Refer At

14
BAB I PENDAHULUAN Laringomalasi atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam pemberian makanan 1 . Laringomalasi merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur 12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti Laringomalasi masih belum diketahui. Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel selama respirasi spontan 1 . Laringomalasi diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942. Laringomalasi adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi. Anak laki-laki dilaporkan mengalami Laringomalasi 2 kali lebih sering daripada anak perempuan. Laringomalasi secara umum merupakan kondisi self-limiting , akan tetapi dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,

Transcript of Refer At

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Laringomalasi atau laring flaksid kongenital merupakan penyebab tersering dari

kelainan laring kongenital, berupa stridor inspiratoris kronik pada anak. Keadaan ini

merupakan akibat dari flaksiditas dan inkoordinasi kartilago supraglotik dan mukosa

aritenoid, plika ariepiglotik dan epiglotis. Biasanya, pasien dengan keadaan ini menunjukkan

gejala pada saat baru dilahirkan, dan setelah beberapa minggu pertama kehidupan secara

bertahap berkembang stridor inspiratoris dengan nada tinggi dan kadang kesulitan dalam

pemberian makanan1.

Laringomalasi merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri, yang mula-mula

terjadi segera setelah kelahiran, dan memberat pada bulan keenam, serta membaik pada umur

12-18 bulan. Terkadang kelainan kongenital ini dapat menjadi cukup berat sehingga

membutuhan penanganan bedah. Penyebab pasti Laringomalasi masih belum diketahui.

Penegakan diagnosis didapatkan melalui pemeriksaan menggunakan endoskopi fleksibel

selama respirasi spontan 1.

Laringomalasi diperkenalkan oleh Jackson dan Jackson pada tahun 1942.

Laringomalasi adalah anomali kongenital pada laring yang paling sering terjadi.

Anak laki-laki dilaporkan mengalami Laringomalasi 2 kali lebih sering daripada

anak perempuan. Laringomalasi secara umum merupakan kondisi self-limiting , akan tetapi

dapat mengancam jiwa karena obstruksi jalan nafas yang ditimbulkannya. Selain itu,

laringomalasi juga dapat menyebabkan terjadinya kor pulmonal dan kegagalan pertumbuhan

pada anak. Laringomalasi dan trakeomalasia merupakan dua kelainan kongenital tersering

pada laring (59,8%) dan trakea (45,7%) neonatus, bayi,dan anak yang sering menyebabkan

stridor2.

Page 2: Refer At

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh melemahnya

struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi kolaps dan obstruksi saluran napas

yang menimbulkan gejala utama berupa stridor1.

Gambar laringomalasi

2.2 Anatomi dan fisiologi

Laring, faring, trakea dan paru-paru merupakan derivat foregut embrional yang

terbentuk sekitar 18 hari setelah konsepsi. Tak lama sesudahnya, terbentuk alur faring median

yang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem pernapasan dan benih laring. Sulkus atau alur

laringotrakeal menjadi nyata pada sekitar hari ke-21 kehidupan embrio. Perluasan ke arah

kaudal merupakan primordial paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan

kemudian menjadi dua lobus pada hari ke-27 atau ke-28. bagian yang paling proksimal dari

tuba yang membesar ini akan menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat

dikenali menjelang 33 hari, sedangkan kartilago, otot dan sebagian besar pita suara (plika

vokalis) terbentuk dalam tiga atau empat minggu berikutnya. Hanya kartilago epiglotis yang

tidak terbentuk hingga masa midfetal. Karena perkembangan laring berkaitan erat dengan

perkembangan arakus brankialis embrio, maka banyak struktur laring merupakan derivat dari

Page 3: Refer At

aparatus brankialis. Gangguan perkembangan dapat berakibat berbagai kelainan yang dapat

didiagnosis melalui pemeriksaan laring secara langsung1,2.

Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea

dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum. Laring memiliki kegunaan

penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru selama deglutisi melalui mekanisme

sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara.

Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri

dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan

ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotik

memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid. Ukuran, lokasi,

konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus2.

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa. Terletak di

sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6. Berada di sebelah kaudal

dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi

oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi

laring dipengaruhi oleh gerakan kepala, deglutisi, dan fonasi3.

Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu kartilago tireoidea,

krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang berpasangan, yaitu kartilago

aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform. Selain itu, laring juga didukung oleh

jaringan elastik. Di sebelah superior pada kedua sisi laring terdapat membrana

kuadrangularis. Membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis dan

dinding superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah

konus elastikus (membrana krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana

kuadrangularis dan bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi3.

Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.

Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik berfungsi

membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup rima

glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring (trakea)

pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika

berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis,

sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter3.

Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh

aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli

dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang

Page 4: Refer At

ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan

melanjutkan diri menjadi kavum trakealis3.

Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan orang dewasa.

Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan oleh tekanan jalan nafas.

Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4, sedangkan pada orang dewasa hingga C6.

Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah

lateral3.

Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas refleks.

Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot abduktor adalah m.

krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring adalah untuk mencegah benda-benda

asing masuk ke dalam paru-paru melalui aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai

katup untuk mencegah udara keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan

intra thorakal yang dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam

menghasilkan suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat

menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara ditentukan oleh

jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan kualitas suara ditentukan oleh

cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan kavitas nasi serta sinus paranasalis3.

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Penyebab Laringomalasi masih belum diketahui, namun banyak teori yang

menjelaskan patofisiologi Laringomalasi. Terdapat hipotesis yang dibuat berdasarkan model

embriologi. Epiglotis dibentuk oleh lengkung brakial ketiga dan keempat. Pada

Laringomalasi terjadi pertumbuhan lengkung ketiga yang lebih cepat dibandingkan yang

keempat sehingga epiglotis melengkung ke dalam.

Secara umum terdapat dua teori patofisiologi laringomalasi, yaitu teori anatomi dan

teori neurogenik.

Menurut teori anatomi, terdapat hipotesis bahwa terjadi abnormalitas kelenturan

tulang rawan dan sekitarnya yang menyebabkan kolapsnya struktur supraglotis. Teori

anatomi pertama kali, disampaikan oleh Sutherland dan Lack 1897, setelah mempelajari 18

kasus obstruksi laring kongenital. Mereka menyimpulkan bahwa kelainan ini merupakan

kelainan kongenital disertai dengan imaturitas jaringan pada bayi yang baru lahir. Pada

kepustakaan disebutkan bahwa kelainan congenital ini bersifat otosomal dominan1,2.

Teori ini didukung oleh penemuan Presscott yang mempelajari 40 pasien dengan

Laringomalasi.Semuanya mempunyai plika ariepiglotika yang pendek. Dan

Page 5: Refer At

sebanyak 68% mempunyai bentuk epiglotis infantile yang semuanya bermanifestasi

berat yang membutuhkan intervensi bedah. Dari penelitian Wilson pada 10 bayi dengan

Laringomalasi didapatkan bentuk laring infantile pada 2 bayi, 3 bayi dengan epiglotis

melipat seperti omega dan 5 sisanya memiliki epiglottis yang normal. Pada teori

neuromuskular, dipercaya penyebab primer kelainan ini adalah terlambatnya perkembangan

kontrol neuromuscular dibanding dengan teori anatomi.Thompson dan Turner melaporkan

terjadinya prolap struktur supraglotis setelah dilakukan pemotongan saraf laring pada

percobaan binatang. Penelitian ini didukung dengan beberapa laporan tentang pasien yang

menderita Laringomalasi setelah mengalami luka neurologi. Peron, dkk melaporkan 7

pasien mengalami flasiditas plika ariepliglotika setelah mengalami kerusakan otak berat.

Keadaan ini digolongkan sebagai“Laringomalasi didapat”. Dua dari 7 pasien ini mengalami

perbaikan keadaan neurologi yang diikuti dengan kembali normalnya fungsi laring.

Dilaporkan pula terjadinya Laringomalasi pada pasien yang mengalami paresis serebral

(cerebral palsy), overdosis obat, meningitis, stroke, retardasi mental dan trisomi

21.Penyebab neurogenik selanjutnya dihubungkan pula dengan abnormalitas neurogenik

lainnya. Belmont dan Grundfast menemukan 8 0 % d a r i 30 anak dengan Laringomalasi

mempunyai penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), 13% terjadi hipotonia dan 10%

mengalami apnea tidur sentral. Mereka menganggap bahwa disfungsi atau imaturitas dari

control neuromuscular yang menjadi akar penyebab semua kelainan tersebut. Pada

kepustakaan lain disebutkan PRGE ditemukan pada 35-68% bayi dengan Laringomalasi dan

dianggap berperan menyebabkan edema di supraglotik sehingga terjadi peningkatan

hambatan saluran nafas yang cukup mampu menimbulkan obstruksi nafas. Namun dapat

pula terjadi sebaliknya dimana Laringomalasi menyebabkan PRGE akibat perubahan gradien

tekanan intraabdominal/ intratorakal2,3,5.

Meskipun Laringomalasi merupakan penyebab utama stridor dan obstruksi napas

pada bayi, namun Laringomalasi dapat pula bermanifestasi akibat yang lain, seperti pada

atlet yang biasa melakukan inspirasi paksa yang terlampau kuat sehingga menarik plika

ariepliglotika k e endolaring d a n terjadi obstruksi nafas. Keadaan i n i disebut dengan

Laringomalasi akibat latihan fisik (exercise induced laringomalacia/ EIL), yang dapat

terjadi baik pada anak- anak atau dewasa dan sering terjadi kesalahan diagnosis dan

dianggap asma, keadaan tidak sehat atau abnormalitas fungsi. EIL merupakan sindrom

dimana terjadi sesak nafas yang berat, stridor dan mengi minimal selama latihan

fisik yang berlebihan yang tidak berespons dengan pengobatan β-agonis dan kromolin

sodium,namun gejala dapat berkurang bila latihan fisik dikurangi2.

Page 6: Refer At

2.4 Diagnosis

Laringomalasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,pemeriksaan

penunjang berupa laringoskopi fleksibel dan radiologi.

Dari anamnesis ditemukan riwayat stridor inspiratoris mulai 2 bulan awal

kehidupan, suara biasa muncul pada minggu 4 - 6 awal, stridor berupa tipe inspiratoris dan

tidak terdapat sekret nasal, stridor bertambah jika bayi dalam posisi terlentang, ketika

menangis, ketika terjadi infeksi saluran nafas bagian atas, dan pada beberapa

kasus, selama dan setelah makan. Tangisan bayi biasanya normal. Biasanya tidak terdapat

intoleransi ketika diberi makanan, namun bayi kadang tersedak atau batuk ketika diberi

makan jika ada refluks pada bayi. Bayi gembira dan tidak menderita2.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan bayi dapat berinteraksi secara wajar, dapat

terlihat takipneu ringan, tanda-tanda vital normal. Biasanya terdengar aliran udara nasal,

suara ini meningkat jika posisi bayi terlentang. Tangisan bayi biasanya normal, penting

untuk mendengar tangisan bayi selama pemeriksaan. Stridor murni berupa

inspiratoris.Suara terdengar lebih jelas di sekitar angulus sternalis4.

Pemeriksaan penunjang utama untuk diagnosis Laringomalasi adalah dengan

menggunakan laringoskopi fleksibel. Hawkins dan Clark menyatakan bahwa laringoskopi

fleksibel efektif untuk diagnosis bahkan pada neonatus. Pemeriksaan dilakukan pada anak

dalam keadaan sadar dengan posisi tegak melalui kedua hidung tanpa adanya

premedikasi. Melalui pemeriksaan ini dinilai pasase hidung, nasofaring, dan supraglotis. Pada

Laringomalasi, pita suara dapat bergerak dengan baik, namun pada keadaan berat,sulit

memvisualisasikan pita suara akibat kolapnya supraglotis1.

Pemeriksaan laringoskopi fleksibel memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko

terlewatkannya diagnosis Laringomalasi ringan bila pasien menangis dan penilaian

keadaan subglotis kurang akurat2.

Masih menjadi perdebatan apakah bayi dengan dugaan diagnosis laringomalasi harus

melalui pemeriksaan laringoskop dan bronkoskopi meskipun pemeriksaan itu masih

merupakan standar baku untuk menilai obstruksi nafas, mengingat pemeriksaan inimemiliki

beberapa kelemahan bagi neonatus, seperti resiko anestesi dan instrumentasi,alat

endoskopi yang khusus, ahli anestesi yang handal, mahal dan waktu yang lebih

lama,sehingga mungkin ada keterlambatan diagnosis3.

Olney,dkk membuat kategori kandidat yang sebaiknya dilakukan laringoskopi dan

bronkoskopi. Kriterianya adalah:

Page 7: Refer At

a. Bayi dengan gangguan pernapasan berat, gagal tumbuh, mengalami fase apnea,

atau pneumonia berulang.

b. Bayi dengan gejala yang tidak sesuai dengan gambaran Laringomalasi pada

laringoskopi fleksibel.

c. Bayi dengan lesi lain di laring.

d. Bayi yang akan dilakukan supraglotoplasti3.

2.5 Penatalaksanaan

Pada lebih dari 99% kasus, satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah waktu.

Lesi sembuh secara berkala, dan stridor rata-rata hilang setelah dua tahun. Stridor mulanya

meningkat pada 6 bulan pertama, seiring bertambahnya aliran udara pernafasan bersama

dengan bertambahnya umur. Pada beberapa kasus, stridor dapat menetap hingga dewasa.

Dalam hal ini, stridor baru muncul setelah beraktifitas berat atau terkena infeksi. Jika bayi

mengeluarkan stridor yang lebih keras dan mengganggu tidur, hal ini dapat diatasi dengan

menghindari tempat tidur, bantal atau selimut yang terlalu lembut, sehingga akan

memperbaiki posisi bayi sehingga dapat mengurangi bunyi. Jika terjadi hipoksemia berat

pada bayi (ditandai dengan saturasi oksigen < 90%) maka sebaiknya diberikan tambahan

oksigen. Tidak ada obat-obatan yang dibutuhkan untuk kelainan ini2,3,5.

Sebagian besar anak dengan kelainan ini dapat ditangani secara konservatif. Jarang

terjadi dimana seorang anak memiliki kelainan yang signifikan sehingga memerlukan

operasi. Trakeotomi merupakan prosedur pilihan untuk Laringomalasi berat. Supraglotoplasti

dapat dilakukan pada kasus-kasus yang lebih ringan3.

2.6 Prognosis

Prognosis laringomalasi umumnya baik. Biasanya bersifat jinak, dan dapat sembuh

sendiri, dan tidak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Pada sebagian besar pasien,

gejala menghilang pada usia dua tahun, sebagian lain pada usia satu tahun. Pada beberapa

kasus, walaupun tanda dan gejala menghilang, kelainan tetap ada. Pada keadaan seperti ini,

biasanya stridor akan muncul saat beraktifitas ketika dewasa2.

Page 8: Refer At

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan1. Secara umum terdapat dua teori patofisiologi Laringomalasi, yaitu teori anatomi dan

teori neurogenik.

2. Laringomalasi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laringoskopi

fleksibel dan radiologi.

3. Kira-kira hampir 90% kasus Laringomalasi bersifat ringan dan tidak memerlukan

intervensi bedah. Pada keadaan ini, hal yang dapat dilakukan adalah memberi

keterangan dan keyakinan untuk menenangkan orang tua pasien tentang progonosis

dan tindak lanjut yang teratur hingga akhirnya stridor menghilang dan pertumbuhan

yang normal dapat dicapai. Pada keadaan berat ini maka intervensi bedah tidak

dapatdihindari dan penatalaksanaan baku adalah membuat jalan pintas berupa

trakeostomi sampai masalah teratasi.

Page 9: Refer At

DAFTAR PUSTAKA

1. Texas Pediatric Surgical Associates. Stridor and Laryngomalacia. Available at

http://www.pedisurg.com/PtEducENT/ Stridor&laryngomalacia.htm .

2. Paston F. Laringomalacia and Tracheomalacia. Available at

http://pedclerk.bsd.uchicago.edu/tracheomalacia.html

3. Snell RS. Anatomi Klinik Edisi Ketiga Bagian Ketiga. Jakarta : EGC ; 1997

4. Bambang Hermani, dkk. 2007. Kelainan laring dalam Buku AjarIlmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. Hal: 237

5. Banovetz, John D. 1997. Penyakit Sinus Paranasalis.BOIES Buku Ajar Penyakit

THT. Jakarta:EGC. Halaman 379.