringomalasi menyebabkan PRGE akibat perubahan gradien
tekanan intraabdominal/ intratorakal2,3,5.
Meskipun Laringomalasi merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas
pada bayi, namun Laringomalasi dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada
atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika
ariepliglotika k e endolaring d a n terjadi obstruksi nafas. Keadaan i n i disebut dengan
Laringomalasi akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat
terjadi baik pada anak- anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan
dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom
dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan
fisik yang berlebihan yang tidak berespons dengan pengobatan β-agonis dan kromolin
sodium,namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi2.
2.4 Diagnosis
Laringomalasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,pemeriksaan
penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.
Dari anamnesis ditemukan riwayat stridor inspiratoris mulai 2 bulan awal
kehidupan, suara biasa muncul pada minggu 4 - 6 awal, stridor berupa tipe inspiratoris dan
tidak terdapat sekret nasal, stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika
menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa
kasus, selama dan setelah makan. Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat
intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi
makan jika ada refluks pada bayi. Bayi gembira dan tidak menderita2.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan bayi dapat berinteraksi secara wajar, dapat
terlihat takipneu ringan, tanda-tanda vital normal. Biasanya terdengar aliran udara nasal,
suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Tangisan bayi biasanya normal, penting
untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan. Stridor murni berupa
inspiratoris.Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis4.
Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis Laringomalasi adalah dengan
menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi
fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan dilakukan pada anak
dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya
premedikasi. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring, dan supraglotis. Pada
Laringomalasi, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada keadaan berat,sulit
memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis1.
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko
terlewatkannya diagnosis Laringomalasi ringan bila pasien menangis dan penilaian
keadaan subglotis kurang akurat2.
Masih menjadi perdebatan apakah bayi dengan dugaan diagnosis laringomalasi harus
melalui pemeriksaan laringoskop dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan itu masih
merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan inimemiliki
beberapa kelemahan bagi neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi,alat
endoskopi yang khusus, ahli anestesi yang handal, mahal dan waktu yang lebih
lama,sehingga mungkin ada keterlambatan diagnosis3.
Olney,dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan
bronkoskopi. Kriterianya adalah:
a. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea,
atau pneumonia berulang.
b. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran Laringomalasi pada
laringoskopi fleksibel.
c. Bayi dengan lesi lain di laring.
d. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti3.
2.5 Penatalaksanaan
Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu.
Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya
meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama
dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa.
Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi
mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan
menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan
memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat
pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen < 90%) maka sebaiknya diberikan tambahan
oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini2,3,5.
Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang
terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan
operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk Laringomalasi berat. Supraglotoplasti
dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan3.
2.6 Prognosis
Prognosis laringomalasi umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh
sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien,
gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa
kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini,
biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa2.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan1. Secara umum terdapat dua teori patofisiologi Laringomalasi, yaitu teori anatomi dan
teori neurogenik.
2. Laringomalasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi
fleksibel dan radiologi.
3. Kira-kira hampir 90% kasus Laringomalasi bersifat ringan dan tidak memerlukan
intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi
keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang progonosis
dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan
yang normal dapat dicapai. Pada keadaan berat ini maka intervensi bedah tidak
dapatdihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa
trakeostomi sampai masalah teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Texas Pediatric Surgical Associates. Stridor and Laryngomalacia. Available at
http://www.pedisurg.com/PtEducENT/ Stridor&laryngomalacia.htm .
2. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at
http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html
3. Snell RS. Anatomi Klinik Edisi Ketiga Bagian Ketiga. Jakarta : EGC ; 1997
4. Bambang Hermani, dkk. 2007. Kelainan laring dalam Buku AjarIlmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. Hal: 237
5. Banovetz, John D. 1997. Penyakit Sinus Paranasalis.BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta:EGC. Halaman 379.